Analisis Falsafah Jawa dalam Pandangan L

Analisis Falsafah Jawa dalam Pandangan Linguistik-Filsafat
(Analisis semantik-aksiologi terkait perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi)

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Ujian Akhir Semester (UAS)
Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Nama: Riris Sumarna
NIM: 15/0389048/PSA/07902
Dosen pengampu: Prof. Dr. Lasiyo, M.A.

PROGRAM PASCASARJANA LINGUISTIK
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
2015

Abstract
Science and technology are two aspects in human being. It can be harmful or useful.
The usage of science is studied in axiology. The usage of science and technology are based
on the people who use it. People can use these science and technology to make easier in
human life. But, sometimes people used it for doing something which do not see the aspect
of human being, such as killing each others, war and soon. Based on that phenomena, in

social society people need something norms and philosophy to control their action to role in
the right way.
Javanese society has Javanese philosophy. That philosophy is a symbol which
signed something and has meaning. Semantics is the branch of linguistics which study in
sign and meaning. That philosophy is a group of words which have meaning.
This paper has 2 purposes (1) to find the type of Javanese philosophy (2) The
cultural meaning and the contribution of these philosophies in developing of science and
technology. This analysis used the qualitative analysis. Based on the result there are three
types of philosophy, there are: prohibition, advice, and combination between prohibition
and advice. Besides it, there are some cultural meanings which based on that philosophy.
The contribution of Javanese philosophy is very useful to control the human life and stay in
the right way.
Key words: Axiology, semantics, Javanese philosophy, norms.

Pendahuluan
Dalam pikiran manusia tersimpan berbagai pertanyaan atau keingintahuan tentang
segala sesuatu yang mungkin ataupun sebaliknya. Adanya rasa ingin tahu, keragu-raguan
untuk sebuah kepastian maka pengetahuan itu menjadi ada (Suriasumantri, 2009:19).
Kemudian, pengetahuan tersebut disusun secara sistematis maka terbentuklah ilmu. Ilmu
adalah pengetahuan yang teruji secara empiris dengan menggunakan logika yang induktif

yang meningkatkan manusia untuk menguasai untuk menguasai dunia fisik yang berguna
bagi kemaslahatan hidupnya (Suriasumantri, 2009:184).
Cabang filsafat yang membahas tentang nilai kegunaan ilmu dinamakan aksiologi.
Dalam aksiologi kegunaan ilmu lebih jauh diartikan sebagai fungsi dari ilmu sendiri.
Berdasarkan pernyataan Suriasumantri diatas, ilmu berfungsi untuk memenuhi kebutuhan

fisik manusia yang akhirnya akan memudahkan kehidupan manusia. Lebih lanjut Bacon
(1561-1626) via Muslih (2005:110) memberikan pernyataan bahwa Science is power ‘ilmu
pengetahuan adalah kekuasaan’. Menurut Bacon sejak awal manusia ingin menguasai alam,
tetapi logika ilmu berusaha untuk menjawab segala kemungkinan yang terjadi di alam ini,
yang dirasakan dan dipertanyakan oleh manusia hanya membawa kerugian daripada
keuntungan.
Kembali mengenai fungsi dan kegunaan ilmu yang telah dikemukakan
Suriasumantri sebelumnya. Selain mengemukakan tentang fungsi dan kegunaan ilmu, Ia
juga sependapat dengan pernyataan Bacon yang bertentangan dengan pendapatnya yang
sebelumnya. Suriasumantri kembali mengemukakan bahwa ilmu tidak saja digunakan
untuk menguasai alam melainkan memerangi sesama manusia dan memerangi mereka
(2009:229). Adanya ilmu terbentuklah berbagai macam teknologi yang semakin lama
semakin maju seperti senjata, peralatan kesehatan, dan teknologi nuklir. Hasil teknologi
canggih ini apakah cukup memberikan jawaban hakikat fungsi dari ilmu. Agaknya seiring

perkembangan ilmu manusia semakin mengabaikan faktor manusia itu sendiri. Ilmu bukan
lagi menjadi sarana untuk memudahkan kehidupan manusia lagi akan tetapi sebaliknya.
Perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sering sekali menanggalkan norma
dan falsafah hidup manusia. Pada akhirnya manusia semakin pandai akan tetapi tidak
bernorma, antar manusia saling menyakiti, saling berebut kekuasaan dan saling memerangi.
Oleh karena itu peran norma dan falsafah hidup sangatlah penting untuk perkembangan
mental manusia dalam menyeimbangi berkembangnya ilmu dan teknologi.
Norma adalah aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam
masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan, dan pengendali tingkah laku yang sesuai dan
berterima (KBBI, 1989:617). Sedangkan falsafah adalah anggapan, gagasan, dan sikap
batin yang paling umum yang dimiliki oleh orang atau masyarakat; pandangan hidup
(KBBI,1989: 239). Norma dan falsafah hidup keduanya sangatlah penting. Akan tetapi
falsafah hiduplah yang lebih penting karena falsafah hidup secara langsung ada pada
pribadi seseorang sedangkan norma menyangkut masyarakat yang banyak. Apabila setiap
orang baik maka baiklah seluruh masyarakat tersebut.

