BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan 1. Penelitian dengan judul “Kritik Sosial Atas Penyalahgunaan Kekuasaan dalam - BAB II GURUH SUGITO PUTRA PBSI'15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan 1. Penelitian dengan judul “Kritik Sosial Atas Penyalahgunaan Kekuasaan dalam Kumpulan Puisi Humor Ki Ageng Miskin Karya Mustofa W. Hasyim oleh Shoni Asmoro Penelitian yang dilakukan oleh Shoni Asmoro (2004) dengan judul

  “Kritik

Sosial dalam Kumpulan Puisi Humor Ki Ageng Miskin Kar ya Mustofa W. Hasyim”

  menggunakan teori sosiologi sastra yang menfokuskan pada kumpulan puisi humor Ki Ageng Miskin karya Mustofa W. Hasyim. Shoni Asmoro membahas tentang penyalahgunaan kekuasaan dan bertujuan untuk mengetahui apakah sastra dalam fungsi sosialnya dapat menjadi cermin kehidupan masyarakat dengan cara mendeskripsikan kandungan kritik sosial yang terdapat dalam kumpulan puisi tersebut. Hasil dari penelitian tersebut adalah kandungan isi puisi yang berupa kritik sosial dan fakta tentang fenomena sosial mengenai bentuk-bentuk penyalahgunaan kekuasaan.

  Dalam penelitian ini, tentunya memiliki perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Shoni Asmoro. Perbedaan tersebut terletak pada objek dan sumber data yang diambil atau dipilih sebagai bahan untuk diteliti lebih lanjut dengan menggunakan teori sosiologi sastra. Objek penelitian yang diambil oleh Shoni Asmoro adalah kritik sosial atas penyalahgunaan kekuasaan dalam Kumpulan Puisi Humor Ki Ageng Miskin karya Mustofa W. Hasyim dan sumber data penelitian Shoni Asmoro adalah Kumpulan Puisi Humor Ki Ageng Miskin karya Mustofa W.

  Hasyim, sedangkan dalam penelitian ini objek yang diambil adalah kritik sosial pada

  12 lirik-lirik lagu Rhoma Irama dan sumber data penelitian adalah lirik-lirik lagu Rhoma Irama. Kelebihan dari penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi bahwa lirik lagu yang diciptakan pengarang tidak hanya untuk dinikmati pada umumnya, akan tetapi juga dapat memberikan gambaran tentang kenyataan sosial yang terdapat pada lirik lagu dan penelitian ini dapat membangun semangat peneliti lain untuk menganalisis lirik-lirik lagu yang diciptakan pengarang-pengarang lainnya.

2. Penelitian dengan judul “Kritik Sosial pada Lirik-lirik Lagu Punk dalam

  AlumPredator Karya Band Marjinal Kajian Sosiologi Sastra oleh Mufatikhun Nizam

  Dalam penelitian yang dilakukan oleh Mufatikhun Nizam (2009) yang berjudul

  “Kritik Sosial pada Lirik Lagu Punk Dalam Album Predator Karya Band

Marjinal Kajian Sosiologi Sastra” menggunakan teori sosiologi sastra, yang

  bertujuan untuk mendeskripsikan kritik sosial dalam lirik lagu punk karya band Marjinal dan menghubungkan kritik sosialnya dengan masyarakat. Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut yaitu metode deskriptif analisis. Ada 4 aspek dalam penelitian itu, yaitu kritik sosial terhadap pemerintah, kritik terhadap kekuasaan, kritik terhadap ekonomi, dan kritik terhadap HAM (Hak Azasi Manusia).

  Hasil dari penelitiam tersebut berupa, 1) kritik sosial yang terkandung dalam lirik lagu punk karya Majinal meliputi kritik terhadap pemerintah, kritik terhadap kekuasaan, kritik terhadap ekonomi, dan kritik terhadap pelanggaran HAM (hak asasi manusia), 2) hubungan kritik sosial dalam lirik lagu punk karya band Marjinal dengan masyarakat yaitu mengenai analisis yang menghubungkan antara kritik sosial yang terdapat pada lirik lagu punk dengan kehidupan masyarakat yang terjadi pada saat ini.

  Perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh Mufatikhun Nizam dengan penelitian ini terdapat pada objek dan sumber data penelitian yang dikaji menggunakan teori sosiologi sastra. Penelitian yang dilakukan Mufatikhul Nizam mengambil objek berupa kritik sosial pada lirik lagu punk dalam album predator karya band Marjinal dan sumber data yaitu lirik lagu punk dalam album predator karya band Marjinal. Penelitian ini mengambil objek yaitu kritik sosial pada lirik- lirik lagu Rhoma Irama dan sumber data berupa lirik-lirik lagu Rhoma Irama. Kelebihan dari pada penelitian ini dibandingkan dengan penelitian Mufatikhun Nizam yaitu membuktikan bahwa lirik lagu bernuansa dangdut, seperti yang diciptakan Rhoma Irama, mengandung nilai kritik sosial yang dapat diteliti sesuai dengan teori yang mengemukakan tentang teori-teori sosial, tidak hanya untuk dinikmati dan didengarkan saja.

3. Penelitian dengan judul “Realitas Objektif dan Kritik Sosial dalam Novel

  Kawin Kontrak Karya Saifur Rohman oleh Erwin Yulianti

  Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Erwin Yulianti (2004) yang berjudul

  “Realitas Objektif dan Kritik Sosial dalam Novel Kawin Kontrak Karya Saifur Rohman” juga menggunakan teori sosiologi sastra. Penelitian tersebut

  mendeskripsikan dan menganalisis realitas objektif dan kritik sosial yang ada dalam novel

  “Kawin Kontrak”, kemudian mengkaitkannya dengan teks untuk mengetahui

  strukturnya. Penelitian yang dilakukan Erwin Yulianti menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan sosiologi sastra. Masalah-masalah yang terkandung dalam penelitian tersebut adalah, (1) gambaran realitas objektif yang ada dalam novel

  

“Kawin Kontrak”, (2) gambaran kritik sosial yang disampaikan pengarang dalam novel

  “Kawin Kontrak”, dan (3) pengaruh latar belakang kehidupan pengarang

  dalam proses penciptaan novel

  “Kawin Kontrak”. Hasil dari penelitian yang

  dilakukan oleh Erwin Yulianti yaitu, 1) Realitas objektif dalam novel Kawin Kontrak karya Saifur Rohman ditunjukan melalui tema-tema dan peristiwa di dalam novel yang merupakan perwujudan dari gambaran atau fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat, 2) Kritik sosial dalam novel Kawin Kontrak karya Saifur Rohman ditujukan kepada pemerintah, hukum, masyarakat, dan pejabat yang asusila. Perwujudannya adalah melalui pelanggaran dan perampasan HAM, ketidakadilan hukum, hubungan masyarakat yang tidak stabil, dan rakusnya sistem kekuasaan.

  Penelitian yang dilakukan oleh Erwin Yulianti memiliki perbedaan dengan penelitian ini. Perbedaan tersebut terletak pada objek dan sumber data penelitian.

  Objek penelitian Erwin Yulianti yaitu realitas objektif dan kritik sosial dalam novel Kawin Kontrak karya Saifur Rohman, sedangkan sumber data penelitian tersebut berupa novel Kawin Kontrak karya Saifur Rohman. Kelebihan dari penelitian ini terfokus pada dua pokok rumusan masalah yang keduanya saling berkaitan. Penelitian ini juga memberikan pengetahuan tentang kritik sosial yang dilakukan pada sebuah lirik lagu, serta penelitian ini lebih membutuhkan ketelitian yang baik untuk memilih dan menemukan adanya kritik sosial yang terdapat pada lirik lagu. Jika tidak, maka yang akan terjadi adalah penelitian akan rancu atau tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh peneliti. Jadi, antara latar belakang masalah, teori yang digunakan, dan hasil penelitian harus seimbang, sehingga penelitian yang dilakukan dapat dikatakan berhasil.

