KITOSAN DARI LIMBAH UDANG WINDU Penaeus
J.Alchemy, Vol. 5, No. 1 (Maret 2006), 23-30
ISSN 1412-4092
KITOSAN DARI LIMBAH UDANG WINDU (Penaeus monodon)
SEBAGAI ADSORBEN FENOL
Matheis F.J.D.P. Tanasale 1*, Amos Killay 2, Meny Saily 1
1). Jurusan Kimia FMIPA Universitas Pattimura, Ambon
2). Jurusan Biologi FMIPA Universitas Pattimura, Ambon
ABSTRAK
Telah dilakukan isolasi kitosan dari kulit udang windu (Penaeus monodon) dan pemanfaatannya
sebagai adsorben fenol dari suatu larutan. Hasil isolasi kitosan dari kulit udang sebesar 19,07% melalui proses
deproteinasi dengan basa, demineralisasi dengan asam, depigmentasi dengan aseton dan pemutih, dan
deasetilasi dengan basa kuat pada temperatur tinggi.
Karakterisasi isolat kitosan menggunakan
spektrofotometer FTIR dan dengan metode baseline diperoleh derajat deasetilasi sebesar 28,57%. Adsorpsi
fenol oleh kitosan dilakukan pada sistem batch dengan rata-rata penjerapan sebesar 34,66% pada konsentrasi
yang diuji. Isoterm adsorpsi yang diikuti adalah isoterm Langmuir dengan koefisien determinasi (r2) =
99,55%, tetapan kesetimbangan adsorpsi 1,288 L/mg dan kapasitas serapan maksimumnya adalah 0,479 mg/g.
Kata kunci: kitosan, isoterm adsorpsi Langmuir, fenol
I. PENDAHULUAN
Senyawa
fenol
merupakan
salah
satu
senyawa kimia yang walaupun dalam konsentrasi
kecil akan bereaksi dengan klor membentuk
beragam mulai dari ratusan sampai ribuan mg/L dan
sangat sulit terdegradasi (Cooper dan Nicell, 1996).
Di Indonesia baku mutu air untuk senyawa fenol
pada semua kelas mutu air adalah 1 g/L (Peraturan
klorofenol yang menciptakan air berasa dan berbau
Pemerintah No. 82, 2001).
manusia terkena fenol dapat menimbulkan beberapa
mengurangi bahkan menghilangkan konsentrasi
paralisis pada sistem saraf pusat serta dapat merusak
kimia atau fisika.
(Goulden dkk., 1973).
Selain itu, jika tubuh
penyakit seperti degradasi protein, erosi jaringan,
ginjal, hati, dan pankreas (Knop dan Pilato, 1985).
Istilah fenol dalam air limbah tidak hanya
terbatas pada fenol (C6H5OH) tetapi bermacammacam campuran organik yang terdiri dari satu atau
lebih gugus hidroksi. Fenol dan senyawa fenolat
yang ada di lingkungan perairan berasal dari industri
perminyakan, perkayuan dan hasil residu dari
insektisida, herbisida, fungisida serta pestisida.
Konsentrasi fenol pada lingkungan perairan sangat
Korespondensi :
Matheis F.J.D.P. Tanasale
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Pattimura
Ambon
Kiosan dari Limbah (Matheis F.J.D.P. Tanasale)
Berbagai
cara
dapat
dilakukan
untuk
fenol dari lingkungan perairan baik itu proses hayati,
Proses hayati menggunakan
lumpur aktif ternyata tidak efektif pada konsentrasi
rendah dan proses oksidasi kimia memerlukan biaya
yang
tinggi
walaupun
cukup
efisiensi
pada
konsentrasi yang encer (Wilberg, dkk., 2002).
Proses
biokimia
dengan
menggunakan
enzim
(Wilberg, dkk., 2002; Klibanov, dkk., 1980) sangat
terbatas karena hanya enzim tertentu saja yang dapat
dimanfaatkan seperti peroksidase dari kedelai atau
lobak. Salah satu cara yang lebih efektif dan efisien
adalah melalui proses penjerapan atau adsorpsi yang
merupakan suatu gejala yang terjadi di permukaan.
Gaya-gaya
yang
berperan
untuk
proses
ini
23
merupakan hasil dari kombinasi dua faktor penting,
seperti natrium hidroksida (NaOH), asam klorida
adsorbat terhadap adsorben (Lynam, dkk., 1995).
(C6H6O),
yaitu afinitas adsorbat terhadap pelarut dan afinitas
Adsorben yang telah banyak digunakan untuk
(HCl), aseton, natrium hipoklorit (NaClO), fenol
4-aminoantipirin
(4-AAP),
kalium
persulfat (K2S2O8), asam sulfat (H2SO4), kalium
menyerap fenol adalah arang aktif (Roostaei &
bikarbonat (KHCO3), asam borat (HBO2), dan
Bandosz, 2003; Qadeer dan Rehan, 2002) tetapi
dengan menggunakan air destilata.
Tezel, 2004; Fernandez dkkl., 2003; Salame dan
secara ekonomis memerlukan biaya yang cukup
tinggi. Walaupun mampu menyerap fenol sampai
kalium hidroksida (KOH). Semua larutan disiapkan
Alat
Alat-alat yang digunakan adalah beberapa
karbon (250 mg/g), arang aktif yang dibuat dari kayu
peralatan kaca, neraca analitik, oven, termometer,
tinggi
mesh, spektrofotometer FTIR Perkins-Elmer 1600
karet masih memerlukan pemanasan pada suhu yang
(Shunsuke,
2004).
Dengan
demikian
diperlukan pencarian dan eksplorasi adsorbent yang
lebih ekonomis dan secara teknis lebih baik untuk
menjerap fenol.
Viraraghavan dan Alfaro (1992)
telah mencoba menggunakan tanah (peat), abu
hotplate, penyaring Buchner, blender, tapisan 40
dan spektrofotometer grating 752W (Shanghai No 3
Analytical Instrument Factory).
Persiapan sampel
Kulit udang windu yang telah dikupas tangan
terbang dan bentonit untuk mengadsorpsi fenol.
dicuci dan dikeringkan di dalam oven pada suhu
adalah kitosan yang merupakan turunan dari kitin
mendapatkan partikel berukuran 40 mesh.
Salah satu adsorben yang masih kurang digunakan
yang
banyak
terkandung
dalam kulit
hewan
krustacea dan dinding sel fungi. Kitosan diperoleh
dari kitin melalui proses deasetilasi dengan dua cara
yaitu menggunakan basa kuat pada suhu tinggi dan
menggunakan enzim deasetilase.
Pada penelitian sebelumnya, kelompok di
Universitas
Hasanuddin
(Makassar)
telah
menggunakan kitosan sebagai adsorben untuk logam
berat (Frida, 2003) dan zat warna (Handayani, 2003)
dengan waktu kontak 2 jam dan menghasilkan
80oC selama 24 jam lalu dihaluskan untuk
Isolasi kitosan dari kulit udang windu
Prosedur isolasi kitosan dari kulit udang
windu mengikuti metode No dkk. (1989) yang telah
dimodifikasi oleh Purwatiningsih (1993) dan metode
No dan Meyers (1997). Prosedur ini terdiri atas 4
tahap,
yaitu
deproteinasi,
depigmentasi, dan deasetilasi.
demineralisasi,
Pada tahap yang
pertama, kulit udang windu (150 g) ditambahkan
larutan NaOH 3,5% dengan nisbah 1:10 (w/v) dan
dipanaskan pada suhu 65oC selama 2
jam.
kemampuan adsorpsi yang dapat mencapai 98%.
