Penanggulangan Wereng Batang Coklat Mamp (1)

Penanggulangan Wereng Batang Coklat:
Mampukah Kita Belajar dari Sejarah?
Oleh Dr. Hermanu Tri Widodo, MSc, Institut Pertanian Bogor
dan Ir. Nugroho Wienarto, Yayasan FIELD
19 Mei 2010

Kompas, 8 Mei 2010: Wereng Coklat Meluas, Pemda Harus Aktif
Jakarta, Kompas, 8 Mei 2010. Serangan hama wereng batang coklat pada tanaman padi meluas, padahal
sudah relatif lama petani bebas dari serangan hama ini. Oleh karena itu, pemerintah daerah diminta lebih
cepat merespons setiap laporan adanya serangan agar tidak meluas.
Imbauan tersebut disampaikan Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi di Jakarta, Jumat (7/5). ”Petani
juga harus lebih waspada dan mempelajari kembali pola penanggulangan wereng coklat melalui pendekatan
pola tanam dan teknis budidaya,” ujar Bayu.
Menurut Bayu, dari aspek luasan, areal tanaman padi yang terserang wereng coklat memang tidak signifikan
dibandingkan dengan total luasan areal panen padi. Pada April-Mei 2010 total luas areal panen padi mencapai
3,3 juta hektar.
Wilayah yang tanaman padinya terpapar wereng coklat adalah Subang (Jawa Barat), Jember dan Banyuwangi
(Jawa Timur), serta Klaten, Jepara, Pati, dan Pekalongan (Jawa Tengah).
Menurut Bayu, ada empat faktor yang memengaruhi meluasnya wabah wereng coklat. Faktor-faktor tersebut
adalah adanya perubahan iklim dan tata air yang membuat situasi pola tanam tidak menentu, pola
penanaman padi tidak lagi bisa dilakukan serempak, introduksi benih padi hibrida yang tidak tahan wereng

coklat, serta petani lupa cara melakukan antisipasi.

1.

Pengantar

Kliping harian Kompas tanggal 8 Mei 2010 membuka tulisan ini, yang membahas tentang pengalaman
penanggulangan wereng batang coklat (WBC) secara ekologis, yang dilakukan dalam kurun waktu tahun 1980an hingga sekarang. Ini dimulai dengan Instruksi Presiden No. 3 tahun 1986 tentang Pengendalian Hama
Terpadu sebagai strategi nasional perlindungan tanaman, kemudian berlanjut dengan penyelenggaraan
Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu (1989-1999) yang dimulai di bawah kordinasi BAPPENAS dan
mulai tahun 1994 dilaksanakan langsung oleh Departemen Pertanian.
Imbauan dari Wakil Menteri Pertanian ini seakan-akan menunjukkan bahwa Kementerian Pertanian juga
mengalami “lupa” tentang sebab-sebab klasik ledakan hama WBC di pertanaman padi dan langkah
penanggulangannya.
2.

Sejarah Serangan Wereng Batang Coklat

Bila kita mau menengok sejarah maka masalah yang dihadapi Indonesia dengan WBC adalah mirip dengan
pengalaman negara-negara lain di Asia. Di Indonesia WBC mulai menjadi perhatian sejak tahun 1970 dan 1971.

Survei tentang kerusakan tanaman padi akibat penggerek di beberapa wilayah di Jawa Barat mendapatkan
data bahwa para petani menggunakan insektisida, yang berakibat tidak hanya meningkatnya serangan
penggerek tetapi juga jumlah populasi WBC sepuluh kali lipat dibandingkan lahan padi yang tidak disemprot
pestisida (Soehardjan 1972). Sebelum tahun tujuh puluhan WBC tidak diperhitungkan sebagai hama. Situasi
ini segera berubah. Sebagai bagian dari BIMAS Gotong Royong di akhir 1960-an dan awal 1970-an maka
ratusan ribu hektar padi sawah disemprot insektisida organofosfat berspektrum luas secara masal dengan

