Keywords: Interpretation, Methods, Tafsir, Muhammadiyah, Pattern Abstrak - CORAK TAFSIR MUHAMMADIYAH | Rohmansyah | Jurnal Ushuluddin
CORAK TAFSIR MUHAMMADIYAH Rohmansyah
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia
rohmansyah@umy.ac.id
Abstract
This research aims to know the pattern of interpretation of Muhammadiyah. The pattern of the interpretation of these two works dedicated to the interpretation of the institutions laid down in the Assembly and its special Tajdid Tarjih discusses the religious field, namely the Tafsir al-Qoer’an and Thematic Tafseer of Religious Relations. Research methods used are literature library (library research) by using a descriptive approach-analytical methods. Results of the study showed, the pattern of interpretation of Muhammadiyah is tafsîr bi al-ra’yi who was known among the Muhammadiyah as tafsir which are ijtihadi (thought), resulting in the development of not only its interpretation using solely the opinions of the scholars, but also menginterkoneksikan and correlate with other verses, Hadith of the Prophet, the opinions of friends and tab’in. Two methods are used in delivering its interpretation is the method maudû’i and tah lîli. The interpretation of the Muhammadiyah in order that the Qur’an really be sâlihun li kulli zamânin wa makânin (according to all the time and place), so his teachings can be
understood and applied in real life. Keywords: Interpretation, Methods, Tafsir, Muhammadiyah, Pattern
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Corak Tafsir Muhammadiyah. Corak Tafsir tersebut ditujukan kepada dua karya tafsir yang digagas lembaga Majelis Tarjih dan Tajdid yang khusus membahas bidang keagamaan, yaitu Tafsir al-Qoer’an dan Tafsir Tematik tentang Hubungan Antar Umat Beragama. Metode penelitian yang digunakan adalah literatur kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode pendekatan deskriptif-analitis. Hasil penelitian menunjukan, Corak Tafsir Muhammadiyah adalah tafsîr bi al-ra’yi yang dikenal di kalangan Muhammadiyah dengan tafsir yang bersifat ijtihadi (pemikiran), sehingga dalam perkembangan penafsirannya tidak hanya menggunakan pendapat para ulama semata, namun juga menginterkoneksikan dan mengkorelasikan dengan ayat lain, hadis Nabi, pendapat sahabat dan tab’in. Dua metode yang digunakan dalam mengantarkan penafsirannya adalah metode maudû’i dan tahlîli. Penafsiran tersebut dilakukan Muhammadiyah agar al-Qur’an benar-benar menjadi sâlihun li kulli zamânin wa makânin (sesuai dengan segala waktu dan tempat), sehingga ajarannya dapat dipahami
dan aplikasikan dalam kehidupan nyata. Kata Kunci: Penafsiran, Metode, Tafsir, Muhammadiyah, Corak
J urnal u shuluddin Vol . 26 No.1, Januari-Juni 2018 29
Pendahuluan 5 muffasir, termasuk mufassir Muhammadiyah, Muhammadiyah merupakan gerakan Islam,
seperti Tafsir Al-Hidayah (tafsir tematik) karya
6 dakwah amar ma’ruf nahi munkar, beraqidah 7 Sa’ad Abdul Wahid, Tafsir Al-Azhar karya Hamka, Islam dan bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah,
Tafsir Qur’an al-Nûr karya Hasby Ash-Shidiqy, dan didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal
Tafsir Sinar karya Abdul Malik Ahmad.
08 Zulhijjah 1330 bertepatan dengan tanggal Berdasarkan uraian di atas, beberapa karya
10 November 1912. 1 Untuk melaksanakan hal tafsir yang lahir dari tokoh-tokoh Muhammadiyah tersebut Muhammadiyah membentuk Majelis adalah pengembangan dari pemikiran mereka yang bergerak di bidang keagamaan, yakni yang dituangkan dalam sebuah karya tafsir. Seiring lembaga yang menghimpun para ulama yang
dengan perkembangan zaman, Muhammadiyah secara kontinu mengadakan permusyawaratan membuat karya tafsir, yaitu Tafsir al-Qoer’an dan memberi fatwa di bidang keagamaan serta
dan Tafsir Tematik al-Qur’an tentang Hubungan memberi tuntunan mengenai hukum yang sangat
Sosial Antar Umat Beragama. Keduanya dirancang bermanfaat bagi khalayak umum. 2 Majelis
dan dibuat untuk memberikan pengetahuan yang tersebut dikenal dengan Majelis Tarjih dan Tajdid
bersifat komprehensif, dan pemahaman yang utuh, Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
bukan berdasarkan pada Qîla wa Qâla (apa kata Dalam merespons tantangan zaman, orang). Berdasarkan dua hal tersebut, peneliti Muhammadiyah mulai mengembangkan membagi rumusan masalah menjadi dua poin pemahaman terhadap al-Qur’an dengan
penting, yaitu: Bagaimana karakteristik corak tafsir mengadakan kajian tafsir sebagai cara untuk Muhammadiyah?, dan kitab-kitab tafsir apa yang mendapatkan sebuah keterangan yang jelas dari
dijadikan rujukan oleh Muhammadiyah dalam al-Qur’an, karena al-Qur’an bersifat mujmal
melakukan studi pemahaman dan penafsiran (global) sehingga perlu penafsiran secara
terhadap ayat al-Qur’an?
tafsîl (terperinci). Penafsiran al-Qur’an yang
5 dikembangkan oleh para ulama dibagi menjadi Kategori corak tafsir yang dikarang oleh para ulama, Tafsîr bi
al-Ma’tsûr: Tafsîr ibnu Jarîr al-Tabari, tafsîr abi al-Laits al-
dua corak, yaitu: Pertama, penafsiran ayat al-
Samarqandi, al-Daur al-Mantsûr fi Tafsir bi al-Mantsûr, Tafsîr
Qur’an yang didasarkan pada kutipan yang sahih Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Baghawi, dan lain-lain, sedangkan Tafsîr bi
al-ra’yi: Tafsîr al-Râzi, Tafsîr al-Khâzin, Tafsîr al-Nasafi, Tafsir
dengan urutan-urutan yang telah disebutkan
al-Baidâwi dan lain-lain. Lihat Muhammad Abd al-‘Ażîm al-
Zarqâni, Manâhi al-‘Irfân fi ‘Ulûm al-Qur’ân (Beirût: Dâr al-Kitâb al-‘Arabi, 1995), 25-26, dan Subhi al-S âlih, Mabâhits fi ‘Ulûm al-
di dalam syarat-syarat tafsir, yakni penafsiran
dengan al-Qur’an, hadis, pendapat para sahabat,
Qur’ân (Beirût: Dâr al-‘Ilmu al-Malâyîn, 1977), 292-293.
dan para tabi’in terkemuka, atau disebut 6 Tafsir Al-Hidayah pada awalnya masih berupa tulisan di Suara
3 tafsîr bi al-ma’tsûr. Muhammadiyah, kemudian dibukukan menjadi sebuah karya
Kedua, penafsiran yang
Tafsir yang beri nama Tafsir Al-Hidayah. Tafsir ini bersifat
menjelaskan maknanya (al-Qur’an) didasarkan tematik karena berdasarkan tema diangkat yang kemudian
diinterpretasikan atau ditafsirkan dengan penafsiran Ulama abad
pemahaman sendiri dan istinbât (penyimpulan)
pertengahan dan abad modern.