Selanjutnya campuran didinginkan, disaring, dan
kitosan dari kulit udang windu (Penaeus monodon)
dengan residu ditambahkan larutan HCl 1,0 N
Dalam artikel ini dilaporkan kajian tentang isolasi
dan pemanfaatannya sebagai adsorbent fenol dari
larutan.
II. METODOLOGI PENELITIAN
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan adalah kulit
udang windu dan bahan-bahan kimia berkualitas pa
24
residu dikeringkan.
Tahap yang berikut dimulai
dengan nisbah 1:15 (w/v) dan dibiarkan selama 30
menit pada suhu kamar.
Setelah itu campuran
disaring, dicuci dan dikeringkan pada suhu 60oC
selama
4
jam.
depigmentasi,
secukupnya
dan
Tahap
residu
selanjutnya
adalah
diputihkan
dengan
ditambahkan
hasilnya
aseton
menggunakan NaClO 0,315% dengan nisbah 1:10
J.Alchemy, Vol. 5, No. 1 (Maret 2006), 23-30
(w/v), dibiarkan selama 30 menit pada suhu kamar,
demineralisasi dan depigmentasi. Hasil penelitian
ini, residunya dianalisis dengan menggunakan
udang windu dapat dilihat pada Tabel 1.
dicuci dan dikeringkan. Sampai tahap depigmentasi
spektrofotometer FTIR. Selanjutnya melalui tahap
tentang massa dan komposisi zat kimia dalam kulit
Tabel 1. Bobot dan komposisi zat kimia
dalam kulit udang windu.
deasetilasi, residu ditambahkan dengan larutan
NaOH 50% pada suhu 100
150oC selama 6 jam,
Zat
Protein
Mineral
Zat warna
Kitin
Kitosan
didinginkan, disaring, dicuci, dikeringkan, dan
dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer
FTIR.
Adsorpsi fenol oleh kitosan
Adsorpsi fenol oleh kitosan dilakukan pada
sistem batch. Kitosan hasil isolasi dari kulit udang
Bobot (g)
37,65
39,68
22,26
50,42
28,60
Kadar (%)
25,10
26,45
14,84
33,61
19,07
Protein akan larut dalam suasana basa
(0,25 g) ditambahkan ke dalam 5 tabung erlenmeyer
sehingga selisih antara bobot sampel dengan bobot
10, 15, 20, dan 25 ppm. Selanjutnya kelima larutan
yang ada dalam kulit udang windu. Demikian juga
disaring dan ditentukan konsentrasi fenol sisa.
demineralisasi
yang masing-masing berisi 25 mL larutan fenol 5,
setelah tahap deproteinasi merupakan kadar protein
digoyang dengan shaker selama 2 jam kemudian
pada selisih bobot antara sebelum dan setelah tahap
Penentuan konsentrasi fenol
Purwantiningsih
fenol
Metode yang digunakan untuk menentukan
mengikuti
dimodifikasi.
Goulden
Bufer
4-AAP
dkk.
(1973)
disiapkan
yang
dengan
melarutkan 25 g KHCO3, 25 g HBO2, dan 45 g KOH
dalam 1 L air destilata dan ditambahkan 2 g 4aminoantipirin.
Sebanyak 5 mL larutan standar
fenol 5 ppm direaksikan dengan 1 mL bufer 4-AAP
dan 1 mL larutan K2S2O8 2,5%. Kemudian larutan
dibiarkan selama 10 menit sampai terbentuk zat
merupakan
(1993)
bobot
mengemukakan
mineral.
bahwa
mineral utama yang ada pada kulit udang windu
adalah CaCO3 dan Ca3(PO4)2 yang larut dalam
suasana asam klorida menurut reaksi :
CaCO3 (s) + 2 HCl (aq) CaCl2 (aq) + H2O (g)
+ CO2 (g)
Ca3(PO4)2 (s) + 4 HCl (aq) 2 CaCl2 (aq)
+ Ca(H2PO4)2 (aq)
warna yang stabil dan diukur absobansnya dengan
Proses demineralisasi ditandai dengan terbentuknya
Cara yang sama dilakukan untuk larutan standar
setelah tahap depigmentasi karena zat warna pada
spektrofotometer pada panjang gelombang 650 nm.
fenol 10, 15, 20, 25 ppm dan sampel larutan fenol
setelah diserap kitosan.
Kitin yang terdapat dalam kulit udang windu
yang dikupas tangan masih tercampur protein,
pemisahan
zat
yang
warna
sehingga
meliputi
udang
windu
larut
dalam
aseton.
Purwantiningsih (1993) memperkirakan bahwa zat
kantasantin yang merupakan golongan karotenoid.
Isolasi Kitosan dari Kulit Udang Windu
dan
kulit
warna pada kulit udang windu adalah astasantin dan
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
mineral
gas CO2, sedangkan kadar zat warna diperoleh
diperlukan
deprotenisasi,
Kiosan dari Limbah (Matheis F.J.D.P. Tanasale)
Residu yang dihasilkan adalah kitin berbentuk
serbuk putih agak halus.
Kitosan merupakan produk deasetilasi dari
kitin dengan NaOH pekat panas. No dan Meyers
(1997) menyatakan bahwa konsentrasi NaOH yang
25
digunakan untuk deasetilasi antara 40
suhu 80
150 C.
o
50% pada
Kondisi ini digunakan karena
struktur sel-sel kitin tebal dan kuatnya ikatan
tekuk N-H yang merupakan ciri khas dari kitin yaitu
gugus N-H dalam
NH-CO- (gugus amin yang
terasetilasi). Serapan CH3 dari kitin pada 1313
hidrogen intramolekul antara atom hidrogen pada
1378 cm-1 saling berimpit dengan serapan C-N
Proses
kitin pada 3260
gugus amin dan atom oksigen pada gugus karbonil.
deasetilasi
dalam
basa
kuat
panas
amida di sekitar 1400 cm-1. Serapan gugus amin
3771 cm-1 berada posisi saling
menyebabkan hilangnya gugus asetil pada kitin
berimpit dengan serapan OH karena dalam amin
asetil dengan nitrogen pada gugus amin.
polar maka serapan ikatan N-H menjadi kurang
melalui pemutusan ikatan antara karbon pada gugus
Karakterisasi Residu Kitin dan Kitosan dengan
Spektrofotometri FTIR
dan
Untuk mendukung hasil isolasi, residu kitin
kitosan
dianalisis
spektrofotometer FTIR.
dengan
menggunakan
Gambar 1 menampilkan
spektrum FTIR kedua residu tersebut.
