KITOSAN DARI LIMBAH UDANG WINDU Penaeus

J.Alchemy, Vol. 5, No. 1 (Maret 2006), 23-30
ISSN 1412-4092
KITOSAN DARI LIMBAH UDANG WINDU (Penaeus monodon)
SEBAGAI ADSORBEN FENOL

Matheis F.J.D.P. Tanasale 1*, Amos Killay 2, Meny Saily 1
1). Jurusan Kimia FMIPA Universitas Pattimura, Ambon
2). Jurusan Biologi FMIPA Universitas Pattimura, Ambon
ABSTRAK
Telah dilakukan isolasi kitosan dari kulit udang windu (Penaeus monodon) dan pemanfaatannya
sebagai adsorben fenol dari suatu larutan. Hasil isolasi kitosan dari kulit udang sebesar 19,07% melalui proses
deproteinasi dengan basa, demineralisasi dengan asam, depigmentasi dengan aseton dan pemutih, dan
deasetilasi dengan basa kuat pada temperatur tinggi.
Karakterisasi isolat kitosan menggunakan
spektrofotometer FTIR dan dengan metode baseline diperoleh derajat deasetilasi sebesar 28,57%. Adsorpsi
fenol oleh kitosan dilakukan pada sistem batch dengan rata-rata penjerapan sebesar 34,66% pada konsentrasi
yang diuji. Isoterm adsorpsi yang diikuti adalah isoterm Langmuir dengan koefisien determinasi (r2) =
99,55%, tetapan kesetimbangan adsorpsi 1,288 L/mg dan kapasitas serapan maksimumnya adalah 0,479 mg/g.
Kata kunci: kitosan, isoterm adsorpsi Langmuir, fenol

I. PENDAHULUAN

Senyawa

fenol

merupakan

salah

satu

senyawa kimia yang walaupun dalam konsentrasi

kecil akan bereaksi dengan klor membentuk

beragam mulai dari ratusan sampai ribuan mg/L dan

sangat sulit terdegradasi (Cooper dan Nicell, 1996).
Di Indonesia baku mutu air untuk senyawa fenol

pada semua kelas mutu air adalah 1 g/L (Peraturan


klorofenol yang menciptakan air berasa dan berbau

Pemerintah No. 82, 2001).

manusia terkena fenol dapat menimbulkan beberapa

mengurangi bahkan menghilangkan konsentrasi

paralisis pada sistem saraf pusat serta dapat merusak

kimia atau fisika.

(Goulden dkk., 1973).

Selain itu, jika tubuh

penyakit seperti degradasi protein, erosi jaringan,
ginjal, hati, dan pankreas (Knop dan Pilato, 1985).


Istilah fenol dalam air limbah tidak hanya

terbatas pada fenol (C6H5OH) tetapi bermacammacam campuran organik yang terdiri dari satu atau

lebih gugus hidroksi. Fenol dan senyawa fenolat
yang ada di lingkungan perairan berasal dari industri

perminyakan, perkayuan dan hasil residu dari

insektisida, herbisida, fungisida serta pestisida.
Konsentrasi fenol pada lingkungan perairan sangat
Korespondensi :
Matheis F.J.D.P. Tanasale
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Pattimura
Ambon

Kiosan dari Limbah (Matheis F.J.D.P. Tanasale)

Berbagai


cara

dapat

dilakukan

untuk

fenol dari lingkungan perairan baik itu proses hayati,

Proses hayati menggunakan

lumpur aktif ternyata tidak efektif pada konsentrasi
rendah dan proses oksidasi kimia memerlukan biaya
yang

tinggi

walaupun


cukup

efisiensi

pada

konsentrasi yang encer (Wilberg, dkk., 2002).
Proses

biokimia

dengan

menggunakan

enzim

(Wilberg, dkk., 2002; Klibanov, dkk., 1980) sangat
terbatas karena hanya enzim tertentu saja yang dapat


dimanfaatkan seperti peroksidase dari kedelai atau

lobak. Salah satu cara yang lebih efektif dan efisien

adalah melalui proses penjerapan atau adsorpsi yang
merupakan suatu gejala yang terjadi di permukaan.
Gaya-gaya

yang

berperan

untuk

proses

ini

23


merupakan hasil dari kombinasi dua faktor penting,

seperti natrium hidroksida (NaOH), asam klorida

adsorbat terhadap adsorben (Lynam, dkk., 1995).