1

menggunakan pesawat udara. Program ini juga menyediakan paket kredit dalam bentuk pupuk kimia dan
pestisida. Sejalan dengan pertumbuhan produksi yang meningkat maka meningkat pula serangan WBC. Pada
tahun 1975, sejalan dengan kebijakan pemerintah secara langsung menyubsidi insektisida, maka kehilangan
hasil akibat dari WBC sama dengan 44% impor beras tahunan (Kenmore 1991). Sejak 1976 Pemerintah
memulai penyemprotan dari udara dengan formulasi insektisida dari jenis ultra low volume sehingga bisa
menjangkau wilayah yang luas. Hasilnya adalah pada tahun 1976/1977, WBC mengakibatkan serangan berat
pada 450.000 hektar padi sawah. Perkiraan kehilangan hasil sekitar 364.500 ton beras, suatu jumlah yang
cukup untuk memberi makan 3 juta orang dalam satu tahun. (Oka 1997)

WBC menghancurkan padi sawah dibagian tengah, yang disemprot dengan insektisida. Bandingkan dengan
padi di bagian atas yang tidak disemprot.

Ini bukan kejadian yang terisolasi. Kebijakan-kebijakan perlindungan tanaman Indonesia yang
mempromosikan penggunaan pestisida telah mengakibatkan dua ledakan hama di tahun 1979 dan 1986.
Thailand, Vietnam, Kamboja dan Malaysia juga mengalami ledakan hama yang mirip. Para ahli ekologi
populasi mampu mendokumentasikan proses ini (Kenmore et al. 1984; Ooi 1988; Settle et al. 1996). WBC
ditemukan berada pada tingkat populasi yang tidak berarti di lahan padi sawah intensif yang tidak disemprot
insektisida karena dikendalikan oleh populasi musuh alami. Sekalipun ada imigrasi sejumlah besar serangga
WBC dewasa yang bereproduksi ke suatu lahan, maka populasi musuh alami mampu merespon dan
mengakibatkan tingkat kematian WBC yang tinggi sehingga hasil panen tidak terganggu. Penggunaan
insektisida telah ditemukan menjadi penyebab terganggunya mekanisme pengendalian alami. Tingkat hidup
WBC didalam suatu sistem yang terganggu insektisida telah ditemukan meningkat lebih dari sepuluh kali lipat.
Selama satu musim tanam kepadatan populasi WBC bisa meningkat ratusan kali lipat. Mencoba
mengendalikan ledakan hama ini dengan insektisida seperti menuang minyak kedalam api.
Dengan ledakan hama WBC yang masif maka para pemulia tanaman mengembangkan varietas tanaman yang
tahan kepada WBC. Strateginya adalah mengganti penggunaan insektisida dengan menanam varietas padi
yang tahan WBC. Tetapi di lapangan, penggunaan insektisida yang intensif berlangsung terus. Penggunaan
insektisida yang intensif mendorong seleksi yang cepat terhadap populasi WBC yang mampu mengatasi
ketahanan varietas baru. (Gallagher 1984) Runtuhnya varietas-varietas yang baru ini secara cepat berarti dana
dan waktu yang diinvestasikan dalam pengembangannya telah terbuang sia-sia.
Apa yang terjadi? Ini menunjukkan bahwa kebijakan dan metode perlindungan tanaman yang baku dari
pemerintah di tahun 1970-an dan 1980-an secara nyata meningkatkan resiko ledakan hama. Contoh ledakan

hama WBC ini adalah ilustrasi, karena secara umum ini juga mengakibatkan ledakan-ledakan hama padi
lainnya di daerah tropis. Insektisida melemahkan sebuah sistem sehingga populasi musuh alami menjadi
rendah dan tidak mampu memberikan perlindungan terhadap sistem tersebut. Kebijakan pemerintah juga
gagal memperhitungkan “buffer” lain agar agroekosistem padi terhindar dari kehilangan hasil. Ini adalah
kemampuan tanaman untuk mengkompensasi kehilangan daun dan malai produktif hingga 30 dan 40 hari
2

setelah tanam. Beberapa varietas unggul dapat bertahan terhadap kehilangan hasil walaupun hilang sekitar
30% dari daun dan batang selama fase vegetatif. Kemampuan kompensasi dari beberapa varietas unggul ini
memungkinkan tanaman bertahan dari serangan hama yang diakibatkan oleh penggerek, penggulung daun
dan yang lain. (Way, Heong 1994) Makalah Way dan Heong pada tahun 1994 berkesimpulan bahwa
“Pengendalian Hama Terpadu di padi tropika harus dilandasi prinsip bahwa insektisida tidak diperlukan
sehingga insektisida dan ‘hama’ ini perlu secara kritis dikaji ulang dan dibuktikan sebelum penggunaan
insektisida dipikirkan.”
Apakah kita bisa belajar dari sejarah penanggulangan hama WBC di tanah air kita sendiri? Untuk itu kita perlu
meninjau sejarah tentang keluarnya INPRES 3/86 dan terselenggaranya Program Nasional PHT dalam kurun
waktu 1989-1999.
3.

