KLASIFIKASI KITAB TAFSIR al munir BERDASARKAN MET

KLASIFIKASI KITAB TAFSIR
BERDASARKAN METODE
YANG DIGUNAKAN
Dosen Pengampu: Suismanto, M.Pd.I

Disusun Oleh

:

Isnaenti Fat Rochimi

:144300

Siti Umairoh

:14430037

PENDIDIKAN GURU RAUDLATUL ATHFAL
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA

2015

1

PENGANTAR
Alhamdulillahi robbil ‘alamin assholatu wassalamu ‘ala asyrofil anbiyai wal
mursalin sayyidina wa maulana muhammadin wa’ala alihi wa shohbihi ajma’in
ammaba’du.
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
hidayah-Nya kepada kita semua sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan
makalah

yang

berjudul:

KLASIFIKASI

KITAB-KITAB


TAFSIR

BERDASARKAN METODE YANG DIGUNAKAN. Tidak lupa sholawat serta
salam tercurahkan kepada junjungan kita Nabi agung Muhammad SAW yang kita
nantikan syafa’at nya di dunia hingga yaumul akhir.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada Dosen mata
kuliah Qur’an hadits, Bapak Suismanto, M.Pd.I yang telah memberikan tugas
pembuatan makalah ini. Semoga dengan tugas makalah ini

dapat membuka

wawasan tentang pendidikan islam serta inovasi dalam pendidikan Islam. Segala
kritik dan saran yang positif kami harapkan dari Bapak Suismanto M.Pd.I dan
pembaca makalah ini.
Akhir kata terimakasih atas perhatiannya dan kami mohon maaf apabila
terdapat salah kata selama dalam penulisan makalah .

Yogyakarta, 12 Maret 2015

Penulis


2

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Al Qur’an merupakan sumber utama ajaran Islam yang di dalamnya memuat
nilai-nilai universal kemanusiaan. Al Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk
bagi seluruh umat hingga akhir jaman. Untuk mendapatkan petunjuk itu manusia
harus membaca, mengkaji, kemudian mengamalkan apa yang ada dalam al Qur’an
tersebut.

Sejalan

dengan

perkembangan

jaman


dengan

segala

macam

permasalahan al-Qur’an dan ilmu pengetahuan, maka semakin berkembang pula
penafsiran-penafsiran

terhadap

al-Qur’an

sebagai

usaha

mewujudkan


kemaslahatan bersama.
Pada garis besarnya, penafsiran al-Qur’an itu dilakukan melalui empat
metode, yaitu: metode Ijmali (global), Tahlili (analitis), Muqarin (perbandingan),
dan Maudhu’i (tematik). Dalam menafsirkan ayat-ayat al Qur’an, tentu masingmasing mufasir memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Dalam makalah ini penulis berusaha menjelaskan tentang studi kitab tafsir yakni
membahas klasifikasi beberapa kitab-kitab tafsir.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana klasifikasi kitab-kitab tafsir yang didasarkan pada metode yang
digunakan para Mufassir?
2. Metode apa yang digunakan Mufassir dalam menafsirkan kitabnya?
C. TUJUAN MASALAH
1. Mengetahui dan memahami klasifikasi kitab-kitab tafsir beerdasarkan
metode yang digunakan Mufassir.
2. Mengetahui dan memahami metode yang digunakan Mufassir dalam
mengklasifikasikan kitab tafsir.

3

4


BAB II
PEMBAHASAN
1. JAMI’ AL-BAYAN FI TAFSIR AL-QUR’AN (Karya Ibn Jarir AlTabari)
A. Setting Historis-Biografis Awal
Abu Ja’far Muhmmmad Ibn Jaris Ibn Yazid Ibn Ghalib al Tabari al-Amuli,
ia lahir pada 223 H (838-839M) di kota Amul, ibukota Thabaristan, Iran. Ia hidup
dilingkungan keluarga yang memberikan perhatian terhadap masalah pendidikan
terutama, masalah keagamaan. Bebarengan dengan situasi Islam yang sedang
mengalami masa kejayaan dan kemajuan dibidang pemikiran. Kondisi yang
sedemikian itu, secara psikologis turut berperan membentuk kepribadian al-Tabari
dan menumbuhkan kecintaannya terhadap ilmu1
B. Sejarah penulisan
Dibidang keilmuan, tafsir telah menjadi disiplin ilmu keislaman tersendiri,
setelah beberapa saat merupakan bagian inheren studi al-Hadits, disamping
bidang-bidang keilmuan yang lain. Tafsir telah mengalami perkembangan secara
metodologis dan substansial. Kemunculan aliran tafsir bi al-ma’sur dan bi al-ra’yi
turut memberikan warna bagi pemikiran muslim. Kitab tafsir ini ditulis oleh alTabari pada paruh abad III H, dan sempat disosialisasikan di depan para muridmuridnya selama kurang lebih 8 tahun, sekitar 282 hingga 209 H.
Kitab tafsir karya al-Tabari memiliki nama ganda yang dapat dijumpai
diberbagai perpustakaan: pertama, Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil Ay al Qur’an dan
kedua Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, terdiri dari 30 juz. Al-Tabari mencoba

mengelaborasi terma takwil dan tafsir menjadi sebuah konstruksi pemahaman
yang utuh dan holostik. Baginya kedua istilah itu adalah mutaradif (sinonim).
Keduanya merupakan piranti intelektual untuk memahami kitab suci al-Qur’an
yang pada umunya tidak cukup hanya dianalisis melalui kosakatanayaa, tetapi
memerlukan peran aktif logika dan aspek-aspek penting lainnya, seperti
1 Muhammad Yusuf DKK.Studi Kitab Tafsir:Menyuarakan teks Yang Bisu.(Penerbit
Teras.Depok.2004)hlm.20

5

munasabah ayat dan atau surat, terma(ma’udu’), asbab al nuzul dan sebagainya.
Menurut al-Subki, bentuk tafsir yang sekarang ini adalah khulasah (resume) dari
kitab orisinilnya.2
C. Karakteristik Penafsiran
Dari sisi linguistic (lughah), Ibn Jarir sangat memperhatikan penggunaan
bahasa Arab sebagai pegangan dan bertumpu pada syair-syair Arab Kuno dalam
menjelaskan makna kosa kata, acuh terhadap aliran ilmu gramatika bahasa
(nahwu), dan penggunaan bahasa Arab yang telah dikenal secara luas di kalangan
masyarakat. Sementara itu, ia sanagat kental dengan riwayat-riwayat sebagai
sumber penafsiran, yang disandarkan kepada pendapat dan pandanagan para

