KEWAJIBAN INDONESIA BERDASARKAN KETENTUAN YANG BERSAMAAN KONVENSI JENEWA 1949

Erlies S. Nurbani

Fakultas Hukum Universitas Mataram Jalan Majapahit Nomor 62 Mataram. Lombok. Email: erlisseptiana@unram.ac.id

ABSTRACT

As a part of international community, which had ratify various of international agreements, Indonesia obliged to create national laws which compatible with international agreements. Since ratification of international agreements is not a final process which must comply by a state to abide the international agreements. The adjusment of national law whether with establish the new law or amendment the existed law, is repercussions of ratifications phase which state have to fulfill. One of Indonesia obligations, based on Geneva Conventions 1949 for the Protection of Victims of War, i.e common articles of Article 49 Geneva Convention I, Article 50 Geneva Convention II, Article 129 Geneva Convention III and Article 146 Geneva Convention IV is to establish national law on grave breaches of the convention and to prosecute the perpetrators. This article try to examine further on the Indonesia obligations based on th common articles and its implementaion in Indonesia, after 60 years of Indonesia accesion to the Geneva Conventions 1949 with the Law Number 59 Year 1958 on Indonesia Participation on all of Geneva Conventions 1949.

Key Words : Obligations, Common Articles, Geneva Conventions 1949

Indonesia dalam menjaga perdamaian dan Pembukaan

A. PENDAHULUAN

Undang-Undang

Dasar

keamanan dunia.

Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI Sebagai konsekuensi dari peran aktif 1945) menyatakan bahwa : “...ikut serta

Indonesia tersebut, bahwa segala kesepakatan menjaga ketertiban dunia, yang berdasarkan

dalam bentuk perjanjian internasional yang kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan

telah ditandatangani dan diratifikasi, maka sosial....” Keterlibatan Indonesia secara aktif

Indonesia harus menaati isinya, baik secara dalam hubungan-hubungan internasional telah

nasional maupun internasional. Salah satu nampak bahkan sejak negara ini berdiri.

perjanjian internasional yang penting dan Sumbangan pemikiran dalam pembentukan

telah diterima oleh pemerintah Indonesia Konvensi Hukum Laut 1982 (United Nations

adalah Konvensi Jenewa 1949 tentang Conventions on the Law of the Sea 1982)

perlindungan korban perang (International sehingga diadopsi dan diterimanya konsep

Conventions for the Protection of Victims of negara kepulauan dan luas laut territorial

War ). Pengesahan Konvensi Jenewa 1949 di dalam Konvensi Hukum Laut 1982 yang

Indonesia dilakukan dengan Undang-Undang bersumber

Nomor 59 tahun 1958 tentang Ikut Serta merupakan fakta sejarah yang tidak bisa

Indonesia dalam seluruh Konpensi Jenewa diabaikan. Sejumlah undang-undang ratifikasi

perjanjian internasional serta keterlibatan Tindakan pemerintah Indonesia untuk pasukan Garuda secara aktif pada daerah-

mengesahkan dan mempraktikan norma- daerah konflik di berbagai belahan dunia

norma dalam Konvensi Jenewa 1949 dalam

merupakan promosi yang dapat dilakukan internasional, merupakan bukti peran serta

bagi negara-negara lain. Khususnya dalam [K ewajiban Indonesia Berdasarkan Ketentuan…] | Erlies Septiana Nurbani 329

[Vol. 33 No. 3 November 2018] J A A A T T T I I I S S S W W W A A A R R R A A A ]

masa-masa damai. Keterlibatan tersebut dapat sebagaimana ditentukan di dalam pasal menjadi model pembelajaran bagi negara lain,

berikut.

baik yang berpotensi untuk berperang atau Tiap pihak peserta agung berkewajiban tidak, untuk sama-sama menghormati dan

untuk mencari orang-orang yang disangka melaksanakan isi dari Konvensi Jenewa 1949.

telah melakukan atau memerintahkan untuk Karena, kewajiban-kewajiban negara peserta

melakukan pelanggaran-pelanggaran berat sebagaimana yang tercantum dalam ke-empat

yang dimaksudkan, dan harus mengadili Konvensi Jenewa 1949, tidak hanya berlaku

dengan tidak pada saat perang, namun juga pada masa

orang-orang

tersebut,

memandang kebangsaannya. Pihak peserta damai.

Agung dapat juga, jika dikehendakinya, dan Salah satu kewajiban penting dalam

ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa, adalah apa yang dikenal

sesuai

dengan

perundang-undangan sendiri, menyerahkan dengan istilah common articles. Common

kepada Pihak Peserta Agung lain yang article s adalah beberapa pasal dalam

berkepentingan, orang-orang tersebut untuk Konvensi Jenewa, yang dipandang penting

diadili, asal raja Pihak Peserta Agung itu dan mendasar sehingga perlu dicantumkan

dapat menunjukkan suatu perkara prima facie. dalam setiap Konvensi Jenewa, baik

Tiap pihak peserta agung harus diletakkan pada nomor pasal yang sama

mengambil tindakan-tindakan yang perlu maupun dirumuskan dalam redaksi atau isi

untuk memberantas selain pelanggaran berat yang sama/hampir sama. 1 Adapun beberapa yang ditentukan dalam pasal berikut, segala

permasalahan yang merupakan common perbuatan yang bertentangan dengan articles adalah mengenai penghormatan

ketentuan-ketentuan Konvensi ini. terhadap konvensi, sengketa bersenjata non

Dalam segala keadaan, orang-orang yang internasional, orang-orang yang dilindungi

dituduh harus mendapat jaminan-jaminan dan pengawasan konvensi.

peradilan dan pembelaan yang wajar, yang Common articles yang menarik untuk

tidak boleh kurang menguntungkan dari mendapat perhatian seluruh negara peserta

jaminan-jaminan yang diberikan oleh khususnya dalam masa damai adalah

Konvensi Jenewa tentang Perlakuan Tawanan mengenai kewajiban negara peserta untuk

Perang tanggal 12 Agustus 1949 sebagaimana menindak

diatur dalam Pasal 105 dan seterusnya. penyalahgunaan,

nasionalnya. Mengenai hal tersebut diatur Pada pokoknya, ketentuan tersebut dalam Pasal 49 Konvensi Jenewa I, Pasal 50

memberikan kewajiban kepada negara peserta Konvensi Jenewa II, Pasal 129 Konvensi

untuk membuat undang-undang nasional yang Jenewa III dan Pasal 146 Konvensi Jenewa

mengatur mengenai pelanggaran berat (gross

IV. violations ), mencari orang yang diduga Adapun bunyi pasal-pasal tersebut adalah

melakukan pelanggaran berat dan mengadili sama, yaitu sebagai berikut 2 :

pelaku pelanggaran berat tersebut. Adapun Pihak peserta Agung berjanji untuk

yang dimaksud dengan pelanggaran berat menetapkan peraturan yang diperlukan untuk

Konvensi Jenewa adalah sebagaimana yang memberi sanksi pidana efektif terhadap

diatur dalam Pasal 50 Konvensi Jenewa I, orang-orang

yaitu pembunuhan disengaja, penganiayaan memerintahkan untuk melakukan salah satu

atau perlakuan tidak berperikemanusiaan, diantara pelanggaran berat atas Konvensi ini

termasuk percobaan biologis, menyebabkan dengan sengaja penderitaan besar atau luka

1 KGPH Haryomataram.(2005) Pengantar Hukum

berat atas badan atau kesehatan, serta

Humaniter, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, hlm.

pembinasaan yang meluas. 3

24. 2 Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-

undangan Departemen Kehakiman.(1999). Terjemahan Konvensi Jenewa 1949, Jakarta.