Setiap masyarakat mempunyai berbagai cara untuk menyampaikan pandangan
hidup, gagasan, identitas diri. Dengan berkembangnya ilmu bahasa (linguistik) pandangan
yang berupa falsafah tersebut dituangkan dalam bentuk tulisan. Secara linguistik tulisan
tersebut berupa bahasa nonverbal (tak terucap). Lebih lanjut Syamsudin menyebutkan

bahwa (1) bahasa adalah alat yang dipakai untuk membentuk pikiran dan perasaan,
keinginan dan perbuatan, alat yang dipakai untuk mempengaruhi dan dipengaruhi (2)
bahasa adalah tanda yang jelas dari kepribadian yang baik maupun yang buruk, tanda yang
jelas dari keluarga dan bangsa, tanda yang jelas dari budi kemanusiaan (1986:2). Dalam
linguistik kajian antara tulisan dan makna merupakan kajian semantik. Semantik adalah
kajian yang menelaah hubungan tanda dengan obyek-obyek yang merupakan wadah
penerapannya (Tarigan:1993:13).
Tanda tersebut berupa falsafah yang tak jarang ditemukan di tempat-tempat umum
ataupun papan pengumuman. Obyeknya adalah masyarakat suatu komunitas tertentu.
Dalam makalah ini obyeknya adalah masyarakat Jawa yang menandai falsafah tersebut
sebagai pandangan hidup. Menurut Skinner via Chaer (2009:90) dalam teori “pembiasaan
operan” yang terdiri dari stimulus-respon-reinforcement mengemukakan bahwa stimulus
yang diberikan akan menimbulkan respon, apabila penguatan (reinforcement) dilakukan
berulang-ulang. Skinner menyimpulkan bahwa hal tersebut akan menambah kemungkinan
untuk berulangnya suatu perilaku. Dalam hal ini falsafah di dipasang ditempat-tempat
umum sehingga mudah dibaca seseorang dengan tujuan mengingatkan, mempengaruhi dan
akhirnya menjadi kebiasaan yang tertanam pada pribadi seseorang yang membacanya.
Sehingga seseorang tersebut tetap menjadi pribadi yang baik yang tetap memegang
pandangan suatu norma dalam komunitasnya, meskipun berada pada era kemajuan
teknologi.

Penggunaan kosakata dalam falsafah tersebut sudah pasti disesuaikan dengan
bahasa yang digunakan dalam komunitas tertentu. Menurut Poedjosoedarmo (2009:3)
dalam makalahnya menyebutkan bahwa, ekologi tempat tinggal dapat mempengaruhi
wujud kosakata suatu bahasa. Nisbet (2003) via Poedjosoedarmo (2009:3) juga
menyebutkan bahwa suatu bahasa dapat ikut membentuk persepsi masyarakat penuturnya,.

Nisbet menjelaskan, orang Eropa mempunyai pandangan hidup yang berbeda dibandingkan
dengan pandangan orang India di Amerika. Dalam konteks ini penggunaan kosakatanya
dalam falsafah Jawa pasti ada kaitannya dengan lingkungan keseharian maupun norma
yang terkandung dalam tradisi Jawa. Contohnya dalam penggunaan kosakata dalam
falsafah Jawa sering dijumpai menggunakan bagian tubuh manusia, tumbuh-tumbuhan,
benda, keadaan lingkungan dan lain-lain. Hal ini karena orang Jawa mempunyai alasan
tertentu kenapa menggunakan kosakata tersebut. Penggunaaan kosakata tersebut terkadang
dimaknai sebagai makna konotatif atau makna yang tidak sebenarnya. Dalam makalah ini
makna konotatif dimaknai sebagai makna kultural. Contoh salah satu falsafah yang
menggunakan kosakata benda berupa ‘air’ adalah : aja ngubak-ubak banyu bening
mengandung makna ‘jangan mengotori (perbuatan tidak benar) di tempat/ keberadaan yang
damai tentram. Banyu adalah ‘air’, ‘air’ bagi tradisi Jawa adalah simbol syang menandai
suatu kedamaian atau ketentraman.
Berdasarkan uraian diatas, makalah ini bertujuan untuk mengetahui (1) Tipe

falsafah Jawa yang ada. (2.) Makna kultural serta peran falsafah Jawa bagi masyarakat
Jawa secara mental dalam perkembangan iptek. Falsafah ini mencakup falsafah dari zaman
dulu hingga sekarang yang telah dikumpulkan oleh penulis dari beberapa sumber. Penulis
mangambil falsafah Jawa sebagai obyek analisis dikarenakan masyarakat Jawa dipandang
lebih maju dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini dapat dibuktikan dengan
tingkat penduduknya yang paling padat, tersebarnya berbagai Perguruan Tinggi Negeri.
Sehingga dimungkinkan secara sumber daya manusianya lebih maju dibandingkan wilayah
lainnya. Oleh karena itu peranan falsafah Jawa harus semakin ditanamkan kepada orangorangnya agar tidak salah dalam menggunakan ilmunya.
Analisis makalah ini menggunakan kajian kualitatif dalam menganalisis data yang
ada. Menurut Bogdan dan Taylor via Endraswara kajian kualitatif merupakan prosedur
penelitian yang menghasilkan data diskriptif berupa kata-kata tertulis atau orang-orang dan
perilaku yang dapat diamati (2006:85). Dalam makalah ini penulis menganalisis dengan
mendiskripsikan tipe dan makna falsafah Jawa. Untuk itu penulis membagi makalah ini