B. Landasan Teoretis 1. Pengertian Lirik Lagu

  Menurut Teeuw (dalam Noor, 2010: 25) lirik adalah ungkapan ide atau perasaan pengarang. Dalam hal ini yang berbicara adalah “aku” lirik, yang biasa disebut penyair. Lirik inilah yang sekarang dikenal sebagai puisi atau sajak, yakni karya sastra yang berisi ekspresi (curahan) pribadi yang lebih mengutamakan cara mengekspresikannya. Lirik sifatnya subjektif, karena hanya mengemukakan dunia penyair. Demikian juga yang didefinisikan oleh Moeliono Ed., (2007: 678) lirik adalah karya sastra (puisi) yang berisi curahan perasaan pribadi; susunan kata sebuah nyanyian. Jadi dapat ditarik simpulan bahwa lirik merupakan suatu ungkapan atau ide dari pengarang atau penyair yang sekarang lebih dikenal dengan puisi atau sajak. Akan tetapi, lirik disini adalah lirik yang berhubungan dengan lagu. Sebelum menuju pada definisi lirik lagu, lebih baik jika kita ketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan lagu.

  Lagu merupakan unsur-unsur bunyi bahasa yang dilantunkan penyanyi berdasarkan tinggi rendahnya suara (not), sehingga bunyi bahasa itu lebih nikmat untuk didengar. Lagu pada dasarnya ungkapan perasaan, luapan hati dari penyanyi itu sendiri, oleh karena itu lagu (nyanyian) bisa membuat orang terhibur, terpesona, dan bahkan terlena apabila lirik-lirik lagu yang dilantunkan penyanyi mengena di hati pendengar (Aribawa, 2010: 7-8). Menurut Adiozh (2010: 24) lagu merupakan syair- syair yang dinyanyikan dengan irama yang menarik agar menjadi enak didengar. Lagu bisa menjadi media curahan hati seseorang yang membuat lagu tersebut. Sehingga lagu yang dinyanyikan bisa bernuansa sedih, senang, maupun jenaka. Dari beberapa penjelasan tersebut mengenai definisi lagu, maka dapat disimpulkan bahwa lagu adalah suara yang dikeluarkan dengan irama yang menarik, sehingga dapat dinikmati oleh pendengar. Lagu dapat berupa curahan perasaan senang, sedih, emosi, dan sebagainya.

  Sehubungan dengan itu, diketahui bahwa lirik lagu merupakan elemen penting dalam komposisi musik, sebagai sarana untuk menyampaikan makna dan

  Lirik lagu dalam musik yang sebagaimana bahasa, pesan kepada pendengar (khalayak).

dapat menjadi sarana atau media komunikasi untuk mencerminkan realitas sosial yang

beredar dalam masyarakat. Lirik lagu dapat pula sebagai sarana untuk sosialisasi dan

pelestarian terhadap suatu sikap atau nilai. Oleh karena itu, ketika sebuah lirik lagu

diaransir dan diperdengarkan kepada khalayak juga mempunyai tanggung jawab yang

besar atas tersebar luasnya sebuah keyakinan, nilai-nilai, bahkan prasangka tertentu

(Lestiana, 2012: 2-3).

  Sebuah lagu yang menggabungkan lirik dan musik yang harmonis berpotensi menyentuh nalar dan emosi manusia dalam memahami makna lagu.

  Lirik itu sendiri terbangun dari bahasa yang serupa puisi sebab tersusun dari beberapa bait yang berisi gagasan dan perasaan yang ingin disampaikan penciptanya.

  Bahasa yang digunakan dalam aktualisasi sebuah karya sastra sarat akan ide dan pengalaman manusia, sehingga dapat dikatakan kemunculan dan perkembangan bahasa di dalam sebuah karya sastra merupakan suatu pertanda kemunculan budaya baru. Demikian pula

  „bahasa‟ di dalam sebuah lirik lagu, yang berpretensi menarik perhatian pendengarnya melalui pesan dan ide. Lirik berbaris prosa merupakan sarana ekspresi seseorang dari alam batinnya. Sebuah perwujudan ekspresi pengarang lewat puisi yang selanjutnya difasilitasi melalui irama musik yang bertujuan memberi kesan dan suasana emosional untuk mempengaruhi perasaan/pemikiran penikmat lagu.