PHT sebagai Kebijakan Nasional – INPRES 3/86


Setelah bertahun-tahun menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia, Indonesia berhasil mencapai swasembada beras pada tahun 1984. Atas prestasi ini, Indonesia mendapat pujian dari seluruh dunia serta
penghargaan dari FAO. Perubahan yang menakjubkan ini terjadi karena introduksi pupuk dan varietas unggul
yang disebarkan secara luas, pengembangan sistem irigasi, dan adanya kebijakan-kebijakan pendukung yang
tepat.
Namun demikian, pencapaian tersebut memiliki kelemahan. Insektisida berspektrum luas selalu
diikutsertakan bersama dengan masukan lainnya. Insektisida tersebut telah memicu ledakan populasi hama
wereng coklat secara luas, sehingga varietas-varietas padi berproduksi tinggi yang dikembangkan oleh
Indonesia, seperti Krueng Aceh dan Cisadane menjadi “patah” ketahanannya. Pada akhir 1985, hampir 70 %
produksi padi di pulau Jawa terancam oleh hama tersebut.
Untunglah, penelitian yang dilakukan oleh badan penelitian nasional dan internasional selama tahun 1979
hingga 1986 secara meyakinkan membuktikan bahwa: 1) wereng coklat merupakan hama yang ledakan
populasinya disebabkan oleh penggunaan pestisida secara berlebihan, dan 2) populasi hama tersebut dapat
dikendalikan oleh agen pengendali hayati berupa predator/pemangsa yang secara alami ada di lahan sawah.
Pada 5 Nopember 1986 Presiden Soeharto menandatangani Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 1986 yang
menyatakan bahwa Pengendalian Hama Terpadu menjadi strategi nasional pengendalian hama. Inpres 3/86
juga melarang 57 jenis insektisida, sebagian besar adalah jenis organofosfat yang sangat beracun, untuk
digunakan di tanaman padi, dan memerintahkan diselenggarakannya program pelatihan PHT skala besar
kepada petugas lapangan dan petani.
Kebijakan PHT ini diperkuat dengan penghapusan subsidi pestisida dua tahun berikutnya sehingga Pemerintah

bisa menghemat $120 juta per tahun. Selama 10 tahun sebelumnya Pemerintah telah mengeluarkan dana
subsidi pestisida sebesar $1,5 milyar.

3

Subsidi Pestisida di Indonesia
(Juta US$, 1990)

180
160
140
120

$

100

Subsidi
dihapus
total


80
60
40
20

88
/8
9

86
85
/

82
/8
3

80
79

/

76
/7
7

73
/

74

0

Sumber data: Laporan Tahunan Departemen Keuangan
4.

Program Nasional PHT 1989 – 1999

Sebagai kelanjutan dari terobosan ilmiah dan kebijakan yang dilakukan pada akhir tahun 1980-an tersebut,
Pemerintah Indonesia meluncurkan program PHT dengan skala paling besar - dari yang pernah dilaksanakan.