sahabat, tabi’in dan tabi’ al-tabi’in melalui hadits yang mereka riwayatkan (bi alMa’sur), ia juga menempuh jalan istinbat, ketika menghadapi sebagian kasus
hokum dan pemberian isyarat terhadap kata-kata yang samar I’rab-nya.
Aspek penting lainnya di dlam kitab tersebut adalah pemaparan qira’ah
secara variatif dan dianalisis dengan cara dihubungkan dengan makna yang
berbeda-beda, kemudian, menjatuhkan pilihan pada satu qiro’ah tertentu yang ia
anggap paling kuat dan tepat.. al-Tabari sebagai seorang ilmuan, tidak terjebak
dalam belengu taqlid. Ia selalu berusaha untuk menjelaskan ajaran-ajaran Islam
(kandungan al-Qur’an) tanpa melibatkan diri dalam perselisihan.3
D. Metode Penafsiran
Tafsir al-Tabari, dikenal sebagai tafsir bi al-ma’sur, yang mendasarkan
penafsirannya pada riwayat-riwayat otoritas-otoritas awal. Tetapi ia biasanya tidak
memeriksa rantai periwayatannya, meskipun kerap memberikan kritik sanad
dengan melakukan ta’dil dan tarjih tentang hadis-hadis itu sendiri tanpa
memberikan paksaan apapun kepada pembaca. Sekalipun demikian, untuk
menentukan makna yang paling tepat terhadap sebuah lafaz, ia juga menggunakan
ra’yu. Dalam kaitan ini, secara runtut yang pertama-tama ia lakukan, ialah
membeberkan makna-makna kata dalam terminologi bahasa Arab disertai struktur
2 Ibid, hlm27-29.
3 Ibid, hlm. 29-30.


6

linguistiknya, dan (i’rab) kalau diperlukan. Pada saat tidak menemukan rujukan
riwayat dari hadis, ia akan melakukan pemaknaan terhadap kalimat, dan ia
kuatkan dengan untaian bait syair dan prosa kuno yang berfungsi sebagai
syawahid dan alat penyelidik bagi ketepatan pemahamannya. Dengan langkahlangkah ini, proses tafsir (ta’wil) pun terjadi. Berhadapan dengan ayat-ayat yang
saling berhubungan (munasabah)-mau tidak mau- ia harus menggunakan logika
(mantiq). Metode semacam ini termasuk dalam kategori Tafsir Tahlili dengan
orientasi penafsiran bi al-ma’sur dan bi ar-ra’yi yang merupakan terobosan baru
dalam bidang tafsir atas tradisi penafsiran yang berjalan sebelumnya.
Riwayat-riwayat yang kontroversial ia jelaskan dengan memeberikan
penekanan-penekanan –setuju atau tidak setuju (sanggahan) – dengan mengajukan
alternatif pandangannya sendiri disertai argumen penguatnya. Ketika berhadapan
dengan ayat-ayat hukum, ia tetap konsisten dengan model pemaparan pandangan
fuqaha’ dari para sahabat, tabi’in dan tabi’ al-tabi’in, kemudian mengambil
istinbat.
Untuk menunjukkan kepakarannya dibidang sejarah, maka ayat-ayat
yang ia jelaskan berkenaan dengan aspek historis ia jelaskan secara panjang lebar,
dengan dukungan cerita-cerita pra-Islam (Israiliyyat). Al-Tabari mengambil
riwayat-riwayat dari orang-orang Yahudi dan Nasrani yang telah Muslim seperti

Ka’ab al-Ahbar, Wahab Ibn Munabbih, Abdullah Ibn Salim dan Ibn Juraij, dengan
persepsi yang kuat bahwa riwayat-riwayat tersebut telah dikenal oleh masyarakat
Arab dan tidak menimbulkan kerugian dan bahaya bagi agama. Dengan
pendekatan sejarah yang ia gunakan, tampak kecenderungannya yang independen.
Ada dua pernyataan yang mendasar tentang konsep sejarah yang dilontarkan AlTabari; pertama, menekankan esensi ketauhidan dari misi kenabian, dan kedua,
pentingnya pengalaman-pengalaman dari umat dan konsistensi pengalaman
sepanjang zaman.
Secara sederhana metodologis tafsir al-Tabari adalah sebagai berikut:
a. Menempuh jalan tafsir atau takwil

7

b. Melakukan penafsiran ayat dengan ayat (munasabah) sebagai aplikasi norma
tematis “al-Qur’an yufassiru ba’duhu ba’d”
c. Menafsirkan al-Qur’an dengan as-Sunnah/al-Hadits (bi al-Ma’sur)
d. Bersandar pada analisis bahasa (lugah) bagi kata yang riwayatnya di persilisihkan
e. Mengeksplorasi sya’ir dan menggali prosa bahasa Arab (lama) ketika menjelaskan
makna kosa kata dan kalimat
f. Memeprhatikan aspek I’rab dengan proses pemikiran analogis untuk ditashih dan
tarjih

g. Pemaparan ragam qira’at dalam rangka mengungkap (al-kasyf) makna ayat
h. Membeberkan perdebatan dibidang fiqih dan teori hokum Islam untuk
kepentingan analisis dan istinbat hokum
i. Mencermati korelasi ayat sebelum dan sesudahnya, meski dalam kadar yang
relative kecil
j. Melakukan sinkronisasi antar makana ayat untuk memperoleh kejelasan dalam
rangka untuk menangkap makna secara utuh
k. Melakukan kompromi antar pendapat bila dimungkinkan, sejauh tidak
kontradiktif dari berbagai aspek termasuk kesepadanan kualitas sanad.4
E. Sistematika Penafsiran
Sistem penafsiran al-Tabari mengikuti tartib Mushafi. Dalam sistematika
ini, sang mufasir mrnguraikan penafsirannya berdasarkan urutan ayat dan surah di
dalam mushaf (Usmani). Sekalipun demikian, pada bagian tertentu ia juga
menggunakan pendekatan yang semi-tematis. Pendekatan ini terlihat ketika
menguraikan penafsiran suaatu ayat dengan memberikan sejumlah ayat-ayat lain
yang berhubungan sebagai penguat penafsirannya.
Penafsiran al-Tabari yang paling dahulu adalah pemaparan ayat-ayat yang
akan ditafsirkan, dengan mengemukakan berbagai pendapat yang ada tentang
takwil (tafsir) firman Allah. Ayat tersebut kemudian ditafsirkan dengan riwayatriwayat generasi awal Islam. Langkah selanjutnya adalah analisis terhadap ayat
dengan nalar kritisnya yang ditopang oleh perangkat-perangkat penting lainnya,
termasuk linguistic.
4 Ibid, hlm. 33