4 ra’yu semata, atau disebut 7 Tafsir Al-Azhar yang terdiri dari juz I-XXX merupakan sebuah tafsîr bi al-ra’yi. Penafsiran al-Qur’an yang didasarkan pada dua karya yang sangat monumental dan mulai ditulis pada tahun
1962. Sebagian isi tafsir ini diselesaikan dalam penjara ketika
corak penafsiran, baik bi al-ma’tsûr maupun bi
ia menjadi tahanan tahun 1964-1967. Tafsir ini pertama kali
al-ra’yi telah banyak dikembangkan oleh para dicetak pada tahun 1979, dan telah mengalami beberapa kali
cetakan, bahkan tafsir ini bukan hanya diterbitkan di Indonesia akan tetapi juga di Singapura. Tafsir ini pada awal merupakan kumpulan ceramah kuliah subuh yang dilakukan di Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru, kemudian besarnya perhatian
1 Mustafa Kamal Pasha, Ahmad Adabi Darban, Muhammadiyah umat terhadap pelajaran tafsir yang disuguhkan, kemudian Sebagai Gerakan Islam (Yogyakarta: Pustaka SM, 2009), 99.
dibukukan ke dalam sebuah karya tafsir yang diberi nama 2 Ibid., 116.
Tafsir Al-Azhar, karena ide kupasan tafsir ini diawali di Masjid 3 Mana’ al-Qattân, Mabâhits fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Juz 1 (Riyâd:
Al-Azhar. Lihat Samsul Nizar , Memperbincangkan Dinamika Dâr al-Su’ûdiyah, t.th.), 299.
Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam 4 Ibid., 303.
(Jakarta: Kencana, 2008), 50.
Rohmansyah: Corak Tafsir Muhammadiyah
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti ulama ushul mendefinisikan bahwa Ijtihad adalah menggunakan metode library research, yakni mencurahkan dengan segenap kesungguhan dan penelitian yang didasarkan pada buku-buku kemampuan dalam melakukan istinbat hukum kepustakaan. Buku primer yang dijadikan
yang bersifat alami dari dalil-dalil yang terperinci. acuan adalah buku tafsir karya Muhammadiyah,
Sebagian ulama lain mengatakan bahwa Ijtihad sedangkan buku-buku sekundernya adalah buku-
adalah mengerahkan dan mencurahkan segenap buku pendukung dari berbagai tulisan, seperti kemampuan dalam istinbat (menggali) hukum- buku teks baik Indonesia maupun Arab, artikel 10 hukum syar’i yang dilakukan secara bertahap. jurnal, kamus bahasa Arab, dan lain-lain. Metode
Menurut Muhammadiyah, corak penafsiran pendekatan yang digunakan adalah deskriptif-
dengan Ijtihad (ra’yu) adalah menafsirkan al- analitis, yaitu mendeskripsikan sumber data yang
Qur’an dengan mencurahkan segenap kesungguhan ada, kemudian dianalisis dan diinterpretasikan
seorang mujtahid dalam mendapatkan hukum dengan menggunakan sumber data sekunder.
syara’ amali dengan satu metode. Pengertian tersebut didasarkan pada kenyataan yang dihadapi
Karakteristik Corak Tafsir
kaum muslimin sejak masa Nabi Muhammad Muhammadiyah dalam menafsirkan al- 11 SAW.
Qur’an memiliki karakteristik corak sendiri Dalam penjelasan tersebut dipahami bahwa yang dikembangkan dalam studi al-Qur’an,
corak penafsiran Muhammadiyah adalah corak yaitu dengan menggunakan corak tafsir bi al-
tafsir bi al-ra’yi yang merupakan sebuah cara untuk ra’yi yang didasarkan pada pemikiran. Istilah memahami ayat al-Qur’an dengan mencurahkan al-ra’yu dekat maknanya dengan bentuk ijtihad
seluruh kemampuan untuk memperoleh sebuah (kebebasan penggunaan akal atau logika) yang
pemahaman yang komprehensif dalam berbagai didasarkan atas prinsip-prinsip yang benar,
aspek, yakni aspek akidah, akhlak, ibadah, dan menggunakan akal sehat dan persyaratan yang
mu’amalah duniawiah.
ketat. Sandaran yang dipakai adalah bahasa, Pada masa Nabi Muhammad SAW, orang budaya Arab yang terkandung di dalamnya, mengharapkan informasi ketentuan agama dari pengetahuan tentang gaya bahasa sehari-hari, wahyu, baik dari al-Qur’an maupun hadis yang dan kesadaran akan pentingnya sains yang amat
dimulai dengan suatu pertanyaan sahabat kepada diperlukan oleh mereka yang ingin menafsirkan
Nabi Muhammad, beliaupun menjawab dengan al-Qur’an. 8 Ijtihad berasal dari bahasa Arab, jawaban berdasar al-Qur’an dan al-Sunah. Jika
yaitu ijtahâda-yajtahidu-ijtihâdan, memiliki tidak, maka al-Qur’an memberikan arahan arti mencurahkan segenap kemampuan dan agar kaum muslimin melakukan istinbat, yakni kesungguhan. 9 Sedangkan menurut istilah, para
menafsirkan dengan menggunakan penjelasan rasul yakni sunnah al-maqbulah.
Corak Tafsir Muhammadiyah yang
Muhammad Zaini, “Sumber-sumber Penafsiran al-Qur’an,” Substantia 14, no. 1 (2012): 32. Imam al-Dzahabi juga
menggunakan pemikiran atau Ijtihad tersebut
menjelaskan bahwa dimaksud al-ra’yi adalah ijtihad, yaitu
didasarkan pada sabda hadis Nabi Muhammad
ungkapan penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan ijtihad setelah mengetahui dari penjelasan bahasa Arab, 12 SAW :
beberapa aspeknya, lafaz-lafaz bahasa Arab, beberapa aspek penunjukkannya, sebab turunnya al-Qur’an, nâsikh wa mansûkh
dan berapa hal yang dijadikan alat untuk menafsirkan al-Qur’an. Lihat Muhammad husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun
10 Muhammad Abu Zahrah, Us ûl Fiqh (Kairo: Dâr al-Fikr al- (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), 183.
Arabi, 1958), 379.
9 Muh ammad bin Abi Bakar bin Abdul Qâdir al-Râzi, Mukhtâr al- 11 Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah: Sihâh (Kairo: Dâr al-hadîts, 2008), 70. Lihat juga Syauqi Dayyif,
Metodologi dan Aplikasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), dkk , al-Mu’jam al-Wasît, Juz 1 (Kairo: Maktabah Syurûq al-
J urnal u shuluddin Vol . 26 No.1, Januari-Juni 2018 31
ِ َّالله َلوُسَر َعِمَس ُهَّنَأ ِصاَعْلا ِنْب وِرْمَع ْنَع ِصاَعْلا ِنْب وِرْمَع yang komprehensif mengenai (ayat) yang َباَصَأ َّمُث َدَهَتْجاَف ُمِكاَحْلا َمَكَح اَذِإ « َلاَق -ملسو هيلع الله ىلص-
dimaksud, baik antara makna kata maupun ِناَرْجَأ ُهَلَف .ٌرْجَأ ُهَلَف َأَطْخَأ َّمُث َدَهَتْجاَف َمَكَح اَذِإَو ungkapan dalam nash atau dalil.
(73) َنوُعَمْجَأ ْمُهُّلُك ُةَكِئ َلَمْلا َدَجَسَف “Dari Muh ammad bin Ibrâhîm dari Busr bin Sa’îd dari Abi Qais yakni mantan budak
“Lalu para Malaikat bersujud semuanya.” ‘Amr bin ‘Âs dari Amr bin ‘Âs, bahwasanya ia mendengar Rasulullah SAW bersabda:
Kata Malâikat mengandung makna umum apabila hakim menetapkan hukum dan
yaitu seluruh malaikat yang ditegaskan dalam berijtihad, apabila benar ijtihadnya, ia
kata “ Kulluhum Ajma’ûn” (seluruhnya). mendapatkan dua pahala, apabila seorang hakim berhukum dengan berijtihad dan
2. Bayân Tafsîr, adalah penjelasan suatu lafal ijtihadnya salah, maka ia mendapatkan satu
atau kata-kata. Sehingga nash tersebut pahala”. 13
menjadi lebih jelas maksudnya, seperti mujmal menjadi mufasal, musytarak, khafi.