2. Pengertian Puisi

  Pada dasarnya hakikat puisi adalah konsentrasi dan intensifikasi. Puisi dibangun dari unsur-unsur tertentu yang selalu dipergunakan oleh penyair dengan sadar atau tidak. Dapat atau tidak struktur yang dibangun itu mengantarkan tema atau amanat mempunyai syarat-syarat tertentu pula untuk dapat kesan kepada pembaca atau pendengar. Dan, kesan keindahan ini ditentukan oleh dapat atau tidaknya struktur dan tema atau amanat itu bahu-mambahu membangun kesan tersebut (Suyitno, 2009: 29-30). Maksudnya, puisi mempunyai unsur, syarat, dan kesan, dan bagaimanakah seorang penyair dapat menyampaikan kesemuanya itu kepada pembaca atau pendengar, sehingga dapat tersampaikan dengan baik. Menurut Nurhadi dkk., (2004: 20) puisi merupakan ungkapan pikiran dan perasaan hasil perenungan atau refleksi penulis. Pengungkapan perasaan tersebut menggunakan bahasa yang indah dan padat. Keindahan bahasa mencakup kemerduan bunyinya, ketetapan pemilihan katanya, dan keserasian susunan larik serta baitnya.

  Menurut Kurniawan (2012a: 25) puisi adalah ungkapan perasaan atau ekspresi perasaan yang dituliskan dengan bahasa yang indah. Perrine dalam Siswantoro (2010: 23) menyatakan bahwa puisi dapat didefinisikan sebagai sejenis yang mengatakan lebih banyak dan lebih intensif dari pada apa yang dikatakan oleh bahasa harian. Sedangkan Noor (2010: 25) menyatakan bahwa secara konvensional puisi biasa diartikan sebagai tuturan yang terikat (terikat oleh baris, bait, rima, dan sebagainya). Beberapa ahli sastra berbeda pendapat mengenai pengertian puisi, tetapi intinya hampir sama bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam puisi itu berupa emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan panca indra, sususan kata-kata kiasan, kepadatan, dan sebagainya.

  Selain itu, puisi juga mempunyai karekteristik, sebagaimana yang diungkapkan oleh Kurniawan (2012a: 26-39) pengertian puisi memang harus berpijak dari pemahaman sendiri tentng puisi, tetapi memahami ciri dan karakter puisi penting untuk dilakukan sebagai dasar untuk menulis puisi. Karakter ini berkaitan dengan ciri puisi secara universal, yang pastinya dimiliki baik secara keseluruhan maupun bagian, untuk karya yang disebut puisi. Karena bersifat universal maka pemahaman karakter puisi ini selalu diolah dan dimodifikasi oleh penulisnya sendiri untuk menghasilkan aspek estetis yang indah. Oleh karena itu, pemahaman awal tentang karakter puisi menjadi syarat utama sebelum menulis puisi. Syarat tersebut antara lain sebagai berikut:

  a.

   Diksi

  Diksi adalah pilihan kata. Media pengungkapan puisi sebagai pengalaman estetis kita adalah dengan kata-kata. Memilih, memilah, dan menentukan kata yang akan digunakan untuk mengungkapkan perasaan adalah diksi. Dalam memilih, memilah, dan menentukan diksi harus secara selaktif dan cermat. Pemilihan diksi yang baik sangat menentukan keindahan dan baik buruknya suatu karya sastra (puisi). Diksi atau pilihan yang digunakan dalam sebuah karya sastra tentu berbeda dengan kata-kata yang biasa digunakan dalam bahasa sehari-hari. Kata atau diksi yang digunakan dalam karya sastra memiliki kelebihan, baik arti maupun makna (Kurniawan, 2012a: 27).

  b.