menjadi beberapa bagian, pertama adalah pendahuluan, kedua adalah analisis dan
pembahasan, yang terakhir adalah kesimpulan.
Analisis dan Pembahasan
1. Tipe Falsafah Jawa
Berdasarkan data falsafah Jawa yang diperoleh oleh penulis. Terdapat tiga tipe
falsafah jawa. Yaitu nasihat, larangan, dan kombinasi nasihat dan larangan. Larangan

adalah perintah (aturan) yang melarang suatu perbuatan karena berbagai faktor yang
melatarbelakanginya (KBBI, 1989:409). Salah satunya adalah karena melanggar norma
ataupun falsafah dalam suatu masyarakat. Sedangkan nasihat adalah ajaran atau pelajaran
baik; anjuran (petunjuk, peringatan, teguran) yang baik (KBBI, 1989:609). Jadi nasihat
merupakan ajaran, anjuran yang baik dalam suatu masyarakat agar dipatuhi masyarakatnya.
Tipe larangan yang ada dalam falsafah Jawa dapat ditandai dengan kata “aja”
dalam bahasa Indonesia mempunya arti “jangan”. Falsafah yang mempunyai tipe larangan
dapat dilihat pada falsafah berikut ini:
“Aja leren lamun durung sayah” dalam bahasa Indonesia mempunyai makna
“jangan berhenti sebelum capek”.
“Aja dumeh” dalam bahasa Indonesia mempunyai makna “jangan mentangmentang”
“Aja milik barang kang melok, aja mangkro mundak kendo” dalam bahasa
Indonesia mempunyai makna ‘Jangan tergiur yang tampak indah, jangan mendua
agar tetap semangat”.
Falsafah Jawa yang mempunyai tipe nasihat dapat dilihat pada falsafah berikut ini:
“Pupur sadurunge benjut” dalam bahasa indonesia mempunyai makna “berhatihatilah sebelum celaka”.
“Mumpung gede rembulane, mumpung jembar segarane” dalam bahasa Indonesia
mempunyai makna “selagi kesempatan banyak terbuka, manfaatkan waktu untuk
kawruh laku”.


2. Makna kultural serta peran falsafah Jawa bagi masyarakat Jawa secara mental
dalam perkembangan iptek
Dalam kajian linguistik cabang linguistik yang membahas arti atau makna adalah
semantik (Verhar, 2010:13). Menurut Hofmann (1993:7) makna dalam semantik dibagi
menjadi dua yaitu sign

dan referent. Sign adalah tanda. Tanda adalah sesuatu yang

mewakili yang lain pada kapasitas tertentu. Sedangkan referent adalah obyek yang ada
dalam pikiran manusia.
Makna adalah gabungan antara sign dan referent. Misalnya kata ‘kucing’ (tanda),
yang terbentuk dalam pikiran kita adalah binatang yang berkaki empat (referent). Sehingga
makna ‘kucing’ bagi yang menyukai kucing adalah hewan yang lucu dan menggemaskan,
sedangkan makna kucing bagi orang yang pernah dicakar oleh kucing adalah hewan yang
menyebalkan.
Makna leksikal adalah makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa
dan lain-laian, makna leksikal ini dipunyai unsur-unsur bahasa lepas dari penggunaannya
atau konteksnya (Kridalaksana, 2008:149). Dalam makalah ini hanya akan membahas
makna kultural saja, akan tetapi terkadang makna leksikalpun disertakan untuk
memperjelas dan mempermudah dalam menganalisis makna kultural. Makna kultural

adalah makna bahasa yang dimiliki oleh masyarakat dalam hubungannya dengan budaya
tertentu (Abdullah, 1999:3). Pada masyarakat Jawa falsafah Jawa merupakan obyek yang
dijadikan patokan dan aturan dalam kehidupan sehari-hari. Makna kultural biasanya berupa
konotasi atau makna yang tidak sesungguhnya. Berikut ini adalah keseluruhan penjelasan
makna kultural dalam falsafah Jawa:
1. Holobis Kuntul Baris= bergotong royong.
Secara leksikal falsafah ini bukan bermakna holobis dan kuntul yang berbaris akan
tetapi Holobis kuntul baris adalah sebuah konotasi yang secara kultural mempunyai makna
‘bergotong-royong/bekerja’. Falsafah ini merupakan sebuah nasihat untuk saling bekerja
sama antar manusia. Fungsi dari gotong-royong adalah untuk meringankan beban,
mempermudah dan mempercepat segala sesuatu yang menjadi tujuan bersama. Kaitan
dengan perkembangan ilmu dan teknologi gotong-royong merupakan suatu tindakan yang
sangat dibutuhkan. Contohnya: dalam upaya mewujudkan masyarakat yang sehat dan

modern harus ada gotong-royong atau kerjasama antara pemerintah dan masyarakat.
Dengan adanya kemajuan iptek pemerintah menyediakan peralatan kesehatan, balai
kesehatan dan puskesmas. Sedangkan masyarakat harus memanfaatkan fasilitas tersebut
dengan sebaik mungkin. Selain itu untuk meminimalisir terjangkitnya penyakit, masyarakat
harus menjaga kebersihan lingkungan sekitar dengan membuang sampah pada tempatnya.
Sehingga upaya menciptakan masyarakat yang sehat segera tercapai.