3 Ibid.

330 Erlies Septiana Nurbani | [Kewajiban Indonesia Berdasarkan Ketentuan…]

[Vol. 33 No. 3 November 2018] J J J A A A T T T I I I S S S W W W A A A R R R A A A ]

Menjelang 60 tahun Indonesia mengaksesi

B. METODE PENELITIAN

Konvensi Jenewa 1949 dengan Undang- Metode penelitian yang digunakan dalam Undang Nomor 59 Tahun 1958 tentang Ikut

membahas permasalahan yang diangkat dalam Serta Indonesia dalam seluruh Konpensi

makalah ini ialah metode kajian normatif, Jenewa 1949, penting untuk mengetahui

dengan data yang dianalisis berasal dari data sejauh mana penerapan Konvensi Jenewa

sekunder yang diperoleh melalui penelusuran 1949 di Indonesia. Telah menjadi rahasia

kepustakaan. Secara garis besar, dalam internasional bahwa Indonesia enggan untuk

melakukan analisis, peneliti berfokus pada menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat

dua hal pokok, yaitu: pertama, objek berupa HAM 4 yang telah terjadi. Bahkan, keberadaan

pada tingkat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 6 internasional, dan nasional yang berkaitan

peraturan,

terutama

tentang Pengadilan HAM bahkan dianggap dengan perjanjian internasional, hukum sebagai upaya nyata Indonesia untuk

humaniter dan hak asasi manusia serta menghindari campur tangan internasional

laporan-laporan atau artikel terdahulu yang dalam urusan domestik terkait dengan

membahas

mengenai perkembangan kejahatan kemanusiaan. 5 penegakan hukum humaniter internasional

Negara peserta Konvensi Jenewa harus dan hukum hak asasi manusia di Indonesia. mengambil

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian menegakkan Konvensi Jenewa di negaranya.

langkah-langkah

guna

ini adalah pendekatan konseptual (conceptual Indonesia telah mensahkan Konvensi Jenewa

approach ) dan pendekatan perundang- dengan dengan Undang-Undang Nomor 59

undangan (statute approach ). Statute tahun 1958. Hal ini berarti bahwa Konvensi

approach adalah pendekatan yang beranjak Jenewa 1949 telah diadopsi dan diterima

dari peraturan perundang-undangan (dalam menjadi undang-undang nasional Indonesia,

penelitian ini adalah konvensi atau perjanjian yang memiliki kedudukan hukum yang sama

internasional) yang berkaitan dengan dengan undang-undang lainnya.

permasalahan yang di hadapi. Conceptual Berdasarkan latar belakang diatas, maka

approach adalah pendekatan yang beranjak yang menjadi permasalahan dalam artikel ini

dari pandangan-pandangan dan doktrin- adalah : Bagaimanakah penerapan ketentuan-

doktrin yang berkembang di dalam khazanah ketentuan yang bersamaan (common articles)

hukum humaniter internasional. Dengan sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Konvensi

pandangan-pandangan dan Jenewa I, Pasal 50 Konvensi Jenewa II, Pasal

mempelajari

doktrin-doktrin peneliti akan menemukan ide- 129 Konvensi Jenewa III dan Pasal 146

ide yang melahirkan pengertian-pengertian, Konvensi Jenewa IV di Indonesia?

konsep-konsep dan asas-asas hukum yang

7 relevan dengan isu yang di hadapi.

C.

PEMBAHASAN

Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa

Pemerintah sedang fokus untuk menyelesaikan 6 kasus

Kewajiban Indonesia

Pasca Aksesi

pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.

Konvensi Jenewa 1949

Kasus-kasus tersebut antara lain Peristiwa 1965-1966,

Perjanjian internasional adalah perjanjian

Penembakan Misterius

1982-1985,

Peristiwa

dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur

Talangsari Lampung 1989, Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti, Semanggi I, Semanggi II. Kompas, 21 April

6 Endra Wijaya, dkk, Dinamika Upaya 2016

Melakukan Sinergi Antara Hukum Perdagangan https://ebooks.gramedia.com/id/koran/kompas/pagi-21-

diakses

melalui

Internasional Dan Hukum Lingkungan, Jurnal Hukum apr-2016 pada tanggal 29 Januari 2018.

dan Peradilan Volume 6 Nomor 3, November 2017, 5 Mahfud, Integrasi HAM Dan Hukum Humaniter

hlm 495.

Dalam Sistem Peradilan Ham Nasional Dalam Rangka 7 Erlies Septiana Nurbani.(2017). Perkembangan Penerapan Peradilan Ham Terhadap Pelaku Kejahatan

Teknologi Senjata dan Prinsip Proporsionalitas, Jurnal Kemanusiaan, Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 61, Th.

Ius (Kajian Hukum dan Keadilan ) Volume 5 Nomor 1, XV (Desember, 2013)

hlm. 24-29

[K ewajiban Indonesia Berdasarkan Ketentuan…] | Erlies Septiana Nurbani 331

[Vol. 33 No. 3 November 2018] J A T I S W A A A R R R A A A ]

dalam hukum internasional yang dibuat secara perjanjian tersebut (parties to the convention) tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban

adalah pernyataan di bidang hukum (internasional/penulis)

sedangkan

aksesi

keterikatan negara terhadap perjanjian publik 8 . Oleh karena itu, untuk internasional yang telah lebih dulu ada,

mengkualifikasi sebuah perjanjian adalah dimana negara tersebut tidak turut perjanjian

naskah perjanjian memenuhi persyaratan-persyaratan diatas.

internasional. Atau dengan kata lain negara Menurut Undang-Undang Nomor 24

tersebut bukanlah pihak pada konperensi yang tahun 2000 Tentang Perjanjian lnternasional,

merumuskan perjanjian internasional tersebut. ratifikasi atau pengesahan suatu perjanjian