(C6H6O),

yaitu afinitas adsorbat terhadap pelarut dan afinitas

Adsorben yang telah banyak digunakan untuk

(HCl), aseton, natrium hipoklorit (NaClO), fenol
4-aminoantipirin

(4-AAP),

kalium

persulfat (K2S2O8), asam sulfat (H2SO4), kalium


menyerap fenol adalah arang aktif (Roostaei &

bikarbonat (KHCO3), asam borat (HBO2), dan

Bandosz, 2003; Qadeer dan Rehan, 2002) tetapi

dengan menggunakan air destilata.

Tezel, 2004; Fernandez dkkl., 2003; Salame dan
secara ekonomis memerlukan biaya yang cukup

tinggi. Walaupun mampu menyerap fenol sampai

kalium hidroksida (KOH). Semua larutan disiapkan
Alat

Alat-alat yang digunakan adalah beberapa

karbon (250 mg/g), arang aktif yang dibuat dari kayu


peralatan kaca, neraca analitik, oven, termometer,

tinggi

mesh, spektrofotometer FTIR Perkins-Elmer 1600

karet masih memerlukan pemanasan pada suhu yang
(Shunsuke,

2004).

Dengan

demikian

diperlukan pencarian dan eksplorasi adsorbent yang
lebih ekonomis dan secara teknis lebih baik untuk
menjerap fenol.


Viraraghavan dan Alfaro (1992)

telah mencoba menggunakan tanah (peat), abu

hotplate, penyaring Buchner, blender, tapisan 40

dan spektrofotometer grating 752W (Shanghai No 3
Analytical Instrument Factory).
Persiapan sampel

Kulit udang windu yang telah dikupas tangan

terbang dan bentonit untuk mengadsorpsi fenol.

dicuci dan dikeringkan di dalam oven pada suhu

adalah kitosan yang merupakan turunan dari kitin

mendapatkan partikel berukuran 40 mesh.


Salah satu adsorben yang masih kurang digunakan
yang

banyak

terkandung

dalam kulit

hewan

krustacea dan dinding sel fungi. Kitosan diperoleh
dari kitin melalui proses deasetilasi dengan dua cara

yaitu menggunakan basa kuat pada suhu tinggi dan
menggunakan enzim deasetilase.

Pada penelitian sebelumnya, kelompok di

Universitas

Hasanuddin

(Makassar)

telah

menggunakan kitosan sebagai adsorben untuk logam
berat (Frida, 2003) dan zat warna (Handayani, 2003)
dengan waktu kontak 2 jam dan menghasilkan

80oC selama 24 jam lalu dihaluskan untuk
Isolasi kitosan dari kulit udang windu

Prosedur isolasi kitosan dari kulit udang

windu mengikuti metode No dkk. (1989) yang telah

dimodifikasi oleh Purwatiningsih (1993) dan metode
No dan Meyers (1997). Prosedur ini terdiri atas 4
tahap,

yaitu

deproteinasi,

depigmentasi, dan deasetilasi.

demineralisasi,

Pada tahap yang

pertama, kulit udang windu (150 g) ditambahkan
larutan NaOH 3,5% dengan nisbah 1:10 (w/v) dan
dipanaskan pada suhu 65oC selama 2

jam.

kemampuan adsorpsi yang dapat mencapai 98%.

Selanjutnya campuran didinginkan, disaring, dan

kitosan dari kulit udang windu (Penaeus monodon)

dengan residu ditambahkan larutan HCl 1,0 N

Dalam artikel ini dilaporkan kajian tentang isolasi

dan pemanfaatannya sebagai adsorbent fenol dari
larutan.

II. METODOLOGI PENELITIAN
Bahan

Bahan-bahan yang digunakan adalah kulit

udang windu dan bahan-bahan kimia berkualitas pa

24

residu dikeringkan.

Tahap yang berikut dimulai

dengan nisbah 1:15 (w/v) dan dibiarkan selama 30
menit pada suhu kamar.

