untuk pembangunan berkelanjutan makalah docx

Makalah

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
BERWAWASAN LINGKUNGAN DI INDONESIA
(STUDI KASUS PENCEMARAN SUNGAI CITARUM)

TRI NOVITASARI
P43215005

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2014

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lebih dari 30 tahun, Indonesia telah menempatkan pertumbuhan ekonomi
sebagai indikator keberhasilan. Dengan paradigma pembangunan yang dianut,
pertumbuhan ekonomi, paling tidak sebelum terjadi krisis ekonomi, melaju

dengan tingkat pertumbuhan hampir mencapai 8% per-tahun. Namun demikian,
sangat disayangkan bahwa laju pertumbuhan ekonomi tersebut harus ditebus
dengan kerusakan sumber daya alam dan lingkungan yang hebat. Kerusakan
lingkungan (atau faktor yang mempunyai potensi menimbulkan kerusakan
lingkungan) tidak menurun bahkan cenderung meningkat. Hal ini terlihat pada
beberapa sektor strategis di dalam pembangunan Indonesia seperti sektor
kehutanan, pertanian dan perikanan maupun pertambangan. Hal ini sebagai akibat
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang cenderung mengarah pada
pola pengelolaan yang berorientasi jangka pendek.
Sumber daya alam dan lingkungan dijadikan sebagai tumpuan bagi
pertumbuhan ekonomi, sehingga pemanfaatannya tidak lagi memperdulikan
kaidah-kaidah konservasi. Kalaupun ada kebijakan dan peraturan yang mengatur
tentang keharusan untuk mengendalikan dan melestarikan fungsi lingkungan,
pada kenyataannya malah jauh dari pengharapan. Kerusakan sumber daya alam
dan lingkungan tersebut, diperkirakan akan diperburuk dengan keadaan ekonomi
dan politik di negeri ini yang tidak menentu.

Untuk mengantisipasi keadaan yang lebih buruk, arah pembangunan
kedepan harus ditegaskan bahwa pendayaan sumber daya alam dan lingkungan
harus dilakukan secara terencana, rasional, optimal, bertanggung jawab dan sesuai

dengan kemampuan daya dukungnya dengan mengutamakan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat serta memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan
lingkungan hidup bagi pembangunan yang berkelanjutan. Dalam menentukan
strategi pembangunan, aspek lingkungan harus dijadikan pertimbangan utama.
Konsep ini pada dasarnya mengandung aspek daya dukung lingkungan dan
solidaritas antar generasi.
Kerusakan lingkungan dan sumber daya alam selain karena paradigma
pembangunan yang terlalu menekankan kepada pertumbuhan ekonomi juga
karena lemahnya kapasitas lembaga atau institusi pembangunan yang dimiliki.
Hal ini dapat terlihat dari pola perencanaan yang parsial atau fragmentatif.
Lemahnya

koordinasi

antar

departemen

atau


komponen

pembangunan

mengakibatkan lemahnya upaya pemaduan perencanaan pembangunan yang
mengkaitkan pertumbuhan ekonomi, keseimbangan sosial dan keselarasan
ekologi. Kondisi ini diperburuk lagi dengan kurang berfungsinya lembaga
legislatif secara optimal.
Lembaga

legislatif

yang

diharapkan

dapat

memberikan


arahan

pembangunan kepada pemerintah masih belum memiliki kemampuan perencanaan
yang memadai. Disamping itu, masih kentalnya aroma politik pada lembaga
legislatif yang ada dapat mengakibatkan biasnya pola perencanaan pembangunan
dengan agenda politik kekuasaan. Sementara itu, lembaga yang bertugas untuk