Sedangkan, penerimaan (acceptance) atau internasional dapat dilakukan dengan undang-

penyetujuan (approval) yaitu pernyataan undang atau keputusan presiden. 9 Pengesahan

menerima atau menyetujui dari negara-negara perjanjian internasional dilakukan dengan

pihak pada suatu perjanjian intemasional atas undang-undang apabila berkenaan dengan 10 : perubahan perjanjian internasional tersebut.

a. masalah politik, perdamaain, pertahanan,

negara setelah dan keamanan negara

ratifikasi/aksesi/acceptance

b. 11 perubahan wilayah atau penetapan batas sebuah perjanjian internasional adalah : wilayah negara Republik Indonesia;

1. Pertama, Indonesia harus menerjemahkan

c. kedaulatan atau hak berdaulat negara;

atau

mentransformasikan kewajiban

d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup; dalam perjanjian internasional ke dalam

e. pembentukan kaidah hukum baru; hukum nasional. Ini berarti berbagai

f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri. produk nasional yang bertentangan Dalam hukum internasional, dikenal

dengan ketentuan dalam perjanjian istilah ratifikasi yang dalam konteks hukum

internasional wajib untuk diamendemen. nasional terdapat pada Pasal 1 huruf b

adalah untuk Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000

Transformasi

ini

memastikan agar tidak ada ketentuan yang tentang Perjanjian Internasional, menyatakan

berbenturan (conflicting) antara hukum bahwa pengesahan adalah perbuatan hukum

nasional dengan perjanjian internasional untuk meningkatkan diri pada suatu perjanjian

yang telah diratifikasi. dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi

konsekuensi yang harus (accession), dan penerimaan (acceptance) dan

2. Kedua,

diperhatikan adalah kewajiban Indonesia penyetujuan (approval).

memberikan laporan ke suatu lembaga Dalam konteks

yang ditentukan dalam perjanjian berdasarkan Pasal 1 huruf b Undang-Undang

hukum

Indonesia

internasional. Dalam sejumlah perjanjian Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

internasional yang bersifat multilateral Internasional bahwa ratifikasi, aksesi

terdapat kewajiban negara peserta untuk penerimaan dan penyetujuan adalah bentuk-

melaporkan kemajuan (progress) yang bentuk pengikatan diri Indonesia terhadap

telah dilakukan. Sebelum meratifikasi sebuah naskah perjanjian internasional.

perjanjian internasional perlu untuk Walaupun

diketahui kapasitas aparat penegak internasional, tidaklah demikian.

hukum. Hal ini karena bila perjanjian Ratifikasi adalah pengesahan sebuah

internasional telah diterjemahkan ke perjanjian internasional, apabila negara yang

dalam hukum nasional tetapi tidak mampu hendak mengesahkan adalah pihak pada

ditegakkan oleh aparat, sama saja dengan Indonesia tidak menepati komitmennya.

8 Pasal 2 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969

Ratifikasi Perjanjian tentang Perjanjian Internasional

9 Pasal 9 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000

11 Sadikin.(2009).

Internasional dalam Kaitannya dengan Program 10 Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun Legislasi Nasional, Makalah dalam FGD Ratifikasi OP

2000 tentang Perjanjian Internasional

CEDAW.

332 Erlies Septiana Nurbani | [Kewajiban Indonesia Berdasarkan Ketentuan…]

[Vol. 33 No. 3 November 2018] J J J A A A T T T I I I S S S W W W A A A R R R A A A ]

kewajiban negara Kesulitan

maka

terbukalah

selanjutnya menurut perjanjian internasional, pengikatan diri pada suatu perjanjian

yaitu pemberlakuan ketentuan-ketentuan internasional sesungguhnya adalah pada

dalam perjanjian internasional ke dalam kajian implikasi perjanjian tersebut terhadap

hukum nasional dari negara peserta. hukum nasional. Idealnya ketika pemerintah

Undang-undang ratifikasi tersebut tidak sudah memutuskan menandatangani suatu

menjadikan perjanjian perjanjian internasional maka sebelumnya

serta

merta

internasional menjadi hukum nasional sudah dilakukan kajian implikasi tersebut

Indonesia, undang-undang ratifikasi hanya sehingga ketika ratifikasi diajukan kepada

menjadikan Indonesia sebagai negara terikat DPR, perdebatan soal dampak dari ratifikasi

terhadap perjanjian internasional tersebut. terhadap hukum nasional sudah selesai. 12 Untuk perjanjian internasional tersebut

berlaku perlu dibuat undang-undang yang diratifikasi/aksesi/disetujui/diterima

Ketika naskah

perjanjian

telah

lebih spesifik mengenai perjanjanjian tidak ada alasan lagi, khususnya secara

maka

internasional yang diratifikasi, contoh nasional, perjanjian internasional tersebut

Indonesia meratifikasi International Covenant tidak dapat dilaksanakan. Suatu negara, tidak

on Civil and Political Rights melalui undang- dapat menyatakan tidak lagi terikat terhadap

undang, maka selanjutnya Indonesia harus perjanjian internasional dengan alasan

membuat undang-undang yang menjamin bertentangan dengan hukum nasionalnya. 13 hak-hak yang ada di covenant tersebut dalam

Sebab, “preview” hukum nasional terhadap 15 undang-undang yang lebih spesifik. perjanjian internasional yang akan diratifikasi,

Konvensi Jenewa 1949 pada dasarnya dianggap telah dilakukan. Oleh karena itu,

adalah mengatur tentang perlindungan korban negara wajib untuk menghormati dan menaati

perang dalam konflik bersenjata internasional, seluruh isi dari perjanjian internasional yang

bukan berarti bahwa Indonesia dalam masa telah diratifkasinya. 14 damai tidak berkewajiban untuk menaatinya.

Demikian pula dengan kewajiban Sebab, ada beberapa kewajiban yang harus Indonesia setelah mengesahkan Konvensi

dilaksanakan oleh negara, khususnya pada Jenewa 1949, 60 tahun yang lalu dengan

masa damai. Oleh karena itu, Undang-Undang Undang-Undang Nomor 59 tahun 1958

Nomor 59 Tahun 1960 tentang Aksesi tentang Aksesi Negara RI terhadap Ke-empat

Konvensi Jenewa 1949 bukanlah langkah Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949.

akhir dalam pemberlakuan Konvensi Jenewa Dengan ratifikasi/aksesi/approval/acceptance

di Indonesia. Melainkan, merupakan awal dari langkah panjang untuk memberlakukan

Konvensi Jenewa 1949 di dalam wilayah 12

Beberapa judicial review pernah diajukan

teritorial Indonesia, sebagaimana diwajibkan

kepada Mahkamah Konstitusi terhadap undang-undang

kepada seluruh negara peserta dari Konvensi

yang lahir dari ratifikasi perjanjian internasional. Seperti, judicial review terhadap undang-undang

