A. Pendahuluan - KH Hasyim Asy'ari dan NAhdlatul Ulama.pdf

  

K H . H asyim Asy’ar i dan N ahdlatul

U lam a: Per kem bangan Awal dan

K ontem por er

  

H . H ar tono M ar gono

Abstr ak:

  

Ar t i k el i n i m embah as t en t ang per k emban gan aw al dan

kontemporer Nahdlat ul Ulama (NU). Art ikel i ni berargumen

bahwa salah sat u organisasi kemasyarakatan I slam terbesar di

I ndonesia tersebut baik dalam masa awal berdirinya maupun

kontemporer t idak bisa dipisahkan dari sosok sang pendi ri, K.H .

H asyi m Asy’ari . NU sendiri merupakan buah pemiki ran K.H .

H asyi m Asy’ar i t ent ang I sl am I ndonesi a. Pada akhi r nya,

pemikiran tentang I slam I ndonesia tersebut banyak memengaruhi

sikap keberagamaan Muslim I ndonesia dan tetap relevan hingga

sekarang.

  K ata K unci : K.H . H asyim Asy’ari, NU, I slam I ndonesia.

A. Pendahuluan

  Dal am sej arah I ndonesia, sejak masa pra-Kemerdekaan hi ngga saat i ni , posi si dan per anan ul am a cukup penti ng ter hadap pr oses per ubahan soci al kemasyar akatan, kar ena ulama merupakan tokoh panut an bagi um at I sl am yang m er upakan agama t er besar di I ndonesia.

  Agama pada dasarnya bersi fat independen, yang secara teoretis dan dogm at i s saat m un gk i n t er l i bat dal am k ai t an sal i n g mempengar uhi dengan kenyataan sosi al , ekonom i dan pol i ti k.

  336 H. HARTONO MARGONO

  Sebagai uni t yang i ndependen, maka bagi penganutnya, agama mempunyai kemungkinan yang tinggi untuk menentukan pola prilaku manusia dan bentuk struktur soci al, dengan demiki an ajaran agama (aspek kultural dari agama) mempunyai potensi untuk mendor ong atau bahkan menahan proses perubahan sosial dimana dalama agama I sl am yang str ategis untuk melakukan hal itu adal ah ul ama dan 1 pendidikan (pesantren). Ji ka di t el usur i l ebi h j auh t ent ang per anan ul am a dal am mewarnai proses perubahan sosial di I ndonesi a, maka akan tercatat beber apa tokoh penti ng dar i ber bagai gol ongan dan kel ompok masyarakat, di antaranya adalah KH . H asyim Asy’ari.

  KH . H asyi m Asy’ari merupakan seorang ulama yang terkemuka dizamannya, karena dia adalah pendiri pondok pesantren Tebu I reng dan ikut serta mendor ong untuk melakukan perl awanan terhadap penj aj ahan, disisilain dia adal ah tokoh penting dal am berdir inya Nahdlatul Ulama yang kelak dalam sejarah I ndonesia akan menj adi ormas I slam terbesar dan memainkan peranan yang cukup signifikan 2 dal am ber bagai perubahan sosial dan politik di I ndonesi a. Ber angkat dari pemikiran yang demikian maka dalam makalah i ni penuli s akan menyaji kan secara si ngkat tentang KH . H asyi m

  Asy’ari dan Nahdlatul Ulama per kembangan awal dan kontempor er, hal ini tentunya dimaksudkan untuk membedah pemi ki ran serta pengar uhnya ter hadap per kembangan pemi ki r an moder n dal am I sl am khususnya di I ndonesia.

  B. Biogr afi K H . H asyim Asy’ar i

  KH. H asyim Asy’ari atau nama lengkapnya M uhammad H asyim, lahir di desa Gedang Jombang pada 24 Zulkaidah 1287 H/ 14 Februari 1871, 3 dan wafat di Jombang pada Juli 1947.

  Secar a genealogi, KH . H asyim Asy’ari merupakan keturunan kyai , kar ena kakek buyutnya adalah Kyai Sihah yang merupakan pendiri Pondok Pesantren Tambak Beras, sedangkan kakeknya Kyai Usman adalah kyai ter kenal pendi r i pondok pesantren Gedang,

  K. H. HASYIM ASY’ ARI DAN NAHDLATUL ULAMA 337

  sedangkan ayahnya Asy’ari adalah pengasuh pondok pesantren Keras di Jombang.

  Dar i silsilah ini maka dapat di lihat bahwa KH . H asyi m Asy’ari lahir dan dibesarkan di li ngkungan pondok pesantr en. Bahkan pada usi a 13 tahun i a sudah menguasai ki tab-ki tab I sl am kl asi k dan di angkat menj adi badal (asi sten pengajar ) di pondok pesantr en ayahnya.

