Paper Analisis Karakteristik Gambar Anak

BAB1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Pendidikan Seni dipakai sebagai mata pelajaran pada pendidikan sekolah didasarkan pada pemikiran bahwa, pertama, pendidikan seni memiliki sifat multilingual, multidimensional, dan multikultural. Multilingual berarti melalui pendidikan seni dikembangkan kemampuan mengekspresikan diri dengan berbagai bahasa rupa, bunyi, gerak, dan paduannya. Multidimensional berarti dengan seni dapat dikembangkan kompetensi dasar anak yang mencakup persepsi, pengetahuan, pemahaman, analisis, evaluasi, apresiasi, dan produktivitas dalam menyeimbangkan fungsi otak kanan dan kiri, dengan memadukan unsur logika, etika dan estetika.

Multikultural berarti pendidikan seni bertujuan menumbuhkembangkan kesadaran dan kemampuan berapresiasi terhadap keragaman budaya lokal dan global sebagai pembentukan sikap menghargai, toleran, demokratis, beradab, dan hidup rukun dalam masyarakat dan budaya yang majemuk (Depdiknas 2001:7). Pendidikan seni meliputi semua bentuk kegiatan tentang aktivitas fisik dan nonfisik yang tertuang dalam kegiatan berekspresi, bereksplorasi, berkreasi dan berapresiasi melalui bahasa rupa, bunyi, gerak dan peran. (Rohidi 2000:7).

Melalui pendidikan seni anak dilatih untuk memperoleh keterampilan dan pengalaman mencipta yang disesuaikan dengan lingkungan alam dan budaya setempat serta untuk memahami, menganalisis, dan menghargai karya seni. Tegasnya pendidikan seni di sekolah dapat menjadi media yang efektif dalam mengembangkan pengetahuan, keterampilan, kreativitas, dan sensitivitas anak. Tujuan pendidikan seni juga dapat dilihat sebagai upaya untuk mengembangkan sikap agar anak mampu berkreasi dan peka terhadap seni atau memberikan kemampuan dalam berkarya dan berapresiasi seni. Kedua jenis kemampuan ini menjadi penting artinya karena dinamika kehidupan sosial manusia dan nilai-nilai estetis mempunyai sumbangan terhadap kebahagiaan manusia di samping mencerdaskannya.

Pendidikan seni, dapat dijadikan sebagai salah satu sarana dalam membentuk jiwa dan kepribadian anak. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Plato (dalam dalam Rohidi 2000:79) bahwa pendidikan seni dapat dijadikan dasar untuk membentuk kepribadian. Dalam hubungan ini seni merupakan bidang ilmu yang perlu dipelajari dan diapresiasi oleh peserta didik karena mengandung nili-nilai dan Pendidikan seni, dapat dijadikan sebagai salah satu sarana dalam membentuk jiwa dan kepribadian anak. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Plato (dalam dalam Rohidi 2000:79) bahwa pendidikan seni dapat dijadikan dasar untuk membentuk kepribadian. Dalam hubungan ini seni merupakan bidang ilmu yang perlu dipelajari dan diapresiasi oleh peserta didik karena mengandung nili-nilai dan

Dalam menunjang kebutuhan dan untuk mengetahui serta memahami karakteristik anak, maka seorang pendidik seni perlu mempelajari karakteristik gambar anak berdasarkan periodisasi perkembangan yang dikemukakan oleh para ahli di bidang pendidikan seni rupa anak. Pembagian masa atau periodisasi dimaksudkan untuk lebih mengenal karya seni rupa anak dalam hal melakukan kegiatan dan penilaian . Pada umumnya, semua periodisasi yang dikemukakan oleh para ahli memiliki kesamaan, misalnya selalu dimulai dari usia dua tahun.

Periodisasi karakteristik gambar anak tersebut dalam dunia pendidikan, bagi pengajar perlu mengenal latar belakang anak didiknya. Agar seorang pengajar dapat memilih strategi pembelajaran yang sesuai dengan kondisi siswa dan siswinya. Khususnya bagi anak Sekolah Dasar (SD) berusia sekitar 6 - 12 tahun. Berdasarkan teori tahap-tahap perkembangan menggambar atau seni rupa secara garis besar dapat dibedakan dua tahap karakteristik, yaitu kelas I sampai dengan kelas III ditandai dengan kuatnya daya fantasi-imajinasi, sedangkan kelas VI sampai dengan kelas VI ditandai dengan mulai berfungsinya kekuatan rasio. Perbedaan kedua karakteristik ini tampak pada gambar-gambar anak (karya dua dimensi) atau gambar model, karya patung, dan perwujudan karya tiga dimensi lainnya.

Periodisasi yang digunakan dalam menganalisis karakteristik gambar anak pada karya tulis paper ini adalah periodisasi masa perkembangan seni rupa anak menurut Viktor Lowenfeld dan Lambert Brittain dalam buku Creative and Mental Growth. Dengan mengetahui tahapan-tahapan perkembangan seni rupa melalui teori Lowenfeld dan Brittain, pengajar dapat memahami perkembangan seni rupa anak-anak didasarkan pada usia dan karakteristik hasil gambarnya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep pendidikan seni rupa anak?

2. Bagaimana karakteristik gambar anak berdasarkan Viktor Lowenfeld dan Lambert Brittain dalam bukunya Creative and Mental Growth ?

3. Mengapa penting bagi seorang pendidik seni untuk memahami karakteristik dan 3. Mengapa penting bagi seorang pendidik seni untuk memahami karakteristik dan

4. Bagaimana contoh-contoh karakteristik gambar anak menurut Viktor Lowenfeld dan Lambert Brittain dalam bukunya Creative and Mental Growth ?

5. Bagaimana peran pendidikan seni rupa dalam memahami karakteristik gambar anak?

6. Bagaimana hubungan karakteristik gambar anak dengan periodisasi anak?

7. Bagaimana pendekatan pembelajaran dalam pendidikan seni rupa?

8. Bagaimana pentingnya pendidikan seni rupa terhadap perkembangan otak anak?

9. Bagaimana periodisasi perkembangan seni rupa anak?

1.3 Tujuan Menganalisis dan memahami karakteristik (ciri khas) gambar anak berdasarkan periodisasi perkembangan anak dalam teori Viktor Lowenfeld dan Lambert Brittain dalam bukunya Creative and Mental Growth.

1.4 Manfaat Dapat menganalisis karakteristik gambar anak dan mengidentifikasi periodisasi perkembangan usia anak berdasarkan karakter visual dari karya gambar yang dibuatnya serta menghubungkannya dengan unsur-unsur rupa dan prinsip-prinsip desain.

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Konsep Pendidikan Seni Rupa Anak Kata seni adalah sebuah kata yang semua orang dipastikan mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda. Konon kabarnya kata seni berasal dari kata “sani” yang kurang lebih artinya “Jiwa Yang Luhur/ Ketulusan jiwa”. Menurut kajian ilmu di eropa mengatakan “ART” (artivisial) yang artinya kurang lebih adalah barang/ atau karya dari sebuah kegiatan. Seni adalah proses yang sengaja mengatur unsur-unsur dalam suatu cara yang menarik indra atau emosi. Ini mencakup berbagai macam kegiatan manusia, ciptaan, dan cara berekspresi, termasuk musik, sastra, film, patung, dan lukisan. Makna seni ini dibahas dalam cabang filsafat yang dikenal dengan estetika.