Jenewa 1949.

ratifikasi Piagam ASEAN, dan bahkan yang terbaru saat ini adalah judicial review tehadap undang-undang

Selayang Pandang Konvensi-Konvensi

tentang Perjanjian Internasional (Februari, 2018)

Jenewa 1949

Pasal 26 Konvensi Wina tentang Perjanjian

Dari berbagai definisi hukum humaniter

Internasional 1969 14 Hal ini karena dasar berlaku dan mengikatnya

dibedakan hukum humaniter dalam arti

perjanjian internasional adalah asas Pancta Sunt

sempit dan luas yang meliputi Konvensi

Servanda. Pancta Sunt Servanda menyatakan bahwa setiap perjanjian harus ditaati. Prinsip ini merupakan prinsip fundamental dalam hukum internasional dan

15 Dina Sunyowati.(2013). Hukum Internasional menjadi norma imperatif dalam praktik perjanjian

Sebagai Sumber Hukum Dalam Hukum Nasional internasional. Pasal 26 Konvensi Wina 1969 tentang

(Dalam Perspektif Hubungan Hukum Internasional Pembuatan Perjanjian Internasional antara Negara

Dan Hukum Nasional Di Indonesia), Jurnal Hukum dengan Negara.

dan Peradilan , Volume 2 Nomor 1 Maret, hlm. 83 [K ewajiban Indonesia Berdasarkan Ketentuan…] | Erlies Septiana Nurbani 333

J J J A A A T T T I I I S S S W W W A A A R R R A A [Vol. 33 No. 3 November 2018] A ]

Jenewa (dalam arti sempit), Hukum Perang menolong pada saat perang dan perjanjian dan HAM (dalam arti luas) berarti termasuk

antar negara mengenai hal tersebut. Hukum Den Haag, Hukum Jenewa bahkan

Konvensi Jenewa 1864 menjadi instrumen termasuk aturan yang tidak tertulis

hukum pertama tentang kesepakatan negara di sekalipun. 16 Pendapat selanjutnya mengenai bidang Hukum Humaniter Internasional dan

hukum humaniter, Haryomataram membagi menjadi perjanjian pertama yang terbuka bagi hukum humaniter menjadi dua aturan-aturan

setiap negara untuk ikut serta di dalamnya. pokok, yaitu: a) Hukum yang mengatur

Setelah itu, cukup banyak pertemuan mengenai cara dan alat yang boleh dipakai

antarnegara yang untuk berperang (Hukum Den Haag/ The

diplomatik

dan

secara teratur dan Hague Laws ); b) Hukum yang mengatur

diselenggarakan

menghasilkan perjanjian-perjanjian lainnya di mengenai perlindungan terhadap kombatan 19 bidang Hukum Humaniter Internasional.

dan penduduk sipil dari akibat perang Setelah Perang Dunia II, yaitu tahun (Hukum Jenewa/The Geneva Laws). 17 1945-1948, dunia melihat terbentuknya

Sementara itu Starke mengatakan sebagai peradilan internasional terhadap penjahat berikut : ”As will appear post, the appellation

perang, yaitu di Tokyo dan Nuremberg atas ”laws of war” has been replaced by that of

prakarsa para pemenang perang ( Victor’s ”international humanitarian law”. Starke 20 Justice ). Sementara itu Konvensi Jenewa

mengidentikkan law of wa r dengan

perbaikan dan international humanitarian law. Starke

mengalami

penyempurnaan terakhir dengan terbentuknya memberikan definisi law of war sebagai

Ke-empat Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 berikut : “ The laws of war consist of the limit 21 tentang perlindungan korban perang.

set by international law within with the force Adapun secara lebih terperinci keempat required to overpower the enemy may be

Konvensi Jenewa 1949 tersebut, adalah : used, and the principles thereunder governing

a. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan the treatment of individual in the course of

Keadaan yang Luka dan Sakit dalam war and armed conflict 18 . Angkatan

Bersenjata di Medan Perkembangan Hukum Jenewa di dunia

Pertempuran Darat (Geneva Convention tidak telepas dari peran Komite Internasional

for the Amelioration of the Condition of Palang Merah (International Comitte of the

the Wounded and Sick in Armed Forces in Red Cross ). Konvensi Jenewa 1864 sedikit

the Field ).

banyak dipengaruhi oleh karya Henry Dunant,

b. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan yang merupakan Bapak Palang Merah, yaitu

Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata di sebuah buku tentang dampak dan akibat

Laut yang Luka, Sakit dan Korban Karam peperangan di Solverino, Italia Utara

(Geneva Convention for the Amelioration (Memory of Solverino). Buku tersebut

of The Condition of The Wounded an Sick menceritakan tentang masalah utama setelah

in Armed Forces at the Sea). peperangan berakhir. Penderitaan oleh

c. Konvensi Jenewa mengenai perlakuan anggota angkatan bersenjata pada saat

tawanan perang (The Geneva Convention peperangan

relative to the Treatment of Prisoner of pertolongan yang dibutuhkan. Oleh karena

itu, Henry Dunant dalam Memory of

d. Konvensi Jenewa mengenai perlindungan Solverino mengusulkan untuk dibentuk

orang sipil di waktu perang (The Geneva sebuah badan netral yang bertujuan untuk 19 Rina Rusman dalam Ambarwati, dkk.(2009).

16 Erwin, Pengabaian Distinction Principle dalam Hukum Humaniter Internasional (Dalam Studi Situasi Blokade oleh Israel di Jalur Gaza, tanpa tahun,

Hubungan Internasional) , Jakarta: Rajagrafindo tanpa penerbit.

Persada, hlm.32.

17 KGPH Haryomataram, Op.Cit. 20 Victor’s Justice atau keadilan pemenang adalah 18 Starke, JG.(1977). An Introduction to

keadilan menurut negara pemenang perang. International Law , London: Butterworths, hlm.558.