Spektrum FTIR residu kitin (Gambar 1a)
memperlihatkan
beberapa
pola
serapan,
vibrasi ulur C=O, dan 1566 cm
-1
ada pada 2931 cm-1 yang adalah uluran C-H alifatik
yang menyatu dengan pita uluran OH. Serapan ini
lemah karena struktur kitin didominasi oleh R3C-H
(metin)
yang
memiliki
serapan
lemah
(Sastrohamidjojo, 1992). Adanya pita serapan pada
1020
1155 cm-1 menunjukkan vibrasi C
O
dalam cincin kitin dan memiliki banyak puncak
(tajam) adalah
ikatan tunggal C- O juga menunjukkan serapan di
serapan yang muncul pada 3448 cm (lebar) adalah
serapan dari gugus OH, 1660 cm
intensif jika dibandingkan dengan OH. Serapan lain
yaitu
-1
-1
ikatan hidrogen lebih lemah dan sebagian kurang
adalah vibrasi
karena hidroksida dari kitin yang mengandung
sini. Serapan-serapn yang muncul mengindikasikan
(a)
26
(b)
Gambar 1. Spektrum FTIR residu kitin (a) dan kitosan (b) hasil isolasi
J.Alchemy, Vol. 5, No. 1 (Maret 2006), 23-30
bahwa residu hasil isolasi merupakan kitin.
Spektrum FTIR residu kitosan (Gambar 1b)
terdapat pita serapan lebar pada 3436 cm
-1
yang
menunjukkan vibrasi ulur gugus OH yang berikatan
hidrogen. Pita serapan pada 2919 cm merupakan
-1
vibrasi ulur dari gugus C
1084 cm
-1
merupakan gugus
H metilena dan pada
C
O.
Pita-pita
serapan kitosan sama dengan yang dimiliki kitin.
Perbedaan yang terjadi setelah tahap deasetilasi
adalah perubahan spektrum serapan pada 1660 cm
-1
yang menandai regangan C = O. Pergeseran pita
serapan C = O pada 1660 cm ke 1654 cm dan pita
-1
serapan N
-1
H dalam bidang CONH pada 1566 cm-1
yang menurun pada kitosan dan muncul sebagai pita
serapan baru yang lemah pada 1595 cm .
-1
Adanya perubahan spektra FTIR residu kitin
dan kitosan dapat diduga bahwa kitin yang
dideasetilasi telah berubah menjadi kitosan. Akan
atau untuk perbedaan dalam konsentrasi kitosan
berbentuk serbuk.
perbandingan
Domszy dan Roberts (1985) menurut Persamaan 1.
A
DD 1 1655
A3450
1
.100%
.
1,33
(1)
dengan A1655 dan A3450 berturut-turut adalah
absorbans pada 1655 cm-1 (gugus N
asetil) dan
yang
Dari spektrum residu
sekitar 55,19% residu kitin yang telah terdeasetilasi
menjadi kitosan.
Kitosan yang dijual untuk
keperluaan industri memiliki derajat deasetilasi 75
85%.
Dengan demikian, residu kitosan yang
dihasilkan belum termasuk kitosan yang digunakan
untuk keperluan analitik.
Adsorpsi Fenol oleh Kitosan
Adsorpsi fenol oleh kitosan dikaji dengan
menggunakan kapasitas adsorpsi (q) berdasarkan
Persamaan 2 dan persen adsorpsi (% q) berdasarkan
Persamaan 3,
(C0 Ce )V x
m
m
%q
berdasarkan metode baseline yang diusulkan oleh
kitosan
deasetilasi sebesar 55,19%. Artinya bahwa hanya
tidak sempurna terdeasetilasi.
diperlukan perhitungan derajat deasetilasi (DD)
untuk
kitosan (Gambar 1b), hasil perhitungan derajat
tetapi masih adanya pita serapan gugus karbonil
Untuk itu maka
A1655/A3450
terdeasetilasi sempurna.
q
pada 1654 cm-1 menunjukkan bahwa residu kitosan
Faktor 1,33 merupakan nilai
(2)
(C0 Ce )
.100%
C0
(3)
dengan C0 dan Ce adalah konsentrasi fenol mulamula dan pada saat kesetimbangan tercapai, V
adalah volume larutan, serta x adalah jumlah adsobat
(mg) yang teradsorpsi oleh m gram adsorbent. Tabel
2. menampilkan hasil penelitian adsorpsi fenol oleh
kitosan.
Kapasitas
adsorpsi
fenol
oleh
kitosan
Tabel 2. Kapasitas dan persen adsorpsi fenol oleh kitosan
Konsentrasi
fenol awal
(ppm)
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
Konsentrasi fenol
saat setimbang
(ppm)
2,23
5,53
10,18
15,38
20,51
absorbans pada 3450 cm-1 (gugus OH) sebagai
standar internal untuk mengoreksi ketebalan film
Kiosan dari Limbah (Matheis F.J.D.P. Tanasale)
Kapasitas
adsorpsi
(mg/g)
0,277
0,447
0,482
0,462
0,449
Persen
adsorpsi
55,40
44,70
32,13
23,10
17,96
semakin meningkat dan mencapai nilai tertinggi
pada konsentrasi mula-mula 15,00 ppm kemudian
27
kembali menurun dengan meningkatnya konsentrasi.
nilai tersebut dapat diperoleh dengan mengalurkan
dari kapasitas adsorpsi fenol oleh kitosan. Tentang
isoterm Langmuir dan ln (Ce) terhadap ln (q) untuk
Hal ini menunjukkan bahwa ada batas maksimum
kurva hubungan antara Ce terhadap (Ce/q) untuk
hal ini akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.
isoterm Freundlich dengan koefisien korelasi (r2) di
persen adsorpsi dengan bertambahnya konsentrasi
permukaan adsorbent yang heterogen sedangkan
Hasil penelitian juga memperlihatkan penurunan
adsorbat yang disebabkan oleh keterbatasan tempat
pada adsorbent.
Ini berarti bahwa adsorpsi fenol
oleh kitosan akan lebih baik pada konsentrasi yang
rendah sedangkan untuk konsentrasi yang tinggi
disarankan
untuk
melakukan
adsorpsi
secara
bertahap sampai mencapai konsentrasi fenol yang
diperbolehkan.
Persen rata-rata adsorpsi pada
atas 95%. Isoterm Freundlich dikembangkan untuk
isoterm Langmuir berlaku untuk adsorpsi lapisan
tunggal (monolayer) pada permukaan adsorbent
yang homogen (Lynam, et al., 1995).
Isoterm
Langmuir
dan
Freundlich
dari
adsorpsi fenol oleh kitosan dapat dilihat pada
Gambar 2 dan Gambar 3 serta parameter adsorpsi
penelitian ini adalah 34,66%.
Isoterm Adsorpsi
Isoterm adsorpsi merupakan suatu gambaran
tentang keadaan kesetimbangan yang telah terjadi
sehingga tidak ada perubahan dalam konsentrasi
adsorbat pada permukaan adsorbent dan yang ada
pada larutan ruah.
dengan
memetakan
Isoterm adsorpsi diperoleh
distribusi
kesetimbangan
adsorbat dalam fase padat dan cair pada temperatur
tetap.
Ada dua isoterm adsorpsi yang biasa
digunakan untuk kasus adsorpsi spesies tunggal
dalam fase padat dan cair yaitu isoterm Langmuir
Gambar 2. Isoterm adsorpsi Langmuir fenol oleh
kitosan
dan isoterm Freundlich yang secara berturut-turut
dinyatakan oleh Persamaan 4 dan 5.
Ce
C
1
e
q qm K qm
(4)
1
ln q ln K F ln Ce
n
(5)
dengan K adalah tetapan kesetimbangan adsorpsi
menurut proses kesetimbangan dinamika:
ka
AM
A (g) +M (permukaan)
k
d
K
ka
kd
(6)
ka dan kd berturut-turut adalah tetapan laju sorpsi dan
desorpsi, qm adalah kapasitas adsorpsi maksimum,
dan KF serta 1/n adalah parameter perubahan. Nilai-
28
Gambar 3. Isoterm adsorpsi Freundlich fenol oleh
kitosan
pada Tabel 3.