Seni memiliki sifat dasar kreatif, individual, perasaan, abadi, dan universal. Pengertian kreatif adalah kemampuan seseorang untuk mengubah sesuatu yang ada menjadi baru dan orisinil. Contohnya batu yang diubah menjadi patung, tanah liat dapat menjadi keramik, suara diubah menjadi musik, gerakan menjadi sebuah tarian, dan sebagainya. Sifat individual memiliki pengertian bahwa suatu karya seni memiliki ciri perseorangan dari penciptanya. Lagu-lagu yang diciptakan Ebit G. Ade, sangat berbeda dengan lagu-lagu Rhoma Irama, Titik Puspa, atau pun yang lainnya. Ada juga dalam seni murni seperti lukisan Afandi, sangat berbeda dengan lukisan-lukisan Basuki Abdullah, Raden Saleh, Popo Iskandar, Piccaso, Van Googh, maupum pelukis lainnya. Ciri khas pribadi inilah yang merupakan identitas dari karya mereka.

Seni memiliki sifat perasaan, artinya dalam membuat karya seni selalu melibatkan emosi dan jiwa. Oleh sebab itu, untuk dapat menikmati sebuah karya harus menggunakan kepekaan perasaan yang paling dalam. Sebuah lagu yang diciptakan melalui perasaan seorang seniman, kemudian dibawakan seorang penyanyi yang menjiwai isi lagu itu. Tampil dalam suara dan penampilan yang seirama, maka para pendengar lagu itu akan tergugah hatinya. Semua itu jika ada kesungguhan dalam menggunakan indera rasa seperti yang dilakukan pencipta dan penyanyinya.Seni memiliki sifat abadi atau keabadian. Sesungguhnya semua yang dibuat oleh manusia memiliki sifat demikian, dimana perbuatan baik maupun tercela yang sudah dilakukan tidak dapat dibatalkan.

Jika membuat karya seni yang memiliki tujuan estetik atau keindahan, hendaknya orang yang menikmatinya turut berlatih juga untuk berbuat sesuatu yang indah dan terpuji. Maka sesungguhnya seorang seniman mendapat penghargaan ketika ada anak yang berbuat sesuatu kebaikan jika terpengaruh (menangkap amanat) cerita film, novel, syair lagu, dan sebagainya. Seni bersifat universal, artinya seni tidak mengenal batasan waktu, bangsa, bahasa, dan sebagainya. Sebagai contoh, semua orang yang berlainan bahasa akan tertawa terbahak-bahak ketika melihat tingkah laku badut sirkus yang sangat lucu atau seorang yang melihat gambar karikatur akan tersenyum tanpa mengetahui siapa pembuatnya.

Pembahasan konsep seni rupa meliputi struktur bentuk dan ungkapan (ekspresi) dalam seni murni dan hubungan bentuk, fungsi, dan elemen estetik dalam seni rupa terapan. Pembahasan tentang media seni rupa meliptui ciri-ciri media, proses, dan teknik pembuatan karya seni rupa. Selain itu, apresiasi seni juga perlu memberikan pemahaman hubungan antara seni rupa dengan bentuk-bentuk seni yang lain, bidang-bidang studi yang lain, serta keberadaan seni rupa, kerajinan, dan desain sebagai bidang profesi.

Berkarya seni rupa pada dasarnya adalah proses membentuk gagasan dan mengolah media seni rupa untuk mewujudkan bentuk-bentuk atau gambaran-gambaran yang baru. Untuk membentuk gagasan, siswa perlu dilibatkan dalam berbagai pendekatan seperti menggambar, mengobservasi, mencatat, membuat sketsa, berekperimen, dan menyelidiki gambar-gambar atau bentuk-bentuk lainnya. Selain itu, siswa juga perlu dilibatkan dalam proses pengamatan terhadap masalah pribadi, realitas sosial, tema-tema universal, fantasi, dan imajinasi.

Mengolah media pada dasarnya adalah menggunakan bahan dan alat untuk menyusun unsur-unsur visual seperti garis, bidang, warna, tekstur, dan bentuk dalam mengolah media, siswa perlu diperkenalkan dengan teknik penggunaan berbagai bahan, dengan memperhatikan keterbatasan-keterbatasan maupun kelebihannya. Dalam menyusun bentuk, siswa perlu diberi kesempatan untuk mengembangkan bentuk sehingga menjadi gaya yang bersifat pribadi.

2.2 Seni Sebagai Media Pendidikan Pendidikan Seni dipakai sebagai mata pelajaran pada pendidikan sekolah didasarkan pada pemikiran bahwa, pertama, pendidikan seni memiliki sifat 2.2 Seni Sebagai Media Pendidikan Pendidikan Seni dipakai sebagai mata pelajaran pada pendidikan sekolah didasarkan pada pemikiran bahwa, pertama, pendidikan seni memiliki sifat

Multikultural berarti pendidikan seni bertujuan menumbuhkembangkan kesadaran dan kemampuan berapresiasi terhadap keragaman budaya lokal dan global sebagai pembentukan sikap menghargai, toleran, demokratis, beradab, dan hidup rukun dalam masyarakat dan budaya yang majemuk (Depdiknas 2001:7). Pendidikan seni meliputi semua bentuk kegiatan tentang aktivitas fisik dan non-fisik yang tertuang dalam kegiatan berekspresi, bereksplorasi, berkreasi dan berapresiasi melalui bahasa rupa, bunyi, gerak dan peran (Rohidi 2000:7).

Melalui pendidikan seni anak dilatih untuk memperoleh keterampilan dan pengalaman mencipta yang disesuaikan dengan lingkungan alam dan budaya setempat serta untuk memahami, menganalisis, dan menghargai karya seni. Tegasnya pendidikan seni di sekolah dapat menjadi media yang efektif dalam mengembangkan pengetahuan, keterampilan, kreativitas, dan sensitivitas anak. Tujuan pendidikan seni juga dapat dilihat sebagai upaya untuk mengembangkan sikap agar anak mampu berkreasi dan peka terhadap seni atau memberikan kemampuan dalam berkarya dan berapresiasi seni. Kedua jenis kemampuan ini menjadi penting artinya karena dinamika kehidupan sosial manusia dan nilai-nilai estetis mempunyai sumbangan terhadap kebahagiaan manusia di samping mencerdaskannya.

Pendidikan seni, dapat dijadikan sebagai salah satu sarana dalam membentuk jiwa dan kepribadian anak. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Plato (dalam dalam Rohidi 2000:79) bahwa pendidikan seni dapat dijadikan dasar untuk membentuk kepribadian. Dalam hubungan ini seni merupakan bidang ilmu yang perlu dipelajari dan diapresiasi oleh peserta didik karena mengandung nili-nilai dan bermanfaat dalam kehidupan manusia. Oleh karenanya diperlukan rancangan yang berkaitan dengan proses pelaksanaan pembelajaran seni, baik kurikulum, metode, sarana maupun alat penunjangnya, dan juga tidak meninggalkan lingkungan sosial budaya setempat.