21 Rina Rusman, Op.Cit .

334 Erlies Septiana Nurbani | [Kewajiban Indonesia Berdasarkan Ketentuan…]

[Vol. 33 No. 3 November 2018] J J J A A A T T T I I I S S S W W W A A A R R R A A A ]

Convention relative to the Protection of 23 ketentuan-ketentuan Konvensi. Ketentuan- Civillian Person in Time of War )

ketentuan yang bersamaan dalam Konvensi Jenewa mencerminkan hal-hal yang menurut

Tahun 1977 ditandai dengan dibentuknya para perancang konvensi dianggap cukup dua perjanjian internasional yang merupakan

signifikan “untuk mendapatkan penekanan

24 tambahan atas Konvensi Jenewa 1949. melalui pengulangan”. Perjanjian tersebut adalah Protokol Tambahan

Ketentuan yang bersamaan ini terbagi I/1977 tentang Perlindungan Korban Perang 25 dalam tiga golongan, yaitu :

pada situasi sengketa bersenjata internasional

a. Ketentuan-ketentuan umum dan Protokol Tambahan II/1977 tentang

b. Ketentuan-ketentuan mengenai hukuman Perlindungan Korban Perang pada situasi

terhadap penyalahgunaan konvensi sengketa bersenjata non-internasional.

c. Ketentuan-ketentuan pelaksanaan dan Protokol I dan II merupakan tambahan

penutup (akhir)

dari Konvensi-Konvensi Jenewa 1949. Dikarenakan pentingnya sifat ketentuan Penambahan itu dimaksudkan sebagai

yang diatur dalam common articles untuk penyesuaian

ditaati oleh negara-negara pihak, dapat pengertian sengketa bersenjata, pentingnya

terhadap

perkembangan

dikatakan bahwa sifat memaksa dalam perlindungan yang lebih lengkap bagi mereka

common articles merupakan indikasi dari yang luka, sakit dan korban karam dalam

karakter obligations erga omnes (kewajiban suatu peperangan, serta antisipasi terhadap

semua negara untuk mematuhi dan perkembangan mengenai alat dan cara

menegakkannya).

berperang. Obligation erga omnes memberikan kewajiban kepada semua negara untuk

Penerapan Common Articles Konvensi

melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam

Jenewa 1949 Tentang Penyalahgunaan

Konvensi Jenewa, termasuk di dalamnya

Dan Pelanggaran Konvensi

melakukan penghukuman terhadap pelaku Ketentuan yang bersamaan (common

pelanggaran berat Konvensi. Selain itu, article s) adalah beberapa pasal dalam

sejumlah 192 dari 193 negara (hanya Nauru, Konvensi Jenewa, yang dipandang penting

Kepulauan Pasifik Selatan yang tidak dan mendasar sehingga perlu dicantumkan

meratifikasi Konvensi Jenewa 1949) di dunia dalam 26 setiap Konvensi Jenewa, baik telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1949

diletakkan pada nomor pasal yang sama yang memberikan arti bahwa semua negara maupun dirumuskan dalam redaksi atau isi

terikat memenuhi ketentuan Konvensi Jenewa yang sama/hampir sama. 22 Ketentuan- 1949 karena ratifikasi memberikan implikasi

ketentuan yang bersamaan ini ada yang hukum untuk mematuhi ketentuan-ketentuan dimuat dalam pasal-pasal yang sama pada 27 yang ada di dalam Konvensi.

keempat konvensi dan ada pula pada pasal-

pasal yang berlainan. Common articles

23 Yustina Trihoni Nalesti Dewi.(2013). Kejahatan

diberikan definisi berbeda oleh ahli-ahli

Perang dalam Hukum Nasional dan Hukum

hukum internasional di Indonesia. Ada yang

Internasional , Jakarta: Rajagrafindo Persada, hlm.79.

menyebutnya 24 ketentuan-ketentuan yang Gary D. Solis dalam Knut Do¨rann and Jose bersamaan (yang merupakan terjemahan

Serralvo, Common Article 1 to the Geneva Conventions and the Obligation to Prevent

dalam bahasa indonesia), pasal-pasal kembar,

International

Humanitarian

Law Violations,

dll.

International Review of the Red Cross, hlm.5.

Penempatan ketentuan yang bersamaan 25 Mochtar Kusumaatmadja.(1986). Konvensi- dalam

Konvensi Palang Merah Tahun 1949, Bandung:

menunjukkan penekanan

pentingnya

Binacipta, hlm. 16.

26 Roichatul Aswidah dan Sondang Friska

kewajiban bagi negara untuk menghormati

Simanjuntak, dalam Yustina Trihoni Nalesti Dewi, hlm.80.

22 KGPH Hayomataram, Op.Cit

27 Ibid.

[K ewajiban Indonesia Berdasarkan Ketentuan…] | Erlies Septiana Nurbani 335

J J J A A A T T T I I I S S S W W W A A A R R R A A [Vol. 33 No. 3 November 2018] A ]

Beberapa pasal yang merupakan ketentuan memerintahkan untuk melakukan salah satu yang bersamaan (common articles) Konvensi

diantara pelanggaran berat atas Konvensi ini Jenewa 1949, adalah :

sebagaimana ditentukan di dalam pasal

a. Pasal 1 tentang Ketentuan Umum

berikut.

b. Pasal 2 tentang Lingkup Berlakunya Tiap pihak peserta agung berkewajiban Konvensi

untuk mencari orang-orang yang disangka

c. Pasal 3 tentang Sengketa Bersenjata telah melakukan atau memerintahkan untuk Internasional.

melakukan pelanggaran-pelanggaran berat

d. Pasal 13 Konvensi I/II/III dan Pasal 41 yang dimaksudkan, dan harus mengadili Konvensi IV tentang Orang-orang yang

dengan tidak dilindungi

orang-orang

tersebut,

memandang kebangsaannya. Pihak peserta

e. Pasal 6 tentang Persetujuan Khusus Agung dapat juga, jika dikehendakinya, dan

f. Pasal 7 Konvensi I/II/III dan Pasal 8

ketentuan-ketentuan Konvensi IV tentang Larangan Pelepasan

sesuai

dengan

perundang-undangan sendiri, menyerahkan Hak

kepada Pihak Peserta Agung lain yang

g. Pasal 8 Konvensi I/II/III dan Pasal 9 berkepentingan, orang-orang tersebut untuk

diadili, asal raja Pihak Peserta Agung itu Pelaksanaan Konvensi

Konvensi IV tentang Pengawasan

dapat menunjukkan suatu perkara prima facie.

h. Pasal 46 Konvensi I, Pasal 47 Konvensi Tiap pihak peserta agung harus

II, Pasal 13 Konvensi III dan Pasal 33 mengambil tindakan-tindakan yang perlu Konvensi

untuk memberantas selain pelanggaran berat Melakukan Pembalasan

IV tentang

Larangan

yang ditentukan dalam pasal berikut, segala

i. Pasal 47 Konvensi I, Pasal 48 Konvensi perbuatan yang bertentangan dengan

II, Pasal 127 Konvensi III, dan Pasal 144 ketentuan-ketentuan Konvensi ini. Konvensi IV tentang Penyebarluasan

Dalam segala keadaan, orang-orang yang Konvensi

dituduh harus mendapat jaminan-jaminan j. Pasal 49 Konvensi I, Pasal 50 Konvensi

peradilan dan pembelaan yang wajar, yang

II, Pasal 129 Konvensi III dan Pasal 146 tidak boleh kurang menguntungkan dari Konvensi IV tentang Ketentuan Hukum

jaminan-jaminan yang diberikan oleh terhadap

Konvensi Jenewa tentang Perlakuan Tawanan Pelanggaran

Penyalahgunaan

dan

Perang tanggal 12 Agustus 1949 sebagaimana k. Pasal 55 tentang Ketentuan Penutup

diatur dalam Pasal 105 dan seterusnya. Untuk membatasi pembahasan, artikel ini terfokus pada common articles Pasal 49