  Pada usi a 15 tahun, H asyi m Asy’ar i mul ai mengembar a ke ber bagai pesantren di pul au Jawa untuk memperdal am il mu agama, seperti di Pesantren Wonocol o Jombang, Pesantr en Pr obolinggo, Pesantren Langi tan, Pesantern Tranggil is, dan berguru kepada Kyai Kholil di Bangkalan, M adura.

  Pada 1893, KH . H asyim Asy’ar i ber angkat ke M ekah untuk memperdal am ilmu agama dan berguru kepada Syekh M ahfudh At- Tar misi yang berasal dari Tremas, Jawa Timur. Syekh M ahfudh At- Tar misi menjadi pengajar di M asjidil H aram dan merupakan ul ama ahli hadits di M ekah, beliau adalah murid Syekh Nawawi Al-Bantany yang menj adi murid Syekh Ahmad Khati b SyamBasi (tokoh tasawuf yan g ber hasi l m en ggabun gkan t ar i k at Qadar i ah dan t ar i kat 4 Naqsabandiah). Untuk m el engkapi penget ahuannya di bi dang agama, KH . H asyim Asy’ari kemudian berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Al- M inangkabau. Namun dari sekian banyak gurunya itu, yang pal ing mempengar uhi j al an pi ki r an KH . H asyi m Asy’ar i adal ah Syekh M ahfudh At-Tarmi si . Dari gurunya inil ah dia memperoleh i jazah tar ikat Qadari ah dan Naqsabandi ah.

  Setelah 7 tahun belajar di M ekah, KH . H asyim Asy’ari pul ang ke Jawa dan mendirikan pondok Pesantren Tebu Ireng di Jombang pada 26 Rabi ul Awal 1317 H / 1899 M . Di pondok pesantren ini lah KH .

  H asyim Asy’ari mengajarkan kitab-kitab klasik kepada santrinya yang oleh kalangan NU dikenal dengan “ kitab kuning”. Dar i pesantren ini pula kemudian banyak bermunculan kyai dan ulama terkemuka yang 5 mewarnai pemikiran I slam di I ndonesi a. Adapun pemi ki r an KH . H asyi m Asy’ar i di antar anya akan

  338

H. HARTONO MARGONO

  dipaparkan dal am sub-sub di bawah.

  Bida ng Pendidi ka n

  Setelah mendir i kan pondok Pesantr en Tebu I r eng, KH . H asyi m Asy’ari mewar nai lembaga pendidi kannya dengan pandangan dan metodologi tr adi si onal. I a banyak mengadopsi pendi dikan I slam kl asik yang lebi h mengedepankan aspek-aspek nor mati f, tradi si bel ajar-mengajar, dan etika dalam belajar yang dipandangnya telah m engant ar kan umat I sl am kepada zam an keeemasan. Dal am karyanya, Adab al -‘Al im w a-Al-M utta’al li m, KH . H asyim Asy’ari terl ihat banyak dipengar uhi oleh tradisi pendidikan I slam klasik dan 6 penul i s-penul i s kl asi k seper ti I mam al -Ghazal i dan Al -Zar nuj i .

  Namun hi ngga sekar ang pesantren dan NU adalah pilar tegaknya I sl am t r adsi onal , ser t a m enj adi basi s ger akan N U sej ak m asa per juangan mel awan penjaj ah hingga zaman sekarang. Sampai saat ini lembaga pendidikan pesantr en masih tetap eksis dan sur vive dengan segala kemajuan pembaharuan, seperti pondok pesantr en Sal afi yah Syafi ’i yyah, I nsti tut Agam a I sl am I br ahi my, Pondok Pesantren Nurul Jadid, I nstitut Keislaman H asyim Asy’ar i, Pondok Pesantren Darul Ulum, Akper, dll.

  Pa ha m kea ga m a a n

  Pemikiran KH . H asyim Asy’ari dalam paham keagamaan terlihat dari pembelaannya terhadap cara beragama dengan si stem bermazhab. I ni lah pandangannya yang erat kaitannya dengan sikap beragama mayoritas kaum M uslimin yang disebut sebagai “ahli sunnah w al

  

j ama’ah”. Pemi ki rannya tentang paham ber mazhab ini ter tuang

  dal am karyanya Qanun Asasy li-Jam’iyyati Nahdlatul Ulama yang kemudian dijadi kan pi jakan dasar organisasi NU.