2.3 Peranan Seni Dalam Pendidikan Pendidikan Seni, khususnya seni rupa hadir sebagai bagian integral dari prinsip pendidikan. Artinya, pendidikan seni rupa sebagai bagian dari pendidikan umum yang mendapat kewajiban (tugas) utama untuk melatih kepekaam rasa: estetis (keindahan), maupun apresiasi seni, melalui pembelajaran praktik berkarya seni rupa. Pembelajaran seni rupa yang dimaksudkan adalah pendidikan untuk anak yang didasari oleh pembinaan intelegensi rupa (visual intelligence) dengan kemampuan memahami objek secara komprehensif maupun detail.

Pemahaman terhadap objek dengan kinerja belajarnya melalui pengamatan, asosiasi, pemahaman bentuk akhirnya berekspresi. Lingkup seni sebagai hasil aktivitas artistik yang meliputi seni suara, seni gerak dan seni rupa sesuai dengan media aktivitasnya. Media dalam hal ini mempunyai arti sarana yang menentukan batasan-batasan dari lingkup seni tersebut. Pemahaman tentang seni adalah merupakan ekspresi pribadi dan seni adalah ekspresikeindahan. Seperti yang dikemukakan oleh Cut Kamaril Wardani Surono (2000:3), pendidikan seni yaitu:

1. Pendidikan seni adalah sebuah cara atau strategi menamkan pengetahuan dan keterampilan, dengan cara mengkondisikan anak atau siswa menjadi kreatif, inovatif, dan mampu mengenali potensi dirinya secara khas (karakteristiknya) serta memiliki sensitivitas terhadap berbagai perubahan sosial budaya dan lingkungan.

2. Pendidikan kesenian adalah kegiatan membuat manusia agar mampu bertahan hidup dan mampu menunjukkan jati dirinya di masa depan. Maka, kemampuan beragam bahasa (multi Language) perlu dikembangkan melalui pendidikan untuk menghadapi pesatnya perkembangan kemampuan berbahasa non verbal: bunyi, gerak, rupa dan perpaduannya. Melalui kemampuan beragam bahasa seni (artistik), manusia diharapkan mampu memahami dan berekspresi terhadap citra budaya sendiri dan budaya lain (multi cultural). Pendidikan seni juga memiliki wacana multidimensional artinya pendidikan seni memiliki cakupan yang luas baik yang berkaitan dengan masalah budaya ataupun ilmu pengetahuan.

2.4 Tujuan Pendidikan Seni Sekolah Dasar  Tujuan diberikanya pendidikan seni di Sekolah Dasar diantaranya sebagai berikut:

1. Memberikan fasilitas yang sebesar-besarnya untuk dapat mengemukakan 1. Memberikan fasilitas yang sebesar-besarnya untuk dapat mengemukakan

2. Melatih imajinasi anak, ini merupakan konskwensi logis dan kegiatan ekspresi.

3. Memberikan pengalaman estetik dan mampu memberi umpan balik penilaian (kritik dan saran) terhadap suatu karya seni sesuai dengan mediumnya.

4. Pembinaan keterampilan, diarahkan dengan membina kemampuan praktik berkarya seni dan kerajinan.

5. Seni sebagai alat pendidikan dalam arti pendidikan seni dapat dilakukan melalui kegiatan permainan. Tujuan pendidikan seni dapat dilakukan melalui kegiatan permainan. Tujuan pendidikan seni bukan untuk membina anak-anak menjadi seniman, melainkan untuk mendidik anak menjadi kreatif. Seni merupakan aktivitas permainan, melalui permainan kita dapat mendidik anak dan membina kreativitasnya sedini mungkin. Dengan demikian, dapat dikatakan seni dapat digunakan sebagai alat pendidikan.

 Peran pendidikan kesenian dalam konstelasi kurikulum pendidikan adalah:

1. Seni sebagai bahasa visual anak pada usia SD dalam kehidupannya sangat dekat dengan berkarya seni. Hampir bisa dikatakan bahwa perilaku anak dekat dengan kegiatan berkesenian; tiada hari tanpa berseni. Berseni merupakan, kebutuhan anak dalam mengutarakan pendapat, berkhayal-berimajinasi, bermain, belajar memahami bentuk yang ada di sekitar anak, merasakan: kegembiraan, kesedihan, dan rasa keagamaan.

2. Seni membantu pertumbuhan mental ternyata contoh di atas merupakan perkembangan simbol rupa yang terjadi pada saat anak ingin menyatakan bentuk yang dipikirkan, dirasakan atau dibayangkan. Bentuk-bentuk tersebut hadir bersamaan dengan perkembangan usia mental anak. Pada suatu ketika anak pertumbuhan badan (biological age) lebih cepat daripada perkembangan pikiran (mental age). Ketidaksejajaran perkembangan anak tersebut menyebabkan pula perkembangan gambar anak dengan anak lain yang normal, oleh karena itu terjadi variasi gambar anak. Hal ini seiring dengan perkembangan nalar pada diri anak. Bagi anak yang mempunyai perkembangan berbeda, dimana fungsi nalar sudah berkembang lebih cepat dari pada ekspresinya, maka peristiwa tersebut berpengaruh juga dalam gambar.

2.5 Pendekatan Pembelajaran Seni Rupa Pembelajaran Pendidikan Seni dilaksanakan baik dengan pendekatan terpisah dan terpadu. Pendekatan terpisah ialah melaksanakan pembelajaran setiap bidang seni, sesuai dengan ciri-ciri khusus dan kesatuan substansi masing-masing. Pendekatan terpadu ialah melaksanakan pembelajaran yang memadukan bidang-bidang seni dalam bentuk seni pertunjukan, seni multimedia, atau kolaborasi seni. Pembelajaran pendidikan seni secara terpadu meliputi pembelajaran apresiatif dan produktif. Pembelajaran apresiatif secara terpadu dilaksanakan dengan kegiatan apresiasi terhadap karya seni yang merupakan perpaduan antara dua atau lebih bidang seni, baik secara langsung maupun melalui media audio-visual, misalnya pertunjukan musik, tari, teater, atau film.

Pembelajaran produktif secara terpadu dilaksanakan dengan kegiatan berkarya dan penyajian seni yang melibatkan dua atau lebih bidang seni, misalnya dalam bentuk seni pertunjukan atau kolaborasi antar bidang seni. Alternatif pelaksanaan mata pelajaran pendidikan seni sebagai berikut. Sekolah yang memiliki lebih dari satu guru bidang seni, masing-masing guru memberikan pembelajaran seni sesuai dengan bidangnya secara terpisah. Siswa memilih salah satu bidang seni sesuai dengan minatnya. Pembelajaran secara terpadu dilaksanakan dengan kerja sama antara guru-guru bidang seni yang bersangkutan. Sekolah yang hanya memiliki guru salah satu bidang seni, guru tersebut melaksanakan pembelajaran seni sesuai dengan bidangnya, tetapi sedapat mungkin juga melaksanakan pembelajaran seni secara terpadu, sesuai dengan kemampuannya.

Materi pokok yang bersifat teoritik tidak diberikan secara terpisah, tetapi secara integratif dengan materi kegiatan apresiasi seni, berkarya seni, kritik seni, dan penyajian seni. Pembelajaran yang bersifat praktek (berkarya) lebih berorientasi pada proses dari pada hasil, sehingga lebih menekankan usaha membentuk dan mengungkapkan gagasan kreatif dari pada kualitas komposisi yang dihasilkan.Dalam pembelajaran Pendidikan Seni, pengembangan sikap memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan keterampilan, dan pengetahuan. Untuk menunjang pembelajaran materi yang mengarah pada penguasaan keahlian profesional, termasuk menggambar dengan mistar (menggambar konstruksi), perlu ditunjang dengan program ekstrakurikuler, sesuai dengan bakat dan minat siswa.