Berdasarkan hadis tersebut, bahwa corak Sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 43 penafsiran atau tafsir Muhammadiyah adalah bi
sebagai berikut:
al-ra’yi dan dikenal di kalangan Muhammadiyah
dengan istilah Ijtihad, sehingga dalam menafsirkan al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat hukum, berpegang pada pendapat ulama us ûl
dan rukuklah beserta orang-orang yang yang menempuh tiga cara: (1) Istinbat, dengan
rukuk”.
memahami nash yang pasti ( qat’i), (2). Ijtihad, dengan memahami terhadap nash yang belum
Makna ayat tersebut masih bersifat menunjukan hukum satu masalah, dan (3) Ijtihad
mujmal, maka dapat dijelaskan dengan sabda yang juga digunakan untuk memahami masalah
Nabi SAW sebagai berikut: yang hanya ditunjuki oleh jiwa nash, yakni
ىلص ِّيِبَّنلا ِنَع ،ِثِرْيَوُحْلا ُنْب ُكِلاَم انث ،َةَبلِق يِبَأ ْنــَع kemaslahatan atau kedamaian.
يِنوُمُتْيَأَر اَمَك اوُّلَص :اًضْيَأ ِهيِف َلاَقَو ،ُهَوْحَن ملسو هيلع الله Rumusan tersebut difokukan dalam tiga 15 يِّلَصُأ
bentuk istilah ijtihad, yaitu ijtihâd bayâni, ijtihâd Qiyâsi, dan ijtihâd istislâhi. 14 Pertama, Ijtihâd
“Dari Abi Qilâbah, telah menceritakan kepada Bayâni , menurut ulama Hanafiyah, ada lima
kami Mâlik bin Huwairîts akan hadis yang bayan atau keterangan dan menurut sebagian
sama dari Nabi SAW dan beliau bersabda: ulama menetapkan satu saja, karena bayân taghyîr
Hendaklah kamu shalat sebagaimana kamu dan bayân tabdîl itu dapat dijadikan satu. Bayân
melihat shalat-ku”.
dibagi menjadi lima bagian, yaitu sebagai berikut:
3. Bayân Taghyîr, adalah keterangan-keterangan mengungkapkan suatu makna dengan dasar- dasar lain yang memberikan penjelasan
1. Bayân taqrîr adalah penjelasan dalam rangka
15 Ali bin Umar al-Dâruquthni, Sunan al-Dâruquthni, Juz 1 (Beirût: Al-Muassasah al-Risâlah, 2004), 273. Lihat juga
13 Muslim bin Al-Hajaj Abu Husain al-Qusyairiy al-Naisaburi, Abdullah bin Abdurrahman bin Fadhl bin Bahrâm al-Dârimi, Sahîh Muslim, Bâb Bayâni Ajr al-Hâkim, Juz 5 (Riyâd: Bait
Sunan al-Dârimi, Juz 1 (Riyâd: Dâr al-Mughni, 2000), 318; al-Afkâr al-Dawliyah, 1998), 131. Lihat Muhammad Ismail al-
Ahmad Muhammad Syakir, Al-Musnad li Imam Ahmad bin Bukhâri, Sahîh al-Bukhâri, Kitâb Ba’i al-Wahyi, Juz, 9 (Beirût:
Muhammad bin Hanbal , Juz 2 (Kairo: Dâr al-hadîts. 1995), Dâr Thûq al-Najâh, 1422), 132.
141; Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahîh al-Bukhâri, Juz 8 14 Asjmuni Abdurrahman, 105.
(Beirût: Dâr Ibnu Kasîr), 9.
Rohmansyah: Corak Tafsir Muhammadiyah Rohmansyah: Corak Tafsir Muhammadiyah
tidak berupa kata-kata, tetapi sesuatu yang mengandung pengecualian atau ististna.
didiamkan ( Dalâlah al-Sukûti). Sebagaimana Dalam hal ini usaha yang dilakukan adalah
dalam surat al-Nisa’ ayat 11 sebagai berikut: mencari mukhasis dari makna yang umum. Sebagai contoh ististna
dalam al-Qur’an surat al-Nahl ayat 106 sebagai berikut:
“Jika yang meninggal mempunyai anak dan dia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga”.
Dalam ayat tersebut tidak disebutkan bagian ayah. Padahal warisan itu untuk kedua orang tua, maka bagian ayah adalah sisanya.
“Barang siapa yang kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapatkan kemurkaan
Kedua, Ijtihâd Qiyâsi. Ijtihad ini dilakukan Allah) kecuali orang-orang yang dipaksa
untuk mendapatkan hukum suatu masalah yang kafir padahal hatinya tetap tenang dalam
tidak ada nashnya secara langsung, seperti beriman (dia tidak berdosa), tetapi orang
menghisap ganja. Tetapi ada nash al-Qur’an yang melapangkan dadanya untuk kekafiran,
maupun al-sunnah yang menunjukan keharaman maka kemurkaan Allah menimpanya dan ganja, seperti keharaman khamr. Berdasarkan mereka akan mendapat azab yang besar”.
masalah yang akan dicari sumber hukumnya, seperti menghisap ganja, tidak didapati dalam al-
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa orang- Qur’an maupun al-sunnah, yang ada kesamaannya orang kafir setelah beriman (murtad) akan
adalah larangan al-Qur’an tentang khamr. mendapatkan murka Allah, kecuali kekafirannya
Menyamakan hukum keharaman ganja dengan dipaksa, sedangkan hatinya tetap beriman.
keharaman khamr, menurut ahli ushul disebut menetapkan hukum berdasarkan qiyâs (analogi,
4. Bayân Tabdîl, adalah usaha mencari penjelasan menurut ilmu logika/ mantiq). dengan jalan nasakh. Maksudnya, mencari
Ketiga, ijtihâd istislâhi adalah ijtihad apakah ada nâsikh mansûkh dalam hukum dalam usaha mendapatkan hukum yang tidak masalah yang dicari oleh seorang mujtahid.
ada nash langsung yang mengandung hukum Masalah nâsikh mansûkh itu diperlukan
masalah yang dicari, dengan mendasarkan dalam hadis, karena dalam al-Qur’an akhir-
masalah yang akan dicapai. Ijtihâd istislâhi akhir ini berkembang lagi pendapat bahwa dapat ditempuh dengan tiga metode, yaitu: (1) tidak ada nâsikh mansûkh dalam al-Qur’an,
metode istihsân, yaitu mengecualikan dari qiyâs yang ada hanya mengkhususkan ayat-ayat yang berdasarkan ‘illat Jalî menggunakan qiyâs yang masih umum. Maka dalam nâsikh wa
khafî, dan mengecualikan dari nash umum yang mansûkh hanya ada pada hadis Nabi SAW,
melarang dengan membolehkan karena adanya sebagaimana dahulu Nabi Muhammad SAW
kemaslahatan yang akan dicapai atas dasar melarang ziarah kubur kemudian beliau
d arûrat maupun menghindari kesempitan (raf’u membolehkannya.
al-harâj). (2) metode saddu al-dzarâ’i, yaitu menutup sesuatu yang menuju kepada kerusakan.