Indonesia sebagai negara yang telah Konvensi Jenewa I, Pasal 50 Konvensi

mengaksesi Konvensi Jenewa 1949 dengan Jenewa II, Pasal 129 Konvensi Jenewa III dan

Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1958 Pasal 146 Konvensi Jenewa IV mengatur

mempunyai kewajiban untuk menghormati tentang kewajiban negara peserta untuk

Konvensi Jenewa 1949. Sebagaimana yang menindak

diatur dalam common articles Pasal 1 penyalahgunaan

Konvensi Jenewa I 1949, menyatakan bahwa nasionalnya. Adapun bunyi pasal-pasal

dalam

pengadilan

“pihak-pihak peserta Agung berkewajiban tersebut adalah sama, yaitu sebagai berikut 28 :

menghormati dan menjamin Pihak peserta Agung berjanji untuk

untuk

penghormatan atas Konvensi ini dalam setiap menetapkan peraturan yang diperlukan untuk

keadaan ”.

memberi sanksi pidana efektif terhadap Frasa “menjamin” dalam Pasal 1 berarti orang-orang

bahwa Negara harus memerintahkan kepada petugas sipil dan militer untuk menaati

28 Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-

konvensi ini, Negara harus mengawasi

undangan Departemen Kehakiman.(1999). Terjemahan

pelaksanaan perintah tersebut dan Negara

Konvensi Jenewa 1949, Jakarta.

harus mengambil tindakan jika terjadi 336 Erlies Septiana Nurbani | [Kewajiban Indonesia Berdasarkan Ketentuan…]

[Vol. 33 No. 3 November 2018] J J J A A A T T T I I I S S S W W W A A A R R R A A A ]

pelanggaran. 29 Kata “menghormati” juga yang melakukan atau memerintah untuk berarti negara yang bersangkutan harus

melakukan pelanggaran berat terhadap melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada

Konvensi. Mekanisme yang terdapat pada di dalam Konvensi. Sedangkan “menjamin

ketentuan ini adalah suatu mekanisme dimana penghormatan ”

yang dilaksanakan melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan

berdasarkan suatu proses peradilan nasional. apabila

Artinya, apabila terjadi kasus pelanggaran ketentuan-ketentuan Konvensi, termasuk

hukum humaniter maka si pelaku akan menjatuhkan sanksi apabila diperlukan. 30 dituntut dan dihukum berdasarkan peraturan

nasional dan dengan menjamin penghormatan terhadap konvensi

Salah satu kewajiban negara untuk

perundangan

mengunakan mekanisme peradilan nasional Jenewa

yang bersangkutan.

menyebarluaskan Konvensi Jenewa, baik di Ketentuan dalam Konvensi Jenewa kalangan militer maupun sipil. Disamping itu

membawa makna penting yang lain dalam cukup banyak tindakan-tindakan lain yang

kerangka menjamin agar pelaku pelanggaran perlu dipersiapkan di masa damai untuk

berat diadili dan memikul konsekuensi hukum mengantisipasi kerugian dan penderitaan

yang semestinya. Jaminan ini dilakukan akibat perang untuk menjamin penghormatan

melalui pengaturan tentang kewajiban negara terhadap Konvensi Jenewa. Termasuk

tersangka pelaku kewajiban negara untuk membuat peraturan

untuk

mengadili

pelanggaran berat tanpa memandang nasional yang memuat sanksi hukum bagi

kewarganegaraanya yang disertai dengan setiap orang atau warga negaranya yang

pihak yang melanggar. 31 bersangkutan menyerahkan tersangka itu ke

kemungkinan

negara

yang dianggap Pasal 50 Konvensi Jenewa II, Pasal 129

Berdasarkan Pasal 49 Konvensi Jenewa I,

Konvensi Jenewa III dan Pasal 146 Konvensi Pengaturan ini menjadi penting karena Jenewa IV, maka Indonesia berkewajiban :

bergeser dari konsep jurisdiksi nasionalitas

a. Membuat hukum pidana yang menjadi yang sebelumnya cukup kuat dianut negara- sarana penghukuman bagi setiap orang

negara dalam konteks pelanggaran hukum yang melakukan kejahatan berat Konvensi

perang. Melalui ketentuan ini, seorang warga

b. Mencari, menghukum atau mengekstradisi negara asing pun dapat diadili di suatu negara setiap orang yang melakukan atau

kalau ia disangka melakukan pelanggaran memberi perintah kejahatan berat tanpa 32 berat terhadap Konvensi Jenewa 1949.

memandang

Untuk mencegah negara lain mengadili termasuk mereka yang menyebabkan

kewarganegaraannya,

berkaitan dengan pelanggaran berat yang kegagalan untuk bertindak manakala

dilakukan oleh seorang warganegara, maka mereka berkewajiban melakukan hal

negara yang berdaulat harus dapat tersebut.

membentuk undang-undang nasional serta

c. Bekerjasama dengan negara lain dalam peradilan yang mampu dan mau mengadili penghukuman kejahatan perang

siapa saja yang terbukti telah melakukan kejahatan-kejahatan yang telah diatur dalam

Negara yang telah meratifikasi Konvensi

Konvensi Jenewa 1949.

Jenewa diwajibkan untuk menerbitkan suatu Pembuatan hukum dan badan peradilan Undang-undang nasional yang memberikan

nasional merupakan kewajiban Indonesia sanksi pidana efektif kepada setiap orang

berdasarkan common articles dalam Pasal 49 Konvensi Jenewa I, Pasal 50 Konvensi

Jenewa II, Pasal 129 Konvensi Jenewa III dan

Arlina Permanasari.(1999). Pengantar Hukum Humaniter , Jakarta: ICRC, hlm.181-182.

Ibid. 32 Arie Siswanto, Hukum Pidana Internasional, 31 Rina Rusman, Op.Cit.

Yogyakarta: Andi, hlm. 174.