  M enurut KH. H asyim Asy’ari, paham bermazhab timbul sebagai upaya untuk memahami ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah secara benar, sebab dal am sej arahnya, sebagai upaya pemahaman ter hadap dua sumber utama ajaran I slam itu, sering terj adi perselisihan pendapat.

  K. H. HASYIM ASY’ ARI DAN NAHDLATUL ULAMA 339

  H al ini menyebabkan banyak lahir pemikir besar (mujtahid). Namun kar ena pem i ki r an m er eka t i dak gam pang di r um uskan secar a seder h ana, KH . H asyi m Asy’ar i m enyi m pul kan bahwa unt uk pemahaman keagamaan dan fiqih di tetapkan empat mazhab (Syafi’i, M al i ki , H ambal i , dan H anafi ) yang menj adi ci r r i utama paham 7 ahl usunnah dan NU.

  Bida ng Teologi

  KH . H asyim Asy’ari dal am kar yanya yang berjudul al-Risalah al-

  Tauhidiyyah dan al-Qaid fi Bayan Ma Yajib Min al-Qaid menjelaskan

  bahwa ada tiga tingkat apr esiasi manusia tentang Tuhan. Per tama, meliputi penilaian tentang keesaan Tuhan (adalah pemahaman tauhid untuk orang awam). Kedua, pengetahuan dan teori kepasti an adalah bersumber dari Allah (pemahaman tauhid untuk para ulama). Ketiga, menggambarkan dari perasaan yang paling dalam akan keagungan Tuhan (untuk para sufi yang membawa kepada pengetahuan tentang 8 Tuhan atau M a’rifat).

  Bida ng Ta r ika t

  Tar ikat j uga tidak l uput dari perhatian KH . H asyim Asy’ari . H al ini sebagaimana tertuang dalam karyanya al-Dur ar al-M untasyir ah fi

  M asail al-Tis’a ‘Asyar ah yang beri si tentang bimbingan praktis agar

  umat I slam lebi h berhati-hati memasuki dunia tarikat. Dalam ki tab ter sebut, KH . H asyim Asy’ar i menj elaskan apa arti wali Allah yang 9 sel ama ini dij adikan sandaran kaum tarikat.

C. K H . H asyim Asy’ar i dan N ahdlatul U lam a

  Kelahiran Nahdlatul Ulama merupakan respons terhadap munculnya gagasan pembaharuan I slam di I ndonesi a yang banyak di pengar uhi pem i k i r an at au f ah am W ah abi ser t a i de- i de pem bah ar uan Jamaluddi n Al-Afgani dan M uhammad Abduh.

  Ger akan pembaharuan I slam di I ndonesia, khususnya di Pulau Jawa, dipelopori oleh KH . Ahmad Dahlan yang kemudian pada 1912

  340

H. HARTONO MARGONO

  membentuk or gani sasi M uhammadi yah yang banyak mel akukan kritik terhadap praktik-praktik keagamaan yang dilakukan kelompok muslim tradisional, seperti menolak tarikat atau praktik seperti talqin yang berkembang sebagai tradisi keagamaan musli m tradisional.

  Puncak dar i per t ent angan m usl i m “ m oder n” dan m usl i m “tr adisional” ini terjadi ketika pemerintah I bnu Saud dari keraj aan Saudi Arabi a ingin mengadakan kongres tentang kekhal ifahan di M ekah dal am usahanya untuk mendir ikan kekhali fahan baru. H al i ni mendapatkan respons yang posi tif dari tokoh-tokoh I sl am di I ndonesia, sehi ngga diadakanlah kongres di Bandung yang dihadiri kelompok I slam modernis dan tr adi sional . H asi l dari kongres i ni m enunj uk Tj okr oam i not o dar i SI dan KH . M as M ansyur dar i M uhammadi yah (keduanya kel ompok moder nis) untuk mengikuti k on gr es t en t an g k ek h al i f ah an di M ek ah t er sebut . H al i n i menimbulkan kekecewaan kelompok I slam tradisional kar ena ti dak t er waki l i m engi kut i kongr es ter sebut . Kar ena i t u KH . Wahab H asbul l ah ( kel om pok t r adi si onal ) m en gusul kan agar ut usan I ndonesia meminta kepada pemerintah Wahabi Saudi Ar abia agar tetap mempertahankan ajaran dan praktik keagamaan empat mazhab, 10 wal aupun permi ntaan itu ditolak.