   Kalimat

  Untuk aspek diksi, yang bisa diidentifikasi adalah ketidakbiasaan diksi yang digunakan dalam bahasa puisi. Namun, ketidakfamiliaran diksi ini terlihat dari aspek sintaksisnya, baik dalm frasa maupun klausa. Ciri khas dari aspek kalimat puisi adalah ritmik-semantik, yaitu kalimat dalam puisi selalu menekankan pada aspek -

  

ritmik (bunyi) dan semantik (makna). Karena penekanan dua aspek ini maka kalimat

  dalam puisi biasanya tidak logis dan tidak sistematis sebagaimana dalam kalimat pada bahasa sehari-hari dan formal. Dalam tradisi formalisme inilah yang disebut bahwa kalimat dalam puisi bersifat defamiliar (tidak akrab) sebagaimana bahasa sehari-hari (Kurniawan, 2012a: 31).

  c.

   Tipografi

  Tipografi ini berkaitan dengan bentuk penulisan puisi yang menyangkut pembaitan-enjambemen, penggunaan huruf dan tanda baca, serta bentuk bait. Harus diakui, secara konvensional, yang membedakan puisi dan prosa sebagai genre sastra adalah pada aspek tipografi, yaitu puisi dalam bentuk bait, sedangkan prosa dalam bentuk narasi. Dengan demikian, penyiasatan penulisan tipografi menjadi penting sebagai media atau cara untuk mengungkapkan makna. Dasar pemikiran penggalan kalimat atau ungkapan yang perlu dilakukan adalah atas dasar makna yang ingin disampaikannya, yang bisa jadi menurut pembacanya tidak diindahkan, karena tidak berpikir sampai sejauh itu. Namun, bagi penyair, hal itu juga penting sebagai media untuk mengekspresikan diri. Sebagai cara untuk mengreasikan puisi agar lebih estetis dan memiliki makna yang mendalam (Kurniawan, 2012a: 36).

  Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa puisi merupakan curahan atau ungkapan perasaan seseorang yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Curahan tersebut dapat berupa emosi, imanjinasi, pemikiran, dan lain- lain, terikat oleh unsur-unsur yang membentukanya (baris, bait, irama, rima, dan sebagainya). Bahasa yang dipakai berbeda dengan pemakaian bahasa sehari-sehari. Beberapa unsur tersebut sangat menentukan keindahan suatu puisi yang diciptakan dan dibaca oleh pembaca. Suatu puisi juga akan bermakna dan mempunyai kesan apik ketika puisi yang dibuat atau diciptakan sudah memenuhi unsur-unsur yang tertera di atas.

3. Hubungan Lirik Lagu dengan Puisi

  Keterkaitan antara lirik lagu dengan puisi tidaklah lepas dari definisi lirik lagu dan puisi. Seperti yang telah dipaparkan di atas, telah kita ketahui bahwa lirik merupakan suatu ungkapan atau ide dari pengarang atau penyair yang sekarang lebih dikenal dengan puisi atau sajak. Sedangkan puisi itu sendiri merupakan curahan atau ungkapan perasaan seseorang yang dituangkan dalam bentuk tulisan, curahan tersebut dapat berupa emosi, imanjinasi, pemikiran, dan lain-lain, terikat oleh unsur- unsur yang membentukanya (baris, bait, irama, rima, dan sebagainya), dan bahasa yang dipakai berbeda dengan pemakaian bahasa sehari-sehari. Lirik bersifat subjektif, karena hanya mengemukakan dunia penyair dan berisi ekspresi (curahan) perasaan pribadi yang lebih mengutamakan cara mengekspresikannya. Begitu juga dengan puisi, ia (puisi) juga merupakan ekspresi yang kreatif (menciptakan curahan jiwa) (Noor, 2010: 24). Menurut Suyitno (2009: 78) sesungguhnya puisi merupakan struktur norma-norma. Mengolah bahasa dalam berpuisi adalah semacam mengolah bahasa sehingga bahasa itu bersih dari pengertian-pengertian yang terdapat dalam fungsi linguistik sehari-hari. Hal tersebut mengandung pengertian bahwa bahasa yang diangkat kedalam puisi adalah bahasa lain dibanding bahasa yang terdapat dalam pola komunikasi sehari-hari. Dalam sebuah lirik lagu, bahasa yang digunakan tidak jauh berbeda dengan bahasa puisi. Bahasa pada lirik lagu memiliki kaidah-kaidah puisi yaitu terdapat unsur emotif melalui bunyi dan kata. Selain itu sebagaimana penulisan puisi, penulisan lirik lagu juga bersifat ringkas dan padat.