Setelah itu campuran

disaring, dicuci dan dikeringkan pada suhu 60oC

selama

4

jam.

depigmentasi,
secukupnya

dan

Tahap

residu

selanjutnya

adalah

diputihkan

dengan

ditambahkan

hasilnya

aseton

menggunakan NaClO 0,315% dengan nisbah 1:10

J.Alchemy, Vol. 5, No. 1 (Maret 2006), 23-30

(w/v), dibiarkan selama 30 menit pada suhu kamar,

demineralisasi dan depigmentasi. Hasil penelitian

ini, residunya dianalisis dengan menggunakan

udang windu dapat dilihat pada Tabel 1.

dicuci dan dikeringkan. Sampai tahap depigmentasi

spektrofotometer FTIR. Selanjutnya melalui tahap

tentang massa dan komposisi zat kimia dalam kulit

Tabel 1. Bobot dan komposisi zat kimia
dalam kulit udang windu.

deasetilasi, residu ditambahkan dengan larutan
NaOH 50% pada suhu 100

150oC selama 6 jam,

Zat
Protein
Mineral
Zat warna
Kitin
Kitosan

didinginkan, disaring, dicuci, dikeringkan, dan
dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer
FTIR.

Adsorpsi fenol oleh kitosan

Adsorpsi fenol oleh kitosan dilakukan pada

sistem batch. Kitosan hasil isolasi dari kulit udang

Bobot (g)
37,65
39,68
22,26
50,42
28,60

Kadar (%)
25,10
26,45
14,84
33,61
19,07

Protein akan larut dalam suasana basa

(0,25 g) ditambahkan ke dalam 5 tabung erlenmeyer

sehingga selisih antara bobot sampel dengan bobot

10, 15, 20, dan 25 ppm. Selanjutnya kelima larutan

yang ada dalam kulit udang windu. Demikian juga

disaring dan ditentukan konsentrasi fenol sisa.

demineralisasi

yang masing-masing berisi 25 mL larutan fenol 5,

setelah tahap deproteinasi merupakan kadar protein

digoyang dengan shaker selama 2 jam kemudian

pada selisih bobot antara sebelum dan setelah tahap

Penentuan konsentrasi fenol

Purwantiningsih

fenol

Metode yang digunakan untuk menentukan
mengikuti

dimodifikasi.

Goulden

Bufer

4-AAP

dkk.

(1973)

disiapkan

yang

dengan

melarutkan 25 g KHCO3, 25 g HBO2, dan 45 g KOH

dalam 1 L air destilata dan ditambahkan 2 g 4aminoantipirin.

Sebanyak 5 mL larutan standar

fenol 5 ppm direaksikan dengan 1 mL bufer 4-AAP

dan 1 mL larutan K2S2O8 2,5%. Kemudian larutan

dibiarkan selama 10 menit sampai terbentuk zat

merupakan

(1993)

bobot

mengemukakan

mineral.

bahwa

mineral utama yang ada pada kulit udang windu

adalah CaCO3 dan Ca3(PO4)2 yang larut dalam

suasana asam klorida menurut reaksi :

CaCO3 (s) + 2 HCl (aq)  CaCl2 (aq) + H2O (g)

+ CO2 (g)

Ca3(PO4)2 (s) + 4 HCl (aq)  2 CaCl2 (aq)
+ Ca(H2PO4)2 (aq)

warna yang stabil dan diukur absobansnya dengan

Proses demineralisasi ditandai dengan terbentuknya

Cara yang sama dilakukan untuk larutan standar

setelah tahap depigmentasi karena zat warna pada

spektrofotometer pada panjang gelombang 650 nm.

fenol 10, 15, 20, 25 ppm dan sampel larutan fenol
setelah diserap kitosan.

Kitin yang terdapat dalam kulit udang windu

yang dikupas tangan masih tercampur protein,
pemisahan

zat

yang

warna

sehingga

meliputi

udang

windu

larut

dalam

aseton.

Purwantiningsih (1993) memperkirakan bahwa zat

kantasantin yang merupakan golongan karotenoid.

Isolasi Kitosan dari Kulit Udang Windu

dan

kulit

warna pada kulit udang windu adalah astasantin dan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

mineral

gas CO2, sedangkan kadar zat warna diperoleh

diperlukan

deprotenisasi,

Kiosan dari Limbah (Matheis F.J.D.P. Tanasale)

Residu yang dihasilkan adalah kitin berbentuk
serbuk putih agak halus.