8

F. Contoh Penafsirannya
Ketika menafsirkan Qs. Al-Ma’idah (5): 89

Yang dicermati al-Tabari adalah kalmat min ausati ma tut ‘imuna
ahlikum. Potongan ayat ini telah ditafsirkan oleh sebagian sahabat Nabi Saw
secara berbeda. Ibnu Abbas, misalnya, menafsirkan ayat itu dengan: jenis
makanan yang dikonsumsi sehari-hari oleh keluarga (pembayar denda) secara
moderat tidak mahal dan tidak murah. Sementara Sa’id bin Jubair ‘Ikrimah
menafsirkan dengan: (atau dari jenis makanan yang sederhana yang dikonsumsi
keluarga); sahabat ‘Atha’ menafsirkan: (semisal apa yang dikonsumsi
keluargamu).Disamping merujuk pada beberapa penafsiran para sahabat, al-Tabari
merujuk pula sebuah hadis terkait dengan penafsiran tersebut, yang diriwayatkan
oleh Ibnu Sirin dari Ibn ‘Umar.
Setelah ditopang oleh sejumlah referensi yang cukup akurat, kemudian alTabari menyetakan secara tegas , bahwa yang dimaksud firman Allah: min ausati
ma tut ‘imuna ahlikum adalah dalam hal kuantitas, moderat tidak sedikit dan tidak
pula banyak. Dari sini kemudian muncul wacana di kalangan ulama tentang
standar bahan makanan yang harus dibayarkan oleh si pembayar kifarat (denda).
2. AL-KASYSYAF (Karya Al-Zamakhsyari)
A. Setting Historis-Biografis
Nama lengkap Al-Zamarkhasyari adalah ‘Abd al-Qasim Mahmud ibn
Muhammad Ibn Umar al-Zamarkhasyari. Ia dilahirkan di Zamarkhasyar pada hari
Rabu 27 Rajab 467 H atau 18 Maret 1057 M dari sebuah keluargaa miskin namun
alim dan taat beragama. Sejak usia menjelang remaja. Ia sudah pergi merantau
menuntut ilmu pengetahuan ke Bukhara. Al-Zamarkhasyari juga dikenal sebagai
yang berambisi memperoleh kedudukan di pemerintahan. Akan tetapi setelah
terserang sakit parah pada tahun 512 H, angan-angannya untuk mendapatkan
jabatan di pemerintahan pun sirna. Kemudian melanjutkan perjalanan ke
Baghdad. Disini ia mengikuti pengajian haddits oleh Abu al-Khattab dan

9

mengikuti pengajian fiqh oleh Hanafi. Ia juga melawat ke Mekkah selama dua
tahun untuk membersihkan dosa-dosanya. Di kota suci ini ia mempelajari kitab
Sibawaihi.
Al-Zamarkhasyari wafat di Jurjaniyah pada malam ‘Arafah tahun 538 H.
B. Latar Belakang Penulisan
Bermula dari permintaan suatu kelompok yang menanamkan diri al-Fi’ah
al-Najiyah al-‘Adiliyah. Kelompok disini yang dimaksud adalah kelompok
Mu’tazilah.
Berdasarkan desakan pengikut-pengikut Mu’tazilah di Makkah dan atas dorongan
al-hasan ‘Ali ibn Hamzah ibn Wahas serta kesadaran dirinya sendiri, akhirnya alZamakhasyari berhasil menyelesaikan penulisan tafsirnya dalam waktu kurang
lebih 30 bulan. Penulissan tersebut dimulai ketika ia berada di Makkah pada tahun
526 H dan selesai pada hari Senin 23 rabi’ul-akhir 528 H.
Penafsiran yang ditempuh al-Zamarkhasyari dalam karyanya ini sangat
menarik, karena uraiannya singkat tapi jelas, sehingga dipersentasikan pada para
ulama Mu’tazilah dan mengusulkan agar penafsirannya dilakukan dengan corak
I’tizali dan hasilnya adalah tafsir al-kasysyaf yang ada sekarang ini.
C. Sumber Penuliasn
Sumber-sumber yang dijadikan rujukan oleh al-Zamakhsyari dalam
menulis kitab tafsirnya meliputi berbagai bidang ilmu, antara lain:
a) Sumber Tafsir
1. Tafsir Mujtahid (w.104 H)
2. Tafsir ‘Amr ibn ‘As ibn ‘Ubaid al-Mu’tazali (w.144 H)
3. Tafsir Abi Bakr al-Mu’tazali (w.235 H)
4. Tafsir al-Zajjaz (w.311 H)
5. Tafsir al-Rumani (w. 382 H)
6. Tafsir ‘Ali ibn Abi Talib dan Ja’far al- Sadiq
7. Tafsir dari kelompok Jabariyah dan Khawarij.
b) Sumber Hadits

10

Dalam menafsirkan Al-Qur’an, al-Zamakhsyari mengambil dari berbagai
maccam hadits, tetapi yang disebutkan secara jelas hanya Sahih Muslim. Biasanya
ia menggunakaan istilah fi al-Hadits.
c) Sumber Qira’at
1. Mushaf ‘Abdullah ibn Mas’ud
2. Mushaf Haris ibn Suwaid
3. Mushaf Ubay bin Ka’ab
4. Mushaf ulama Hijaz dan Syam.
d) Sumber Bahasa dan Tata Bahasa
Adapum seumber-sumber yang diambil antara lain:
1. Kitab al-Nahwi karya Sibawaihi
2. Islah al-Mantiq karya Ibn al-Sukait
3. Al-Kamil karya al-Mubarrad
4. Al-Hujjah karya Abi Ali al-Farisi
5. Al-Tamam karya Ibn al-Jinni
D. Metode dan Corak Penafsiran
Tafsir al-Kasysyaf disusun dengan tartib mushafi, yaitu berdasarkan surat dan ayat
dalam Mushaf Usmani. Dalam menafsirkan al-Qur’an, al-Zamakhsyari lebih dulu
menuliskan ayat

al-Qur’an

yang

akan

ditafsirkan,

kemudian

memulai

penafsirannya dengan mengemukakan pemikiran rasional yang didukung dengan
dalil-dalil ddan riwayat atau ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan sebab
asbabun nuzul suatu ayat dalam hal penafsiran ayat.
Jika diteliti dengan cermat, ayat demi ayat, surat demi surat, maka metode yang
digunakan al-Zamakhsyari dalam penafsirannya adalah metode tahlili, yang
meneliti makna kata-kata dan kalimat-kalimat dengan cermat. Ia juga menyingkap
asoek munasabaah, yaitu hubungan anatara ayat dengan ayat lainnya atau antar
satu surat dengan satu surat lainnya. Ia juga menggunakan riwayat-riwayat dari
para sahabat dan para tabi’in dan kemudian mengambil konklusi dengan
pemandangan atau pemikirannya sendiri. Sebagaian besar penafsirannya

11

berorientasi pada rasio (ra’yu) maka tafsir al-Kasysyaf dikategorikan pada tafsir bi
al-ra’yu5
Contoh bentuk penafsiran bi al-ra’yi dengan metode tahlili adalah dalam Q.S alBaqarah ayat 144:
“palingkanlah mukamu kearah masjidil haram, dan dimana saja kamu berada ,
maka palingkanlah mukamu kearah-Nya”
Menurut al-Zamakhsyari maksudnya (masjidil haram) itu adalah Allah, yaitu
tempat yang disenangi-Nya dan manusia diperintahkan untuk menghadap Allah
pada tempat tersebut. Maksud ayat diatass adalah apabila seorang Mukmin
hendak melakukan sholat dengan menghadap Masjidil Haram dan Bait al-Maqdis,
akan tetapi ia ragu akan arah yang tepat untuk menghadap kea rah tersebut, maka
Allah memberikan kemudahan kepadanya untuk menghadap kea rah manapun
dalam sholat dan di temapt manapun sehingga ia tidak terikat oleh lokasi tertentu.6
Mengenai corak tafsir al-Kasysyaf, dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Al-Zamakhsyari terkenal sebagai seorang yang ahli dalam bahasa Arab, yang
melipiti sastranya, balaghah-nya, nahwu nya atau gramatikalnya. Al-zamakhsyari
lebih banyak berorientasi pada balaghah untuk menyingkap keindahan dan
rahassia yang terkandung dalam al-Qur’an. Selain itu, aspek nahwu dan gramatika
nya juga sangat kental mewarnai tafsir al-Kasysyaf terutama berkaitan dengan
dhamir.
b. Al-Zamakhsyari adalah seorang teolog (mutakalim) sekaligus tokoh Mu’tazilah,
sehingga tafsir al-Kasysyaf tersebut juga memiliki corak teologis dan lebih khusus
lagi corak Mu’tazilah. Al-Zamakhsyari juga memperlihatkan keberpihakannya
dengan Mu’tazilah dan membelanya secara gigih, dengan menarik ayat
mutasyabihat pada muhkamat. Ayat-ayat yang sesuai dengan paham Mu’tazilah
dikelompokkan kedalam ayat mahkamat, sedangkan ayat-ayat yang tidak ssesuai
dengan paham Mu’tazilah dikelompokkan kedalam mutasyabihat.7