menjabarkan program pembangunan nasional yang disusun oleh lembaga
legislatif juga masih belum dapat mengambil alih tugas pemaduan tersebut yang
dapat disebabkan karena sifat birokrasinya dan karena kurangnya pemahaman
akan konsep pembangunan berkelanjutan.
Permasalahan degradasi kualitas lingkungan dan sumber daya alam juga
disebabkan karena tidak terselenggaranya good governance atau kepemerintahan
yang baik. Hal ini terlihat dari tidak efisiennya lembaga perwakilan, korupsi, dan
belum berdayanya masyarakat. Hal ini karena belum terciptanya mekanisme yang
dapat menjembatani kepentingan masyarakat, sektor bisnis, dan pemerintah,
terutama untuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara
untuk mencapai kesejahteraan dan kesetaraan, serta meningkatkan kualitas hidup
sangat diperlukan. Saluran yang ada dirasakan belum dapat mengartikulasikan
kepentingan stakeholders atau petaruh, selain belum responsif dalam menangani

isu-isu pembangunan yang kritis
Sebagai contoh permasalahan lingkungan yang menjadi korban dari
kelalaian Indonesia dalam pembangunan berkelanjutan adalah permasalahan
sungai di jawa barat yang hingga kini masih berada dalam tahap proses
pembersihan. Dibutuhkan sebuah kerjasama yang baik antara pemerintah pusat
dan daerah dalam menangani masalah ini.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.

Sustainable Development (Pembangunan Berkelanjutan)
Sebagai sebuah konsep, pembangunan yang berkelanjutan yang mengandung

pengertian

sebagai

pembangunan


yang

“memperhatikan”

dan

“mempertimbangkan” dimensi lingkungan hidup dalam pelaksanaannya sudah
menjadi topik pembicaraan dalam konferensi Stockholm (UN Conference on the
Human Environment) tahun 1972 yang menganjurkan agar pembangunan
dilaksanakan dengan memperhatikan faktor lingkungan (Soerjani, 1977: 66),1
Menurut Sundari Rangkuti, Konferensi Stocholm membahas masalah lingkungan
serta

jalan

keluarnya,

memperhitungkan

daya


agar

pembangunan
dukung

dapat

lingkungan

terlaksana

dengan

(eco-development)

(Rangkuti,2000:27)2
Konferensi tersebut sejalan dengan keinginan PBB untuk menanggulangi
masalah kerusakan lingkungan yang terjadi. Bertepatan dengan di umumkannya
“Strategi Pembangunan Internasional” bagi “Dasawarsa Pembangunan Dunia ke–

2 “(The Second UN Development Decade) yang dimulai pada tanggal 1 Juni 1970,
Sidang Umum PBB menyerukan untuk meningkatkan usaha dan tindakan
nasional serta Internasional guna menanggulangi “proses pemerosotan kualitas
lingkungan hidup” agar dapat diselamatkan keseimbangan dan keserasian
1 H.Abdurrahman, “Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam

Indonesia”, Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Tema Penegakkan
Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan. Denpasar 14-18 Juli 2003. Hal.2
2 Ibid., hal.4

ekologis, demi kelangsungan hidup manusia, secara khusus resolusi Sidang
Umum PBB No. 2657 (XXV) Tahun 1970 menugaskan kepada Panitia Persiapan
untuk mencurahkan perhatian kepada usaha “melindungi dan mengembangkan
kepentingan-kepentingan negara yang sedang berkembang” dengan menyesuaikan
dan memperpadukan secara serasi kebijakan nasional di bidang lingkungan hidup
dengan

rencana

Pembangunan


Nasional,

berikut

skala

prioritasnya

(Hardjasoemantri, 200:7).3
Amanat inilah yang kemudian dikembangkan dan menjadi hasil dari
Konferensi Stocholm yang dapat dianggap sebagai dasar-dasar atau cikal bakal
konsep “Pembangunan Berkelanjutan” Konferensi Stocholm memberikan
pengaruh besar terhadap gerakan kesadaran lingkungan dunia. Hal ini dapat
dilihat dari perkembangan dan peningkatan perhatian terhadap masalah
lingkungan dan terbentuknya perundang-undangan nasional di bidang lingkungan
hidup, termasuk di Indonesia.
Semua keputusan Konferensi tersebut diatas, disyahkan oleh resolusi SU
PBB No. 2997 (XXVII) tertanggal 15 Desember 1972. Pentingnya Deklarasi PBB
tentang Lingkungan Hidup Manusia bagi negara-negara yang terlibat dalam

konferensi ini dapat dilihat dari penilaian negara peserta yang mengatakan bahwa
deklarasi dianggap sebagai “a first step in developing international environment
law” (Silalahi,1992:20).4
Konsep