  Untuk memperjuangkan aspir asi ul ama-ul ama tradisi onal agar dapat ber temu dengan Raja I bnu Su’ud, pada 31 Januari 1926 KH . Wahab H asbullah mengundang ulama tradional terkemuka seperti KH . H asyi m Asy’ari, KH . Asnawi, dan beberapa tokoh lainnya untuk membicarakan langkah-langkah atas utusan ulama tradisional untuk dapat mengirimkan utusan sendiri mengikuti kongr es kekhalifahan di Ar ab Saudi , dal am per t emuan ter sebut di hasi l kan beber apa keputusan penting sebagai berikut:

  1. M er eka secar a r esmi mem bentuk kom i te H i j az, yang akan mengirimkan utusan sendiri untuk menghadapi Raja I bnu Su’ud.

  2. M embentuk or gani sasi yang ber fungsi sebagai wahana par a ul am a dal am membi m bi ng ul ama m encapai kej ayaan, dan 11 organisasi ter sebut diberi nama “Nahdlatul Ulama”.

  Adapun peranan KH . H asyim Asy’ari dalam pembentukan NU

  K. H. HASYIM ASY’ ARI DAN NAHDLATUL ULAMA 341

  ini sangat penting, karena restu dan legitimasi yang dia berikan sangat ber pengar uh ter hadap pembentukan organisasi NU. Oleh karena itu dia ditunjuk sebagai r ai s akbar , sementar a ketua tanfiziyah adalah H . H asan Gipo. Dalam perkembangan sel anjutnya, warna dan corak NU sangat dipengaruhi ol eh KH . H asyim Asy’ar i. H al ini terlihat dari pidato ifti tah yang disampaikannya kepada warga NU tentang faham Ahl ussunnah Wal Jama’ah yang menganut satu dari empat mazhab yang dijadikan sebagai azas NU. Bahkan muqaddimah NU Qonun

  Asasy karangan beliau dijadikan sebagai satu kesatuan yang utuh dari Anggaran Dasar NU.

  Banyak kalangan prihatin dengan semakin terseretnya kyai-kyai dal am pusar an ar us pol i ti k pr akti s dewasa i ni . Bahkan M antan M enter i Agama M M aftuh Basyuni dal am beber apa kesempatan menyer ukan agar kyai kembali ke pesantr en sebagai mana mi liter kembali ke bar ak.

  M eski demi ki an, banyak kal angan sepakat dengan gagasan tentang pentingnya kyai kembali ke pesantren. Bukan karena poli tik tidak penting, tetapi karena pengembangan pesantren justru akan lebih menentukan wajah masyarakat dan bangsa di masa depan.

  Di sinilah menj adi penting kita belaj ar pol itik kepada H adratus SyeKH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan Pesantren Tebuireng Jombang. Kyai H asyim adalah sosok kyai yang mampu membangun pesantrennya dan sekaligus tetap mempunyai pengaruh penting dalam kehidupan poli tik kenegaraan.

  Sampai saat ini, Kyai Hasyim diakui dan dikenang sebagai ulama besar kar ena investasi poli ti knya untuk bangsa, i ntegri tas, ser ta war isan keilmuan dan kelembagaan yang abadi. KH H asyim adalah seorang ulama karismatik yang di hormati masyarakat dan disegani penguasa. Rasa hormat diberikan karena Kyai H asyim adalah seorang kyai yang luas dan dalam pengetahuan agamanya.

  I a seorang ulama dengan pendirian yang tegas dan mengabdikan hi dupnya untuk suatu pr oses tr ansfor m asi masyar akat secar a menyeluruh. I a juga di akui sebagai ul ama besar kar ena keberha- sil annya mendidik santri-santri menjadi tokoh besar di kemudian

  342

H. HARTONO MARGONO

  har i. Seperti ditulis Greg Fealy, menteri-menteri dari unsur NU di masa Pr esi den Soekar no dan anggota par l emen dar i Par tai NU sebagian besar adalah santr i Kyai H asyi m di Tebuireng.

  Lebih dar i itu, kebesaran Kyai H asyim bukan hanya karena ia seorang ulama yang teguh, tetapi juga seorang patriot yang mencintai tanah air nya. I a tanpa kenal lelah mendidi k santri-santrinya menjadi ahl i agama sekaligus pejuang bangsa untuk merebut kedaulatan dan kemerdekaan tumpah darahnya. Kyai H asyim bukan hanya melawan kol oniali sme dalam arti militer , tetapi juga kolonial isme kultur al.

  Kar ena itu, ia sempat mengharamkan santri dan masyarakat memakai pakaian yang menjadi kebiasaan kaum penjajah seperti dasi dan celana. Seperti ditulis Abdurrahman Wahid dalam Bunga Rampai

  

Pesantr en, pada masa perlawanan terhadap pemerintah kolonial, kyai

  dan pesantren secara kultur al ber fungsi sebagai benteng pertahanan menghadapi penetrasi kebudayaan luar.