5 Muhammad Yusuf DKK.Studi Kitab Tafsir:Menyuarakan teks Yang Bisu.(Penerbit
Teras.Depok.2004)hlm.51
6 Ibid.hal 53-54.
7 Ibid.hal. 55-57.

12

3. AL-JAMI’ LI AHKAM AL-QUR’AN WAL MUBAYYIN LIMA
TADAMMANAH MIN AL-SUNNAH WA AYIL FURQON (Karya alQurtubi)
A. Setting Historis-Biografis al- Qurtubi
Penulis tafsir al-Qurtubi bernama Abu ‘Abd Allah Ibn Ahmad Ibn Abu Bakar Ibn
Farh al-Ansari al-Khazraji al-Qurtubi al-Maliki. Berdasarkan salah satu sumber,
Hasbi Ash-Shidieqi menyebutkan bahwa ia lahir di Andalusiaa tahun 486 H dan
meninggal di Mausul tahun 567; namun informasi ini sangat lemah. Para biografi
tidak ada yang menuliskan kelahirannya namun mereka menyebutkan tahun
kematiannya yaitu 671 H di kota Maniyyah Ibn Hassib Andalusia. Ia dianggap
sebagai seorang tokoh yang bermazhab Maliki.
Aktivitasnya dalam mencari ilmu ia jalani dengan serius dibawah bimbingan
ulama ternama pada saat itu diantaranya al-Syaikh Abu al-Abbas Ibn ‘Umar alQurtubi dan Abu Ali al-Hasan Ibn Muhammad al-Bakri.
B. Tartib (Sistematika)
Al-Qurtubi menulis kitab tafsirnya memulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri
dengan surat al-Nas, dengan demikian ia menggunakan sistematika Mushafi yaitu
penyusunan kitab tafsir yang berpedoman pada tertib susunan ayat-ayat dan suratsurat dalam mushaf.
C. Metode
Langkah-langkah yang dilakukan al-Qurtubi dalam menafsirkan al-Qur’an dapat
dijelaskan dengan periniaan sebagai berikut:
a. Memeberikan kupasan dari segi bahasa
b. Menyebutkan ayat-ayat lain yang berkaitan dan hadits-hasits dengan
menyebutkan sumbernya sebagai dalail
c. Mengutip pendapat ulama dengan menyebut sumbernya sebagai alat
untuk menjelaskan hokum-hukum yang berkaitan dengan pokok
bahasan
d. Menolak pendapat yang dianggap tidk sesuai dengan ajaran Islam
e. Mendiskusikan pendapat ulama dengan argumentasi masing-masing,
setelaah itu melakaukan tarjih dsan mengambil pendapat yang
dianggap paling benar.
13

Satu hal yang dianggap paling menonol adalah penjelasaan panjang
lebar menegnai persoalan fiqhiyah merupakan hal yang sangat mudah
ditemui.
Dengan memperhatikan pembahasannya yang demikian mendetail
kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa metode yang dipakainya adalah tahlili.
Karena ia berupaya menjelaskan seluruh aspek yang terkandung dalam al-Qur’an
dan mengungkapkan segenap pengertian yang dituju. Sebagai sedikit ilustrasi
dapat diambil contoh ketika ia menafsirkan surat al-Fatihah dimana ia
membaginya menjadi empat bab yaitu; bab keutamaan dan nama surat al-Fatihah,
bab turunnya dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, bab ta’min
(bacaan mim), dan bab tentang Qira’at dan I’rab. Masing-masing dari bab
tersebut memuat beberapa masalah.
D. Laun (corak tafsir)
Para pengkaji tafsir memasukkan tafsir karya al-Qurtubi kedalam tafsir
yang mempunyai corak (laun) Fiqhi. Sehingga sering disebut tafsir ahkam.
Karena dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an lebih banyak dikaitkan dengan
persoalan-persoalan hukum.
Sebagai contoh al-Qurtubi memberikan penjelasan panjang lebar
mengenai persoalan-persoalan Fiqh dapat diketemukan ketika ia membahas ayat
Qs. Al-Baqarah (2): 43
Ia membagi pembahasan ayat ini menjadi 34 masalah. Diantaranya
pembahasan yang menarik adalah pada masalah ke-16. Ia mendiskusikan berbagai
pendapat tentang status anak kecil yang menjadi imam salat. Diantara tokoh yang
mengatakan tidak boleh adalah al-Sauri, Malik dan Ashab al-Ra’y. Dalam masalah
ini, al-Qurtubi berbeda pendapat dengan mazhab yang dianutnya: (anak kecil
boleh menjadi imam jika memiliki bacaan yang baik)
Begitu pula ketika ia menafsirkan Qs. Al-Baqarah (2): 185:

14

Pembahasan ayat ini dibagi menjadi 21 masalah. Ketika memasuki
pembahasan yang ke-17, ia mendiskusikan persoalan salat ‘Idul Fitri yang
dilaksanakan pada hari kedua. Ia berpendapat tetap boleh dilaksanakan, berbeda
dengan pendapat malik sebagai imam mazhabnya yang tidak membolehkan.
4. Ruhul Ma’ani Fi Tafsir Al Qur’an Al ‘Azim Wal Al Sab’ Al Masani
( Tafsir Ruhul Ma’ani)
Tafsir Ruhul Ma’ani merupakan karya besar Abu al Sana Shihab al Din
al Sayyid Mahmud al Alusi al Baghdadi, salah seorang intelektual muda yang
dimiliki Islam pada zamannya. Kitab ini terdiri dari 15 jilid kitab ditambah 1 jilid
indeks. Jadi keseluruhan ada 16 jilid. Sebagai karya ulama belakangan, Tafsir
Ruhul Ma’ani banyak mengutip pendapat ulama terdahulu (mutaqaddimin). Hal
ini penting karena dengan demikian rabithah (benang merah) dengan mufassir
terdahulu tetap terjaga. Selain itu Tafsir Ruhul Ma’ani juga banyak
mengemukakan pendapat ulama belakangan (mutaakhkhirin). Hal ini juga penting
untuk rabithah dengan zaman di mana Tafsir Ruhul Ma’ani disusun.
1. Riwayat Hidup Pengarang
Nama lengkapnya adalah Abu al Sana Shihab al Din al Sayyid Mahmud
al Alusi al Baghdadi. Nama al Alusi diambil dari nama suatu tempat di tepi barat
Sungai Eufrat yang terletak di antarakota Abu Kamal dan kota Ramadi, Irak.
Beliau lahir dari keluarga besar yang terpelajar di Baghdad pada tahun 1217 H /
1802 M. Al Alusi pernah menjabat sebagai Mufti Baghdad. Ia memiliki
pengetahuan yang luas baik dalam bidang ‘aqli maupun naqli. Ia juga seorang
mahaguru, pemikir dan ahli berpolemik. Sejak usia muda ia sudah mulai
mengarang. Namun hanya sedikit karyanya yang diwariskan kepada generasi
sekarang, diantaranya adalah Tafsir Ruh al Ma’ani Fi Tafsir al Qur’an al Azim wa
al Sab’ al Masani (Semangat makna dalam Tafsir al Qur’an dan al Sab’ al Masani)
15