Sustainable

Development

memberikan

wacana

baru

mengenai pentingnya melestarikan lingkungan alam di masa depan, generasi yang
3 Ibid.,
4 Ibid.,hal.5

akan datang “pembangunan yang memenuhi kebutuhan sekarang tanpa

mengkompromikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan
mereka sendiri”. Menurut Brundtland Report dari PBB [1987], pembangunan
berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa
mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.
Menurut Laporan dari KTT Dunia [2005]., menjabarkan bahwa
pembangunan berkelanjutan terdiri dari tiga tiang utama yakni ekonomi, sosial,
dan lingkungan yang saling bergantung dan memperkuat. Ketiga aspek tersebut
tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena ketiganya menimbulkan hubungan
sebab - akibat. Hubungan ekonomi dan sosial diharapkan dapat menciptakan
hubungan yang adil (equitable). Hubungan antara ekonomi dan lingkungan
diharapkan dapat terus berjalan (viable). Sedangkan hubungan antara sosial dan
lingkungan bertujuan agar dapat terus bertahan (bearable). Ketiga aspek yaitu
aspek ekonomi, sosial , dan lingkungan akan menciptakan kondisi berkelanjutan
( sustainable).
Sustainable development atau pembangunan berkelanjutan merupakan
istilah yang sering digunakan di Negara-negara barat. Istilah ini secara resmi
digunakan dalam Tap MPR No. IV /MPR/1999 tentang GBHN, sedangkan istilah
Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan Lingkungan Hidup” digunakan
dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu
juga dikenal ada lingkungan dan pembangunan, 1988:12) sedang sebelumnya
lebih popular digunakan sebagai istilah “Pembangunan yang berwawasan
Lingkungan” sebagai terjemah dari “Eco-development”5
5 Ibid.,hal.5

Menurut Sonny Keraf, sejak tahun 1980-an agenda politik lingkungan
hidup mulai dipusatkan pada paradigma pembangunan berkelanjutan. Mulai
pertama istilah ini muncul dalam World Conservation Strategy dari the
International Union for the conservation of nature (1980), lalu dipakai oleh Lester
R. Brown dalam bukunya Building a Suistainable Society (1981). Istilah tersebut
kemudian menjadi sangat popular melalui laporan Bruntland, Our Common
Future(1987). Tahun 1992 merupakan puncak dari proses politik, yang akhirnya
pada konferensi tingkat tinggi (KTT) Bumi di Rio de Jainero, Brazil, paradigm
aPembangunan Berkelanjutan di terima sebagai sebuah agenda politik
Pembangunan untuk semua Negara di dunia (Keraf, 2001:1,2002:166).
Perkembangan

kebijakan

lingkungan

hidup,

menurut

Koesnadi

Hardjosoemantri, didorong oleh hasil kerja World Commission on Environment
and Development, disingkat WECD. WECD dibentuk PBB memenuhi keputusan
Sidang Umum PBB Desember 1983 No. 38/161 dan dipimpin oleh Nyonya Gro
Harlem Bruntland (Norwegia) dan dr. Mansour Khalid (Sudan). Seorang anggota
dari Indonesia, Prof. Dr. Emil Salim.
Salah satu tugas WECD adalah mengajukan strategi jangka panjang
pengembangan lingkungan menuju pembangunan yang berkelanjutan di tahun
2000 dan sesudahnya. WECD telah memberikan laporannya pada tahun 2000
yang diberi judul “Our Common Future” yang memuat banyak rekomendasi
khusus untuk perubahan institusional dan perubahan hukum (Hardjasoematri,
2000:12-15). Sedangkan Soerjani menambahkan bahwa panitia ini menghasilkan
laporan yang berjudul “Our Common Future” pada tahun 1987 (WECD 1987).

Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dengan judul “Hari Depan
Kita Bersama” 1988. salah satu tonggak penting yang di pancangkan oleh panitia
ini adalah agar pemahaman tentang perlunya wawasan lingkungan dalam
Pembangunan di praktekkan di semua sektor dan terkenal dengan istilah
“Sustainable Development” (Soerjani, 1997:61)
Dalam laporan WECD “Our Common Future” ditemui sebuah rumusan
tentang “Suistainable Development” sebagai berikut:
“Suistainable Development is defined as development that meet the needs
of the present without comprosing the ability of future generations to meet
their own needs” (Tjokrowinoto, 1991:7, Hardjosoemantri,2000:15).6
Pembangunan

berkelanjutan

(Emil

Salim,1990)

bertujuan

untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat, untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi
manusia. Pembangunan yang berkelanjutan pada hekekatnya ditujukan untuk
mencari pemerataan pembangunan antar generasi pada masa kini maupun masa
mendatang.7 Menurut KLH (1990) pembangunan (yang pada dasarnya lebih
berorientasi ekonomi) dapat diukur keberlanjutannya berdasarkan tiga kriteria
yaitu : (1) Tidak ada pemborosan penggunaan sumber daya alam atau depletion of
natural resources; (2) Tidak ada polusi dan dampak lingkungan lainnya; (3)
Kegiatannya harus dapat meningkatkan useable resources ataupun replaceable
resource.
2.

Otonomi Daerah dan Lingkungan Hidup

6 Ibid.,hal 10
7 Askar jaya, “konsep pembangunan berkelanjutan.” Makalah pengantar falsafah sains,

program s3 institut pertanian bogor. Bogor, 15 december 2004

Otonomi daerah merupakan pembagian dan pelimpahan kekuasan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurus dan mengelola
daerahnya sesuai dengan potensi yang dimiliki. Implementasi otonomi daerah
telah memasuki era baru setelah pemerintah dan DPR sepakat untuk mengesahkan
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Kedua UU otonomi daerah ini merupakan revisi terhadap UU Nomor 22 dan
Nomor 25 Tahun 1999 sehingga kedua UU tersebut kini tidak berlaku lagi.8
Hal yang perlu dicermati mengenai persoalan pengelolaan lingkungan dalam
konteks otonomi daerah adalah Sumber Daya Alam (SDA). Hal ini penting karena
SDA merupakan tumpuan daerah dalam memperoleh dana (Pendapatan
Asli Daerah) untuk menyelengarakan pemerintahan. Disisi lain, penggunaan SDA
yang semena-mena berpotensi menimbulkan berbagai masalah lingkungan. Tanpa
pengaturan yang jelas, maka kesejahteraan rakyat tidak akan terjamin karena
rentan terjadi kerusakan lingkunga di daerah.
Penggunaan SDA yang tidak dapat habis seperti sinar matahari, angin, dan
gelombang) tidak mengurangi kemampuanya untuk mendukug kesejahteraan
manusia. Lain halnya dengan sumber daya yang tidak dapat diperbarui seperti gas
alam, minyak bumi, batubara, tembaga, aluminium, dan sumber daya lain yang
tidak dapat diperbarui dalam jangka waktu cepat, tentu akan secara langsung
mengurangi daya tahan dan mutu lingkungan. Daerah-daerah yang mengandalkan
sumber daya alam untuk pembangunan ekonomi seringkali tidak memperhatikan