2. Bramara mangun lingga=laki-laki yang bertingkah laku berlebihan.
Dalam falsafah ini menunjukkan sebuah nasihat bahwa laki-laki haruslah bersikap
sewajarmya dan tidak bertingkah laku berlebihan. Dengan adanya perkembangan iptek,
sering sekali laki-laki bertingkah laku melebihi kodratnya. Banyak dijumpai seorang lakilaki yang merasa pandai dalam segala hal, akan tetapi sering sekali menindas wanita dan
meremehkan wanita. Padahal seharusnya wanita adalah sosok yang harus di ayomi.
3. Kenes ora ethes=sombong (harta) tapi botol(bodoh dan tolol).
Kenes ora ethes mempunyai makna sombong dalam hal harta akan tetapi bodoh.
Secara makna kultural falsafah ini merupakan sebuah nasihat. Agar manusia tidak hanya
kaya akan harta akan tetapi juga kaya dalam ilmu. Manusia sekarang dalam menghadapi
iptek harus mempunyai ilmu. Kaya harta tanpa ilmu akan menyebabkan harta habis. Ilmu
akan kekal sedangkan harta tidak.
4. Mburu uceng kelangan dheleg=memburu hal kecil,kehilangan yang besar.
Mburu secarara leksikal bermakna ‘mengejar’, kelangan bermakna ’kehilangan’.
Sedangkan uceng dan deleng adalah sebuah perumpamaan, uceng berupa simbol yang
menandai hal yang kecil sedangkan deleg adalah hal yang besar. Makna kultural dalam
falsafah ini adalah; karena mengejar sesutu yang sepele akibatnya mendapatkan kemalangan
besar. Terkait perkembangan iptek fenomena ini sering sekali dijumpai, misalnya dengan
adanya kemajuan teknologi dalam kedokteran banyak orang yang melakukan operasi plastik
untuk mempercantik diri. Akan tetapi tidak jarang yang gagal sehingga menyebabkan
kematian.

5. Mburu kidang lumayu=mengejar hal yang sia-sia.
Mburu secara leksikal bermakna ‘mengejar’, kidang secara leksikal bermakna ‘rusa’,
lumayu bermakna ‘berlari’. Falsafah ini bukan bermakna ‘mengejar rusa yang berlari’.

Falsafah tersebut secara kultural bermakna mengejar sesuatu yang sia-sia. Rusa
disimbolkan dengan obyek yaitu binatang yang ditandai dengan hewan yang kencang
dalam berlari, manusia jika akan mengejar rusa tidak akan tertangkap. Dalam
perkembangan iptek manusia tidak boleh ikut-ikutan gaya hidup mewah seperti orang yang
berkelas atas, kalaupun mengikuti gaya hidup mereka akan sia-sia dan rugi.
6. Tinggal nglanggancolong playu=menghindari tanggung jawab.
Secara kultural falsafah ini bermakna agar kita mau bertanggung jawab atas perbuatan yang
telah kita lakukan.
7. Tuna sathak bathi sanak =kehilangan harta tambah saudara.
Secara leksikal tuna bermakna ‘rugi’, bathi bermakna ‘untung’, sanak ‘saudara’
Falsafah ini bukan bermakna rugi sedikit mendapatkan untung saudara. Secara kultural
mempunyai makna dengan berbagi (memberi) sedikit kita akan memperbanyak saudara.
Terutama dalam ilmu, meskipun sedikit ilmu harus dibagikan agar ilmu berkembang dan
membuat perubahan yang baik bagi masa depan.
8. Sanding kebo gupak =terpengaruh jelek karena lingkungan yang jelek.
Sanding secara leksikal bermakna ‘dekat’, kebo ‘kerbau’, gupak ‘kotor’. Falsafah ini
bukan bermakna ‘dekat dengan kerbau kotor’. Secara kultural falsafah berupa nasihat agar
kita berhati-hati dalam memilih teman. Seiring kemajuan iptek semuanya tidak melulu
tentang hal yang baik. Jika seseorang berteman dengan orang yang jahat secara otomatis
lama kelamaan akan mengikuti perangainya.
9. Jalma angkara mati murka = kemalangan karena tindak anarkis sendiri.
Falsafah ini berupa nasihat, secara kultural bermakna; agar manusia dapat menahan
ego dan emosinya. Apabila tidak dapat mengendalikan ego dan emosinya akan rugi sendiri.
10. Ciri wanci lali ginawa mati = hal buruk yang hanya bias dirubah setelah mati
Secara kultural falsafah ini bermakna; keburukan bisa jadi mempengaruhi orang lain.
Setelah manusia yang mempengaruhi keburukan itu meninggal keburukannya hilang
padanya. Bagi manusia yang terpengaruhi bisa jadi menjadi baik dengan cara merubah
sikap dan terus memperbaiki kualitas hidup. Dengan berkembangnya ilmu semakin lama
manusia dapat membedakan yang benar dan yang buruk. Keburukan akan ditinggalkan,
kebenaran akan dicari.