Sejak lama al Alusi ingin menuangkan buah pikirannya ke dalam sebuah
kitab. Namun karena merasa belum mampu dan kurangnya kesempatan, keinginan
tersebut belum dapat terwujud. Hingga pada suatu Malam Jum’at di bulan Rajab
tahun 1252 H. beliau bermimpi diperintah Allah SWT untuk melipat langit dan
bumi. Kemudian (masih dalam keadaan mimpi) beliau mengangkat satu tangan ke
arah langit dan satu tangan ke tempat mata air, kemudian beliau terbangun.
Setelah dicari, ternyata tafsir mimpi beliau adalah bahwa beliau diperintah
mengarang sebuah kitab tafsir. Maka mulailah beliau mengarang pada tanggal 16
Sya’ban 1252 H, pada waktu beliau berusia 34 tahun pada zaman pemerintahan
Sultan Mahmud Khan bin Sulthan Abdul Hamid Khan. Setelah kitab ini selesai
disusun, beliau mendapat kesulitan dalam memberikan nama yang sesuai.
Akhirnya beliau melaporkan hal ini kepada Perdana Menteri Ali Ridho Pasha.
Secara sepontan beliau memberinya nama Tafsir Ruh al Ma’ani Fi Tafsir al
Qur’an al Azim wa al Sab’ al Masani. Setelah beliau meninggal, kitab ini
disempurnakan oleh putranya, Sayyid Nu’man al Alusi.
2. Metode Kitab Tafsir
a. Sumber Penafsiran
Ditilik dari sumbernya, Tafsir Ruh al Ma’ani selain menggunakan dalil
nash al Qur’an, al Hadis, aqwal al ‘ulama juga ra’yu. Ra’yu inilah yang paling
besar porsinya. Sehingga tidak heran apabila Dr. Jam’ah memasukkannya ke
dalam golongan Tafsir bil Ra’yi. Akan tetapi menurut hemat penulis, Tafsir Ruh
al Ma’ani bisa juga dikelompokkan ke dalam golongan tafsir bil iqtirani, yakni
tafsir yang memadukan antara sumber penafsiran yang ma’tsur juga menggunakan
ra’yu.
b. Cara Penjelasan
Dalam memberikan penjelasan, al Alusi banyak mengutip pendapat para
ahli yang berkompeten. Seringkali ia juga memiliki pendapat sendiri yang berbeda
dengan pendapat yang dikutip. Bahkan ia kadang-kadang juga mengomentari dan
terkadang juga menganggap kurang tepat diantara pendapat-pendapat yang
disebutkannya. Menilik cara menjelaskan, Tafsir Ruh al Ma’ani digolongkan ke
dalam kelompok Tafsir Muqarin/Komparatif.

16

c.

Keluasan Penjelasan
Penjelasan yang diberikan oleh al Alusi terbilang detil, bahkan sangat
detil. Sehingga tepatlah jika Tafsir Ruh al Ma’ani dimasukkan ke dalam golongan
Tafsir Ithnabi (Tafsili)/Detail. Penjelasan di awal surat biasanya diawali dari nama
surat, asbabun nuzul, munasabah dengan surat sebelumnya, makna kata, i’rab,
pendapat para ulama, dalil yang ma’tsur (namun jarang), makna di balik lafaz
(makna isyari) dan jika pembahasannya panjang terkadang juga diberi
kesimpulan.

d. Sasaran dan Tertib Ayat yang ditafsirkan
Tafsir Ruh al Ma’ani memberikan penjelasan terhadap al Qur’an secara
berurutan sesuai dengan tertib mushaf. Dimulai dari Surat al Fatihah diakhiri
dengan Surat al Nas. Sehingga tafsir ini masuk daam golongan Tafsir Tahlili.
3. Kecenderungan Aliran (Naz’ah / Ittijah)
Naz’ah/Ittijah adalah sekumpulan dari dasar pijakan, pemikiran yang jelas
yang tercakup dalam suatu teori dan yang mengarah pada satu tujuan. Dalam
penjelasannya al Alusi memiliki kecenderungan banyak menjelaskan makna
samar yang diisyaratkan oleh lafad. Kecenderungan penafsiran seperti ini
dinamakan Tafsir (aliran) Isyari/Sufi.
5. LUBAB AL-TA’WIL FI MA’ANI AL-TANZIL (Karya al-Khazin)
A. Latar Belakang
Nama lengkap Al- Khazin adalah ‘Ala al Din Abu Hasan ‘Ali Abu
Muhammad ibn Ibrahim Ibn Umar Ibn Khalil al- syaikhi al- baghdadi al- Syafi’i
al –Khazin. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 678 H. Dan wafat tahun 741 H. Di
kota Halb (Aleppo).
Dalam memperdalam ilmunya, al- Khazin berguru kepada Ibn al Dawalibi
ketika masih di Bagdad. Kemudian ketika berada di Damaskus beliau menimba
ilmu kepada al- Qasim Ibn Mudaffir dan Waziroh binti ‘Umar. Pribadi al- Khazin
sebagaimana yang diterangkan Abu Syabah dan al- Zahabi adalah seorang ulama
sufi yang memiliki kepribadian dan kelakuan yang sangat baik. Beliau juga mahir