8 Bewa ragawino. Makalah “Desentralisasi dalam Kerangka Otonomi Daerah di Indonesia”.

kaidah-kaidah lingkungan. Sehingga kerusakan lingkungan menjadi isu strategis
daerah kaitanya dalam pertumbuhan ekonomi.
Berbicara mengenai lingkungan hidup tidak bisa lepas dari UU nomor 32
tahun 2009 tetang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau sering
disingkat dengan UUPLH. Dimana dalam Undang-undang ini diatur kewenangan
antara pusat dan daerah dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Dalam regulasi ini dijelaskan bahwa Pemerintah memberikan kewenangan yang
luas kepada pemerintah daerah yang meliputi:
1. Aspek perencanaan yang dilakukan melalui inventarisasi lingkungan
hidup, penetapan wilayah ekorigen dan penyusunan RPPLH (Rencana
Perlindungan dan Pengelolalaan Lingkungan Hidup
2. Aspek Pemanfaatan SDA yang dilakukan berdasarka RPPLH
3. Aspek Pengendalian terhadap pencemaran dan kerusakan fungsi
lingkungan hidup yang meliputi pencegahan, penanggulangan dan
pemulihan
4. Pemeliharaan lingkungan hidup yang dilakukan melalui upaya
konservasi Sumber Daya Alam
5. Aspek Pengawasan dan Penegakkan hokum
Secara substansial daerah mempunyai peranan penting dalam menjaga
kelestarian lingkungan hidup. Namun, dalam kenyataanya hak dan kewajiban
daerah yang tertuang dalam pasal 21 ayat 6 UU nomor 32 tahun 2004 yang
berbunyi “daerah mempunyai hak mendapatkan bagi hasil dari penegelolaan

sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah”. Kemdian
dalam rangka untuk meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah).

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota,
bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa
mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan" (menurut Brundtland
Report dari PBB, 1987). Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari
Bahasa Inggris, sustainable development. Salah satu faktor yang harus dihadapi
untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki
kehancuran

lingkungan

tanpa

mengorbankan

kebutuhan

pembangunan ekonomi dan keadilan social.
Pada dasarnya konsep ini merupakan strategi pembangunan yang
memberikan batasan pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah dan sumberdaya
yang ada didalamnya. Ambang batas ini tidak absolut (mutlak) tetapi merupakan
batas yang luwes (flexible) yang bergantung pada teknologi dan sosial ekonomi
tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfer dalam menerima
akibat yang ditimbulkan dari kegiatan manusia.
Dengan kata lain, pembangunan berkelanjutan adalah semacam
strategi dalam pemanfaatan ekosistem alamiah dengan cara tertentu sehingga
kapasitas fungsionalnya tidak rusak untuk memberikan manfaat bagi kehidupan
umat manusia. Hal ini bukan saja untuk kesejahteraan masyarakat secara
keseluruhan, tetapi juga untuk kesejahteraan masyarakat generasi mendatang.

Dengan demikian diharapkan bahwa kita tidak saja mampu melaksanakan
pengelolaan pembangunan yang ditugaskan (to do the thing right), tetapi juga
dituntut untuk mampu mengelolanya dengan suatu lingkup yang lebih menyeluruh
(to do the right thing)
Isu pembangunan berkelanjutan di Indonesia belum dapat di katakan
berhasil karena adanya berbagai kelalaian dalam hal lingkungan. Contohnya
pencemaran air, sampah hingga kebakaran hutan. Kerusakan ini terjadi akibat
keinginan manusia untuk terus memenuhi kenutuhan ekonominya hingga akhirnya
melalaikan sebuah dimensi penting yaitu lingkungan
3.2 Pembangunan Berkelanjutan berwawasan lingkungan
Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup hendaknya perlu
memanfaatkan sumber daya yang dimiliki secara cermat dan bijaksana.


Sumber daya alam yang mencakup air, tanah, udara, hutan, kandungan
mineral, dan keanekaragaman hayati.



Sumber daya manusia yang mencakup jumlah penduduk, pendidikan,
kesehatan, keterampilan, dan kebudayaan.



Ilmu pengetahuan dan teknologi yang mencakup transportasi, informasi,
komunikasi, dan hasil-hasil ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek)
lainnya.
Sumber-sumber daya tersebut sifatnya terbatas, sehingga dalam

penggunaannya

harus

cermat

dan

bijaksana.