Kitosan merupakan produk deasetilasi dari

kitin dengan NaOH pekat panas. No dan Meyers

(1997) menyatakan bahwa konsentrasi NaOH yang

25

digunakan untuk deasetilasi antara 40
suhu 80

150 C.
o

50% pada

Kondisi ini digunakan karena

struktur sel-sel kitin tebal dan kuatnya ikatan

tekuk N-H yang merupakan ciri khas dari kitin yaitu
gugus N-H dalam

NH-CO- (gugus amin yang

terasetilasi). Serapan CH3 dari kitin pada 1313

hidrogen intramolekul antara atom hidrogen pada

1378 cm-1 saling berimpit dengan serapan C-N

Proses

kitin pada 3260

gugus amin dan atom oksigen pada gugus karbonil.
deasetilasi

dalam

basa

kuat

panas

amida di sekitar 1400 cm-1. Serapan gugus amin

3771 cm-1 berada posisi saling

menyebabkan hilangnya gugus asetil pada kitin

berimpit dengan serapan OH karena dalam amin

asetil dengan nitrogen pada gugus amin.

polar maka serapan ikatan N-H menjadi kurang

melalui pemutusan ikatan antara karbon pada gugus
Karakterisasi Residu Kitin dan Kitosan dengan
Spektrofotometri FTIR
dan

Untuk mendukung hasil isolasi, residu kitin

kitosan

dianalisis

spektrofotometer FTIR.

dengan

menggunakan

Gambar 1 menampilkan

spektrum FTIR kedua residu tersebut.

Spektrum FTIR residu kitin (Gambar 1a)

memperlihatkan

beberapa

pola

serapan,

vibrasi ulur C=O, dan 1566 cm

-1

ada pada 2931 cm-1 yang adalah uluran C-H alifatik

yang menyatu dengan pita uluran OH. Serapan ini

lemah karena struktur kitin didominasi oleh R3C-H

(metin)

yang

memiliki

serapan

lemah

(Sastrohamidjojo, 1992). Adanya pita serapan pada
1020

1155 cm-1 menunjukkan vibrasi C

O

dalam cincin kitin dan memiliki banyak puncak

(tajam) adalah

ikatan tunggal C- O juga menunjukkan serapan di

serapan yang muncul pada 3448 cm (lebar) adalah

serapan dari gugus OH, 1660 cm

intensif jika dibandingkan dengan OH. Serapan lain

yaitu

-1

-1

ikatan hidrogen lebih lemah dan sebagian kurang

adalah vibrasi

karena hidroksida dari kitin yang mengandung
sini. Serapan-serapn yang muncul mengindikasikan

(a)

26

(b)
Gambar 1. Spektrum FTIR residu kitin (a) dan kitosan (b) hasil isolasi

J.Alchemy, Vol. 5, No. 1 (Maret 2006), 23-30

bahwa residu hasil isolasi merupakan kitin.

Spektrum FTIR residu kitosan (Gambar 1b)

terdapat pita serapan lebar pada 3436 cm

-1

yang

menunjukkan vibrasi ulur gugus OH yang berikatan

hidrogen. Pita serapan pada 2919 cm merupakan
-1

vibrasi ulur dari gugus C
1084 cm

-1

merupakan gugus

H metilena dan pada
C

O.

Pita-pita

serapan kitosan sama dengan yang dimiliki kitin.
Perbedaan yang terjadi setelah tahap deasetilasi
adalah perubahan spektrum serapan pada 1660 cm

-1

yang menandai regangan C = O. Pergeseran pita

serapan C = O pada 1660 cm ke 1654 cm dan pita
-1

serapan N

-1

H dalam bidang CONH pada 1566 cm-1

yang menurun pada kitosan dan muncul sebagai pita
serapan baru yang lemah pada 1595 cm .
-1

Adanya perubahan spektra FTIR residu kitin

dan kitosan dapat diduga bahwa kitin yang
dideasetilasi telah berubah menjadi kitosan. Akan

atau untuk perbedaan dalam konsentrasi kitosan
berbentuk serbuk.
perbandingan

Domszy dan Roberts (1985) menurut Persamaan 1.

 A
DD  1   1655
  A3450

 1 
 .100%
.
 1,33 

(1)

dengan A1655 dan A3450 berturut-turut adalah
absorbans pada 1655 cm-1 (gugus N

asetil) dan

yang

Dari spektrum residu

sekitar 55,19% residu kitin yang telah terdeasetilasi
menjadi kitosan.