5. Bayân D arûrah, adalah keterangan yang (3) metode istislâh, yaitu mencari ketentuan suatu tidak disebutkan, tetapi tidak boleh harus masalah yang tidak ada ketentuan hukumnya
J urnal u shuluddin Vol . 26 No.1, Januari-Juni 2018 33 J urnal u shuluddin Vol . 26 No.1, Januari-Juni 2018 33
maud û’i walaupun benihnya telah dikenal yang dicapai. Kemaslahatan yang ingin dicari
sejak masa Rasulullah SAW, namun ia baru yaitu maslahah mursalah. (4) menetapkan hukum
berkembang jauh sesudah masa beliau. Metode sesuatu didasarkan pada kebiasaan yang telah ada,
ini dikenal sejak tafsîr al-Farra (w 206 H), atau berlaku, mendatangkan manfaat dan tidak dilarang
Ibnu Mâjah (w 273 H), atau tafsîr al-Thabari oleh nash serta tidak mendatangkan mafsadah yang
(w 310 H). Dalam perkembangannya metode lebih besar. (5) ijtihad dalam menafsirkan ayat-ayat
maud û’i mengambil dua bentuk penyajian, kauniyah, yaitu menafsirkan ayat yang mengandung
yaitu; penyajian pertama, menyajikan kotak sunatullah seperti gejala alam. Dalam memahami
yang berisi pesan-pesan al-Qur’an yang ayat-ayat kauniyah dilakukan sesuai dengan
terdapat pada ayat yang terangkum dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
satu surat saja. Misalnya, pesan-pesan dalam Dalam hal tersebut sebagaimana penafsiran
surat al-Baqarah, surat Ali Imran, surat Yasin Muhammad Abduh terhadap ayat-ayat al-Qur’an
dan sebagainya. Biasanya kandungan pesan yang bisa dijadikan rujukan, yaitu berpegang
tersebut diisyaratkan oleh nama surat yang teguh pada bahasa arab, menggunakan nash hadis
dirangkum pesannya, selama nama tersebut rasul yang Sahîh dengan melakukan ijtihad dan 17 bersumber dari Rasulullah SAW.
selalu menyesuaikan antara ayat dengan ilmu Sebagai contoh, surat al-Kahfi yang arti pengetahuan modern yang tentu saja membawa
harfiahnya adalah gua. Dalam uraiannya, maslahah (kebaikan).
gua tersebut dijadikan tempat perlindungan sekelompok pemuda yang menghindar dari
Metode dalam Corak Tafsir
kekejaman penguasa pada zamannya. Dari Metode dalam corak tafsir merupakan suatu
nama ini diketahui bahwa surat tersebut cara untuk mendapatkan penjelasan makna yang
dapat memberi perlindungan bagi yang terkandung dari ayat-ayat al-Qur’an, sehingga
menghayati dan mengamalkan pesan- dapat diterima dan dimengerti oleh setiap
pesannya. Dari sinilah setiap ayat atau orang yang mengkajinya. Di antara metode
kelompok ayat yang terdapat dalam surat yang digunakan oleh Muhammadiyah dalam
al-Kahfi, diupayakan mengkaitan dengan menafsirkan ayat al-Qur’an, sebagai berikut: 18 makna perlindungan.
a. Metode Maud û’i Bentuk penyajian yang kedua, metode Muhammadiyah dalam memahami dan
maud û’i mulai berkembang pada tahun menafsirkan al-Qur’an selain menggunakan
enam puluhan. Disadari oleh pakar bahwa metode ijtihâd juga bisa menggunakan metode
menghimpun pesan-pesan al-Qur’an maud û’i. Metode maudû’i adalah membahas
yang terdapat pada satu surat saja, belum ayat-ayat al-Qur’an sesuai data dengan tema
menuntaskan persoalan. Bukanlah masih ada atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat
pesan-pesan yang sama atau yang berkaitan berkaitan dengan topik tersebut dihimpun
erat dengannya pada surat-surat yang lain?. kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas
Kalau demikian mengapa tidak menghimpun dari segala aspeknya seperti asbâb al-Nuzûl,
saja pesan-pesan yang terdapat dalam berbagai kosa kata, istinbât (penetapan) hukum, dan 19 surat lainnya?.
lain-lain. 16
17 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas 16 Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an: Kajian
Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1998), xii-xiii. Kritis Terhadap Ayat-ayat yang Beredaksi Mirip (Jakarta:
18 Ibid., xiii.
Pustaka Pelajar, 2011), 72.
19 Ibid., xiii
Rohmansyah: Corak Tafsir Muhammadiyah
Metode ini kemudian diterapkan oleh ayat dengan ayat lain dalam konteks yang Muhammadiyah dalam sebuah karya tafsir,
se-tema. (b) Menghimpun hadis-hadis yaitu “Tafsir Tematik al-Qur’an tentang
yang terkait dengan tema dan juga data- Hubungan Sosial Antar Umat Beragama”
data sejarah yang diperlukan, khususnya yang disusun oleh Majelis Tarjih dan
latar belakang turunnya ayat (sabâb Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan
al-Nuzûl) sepanjang diperlukan dan Pusat Muhammadiyah. Pengembangan
riwayatnya diterima. Pemikiran Islam di lingkungan persyarikatan Muhammadiyah pasca Muktamar Banda Aceh
Adapun pendekatan yang digunakan 1995 masih tetap mengacu kepada hubungan
dalam menafsirkan ayat al-Qur’an adalah timbal balik yang kritis antara normativitas
dengan pendekatan kontekstual. Maksudnya wahyu dan historisitas pemahamannya, baik
adalah kontektualisasi ayat-ayat al-Qur’an era klasik, skolastik, modern, dan lebih-
dalam tafsir ini dilakukan dengan cara gerak lebih lagi era modern tingkat lanjut. Dalam
bolak-balik hermeneutis untuk menemukan hal ini yang menjadi titik tekan adalah
keseimbangan antara tuntutan praktis dan historisitas pemikiran keagamaan Islam dalam
universalitas makna teks. menghadapi berbagai isu dan perkembangan
Kitab-kitab tafsir yang dijadikan sebagai keilmuan, kebudayaan, dan keagamaan
sumber rujukan dalam tafsir tematis tersebut kontemporer dengan tetap mengacu kepada
adalah kitab-kitab tafsir klasik yang mu’tabar normativitas wahyu yang bersifat Rahmatan
(direkomendasikan), seperti Tafsîr al-Thabari, lil ‘Âlamîn dan Syifâ’ lima fi al-sudûr. 20
Tafsîr al-Mâwardi, Tafsîr al-Kasyâf, Tafsîr Berdasarkan hal tersebut, Majelis
al-Qurtûbi, Tafsîr al-Muharrar al-Wajîz, Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam
Tafsîr Bahr al-Muhît, Tafsîr al-Baghawi, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mencoba
Tafsîr Ibnu Taimiyyah, Tafsîr al-Wâhidi. (sebagai langkah awal) menyusun sebuah
Kemudian tafsir abad 20, seperti Tafsîr al- tafsir tematis yang menghimpun sejumlah
Manâr dan al-Mîzân the Holy Qur’an. Selain ayat dari berbagai surat dalam al-Qur’an yang
itu, untuk menganalisis kosa kata digunakan berbicara masalah yang sama untuk dihimpun
karya-karya Leksikografi Arab, seperti Lisân dan disusun sedemikian rupa kemudian diberi
al-Arab, Mu’jam Mufradât al-Fâzh al- tema dan ditafsirkan. Tafsir tematis tersebut
Qur’an, Tahdzîb al-Lughah, Mu’jam Maqâyis disusun dengan langkah-langkah sebagai
al-Lughah dan al-Mu’jam al-Wasît. Selain itu berikut: 21
juga menggunakan kitab-kitab Hadis, Fikih dan Us ûl al-Fiqh.