[K ewajiban Indonesia Berdasarkan Ketentuan…] | Erlies Septiana Nurbani 337

[Vol. 33 No. 3 November 2018] J A A A T T T I I I S S S W W W A A A R R R A A A ]

Pasal 146 Konvensi Jenewa IV. Namun, sebagaimana diatur dalam Pasal 50 Konvensi sejauh ini terdapat sangat sedikit undang- 36 Jenewa I :

undang yang secara spesifik mengadopsi “Pelanggaran-pelanggaran berat jenis-jenis kejahatan yang diatur dalam

(grave breaches) yang dimaksudkan common articles Konvensi Jenewa dan

oleh Pasal yang terdahulu ialah dengan nomenklatur yang berbeda.

pelanggaran-pelanggaran yang Menurut Yustina Trihoni Nalesti Dewi,

meliputi perbuatan-perbuatan berikut, belum ada satupun peraturan perundang-

apabila dilakukan terhadap orang undangan yang merupakan operasionalisasi

atau milik yang dilindungi oleh dari Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1958

Konvensi : pembunuhan disengaja, dan belum ada satupun juga keputusan

penganiayaan atau perlakuan tak pengadilan nasional yang merujuk kepada 37 berperikemanusiaan, termasuk

Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1958 percobaan biologis, menyebabkan sebagai dasar hukum dalam memutus

dengan sengaja penderitaan besar perkara. 33 Dalam praktik hukum nasional, atau luka berat atas badan atau

Indonesia terkadang menunda untuk membuat kesehatan, serta pembinasaan yang national implementing legislation seperti

luas dan tindakan pemilikan atas halnya atas kewajiban untuk membuat 38 harta benda yang tidak dibenarkan

peraturan pidana untuk menghukum pelaku oleh kepentingan militer dan yang kejahatan seperti yang ditentukan oleh

dengan melawan Konvensi Jenewa 1949 yang sudah

dilaksanakan

hukum”.

diratifikasi oleh pemerintah bersama DPR. 34

Sebagaimana yang terjadi pada kasus Abilio

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000

Soares yang diadili oleh Pengadilan HAM Ad

Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Hoc di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,

Sebagai “Usaha Setengah Hati“ Dalam

Majelis Hakim menyatakan bahwa apa yang

Menegakkan

Hukum Humaniter

terjadi di Timor Timur merupakan

Internasional di Indonesia

pelanggaran terhadap common articles 3 Pengadilan Hak Asasi Manusia dibentuk Konvensi Jenewa 1949. 35 Bebasnya seluruh berdasarkan Undang-Undang Nomor 26

pelaku pelanggaran HAM berat pada kasus Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Timor Timur dikarenakan oleh tidak adanya

Undang-Undang peraturan pidana untuk menghukum pelaku,

Manusia.

Keberadaan

Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan sebagaimana yang

HAM sebagai perbaikan dari Perpu Nomor 1 Konvensi Jenewa 1949.

diamanatkan oleh

Tahun 1999 Tentang Pengadilan HAM Indonesia mengatur mengenai beberapa

sebelumnya, merupakan reaksi Indonesia pelanggaran berat hukum humaniter di dalam

terhadap respon dunia internasional yang undang-undang pengadilan HAM. Jenis-jenis

orang-orang yang kejahatan didalam Konvensi Jenewa 1949

ingin

mengadili

disangkakan melakukan kejahatan terhadap diadopsi dalam undang-undang tersebut,

kemanusiaan di Timor-Timur paska jejak secara parsial . Hal ini dapat dilihat dalam

pendapat. Bangsa Indonesia secara terhormat Konvensi Jenewa 1949 dimana kejahatan

memutuskan untuk menyelesaikan sendiri terhadap kemanusiaan ini diistilahkan dengan

pelanggaran berat

(grave

breaches) ,

36 Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang- undangan Departemen Kehakiman, Op.Cit.

33 Yustina Trihoni Nalesti Dewi, Op.Cit, hlm.67. 37 Diadopsi sebagai bagian dari kejahatan genosida 34 Ibid.

(genocides) dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 35 Lina Hastuti.(2012). Pengadilan Hak Asasi

2000 tentang Pengadilan HAM

Manusia Sebagai Upaya Pertama Dan Terakhir Dalam 38 Diadopsi sebagai bagian dari kejahatan terhadap Penyelesaian Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Di

kemanusiaan (crimes against humanity) dalam Tingkat Nasional, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12 No.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang 3 September, hlm.396

Pengadilan HAM

338 Erlies Septiana Nurbani | [Kewajiban Indonesia Berdasarkan Ketentuan…]

[Vol. 33 No. 3 November 2018] J J J A A A T T T I I I S S S W W W A A A R R R A A A ]

kejahatan terhadap nasional, yang substansi hukumnya sebagian 41 kemanusiaan. Walaupun keberadaan

persoalan tersebut melalui pengadilan

genosida

dan

besar disesuaikan dengan Rome Statute 1948 Pengadilan HAM merupakan politik nasional tentang International Criminal Court (ICC). 39 untuk menghindari peradilan internasional di

ICC merupakan pengadilan bersifat permanen dalam territorial negara Indonesia, namun yang menuntut dan mengadili kejahatan

sungguh-sungguh internasional yaitu kejahatan terhadap

pemerintah

tidak

mengadopsi jenis-jenis kejahatan yang kemanusiaan (crimes against humanity),

menjadi yurisdiksi ICC. Tidak diaturnya jenis kejahatan perang (war crimes), genosida

kejahatan agresi dan kejahatan perang dalam (genocides), dan kejahatan agresi (agression).

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, Di dalam penjelasan Rancangan Undang-

salah satu aspek yang Undang Pengadilan HAM, disebutkan dengan

merupakan

melemahkan kinerja Pengadilan HAM. Selain jelas pengajuan RUU tentang Pengadilan

ketiadaan hukum acara tersendiri, sistem HAM, adalah 40 : tanggung jawab komando, dan lain-lain.

a. Untuk mewujudkan tanggung jawab Lebih lanjut, definisi tentang kejahatan bangsa Indonesia sebagai salah satu

genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan anggota PBB.

diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor merupakan salah satu misi yang

Dengan

demikian,

26 Tahun 2000, yaitu sebaga berikut : mengembangkan tanggung jawab moral

Kejahatan genosida adalah setiap dan hukum dalam menjunjung tinggi dan

perbuatan yang dilakukan dengan maksud melaksanakan Deklarasi HAM yang

untuk menghancurkan atau memusnahkan dittapkan oleh Perserikatan Bangsa-

seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, Bangsa, serta yang terdapat dalam

kelompok etnis, kelompok agama, dengan berbagai instrumen hukum lainnya yang

cara :

mengatur mengenai HAM, yang telah

a. membunuh anggota kelompok; dan/atau diterima oleh negara Indonesia

b. mengakibatkan penderitaan fisik atau

b. Dalam rangka melaksanakan TAP MPR mental yang berat terhadap anggota- No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan

anggota kelompok;

sebagai tindak lanjut dari Pasal 104 ayat

c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok (1) UU Nomor 39 Tahun 1999

yang akan mengakibatkan kemusnahan

c. Untuk mengatasi keadaan yang tidak secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; menentu di bidang keamanan dan

d. memaksakan tindakan-tindakan yang ketertiban umum, termasuk perekonomian

bertujuan mencegah kelahiran di dalam nasional. Keberadaan pengadilan HAM

kelompok;

ini sekaligus

e. atau memindahkan secara paksa anak- mengembalikan kepercayaan masyarakat

diharapkan

dapat

anak dari kelompok tertentu ke kelompok dan

dunia internasional

terhadap

lain.

penegakan hukum dan jaminan kepastian hukum mengenai penegakan HAM di

Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah Indonesia.

salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai Pelanggaran HAM yang berat menurut

bagian dari serangan yang meluas atau Pasal 1 angka 2 diartikan sebagai pelanggaran

sistematik yang diketahuinya bahwa serangan HAM sebagaimana dimaksud dalam undang-

tersebut ditujukan secara langsung terhadap undang tersebut, terdiri atas kejahatan

penduduk sipil, berupa;

a. pembunuhan,

b. pemusnahan,

c.