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa isoterm adsorpsi yang diikuti adalah isoterm
J.Alchemy, Vol. 5, No. 1 (Maret 2006), 23-30
Tabel 3. Parameter isoterm adsorpsi fenol oleh kitosan
Isoterm
Adsorpsi
Koefisien
Determinasi
(r2)
Persamaan
Langmuir
Ce
1,6214 2,0881 Ce
q
99,10%
Freundlich
ln q 1,3306 0, 2136ln Ce
68,63%
Parameter Adsorpsi
K
(L/mg)
qm
(mg/g)
1,288
0,479
KF
(mg/g)
(L/mg)1/n
1/n
0,264
0,214
Langmuir karena memiliki koefisien determinasi (r2)
kadar kitosan dalam kulit udang windu sebesar
dengan yang dilakukan oleh Rhee et al. (1998) yang
dapat dimanfaatkan adsorben fenol dari larutan
yang lebih tinggi, yaitu 99,54%. Hasil ini berbeda
menggunakan
sistem
adsorpsi
kolom
dan
menyatakan bahwa adsorpsi fenol oleh kitosan
mengikuti isoterm Freundlich karena kitosan pada
penelitian ini memiliki derajat deasetilasi yang
masih rendah (28,57%) dan sistem adsorpsi yang
digunakan juga berbeda. Ini akan mempengaruhi
afinitas adsorbat terhadap adsorbent (Lynam, et al.,
1995).
Parameter adsorpsi yang diperoleh dari
isoterm Langmuir adalah tetapan kesetimbangan
adsorpsi sebesar 1,288 L/mg dan kapasitas adsorpsi
maksimum sebesar 0,479 mg/g. Lynam et al. (1995)
menyatakan bahwa parameter K merupakan suatu
tetapan yang berhubungan dengan energi atau
entalpi adsorpsi bersih.
Cukup kecilnya nilai K
menandai bahwa energi adsorpsi rendah dan laju
proses sorpsi tidak jauh berbeda dengan laju proses
desorpsi (ka kd) karena waktu pengadukan yang
relatif lebih singkat sehingga proses kesetimbangan
adsorpsi belum terjadi secara sempurna. Hal ini juga
diperkuat dengan nilai qm secara teoretis yang masih
lebih kecil dari kapasitas adsorpsi pada konsentrasi
fenol mula-mula 15,00 ppm yang dapat mencapai
0,482 mg/g (Tabel 2).
IV. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
Kiosan dari Limbah (Matheis F.J.D.P. Tanasale)
19,07% dan derajat deasetilasi sebesar 55,19% serta
dengan persen adsopsi rata-rata sebesar 34,66%.
Selain itu, isoterm adsorpsi yang diikuti adalah
isoterm Langmuir dengan koefisien determinasi (r2)
99,55% dan kapasitas serapan maksimumnya adalah
0,479 mg/g.
V. UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pusat
Pembinaan Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat
-
Ditjen
Dikti
Depdiknas
yang
membantu sebagian dana penelitian lewat Program
Kreativitas Mahasiswa tahun anggaran 2005 dan
kepada
J.
Ralahalu
yang
penelitian ini berlangsung.
membantu
selama
DAFTAR PUSTAKA
Cooper, V.A. dan Nicell, J.A. 1996. Removal of
phenol from a foundry wastewater using
horseradish peroxidase. Water Researh, 30,
954 - 964
Domszy, J.G. dan Roberts, G.A.F.
1985.
Evaluation
of
infrared
spectroscopy
techniques
for
analyzing
chitosan .
Makromol. Chem., 186, 1671 1677
Fernandez, E., Hugi-Cleary, D., Lopez-Ramon,
M.V., dan Stoeckii, F. 2003. Adsorpsi of
phenol from dilute and concentrated aqueous
solutions by activated carbons. Langmuir, 19,
9719 - 9723
Frida, I.F.
2003.
Pemanfaatan kitosan sebagai
29
adsorben terhadap logam berat Pb dan Cd
dalam air Skripsi Sarjana. Jurusan Kimia
FMIPA Universitas Hasanuddin, Makassar
Goulden, P.D., Brooksbank, P. dan Day, M.B.
1973. Determination of submicrogram levels
of phenol ini water. Anal. Chem., 45, 2430
2433
Handayani, N. 2003. Adsorpsi zat warna tartrazine
pada khitosan . Skripsi Sarjana. Jurusan
Kimia FMIPA Universitas Hasanuddin,
Makassar
Klibanov, A.M., Alberti, B.N., Morris, E.D., dan
Felshin, L.M. 1980. Enzymatic removal of
toxic phenols and anilines from waste waters.
J. Appl. Biochem., 2, 414 - 421
Knop, A. dan Pilato, L.A. 1985. Phenolic Resins
Chemistry, Applications and Performance.
Springer-Verlag
Lynam, M.M., Kilduff, J.E. dan Weber, W.J., Jr.
1995. Adsorption of p-nitrophenol from dilute
aqueous solution. J. Chem. Edu., 72, 80 84
No, H.K., Meyers, S.P., dan Lee, K.S. 1989.
Isolation and characterization of chitin from
crawfish shell waste. J. Agric. Food Chem.,
37, 575 579
No, H.K. dan Meyers, S.P. 1997. Preparation of
chitin and chitosan, dalam R.A.A. Muzzarelli
dan M.G. Peter, Chitin Handbook, European
Chitin Society, 475 489
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001,
tanggal 14 Desember 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air
Purwantiningsih.
30
1993.
Isolasi kitin dan
senyawaan kimia dari limbah udang windu
(Penaeus monodon) . Buletin Kimia, 8, 1 - 13
Qadeer, R. dan Rehan, A.H. 2002. A study of the
adsorption of phenol by activated carbon from
aqueous solutions. Turk. J. Chem., 26, 357
361
Rhee, J-S., Jung, M-W., dan Paeng, K-J. 1998.
Evaluation of chitin and chitosan as a sorbent
for the preconcentration of phenol and
chlorophenol ini water. Anal. Sci., 14, 1089 1092
Roostaei, N. dan Tezel, F.H. 2004. Removal of
phenol from aqueous solution by adsorption .
J. Enviro. Manag., 70, 157 164
Salame, I.I. dan Bandosz, T.J. 2003.
Role of
surface chemistry in adsorption of phenol on
activated carbons . J. Coll. Interf. Sci., 264,
307 312
Sastrohamidjojo, H.
1992.
Spektroskopi
Inframerah, Liberty, Yogyakarta
Shunsuke, K.
2004.
Adsorption of harmful
substances by activated carbon from
rubberwood, Bachelor Thesis, Department of
International
Development
Engineering,
School of Engineering, Tokyo Institute of
Technology, Tokyo
Viraraghavan, T. dan Alfaro, J. 1992. Removal of
phenol from wastewater by adsorption on peat,
fly ash and bentonite . J. Environ. Engng., 5,
311 - 317
Wilberg, K., Assenhaimer, C. dan Rubio, J. 2002.
Removal of aqueous phenol catalysed by a
low purity soybean peroxidase . J. Chem.