Sejak tahun 1990, Program Nasional PHT telah mencetak lebih dari 500.000 petani Indonesia menjadi alumni
dari Sekolah Lapangan PHT (SLPHT) yang dilakukan selama satu musim penuh di 12 propinsi lumbung beras.
Pada tahun 1997/1998, hampir 200.000 petani terlibat dalam SLPHT per tahun. Hingga 1998, hampir setiap
desa di daerah lumbung beras di Indonesia memiliki setidaknya satu SLPHT yang diselenggarakan di lahan di
desa tersebut.
Dalam rangka mencapai jumlah tersebut, lebih dari 2.000 Pengamat Hama dan Penyakit (PHP) menjalani
pelatihan Ahli Lapangan PHT secara intensif selama 14 bulan. Lebih jauh, untuk mendukung pelaksanaan di
lapangan, lebih dari 5.000 Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) tanaman pangan juga menjalani latihan PHT di
lahan. Pada kurun waktu 1989-1993, Program Nasional PHT dikoordinasikan oleh Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) yang melibatkan Departemen Pertanian, Kesehatan, Lingkungan Hidup,
serta Pendidikan dan Kebudayaan. Sejak 1994, program ini dikoordinir oleh Departemen Pertanian. Selama
kedua periode ini, Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) memberikan bantuan teknis. Dana untuk
program ini, disamping berasal dari Pemerintah Indonesia, juga bersumber dari hibah USAID dan pinjaman
Bank Dunia.
Program PHT yang berintikan usaha pengembangan sumberdaya manusia menghasilkan perubahan besar
dalam perilaku dan praktek budidaya di lahan, yang memungkinkan petani untuk terbebas dari kebiasaankebiasaan sebelumnya dan dari ancaman kampanye perusahaan pestisida. Lebih dari 40 tahun yang lalu, di
awal Revolusi Hijau, pestisida dikenalkan secara luas melalui metoda “pesan dan sanksi” yang membujuk
petani untuk menggunakan pestisida bersubsidi dengan sistem kalender. Sistem kalender kemudian
digantikan dengan sistem ambang ekonomi yang memerlukan pengamatan yang cermat, peramalan, dan
teknik “hitung dan semprot”. PHT di Indonesia telah meninggalkan konsep tersebut dengan cara

mempertajam ketrampilan petugas lapangan dan petani dalam metoda-metoda ekologis, yaitu pengambilan
keputusan dan pengelolaan lahan yang didasarkan pada analisa agroekosistem dan pengamatan di lahan.
5.

Manfaat dan Hasil PHT

Manfaat yang diperoleh dari program PHT bagi lingkungan, Pemerintah, petani, dan masyarakat, antara lain
adalah:

4



Pemerintah dapat menghemat dana subsidi pestisida sekitar 120 juta dolar Amerika per tahun, sementara
pada saat yang sama ledakan populasi hama yang menjadi ancaman terhadap keamanan penyediaan
pangan juga telah menurun drastis.



Petani dapat menghemat biaya produksi, panen lebih terjamin, dan kondisi kesehatan keluarga serta

masyarakat menjadi lebih baik



Kerusakan lingkungan akibat penggunaan pestisida menjadi berkurang, baik untuk jangka panjang maupun
jangka pendek.



Konsumen terlindungi dari residu racun yang tidak diperlukan.

Setelah mengikuti SLPHT selama satu musim penuh, petani menurunkan penggunaan insektisida, baik yang
terlarang maupun yang tidak, sementara itu hasil panen tetap dapat dipertahankan. Namun demikian, bagi
kebanyakan petani, ada yang lebih penting daripada keuntungan ekonomi tersebut, yaitu berkembangpesatnya kemampuan mereka untuk melakukan analisa, pengambilan keputusan, dan pengelolaan lahan.
Mengacu kepada perkembangan di lapangan maka pada tahun 1999, Menteri Pertanian M. Prakosa menulis
surat kepada Pemerintah Daerah agar melanjutkan program PHT di tingkat lapangan dari anggaran daerah,
sehingga usailah Program Nasional PHT.
1200

Petani terlatih SLPHT

1000

Ribuan (Orang)

800
600
400
200
0
1990

6.

1992

1994
Tahun

1996

1998

Resiko Penggunaan Pestisida terhadap Ekonomi dan Kesehatan Petani

Selama tahun 1970-an, teknologi Revolusi Hijau memasukkan insektisida ke dalam paket komponen input
produksi bersama dengan pupuk, irigasi, kredit, dan benih unggul.
Di pertanaman padi daerah tropis, penelitian yang dilakukan selama 25 tahun oleh lembaga nasional
Indonesia dan badan-badan internasional seperti IRRI dan FAO tidak pernah membuktikan bahwa insektisida
memberikan sumbangan bagi peningkatan produksi padi ataupun peningkatan keuntungan petani. Dalam
kenyataannya, penggunaan insektisida secara sembarangan, bahkan dapat mengakibatkan kehilangan hasil
panen yang sangat besar akibat timbulnya resurjensi hama, seperti yang terjadi pada tahun 1975 sampai 1979,
sehingga produksi padi mengalami krisis akibat serangan hama wereng coklat.
Di seluruh dunia, 80 % dari seluruh pestisida digunakan di negara maju. Namun demikian, diperkirakan 90%
kasus keracunan pestisida, terjadi di negara berkembang. WHO memperkirakan bahwa 25 juta manusia
mengalami keracunan pestisida setiap tahunnya. Dengan kondisi pedesaan yang para petaninya miskin, maka
“penggunaan secara aman” dari bahan-bahan kimia yang sangat beracun tersebut, praktis tidak mungkin
dilakukan. Disamping itu, secara agronomis, perlu-tidaknya penggunaan pestisida pun masih dipertanyakan.
Studi yang dilakukan pada tahun 1993 tentang hubungan antara penyemprotan pestisida dengan keracunan
akut pada petani Indonesia menyatakan bahwa 21% kegiatan penyemprotan mengakibatkan timbulnya tiga