  Jadi, dapat disimpulkan bahwa lirik lagu pada intinya sama dengan puisi. Pada dasarnya keduanya mempunyai ciri yang sama yaitu keduanya terdapat struktur bentuk dan makna. Lirik lagu terbentuk dari bahasa yang dihasilkan dari komunikasi antara pencipta lagu (pengarang/penyair) dengan masyarakat penikmat lagu. Sebagai wacana tulis, karena disampaikan dengan media tulis dalam sampul albumnya, dapat juga sebagai wacana lisan melalui kaset. Selain struktur bentuk dan makna, lirik lagu dan puisi juga memiliki persamaan yang lain, yaitu unsur bunyi yang merupakan hasil penataan kata dalam struktur kalimat, rima atau bunyi yang sama dan diulang, baik dalam satuan kalimat maupun pada kalimat-kalimat berikutnya yang disebut asonansi. Asonansi atau keruntutan vokal yang ditandai oleh persamaan bunyi pada satu kalimat akan menghasilkan sebuah irama.

4. Sosiologi Sastra

  Sosiologi sering didefinisikan sebagai ilmu yang mengkaji tentang masyarakat atau sosial (hubungan antar masyarakat), proses sosial yang terjadi didalam masyarakat, dan perkembangan masyarakat itu sendiri. Sosiologi mempunyai dua akar kata: socius (dari bahasa Latin) yang berarti “teman” dan logos

  (dari bahasa Yunani) yang berarti “ilmu tantang”. Secara harfiyah sosiologi berarti “ilmu tentang pertemanan”. Dari sudut pandang ini, sosiologi bisa didefinisikan sebagai “studi tentang dasar-dasar keanggotaan sosial (masyarakat)”. Secara lebih jelasnya, sosiologi adalah analisis mengenai mengenai struktur hubungan sosial yang terbentuk melalui interaksi sosial (Abercrombie dalam Kurniawan, 2010b: 4).

  Sosiologi merupakan telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat; telaah tentang lembaga dan proses sosial. Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana mayarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada (Damono, 2002: 8). Menurut Kurniawan (2012b: 4) menjelaskan definisi sosiologi sastra sebagai berikut: Sosiologi adalah analisis sistematis tentang struktur tingkah laku sosial.

  Dalam definisi ini, terdapat empat elemen penting yang menjadi fokus sosiologi: (1) tingkah laku yang dikaji adalah karakter sosial, bukan individual, tingkah laku yang ditujukan untuk orang lain (bukan untuk dirinya sendiri) sehingga mempunyai konsekuensi bagi orang lain, atau merupakan konsekuensi dari tingkah laku orang lain ada hubungan timbal balik; (2) tingkah laku sosial yang dipelajari sosiologi adalah struktur, yaitu pola atau regulasi tertentu yang berusaha untuk memahami elemen-elemen tingkah laku sosial; (3) penjelasan sosiologi bersifat analitis, yaitu menjelaskan tingkah laku manusia berdasarkan prinsip-prinsip metodologi penelitian tertentu, bukan berdasarkan pada konsensus-konsensus khusus; dan (4) sosiologi bersifat sistematis, yaitu memahami tingkah laku sosial yang menempatkan dirinya sebagai disiplin ilmu.

  Sebagai sebuah usaha pemahaman yang objektif-empiris, sosiologi sebenarnya mempelajari manusia sebagaimana yang ditemukan dan dialami secara langsung dalam kenyataan keseharian kehidupan (Faruk, 2010: 17). Kesemuanya itu dapat disimpulkan bahwa sosiologi merupakan kajian tentang kemasyarakatan atau hubungan antar masyarakat. Di dalamnya termasuk proses sosial dan perkembangan masyarakat itu sendiri, baik dari segi politik, ekonomi, budaya, agama maupun yang lainnya, dan sosiologi juga dapat dijadikan sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri.