1. Menyusun tema-tema yang diangkat Buku ini terdiri atas empat bab, yaitu: dalam tafsir.
Bab I, mengkaji prinsip-prinsip hubungan
2. Menyeleksi ayat-ayat yang terkait dengan sosial antar umat beragama yang di dalamnya tema kerukunan umat beragama.
dikemukakan tafsir mengenai sejumlah ayat
3. Setelah jelas sub tema bahasan berikutnya, yang dapat dipahami sebagai pengakuan Islam ayat-ayatnya kemudian ditafsirkan dengan
terhadap kenyataan keragaman agama dan memperhatikan: (a) Munâsabah (korelasi)
bagaimana konsistensi damai dalam hubungan antar umat beragama dapat diwujudkan. Bab
20 Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP
II, menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan
Muhammadiyah, Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan
dengan menjaga hubungan baik dan kerjasama
Sosial Antarumat Beragama (Yogyakarta: Pustaka SM, 2000), x. 21 Ibid., xiii-xv.
antar umat beragama. Bab III, konsep Ahl
J urnal u shuluddin Vol . 26 No.1, Januari-Juni 2018 35 J urnal u shuluddin Vol . 26 No.1, Januari-Juni 2018 35
oleh subjektivitas mufasir, baik latar belakang Qur’an.
keilmuannya maupun mazhab tafsir yang
b. Metode Tahlîli (Analitis) diyakininya sehingga menyebabkan adanya Metode tahlîli adalah menafsirkan ayat al-
kecenderungan khusus yang diaplikasikan Qur’an dengan memaparkan berbagai aspek 24 pada karyanya.
yang terkandung di dalam ayat-ayat yang Metode ini kemudian diterapkan oleh sedang ditafsirkan serta menerangkan makna-
Muhammadiyah dalam sebuah karya tafsir makna yang ada di dalamnya sesuai dengan
yakni “Tafsir Al-Qoer’an”. Tafsir ini keahlian dan kecenderungan dari mufasir
disusun oleh Lajnah Tafsir Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, yang terdiri dari K.R.H. menerapkan metode ini biasanya mufasir
yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. 22 Dalam
Hadjid, KH. Mas Mansoer, KH. Farid, menguraikan makna yang terkandung dalam
dan KH. Ahmad Badawi. Diterbitkan oleh al-Qur’an, ayat demi ayat dan surat demi surat
Hoofbestuur Moehammadijah Madjlis sesuai dengan urutan mushhaf.
Poestaka, Djokjakarta.
Metode tahlîli ini dinamai oleh Baqir Kitab Tafsir Al-Qoer’an tersebut hanya al-Shadir sebagai metode tajzî’i adalah
membahas penafsiran surat al-Fatihah satu metode tafsir di mana seorang mufasir
dan surat al-Baqarah juz pertama sampai menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an
ayat ke-141. Dimulai dengan pendahuluan dari berbagai segi dengan memperhatikan
( muqaddimah), pedoman sumber rujukan dan runtutan ayat sebagaimana tercantum
kandungan surat al-Baqarah juz pertama yang dalam mushaf. Seorang pemikir al-Jazair
akan dibahas. Kitab ini membahas berbagai kontemporer, Malik bin Nabi menilai bahwa
aspek di dalamnya dengan merujuk kepada upaya para ulama menafsirkan al-Qur’an
kitab-kitab tafsir dan hadis sebagai penguat dengan menggunakan metode tahlîli tidak
penjelasan suatu ayat yang ditafsirkan. Tafsir lain kecuali dalam rangka upaya mereka
ini sangat unik karena ditulis dengan huruf untuk meletakan dasar-dasar rasional bagi
Jawa (tulisan Jawa berbahasa Indonesia). pemahaman kemu’jizatan al-Qur’an. 23
Dalam Tafsir Qoer’an tersebut, pertama Metode ini mengurai kosa kata lafżiyah
mencantumkan ayat berdasarkan urutannya, dan menjelaskan arti yang dikehendaki dengan
kemudian mengartikan kosa kata dari sebuah memperhatikan unsur-unsur balâghah, i’jâz
ayat secara bahasa maupun secara istilah, dan isi kandungannya dari aspek pengetahuan
yang selanjutkan dijelaskan dengan mengutip dan hukum. Metode penafsiran yang seperti
atsar sahabat dan hadis Nabi SAW, akan ini juga tidak mengabaikan aspek historis atau
tetapi tidak semua ayat ditafsirkan demikian asbâb al-Nuzûl mikro dan munâsabah antara
hanya beberapa ayat saja. Sedangkan satu ayat dengan ayat lain. Pembahasannya
selainnya ditafsirkan dengan pendapat merujuk pada riwayat dari Nabi, sahabat
individu berdasarkan pengetahuannya dan dan ungkapan-ungkapan pra Islam dan kisah
juga mengambil pendapat para ulama tafsir, isrâ ’iliyat. Oleh karena itu, pembahasannya
hal ini terlihat dalam rujukan penafsirannya. cukup luas dan tidak menutup kemungkinan
Adapun kitab-kitab tafsir yang menjadi rujukan dalam kitab Tafsir Qoer’an adalah
22 Nashruddin Baidan, 68.
sebagai berikut:
23 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungi dan Peran wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1999),
24 M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: 86.
Teras, 2005), 42.
Rohmansyah: Corak Tafsir Muhammadiyah
1. Tafsîr al-Kasyâf, karya al-Zamakhsyari,
Abduh.
528 H.
5. Subhah al-Nasâra, karya Muhammad
2. Tafsîr al-Intishâf, karya Nâsiruddîn, 683 H
Abduh.
3. Tafsîr H asyiyah al-Fâiqah, karya
6. Târîkh al-Ustâdz al-Imân, karya Muhammad Ali, 816 H.
Muhammad Abduh.
7. Al-Wahy al-Muhammadi, karya 701 H.
4. Tafsîr Madârik al-Tanzîl, karya al-Nasafi,
Muhammad Rasyîd Ridha.
8. Muqaddimah Safwah al-‘Irfân, karya Andalusi, 542 H.
5. Tafsîr Ahkâm, Karya Abu Bakar al-
Farîd Waji.
9. Izhâr al-Haq, karya Rahmah al-Hindi. 1250 H.
6. Tafsîr Fath al-Qadîr, karya Al-Syaukâni,
10. Al-Islâm Ruh al-Ilmi wa al-Madâniyah,
7. Tafsîr al-Manâr, karya Muhammad
karya Gulayaini.
Rasyîd Ridha, 1358 H.
11. Kitab Bibel (Perjanjian Lama dan
8. Tafsîr Jawâhir al-Qur’ân, karya Tantawi
Perjanjian Baru).
Jauhari, 1359 H.
12. Injil Barnabas.
13. Hâdhir al-Alami al-Islâmi, karya Lothrof 1270 H.
9. Tafsîr Ruh al-Ma’âni, karya Al-Alusi,
Stodard.
14. Majalah Al-Manâr, Mesir. 745 H.
10. Tafsîr Bah r al-Muhît, karya Abu Hayyân,
15. Bidâyah al-Mujtahid, karya Ibnu Rusyd.
11. Tafsîr Al-Nahr al-Ma’âd, karya Abu
16. Mîzân Sya’rani.
H ayyân, 745 H.