Menurut riset Prof. Regar Sperry menyatakan otak cenderung membagi aktivitas Menurut riset Prof. Regar Sperry menyatakan otak cenderung membagi aktivitas

Pertumbuhan otak anak paling pesat terjadi pada usia 0-2 tahun, dimana volume otak akan mencapai 80%. Akan tetapi, tidak berarti bahwa perkembangan otak berhenti hanya sampai disitu saja. Volume otak anak terus berjalan hingga usia 12 tahun. Hal ini membuat pemberian nutrisi dan stimulasi bagi perkembangan otak masih tetap sangat dibutuhkan, bahkan setelah usia 12 tahun. Perlu pro-aktif orang tua dalam membentuk perkembangan otak kiri dan kanan secara seimbang untuk kecerdasan yang optimal.

Orang tua memiliki peran yang sangat strategis untuk mendukung perkembangan kecerdasan anak secara optimal. Di samping gizi yang seimbang sudah tentu menciptakan kondisi lingkungan yang mensimulasi aktivitas otak kiri dan kanan. Memperkenalkan anak sedini mungkin dengan warna, kosa kata, cerita dan berkreativitas. Pendidikan seni berperan penting untuk perkembangan belahan otak bagian kanan. Banyak masyarakat kita (para orang tua) yang menganggap bahwa pelajaran seni khususnya seni rupa, bukanlah pelajaran penting. Apalagi bila ditinjau dari segi ekonomisnya. Karena pelajaran seni rupa selalu dihentikan dengan biaya yang besar. Sementara di pihak lain, secara praktis pendidikan seni rupa dianggap tidak menghasilkan keuntungan material yang memadai.

Pendidikan seni rupa mampu memberikan kebebasan tanpa paksaan dalam pengalaman batin anak. Pendidikan seni rupa merupakan pendidikan ekspresi sebagai upaya pencerdasan anak dalam membentuk mental yang sehat jasmani dan rohani, berdisiplin penuh tanggung jawab, kritis bijaksana, berbudaya, dan memiliki perasaan halus terhadap berbagai persoalan yang lahir di sekitarnya. Pendidikan seni rupa mampu menghidupkan fantasi, melatih ketangkasan berpikir diiringi ketajaman penghayatan terhadap alam sekitar serta lingkungan dimana anak-anak berada. Pendidikan seni rupa mampu mendatangkan jiwa dan raga anak-anak hingga kelak mencintai daerahnya dengan dilandasi nilai estetis dan artistik.

2.6 Karakteristik Gambar Anak Tulisan mengenai perkembangan kemampuan persepsi anak ini dilakukan berdasarkan percobaan dengan menggunakan Terman-Merril Test dan percobaan yang dilakukan oleh Piaget dan Vernon (1977:207), yang dijelaskan sebagai berikut:

1. Perkembangan Persepsi Anak terhadap Bentuk

Pada mulanya anak-anak sukar membuat bentuk-bentuk yang hampir serupa. Kemauan untuk membedakan baru mulai tampak berkembang pada umur 4 tahun. Dalam test yang dilakukan pada anak-anak yang berumur 4 tahun, ternyata mereka dapat membedakan delapan sampai sepuluh bentuk-bentuk seperti jajaran genjang, segitiga, trapesium, segiempat tak beraturan, dan lain-lain. Mereka dapat membedakan bentuk-bentuk tersebut tetapi tidak dapat mengingat bentuk itu sendiri. Pada umur 5 tahun, anak-anak mulai dapat membedakan bentuk-bentuk yang lebih sulit.

Pada umur 6-7 tahun, penguasaan kegiatan persepsi semakin berkembang. Pengamatan mereka mulai sistematis dan mempunyai perasaan yang lebih baik mengenai hubungan bentuk. Daya khayal yang berlebihan mulai berkurang. Mereka mengamati bentuk keseluruhan dan bagian detail secara terpisah, dan hanya dapat mengamati bagian yang lebih menonjol. Pada umur 8-9 tahun, sudah dapat melihat hubungan-hubungan bagian bentuk menjadi satu kesatuan yang utuh. Masih ada perbedaan kemampuan secara individu pada anak seusia ini. Mereka belum bisa melihat hal-hal yang berhubungan dengan ruang, objek hanya dilihat tanpa melihat dimana objek itu diletakkan. Pada umur 9-11 tahun, mereka sudah mengenal benda nyata dengan bentuk-bentuk yang benar. Perhatian pada objek sudah mendetail, demikian pula kemampuan dalam mengamati ruang. Pada umur 11-12 tahun, anak-anak sudah mulai dapat merasakan gambargambar seperti suasana sebenarnya.

2. Perkembangan Persepsi Anak Terhadap Warna

Pada mulanya anak dapat membedakan warna-warna primer secara psikologis. Pada umur 2 tahun sudah dapat sudah dapat membedakan warna merah, biru, kuning, dan hijau. Pada umumnya perkembangan mengenai nama warna berkembang setelah usia tersebut dan tergantung pendidikan lingkungannya. Warna dikenal dari benda-benda yang sering mereka lihat, misalnya kuning seperti telur, hijau seperti rumput, dan sebagainya. Demikian pula pada usia 4-7 tahun, asosiasi warna mereka masih belum lepas dari benda-benda nyata yang sering dilihat sehari-hari. Bila menggambar pohon Pada mulanya anak dapat membedakan warna-warna primer secara psikologis. Pada umur 2 tahun sudah dapat sudah dapat membedakan warna merah, biru, kuning, dan hijau. Pada umumnya perkembangan mengenai nama warna berkembang setelah usia tersebut dan tergantung pendidikan lingkungannya. Warna dikenal dari benda-benda yang sering mereka lihat, misalnya kuning seperti telur, hijau seperti rumput, dan sebagainya. Demikian pula pada usia 4-7 tahun, asosiasi warna mereka masih belum lepas dari benda-benda nyata yang sering dilihat sehari-hari. Bila menggambar pohon

3. Perkembangan Persepsi Anak terhadap Gambar

Pada umur 2-3 tahun anak-anak mampu manyatakan satu objek yang terdapat pada sebuah gambar. Umur 3-4 tahun, dapat menyatakan dengan benar tiga objek yang terdapat pada gambar yang lebih rumit. Umur 5-6 tahun, sudah dapat mengamati objek secara mendetail. Umur 7 tahun, anak-anak sudah dapat menyatakan kegiatan atau aktivitas dari objek yang ada dalam sebuah gambar. Tetapi pada gambar yang mempunyai arti perlambangan mereka masih sulit menangkap makna dan arti dari lambang tersebut.

Umur 11 tahun, mulai tampak kemampuan untuk menangkap arti gambar dan suasana gambar (sepi, sedih, marah, dan sebagainya). Sedangan anak-anak di bawah umur 11 tahun masih sulit untuk menangkap dan membayangkan gambar yang melukiskan kehidupan orang di daerah yang berbeda dengan lingkungan tempat tinggal mereka. Artinya mereka masih sulit membayangkan hal-hal baru yang belum pernah dilihatnya. Pada umur 12 tahun kemampuan ini semakin lebih mapan.