5

atau lebih gejala dan tanda keracunan pada saraf, saluran pernafasan, dan pencernaan. Studi tersebut juga
menunjukkan bahwa frekuensi penyemprotan per minggu, penggunaan pestisida berbahaya, dan tingkat
pemaparan kulit oleh pestisida berhubungan secara signifikan dan independen dengan keracunan akut (Kishi,
et al, 1995).
Ketidakmampuan petani untuk membeli perlengkapan pelindung, panasnya iklim tropis, dan kesulitan untuk
menegakkan pelaksanaan pengaturan pestisida mengakibatkan kesehatan petani dan kondisi tanamannya
menjadi terkena risiko penggunaan pestisida, sekalipun dalam penggunaan yang ‘normal’.
Resiko terhadap kesehatan akibat pestisida tidak hanya dijumpai selama penggunaan di lahan, melainkan juga
ditemukan di rumah, tempat para petani penyemprot tinggal. Delapan puluh empat persen (84%) petani yang
disurvei, ternyata menyimpan bahan kimia beracun tersebut di dalam rumah dalam keadaan tidak aman dan
mudah dijangkau oleh anak-anak.
Racun kimia yang berbahaya bagi lingkungan, beresiko terhadap keberhasilan panen, dan mengancam
kesehatan manusia tersebut dipasarkan dengan menggunakan siasat pemasaran yang membujuk masyarakat,
dan seringkali secara langsung melanggar Standar Pengedaran Pestisida (FAO Code of Conduct of Production
and Distribution of Pesticide) yang dikeluarkan oleh FAO. Program PHT memerangi hal ini dengan cara
memberikan berbagai alat analisa kepada petani agar mereka dapat mengambil keputusan sendiri, sehingga
uang dan sumberdaya mereka tidak terbuang percuma, kesehatan mereka tidak terancam, tanaman mereka
tidak mengalami kerugian, dan lingkungan mereka tidak mengalami kerusakan.
7.

PHT oleh Petani: Pendekatan Ekologis

“PHT merupakan pendekatan ekologis sehingga sistem pertanian dipandang sebagai suatu sistem yang
kompleks dan hidup. Petani belajar untuk bekerjasama dengan alam dan belajar untuk membuat dirinya
mampu mencapai kapasitas yang diperlukan untuk mengelola pertanian yang produktif dan berkelanjutan.
PHT juga merupakan program pengembangan sumberdaya manusia. Pelatihan PHT membantu petani untuk
belajar tentang mengorganisir diri mereka sendiri dan masyarakatnya, untuk mengumpulkan dan menganalisa
data, untuk mengambil keputusan sendiri, dan untuk menciptakan suatu jaringan kerja yang kokoh antara
petani dengan petani lainnya, serta antara petani dengan penyuluh dan peneliti.”, Menteri Pertanian, Prof.Dr.
Sjarifudin Baharsjah, 1994.
Lebih dari Soal Hama dan Pestisida
Program Nasional PHT Indonesia berusaha memperkuat kemampuan petani, membangun organisasi petani,
mempertajam ketrampilan petugas lapangan, dan menciptakan manajer lapangan yang berkualitas. Alumni
SLPHT lebih sedikit menggunakan pestisida dan memperoleh lebih banyak keuntungan, dapat menjaga
produksi tetap stabil, dan mampu mengambil keputusan yang didasarkan pada analisa ekosistem di lahan
mereka sendiri.
Dengan menjadi kelompok inti dalam perencanaan, pelatihan, dan penelitian lapangan di wilayahnya, para
petani terlibat dalam pengembangan dan penyebaran PHT. Di tahun anggaran proyek (1997/ 1998), SLPHT
“Dari Petani ke Petani” melibatkan lebih dari 75.000 petani peserta.
Secara keseluruhan, analisa dan tindakan di dalam program PHT selalu berkisar di antara empat prinsip dasar:





Membudidayakan tanaman yang sehat;
Melestarikan dan mendayagunakan peranan musuh alami (predator dan parasit);
Mengamati kondisi lahan secara mingguan untuk mengambil keputusan tentang pengelolaan lahan;
Memampukan Petani menjadi ahli PHT dalam pengelolaan ekologi lahannya.