17

dalam bidang tafsir serta hadist. Beliau meninggal kurang lebi tujuh abad yang
yang lalu di salah satu sudut kota Halb.
B. Karakteristik Tafsir al Khazain
Dalam tafsir al- Khazain bahwa nama resmi adalah Lubab al- Ta’wil fi
Ma’wani al- Tanzil), nama tersebut bisa dipandang sebagai suatu konversionalitas
orang dalam menyebut suatu karya tafsir atau karya lainnya, yang mungkin saja
karena alasan praktis saja, dan mungkin juga untk mengaitkannya dengan
popularitas pengarangnya.
C. Latar Belakang Penyusunan
Kitab ini selesai disusun oleh al- Khazin pada hari Rabu, tanggal 10
Ramadhan ahun 725 H. Dalam kitab ini al- Khazin sendiri mengatakan bahwa
tafsir tersebut sebagi produk karya ilmu tafsir yang tinggi kualitasnya.Kitab tafsir
ini juga mendapat berbagi sanjungan dan pujian yang diantaranya sanjungannya
adalah kitab yang berpegang teguh pada Al- Qur’an dan sunnah sangat inggi
integritas keilmuannya dan karya tafsirnya yang ia susun berdasar keahliannya
membawa faedah yang besar.
D. Sistematika Penyusunan
Dalam kaitannya dengan sistematika penyusunan kitab tafsir, perlu
diketahui adanya tiga sistematika penyusunan tafsir yang dikenal di kalangan para
ahli tafsir; tartib mushafi (urutan ayat dan surat), tartib nuzuli (urutan kronologi
turunnya surat), tartib maudu’i (urutan sesuai tema).
E. Manhaj Penyusunan Tafsir Al- Khazin
Menurut ‘Abd al- Hayy al- Farmawi ada empat manhaj yang digunakan
para munfasir: manhaj tahlili, manhaj ijmali, manhaj muqaran, manhaj
maudu’i.al-Khazin dalam tafsirnya mengikuti manhaj tahlili yakni manhaj yang
berusaha menjelaskan seluruh aspek yang dikandung oleh ayat- ayat al-Quran dan
mengungkapkan segenap pengertian yang ditujunya.
Penafsiran al- Qur’an dengan manhaj tahlili ini memiliki corak dan
orientasi yang berbeda- beda, sejalan dengan corak dan orientasi pemikiran
masing- masing mufasir.
6. ANWAR AL-TANZIL WA ASRAR AL-TA’WIL (Karya al-Baidawi)

18

A. Latar Belakang
Mempunyai nama lengkap Nshirudin Abul Khayr ‘Abdullah bin ‘Umar bin
Muhammad bin ‘Ali al- Baidawi al- Syafi’i. Beliau dilahirkan di Baida’, sebuah
daerah dekat kota Syiraz, Iran Selatan. Ia sempat tinggal di Bagdad dan menjadi
hakim agung di Syiraz. Kemudian mundur dari jabatan tersebut untuk hidup
mengabdi kepada ilmu di Tabriz. Di kota inilah beliau berhasil menulis sakah satu
karya monumentalnya yang berjudul Anwar al- Tanzil wa Asrar al- Ta’wil.
B. Sejarah Penulisan
Al- Baidawi menyebutkan dua alasan yang mendesaknyauntuk menulis
tafsir ini. Pertama, tafsir dianggap sebagai ilmu yang tertinggi di antara ilmu ilmu
agama yang lain. Alasan yang kedua, melaksanakan apa yang diniatkan sejak
lama yang berisi tentang pikiran- pikiran terbaik. Beberapa penelitian terhadap
karangan al- Baidawi menyimpulkan bahwa sang pengarang memiliki
ketergantungan pada kitab- kitab tafsir terdahulu, namun tidak menyebutkan nama
mufasir tertentu meski kebanyakan penafsirannya sama dengan para mufasir yang
telah ada sebelumnya.
Menurut Jane Smith, al- Baidawi melakukan hal demikian karena memang
sudah merupakan praktik yang umum saat itu, Namun demikian, beliau juga
mengakui bahwa karyanya adalah langkah independen dari hasil istinbat yang
beliau lakukan sendiri.
C. Bentuk dan Corak Penafsiran al- Baidawi
Dalam menafsirkan ayat- ayat al- Qur’an, al- Baidawi sebenarnya tidak
memiliki kecenderungan yang spesifik untuk menggunakan

satu corak yang

mutlak. Karya ini lebih kental nuansa teologinya. Dari segi sistematika
penyusunannya, kitab tafsir yang terdiri dari “hanya” dua jilid ini diawali dengan
menyebutkan basmalah,tahmid,penjelasan tentang kemukjizatan al- Quran,
signifikasi ilmu tafsir, latar belakang penulisan kitab, baru kemudiandiuraikan
penafsiran terhadap al- Qur’an.Keunggulan kitab tafsir ini dikemas dengan
menggunakan bahasa yang singkat dan praktis dengan harapan agar dapat
dikonsumsi secaa mudah oleh para pembaca.
D. Metodelogi

19

Sebagaimana kebanyakan kitab-kitab tafsir saat itu, tafsir al-Baiḍāwi ini
menggunakan metodologi tahlīli (analitis) yang berupaya menafsirkan ayat-ayat
Alquran berdasarkan urutan urutan mushaf Usmani, dari surat ke surat, dan dari
ayat ke ayat, mulai dari al-Fātihah sampai al-Nās.
Dalam menafsirkan al- Qur’an, al- Baidawi memanfaatkan berbagai
sumber; ayat al- Qur’an,hadist nabi, pendapat para sahabat dan tabi’in dan
pandangan para ulama sebelumnya. Penggunaan tata bahasa dan qira’at menjadi
bagian yang sangat penting untuk memperkuat analisis dan penafsiran yang
dilakukan al- Baidawi.
Langkah pertama yang dilakukan al- Baidawi dalam menafsirkan adalah
menjelaskan empat turunnya surah (makiyah atau madaniyah) dan jumlah ayat
dari surah yang sedang ditafsirkan tersebut. Setelah itu, al- Baidawi menjelaskan
makna satu persatu baik dengan menggunakan analisis kebahsaan, menyitir
hadist- hadist Nabi maupun qiraah. Di akhir al- Baidawi menyertakan hadisthadist yang menjelaskan tentang keutamaan surat yang baru saja ditafsirkan.
Menafsirkan ayat al- Qur’an dengan menghubungkannya dengan ayat
yang lain merupakan bagian penting dalam tafsir al- Baidawi. Metode ini
dilakukan dengan cara menghubungkan kata dalam ayat yang sedang ditafsirkan
dengan ayat lain dalam surah yang sama, atau mencari makna kandungan ayat
yang sedang ditafsirkan dengan melihat pada ayat dan surah yang lain dari alQur’an.
Selain mendasarkan pada ayat- ayat al- Qur’an dan macam- macam qiraat,
dalam menafsirkan al- Qur’an, al- Baidawi juga sangat besar memberikan porsi
kepada hadist Nabi. Hadist – hadist yang dikutip oleh al- Baidawi tersebut
dikategorikan menjadi tiga; hadist yang dikutip sebagi penjelas ayat yang sedang
ditafsirkan, kemudian hadist yang termasuk dalam kategori asbab al- nuzul, dan
hadis- hadis yang lebih bersifat untuk menunjukkan keutamaan surat- surat yang
ditafsirkan.
7. TAFSIR AL-QUR’AN AL-AZIM (Karya Ibnu Kasir)
1. Biografi Ibnu Kasir