Diantara usia 6-10 tahun merupakan masa keemasan ekspresi yang kreatif dan jika pada masa ini ada anak yang tidak suka menggambar maka dianggap sebagai penyimpangan dari perkembangannya, demikian pendapat Piere Duquet (1953) (dalam Ziegfeld, ed., 1953). Menggambar merupakan kegiatan ekspresi yang kreatif yang populer di kalangan anak-anak, karena menggambar tidak terlalu banyak tuntutan dalam penciptaannya. Sebaiknya dalam kegiatan menggambar tidak diberikan latihan-latihan yang bersifat teknis, karena akan menjadikan penghambat dan anak menjadi tidak wajar dalam berekspresi. Pengalaman batin yang sederhana pada anak-anak merupakan kenangan indah dan hangat yang sewaktu-waktu bisa diungkapkan dengan berekspresi serta merupakan pendorong baginya.

Memahami dunia kesenirupaan anak-anak berarti kita harus memahami kehidupan anak secara menyeluruh. Sebagian besar kehidupan anak-anak dipenuhi dengan permainan, permainan sebagai bagian yang menyeluruh dalam kehidupan anak. Dalam permainnya anak senantiasa meniru-niru orang dewasa, mereka membuat rumah-rumahan, membersihkannya, mengecatnya, menatanya layaknya orang dewasa. Semua perbuatan itu dilakukan secara spontan, demikian juga dalam Memahami dunia kesenirupaan anak-anak berarti kita harus memahami kehidupan anak secara menyeluruh. Sebagian besar kehidupan anak-anak dipenuhi dengan permainan, permainan sebagai bagian yang menyeluruh dalam kehidupan anak. Dalam permainnya anak senantiasa meniru-niru orang dewasa, mereka membuat rumah-rumahan, membersihkannya, mengecatnya, menatanya layaknya orang dewasa. Semua perbuatan itu dilakukan secara spontan, demikian juga dalam

Hal tersebut bukan tanpa arti, tetapi merupakan langkah awal bagi anak dalam melakukan gerak motoriknya, gerak kordinasi antara tangan dan mata. Ini akan merupakan langkah yang penting dalam kehidupan selanjutnya walaupun dilakukan secara santai sambil bermain-main. Oleh karena itulah, dalam memimbing anak ketika menggambar harus diciptakan suasana santai, dimana anak dapat mengembangkan imajinasinya secara bebas tanpa paksaan. Menggambar bagi anak adalah bagian dari permainan, dimana mereka dapat mengembangkan daya imajinasinya.

Menurut Kellogg dalam Papalia (1990), seorang pelukis besar Pablo Picasso (1881-1972) menyatakan bahwa orang dewasa sebaiknya jangan mengajar anak-anak untuk menggambar, sebaiknya orang dewasalah yang harus belajar dari anak-anak. Jadi, tugas guru dan orang tua sebaiknya tidak mengajarkan konsep pendidikan seperti di masa lalu, dimana anak dianggap sebagai makhluk yang lemah, serba tidak tahu. Tugas orang dewasa hanyalah mengembangkannya secara alami.

Kegiatan menggambar bagi anak tidak selalu dilatarbelakangi dengan semangat berkesenian, melainkan lebih didorong bahwa kegiatan menggambar merupakan bagian dari permainan. Sehingga, menggambar bagi anak adalah bagian dari permainan, dimana mereka dapat mengembangkan daya imajinasinya. Pada anak-anak kreativitas sedang menonjol perkembangannya, dengan dorongan bermain dan keinginan hendak tahu yang membludak, hingga mudah tercapai penghayatan. Tuhan memberikan anugerah pada anak, hingga baginya bermain adalah pula belajar, bereksperimen, berekspresi dan berkreasi: Belajar sambil bermain, bermain sambil

belajar (Tabrani, 2001: 95). “Membebaskan” anak menggambar sama dengan membebaskan anak dalam menuangkan imajinasi dan mengungkapkan dirinya melalui gambar. Melalui menggambar, tanpa disadari anak dapat belajar memecahkan persoalan yang dihadapi. Dengan menggambar anak dapat bermain dan berekspresi dengan sepuas-puasnya. Oleh karena itu, gambar anak sangat menarik dan bersifat universal sesuai hasil penelitian yang dilakukan Rodha Kellog dengan bukunya Analyzing Children’s Art (1970) seorang peneliti dari Amerika Serikat yang menghimpun tidak kurang sejuta gambar buatan anak-anak dari berbagai usia dengan tingkatan sosial dan kebangsaan yang berbeda yang meliputi 31 negara di 5 benua selama lebih kurang 20 tahun. Children’s Art berkembang dari usia 2 tahun dan berakhir sekitar usia 10 tahun. Viktor Lowenfeld dalam bukunya Creative and Mental Growth (1982) meneliti tingkat perkembangan menggambar anak berdasarkan usia, menganalisis tentang periodisasi yang menjadi ciri umum lukisan anak-anak sesuai waktu (usia) dan tahap perkembangan sosial intelektual mereka.

2.7 Tujuan dan Peranan Pendidik Mengenal Periodisasi Perkembangan Seni Rupa Anak-Anak

Pemahaman dunia kesenirupaan anak-anak diperlukan dalam kegiatan belajar mengajar seni rupa terutama untuk:

1. memilih pendekatan dalam membina interaksi belajar mengajar yang baik

2. merancang bahan pengajaran, baik tahunan, semesteran, harian

3. memilih dan menentukan jenis kegiatan yang sesuai dengan pusat minat (perangsang daya cipta) pada saat-saat tertentu

4. memilih dan menetukan metode yang akan digunakan dalam proses pembelajaran

5. mengadakan evaluasi agar kita tidak keliru dalam menggunakan tolok ukur, agar ciri-ciri keberhasilan gambar buatan orang dewasa tidak digunakan untuk mengukur keberhasilan gambar buatan anak kecil

2.8 Perkembangan Seni Rupa Anak Sekolah Dasar Setiap guru SD perlu mengenal latar belakang anak didiknya, khususnya landasan teori tentang dunia kesenirupaan anak yang telah dikembangkan oleh para 2.8 Perkembangan Seni Rupa Anak Sekolah Dasar Setiap guru SD perlu mengenal latar belakang anak didiknya, khususnya landasan teori tentang dunia kesenirupaan anak yang telah dikembangkan oleh para

Ada dua cara untuk memahami perkembangan seni rupa anak-anak diantaranya:

1. mengkaji teori-teori yang berkaitan dengan perkembangan seni rupa anak menurut para ahli.

2. mengamati dan mengkaji karya anak secara langsung. Hal ini dapat dilakukan dengan mengumpulkan karya anak berdasarkan rentang usia yang relevan dengan teori yang telah kita pelajari. Melalui kegiatan ini, diharapkan kita bisa memahami perkembangan seni rupa anak secara komprehensif.

Dalam psikologi perkembangan dinyatakan baha pada rentang kehidupan manusia khususnya anak ada yang disebut masa keemasan yang dikenal dengan masa peka. Hal ini dipertegas oleh Piere Duquet (1953: 41) bahwa: “A childre who does not draw is an anomaly, and particulary so in the years between 6 an 10, which is outstandingly the golden age of creative expression”. Pada masa peka atau keemasan ini anak harus diberi kesempatan agar potensi yang dimilikinya berfungsi secara maksimal. Masa peka tiap orang berbeda-beda. Secara umum, masa peka menggambar ada pada masa lima tahun, sedangkan masa peka perkembangan ingatan logis pada umur 12 dan 13 tahun (Muharam dan Sundaryati, 1991: 33).