Metoda latihan ditekankan pada penemuan sendiri, perbandingan, dan analisa. Petani belajar untuk bekerja
secara efektif dalam kelompok-kelompok kecil untuk melakukan percobaan lapangan, dan kemudian

6

menguasai ketrampilan yang lebih kompleks seperti pelatihan, perencanaan, penelitian lapangan, dan
pengorganisasian masyarakat.
8.

Pemberdayaan Petani melalui Sekolah Lapangan PHT

Program Nasional PHT menghidupkan kembali sistem penyuluhan dan jaringan kelompok petani yang ada
melalui pengorganisasian dan pelaksanaan SLPHT. Dengan rancangan berupa “sekolah tanpa dinding”,
Sekolah Lapangan Petani ini melakukan pertemuan mingguan sebanyak 12 kali selama satu musim tanam
penuh, mulai dari tanam hingga panen. Setiap Sekolah Lapangan memiliki 1000 meter persegi “Petak Belajar”,
yang terdiri dari 2 petak perbandingan, yaitu petak perlakuan petani dan petak PHT. Setiap minggu, petani
mempraktekkan analisa agro-ekosistem yang mencakup kesehatan tanaman, pengelolaan air, kondisi cuaca,
gulma, pengamatan penyakit, serta pengamatan dan pengumpulan serangga hama dan serangga berguna.
Petani menyimpulkan hasil pengamatannya sesuai dengan pengalaman mereka, mereka menggunakan analisa
agro-ekosistem untuk membuat keputusan pengelolaan lahan dan mengembangkan cara pandang tentang
proses ekologis yang seimbang. Fasilitator memberikan kesempatan kepada petani untuk menjadi ahli yang
aktif, dan membantu mereka untuk mengungkapkan dan menganalisa pengalaman mereka sendiri. Selama
proses tersebut, para petani:


Membuat sendiri alat dan bahan belajar, yang meliputi koleksi serangga, “kebun serangga”, percobaan
lapangan, poster, dan catatan pengamatan lapangan.



Menciptakan dan menggunakan perangkat analisis berupa bagan analisis agro-ekosistem mingguan yang
dibuat dengan krayon di atas kertas plano dan contoh hidup untuk melakukan analisis ‘SWOT’, untuk
mengembangkan rencana tindakan selanjutnya.



Memecahkan permasalahan dan mengambil keputusan: petani PHT belajar untuk mengelola program
mereka sendiri dan menyelenggarakan serta menjalankan kegiatan belajar dan percobaan yang makin
kompleks.



Membangun organisasi petani yang lebih kuat dengan cara mempelajari ketrampilan dalam bidang
kepemimpinan, komunikasi, dan manajemen, yang akan berguna di masa-masa berikutnya setelah
Sekolah Lapangan selesai.

Semenjak 1990, lebih dari 20,000 SLPHT telah diselenggarakan. Disamping padi, Sekolah lapangan juga
diselenggarakan untuk komoditas lain, yaitu kedelai, kubis, kentang, cabe dan bawang merah dan juga
berbagai topik lain, seperti benih petani, tanah, HIV/AIDS, agroforestri, kehutanan dan sumberdaya alam.
Model SLPHT juga telah diadopsi oleh berbagai kegiatan penyuluhan pertanian, dan ‘diekspor’ ke berbagai
negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Keberhasilan SLPHT telah memicu munculnya dukungan politis yang spontan dan bantuan dana dari
pemerintah setempat. Para Kepala Desa, Bupati, dan Gubernur secara terbuka di depan publik telah
menyatakan bahwa SLPHT merupakan program pelatihan pertanian pedesaan yang paling efektif yang pernah
dilaksanakan; dan mereka mewujudkan dukungan tersebut dalam bentuk bantuan dana dari anggaran
pemerintah setempat.
9.

Kunci Kesuksesan Program PHT
a.