Technol. Biotechnol., 77, 851 - 857
J.Alchemy, Vol. 5, No. 1 (Maret 2006), 23-30
ISSN 1412-4092
KITOSAN DARI LIMBAH UDANG WINDU (Penaeus monodon)
SEBAGAI ADSORBEN FENOL
Matheis F.J.D.P. Tanasale 1*, Amos Killay 2, Meny Saily 1
1). Jurusan Kimia FMIPA Universitas Pattimura, Ambon
2). Jurusan Biologi FMIPA Universitas Pattimura, Ambon
ABSTRAK
Telah dilakukan isolasi kitosan dari kulit udang windu (Penaeus monodon) dan pemanfaatannya
sebagai adsorben fenol dari suatu larutan. Hasil isolasi kitosan dari kulit udang sebesar 19,07% melalui proses
deproteinasi dengan basa, demineralisasi dengan asam, depigmentasi dengan aseton dan pemutih, dan
deasetilasi dengan basa kuat pada temperatur tinggi.
Karakterisasi isolat kitosan menggunakan
spektrofotometer FTIR dan dengan metode baseline diperoleh derajat deasetilasi sebesar 28,57%. Adsorpsi
fenol oleh kitosan dilakukan pada sistem batch dengan rata-rata penjerapan sebesar 34,66% pada konsentrasi
yang diuji. Isoterm adsorpsi yang diikuti adalah isoterm Langmuir dengan koefisien determinasi (r2) =
99,55%, tetapan kesetimbangan adsorpsi 1,288 L/mg dan kapasitas serapan maksimumnya adalah 0,479 mg/g.
Kata kunci: kitosan, isoterm adsorpsi Langmuir, fenol
I. PENDAHULUAN
Senyawa
fenol
merupakan
salah
satu
senyawa kimia yang walaupun dalam konsentrasi
kecil akan bereaksi dengan klor membentuk
beragam mulai dari ratusan sampai ribuan mg/L dan
sangat sulit terdegradasi (Cooper dan Nicell, 1996).
Di Indonesia baku mutu air untuk senyawa fenol
pada semua kelas mutu air adalah 1 g/L (Peraturan
klorofenol yang menciptakan air berasa dan berbau
Pemerintah No. 82, 2001).
manusia terkena fenol dapat menimbulkan beberapa
mengurangi bahkan menghilangkan konsentrasi
paralisis pada sistem saraf pusat serta dapat merusak
kimia atau fisika.
(Goulden dkk., 1973).
Selain itu, jika tubuh
penyakit seperti degradasi protein, erosi jaringan,
ginjal, hati, dan pankreas (Knop dan Pilato, 1985).
Istilah fenol dalam air limbah tidak hanya
terbatas pada fenol (C6H5OH) tetapi bermacammacam campuran organik yang terdiri dari satu atau
lebih gugus hidroksi. Fenol dan senyawa fenolat
yang ada di lingkungan perairan berasal dari industri
perminyakan, perkayuan dan hasil residu dari
insektisida, herbisida, fungisida serta pestisida.
Konsentrasi fenol pada lingkungan perairan sangat
Korespondensi :
Matheis F.J.D.P. Tanasale
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Pattimura
Ambon
Kiosan dari Limbah (Matheis F.J.D.P. Tanasale)
Berbagai
cara
dapat
dilakukan
untuk
fenol dari lingkungan perairan baik itu proses hayati,
Proses hayati menggunakan
lumpur aktif ternyata tidak efektif pada konsentrasi
rendah dan proses oksidasi kimia memerlukan biaya
yang
tinggi
walaupun
cukup
efisiensi
pada
konsentrasi yang encer (Wilberg, dkk., 2002).
Proses
biokimia
dengan
menggunakan
enzim
(Wilberg, dkk., 2002; Klibanov, dkk., 1980) sangat
terbatas karena hanya enzim tertentu saja yang dapat
dimanfaatkan seperti peroksidase dari kedelai atau
lobak. Salah satu cara yang lebih efektif dan efisien
adalah melalui proses penjerapan atau adsorpsi yang
merupakan suatu gejala yang terjadi di permukaan.
Gaya-gaya
yang
berperan
untuk
proses
ini
23
merupakan hasil dari kombinasi dua faktor penting,
seperti natrium hidroksida (NaOH), asam klorida
adsorbat terhadap adsorben (Lynam, dkk., 1995).
(C6H6O),
yaitu afinitas adsorbat terhadap pelarut dan afinitas
Adsorben yang telah banyak digunakan untuk
(HCl), aseton, natrium hipoklorit (NaClO), fenol
4-aminoantipirin
(4-AAP),
kalium
persulfat (K2S2O8), asam sulfat (H2SO4), kalium
menyerap fenol adalah arang aktif (Roostaei &
bikarbonat (KHCO3), asam borat (HBO2), dan
Bandosz, 2003; Qadeer dan Rehan, 2002) tetapi
dengan menggunakan air destilata.
Tezel, 2004; Fernandez dkkl., 2003; Salame dan
secara ekonomis memerlukan biaya yang cukup
tinggi. Walaupun mampu menyerap fenol sampai
kalium hidroksida (KOH). Semua larutan disiapkan
Alat
Alat-alat yang digunakan adalah beberapa
karbon (250 mg/g), arang aktif yang dibuat dari kayu
peralatan kaca, neraca analitik, oven, termometer,
tinggi
mesh, spektrofotometer FTIR Perkins-Elmer 1600
karet masih memerlukan pemanasan pada suhu yang
(Shunsuke,
2004).
Dengan
demikian
diperlukan pencarian dan eksplorasi adsorbent yang
lebih ekonomis dan secara teknis lebih baik untuk
menjerap fenol.
Viraraghavan dan Alfaro (1992)
telah mencoba menggunakan tanah (peat), abu
hotplate, penyaring Buchner, blender, tapisan 40
dan spektrofotometer grating 752W (Shanghai No 3
Analytical Instrument Factory).
Persiapan sampel
Kulit udang windu yang telah dikupas tangan
terbang dan bentonit untuk mengadsorpsi fenol.
dicuci dan dikeringkan di dalam oven pada suhu
adalah kitosan yang merupakan turunan dari kitin
mendapatkan partikel berukuran 40 mesh.
Salah satu adsorben yang masih kurang digunakan
yang
banyak
terkandung
dalam kulit
hewan
krustacea dan dinding sel fungi. Kitosan diperoleh
dari kitin melalui proses deasetilasi dengan dua cara
yaitu menggunakan basa kuat pada suhu tinggi dan
menggunakan enzim deasetilase.
Pada penelitian sebelumnya, kelompok di
Universitas
Hasanuddin
(Makassar)
telah
menggunakan kitosan sebagai adsorben untuk logam
berat (Frida, 2003) dan zat warna (Handayani, 2003)
dengan waktu kontak 2 jam dan menghasilkan
80oC selama 24 jam lalu dihaluskan untuk
Isolasi kitosan dari kulit udang windu
Prosedur isolasi kitosan dari kulit udang
windu mengikuti metode No dkk. (1989) yang telah
dimodifikasi oleh Purwatiningsih (1993) dan metode
No dan Meyers (1997). Prosedur ini terdiri atas 4
tahap,
yaitu
deproteinasi,
depigmentasi, dan deasetilasi.
demineralisasi,
Pada tahap yang
pertama, kulit udang windu (150 g) ditambahkan
larutan NaOH 3,5% dengan nisbah 1:10 (w/v) dan
dipanaskan pada suhu 65oC selama 2
jam.
kemampuan adsorpsi yang dapat mencapai 98%.