Selanjutnya, untuk terciptanya kesempatan bagi siswa agar dapat melakukan ekspresi kreatif, maka guru perlu melakukan kegiatan berupa:

1) memberi perangsang (stimulasi) kepada siswa/i

2) guru dapat mempertajam imajinasi dan memperkuat emosi siswa dengan menggunakan metode pertanyaan yang dikembangkan Sokrates. Kemampuan siswa kelas rendah dalam membuat gambar tampak lebih spontan dan kreatif dibandingkan dengan siswa kelas tinggi. Hal ini terjadi karena semakin tinggi usia anak, maka kemampuan rasionya semakin berkembang sehingga dapat berpikir kritis. Kondisi ini akan mempengaruhi anak dalam hal spontanitas dan 2) guru dapat mempertajam imajinasi dan memperkuat emosi siswa dengan menggunakan metode pertanyaan yang dikembangkan Sokrates. Kemampuan siswa kelas rendah dalam membuat gambar tampak lebih spontan dan kreatif dibandingkan dengan siswa kelas tinggi. Hal ini terjadi karena semakin tinggi usia anak, maka kemampuan rasionya semakin berkembang sehingga dapat berpikir kritis. Kondisi ini akan mempengaruhi anak dalam hal spontanitas dan

Sejalan dengan pendapat di atas, sebagai guru pendidikan seni rupa perlu memahami perkembangan artistik (artistic development) peserta didik. Sehubungan dengan itu, Dennie Wolf dan Howard Gardner (Hausman, 1980: 56) mendeskripsikan perkembangan artistik anak sebagai berikut:

Tabel 2.8.1 PERKEMBANGAN ARTISTIK (Artistic Development) CHALLENGE FOR PHASE

AGE

MAJOR FEATURE

EDUCATION IN THE ART

Transition from direct bodily Communicator

Child as Drect 0-18-24

Fundamental forms of

month

direct communication;

expression to more “distant”

acquisition of a trusting

and rigorous symbolic

relation with other

expressions (i.e., from crying

Awareness of a stable

to asking, from grabbing to

object world to

pointing)-with the convidence

communicate about

that tht audience of “other” will watch, listen, and respond

Transition from aspontaneous Symbol User

Child as 18-24

Understanding the

and idiosyncratic to 5-7 years

months

fundamentals of symbol

use: creating an “reading” socioculturally dictated forms of representation (i.e., from subjective portrayals to realism) Still preserving

spontaneity originality, individuality

Transition from strict Craftsman

Youth as 5-7-11-13

Socialization of

years

selfexpression; emergence

competence to a

of conscience Urge for

recombination of craft with

competence; impluence of

self expression; the

peers Emergence of basic

acquisition of critical tools as acquisition of critical tools as

well as articulated personal

decline in egocentrism

tastes and standards without paralyzing feelings of inadequacy

PHASE AGE

MAJOR FEATURE

CHALLENGE FOR EDUCATION IN THE ART

Youth as Critic 11-13

The internalization of

and Full years on

thougt Reflectivity

Participant in

- the Artistic

Capacity to think

hypotetically and to

Process

confron choices

Berdasarkan pandangan pada tabel di atas, anak usia sekolah dasar (7-13 tahun) memiliki kompetensi untuk memadukan karya kerajinan (craft) dengan kemampuan ekpresi diri. Selain itu pula kemampuan kritik juga dimiliki sejalan dengan perkembangan intelektualnya. Secara khusus, karakteristik anak pada usian 11- 13 tahun ini adalah memiliki kemampuan berpikir kritis dan ikut terlibat dalam proses artistik.

Secara umum dapat dikatakan bahwa karya seni rupa anak bersifat ekspresif dan dinamis (Camaril, dkk. 1999). Apa yang digambarkan anak mencerminkan pribadinya, mengungkapkan apa yang diketahuinya dan tidak menggambar sesuai dengan kenyataan. Kesukaan akan gerak digambarkan dengan warna tajam mencolok serta objek-objek penuh gerak seperti binatang, orang, kendaraan. Tetapi, jika dikaji ternyata bahwa secara umum terjadi pentahapan (periodisasi) dalam perkembangan dunia kesenirupaan anak.

2.9 Periodisasi Perkembangan Seni Rupa Anak-Anak

Pengelompokan periodisasi karya seni rupa anak dimaksudkan agar kita mudah mengenali karakteristik perkembangan anak berdasarkan tingkat usianya. Dalam mengungkapkan gagasannya, anak masih memandang gambar sebagai satu ungkapan keseluruhan. Hal ini belum tampak bagian demi bagian secara rinci. Yang tampak hanyalah bagian-bagian kecil yang menarik perhatian, terutama yang menyentuh perasaan dan keinginannya.

Ada beberapa tokoh yang telah melakukan kajian yang seksama berkenaan dengan periodisasi karya seni rupa anak, di antaranya Corrado rici dari Italia (1887), Kemudian dilanjutkan oleh Sully, Kerchensteiner, William Stern, Cyrul Burt, Margaret Meat, Victor Lowenfeld dan Brittain, Rhoda Kellogg, Scot, Langsing, dan lain-lain.

1. Perodisasi menurut Kerchensteiner (Muharam dan Sundaryati, 1991: 34) Upaya yang telah dilakukan Kerchensteiner adalah mengadakan penyelidikan pada anak-anak dari masa bayi sampai empat belas tahun. Dari 100.000 buah gambar ia menggolongkannya dalam beberapa periode, masa, yaitu:  Masa Mencoreng

: 0 - 3 tahun

 Masa bagan

: 3 - 7 tahun

 Masa bentuk dan garis : 7 - 9 tahun  Masa bentuk dan garis : 7 - 9 tahun  Masa bayang-bayang

: 9 - 10 tahun

 Masa persfektif

: 10 - 14 tahun

2. Periodisai menurut Cyrl Burt (Lowenfeld, 1975: 118-119) Membagi periodisasi gambar menjadi tuju tingkatan, yaitu:  Masa mencoreng

: 2 - 3 tahun

 Masa garis

: 4 tahun

 Masa simbolisme deskriptif : 5 - 6 tahun  Masa realisme deskriptif

: 7 - 8 tahun

 Masa realisme visual

: 9 - 10 tahun

 Masa represi

: 10 – 14 tahun

 Masa pemunculan artistic

: masa adolesen

3. Periodisasi masa perkembangan seni rupa anak menurut Viktor Lowenfeld dan Lambert Brittain adalah penyelidikan yang dilakukan terhadap anak-anak usia 2 sampai 17 tahun menghasilkan periodisasi sebagai berikut:

 Masa mencoreng (scribbling)

: 2-4 tahun

 Masa Prabagan (preschematic)

: 4-7 tahun

 Masa Bagan (schematic period)

: 7-9 tahun

 Masa Realisme Awal (Dawning Realism)

: 9-12 tahun

 Masa Naturalisme Semu (Pseudo Naturalistic) : 12-14 tahun  Masa Penentuan (Period of Decision)