Percaya pada Kemampuan Petani

Falsafah “PHT oleh Petani” telah menempatkan petani sebagai pusat pengembangan PHT. Hal ini merupakan
falsafah penuntun program PHT Indonesia, sekaligus merupakan penentu utama keberhasilan program ini.
Melalui SLPHT, petani mampu menguasai ekologi di lahan tempat mereka bekerja, dan dengan demikian,
mereka menjadi ahli di lahannya. Namun, ini baru merupakan titik awal. Lebih jauh, peran mereka semakin
meningkat dan meluas, yaitu melalui pelatihan dari petani-ke petani, studi petani, dan media petani untuk
menciptakan pola ‘komunikasi horisontal’.

7

b. Dukungan Kebijakan menyeluruh
Agar PHT dapat berhasil, maka pelaksanaannya di lapangan dan pengaturan kebijakan-kebijakan
pendukungnya haruslah berjalan seiring dan saling mendukung. Di tingkat pusat, para pembuat kebijakan
perlu menciptakan dan memelihara pola kebijakan yang kondusif, yang mencakup pengaturan pestisida,
dukungan dana, dan program pelatihan dan penelitian PHT. Di tingkat daerah, dukungan nyata dari
pemerintah daerah tingkat propinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa mendorong kelanjutan momentum
pengembangan PHT. Untuk lebih memperkuat Gerakan PHT, maka dilakukan kerjasama dengan organisasi
kemasyarakatan, kelompok konsumen, pers, dan badan-badan pendukung yang terlibat dalam bidang
kesehatan, lingkungan, dan pendidikan.
c. Penelitian Pendukung
PHT membutuhkan penelitian di semua tingkatan untuk mendukung pengembangan program. Terobosan
penelitian dalam PHT Padi yang dihasilkan oleh badan penelitian dan universitas memungkinkan program di
fase awal dapat dibangun dengan dasar ilmiah yang kuat. Penelitian yang berorientasi lapangan tentang
sistem budidaya tanaman yang lain membuka jalan bagi pengembangan dan perluasan PHT. Yang paling
penting, kegiatan penelitian dan studi lapangan telah dipadukan langsung ke dalam sistem yang berbasis
petani sehingga memungkinkan petani, petugas penyuluhan, dan peneliti bekerja bersama untuk memperkuat
dan memurnikan PHT, sebagai jawaban atas keadaan ekologi pertanian di daerah tropika yang bersifat lokalspesifik.
d. Belajar dengan Cara Menemukan Sendiri
Inti keberhasilan program PHT adalah proses belajar parsitipatoris dan inovatif, yang memungkinkan petani
dan pemandu untuk menemukan sendiri prinsip-prinsip PHT di lahan mereka. Melalui proses ini petani
menjadi pemilik - tidak hanya sekedar menjadi pelaksana - dari pengetahuan dan cara/metoda PHT. Metoda
belajar PHT memungkinkan petani untuk menguasai teknik pengelolaan tanaman yang efektif; sekaligus
memperoleh ketrampilan dalam hal komunikasi antar pribadi, pemecahan masalah, dan kepemimpinan
melalui praktek langsung.
e. Manajemen yang Tanggap dan Mendukung Kebutuhan Lapangan
Pelaksanaan PHT dalam skala luas memerlukan sistem manajemen lapangan yang efektif, yang dapat dengan
cepat memberikan tanggapan terhadap setiap kebutuhan yang selalu berkembang, dan muncul dari kelompok
dan jaringan petani. Dalam PHT, petugas lapangan, dan tentu saja petani, tidak pernah hanya bergelut dengan
hal-hal teknis saja karena latihan selalu berkaitan dengan pengembangan ketrampilan berorganisasi dan
manajemen di semua tingkat hingga kelompok tani. Salah satu kunci keberhasilan program PHT Indonesia
adalah terbentuknya suatu sistem yang kuat yang terdiri dari 2.000 Pemandu Lapangan PHT dan Petugas
Lapangan yang berasal dari Direktorat Perlindungan Tanaman. Para manajer lapangan ini bertanggungjawab
untuk mengembangkan strategi lokal dan memberikan tanggapan terhadap kebutuhan teknis petani,
sekaligus membangun kemampuan berorganisasi para petani dalam rangka pelembagaan PHT di tingkat petani
sendiri.
f. Pendekatan Ekologis
Hal yang pertama kali diperhatikan orang ketika mengunjungi SLPHT adalah gambar analisa agro-ekosistem
yang dibuat oleh petani. Dari awal, pendekatan PHT menerapkan wawasan ekologis dalam pengelolaan
budidaya pertanian. PHT tidak hanya berbicara tentang serangga, melainkan lebih merupakan pendekatan
yang menyeluruh/holistik, yang mencakup keseluruhan sistem secara lengkap: tanah, air, cuaca, tanaman,
siklus unsur hara, jaring-jaring makanan, aliran energi, komunitas akuatik, serta isu ekonomi pertanian dan
kesehatan petani. Pendekatan ini membedakan Program PHT yang sedang berjalan saat ini dengan program-