Kitosan yang dijual untuk

keperluaan industri memiliki derajat deasetilasi 75
85%.

Dengan demikian, residu kitosan yang

dihasilkan belum termasuk kitosan yang digunakan
untuk keperluan analitik.

Adsorpsi Fenol oleh Kitosan

Adsorpsi fenol oleh kitosan dikaji dengan

menggunakan kapasitas adsorpsi (q) berdasarkan

Persamaan 2 dan persen adsorpsi (% q) berdasarkan

Persamaan 3,

(C0  Ce )V x

m
m

%q

berdasarkan metode baseline yang diusulkan oleh

kitosan

deasetilasi sebesar 55,19%. Artinya bahwa hanya

tidak sempurna terdeasetilasi.

diperlukan perhitungan derajat deasetilasi (DD)

untuk

kitosan (Gambar 1b), hasil perhitungan derajat

tetapi masih adanya pita serapan gugus karbonil
Untuk itu maka

A1655/A3450

terdeasetilasi sempurna.

q

pada 1654 cm-1 menunjukkan bahwa residu kitosan

Faktor 1,33 merupakan nilai

(2)

(C0  Ce )
.100%
C0

(3)

dengan C0 dan Ce adalah konsentrasi fenol mulamula dan pada saat kesetimbangan tercapai, V
adalah volume larutan, serta x adalah jumlah adsobat

(mg) yang teradsorpsi oleh m gram adsorbent. Tabel
2. menampilkan hasil penelitian adsorpsi fenol oleh
kitosan.

Kapasitas

adsorpsi

fenol

oleh

kitosan

Tabel 2. Kapasitas dan persen adsorpsi fenol oleh kitosan
Konsentrasi
fenol awal
(ppm)
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00

Konsentrasi fenol
saat setimbang
(ppm)
2,23
5,53
10,18
15,38
20,51

absorbans pada 3450 cm-1 (gugus OH) sebagai

standar internal untuk mengoreksi ketebalan film

Kiosan dari Limbah (Matheis F.J.D.P. Tanasale)

Kapasitas
adsorpsi
(mg/g)
0,277
0,447
0,482
0,462
0,449

Persen
adsorpsi
55,40
44,70
32,13
23,10
17,96

semakin meningkat dan mencapai nilai tertinggi

pada konsentrasi mula-mula 15,00 ppm kemudian

27

kembali menurun dengan meningkatnya konsentrasi.

nilai tersebut dapat diperoleh dengan mengalurkan

dari kapasitas adsorpsi fenol oleh kitosan. Tentang

isoterm Langmuir dan ln (Ce) terhadap ln (q) untuk

Hal ini menunjukkan bahwa ada batas maksimum

kurva hubungan antara Ce terhadap (Ce/q) untuk

hal ini akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.

isoterm Freundlich dengan koefisien korelasi (r2) di

persen adsorpsi dengan bertambahnya konsentrasi

permukaan adsorbent yang heterogen sedangkan

Hasil penelitian juga memperlihatkan penurunan
adsorbat yang disebabkan oleh keterbatasan tempat
pada adsorbent.

Ini berarti bahwa adsorpsi fenol

oleh kitosan akan lebih baik pada konsentrasi yang
rendah sedangkan untuk konsentrasi yang tinggi
disarankan

untuk

melakukan

adsorpsi

secara

bertahap sampai mencapai konsentrasi fenol yang
diperbolehkan.

Persen rata-rata adsorpsi pada

atas 95%. Isoterm Freundlich dikembangkan untuk
isoterm Langmuir berlaku untuk adsorpsi lapisan
tunggal (monolayer) pada permukaan adsorbent
yang homogen (Lynam, et al., 1995).
Isoterm

Langmuir

dan

Freundlich

dari

adsorpsi fenol oleh kitosan dapat dilihat pada
Gambar 2 dan Gambar 3 serta parameter adsorpsi

penelitian ini adalah 34,66%.
Isoterm Adsorpsi

Isoterm adsorpsi merupakan suatu gambaran

tentang keadaan kesetimbangan yang telah terjadi
sehingga tidak ada perubahan dalam konsentrasi

adsorbat pada permukaan adsorbent dan yang ada
pada larutan ruah.
dengan

memetakan

Isoterm adsorpsi diperoleh
distribusi

kesetimbangan

adsorbat dalam fase padat dan cair pada temperatur
tetap.