Selanjutnya campuran didinginkan, disaring, dan
kitosan dari kulit udang windu (Penaeus monodon)
dengan residu ditambahkan larutan HCl 1,0 N
Dalam artikel ini dilaporkan kajian tentang isolasi
dan pemanfaatannya sebagai adsorbent fenol dari
larutan.
II. METODOLOGI PENELITIAN
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan adalah kulit
udang windu dan bahan-bahan kimia berkualitas pa
24
residu dikeringkan.
Tahap yang berikut dimulai
dengan nisbah 1:15 (w/v) dan dibiarkan selama 30
menit pada suhu kamar.
Setelah itu campuran
disaring, dicuci dan dikeringkan pada suhu 60oC
selama
4
jam.
depigmentasi,
secukupnya
dan
Tahap
residu
selanjutnya
adalah
diputihkan
dengan
ditambahkan
hasilnya
aseton
menggunakan NaClO 0,315% dengan nisbah 1:10
J.Alchemy, Vol. 5, No. 1 (Maret 2006), 23-30
(w/v), dibiarkan selama 30 menit pada suhu kamar,
demineralisasi dan depigmentasi. Hasil penelitian
ini, residunya dianalisis dengan menggunakan
udang windu dapat dilihat pada Tabel 1.
dicuci dan dikeringkan. Sampai tahap depigmentasi
spektrofotometer FTIR. Selanjutnya melalui tahap
tentang massa dan komposisi zat kimia dalam kulit
Tabel 1. Bobot dan komposisi zat kimia
dalam kulit udang windu.
deasetilasi, residu ditambahkan dengan larutan
NaOH 50% pada suhu 100
150oC selama 6 jam,
Zat
Protein
Mineral
Zat warna
Kitin
Kitosan
didinginkan, disaring, dicuci, dikeringkan, dan
dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer
FTIR.
Adsorpsi fenol oleh kitosan
Adsorpsi fenol oleh kitosan dilakukan pada
sistem batch. Kitosan hasil isolasi dari kulit udang
Bobot (g)
37,65
39,68
22,26
50,42
28,60
Kadar (%)
25,10
26,45
14,84
33,61
19,07
Protein akan larut dalam suasana basa
(0,25 g) ditambahkan ke dalam 5 tabung erlenmeyer
sehingga selisih antara bobot sampel dengan bobot
10, 15, 20, dan 25 ppm. Selanjutnya kelima larutan
yang ada dalam kulit udang windu. Demikian juga
disaring dan ditentukan konsentrasi fenol sisa.
demineralisasi
yang masing-masing berisi 25 mL larutan fenol 5,
setelah tahap deproteinasi merupakan kadar protein
digoyang dengan shaker selama 2 jam kemudian
pada selisih bobot antara sebelum dan setelah tahap
Penentuan konsentrasi fenol
Purwantiningsih
fenol
Metode yang digunakan untuk menentukan
mengikuti
dimodifikasi.
Goulden
Bufer
4-AAP
dkk.
(1973)
disiapkan
yang
dengan
melarutkan 25 g KHCO3, 25 g HBO2, dan 45 g KOH
dalam 1 L air destilata dan ditambahkan 2 g 4aminoantipirin.
Sebanyak 5 mL larutan standar
fenol 5 ppm direaksikan dengan 1 mL bufer 4-AAP
dan 1 mL larutan K2S2O8 2,5%. Kemudian larutan
dibiarkan selama 10 menit sampai terbentuk zat
merupakan
(1993)
bobot
mengemukakan
mineral.
bahwa
mineral utama yang ada pada kulit udang windu
adalah CaCO3 dan Ca3(PO4)2 yang larut dalam
suasana asam klorida menurut reaksi :
CaCO3 (s) + 2 HCl (aq) CaCl2 (aq) + H2O (g)
+ CO2 (g)
Ca3(PO4)2 (s) + 4 HCl (aq) 2 CaCl2 (aq)
+ Ca(H2PO4)2 (aq)
warna yang stabil dan diukur absobansnya dengan
Proses demineralisasi ditandai dengan terbentuknya
Cara yang sama dilakukan untuk larutan standar
setelah tahap depigmentasi karena zat warna pada
spektrofotometer pada panjang gelombang 650 nm.
fenol 10, 15, 20, 25 ppm dan sampel larutan fenol
setelah diserap kitosan.
Kitin yang terdapat dalam kulit udang windu
yang dikupas tangan masih tercampur protein,
pemisahan
zat
yang
warna
sehingga
meliputi
udang
windu
larut
dalam
aseton.
Purwantiningsih (1993) memperkirakan bahwa zat
kantasantin yang merupakan golongan karotenoid.
Isolasi Kitosan dari Kulit Udang Windu
dan
kulit
warna pada kulit udang windu adalah astasantin dan
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
mineral
gas CO2, sedangkan kadar zat warna diperoleh
diperlukan
deprotenisasi,
Kiosan dari Limbah (Matheis F.J.D.P. Tanasale)
Residu yang dihasilkan adalah kitin berbentuk
serbuk putih agak halus.
Kitosan merupakan produk deasetilasi dari
kitin dengan NaOH pekat panas. No dan Meyers
(1997) menyatakan bahwa konsentrasi NaOH yang
25
digunakan untuk deasetilasi antara 40
suhu 80
150 C.
o
50% pada
Kondisi ini digunakan karena
struktur sel-sel kitin tebal dan kuatnya ikatan
tekuk N-H yang merupakan ciri khas dari kitin yaitu
gugus N-H dalam
NH-CO- (gugus amin yang
terasetilasi). Serapan CH3 dari kitin pada 1313
hidrogen intramolekul antara atom hidrogen pada
1378 cm-1 saling berimpit dengan serapan C-N
Proses
kitin pada 3260
gugus amin dan atom oksigen pada gugus karbonil.
deasetilasi
dalam
basa
kuat
panas
amida di sekitar 1400 cm-1. Serapan gugus amin
3771 cm-1 berada posisi saling
menyebabkan hilangnya gugus asetil pada kitin
berimpit dengan serapan OH karena dalam amin
asetil dengan nitrogen pada gugus amin.
polar maka serapan ikatan N-H menjadi kurang
melalui pemutusan ikatan antara karbon pada gugus
Karakterisasi Residu Kitin dan Kitosan dengan
Spektrofotometri FTIR
dan
Untuk mendukung hasil isolasi, residu kitin
kitosan
dianalisis
spektrofotometer FTIR.
dengan
menggunakan
Gambar 1 menampilkan
spektrum FTIR kedua residu tersebut.
Spektrum FTIR residu kitin (Gambar 1a)
memperlihatkan
beberapa
pola
serapan,
vibrasi ulur C=O, dan 1566 cm
-1
ada pada 2931 cm-1 yang adalah uluran C-H alifatik
yang menyatu dengan pita uluran OH. Serapan ini
lemah karena struktur kitin didominasi oleh R3C-H
(metin)
yang
memiliki
serapan
lemah
(Sastrohamidjojo, 1992). Adanya pita serapan pada
1020
1155 cm-1 menunjukkan vibrasi C
O
dalam cincin kitin dan memiliki banyak puncak
(tajam) adalah
ikatan tunggal C- O juga menunjukkan serapan di
serapan yang muncul pada 3448 cm (lebar) adalah
serapan dari gugus OH, 1660 cm
intensif jika dibandingkan dengan OH. Serapan lain
yaitu
-1
-1
ikatan hidrogen lebih lemah dan sebagian kurang
adalah vibrasi
karena hidroksida dari kitin yang mengandung
sini. Serapan-serapn yang muncul mengindikasikan
(a)
26
(b)
Gambar 1. Spektrum FTIR residu kitin (a) dan kitosan (b) hasil isolasi
J.Alchemy, Vol. 5, No. 1 (Maret 2006), 23-30
bahwa residu hasil isolasi merupakan kitin.