17. Rahmah al -Ummah fî Ikhtilâf al-‘Aimmah.
18. Ihyâ’ Ulûm al-Dîn, karya al-Ghazali. 749 H.
12. Tafsîr Al-Dâr al-Lâqith, karya Tajuddîn,
19. Sahîh al-Bukhâri, karya Imam Al-Bukhâri.
20. Sahîh Muslim, karya Imam Muslim. 310 H.
13. Tafsîr Jâmi’ al-Bayân, karya Al-Tabari,
21. Sunan Abu Dâwud, karya Abu Daud,
22. Kitab Fikih, dan kitab hadis dan lain-lain. 791 H.
14. Tafsîr Anwâr al-Tanzîl, karya Baidawiy,
15. Tafsîr Hasyiyah, karya Al-Karûni.
Corak Tafsir Muhammadiyah
16. Tafsîr S afwat al-‘Irfân, karya Farîd Waji. Berdasarkan dua metode dalam corak tafsir yang
17. Tafsir Mushaf Mufassar, karya Farîd Waji. dikembangkan Muhammadiyah untuk memahami
18. Tafsîr Gharîb al-Qur’ân, karya Al-Râghib ayat al-Qur’an, tampak jelas corak penafsiran al-Asfahâni.
yang digunakan, termasuk kategori corak tafsîr bi
19. Tafsîr al-Jalâlain, karya Jalāluddîn al- al-Ra’yi karena lebih banyak menggunakan rasio Mah alli dan Jalâluddin al-Suyûti.
(pemikiran dan ijtihad) untuk mendapatkan sebuah
20. Tafsîr Tasturi, karya Tasturi. penjelasan yang lebih rinci dari ayat al-Qur’an. Tafsîr bi al-ra’yi disebut juga tafsîr bi al- Kitab-kitab dan buku-buku pendukung
ma’qûl atau tafsir berdasarkan ijtihad. Jadi, tafsîr yang dijadikan rujukan selain kitab tafsir bi al-ra’yi adalah ijtihad yang dibangun di atas adalah sebagai berikut:
dasar-dasar yang benar dan kaidah-kaidah lurus
1. Dînullâh fî Kutub al-Anbiyâi, karya Taufik yang harus digunakan oleh setiap orang yang
2. Al-Dînu fi Nazr la-Aqli, karya Taufik. menafsirkan kitab Allah atau menggali makna-
3. Al-Islâm wan Nasrâniyah, karya maknanya. Oleh karena itu, tafsir bi al-ra’yi Muhammad Abduh.
dalam Muhammadiyah bukan tafsir yang sekedar
4. Risâlah al-Tauhîd, karya Muhammad menggunakan pendapat atau hawa nafsu semata
J urnal u shuluddin Vol . 26 No.1, Januari-Juni 2018 37 J urnal u shuluddin Vol . 26 No.1, Januari-Juni 2018 37
SAW, karena tafsîr bi al-ma’tsûr adalah sebuah metode penafsiran yang tidak meninggalkan nash
tafsir (penjelasan) yang mencakup semua aspek al-Qur’an dan hadis. 25
yang ada dalam al-Qur’an berupa keterangan Imam al-Qurthubi mengatakan, bahwa barang
dan penjelasan sebagian ayat yang dinukil dari siapa yang mengatakan sesuatu perkara dalam Rasulullah SAW, para sahabat, para tabi’in untuk al-Qur’an dengan keraguan yang terlintas dalam
memperoleh penjelasan apa yang maksudkan pikirannya atau dalam hatinya tanpa mengambil atau 27 Allah SWT dari nash-nash al-Qur’an al-Karim.
berdasarkan dalil yang pokok, maka dia salah dan tercela. Akan tetapi barang siapa yang mengambil
Contoh-contoh Aplikasi Penafsiran al-Qur’an
istinbat suatu hukum dengan membawanya kepada Untuk mendapatkan suatu penjelasan yang dasar-dasar kesempurnaan yang telah disepakati lebih komprehensif, maka peneliti memaparkan maknanya, maka ia adalah orang yang terpuji. 26
sebuah contoh penafsiran dari dua tafsir yang Dalam hal ini orang yang sengaja mengatakan
telah disebutkan di atas yaitu: sesuatu perkara dari al-Qur’an, padahal ia mengetahui
1. Contoh Penafsiran dengan Metode maud û’i bahwa itu salah, maka ia akan disiapkan tempat
Judul yang diangkat adalah tentang duduk dari neraka. Artinya, dalam menafsirkan
“ Keadilan dan Persamaan” yang merupakan al-Qur’an tidak semata-mata hasil dari pikiran
salah satu prinsip hubungan antar umat semata, akan tetapi menggunakan pemikiran yang
beragama. Penafsiran ini dimulai dengan: murni bersih dan tidak ada upaya untuk melakukan
a. Teks Ayat
kebohongan, semata-mata untuk mencari penjelasan suatu perkara berdasarkan kaidah-kaidah yang benar
yang tidak menyelisihi ketentuan-ketentuan yang
telah ditetapkan Allah SWT.
Lebih lanjut, Muhammadiyah dalam menafsirkan al-Qur’an menggunakan metode
tahlîli dalam rangka mendapatkan penjelasan mengenai suatu ayat yang ditafsirkan. Berdasarkan hal tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa Tafsir
al-Qoer’an adalah termasuk kategori corak bi al-
ra’yi sebagaimana yang telah disebutkan di atas,
karena dalam tafsir ini sedikit sekali mengutip pendapat sahabat atau sabda Nabi SAW. Hal
tersebut tampak jelas dalam beberapa penafsiran ayat yang lebih banyak menggunakan pendapat daripada hadis Nabi dan pendapat para sahabat.
Bentuk penafsiran Muhammadiyah yang
cenderung menggunakan corak
tafsir bi al-ra’yi berbeda dengan tafsîr bi al-ma’tsûr yang banyak
Muhammad Ali al-Shâbûni, Al-Tibyân fi Ulûm al-Qur’ân (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyah, 2003), 155.
26 Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Anshâri al-Khazraji, Tafsîr al-Qurthubi, Juz 1 (Kairo: Dâr al-
Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Kutub al-Mishriyah, 1964), 33.
Juz 4 (Kairo: Maktabah Wahbah, t.t), 5.
Rohmansyah: Corak Tafsir Muhammadiyah Rohmansyah: Corak Tafsir Muhammadiyah
c. Tafsir Ayat
“Wahai Orang-orang yang beriman! Jadilah Ayat-ayat di atas mengandung tema kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena
keadilan. Ayat pertama, kedua, dan ketiga Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau
memerintahkan orang-orang beriman agar terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika
menjadi penegak dan saksi keadilan sekalipun dia (yang terdakwa) kaya atau miskin, maka
bertentangan dengan kepentingan pribadi dan Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya).
kepentingan keluarga, dan juga berlaku adil Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
terhadap orang-orang dibenci. Ayat keempat karena ingin menyimpang dari kebenaran.
menyatakan bahwa keadilan adalah prinsip dan jika kamu memutarbalikan (kata-kata)
agama yang dibawa oleh semua rasul yang atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah 29 diutus Tuhan.
Allah Maha Teliti terhadap segala apa yang Perkataan adil berasal dari bahasa Arab kamu kerjakan” (al-Nisa 4: 135). 28
yang memiliki arti seimbang dan proporsional. Kata tersebut ada hubungannya dengan kata
“Wahai Orang-orang yang beriman! Jadilah lain, yakni al-‘idl yang artinya salah satu kamu sebagai penegak keadilan karena
bakul gandaran yang dipikul oleh petani atau Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil.
dibawa di atas punggung unta. Kalau orang Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu
memikul dua buah bakul dengan gandar (kayu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak
pemikul) di mana salah satu bakul diletakkan adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih
di muka dan lainnya diletakkan di belakang, dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada
maka berat kedua bakul itu harus seimbang Allah, sungguh Allah Maha Teliti apa yang
agar ia dapat dipikul; jika tidak orang tersebut kamu kerjakan” (al-Maidah 5: 8).
tidak bisa memikulnya. Bakul tersebut disebut al-‘idl karena ia seimbang satu sama
“Sungguh Allah menyuruh (kamu) berlaku lain sehingga dapat dipikul atau diletakkan adil dari berbuat kebaikan, memberi bantuan
di atas punggung unta. Jadi keadilan itu kepada kerabat, dan dia melarang (melakukan)
secara harfiyah menggambarkan adanya perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. 30 perimbangan yang proporsional.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu Perintah berbuat adil dalam ayat-ayat dapat mengambil pelajaran” (al-Nahl 16: 90).
di atas sangat umum, karenanya berlaku juga dalam hubungan antar umat beragama.