  Fungsi yang demikian menghendaki adanya proses “pemurnian” agama dal am batas-batas tertentu, dimulai dari penonjolan aspek

  

syar a (formal isme hukum agama) di pesantr en. Patr ioti sme dan

  nasi onal i sme Kyai H asyi m j uga di tunj ukkan keti ka i a ber sama sej umlah kyai memelopori Resolusi Ji had pada 22 Oktober 1945.

  Resol usi i t u ber i si ser uan k epada um at I sl am un t uk membangkitkan perang suci (j ihad) dalam rangka mempertahankan kemer dekaan dengan mengusi r tentar a Sekut u dan Bel anda di bel akangnya yang hendak kembali menjaj ah I ndonesi a. Resolusi itu sendiri didasar kan atas fatwa Kyai H asyim bahwa Negara Kesatuan Republik I ndonesia (NKRI ) yang diproklamasikan Soekarno-H atta adalah sah secara fikih.

  Dengan demikian, Kyai H asyim telah memberi status kepada NKRI sebagai negara yang sah di mata hukum agama (fi ki h). Di samping seorang nasionalis, Kyai H asyim juga bukan sosok yang haus jabatan. Ia tidak pernah tergoda untuk berpolitik praktis. Ketika diberi j abat an ol eh Jepang sebagai Kepal a Shum ubu ( Kantor Ur usan Agama), misalnya, jabatan itu ia serahkan kepada putranya, KH . A Wahid H asyim. Jadi Kyai H asyim hanya menjadi kepala secar a de

  K. H. HASYIM ASY’ ARI DAN NAHDLATUL ULAMA 343 jur e.

  Demikian juga j abatan sebagai Ketua M asyumi . Semua urusan pol i ti k pr akti s di del egasi kan kepada putr anya, sementar a Kyai H asyim sendi ri tetap isti qamah ber dakwah dan menj adi gur u di pesantren. I a tidak pernah meninggalkan-apalagi melalai kan-tugas utamanya sebagai kyai pesantren.

  Kyai H asyim tidak per nah melarang kyai dan santri-santri nya ber politi k. I a sendir i memberi contoh bagaimana berpolitik. Namun pol itik Kyai H asyim adalah politi k makrostrategis. I a benar-benar melibatkan dirinya dalam urusan pol itik jika ada situasi darurat yang m engancam kedaul at an bangsa dan kemer dekaan um at untuk menjalankan aj aran agamanya.

  Dengan demikian, Kyai H asyim melibatkan dir i dal am urusan politik untuk jangka waktu tertentu, sementara urusan politik praktis diserahkan kepada or ang l ain yang pas di bidang itu. I barat seor ang resi yang hanya turun dari padepokan di atas gunung ketika situasi masyarakat sedang kacau dan membutuhkannya. Kalau situasi sudah nor mal, sang resi akan kembali berkhal wat di padepokannya.

  Demikian juga Kyai H asyim. I a hanya terjun ke duni a poli tik dalam situasi dan alasan khusus. Selebihnya ia kembali ke pesantren m en gabdi kan h i dupn ya un t uk pen di di k an , dak wah , dan pemberdayaan umat.

  Keber ani an unt uk m enj aga j ar ak dengan pol i t i k pr akt i s menjadikannya tidak pernah kehilangan wawasan dan kebijaksanaan (w i sdom) untuk mem aham i per soal an secar a m enyel ur uh dan mencar ikan al ter natif solusi yang lebih di ter ima masyar akatnya. Benar yang dikatakan KH A Wahab Chasbullah, seper ti dikutip Allan A Samson dalam Karl D Jackson & Lucian W Pye (Eds.), Political

  Pow er and Communications in I ndonesia, bahwa I slam dan poli tik seperti gula dan manisnya.

  Jika seseorang bisa memisahkan gula dari manisnya, dia akan mampu memisahkan I slam dari politik (if someone is able to separ ate

  sugar fr om its sw eetness,he w ill be able to separ ate I slamic r eligion fr om politics). Namun Kyai H asyim telah mencontohkan bagai mana

  344

H. HARTONO MARGONO

  cara berpolitik kyai yang efektif tanpa mengorbankan tugas utamanya sebagai pemimpin umat.

  Dengan demikian, dibutuhkan kearifan dan kedalaman wawasan sehingga seorang kyai tahu kapan harus terlibat dalam ur usan politik str ategis dan kapan harus menari k diri atau menjaga jar ak dengan duni a poli tik.