: 14-17 tahun

4. Periodisasi masa perkembangan seni rupa anak menurut Rhoda Kellog dan Scott (Muharam dan Sundaryati, 1991: 34-35). Beliau melakukan penelitian di 30 negara dengan lukisan/gambar anak yang diteliti lebih dari 1.000.000 gambar. Hasil penelitiannya terhadap gambar anak-anak menghasilkan periodisasi gambar anak sebagai berikut:

 Coretan dan corengan (Scribble and Scribling) : 2 - 3 tahun  Rahasia bentuk (The Secrets of Shape)

: 2 - 4 tahun

 Seni Kontur (Art in Outline)

: 2 - 4 tahun

 Anak dan desain (The Child and Design)

: 3 - 5 tahun

 Mandala, matahari dan Radial

: 3 - 5 tahun

(Mandlas, Suns, and Radials)  Manusia (People)

: 4 - 5 tahun

 Mirip Gambar (Almost Pictures)

: 4 – 6 tahun

 Gambar (Pictures)

: 5 –7 tahun

5. Periodisasi masa perkembangan seni rupa anak menurut Lansing (Kamaril, 1999: 2.38)  Masa coreng-moreng

: 2-4 tahun

 Masa/tahap figurative

: 3-12 tahun

 Subtahap permulaan figuratif

: 3 -7 tahun

 Subtahap pertengahan figuratif

: 9-10 tahun

 Subtahap akhir figuratif

: 9-12 tahun

 Tahap artistik

: 12 tahun ke atas

Periodisasi yang dikemukakan oleh Viktor Lowenfeld dan Brittain menjadi acuan dalam mengenal karakteristik gambar anak dalam menganalisis gambar anak yang akan saya paparkan karena pembagian usia anak lebih lengkap dan dipandang mewakili, sesuai dengan jenjeng pendidikan di negara kita, yaitu usia 7 – 12 tahun (SD), 13 – 15 tahun (SMP), dan usia 16 –18 tahun (SMA).

Tahap perkembangan menurut Viktor Lowenfeld dan Lambert Brittain (1970) dalam: Creative and Mental Growth membagi periodisasi perkembangan seni rupa anak sebagai berikut:

a. Periode Coreng-moreng (Scribbling Stage)

Periode ini berlaku bagi anak berusia 2 sampai 4 tahun (masa pra-sekolah). Gambar yang dibuat tanpa makna, hanya perbuatan meniru orang lain, tetapi Periode ini berlaku bagi anak berusia 2 sampai 4 tahun (masa pra-sekolah). Gambar yang dibuat tanpa makna, hanya perbuatan meniru orang lain, tetapi

Goresan-goresan yang dibuat anak usia 2-3 tahun belum menggambarkan suatu bentuk objek. Pada awalnya, coretan hanya mengikuti perkembangan gerak motorik. Biasanya, tahap pertama hanya mampu menghasilkan goresan terbatas, dengan arah vertikal atau horizontal. Hal ini tentunya berkaitan dengan kemampuan motorik anak yang masih mengunakan motorik kasar. Kemudian, pada perekmbangan berikutnya penggambaran garis mulai beragam dengan arah yang bervariasi pula. Selain itu mereka juga sudah mampu mambuat garis melingkar. Periode ini terdiri dari 3 fase, hanya setiap fase jaraknya sangat singkat sekali, sehingga dianggap satu fase. 3 fase tersebut akan dijabarkan sebagai berikut:

1. Goresan Tak Beraturan

Gambar 2.9.1. Goresan tak beraturan, pena tidak lepas dari kertas, 2016, Diperoleh dari Lowenveld, Viktor dan Britani Lambert W. 1975. Creative and Mental Growth Edisi VII, New York: Mc Millan.

Ciri-ciri gambar yang dihasilkan anak pada tahap corengan tak beraturan adalah:  Bentuk gambar garis yang sembarang

 Mencoreng tanpa melihat ke kertas  Belum dapat membuat corengan berupa lingkaran  Memiliki semangat yang tinggi  Gambar tanpa makna, karena anak melakukannya hanyalah meniru orang lain  Belum dapat membuat coretan berupa lingkaran, karena hanya merupakan

latihan gerak motorik antara mata dengan gerak tangan  Merupakan fase yang paling awal dalam tahap perkembangan menggambar anak

2. Goresan Terkendali

Gambar 2.9.2. Goresan terkendali memperlihatkan gerakan yang bervariasi, dengan ditambah menggunakan gerakan otot kecil, 2016, Diperoleh dari Lowenveld, Viktor dan Britani Lambert W. 1975. Creative and Mental Growth Edisi VII, New York: Mc Millan.

Ciri-ciri gambar yang dihasilkan anak pada tahap corengan terkendali adalah:  Berupa goresan-goresan tegak, mendatar, lengkung bahkan lingkaran, coretan dilakukan berulang-ulang.  Nampak anak mulai memerlukan kendali visual terhadap coretan yang dibuatnya, disini koordinasi antara perkembangan visual (gerak mata) dengan gerak motorik (tangan) semakin lengkap.

 Goresan dibuat dengan penuh semangat.  Corengan terkendali ditandai dengan kemampuan anak menemukan kendali

visualnya terhadap coretan yang dibuatnya.  Telah adanya kerjasama antara koordiani antara perkembangan visual dengan perkembangan motorik.  Adanya pengulangan coretan garis baik yang horizontal, vertikal, lengkung, bahkan lingkaran.

3. Goresan Bermakna

Gambar 2.9.3. Anak usia 4 tahun menggambar dengan maksud tertentu, 2016, Diperoleh dari Lowenveld, Viktor dan Britani Lambert W. 1975. Creative and Mental Growth Edisi VII, New York: Mc Millan.

Ciri-ciri gambar yang dihasilkan anak pada tahap corengan bermakna adalah:  Biasanya terjadi menjelang usia 3-4 tahun  Pengalaman anak dalam membuat goresan semakin lengkap  Gambar anak mulai terwujud menjadi satu kesatuan  Bentuk yang semakin bervariasi  Anak mulai memberi nama pada hasil coretannya dan mulai menggunakan

warna.  Dalam menggambar, anak belum mempunyai tujuan untuk menggambar sesuatu, karena fase ini lebih didasari oleh perkembangan fisik dan jiwa anak. Anak yang normal pasti suka menggambar.

 Sejalan dengan perkembangan bahasanya anak mulai mengontrol goresannya bahkan telah memberinya nama, misalnya: “rumah”, “mobil”, “kuda”. Hal ini dapat digunakan oleh orang tua atau guru pada jenjang pendidikan usia dini (TK) dalam membangkitkan keberanianan anak untuk mengemukakan kata-kata tertentu atau pendapat tertentu berdasarkan hal yang digambarkannya.

 Anak-anak memiliki jiwa bebas, ceria. Mereka sangat menyenangi warnawarna yang cerah misalnya dari crayon. Kesenangan menggunakan warna biasanya setelah ia bisa memberikan judul terhadap karya yang dibuatnya.

 Penggunaan warna pada masa ini lebih menekankan pada penguasaan teknik-mekanik penempatan warna berdasarkan kepraktisan penempatannya dibandingkan dengan kepentingan aspek emosi. Pada masa mencoreng, bila anak difasilitasi oleh orang tua maka akan memiliki

peluang untuk melakukan kreasi dalam hal garis dan bentuk, mengembangkan koordinasi gerak, dan mulai menyadari ada hubungan gambar dengan lingkungannnya. Hal terpenting yang harus dilakukan oleh orang tua dan guru pada masa ini adalah dengan memberi perhatian terhadap karya yang sedang dibuat anak sehingga tercipta kemampuan komunikasi anak dengan orang dewasa melalui bahasa visual.