11. Ngalaske Negara =tidak nurut aturan Negara.
Secara kultural falsafah ini berupa nasihat agar senantiasa patuh terhadap aturan negara
yang berlaku. Tindakan melanggar hukum akan dikenai sanksi oleh negara. Oleh karena itu
pentingnya ilmu berguna untuk mengetahui yang benar agar tidak melanggar hukum
ataupun aturan Negara.
12. Obah ngarep kobet mburi = bersusah dahulu, bersenang kemudian.
Secara kultural falsafah ini bermakna agar manusia bekerja keras selagi muda. Pada
akhirnya ketika sudah tua nanti manusia akan menuai hasilnya dengan hidup bahagia.
Terkait dengan sudut pandang aksiologi. Ketika menuntut ilmu manusia harus sabar dan
berusaha semaksimal mungkin, agar kelak ilmu yang didapatkan dapat bermanfaat bagi diri
sendiri dan orang lain.
13. Ana catur mungkur = membicarakan hal negatif orang lain.
Falsafah ini berupa nasihat ataupun larangan, yaitu agar tidak membicarakan kejelekan
orang lain. Secara kultural falsafah ini mempunyai makna agar kita terlebih dahulu
intropeksi pada diri sendiri, apakah diri kita sudah baik sebelum membicarakan kejelekan
orang lain.
14. Jajah desa malang kori = menjelajah kemana-mana.
Falsafah ini berupa nasihat. Secara kultural mempunyai makna bahwa anak muda harus
mencari jati dirinya sendiri dengan mencoba hal-hal yang positif. Hal ini bertujuan untuk
menambah pengalaman agar kelak bermanfaat.
15. Golek banyu bening = belajar pada gurur yang benar
Banyu atau ‘air’ pada masyarakat Jawa merupakan obyek yang berupa simbol yang
menandai sumber kehidupan. Sedengkan bening secara leksikal bermakna bersih. Sehingga
bening identik dengan hal yang menandai kebenaran. Oleh karena itu golek banyu bening
secara kultural bermakna ketika manusia belajar atau menimba ilmu harus pada orang adan
tempat yang benar. Agar ilmu yang didapat merupakan ilmu yang bermanfaat.
16. Jembar segarane = berjiwa besar memaafkan.
Secara leksikal jembar bermakna ‘lebar’ sedangkan segara bermakna ‘laut’. Falsafah
ini mengajarkan kepada manusia untuk senantiasa bersabar dan saling memafkan antar
sesama.

17. Ojo leren lamun durung sayah = jangan berhenti sebelum capek.
Secara kultural manusia diajarkan untuk terus berusaha semaksimal mungkin dalam
berbagai hal. Salah satunya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agar
tidak cepat puas dan menyerah.
18. Menthung koja kena sembagine =membohongi, justru sebenarnya dibohongi.
Secara kultural memiliki; seseorang apabila membohongi orang lain perlahan-lahan
dirinya justru akan membohongi dirinya sendiri.
19. Sedhakep ngawe-awe = tergoda untuk berbuat lagi, walau sudah tobat.
Tidak ada satu orangpun yang luput dari kesalahan. Ketika menyadari dirinya berbuat
salah dirinya akan bertobat ataupun memohon maaf kepada pihak yang dirugikan. Akan
tetapi manusia adalah makluk biasa, meskipun sudah bertobat sering kali mereka
melakukan kesalahan kedua kalinya. Oleh karena itu peran falsafah dan norma yang
dijadikan pegangan hidup sangatlah penting untuk memberikan jalan kehidupan agar
senantiasa berada pada jalan yang benar.
20. Alon-alon waton klakon = pelan-pelan namun pasti terlaksana.
Secara kultural falsafah ini mmeberikan nasihat agar kita bersabar dalam menimba ilmu
dan bersabar dalam menghadapi atau menginginkan sesuatu. Suatu saat sesuatu tersebut
akan tercapai.
21. Sapa sira sapa ingsun =siapa anda siapa aku.
Sapa sira sapa ingsun merupakan sebuah fenomena yang sering sekali terjadi di kotakota besar. Masyarakat di kota besar kebanyakan tidak mengenal tetangga satu sama lain
(individualistis). Falsafah ini bertujuan untuk menasihati masyarakat kota besar untuk
menanamkan sifat kekeluargaan, kegotong-royongan seperti layaknya di desa-desa yang
masih mempunyai jiwa gotong-royong. Sehingga sapa sira sapa ingsun tidak akan terjadi
lagi.
22. Mbuwang tilas = pura-pura tidak bersalah.
Falsafah ini secara kultural mengajarkan manusia untuk bertanggung jawab atas segala
perbuatan yang telah dilakukan.

23. Dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan = bukan siapa-siapa tapi ikut merasa
kehilangan.
Falsafah ini secara leksikal mengandung makna orang yang baik jika suatu saat
meninggal banyak orang yang merasa kehilangan. Meskipun orang tersebut bukan
saudaranya sendiri. Falsafah ini memberikan nasihat agar manusia senantiasa berbuat baik
dalam hidupnya agar dikenang orang yang masih hidup.
24. Durung pecus keselek besus =belum terampil, sudah berkeinginan bermacam-macam.
Falsafah ini secara kultural mengajarkan kepada generasi muda untuk melakukan
sesuatu sesuai dengan masanya. Perkembangan iptek seperti internet pada saat ini
memberikan pengaruh kepada generasi muda. Mereka sering melakukan hal yang
seharusnya belum boleh dilakukan. Contohnya maraknya seks bebas. Perbuatan tersebut
selayaknya dilakukan oleh orang yang sudah menikah. Oleh karena itu peranan falsafah dan
norma harus ditanamkan pada mereka semenjak dini.
25. Dahwen ati open = mencela tapi menginginkan.
Falsafah ini secara kultural memiliki makna bahwa ketika orang mencela pada dasarnya
mereka iri dan menginginkan apa yang mereka celakan, hanya saja mereka tidak dapat
memilikinya.
26. Pupur sadurunge benjut = berhati-hatilah sebelum celaka.
Falsafah ini merupakan sebuah nasihat agar manusia senantiasa bersiap-siap dan berhati
sebelum kemalangan datang. Dalam kehidupan manusia diwajibkan untuk menuntut ilmu
dan bekerja keras selagi muda, agar nanti ketika tua tidak miskin ilmu dan harta.
27. Kumenthus ora pecus = berlagak pinter tapi sebenarnya tidak paham.
Secara kultural falsafah ini mengajarkan manusia untuk tidak sombong ataupun merasa
pandai karena dirinya belum tentu pandai. Selain itu manusia diajarkan untuk memainkan
peran sesuai bidang dan kemahirannya. Sehingga kumenthus ora becus tidak akan pernah
ada.
28. Micakake wong melek = tidak tahu malu, padahal mengetahui orang lain tahu perbuatan
jeleknya.
Seiring perkembangan iptek, terkadang budaya malu kian lama kian hilang. Meskipun
orang lain tau bahwa dirinya berbuat salah dan memalukan. Tanpa merasa malu mereka

menunjukkan kepada orang lain bahkan merasa bangga. Pada zaman sekarang pelaku seks
bebas dengan bangganya ditunjukkan kepada orang lain tanpa malu. Falsafah ini
memberikan nasihat agar manusia tidak melakukan sesuatu yang memunculkan fenomena
micakake wong melek.
29. Aja dumeh =jangan mentang-mentang.
Secara makna leksikal aja bermakna ‘jangan’ sedangkan dumeh memiliki makna
‘mentang-mentang/sombong’. Falsafah ini melarang kita untuk bertindak sombong atau
berlaku semaunya sendiri terhadap orang lain.
30. Yuyu rumpung, mbarong ronge = kediaman besar/mewah, namun sejatinya miskin.
Falsafah ini memberikan nasihat yang mengingatkan agar manusia memiliki kekayaan
hati berupa ketekunan dalam beragama, kaya ilmu, dan perbanyak teman. Hal ini karena di
zaman iptek yang canggih ini sering kali mereka kaya harta akan tetapi tidak disukai orang
lain.
31. Belo melu seton =ikut-ikutan tetapi tidak paham.
Belo adalah kuda jantan yang identik dengan hewan yang kuat, sedangkan seton adalah
binatang yang kecil. Maksud dari falsafah ini agar manusia jangan hanya ikut-ikutan karena
tidak paham. Dalam masyarakat sering kali ditemui fenomena ikut-ikutan supaya menjadi
ngetren, padahal dibalik ajang mengikutnya mereka tidak paham maksudnya apa.
32. Kutuk marani sunduk, ula marani gebuk = menerjang mara bahaya.
Dalam perkembangan ilmu falsafah ini sering sekali dialami oleh orang-orang yang
beraksi dalam ajang ilmunya, seperti ilmu sulap dan lain-lain. Kurang profesionalnya
seorang pesulap dapat mengakibatkan celaka yang besar pada dirinya. Terlebih lagi apabila
tindakan tersebut ditiru oleh orang awam. Falsafah ini juga berlaku pada bidang lain.
Falsafah ini mengajarkan kita untuk lebih berhati-hati dan berfikir sebelum bertindak.
33. Nandur pari jero = menanam kesabaran/kebaikan
Seiring majunya iptek orang-orang cenderung untuk melakukan segala sesuatu dengan
cepat dan instan. Sikap ini akan merugikan pada akhirnya. Berbeda dengan sesuatu yang
dilakukan secara wajar. Oleh karena itu secara kultural falsafah ini mengajarkan manusia