“Sungguh kami telah mengutus rasul-rasul Muhammad Abu Zahrah menyatakan bahwa Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami
semua hubungan antar umat manusia dalam turunkan bersama mereka kitab dan neraca
Islam berasaskan keadilan, bahkan keadilan (kadilan) agar manusia dapat berlaku adil.
terhadap musuh sekalipun. Lawan dari Dan Kami menciptakan besi yang mempunyai
keadilan adalah ketidakadilan (kezaliman), kekuatan hebat dan banyak manfaat bagi
dan Nabi Muhammad SAW dalam sebuah manusia, dan agar Allah mengetahui siapa
hadis Qudsi menyatakan bahwa Allah SWT yang menolong (agama)-Nya dan rasul-
berfirman:
rasul-Nya walaupun Allah tidak dilihatnya. ىَوَر اَميِف -ملسو هيلع الله ىلص- ِّىِبَّنلا ِنَع ٍّرَذ ىِبَأ ْنَع Sesungguhnya Allah Maha Kuat, lagi Maha
Perkasa” (al-Hadid 57: 25).
29 Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan
28 Departemen Agama RI, Al-Hikmah, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Sosial Antarumat Beragama, 55.
(Bandung: Diponegoro, 2006), 100.
30 Ibid., 56.
J urnal u shuluddin Vol . 26 No.1, Januari-Juni 2018 39
ُتْمَّرَح ىِّنِإ ىِداَبِع اَي « َلاَق ُهَّنَأ ىَلاَعَتَو َكَراــَبَت ِ َّالله ِنــَع Bila demikian, maka menurutnya menjadi
اوُمَلاَظَت َلَف اًمَّرَحُم ْمُكَنْيَب ُهُتْلَعَجَو ىِسْفَن ىَلَع َمْلُّظلا هاور) wajar penegakan keadilan didahulukan karena
menolak kemudharatan yang menimpa pada dirinya. Atau karena penegakan keadilan
“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya memerlukan aneka kegiatan yan berbentuk Aku telah mengharamkan ketidakadilan
fisik, sedangkan kesaksian hanya dengan (kezaliman) atas diri-Ku dan Aku telah
ucapan yang demikian. Hal ini tentu saja menjadikannya haram di antara sesamamu.
penegakan keadilan dengan fisik lebih berarti Oleh sebab itu janganlah kamu saling 32 daripada sekedar ucapan.
menzalimi (tidak berlaku adil)” (HR. Muslim Cabang asas keadilan adalah prinsip dan Ahmad). 31
perlakuan yang sama ( al-mu’amalah bil mitsl). Perlakuan yang sama tersebut adalah bagian
Perintah berlaku adil dapat dikemukakan dari prinsip keadilan yang berlaku dalam dengan menyatakan kata I’dilu lebih tega
hubungan dan pergaulan antar manusia, baik dari ini adalah dengan kata Kunu Muqsitin
pada level individual maupun level kelompok. dan puncaknya adalah Kûnû Qawwamûna bi
Sebagaimana sabda Nabi SAW sebagai berikut: al-Qisti, yakni hendaklah secara sempurna
ىلص الله لوــسر لاق : لاق هنع الله يضر رذ يبأ نع dan penuh perhatian kamu menjadi penegak
ةلاثح يف تنك اذإ تــنأ فيك رذ ابأ اي ملــس و هــيلع الله keadilan dengan sifat yang melekat pada
نيرمأت امف الله لوــسر اي : تلق ؟ هعباصأ نيب كبــشو diri kamu dan laksanakanlah dengan penuh
و مهقلخأب سانلا اوــقلاخ ربصا ربصا ربصا : لاــق ؟ ketelitian sehingga tercermin dalam seluruh
مهلامعأ يف مهوفلاخ aktivitas lahir batinmu. Janganlah sampai ada sesuatu yang bersumber darimu mengeruhkan
“Dari Abu Dzar Ra berkata, Rasulullah SAW keadilan itu. Sedangkan Kata Syuhadâ’ bi
bersabda: Wahai Abu Dzar bagaimana ketika al-Qisti mengisyaratkan bahwa persaksian
engkau berada di dekat Hatsalah, apakah ia yang ditunaikan itu hendaknya karena Allah,
mengepalkan di antara jari tangannya?. Aku bukan untuk tujuan-tujuan duniawi yang tidak
menjawab: Apa yang Engkau perintahkan sejalan dengan nilai-nilai Ilahi.
kepada-ku?. Beliau menjawab: Bersabarlah, Menurut M. Quraish Shihab bahwa
bersabarlah, bersabarlah, bergaullah dengan didahulukannya perintah menjadi penegak
orang-orang sesuai akhlak mereka dan keadilan adalah dikarenakan tidak sedikit 33 bedakanlah dalam amalan mereka”.
orang yang hanya pandai memerintahkan yang ma’ruf, tapi ketika gilirinnya untuk
Maksud dari hadis tersebut adalah melaksanakan yang ma’ruf dia lalai. Ayat
memperlakukan manusia dengan melihat ini memerintahkan mereka dan semua orang
keadaan mereka, baik muda, tua, muslim untuk melaksanakan keadilan pada dirinya
maupun non muslim. Dalam hal ini Islam baru menjadi saksi yang mendukung atau
menghargai manusia dalam hal menjalin memberatkan orang lain. Di sisi lain, penegakan
kerukunan antar umat beragama. Tidak saling keadilan atau kesaksian menjadi dasar untuk menampik mudharat yang dapat dijatuhkan.
32 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jilid 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2011), 757-
31 Abu Husain Muslim bin al-Hajâj bin Muslim al-Qusyari al- 33 Muhammad bin Abdillah Abu Abdillah al-Hâkim al-Naisâburi, Naisâburi, Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawi: Bâb Tahrîm al-
Al-Mustadrak ‘ala al-Sahîhain, Juz 3 (Beirût: Dâr al-Kutub al- Zhulm, 131-132. Lihat Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin
Ilmiyyah, 1990), 386. Lihat Sulaimân bin Ahmad al-Tabrani, Al- Hanbal , Juz 35 (Beirût: al-Muassasah al-Risâlah, 1999), 332.
Mu’jam al-Ausat, Juz 1 (Kairo: Dâr al-Haramain, 1995), 151.