20

Ibnu Katsir, pengarang kitab yang sedang dikaji ini, nama lengkapnya
ialah ‘Imad al-Din Isma’il ibn ‘Umar ibn Kasir al-Quraisyi al-Dimasyqi. Ia biasa
dipanggil dengan sebutan Abu Al-Fida. Ia lahir di Basrah tahun 700 H/1300 M. Ia
wafat di Damaskus dalam usia 74 tahun.
2. Tentang Nama Tafsirnya
Mengenai nama tafsir yang dikarang oleh Ibnu Kasir ini, tidak ada data
yang dapat memastikan berasal dari pengarangnya. Hal ini karena dalam kitab
tafsir dan karya-karya lainnya, Ibnu Kasir tidak menyebutkan judul/nama bagi
kitab tafsirnya, padahal untuk karya-karya lainnya ia menamainya. Dalam
berbagai naskah cetakan yang terbitpun pada umumnya diberi judul Tafsir AlQur’an al-Azim, namun ada pula yang memakai judul Tafsir Ibnu Kasir.
Perbedaan judul hanya pada namanya sedangkan isinya sama.
3. Corak dan Metode Penafsiran
Kitab ini dapat dikategorikan sebagai salah satu kitab tafsir dengan corak
dan orientasi tafsir bi-al ma’sur/ tafsir bi al-riwayah, karena dalam tafsir ini
sangat dominan memakai riwayat/ hadis, pendapat sahabat dan tabi’in. Dapat
dikatakan dalam tafsir ini paling dominan adalah pendekatan normativ-historis
yang berbasis utama kepada hadis/riwayat. Namun IBnu Kasir pun terkadang
menggunakan rasio atau penalaran ketika menafsirkan ayat.
Adapun metode (manhaj) yang ditempuh oleh Ibnu Kasir dalam
menafsirkan al-Qur’an dapat dikategorikan sebagai manhaj tahlili (metode
analisis). Kategori ini dikarenakan pengarangnya menafsirkan ayat demi ayat
secara analitis menurut mushaf al-Qur’an. Meski demikian, metode penafsiran
kitab inipun bisa dikatakan semi tematik (maudu’i) , karena ketika menafsirkan
ayat ia mengelompokkan ayat-ayat yang masih dalam satu konteks pembicaraan
ke dalam satu tempat baik satu atau beberapa ayat, kemudian ia menampilkan
ayat-ayat lainnya yang terkait untuk menjelaskan ayat yang sedang ditafsirkan itu.
Langkah-langkah dalam penafsirannya secara garis besar ada tiga; Pertama,
menyebutkan ayat yang ditafsirkannya, kemudian menafsirkannya dengan bahasa

21

yang mudah dan ringkas. Jika memungkinkan, ia menjelaskan ayat tersebut
dengan ayat lain, kemudian memperbandingkannya hingga makna dan maksudnya
jelas. Kedua, mengemukakan berbagai hadis atau riwayat yang marfu’ (yang
disandarkan kepada Nabi Saw, baik sanadnya bersambung ataupun tidak), yang
berhubungan dengan ayat yang sedang ditafsirkan.Ketiga, mengemukakan
berbagai pendapat mufassir atau ulama sebelumnya.
Secara lebih rinci tahap-tahap tersebut akan diuraikan dibawah ini:
a.

Menafsirkan dengan al-Qur’an (ayat-ayat lainnya)
Ketika membaca tafsir ini para pembaca akan sangat sering mendapatkan
ayat-ayat al-Qur’an lainnya yang terkait dengan ayat yang sering ditafsirkan.
Ayat-ayat itu adalah yang menurutnya dapat menopang penjelasan dan maksud
ayat-ayat yang sedang ditafsirkan, atau ayat-ayat yang mengandung persesuaian
arti.
Contohnya ketika Ibnu Kasir menafsirkan kalimat (al-Qur’an sebagai
petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa) dalam Qs. Al-Baqarah (2): 2, ia
menafsirkan dengan tiga ayat lain dari Qs, Fussilat (41): 44, al-Isra’ (17): 82 dan
Yunus (10): 85 sehingga pengertiannya menjadi khusus yakni bagi orang-orang
yang beriman.

b. Menafsirkan dengan hadis
Metode atau langkah ini ia pakai ketika penjelasan dari ayat lain tidak
ditemukan, atau jika ayat lain ada, penyajian hadis dimaksudkan untuk
melengkapi penjelasan. Hal ini merupakan cirri khas tafsir Ibnu Kasir.
c.

Menafsirkan dengan pendapat sahabat dan tabi’in
Sebagaimana gurunya, yakni Ibnu Taimiyyah, ia pun berpendapat bahwa
pernyataan sahabat dan tabi’in merupakan rujukan disamping al-Qur’an dan
hadis. Pendapat ini didasrkan pada asumsi bahwa sahabat terutama tokohtokohnya adalah orang yang lebih mengetahui penafsiran al-Qur’an, karena
mereka mengalami dan menyaksikan langsung proses turunnya ayat-ayat al22

Qur’an. Sedangkan pendapat tabi’in dijadikan hujah apabila pendapat tersebut
telah menjadi kesepakatan di antara mereka, jika tidak ia tidak mengambilnya
sebagai hujah.
d. Menafsirkan dengan pendapat para ulama
Ibnu Kasir pun sering mengutip berbagai pendapat ulama atau mufassir
sebelumnya ketika menafsirkan ayat. Berbagai pendapat yang dikutip menyangkut
berbagai aspek seperti kebahasaan, teologi, hukum, kisah/sejarah. Ia pun sering
mengkritik kualitas hadis yang dikutipnya itu. Dengan demikian secara
substansial Ibnu Kasir telah melakukan perbandingan penafsiran.
e.

Menafsirkan dengan pendapatnya sendiri
Langkah ini biasa di tempuhany setelah ia melakukan keempat langkah
di atas. Dengen menempuh langkah-langkah tersebut dan menganalisis serta
membandingkan berbagai data atau penafsiran, ia seringkali mengemukakan
kesimpulan ataupun pendapatnya sendiri pada bagian akhir penafsiran ayat.
Namun perlu diketahui bahwa langkah ini tidak semuanya dapat diterapkan pada
semua ayat. Adapun untuk membedakan antara pendapatnya sendiri antara ulamaulama

lainnya,

dapat

diketahui

dari

pernyataannya:

“Menurut

pendapatku………………” (qultu…..) yang secara eksplisit banyak dijumpai
dalam kitab ini.
8. TAFSIR AL-MISBAH (Karya Muhammad Quraish)
1. Sketsa Biografi
Muhammad Quraish lahir pada tanggal 16 Februari 1944 di Rappang,
Sulawesi Selatan. Ia merupakan putra dari salah seorang wirausahawan dan juga
seorang guru besar dalam bidang tafsir yaitu Prof. KH. Abdurrahma Shihab.
Pendidikan formalnya dimulai dari sekolah dasar di Ujung Pandang, kemudian
dilanjutkan dengan sekolah menengah, sambil belajar agama di Pondok Pesantren
Dar Hadis al-Fiqhiyah di kota Malang, Jawa Timur. Pada tahun 1958, ketika ia
berusia 14 tahun ia dikirim oleh ayahnya ke al-Azhar Kairo Mesir untuk
mendalami studi keIslaman, dan diterima di kelas II Tsanawiyah al-Azhar. Setelah
23