  I tulah KH . H asyim Asy’ari. Seorang kyai besar yang konsisten dan fokus mem bangun l andasan yang kokoh bagi tr ansfor masi masyarakat dan bangsa secar a luas. Suatu sikap yang mungkin sulit untuk diikuti secara konsisten saat ini, kecuali bagi mereka yang ikhlas dan sungguh-sungguh.

  D . N U dar i Awal Per kem bangan hingga K ontem por er

  Kel ahiran Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926 silam sebenarnya tak bisa dilepaskan dengan perkembangan kelompok I sl am yang secara r el ati f ber hal uan pembar uan ke ar ah “ yang di sebut” pemurni an (pur ifikasi) aj aran I slam.

  Organisasi M uhammadiyah—didir ikan di Yogyakarta pada 1912 ol eh KH Ahm ad Dahan—yang kemudi an ger akannya di anggap cender ung ber beda dengan kebiasaan pr aktik-prakti k keagamaan (I slam) masyarakat lokal merupakan bagian dari efek picu (tr igger effect) yang mempercepat lahirnya NU.

  Ditambah lagi pada saat itu gerakan pembaruan I slam di Ti mur Tengah di bawah pengaruh kuat ajaran M uhammad bin Abdul Wahab (Wahabi) di anggap sudah kebabl asan karena sudah sampai pada kei nginan membongkar makam Rasulullah SAW. Kalangan ul ama I ndonesi a ber hal uan Sunni akhi r nya membentuk komi te ( yang disebut Komite H ijaz) yang selanjutnya diutus khusus untuk menemui 12 Raja Fahd di Arab Saudi.

  Di balik sikap reaktif itu, sebenarnya para ulama Sunni Indonesia memiliki misi mempertahankan budaya pluralisme kebangsaan yang membumi . Per tama, pada tingkat lokal, para ulama NU tidak ingin membenturkan ajaran I slam dengan kebiasaan beragama masyarakat

  K. H. HASYIM ASY’ ARI DAN NAHDLATUL ULAMA 345

  set em pat . Tepat n ya, par a ul am a N U ber upaya sel al u mengharmoniskan hubungan antar a pengamalan agama dan praktik budaya lokal.

  

K edua, secar a un i ver sal , par a ul am a NU ber upaya

  memperkenalkan dan menghendaki penghargaan terhadap nilai-nilai per bedaan yan g ek si s di dal am m asyar ak at dun i a, den gan menunj ukkan toler ansi dan pembel aannya ter hadap upaya atau keingi nan untuk menghilangkan kebiasaan. Terlebih hal itu, ol eh pihak NU, secar a pri nsip di tafsi rkan sebagai tidak bertentangan dengan aj ar an I sl am . Kal aupun di anggap ber tentangan, m aka merupakan konsekuensi dari keberagamaan yang memang sudah ada, yakni masing-masing tentu saja memiliki pembenaran atau argumen 13 teologi s. Dal am ker angka seperti itul ah NU berdir i dan eksi s sebagai pengayom kepenti ngan sem ua kekuat an dengan ger akan yang berorientasi kerakyatan. Infrastrukturnya sejak awal dibangun di atas tiga pilar utama, semangat kebangsaan (nahdlatul w athan), semangat at au kebangk i t an ek onom i ( n ahdl at ul t uj j ar ) , dan ger ak an pengembangan pemikiran (tasw ir ul afkar )—I slam berbasis kultural di I ndonesia.

  Dal am per jalanannya, karena watak reaktif itu pula NU kerap kal i terj ebak pada situasi temporer, terutama terkait dengan agenda pol i ti k pr akti s. Par a tokohnya tampaknya tak i ngi n ketinggal an ber partisipasi dalam kancah politik praktis, dengan alasan-alasan yang pada dasar nya bersifat pragmatis. Apalagi, di kalangan tokoh NU itu muncul kesadaran tentang adanya basi s massa pol itik yang 14 rii l yang secar a kuantitatif memiliki posisi tawar kuat. Bar an gk al i j uga ada an ggapan , “ dar i pada basi s m assa dimanfaatkan ol eh pihak lai n, lebih bai k untuk kepentingan poli tik dan ekonomi kal angan inter nal NU sendiri”. M akanya, ti dak heran kal au per jalanan NU tidak bisa di lepaskan dengan ki prah politiknya yang sebenarnya merupakan bagian dari kepenti ngan segelintir el ite NU sendi ri.

  Pada rentang 1945–1952 NU tergabung dalam Partai M asyumi.