Ada dua isoterm adsorpsi yang biasa

digunakan untuk kasus adsorpsi spesies tunggal
dalam fase padat dan cair yaitu isoterm Langmuir

Gambar 2. Isoterm adsorpsi Langmuir fenol oleh
kitosan

dan isoterm Freundlich yang secara berturut-turut
dinyatakan oleh Persamaan 4 dan 5.

Ce
C
1

 e
q qm K qm

(4)

1
ln q  ln K F  ln Ce
n

(5)

dengan K adalah tetapan kesetimbangan adsorpsi

menurut proses kesetimbangan dinamika:
ka

 AM
A (g) +M (permukaan) 

k
d

K

ka
kd

(6)

ka dan kd berturut-turut adalah tetapan laju sorpsi dan
desorpsi, qm adalah kapasitas adsorpsi maksimum,

dan KF serta 1/n adalah parameter perubahan. Nilai-

28

Gambar 3. Isoterm adsorpsi Freundlich fenol oleh
kitosan
pada Tabel 3.

Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa isoterm adsorpsi yang diikuti adalah isoterm

J.Alchemy, Vol. 5, No. 1 (Maret 2006), 23-30

Tabel 3. Parameter isoterm adsorpsi fenol oleh kitosan
Isoterm
Adsorpsi

Koefisien
Determinasi
(r2)

Persamaan

Langmuir

Ce
 1,6214  2,0881 Ce
q

99,10%

Freundlich

ln q  1,3306  0, 2136ln Ce

68,63%

Parameter Adsorpsi
K
(L/mg)

qm
(mg/g)

1,288

0,479

KF
(mg/g)
(L/mg)1/n

1/n

0,264

0,214

Langmuir karena memiliki koefisien determinasi (r2)

kadar kitosan dalam kulit udang windu sebesar

dengan yang dilakukan oleh Rhee et al. (1998) yang

dapat dimanfaatkan adsorben fenol dari larutan

yang lebih tinggi, yaitu 99,54%. Hasil ini berbeda
menggunakan

sistem

adsorpsi

kolom

dan

menyatakan bahwa adsorpsi fenol oleh kitosan
mengikuti isoterm Freundlich karena kitosan pada
penelitian ini memiliki derajat deasetilasi yang

masih rendah (28,57%) dan sistem adsorpsi yang
digunakan juga berbeda. Ini akan mempengaruhi

afinitas adsorbat terhadap adsorbent (Lynam, et al.,
1995).

Parameter adsorpsi yang diperoleh dari

isoterm Langmuir adalah tetapan kesetimbangan

adsorpsi sebesar 1,288 L/mg dan kapasitas adsorpsi

maksimum sebesar 0,479 mg/g. Lynam et al. (1995)
menyatakan bahwa parameter K merupakan suatu
tetapan yang berhubungan dengan energi atau
entalpi adsorpsi bersih.

Cukup kecilnya nilai K

menandai bahwa energi adsorpsi rendah dan laju

proses sorpsi tidak jauh berbeda dengan laju proses
desorpsi (ka  kd) karena waktu pengadukan yang

relatif lebih singkat sehingga proses kesetimbangan
adsorpsi belum terjadi secara sempurna. Hal ini juga

diperkuat dengan nilai qm secara teoretis yang masih

lebih kecil dari kapasitas adsorpsi pada konsentrasi

fenol mula-mula 15,00 ppm yang dapat mencapai
0,482 mg/g (Tabel 2).
IV. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa

Kiosan dari Limbah (Matheis F.J.D.P. Tanasale)

19,07% dan derajat deasetilasi sebesar 55,19% serta
dengan persen adsopsi rata-rata sebesar 34,66%.
Selain itu, isoterm adsorpsi yang diikuti adalah

isoterm Langmuir dengan koefisien determinasi (r2)

99,55% dan kapasitas serapan maksimumnya adalah
0,479 mg/g.

V. UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pusat
Pembinaan Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat

-

Ditjen

Dikti

Depdiknas

yang

membantu sebagian dana penelitian lewat Program

Kreativitas Mahasiswa tahun anggaran 2005 dan
kepada

J.