Spektrum FTIR residu kitosan (Gambar 1b)
terdapat pita serapan lebar pada 3436 cm
-1
yang
menunjukkan vibrasi ulur gugus OH yang berikatan
hidrogen. Pita serapan pada 2919 cm merupakan
-1
vibrasi ulur dari gugus C
1084 cm
-1
merupakan gugus
H metilena dan pada
C
O.
Pita-pita
serapan kitosan sama dengan yang dimiliki kitin.
Perbedaan yang terjadi setelah tahap deasetilasi
adalah perubahan spektrum serapan pada 1660 cm
-1
yang menandai regangan C = O. Pergeseran pita
serapan C = O pada 1660 cm ke 1654 cm dan pita
-1
serapan N
-1
H dalam bidang CONH pada 1566 cm-1
yang menurun pada kitosan dan muncul sebagai pita
serapan baru yang lemah pada 1595 cm .
-1
Adanya perubahan spektra FTIR residu kitin
dan kitosan dapat diduga bahwa kitin yang
dideasetilasi telah berubah menjadi kitosan. Akan
atau untuk perbedaan dalam konsentrasi kitosan
berbentuk serbuk.
perbandingan
Domszy dan Roberts (1985) menurut Persamaan 1.
A
DD 1 1655
A3450
1
.100%
.
1,33
(1)
dengan A1655 dan A3450 berturut-turut adalah
absorbans pada 1655 cm-1 (gugus N
asetil) dan
yang
Dari spektrum residu
sekitar 55,19% residu kitin yang telah terdeasetilasi
menjadi kitosan.
Kitosan yang dijual untuk
keperluaan industri memiliki derajat deasetilasi 75
85%.
Dengan demikian, residu kitosan yang
dihasilkan belum termasuk kitosan yang digunakan
untuk keperluan analitik.
Adsorpsi Fenol oleh Kitosan
Adsorpsi fenol oleh kitosan dikaji dengan
menggunakan kapasitas adsorpsi (q) berdasarkan
Persamaan 2 dan persen adsorpsi (% q) berdasarkan
Persamaan 3,
(C0 Ce )V x
m
m
%q
berdasarkan metode baseline yang diusulkan oleh
kitosan
deasetilasi sebesar 55,19%. Artinya bahwa hanya
tidak sempurna terdeasetilasi.
diperlukan perhitungan derajat deasetilasi (DD)
untuk
kitosan (Gambar 1b), hasil perhitungan derajat
tetapi masih adanya pita serapan gugus karbonil
Untuk itu maka
A1655/A3450
terdeasetilasi sempurna.
q
pada 1654 cm-1 menunjukkan bahwa residu kitosan
Faktor 1,33 merupakan nilai
(2)
(C0 Ce )
.100%
C0
(3)
dengan C0 dan Ce adalah konsentrasi fenol mulamula dan pada saat kesetimbangan tercapai, V
adalah volume larutan, serta x adalah jumlah adsobat
(mg) yang teradsorpsi oleh m gram adsorbent. Tabel
2. menampilkan hasil penelitian adsorpsi fenol oleh
kitosan.
Kapasitas
adsorpsi
fenol
oleh
kitosan
Tabel 2. Kapasitas dan persen adsorpsi fenol oleh kitosan
Konsentrasi
fenol awal
(ppm)
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
Konsentrasi fenol
saat setimbang
(ppm)
2,23
5,53
10,18
15,38
20,51
absorbans pada 3450 cm-1 (gugus OH) sebagai
standar internal untuk mengoreksi ketebalan film
Kiosan dari Limbah (Matheis F.J.D.P. Tanasale)
Kapasitas
adsorpsi
(mg/g)
0,277
0,447
0,482
0,462
0,449
Persen
adsorpsi
55,40
44,70
32,13
23,10
17,96
semakin meningkat dan mencapai nilai tertinggi
pada konsentrasi mula-mula 15,00 ppm kemudian
27
kembali menurun dengan meningkatnya konsentrasi.
nilai tersebut dapat diperoleh dengan mengalurkan
dari kapasitas adsorpsi fenol oleh kitosan. Tentang
isoterm Langmuir dan ln (Ce) terhadap ln (q) untuk
Hal ini menunjukkan bahwa ada batas maksimum
kurva hubungan antara Ce terhadap (Ce/q) untuk
hal ini akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.
isoterm Freundlich dengan koefisien korelasi (r2) di
persen adsorpsi dengan bertambahnya konsentrasi
permukaan adsorbent yang heterogen sedangkan
Hasil penelitian juga memperlihatkan penurunan
adsorbat yang disebabkan oleh keterbatasan tempat
pada adsorbent.
Ini berarti bahwa adsorpsi fenol
oleh kitosan akan lebih baik pada konsentrasi yang
rendah sedangkan untuk konsentrasi yang tinggi
disarankan
untuk
melakukan
adsorpsi
secara
bertahap sampai mencapai konsentrasi fenol yang
diperbolehkan.
Persen rata-rata adsorpsi pada
atas 95%. Isoterm Freundlich dikembangkan untuk
isoterm Langmuir berlaku untuk adsorpsi lapisan
tunggal (monolayer) pada permukaan adsorbent
yang homogen (Lynam, et al., 1995).
Isoterm
Langmuir
dan
Freundlich
dari
adsorpsi fenol oleh kitosan dapat dilihat pada
Gambar 2 dan Gambar 3 serta parameter adsorpsi
penelitian ini adalah 34,66%.
Isoterm Adsorpsi
Isoterm adsorpsi merupakan suatu gambaran
tentang keadaan kesetimbangan yang telah terjadi
sehingga tidak ada perubahan dalam konsentrasi
adsorbat pada permukaan adsorbent dan yang ada
pada larutan ruah.
dengan
memetakan
Isoterm adsorpsi diperoleh
distribusi
kesetimbangan
adsorbat dalam fase padat dan cair pada temperatur
tetap.
Ada dua isoterm adsorpsi yang biasa
digunakan untuk kasus adsorpsi spesies tunggal
dalam fase padat dan cair yaitu isoterm Langmuir
Gambar 2. Isoterm adsorpsi Langmuir fenol oleh
kitosan
dan isoterm Freundlich yang secara berturut-turut
dinyatakan oleh Persamaan 4 dan 5.
Ce
C
1
e
q qm K qm
(4)
1
ln q ln K F ln Ce
n
(5)
dengan K adalah tetapan kesetimbangan adsorpsi
menurut proses kesetimbangan dinamika:
ka
AM
A (g) +M (permukaan)
k
d
K
ka
kd
(6)
ka dan kd berturut-turut adalah tetapan laju sorpsi dan
desorpsi, qm adalah kapasitas adsorpsi maksimum,
dan KF serta 1/n adalah parameter perubahan. Nilai-
28
Gambar 3. Isoterm adsorpsi Freundlich fenol oleh
kitosan
pada Tabel 3.