  346

H. HARTONO MARGONO

  M el alui muktamar di Palembang pada 1952, NU mendirikan par pol sendi r i , yakni Par tai NU dan i kut Pemi l u 1955. Pada 1971, ol eh pemerintah Orde Baru Partai NU dengan paksa digabung (fusi) di dal am PPP,hi ngga kemudi an menyatakan di r i l epas dar i pol i ti k praktis melalui M uktamar NU di Situbondo 1984. M ulai saat itulah NU di bawah kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyatakan kembali ke Khittah 1926, yang pada dasarnya mereposisi N U k e ar ah kebangsaan t an pa pol i t i k pr akt i s dal am r angka mengimplementasikan substansi ketiga pilar di atas.

  Tetapi par a tokoh atau el i te NU sudah tel anj ur meni kmati manfaat pragmatis dunia politik, yang kemudian ternyata semakin menyulitkan operasionalisasi konsep kembali ke Khittah 1926. Dalam konteks i ni setidaknya terdapat tiga al asan utama sulitnya melepas 15 duni a politik.

  Per tama, kepemimpinan NU selama 32 tahun (1952– 1984)

  ber ada langsung di bawah politisi, yakni KH I dham Chali d. Budaya NU kemudi an sangat kental dan ber ur at akar pol i ti k. Sehi ngga, kendati N U sudah m enyat akan di r i kembal i ke Khi t t ah 1926, r eali tasnya par a el i te pol i ti k dan tokoh-tokoh i nternal NU yang menyimpan syahwat politik tak bisa menahan dirinya lagi untuk tidak melampiaskan libi do poli tiknya itu.

  Kedua, adanya stok massa yang tersedia bisa dikendalikan dan

  dimanfaatkan seperti yang diinginkan oleh para elitenya. M aka tidak heran jika dari masa ke masa, dan terutama di era reformasi sekarang ini, basis massa NU itu menjadi “ladang emas” yang dieksploitasi dan didulang suaranya ol eh par a pol itisinya.

  Keti ga, munculnya generasi baru NU yang terpelajar dan melek

  pol itik. Kecenderungan ini memang baru terasa sekali di era 1990- an hi ngga sekar ang, saat begitu banyak warga Nahdli yin ber hasil memberikan pendidikan yang baik bagi generasi penerus mereka, yang meni mba il mu bai k di dalam maupun di luar negeri. M ereka ini sangat menyadar i potensi diri, serta melihat kesempatan dan daya dukung massa yang memungkinkan untuk tampil dal am kancah pol itik praktis.

  K. H. HASYIM ASY’ ARI DAN NAHDLATUL ULAMA 347

  Kondisi seperti itu barangkali memang sulit dihindari, namun tidak perlu resah kalau kelak makna ke-NU-an semakin lama semakin pudar. Sebab, semua sumber dayanya boleh jadi terserap ke dalam pusaran politi k praktis yang di mainkan oleh eli te NU sendi ri. Kalau dul u, set i dakn ya di er a kepem i m pi nan Gus Dur yang cuk up mengesankan itu, faksi-faksi di NU masih di dominasi oleh gerakan kul tural, aktivis kebangsaan dan intelektual, sementar a faksi poli tik berada di pinggi ran, saat i ni justru faksi pol itiklah yang menjadi 16 kekuatan dominan. M ereka mendistribusikan diri dalam jamaah NU. Namun, kalau juj ur diakui, para politi si kita sekarang ini, termasuk di dalamnya yang ber basi s N U, sudah m engal am i di sor i ent asi . Sem uanya cenderung hanya berpikir untuk kepentingan materi-duniawi, sangat tidak peduli dengan orientasi kebangsaan dan kerakyatan sesuai j ati diri NU.

  Apal agi mer eka umum nya sangat t i dak ber kar akter dal am ber politi k, sementar a perj uangan kebangsaan dan kerakyatan baru bisa terwuj udkan apabil a politi sinya berkar akter dan berori entasi kerakyatan. Jika NU di usianya yang ke-82 tahun saat ini masih tidak mel akukan i ntr ospeksi , bukan mustahi l or gani sasi massa I sl am tradisional terbesar ini ke depan hanya akan menjadi wadah simbolis 17 ber upa papan nama yang kehilangan massa dan hakikatnya.

E. Penutup

  Sebagai salah satu organi sasi keagamaan yang terbesar di I ndonesia, N U ber t uj uan m em ber l akuk an aj ar an I sl am yang ber h al uan

  Ahl ussunah Wal jama’ah dan mengikuti salah satu mazhab yang

  empat di tengah-tengah kehi dupan di dal am satu wadah Negar a Kesatuan Republ ik I ndonesi a. KH . H asyim Asy’ari sebagai pendiri NU dan ul ama terkemuka berpengar uh kuat pada sikap beragama umat Islam I ndonesia. Bahkan sampai saat ini pemikiran KH . H asyim Asy’ari yang diformulasi kan dalam organisasi NU menj adi acuan dalam beragama. Berbagai lembaga pendidikan yang didirikan seperti

  348

H. HARTONO MARGONO

  pesantren dan pergur uan tinggi I slam merupakan tonggak sejarah cikal-bakal lahirnya ulama-ulama NU, yang hi ngga kini masih tetap eksis dan terus ber kembang.