8

program pendahulunya, dan memberikan landasan luas, yang memungkinkan PHT untuk memberikan
sumbangan bagi pembangunan pertanian yang berkelanjutan.

9

Rujukan
Departemen Pertanian. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 390/Kpts/TP/600/5/1994 tentang Penyelenggaraan
Program Nasional PHT, Jakarta, 1994.
Dilts, Russ. Sekolah Lapangan, Suatu Upaya Pembaharuan Penyuluhan Pertanian. Ekstensia, Vol 1. Th.1, Pusat Penyuluhan
Departemen Pertanian, Jakarta, 1994.
Dilts, Russ. Facilitating the emergence of local institutions: reflections from the experience of the Community IPM
Programme in Indonesia. Di dalam: Asian Productivity Organisation Role of Institutions in Rural Community
Development: Report of the APO Study Meeting in Colombo, 21-29 September 1998, halaman 50-65.
Gallagher, K.D. Effects of Host Plant Resistance on the Microevolution of the Rice Brown Planthopper, Nilaparvata lugens
(STAL) (Homoptera: Delphacidae). Ph.D. thesis. University of California, Berkeley. 1984
Kenmore, P.E. Indonesia’s Integrated Pest Management: A Model for Asia. FAO Inter-Country Programme for Integrated
Pest Control in Rice in South and Southeast Asia, 1991.
Kenmore, P.E., F.O. Carino, C.A. Perez, V.A. Dyck, dan A. P. Gutierrez, “Population Regulation of the Rice Brown
Planthopper (Nilaparvata lugens Stal) Within Rice Fields in the Philippines”. Journal of Plant Protection in the
Tropics 1-1 (1984): pp. 19-37.
Kishi, M., N. Hirschorn, M. Djajadisastra, L.N. Saterlee, S. Strowman dan R. Dilts. “Relationship of Pesticide Spraying to
Signs and Symptoms in Indonesian Farmers’, Scandinavian Journal of Workplace and Environmental Health, 21:
124-33, 1995.
Ministry of Agriculture of the Republic of Indonesia. IPM By Farmers: The Indonesian Integrated Pest Management (IPM)
Program. World Food Summit – FAO, Rome, 1996.
Oka, I.N. “Integrated Crop Pest Management with farmer participation in Indonesia”. Reasons for Hope: Instructive
Experiences in Rural Development. A. Krishna, N. Uphoff, M.J. Esman, eds. Kumarian Press, Connecticut, 1997.
Ooi, P.A.C. Ecology and surveillance of Nilaparvata lugens (STAL)-implications for its management in Malaysia. Thesis di
University of Malaysia untuk pemenuhan gelar Doctor of Philosophy. 1988.
Pontius, J.C., Russell Dilts, and Andrew Bartlett. From Farmer Field Schools to Community IPM: Ten Years of IPM Training
in Asia. FAO Regional Office for Asia and the Pacific, Bangkok, 2002.
Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu. Studi Lapangan untuk Ekologi Padi. Tim Studi Habitat, Departemen
Pertanian, Jakarta, 1995.
Republik Indonesia. Instruksi Presiden No. 3 tahun 1986 tentang Pengendalian Hama Wereng Coklat, Jakarta, 1986.
Settle, W.H., H. Ariawan, E.T. Astuti, W. Cahyana, A. L. Hakim, D. Hindayana, A.S. Lestari, Pajarningsih, dan Sartanto.
“Managing tropical rice pests through conservation of generalist natural enemies and alternative prey.” Ecology
77: 1975-1988, 1996.
Soehardjan, M. “Some Notes on the Occurrence of Rice Pests”. Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Bogor, Indonesia. 1972.
Way, M.J., K.L. Heong. “The role of biodiversity in the dynamics and management of insect pest of tropical irrigated rice –
a review.” Bulletin of Entomological Research 84, 567-587. 1994.

10