untuk sabar dalam memperoleh sesuatu hal. Karena sesuatu yang dimulai secara wajar dan
sungguh-sungguh akan memberikan hasil dalam jangka panjang juga.
34. Aji mumpung= manfaatkan kesempatan demi kepentingan pribadi.
Untuk mewujudkan suatu keinginannya sering kali orang melakukan aji mumpung
suapaya cepat dalam memperolehnya. Hasilnya pun tidak berjangka panjang karena
hanya memanfaatkan situasi tanpa menggunakan aspek keterampilan atau kemampuan
yang seharusnya digunakan dalam bidang itu. Secara kultural falsafah ini mempunyai
makna agar dalam upaya memperoleh sesuatu harus dilakukan berdasarkan kemampuan
yang dimiliki.
35. Ajining diri ana ing busana = kehormatanmu berada di pikiranmu
Secara kultural falsafah ini mengandung makna agar manusia senantiasa menjaga
pikirannya, pikiran yang baik akan merepresentasikan tindakan yang baik pula, yang
pada akhirnya membentuk suatau kepribadian yang baik pula.
36. Kesandhung ing rata, kebentus ing tawang = berani (menghadapi) bahaya yang tak
terduga.
Falsafah ini merupakan nasehat agar manusia menjadi pribadi yang siap dalam
menghadapi rintangan dalam hidup. Kehidupan manusia tidak selamanya baik,
adakalanya manusia mengalami masalah. Peran dari falsafah sangat penting untuk
menguatkan diri ketika menghadapi masalah. Selain itu ilmu yang baik akan membantu
dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi.
37. Aja milik barang kang melok, aja mangro mundak kendo = jangan tergiur yang
tampak indah, jangan mendua agar tetap semangat.
Falsafah ini mengajarkan manusia untuk konsisten terhadap pandangan hidup yang
diyakininya. Sehingga tidak mudah tergiur yang terlihat indah ataupun tergiur dengan
cara cepat untuk mendapatkan sesuatu. Karena hal tersebut sebenarnya menjerumuskan.
38. Mumpung gede rembulane, mumpung jembar segarane= selagi kesempatan banyak
terbuka, manfaatkan untuk peningkatan kawruh laku.
Falsafah ini dapat dimaknai bahwa sebagai kawula muda sebaiknya memanfaatkan
waktu sebaiknya untuk menimba ilmu, karena jika masa tua dating mereka tidak dapat
lagi memeperoleh kesempatan yang sama seperti selagi muda.
39. Mikhul dhuwur, mendhem jero= menjunjung tinggi, meneladani kebaikan dan
menjaga nama baiknya (berbakti).

Secara kultural falsafah ini mengandung makna agar manusia senantiasa
menjunjung tinggi norma, meneladani kebaikan dan senantiasa menjaga nama baik
dirinya maupun keluarganya.
40. Ngundhuh wohing panggawe= memetik hasil perbuatannya sendiri.
Falsafah ini secara kultural mengajarkan manusia untuk berbuat baik dalam segala
hal, bersungguh-sungguh dalam segala hal. Karena pada akhirnya apa yang manusia
usahakan akan memperoleh hasilnya pada kemudian hari. Begitu juga kebaikan yang
dilakukan manusia akan berbuah manis pada akhirnya. Kaitan dalam menuntut ilmu
manusia harus bersungguh-sungguh pada akhirnya bagi yang bersungguh-sungguh akan
memperoleh sesuatu sesuai usahanya yaitu prestasi.
41. Lamun sira durung wikan kadangira pribadi, coba dulunen sira pribadi= bila belum
mengenal saudara sejatimu di dalam diri, ketemu dulu dirimu yang sejati.
Falsafah ini mengajarkan kepada manusia untuk mengenali dirinya sendiri.
Mengenali dalam maksud tahu kelemahan dan kekurangan serta sifat-sifatnya. Dengan
mengenali diri sendiri manusia akan melakukan segala sesuatu sesuai dengan
kemampuannya.
42. Memayu hayuning bawana= menjaga/melindungi seluruh dunia/alam.
Seiring perkembangan iptek manusia melakukan ekplorasi dan ekploitasi alam
untuk mengambil manfaatnya tanpa memperhatikan kelestariannya. Falsafah ini
mengajarkan manusia untuk menyayangi dan melindungi alam sekitar.
43. Aja ketungkul marang kalungguhan, kadonyan lan kemareman= jangan dikungkung
keinginan menguasai/kedudukan dan kepuasan duniawi.
Secara kultural falsafah ini mempunyai makna agar manusia tidak serakah terhadap
segala sesuatu yang ada di dunia, seperti kedudukan, harta dan lain sebagainya.
44. Ngelmu kang nyata, karya reseping ati=berilmu yang sejati, beroleh ketentraman di
hati.
Secara kultural falsafah ini merupakan sebuah nasihat bagi manusia untuk menuntut
ilmu dan bersungguh-sungguh. Ketika manusia memiliki ilmu maka hatinya akan
tentram karena tau kebenaran yang sesungguhnya.
45. Mulat sarira hangrasa wani=berani untuk intropeksi diri.
Falsafah ini berupa nasihat, secara kultural falsafah ini memiliki makna agar
manusia mau untuk intropeksi terhadap dirinya sendiri. Melihat kesalahan-kesalahan
yang dilakukannya di masa lalu dan memperbaikinya untuk masa depan. Kaitan dalam
iptek sangatlah penting, seorang ilmuan harus berani intropeksi terhadap temuan-