Rohmansyah: Corak Tafsir Muhammadiyah Rohmansyah: Corak Tafsir Muhammadiyah
hadas dan najis, menutup aurat, menghadap
2. Contoh penafsiran dengan metode tahlîli ke kiblat, khusyu’ hatinya ditunjukan dan (Analisis)
dibulatkan hanya kepada Allah SWT. Jika Penafsiran metode akan terlihat jelas
direnungkan bahwa cara shalat menurut ketika menjelaskan salah satu ayat dari al-
syari’at Islam adalah sempurna cara shalatnya, Qur’an, sebagai salah contoh penafsiran pada
karena shalat itu penuh dengan hikmah yang surat al-Baqarah ayat 3 sebagai berikut:
sangat besar, yakni menebalkan iman dan kepercayaan, memperbaiki dan mempertinggi
budi serta perbuatan. 36
Menurut riwayat Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud dengan membelanjakan sebagian “Yaitu mereka yang beriman kepada
rezeki adalah zakat, Ibnu Mas’ûd, memberi yang ghaib, melaksanakan shalat, dan
nafkah kepada kerabat. Imam al-Dah âk menginfakkan sebagian rezeki yang Kami
mengatakan lebih kepada hukumnya, bahwa berikan kepada mereka” (QS. al-Baqarah
bersedekah itu adalah sunat. Akan tetapi
2: 3). karena semua sudah ada ayatnya masing- masing, maka kalimat ( نوــقفني) di sini tidak
Perkara ghaib yang dimaksud adalah jalan dapat dikhususkan, karena kalimat ini bersifat Allah, Malaikat, dan lain-lain. Oleh karena itu,
umum. Hanya dalam ayat menyimpulkan barang ghaib tidak akan dapat dicapai oleh
bahwa amalan membelanjakan sebagian kita, maka hanya wajib beriman saja dengan
rezeki yang telah diberikan oleh Allah SWT keimanan yang sungguh-sungguh. Kalimat
kepada yang semestinya merupakan suatu ( بيغلا) dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak
perbuatan terpuji. Perbuatan tersebut termasuk
36 kali. Adapun keterangan yang lebih jelas sifat orang muttaqîn (orang-orang yang dapat dilihat dalam tafsir ayat surat ke-6 : 59
bertakwa), orang mukmin, dan orang yang
dan 72 : 27. 37 memperoleh petunjuk al-Qur’an. Sedangkan kata ( ةاــصلا ) menurut bahasa
berarti do’a (permohonan), sedangkan menurut
Kesimpulan
istilah (yang sudah ditetapkan) dalam ilmu fiqh Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, adalah ucapan dan perbuatan yang dimuliakan
bahwa Corak Tafsir Muhammadiyah adalah tafsîr dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dan
bi al-ra’yi, namun corak tafsir bi al-ra’yi yang lebih wujud sembahyang (shalat) ialah berdiri, rukuk,
populer dan dikenal di kalangan Muhammadiyah i’tidal, sujud, duduk, dan tahiyat. 35
dengan sebutan tafsîr ijtihâdi (tafsir yang bersifat Sebelum al-Qur’an semua ahli agama
ijtihad) untuk memahami al-Qur’an, sehingga telah mengerjakan shalat, hanya saja mereka
dalam perkembangan penafsiran Muhammadiyah belum sempurna shalatnya. Kemudian al-
tidak mengandalkan pendapat semata, tetapi Qur’an juga datang menerangkan sifat orang
menginterkoneksikan dan mengkorelasikan mukmin, yaitu orang yang mengerjakan dan
dengan ayat lain, hadis Nabi, pendapat para mendirikan shalat. Kata ةلــصلا ةــماقإ artinya sahabat, dan tabi’in. Untuk mengantarkan menjalankan shalat sesuai syarat, rukun, kepada corak penafsirannya yang memiliki
karakteristik al-ra’yi (pemikiran dan ijtihad),
34 Lajnah Tafsir PP Muhammadiyah, Tafsir Al-Qoer’an (Djogjakarta: Hoofdbestuur Moehammadiyah Taman Poestaka, 1957), 22.
J urnal u shuluddin Vol . 26 No.1, Januari-Juni 2018 41
Muhammadiyah menggunakan dua metode Dayyif, Syauqi, dkk . Al-Mu’jam al-Wasît. Kairo: yang digagas oleh para ahli tafsir, yaitu metode
Maktabah Syurûq al-Dawliyah, 2004. maud û’i (tematis) dan metode tahlîli (analitis).
Departemen Agama RI, Al-Hikmah. Al-Qur’an Metode maud û’i diterapkan Muhammadiyah ke
dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro, dalam karya tafsir yang berjudul “Tafsir Tematik
al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antar Umat Beragama”. Sedangkan metode tahlîli al-Dzahabi, Muhammad Husain. Al-Tafsir wa
diterapkan pada karya tafsir yang berjudul “Tafsir al-Mufassirun. Kairo: Maktabah Wahbah,
al-Qoer’an. Corak dan dua metode penafsiran 2000. yang dikembangkan Muhammadiyah adalah al-Hajaj, Muslim bin Abu Husain al-Qusyairiy
untuk menjawab permasalahan yang terjadi al-Naisaburi. Sahîh Muslim, Bâb Bayâni sekarang sehingga al-Qur’an menjadi sâlihun li
Ajr al-Hâkim. Vol. 5. Riyâd: Bait al-Afkâr kulli zamânin wa makânin (sesuai dengan segala
al-Dawliyah, 1998.
waktu dan tempat). Hanbal, Ahmad bin. Musnad Ahmad bin Hanbal.
Vol. 35. Beirût: al-Muassasah al-Risâlah, 1999.
Daftar Kepustakaan
Kamal, Mustafa Pasha dan Ahmad Adabi Darban. Abdillah, Abu Muhammad bin Ahmad bin Abi
Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam, Bakr bin Farh al-Anshâri al-Khazraji.
Yogyakarta: Pustaka SM, 2009. Tafsîr al-Qurtubi. Vol. 1. Kairo: Dâr al-
Lajnah Tafsir PP. Muhammsadiyah. Tafsir Al- Kutub al-Mishriyah, 1964.
Qoer’an. Djogjakarta: Hoofdbestuur Abdillah, Muhammad bin Abu Abdillah al-
Moehammadiyah Taman Poestaka, 1957. Hâkim al-Naisâburi. Al-Mustadrak ‘ala
M. Alfatih Suryadilaga, dkk. Metodologi Ilmu al-Sahîhain. Vol. 3. Beirût: Dâr al-Kutub
Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2005. al-Ilmiyyah, 1990.
M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an: Abdurrahman, Abdullah bin bin Fadhl bin
Fungi dan Peran wahyu dalam Kehidupan Bahrâm al-Dârimi. Sunan al-Dârimi. Vol.
Masyarakat. Bandung: Mizan, 1999.
1. Riyâdh: Dâr al-Mughni, 2000 -------. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan
Abu, Muhammad Zahrah. Us ûl Fiqh. Kairo: Dâr Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera al-Fikr al-Arabi, 2006.
Hati, 2011.
Ah mad, Sulaimân bin al-Tabrani. Al-Mu’jam al- -------. Wawasan AL-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Ausat . Vol. 1. Kairo: Dâr al-Haramain,
atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: 1995.
Mizan, 1998.
Asjmuni Abdurrahman. Manhaj Tarjih Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Muhammadiyah: Metodologi dan Aplikasi.
Islam PP. Muhammadiyah. Tafsir Tematik Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial al-Bukhâri, Muhammad Ismail. Sahîh al-Bukhâri.
Antarumat Beragama. Yogyakarta: Vol. 9. Beirût: Dâr Thûq al-Najâh, 1422.
Pustaka SM, 2000.
al-Dâruquthni, Ali bin Umar. Sunan al-Dâruqutni. Muhammad Zaini. “Sumber-sumber Penafsiran Vol. 1. Beirût: Al-Muassasah al-Risâlah,
al-Qur’an.” Substantia 14, no. 1 (2012): 2004.
Rohmansyah: Corak Tafsir Muhammadiyah
Nashruddin Baidan. Metode Penafsiran Al- al-Qur’ân. Jakarta: Dâr al-Kutub al- Qur’an: Kajian Kritis Terhadap Ayat-ayat
Islâmiyah, 2003.
yang Beredaksi Mirip. Jakarta: Pustaka al-S âlih, Subhi. Mabâhits fi ‘Ulûm al-Qur’ân.
Pelajar, 2011. Beirût: Dâr al-‘Ilmu al-Malâyîn, 1977. al-Qattân, Mana’. Mabâhits fi ‘Ulûm al-Qur’ân.
Samsul Nizar . Memperbincangkan Dinamika Riyâd: Dâr al-Su’ûdiyah, t.t.
Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang al-Râzi, Muhammad bin Abi Bakar bin Abdul
Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2008. Qâdir. Mukhtâr al-Sihâh. Kairo: Dâr al-