  Catatan:

  

1. Taufik Abdullah, Agama dan Per ubahan Sosial, (Jakarta: Rajawali Press,

1983), hal. 1.

  

2. Gr eg Bar t on, Bi ogr af i Gus Dur : The Aut hor i zed Bi ogr aphy of

Abdur r ahman Wahid, (Yogyakart a: LKI S, 2002), hal. 15.

  3. Barton, Biogr afi Gus Dur , hal. 26.

  

4. I mron Arifin, Kepemimpinan Kyai: Kasus Pondok Pesantr en Tebu I reng,

(Malang: Kalimasada Press, 1983), hal. 71.

  5. Ari fin, Kepemimpinan Kyai, hal. 72.

  

6. Anggaran Dasar NU Bab I I Pasal 3 Tentang Azas dan Bab XI I Pasal 24,

hal. 46.

  

7. Saifullah Ma’sum, Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, (Bandung: Mi zan,

19998), hal. 80.

  

8. Lat i ful Khuluq, H asyi m Asy’ar i : Reli gi ous Thought and Poli r i cal

Act iviti es (1871-1947), (Jakarta: Logos), hal. 48.

  9. Ma’sum, Kehidupan Ringkas, hal. 82.

  

10. Fai sal I smai l, Pi jar -pij ar I slam: Per gumulan Kult ur dan St r uktur ,

(Jakart a: Depart emen Agama Proyek Peningkatan Kerukunan H i dup Umat Beragama, 1992), hal. 76.

  11. I smail, Pij ar -pijar I slam, hal. 77.

  

12. Alfan Alfian, “Memahami Polarisasi Politik Ulama”, Kompas, 25 Agustus

1999.

  13. Alfian, “Memahami Polarisasi”.

  

14. Choirul Anam, Per tumbuhan dan per kembangan Nahdlatul Ulama,

(Solo: Jatayu, 1985), hal. 34.

  

15. Martin Van Bruinessen, NU: Tr adisi , Relasi -r elasi Kuasa, Pencar ian

Wacana Bar u, (Yogyakarta, LkiS, 1999), hal. 27.

  

16. Sinansari Ecip (ed.), NU, Khittah dan Godaan Politik, (Bandung: Mizan,

1994), hal. 21.

  

17. Andree Feillard, NU Vis a Vi s Negar a, (Yogyakarta: LkiS, 1999), hal. 21.

  349 K. H. HASYIM ASY’ ARI DAN NAHDLATUL ULAMA

  DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Taufik, Agama dan Per ubahan Sosial , (Jakarta: Rajawali Press, 1983). Bar ton, Gr eg, Bi ogr afi Gus Dur : The Author i zed Bi ogr aphy of Abdur r ahman Wahi d, (Yogyakarta: LKI S, 2002). Ari fin, I mron, Kepemimpi nan Kyai: Kasus Pondok Pesantr en Tebu I r eng, (M alang: Kali masada Press, 1983).

  Anggar an Dasar NU, (tanpa kota dan penerbi t).

  M a’sum, Saiful lah, Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, (Bandung: M izan, 19998). Khuluq, Latiful , H asyim Asy’ar i: Religious Thought and Polir i cal Acti vities (1871-1947), (Jakarta: Logos). I smail, Faisal , Pij ar -pij ar I slam: Per gumulan Kultur dan Str uktur ,

  (Jakarta: Departemen Agama Proyek Peningkatan Kerukunan H idup Umat Ber agama, 1992). Al fian, Al fan, “M emahami Pol ari sasi Pol iti k Ul ama” , Kompas, 25 Agustus 1999. Anam, Choirul, Per tumbuhan dan per kembangan Nahdlatul Ulama, (Solo: Jatayu, 1985). Van Bruinessen, M artin, NU: Tr adisi, Relasi-r elasi Kuasa, Pencar ian Wacana Bar u, (Yogyakarta, Lki S, 1999). Ecip, Sinansari, (ed.), NU, Khittah dan Godaan Politik, (Bandung: M izan, 1994). Feil lard, Andree, NU Vis a Vis Negar a, (Yogyakarta: Lki S, 1999).