selesai, Quraish Shihab berminat melanjutkan studinya di Universitas al-Azhar
pada Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin, tetapi ia tidak diterima karena
belum memenuhi syarat yang telah ditetapkan karena itu ia bersedia untuk
mengulang setahun guna mendapatkan kesempatan studi di Jurusan Tafsir Hadis
walaupun jurusan-jurusan lain terbuka lebar untuknya. Pada tahun 1967 ia dapat
menyelesaikan kuliahnya dan mendapatkan gelar Lc. Karena “kehausannya”
dalam ilmu al-Qur’an ia melanjutkan kembali pendidikannya dan berhasil meraih
gelar MA pada tahun 1968 untuk spesalisasi di bidang tafsir al-Qur’an dengan
tesis berjudul “al-I’jaz at-Tasyri’i al-Qur’an al-Karim.
Pada tahun 1980 Quraish Shihab kembali ke Kairo, Mesir untuk
melanjutkan pendidikannya, ia mengambil spesialisasi dalam studi tafsir alQur’an, dalam kurun waktu dua tahun ia berhasil meraih gelar doktor dengan
disertasi yang berjudul “Nazhm al-Durar li al-Biqa’I Tahqiq wa Dirasah” (suatu
kajian terhadap kitab Nazhm ad-Durar Karya al-Biqa’i) dengan predikat Summa
Cum Laude dengan penghargaan Mumtaz Ma’a Martabah al-Syarafal Ula.
Quraish Shihab merupakan salah seorang penulis yang produktif yang menulis
berbagai karya ilmiah baik yang berupa artikel dalam majalah maupun yang
berbentuk buku yang diterbitkan. ia juga menulis berbagai wilayah kajian yang
menyentuh permasalahan hidup dan kehidupan dalam konteks masyarakat
Indonesia kontemporer. Adapun karya-karya beliau yang lain adalah: Tafsir alAmanah, Membumikan al-Qur’an, Wawasan al-Qur’an Tafsir al-Qur’an AlKarim. al-Asma Al-Husna. Mukjizat al-Qur’an.
2.

Metodologi Tafsir al-Misbah
Secara metodologis tafsir al-Misbah ditafsirkan dengan menggunakan
metode Tahlîlî, yaitu ayat per ayat disusun berdasarkan tata urutan al-Qur’an.
Menurut Quraish Shihab al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan. Dalam tafsir al-Mishbâh, beliau tidak luput dari pembahasan ilmu alMunâsabât yang tercermin dalam enam hal:
a. Keserasian kata demi kata dalam satu surah;
b.Keserasian kandungan ayat dengan penutup ayat (Fawâshil);
c. Keserasian hubungan ayat dengan ayat berikutnya;
d. Keserasian uraian awal satu surah dengan penutupnya;
24

e. Keserasian penutup surah dengan uraian awal surah sesudahnya;
f. Keserasian tema surah dengan nama surah.
Metode yang dipergunakan dan yang dipilih dari penafsirannya adalah
metode Tahlili. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya yaitu dengan menjelaskan
ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai dengan susunannya yang terdapat dalam
mushaf. Namun disisi lain Quraish Shihab mengemukakan bahwa metode Tahlili
memiliki berbagai kelemahan, maka dari itu Quraish Shihab juga menggunakan
metode Maudhu’i atau tematik, yang menurutnya metode ini memiliki beberapa
keistimewaan, diantaranya metode ini dinilai dapat menghidangkan pandangan
dan pesan al-Qur’an secara mendalam dan menyeluruh menyangkut tema-tema
yang dibicarakannya.
Menyadari kelemahan-kelemahan yang terdapat metode Tahlili, Quraish
Shihab memberikan tambahan lain dalam karyanya. Ia menilai bahwa cara yang
paling tepat untuk menghidangkan pesan al-Qur’an adalah metode Maudhu’i.
Dengan demikian, metode penulisan tafsir al-Misbah mengkombinasikan dua
metode yaitu metode Tahlili dengan metode Maudhu’i.
Adapun corak yang dipergunakan dalam tafsir al-Misbah adalah corak
Ijtima’i atau kemasyarakatan, sebab uraian-uraiannya mengarah pada masalahmasalah yang berlaku atau terjadi di masyarakat. Dalam menjelaskan ayat-ayat
suatu surat, biasanya beliau menempuh beberapa langkah dalam menafsirkannya,
diantaranya:
a. Pada setiap awal penulisan surat diawali dengan pengantar mengenai penjelasan
surat yang akan dibahas secara detail, misalnya tentang jumlah ayat, tema-tema
yang menjadi pokok kajian dalam surat, nama lain dari surat.
b.Penulisan ayat dalam tafsir ini, dikelompokkan dalam tema-tema tertentu sesuai
dengan urutannya dan diikuti dengan terjemahannya.
c. Menjelaskan kosa kata yang dipandang perlu, serta menjelaskan munasabah ayat
yang sedang ditafsirkan dengan ayat sebelum maupun sesudahnya.
d.
Kemudian menafsirkan ayat yang sedang dibahas, serta diikuti dengan
beberapa pendapat para mufassir lain dan menukil hadis nabi yang berkaitan
dengana ayat yang sedang dibahas.

25

Adapun sumber penafsiran yang dipergunakan tafsir al-Misbah ada dua:
Pertama, bersumber dari ijtihad penulisnya. Kedua, dalam rangka menguatkan
ijtihadnya, ia juga mempergunakan sumber-sumber rujukan yang berasal dari
pendapat dan fatwa ulama yang dianggap relevan, baik yang terdahulu maupun
mereka yang masih hidup dewasa ini.”
Tafsir al-Misbah bukan semata-mata hasil ijtihad, hal ini diakui sendiri
oleh penulisnya dalam kata pengantarnya mengatakan: Akhirnya, penulis
(Muhammad Quraish Shihab) merasa sangat perlu menyampaikan kepada
pembaca bahwa apa yang dihidangkan disini bukan sepenuhnya hasil ijtihad
penulis. Melainkan hasil karya ulama-ulama terdahulu dan kontemporer, serta
pandangan-pandangan mereka sungguh banyak penulis nukil, khususnya
pandangan pakar tafsir Ibrahim Ibnu Umaral-Baqa’i (w. 887 H/1480M) yang
karya tafsirnya ketika masih berbentuk manuskrip menjadi bahan disertasi penulis
di Universitas al-Azhar Kairo, dua puluh tahun yang lalu. Demikian pula karya
tafsir pemimpin tertinggi al-Azhar dewasa ini, Sayyid Muhammad Thanthawi,
juga Syekh Mutawalli al-Sya’rawi, dan tidak ketinggalan Sayyid Quthub,
Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i, serta
beberapa pakar tafsir yang lain. 8

8 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. I,( Jakarta:
Lentera Hati, 2002)

26

27

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Demikian gambaran umum tentang beberapa metode tafsir yang secara singkat
dan sedrhana dapat disimpulkan bahwa beberapa tafsir tersebut pada dasarnya
ingin memfungsikan tujuan utama dari kehadiran al-Qur’an, yakni sebagai
petunjuk serta memberikan jalan keluar bagi berbagai umat manusia. Oleh karena
itu,para mufassir ingin membuktikan bahwa al-Qur’an benar-benar bersifat
universal yang dapat menjawab problematika umat ditengah warna warni
kehidupan manusia.

28

DAFTAR PUSTAKA
Yusuf, Muhammad, DKK.Studi Kitab Tafsir:Menyuarakan teks Yang Bisu.2004.Penerbit
Teras:Depok.

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Vol. I.2002,Lentera Hati:Jakarta.

29