Ketidakcermatan

dan

kekurangbijaksanaan dalam penggunaan sumber daya dapat menimbulkan

beragam masalah, seperti polusi lingkungan, kerusakan sumber daya alam, dan
timbulnya masalah permukiman.
Pembangunan

berwawasan

lingkungan

yang

dikenal

dengan

pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang berorientasi pada
pemenuhan kebutuhan manusia melalui pemanfaatan sumber daya alam secara
bijaksana, efisiensi, dan memerhatikan pemanfaatannya, baik untuk masa kini
maupun yang akan datang.
Pembangunan

berwawasan

lingkungan

yang

memerhatikan

keberlanjutan lingkungan hidup memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.

Menjamin Pemerataan dan Keadilan. Strategi pembangunan yang berwawasan
lingkungan dilandasi oleh pemerataan distribusi lahan dan faktor produksi,
pemerataan kesempatan bagi perempuan, dan pemerataan ekonomi untuk
peningkatan kesejahteraan.

2.

Menghargai Keanekaragaman Hayati Keanekaragalan hayati merupakan dasar
bagi tatanan lingkungan. Pemeliharaan keanekaragaman hayati memiliki
kepastian bahwa sumber daya alam selalu tersedia secara berlanjut untuk masa
kini dan masa yang akan datang.

3.

Menggunakan

Pendekatan

Integratif Dengan menggunakan

pendekatan

integratif, maka keterkaitan yang kompleks antara manusia dengan lingkungan
dapat dimungkinkan untuk masa kini dan masa yang akan datang.
4.

Menggunakan Pandangan Jangka Panjang Pandangan jangka panjang dilakukan
untuk merencanakan pengelolaan pemanfaatan sumber daya yang mendukung
pembangunan agar secara berlanjut dapat digunakan dan dimanfaatkan.

3.3 Kegagalan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia (studi kasus
pencemaran sungai citarum)
Konsep pembangunan berkelanjutan di Indonesia masih belum di
aplikasikan secara sempurna. Semakin berkembang perekonomian di Indonesia,
masalah lingkungan pun semakin menjadi. Contohnya, Pencemaran Sungai oleh
Bahan Kimia Berbahaya Industri di jawa barat. Padahal sungai terbesar di Jawa
Barat tersebut menjadi sumber air tak hanya untuk pertanian melainkan juga
kebutuhan domestik dan industri. Tahun 2010, bahkan Citarum menyandang
predikat sebagai sungai paling tercemar di dunia versi National Geographic.
Tentunya ini bukan hal membanggakan, terlebih jika pencemaran ini adalah ulah
manusia sendiri. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi tumpukan
sampah di sungai Citarum. Bulan Desember 2008 Bank Pembangunan Asia
menyetujui pinjaman sekitar Rp 50 milyar hanya untuk membersihkan sungai ini,
tapi tidak ada hasil signifikan yang ditunjukkan.
Nyatanya bukan hanya sampah yang memenuhi sungai Citarum,
Greenpeace sebagai salah satu non government organisation (NGO) yang
memiliki perhatian dalam penyelamatan lingkungan menyatakan jika sungai
Citarum sudah tercemar bahan kimia berbahaya dan beracun. Greenpaece-pun
memulai kampanye Detox untuk menghentikan pencemaran industri ke Sungaisungai di Indonesia, khususnya Sungai Citarum sejak tahun 2011. Riset tentang
pencemaran bahan kimia berbahaya industri ini telah dimulai Green Peace sejak
setahun sebelum kampanye tersebut diluncurkan, malah sampai saat ini