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa isoterm adsorpsi yang diikuti adalah isoterm
J.Alchemy, Vol. 5, No. 1 (Maret 2006), 23-30
Tabel 3. Parameter isoterm adsorpsi fenol oleh kitosan
Isoterm
Adsorpsi
Koefisien
Determinasi
(r2)
Persamaan
Langmuir
Ce
1,6214 2,0881 Ce
q
99,10%
Freundlich
ln q 1,3306 0, 2136ln Ce
68,63%
Parameter Adsorpsi
K
(L/mg)
qm
(mg/g)
1,288
0,479
KF
(mg/g)
(L/mg)1/n
1/n
0,264
0,214
Langmuir karena memiliki koefisien determinasi (r2)
kadar kitosan dalam kulit udang windu sebesar
dengan yang dilakukan oleh Rhee et al. (1998) yang
dapat dimanfaatkan adsorben fenol dari larutan
yang lebih tinggi, yaitu 99,54%. Hasil ini berbeda
menggunakan
sistem
adsorpsi
kolom
dan
menyatakan bahwa adsorpsi fenol oleh kitosan
mengikuti isoterm Freundlich karena kitosan pada
penelitian ini memiliki derajat deasetilasi yang
masih rendah (28,57%) dan sistem adsorpsi yang
digunakan juga berbeda. Ini akan mempengaruhi
afinitas adsorbat terhadap adsorbent (Lynam, et al.,
1995).
Parameter adsorpsi yang diperoleh dari
isoterm Langmuir adalah tetapan kesetimbangan
adsorpsi sebesar 1,288 L/mg dan kapasitas adsorpsi
maksimum sebesar 0,479 mg/g. Lynam et al. (1995)
menyatakan bahwa parameter K merupakan suatu
tetapan yang berhubungan dengan energi atau
entalpi adsorpsi bersih.
Cukup kecilnya nilai K
menandai bahwa energi adsorpsi rendah dan laju
proses sorpsi tidak jauh berbeda dengan laju proses
desorpsi (ka kd) karena waktu pengadukan yang
relatif lebih singkat sehingga proses kesetimbangan
adsorpsi belum terjadi secara sempurna. Hal ini juga
diperkuat dengan nilai qm secara teoretis yang masih
lebih kecil dari kapasitas adsorpsi pada konsentrasi
fenol mula-mula 15,00 ppm yang dapat mencapai
0,482 mg/g (Tabel 2).
IV. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
Kiosan dari Limbah (Matheis F.J.D.P. Tanasale)
19,07% dan derajat deasetilasi sebesar 55,19% serta
dengan persen adsopsi rata-rata sebesar 34,66%.
Selain itu, isoterm adsorpsi yang diikuti adalah
isoterm Langmuir dengan koefisien determinasi (r2)
99,55% dan kapasitas serapan maksimumnya adalah
0,479 mg/g.
V. UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pusat
Pembinaan Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat
-
Ditjen
Dikti
Depdiknas
yang
membantu sebagian dana penelitian lewat Program
Kreativitas Mahasiswa tahun anggaran 2005 dan
kepada
J.
Ralahalu
yang
penelitian ini berlangsung.
membantu
selama
DAFTAR PUSTAKA
Cooper, V.A. dan Nicell, J.A. 1996. Removal of
phenol from a foundry wastewater using
horseradish peroxidase. Water Researh, 30,
954 - 964
Domszy, J.G. dan Roberts, G.A.F.
1985.
Evaluation
of
infrared
spectroscopy
techniques
for
analyzing
chitosan .
Makromol. Chem., 186, 1671 1677
Fernandez, E., Hugi-Cleary, D., Lopez-Ramon,
M.V., dan Stoeckii, F. 2003. Adsorpsi of
phenol from dilute and concentrated aqueous
solutions by activated carbons. Langmuir, 19,
9719 - 9723
Frida, I.F.
2003.
Pemanfaatan kitosan sebagai
29
adsorben terhadap logam berat Pb dan Cd
dalam air Skripsi Sarjana. Jurusan Kimia
FMIPA Universitas Hasanuddin, Makassar
Goulden, P.D., Brooksbank, P. dan Day, M.B.
1973. Determination of submicrogram levels
of phenol ini water. Anal. Chem., 45, 2430
2433
Handayani, N. 2003. Adsorpsi zat warna tartrazine
pada khitosan . Skripsi Sarjana. Jurusan
Kimia FMIPA Universitas Hasanuddin,
Makassar
Klibanov, A.M., Alberti, B.N., Morris, E.D., dan
Felshin, L.M. 1980. Enzymatic removal of
toxic phenols and anilines from waste waters.
J. Appl. Biochem., 2, 414 - 421
Knop, A. dan Pilato, L.A. 1985. Phenolic Resins
Chemistry, Applications and Performance.
Springer-Verlag
Lynam, M.M., Kilduff, J.E. dan Weber, W.J., Jr.
1995. Adsorption of p-nitrophenol from dilute
aqueous solution. J. Chem. Edu., 72, 80 84
No, H.K., Meyers, S.P., dan Lee, K.S. 1989.
Isolation and characterization of chitin from
crawfish shell waste. J. Agric. Food Chem.,
37, 575 579
No, H.K. dan Meyers, S.P. 1997. Preparation of
chitin and chitosan, dalam R.A.A. Muzzarelli
dan M.G. Peter, Chitin Handbook, European
Chitin Society, 475 489
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001,
tanggal 14 Desember 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air
Purwantiningsih.
30
1993.
Isolasi kitin dan
senyawaan kimia dari limbah udang windu
(Penaeus monodon) . Buletin Kimia, 8, 1 - 13
Qadeer, R. dan Rehan, A.H. 2002. A study of the
adsorption of phenol by activated carbon from
aqueous solutions. Turk. J. Chem., 26, 357
361
Rhee, J-S., Jung, M-W., dan Paeng, K-J. 1998.
Evaluation of chitin and chitosan as a sorbent
for the preconcentration of phenol and
chlorophenol ini water. Anal. Sci., 14, 1089 1092
Roostaei, N. dan Tezel, F.H. 2004. Removal of
phenol from aqueous solution by adsorption .
J. Enviro. Manag., 70, 157 164
Salame, I.I. dan Bandosz, T.J. 2003.
Role of
surface chemistry in adsorption of phenol on
activated carbons . J. Coll. Interf. Sci., 264,
307 312
Sastrohamidjojo, H.
1992.
Spektroskopi
Inframerah, Liberty, Yogyakarta
Shunsuke, K.
2004.
Adsorption of harmful
substances by activated carbon from
rubberwood, Bachelor Thesis, Department of
International
Development
Engineering,
School of Engineering, Tokyo Institute of
Technology, Tokyo
Viraraghavan, T. dan Alfaro, J. 1992. Removal of
phenol from wastewater by adsorption on peat,
fly ash and bentonite . J. Environ. Engng., 5,
311 - 317
Wilberg, K., Assenhaimer, C. dan Rubio, J. 2002.
Removal of aqueous phenol catalysed by a
low purity soybean peroxidase . J. Chem.
Technol. Biotechnol., 77, 851 - 857
J.Alchemy, Vol. 5, No. 1 (Maret 2006), 23-30