Gambar 2.9.4. Setiap anak (usia 2-3 tahun) pada umumnya senang menggoreskan sesuatu (pensil, pena dan sejenisnya). Goresannya tak beraturan, 2016, Diperoleh dari Bandi Sobandi (2011).

b.Periode Pra Bagan (Pre Schematic Stage)

Gambar 2.9.5. Bentuk dasar yang paling esensi terdapat pada gambar anak ini, yaitu jari kaki dimana dianggap bagian yang penting, 2016, Diperoleh dari Lowenveld, Viktor dan Britani Lambert W. 1975. Creative and Mental Growth Edisi VII, New York: Mc Millan.

Usia anak pada tahap ini bisanya berada pada jenjang pendidikan TK dan SD kelas awal atau berlaku bagi anak berusia 4-7 tahun. Kecenderungan umum pada tahap ini, objek yang digambarkan anak biasanya berupa gambar kepala-berkaki. Sebuah lingkaran yang menggambarkan kepala kemudian pada bagian bawahnya ada dua garis sebagai pengganti kedua kaki. Sejalan dengan meningkatnya perkembangan anak, pengalaman anakpun makin bertambah, lingkup sosial makin luas, anak berkesempatan mencipta, bereksperimen, menjelajah, dan berbagai hal baru yang erat dengan perkembangan jiwa, rasa maupun emosinya. Anak mulai mengenal dunia baru, mengenal sekolah, teman sebaya, guru, dan lingkungan baru.

Gambar 2.9.6. Objek yang penting, “Bapak” dan “Ibu” dibuat lebih besar, 2016, Diperoleh dari Bandi Sobandi (2011).

Ciri-ciri gambar yang dihasilkan anak pada tahap pra bagan adalah:  Gambar yang dibuat oleh anak mulai menggambar bentuk-bentuk yang berhubungan dengan dunia sekitar mereka  Rumah, manusia pohon dan lingkungan sekitarnya menjadi obyek yang menarik perhatian anak  Terutama gambar manusia, jarang anak seusia ini menggambar manusia dari samping, mereka lebih menyukai gambar dari arah depan, karena dapat memuat

unsur wajah yang lebih lengkap  Unsur warna kurang diperhatikan, anak lebih tertuju pada hubungan antara gambar dan obyek gambar  Warna menjadi subyektif karena tidak mempunyai hubungan dengan obyek  Konsep ruang tak lain adalah apa yang ada di sekitar dirinya, menjadikan tidak

logisnya antara obyek yang satu dengan obyek lainnya  Telah menggunakan bentuk-bentuk dasar geometris untuk memberi kesan objek dari dunia sekitarnya  Koordinasi tangan lebih berkembang  Aspek warna belum ada hubungan tertentu dengan objek, orang bisa saja

berwarna biru, merah, coklat atau warna lain yang disenanginya  Penempatan dan ukuran objek bersifat subjektif, didasarkan kepada kepentingannya  Jika objek gambar lebih dikenalinya seperti ayah dan ibu, maka gambar dibuat lebih besar dari yang lainnya. Ini dinamakan dengan “perspektif batin”  Penempatan objek dan penguasan ruang belum dikuasai anak pada usia ini

Gambar 2.9.7. Kepala berkaki, ciri umum gambar anak usia 2-4 tahun, 2016, Diperoleh dari Bandi Sobandi (2011).

c. Periode Bagan (Schematic Stage)

Periode ini berlaku bagi anak berusia 7 sampai 9 tahun. Sejalan dengan tahap perkembangan anak, pada akhir tahap ini perkembangan akal sudah mulai mempengaruhi gambar anak. Anak sudah mulai menggambar obyek dalam suatu hubungan yang logis dengan gambar lain. Konsep ruang mulai nampak dengan adanya pengaturan antara hubungan obyek dengan ruang, gambar mulai realistis, mulai mengarah ke bentuk-bentuk yang mendekati kenyataan.

Gambar 2.9.8. Empat bentuk yang serupa, seluruhnya menghadap ke depan, 2016, Diperoleh dari Lowenveld, Viktor dan Britani Lambert W. 1975. Creative and Mental Growth Edisi VII, New York: Mc Millan.

Ciri-ciri gambar yang dihasilkan anak pada tahap bagan adalah:  Adanya garis dasar yang merupakan tempat obyek atau benda-benda berdiri, merupakan suatu perkembangan yang wajar  Muncul gejala yang disebut “folding over”, yakni cara menggambar obyek tegak lurus pada garis dasar, meskipun obyek akan nampak terbalik  Adanya gambar yang disebut “sinar X” (X-ray), yakni gambar yang berisi benda atau obyek lain dalam suatu ruang yang sebenarnya tidak kelihatan  Gambar dibuat berdasarkan ide anak itu sendiri, misalnya gambar rumah yang

kelihatan bagian dalamnya seolah-olah rumah tersebut terbuat dari kaca bening  Warna mulai obyektif, artinya anak menyadari adanya hubungan antara warna dengan obyek  Anak telah menemukan konsep tertentu mengenai warna, yakni bahwa obyek tertentu akan memiliki warna tertentu pula  Gambar nampak lebih kaku dan tidak dinamis  Anak cenderung mencontoh gambar orang lain, hal ini karena berkembangnya kelihatan bagian dalamnya seolah-olah rumah tersebut terbuat dari kaca bening  Warna mulai obyektif, artinya anak menyadari adanya hubungan antara warna dengan obyek  Anak telah menemukan konsep tertentu mengenai warna, yakni bahwa obyek tertentu akan memiliki warna tertentu pula  Gambar nampak lebih kaku dan tidak dinamis  Anak cenderung mencontoh gambar orang lain, hal ini karena berkembangnya

pada penggambaran pohon di kiri kanan jalan yang dibuat tegak lurus dengan badan jalan, bagian kiri rebah ke kiri, bagian kanan rebah ke kanan)

 Pada perkembangan selanjutnya kesadaran ruang muncul dengan dibuatnya garis pijak (base line)

Gambar 2.9.9. Penempatan objek gambar terletak pada garis dasar gambar (base line) 2016, Diperoleh dari Bandi Sobandi (2011).

Penafsiran ruang bersifat subjektif, tampak pada gambar “tembus pandang” (contoh: digambarkan orang makan di ruangan, seakan-akan dinding terbuat dari kaca). Gejala ini disebut dengan idioplastis (gambar terawang, tembus pandang). Misalnya gambar sebuah rumah yang seolah-olah terbuat dari kaca bening, hingga seluruh isi di dalam rumah kelihatan dengan jelas. Seperti pada gambar di bawah ini:

Gambar 2.9.10. Idioplastis, objek yang digambar tampak tembus pandang

2016, Diperoleh dari Bandi Sobandi (2011). Kenyataan di atas diperkuat oleh pandangan Max Verworm (Zulkifli, 2002: 45)

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Komposisi Struktur Modal Pada PT Bank Syariah Mandiri (The Analysis of Capital Structure Composition at PT Bank Syariah Mandiri)

23 288 6

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

Hubungan Antara Kompetensi Pendidik Dengan Kecerdasan Jamak Anak Usia Dini di PAUD As Shobier Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember

4 116 4