Geenpeace continue melakukan riset dan penelitian sebagai pijakan berkampanye
menciptakan masa depan sungai-sungai dan masa depan Indonesia yang bebas
bahan kimia berbahaya industri.
Juru

kampanye

Detox

Greenpeace

Indonesia,

Ashov

Birry,

mengungkapkan beberapa riset terdahulu Greenpeace menemukan berbagai bahan
kimia berbahaya dibuang oleh Industri ke Sungai Citarum. Bahan-bahan kimia ini
bersifat persisten (tidak mudah terurai/tidak terurai begitu terlepas kedalam
lingkungan), bioakumulatif (dapat terakumulasi dalam jaringan makhluk hidup
hingga dapat sampai ke rantai makanan manusia) dan juga bersifat toksik yang
dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan pada manusia dalam jangka
panjang, termasuk kanker, gangguan sistem saraf, gangguan sistem reproduksi dan
gangguan sistem hormon. Bahan-bahan kimia berbahaya tersebut dapat sampai
kepada masyarakat lewat berbagai jalur; kontak langsung dengan air, terhirup di
udara, lewat air minum, atau lewat rantai makanan. Oleh Karena itu ancaman
pencemaran bahan kimia berbahaya beracun ini juga tidak dapat dilokalisir hanya
terbatas pada masyarakat DAS, akan tetapi lebih luas lagi.
Ia menjelaskan, sungai Citarum sebagai sumber pasokan air minum bagi
Provinsi padat penduduk Jawa Barat dan Ibukota Jakarta, mirisnya daerah aliran
sungai Citarum dipenuhi berbagai sektor industri manufaktur seperti tekstil,
kimia, kertas, kulit, logam/elektroplating, farmasi, produk makanan dan minuman.
Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat (BPLHD Jabar) juga
telah mengkonfirmasi bahwa limbah industri jauh lebih intens dalam hal

konsentrasi dan mengandung bahan-bahan berbahaya. Dimana sebanyak 48%
industri yang diamati, rata-rata pembuangan limbahnya 10 kali melampaui baku
mutu yang telah ditetapkan.
Dalam laporan Greenpeace, “Bahan Beracun Lepas Kendali”, lanjut
Ashov, terungkap jika hanya 47,2% industri di Kabupaten Bandung yang telah
mengelola limbah cairnya dengan menggunakan IPAL (Instalasi Pengolahan Air
Limbah). Sayangnya dari jumlah tersebut hanya 39,5% yang buangan limbah dari
IPAL nya telah memenuhi baku mutu. Menurutnya ini menunjukkan betapa
lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap industri. Selain itu sudah
sejak lama ada miskonsepsi umum bahwa IPAL bisa mengatasi semua jenis
polutan.
Beberapa upaya yang pernah dilakukan pemerintah pusat dan daerah
hingga lembaga greenpeace indonesia untuk mengatasi masalah ini antara lain :
1.

Upaya penegakan hukum yang di ambil oleh pengelolaan hidup daerah
jabar yang memberikan sanksi administrative terhadap 43 perusahaan
yang berada di sekitar daerah aliran sungai citarum.

2.

Kementerian Lingkungan Hidup menggalakkan Program Kali Bersih
atau 'PROKASIH' melalui promosi Instalasi Air Limbah Industri dan
pengolahan sampah domestik komunal. PROKASIH yang diluncurkan
pada tahun 1989 untuk meningkatkan kualitas air dan menurunkan
tingat

pencemaran,

hingga

tahun

2007

belum

nenunjukkan

peningkatan yang signifikan, bahkan cenderung memburuk untuk

mengatasi berbagai limbah yang masuk dalam sungai dan akibat alih
fungsi lahan yang mempercepat terjadinya proses sedimentasi di
sungai. Sebagai catatan bahwa kondisi kualitas air Sungai Citarum
sejak tahun 1989 sampai saat ini belum pernah memenuhi standar
kualitas air yang ditetapkan oleh pemerintah lokal/daerah.
3.