temuannya sebelumnya, hal apakah yang menjadi kekurangannya dan terus berusaha
untuk menyempurnakan penemuaj-penemuan tersebut.
46. Aja kurang pamariksanira den agung pangapura= jangan sampai tidak peduli dan
berjiwalah besar untuk mengampuni.
Secara kultural falsafah ini memiliki makna agar manusia mempunyai jiwa untuk
saling memaafkan terhadap sesama. Selain itu manusia juga memiliki jiwa besar untuk
kepentingan bersama.
47. Aja sira deksura, ngaku pinter tinimbang sejene= janganlah congkak, merasa lebih
pintar daripada yang lainnya.
Secara kultural falsafah ini bermakna agar manusia tidak sombong terhadap
kepandaiannya. Lebih baik menjadi ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk,
semakin pandai maka semakin rendah hati.
48. Urip rukun, aja gawe pati lan larane liyan= hiduplah akur, jangan melakukan hal yang
menyebabkan penderitaan dan binasanya sesama.
Secara kultural falsafah ini mengandung makna agar antar manusia dan lainnya
dapat hidup rukun dan tidak menyakiti satu dan lainnya. Dalam kaitannya dengan
kemajuan iptek, teknologi selayaknya digunakan semestinya agar tidak merugikan
orang lain. Contohnya; adanya penemuan senjata, janganlah digunakan untuk saling
membunuh ataupun berperang yang pada akhirnya menyakiti orang lain.
49. Yen arep weruh trahing ngaluhur, titiken alusing tingkahlaku budi bahasane= yang
memiliki tradisi berbudi luhur akan terlihat kehalusan tingkah laku, budi pekerti dan
bahasanya.
Secara kultural falsafah ini mengandung makna agar manusia memiliki budi pekerti
yang baik. Budi pekerti yang baik akan mencerminkan tingkah laku yang baik. Atau
dalam kata lain tingkah laku nyang baik akan terlihat karena memiliki budi pekerti yang
baik
50. Darbe kawruh ora ditangkarake, bareng mati tanpa tilas= memiliki pengertian benar
jika tidak dikembangkan saat mati tidak berbekas.
Secara kultural falsafah ini mengandung makna agar manusia mengajarkan dan
mengembangkan ilmu yang manusia miliki. Jika tidak ilmu itu akan hilang jika manusia
mati.
Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis falsafah Jawa diatas. Terdapat tiga tipe falsafah Jawa,
diantaranya tipe larangan, nasihat serta kombinasi antara nasihat dan larangan. Penggunaan
kosakata dalam falsafah tersebut disesuaikan dengan pandangan masing-masing komunitas
masyarakat yang bersangkutan. Kosakata tersebut dalam linguistik merupakan suatu tanda
yang memaknai sesuatu berupa pandangan hidup yang luhur.
Berdasarkan uraian makna kultural dalam falsafah Jawa diatas, secara mentalitas
falsafah tersebut sangatlah penting dalam perkembangan iptek. Berdasarkan analasis secara
kultural falsafah Jawa mengajarkan tentang; kesetiaan, kerja keras, pantang menyerah,
berperilaku baik, menyayangi alam ataupun sesama, rendah hati dan lain-lain. Secara
umum mengingatkan anggota masyarakatnya untuk berpegang teguh pada falsafah Jawa
agar menjadi manusia yang baik yang memegang nilai, norma dan falsafah hidup. Sehingga
perbuatan terhadap penyimpangan penggunaan ilmu dan teknologi tidak akan terjadi.
Falsafah tersebut dipasang di tempat-tempat umum agar mengingatkan orang-orang
yang membacanya yang akhirnya menjadi kebiasan dan tingkah laku kesehariannya.
Apabila kebiasaan telah dimiliki, perbuatan-perbuatan mengalir secara spontan dan hampirhampir otomatis sehingga unsur bimbingan yang sengaja menjadi tidak perlu
(Poespoprodjo, 1986:96).
Referensi
Abdullah, W. 2013. Etnolinguistik: Teori,metode dan aplikasinya. Sukarta: FSSR UNS.
Chaer, A. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Endaswara, S. 2006. Metode, Teori,Teknik Penelitian Kebudayaan: Idiologi, Epistemologi,
dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Hofmann.Th. R. 1993. Realms of Meaning: An Introduction to Semantics. England:
Longman.
Kridalaksana, H. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: Universitas Indonesia.
Moeliono, A,M dkk. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Muslih, M. 2005. Filsafat Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori
Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar Yogyakarta.

Poedjosoedarmo, S. 2009. Perspektif Ilmu Linguistik (makalah kuliah Perdana Program S3
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada). Yogyakarta.
Poespoprodjo, W. 1986. Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori Dan Praktek. Bandung:
Remadja Karya CV Bandung.
Suriasumantri, J,S. 2010. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Tarigan, H, G. 1993. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa.
Verhaar, J.W.N. 2010. Asas-asa Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Komposisi Struktur Modal Pada PT Bank Syariah Mandiri (The Analysis of Capital Structure Composition at PT Bank Syariah Mandiri)

23 288 6

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

Diskriminasi Perempuan Muslim dalam Implementasi Civil Right Act 1964 di Amerika Serikat

3 55 15