Ralahalu

yang

penelitian ini berlangsung.

membantu

selama

DAFTAR PUSTAKA

Cooper, V.A. dan Nicell, J.A. 1996. Removal of
phenol from a foundry wastewater using
horseradish peroxidase. Water Researh, 30,
954 - 964

Domszy, J.G. dan Roberts, G.A.F.
1985.
Evaluation
of
infrared
spectroscopy
techniques
for
analyzing
chitosan .
Makromol. Chem., 186, 1671 1677
Fernandez, E., Hugi-Cleary, D., Lopez-Ramon,
M.V., dan Stoeckii, F. 2003. Adsorpsi of
phenol from dilute and concentrated aqueous
solutions by activated carbons. Langmuir, 19,
9719 - 9723

Frida, I.F.

2003.

Pemanfaatan kitosan sebagai

29

adsorben terhadap logam berat Pb dan Cd
dalam air Skripsi Sarjana. Jurusan Kimia
FMIPA Universitas Hasanuddin, Makassar

Goulden, P.D., Brooksbank, P. dan Day, M.B.
1973. Determination of submicrogram levels
of phenol ini water. Anal. Chem., 45, 2430
2433

Handayani, N. 2003. Adsorpsi zat warna tartrazine
pada khitosan . Skripsi Sarjana. Jurusan
Kimia FMIPA Universitas Hasanuddin,
Makassar

Klibanov, A.M., Alberti, B.N., Morris, E.D., dan
Felshin, L.M. 1980. Enzymatic removal of
toxic phenols and anilines from waste waters.
J. Appl. Biochem., 2, 414 - 421

Knop, A. dan Pilato, L.A. 1985. Phenolic Resins
Chemistry, Applications and Performance.
Springer-Verlag

Lynam, M.M., Kilduff, J.E. dan Weber, W.J., Jr.
1995. Adsorption of p-nitrophenol from dilute
aqueous solution. J. Chem. Edu., 72, 80 84

No, H.K., Meyers, S.P., dan Lee, K.S. 1989.
Isolation and characterization of chitin from
crawfish shell waste. J. Agric. Food Chem.,
37, 575 579

No, H.K. dan Meyers, S.P. 1997. Preparation of
chitin and chitosan, dalam R.A.A. Muzzarelli
dan M.G. Peter, Chitin Handbook, European
Chitin Society, 475 489
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001,
tanggal 14 Desember 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air
Purwantiningsih.

30

1993.

Isolasi kitin dan

senyawaan kimia dari limbah udang windu
(Penaeus monodon) . Buletin Kimia, 8, 1 - 13

Qadeer, R. dan Rehan, A.H. 2002. A study of the
adsorption of phenol by activated carbon from
aqueous solutions. Turk. J. Chem., 26, 357
361

Rhee, J-S., Jung, M-W., dan Paeng, K-J. 1998.
Evaluation of chitin and chitosan as a sorbent
for the preconcentration of phenol and
chlorophenol ini water. Anal. Sci., 14, 1089 1092

Roostaei, N. dan Tezel, F.H. 2004. Removal of
phenol from aqueous solution by adsorption .
J. Enviro. Manag., 70, 157 164

Salame, I.I. dan Bandosz, T.J. 2003.
Role of
surface chemistry in adsorption of phenol on
activated carbons . J. Coll. Interf. Sci., 264,
307 312
Sastrohamidjojo, H.
1992.
Spektroskopi
Inframerah, Liberty, Yogyakarta

Shunsuke, K.
2004.
Adsorption of harmful
substances by activated carbon from
rubberwood, Bachelor Thesis, Department of
International
Development
Engineering,
School of Engineering, Tokyo Institute of
Technology, Tokyo

Viraraghavan, T. dan Alfaro, J. 1992. Removal of
phenol from wastewater by adsorption on peat,
fly ash and bentonite . J. Environ. Engng., 5,
311 - 317
Wilberg, K., Assenhaimer, C. dan Rubio, J. 2002.
Removal of aqueous phenol catalysed by a
low purity soybean peroxidase . J. Chem.
Technol. Biotechnol., 77, 851 - 857

J.Alchemy, Vol. 5, No. 1 (Maret 2006), 23-30