Pemerintah Indonesia merancang sebuah program pemulihan terpadu
yang disusun di dalam suatu roadmap. Perencanaan roadmap ini
dikoordinir oleh Bappenas bersama dengan pemerintah pusat,
pemerintah provinsi, sektor swasta, dan organisasi masyarakat
sipil. Roadmap ini bernama ICWRMIP atau Integrated Citarum Water
Resources Management Investment Program (Program Investasi
Manajemen Sumber Daya Air Citarum Terpadu. Program terpadu ini
masih terus berjalan sampai hari ini, meskipun hasilnya menunjukkan
kondisi yang memprihatinkan, kondisi badan air Citarum semakin
buruk dari waktu ke waktu.

4.

terdapat pula program pemerintah dalam mengatasi pencemaran sungai
Citarum yang khususnya ditujukan untuk industri, yaitu Program
Penilaian

Peringkat

Kinerja

Perusahaan

Dalam

Pengolahan

Lingkungan Hidup (PROPER). Program PROPER merupakan
penerapan pasal 42 dan 43 UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Keberhasilan PROPER sebagai
instrumen penataan sangat tergantung kepada sikap proaktif dan kritis

para pemangku kepentingan dalam menyikapi hasil kinerja penataan
yang telah dilakukan perusahaan.
Sejumlah kebijakan dalam pengendalian pencemaran sungai Citarum perlu
dilakukan oleh para pemangku kepentingan dan tentunya diperlukan peran aktif
masyarakat dalam mengawasi berbagai perusahaan di lingkungannya dalam
mengelola lingkungan. Pendekatan kebijakan atur dan awasi yang telah diterapkan
sebagai pendekatan reaktif, ternyata juga tidak terlalu efektif. Kurangnya
kemampuan mendeteksi adanya pelanggaran serta kemampuan untuk memberikan
tanggapan yang cepat dan pasti atas pelanggaran yang ditemukan. Pendekatan
kebijakan atur dan awasi (ADA) yang efektif setidaknya mensyaratkan 3 hal
yaitu: (1) adanya kemampuan untuk mendeteksi pelanggaran, (2) Adanya
kemampuan untuk melakukan tanggapan yang cepat dan pasti (Swift & Sure
Responses), serta (3) Adanya sanksi yang memadai.
Dalam kasus pembuangan air limbah secara illegal yang ditengarai
dilakukan oleh industri tertentu di Jawa Barat, pemerintah daerah setempat
berhadapan dengan kesulitan untuk membuktikannya. Padahal, pembuangan air
limbah melalui saluran illegal (saluran siluman) dengan cara membuang air
limbah di lokasi yang tidak ditentukan dalam izin, merupakan tindak pidana yang
dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan dumping berdasarkan Undang-undang
No. 32 Tahun 2009.

Penegakan hukum dalam kasus pencemaran air dapat dilakukan melalui
mekanisme penegakan hukum administrasi, penegakan hukum perdata dan
penegakan hukum pidana. Oleh karena itu, seberapapun dan sebagus apapun
kebijakan serta program yang dibuat, tanpa ada penegakan hukum yang
diberlakukan secara tegas dan mengikat tanpa terkecuali, maka kebijakan tersebut
hanyalah

indah

dalam

proses

pembuatannya,

namun

tidak

pada

pengaaplikasiaanya sehingga diperlukan tindakan preventif. Pendekatan preventif
harus dimulai sejak awal perancangan produk dan proses, bukan diakhir pipa
pembuangan. Penerapan ‘Produksi Bersih’ memastikan bahan toksik tidak lagi
digunakan pada seluruh siklus hidup produk/proses, lewat subtitusi dengan materi
yang aman. Subtitusi dan inovasi di bidang‘produksi bersih’ tidak akan muncul
begitu saja di sektor industri tanpa dukungan dan desakan pemerintah serta publik.
Pihak industri juga harus berkomitmen mengehentikan pembuangan bahan kimia
berbahaya dan beracun melalui produksi
Masalah diatas mencerminkan betapa memprihatinkannya kondisi
lingkungan di Indonesia. Pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat harus
menyadari bahwa pembangunan berkelanjutan memiliki batas-batas dan aturanaturan yang harus di sadari. Agar tidak terjadi ketimpangan yang akhirnya akan
merugikan lingkungan.