Muladi.(2003). Peradilan Hak Asasi Manusia

perbudakan,

Dalam Konteks Nasional dan Internasional. Artikel

Lepas, Jakarta , hlm.7.

Dalam Yustina Trihoni Nalesti Dewi, Op.Cit, 41 Pasal 6 dan 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun hlm.107

2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia [K ewajiban Indonesia Berdasarkan Ketentuan…] | Erlies Septiana Nurbani 339

J J J A A A T T T I I I S S S W W W A A A R R R A A [Vol. 33 No. 3 November 2018] A ]

d. pengusiran atau pemindahan penduduk masyarakat internasional terhadap kejahatan- secara paksa,

kejahatan HAM berat khususnya yang terjadi

e. perampasan

di Timor-Timur pasca jajak pendapat. perampasan kebebasan fisik lain secara

kemerdekaan

atau

Salah satu “terobosan hukum” yang sewenang-wenang yang melanggara (asas-

menarik dalam Undang-Undang Nomor 26 asas)

Tahun 2000 adalah sebagaimana yang diatur internasional,

dalam Pasal 43 tentang Pembentukan

f. penyiksaan, Pengadilan HAM Ad Hoc :

g. perkosaan,

1. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat

h. perbudakan seksual, yang terjadi sebelum diundangkannya

i. pelacuran secara paksa, Undang-undang ini, diperiksa dan diputus j. pemaksaan kehamilan,

oleh Pengadilan HAM ad hoc. k. pemandulan atau sterilisasi secara paksa

2. Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain

dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas yang setara,

usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik l. penganiayaan terhadap suatu kelompok

Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu tertentu atau perkumpulan yang didasari

dengan Keputusan Presiden. persamaan

3. Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis

dimaksud dalam ayat (1) berada di kelamin, atau alasan lain yang telah diakui

lingkungan Peradilan Umum secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional,

Pasal 43 ayat (1) diatas menganut asas m. penghilangan orang secara paksa,

retroactive , sehingga pelanggaran HAM berat n. atau kejahatan apartheid.

yang terjadi sebelum tahun 2000, dapat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM

ad Hoc. Namun, tidak seluruh pelanggaran korelasi dengan ketentuan hukum humaniter

Ketentuan dari pasal-pasal ini mempunyai

terjadi sebelum yang dapat dijadikan alasan yang cukup untuk

diundangkannya undang-undang pengadilan menghukum setiap individu yang ikut

HAM dapat diperiksa dan diadili oleh bertanggung jawab atas setiap pelangaran

Pengadilan Ad Hoc melainkan harus dengan Konvensi Jenewa 1949 yang terjadi di

Keputusan Presiden.

Indonesia. Jenis-jenis perbuatan yang Asas retroactive adalah asas hukum yang termasuk

dapat berlaku surut. Asas ini melihat kepada kemanusiaan dan kejahatan genosida dalam

tindakan diwaktu lampau, yang kemudian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000

dapat tunduk dan diatur kepada peraturan merupakan “pencaplokan” dari ketentuan 42 hukum yang disahkan saat ini. Secara

dalam Pasal 50 Konvensi Jenewa 1949 dan sepintas tampaknya penggunaan asas Pasal 7 Statuta Roma 1998. Walaupun,

retroaktif dalam Undang-Undang Pengadilan hingga saat ini, Indonesia belum juga

HAM merupakan pelanggaran hak asasi meratifikasi Statuta Roma 1998. Berkembang 43 manusia terdakwa. Namun, dalam Kasus

pendapat bahwa keberadaan Undang-Undang Pengadilan HAM dimaksudkan untuk

melindungi pelaku kejahatan HAM di dalam

42 Irsyad Dahri S Suhaeb.(2013). Retrospectivity

negeri. UU Pengadilan HAM dianggap

and Human Rights in Indonesia: How Can

sebagai upaya Indonesia untuk menghindari

Irregularities be Resolved, Indonesian Journal of

campur tangan internasional dalam urusan

International Law , Volume 10 Number 2 January,

domestik terkait

43 Walapun beberapa ahli tidak setuju dengan

kemanusiaan. Dengan mengadili sendiri

penerapan asas retroaktif dalam peraturan perundang-

pelaku kejahatan HAM berat diharapkan

undangan, namun dalam konteks pelanggaran berat hak

dapat mengurangi intensitas perhatian

asasi manusia, mereka sampai pada pandangan yang 340 Erlies Septiana Nurbani | [Kewajiban Indonesia Berdasarkan Ketentuan…]

[Vol. 33 No. 3 November 2018] J J J A A A T T T I I I S S S W W W A A A R R R A A A ]

Abilio Soares, Hakim menyatakan bahwa dapat dituntut dengan Undang-Undang ini. larangan penggunaan asas retroaktif tidak

Pelanggaran hak asasi manusia yang berat mengurangi atau mempengaruhi pengadilan

yang terjadi di Indonesia pada masa atau penghukuman pada pelaku pelanggaran

penjajahan pun apabila dimungkinkan dapat HAM berat. Karena pada waktu dilakukan,

dituntut dengan Undang-Undang Nomor 26 perbuatan tersebut

Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi kejahatan menurut prinsip-prinsip hukum

sudah merupakan

Manusia.

umum yang diakui oleh bangsa yang beradab Pun demikian, hingga saat ini, belum ada dan telah berkembang dalam masyarakat

satupun kasus pelanggaran HAM yang bangsa-bangsa. 44 Penerimaan penggunaan kemudian diadili menurut Undang-Undang

asas retroaktif bagi kejahatan paling serius Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan terhadap kemanusiaan telah menjadi preseden

HAM. Meskipun, untuk kasus pelanggaran internasional sebagaimana yang terjadi pada

undang-undang tersebut pengadilan HAM ad Hoc di Rwanda dan

HAM berat,

menganut asas retroactive. Pelanggaran HAM Yugoslavia.