  Kemudian sastra, sebenarnya antara sosiologi dengan sastra sama-sama berurusan dengan manusia atau masyarakat, dan sastra itu lahir dari masyarakat itu sendiri, untuk dipahami, dinikmati, dan dimanfaatkan pula oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat oleh status sosial tertentu. Menurut Kurniawan (2012b: 1) sastra merupakan cabang seni, yaitu hasil cipta dan ekspresi manusia yang estetis (indah). Sedangkan menurut Damono (2002: 9) seperti halnya sosiologi, sastra berurusan dengan manusia dalam masyarakat: usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usaha untuk merubah masyarakat itu.

  Sastra merupakan hasil ciptaan manusia untuk dinikmati, dihayati, dipahami, dan dimanfaatkan kembali oleh masyarakat. Dalam arti, sastra hidup dan lahir oleh manusia, kemudian dikembalikan kembali kepada manusia atau masyarakat tersebut untuk dinilai dan dinikmati. Sosiologi dan sastra mempunyai kesamaan, yaitu sama- sama berbicara masalah yang ada di dalam masyarakat, akan tetapi antara keduanya juga mempunyai perbedaan, yaitu bahwa sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif, sedangkan sastra menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya (Damono, 2002: 9-10). Tanpa adanya sosiologi, maka pemahaman atau pengertian kita terhadap sastra tidak akan maksimal. Dari situlah, sosiologi dan sastra menyatu dan saling melengkapi, yang kemudian menjadi sebuah pendekatan yang digunakan untuk menganalisis, mendeskripsikan, dan mengkaitkan antara karya sastra dengan kehidupan nyata manusia, baik dalam bidang politik, budaya, ekonomi, dan lain-lain (Damono, 2002: 10).

  Pada prinsipnya, sosiosastra (sosiologi sastra) merupakan sebuah pendekatan terhadap dunia sastra yang memanfaatkan sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu yang berkembang sejak abad ke-19 (Yudiono, 2009: 58). Dengan demikian, objek kajian utama sosiologi sastra adalah sastra yang berupa karya sastra, sedangkan sosiologi berguna untuk memahami gejala sosial yang ada dalam sastra, baik penulis, fakta sastra, maupun pembaca dalam relasi dialektiknya dengan kondisi masyarakat yang menghidupi penulis, masyarakat yang digambarkan, dan pembaca sebagai individu kolektif yang menghidupi masyarakat. Jadi, pendekatan sosiologi sastra merupakan pendekatan yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan yang masing-masing didasarkan pada sikap dan pandangan teoretis tertentu.

5. Kritik Sosial dalam Karya Sastra

  Proses yang dilakukan oleh pengarang dalam menciptakan karyanya, pengarang pasti mempunyai tujuan yang dilakukan dengan cara menyelipkan pesan- pesan yang terkandung dalam karya tersebut. Pesan-pesan tersebut dapat berupa pesan moral, pesan sosial, dan lain-lain, yang hendak disampaikan pada pembaca.

  Untuk menyelipkan pesan tersebut, pengarang dapat menggunakan cara, yaitu dengan menghadirkan kritik sosial dalam karyanya. Kritik sosial yang ada pada sebuah karya sastra menjadi peran yang penting ketika didalam melahirkan karya sastra pengarang mencoba untuk mancapai sebuah tujuan atau misi. Pengarang mampu menyampaikan amanat atau pesan tersebut dengan baik, jikalau bahasa dan daya pikir yang kuat sudah diolahnya sedemikian rupa.

  Upaya yang dilakukan oleh seorang pengarang untuk memberikan suatu tanggapan terhadap permasalahan-permasalahan yang ia lihat dalam masyarakat itulah yang akan membentuk suatu kritik sosial dalam masyarakat. Proses pemberian tanggapan tersebut disertai dengan adanya pertimbangan dan pemikiran oleh pengarang. Dari yang kita pahami bahwa kegiatan mengkritik berarti memberikan pertimbangan dan penilaian baik buruknya suatu karya sastra, baik dari segi struktur karya sastra, pemakaian bahasa, maupun pesan-pesan yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Sedangkan sosial itu sendiri adalah hubungan antar masyarakat (baik proses sosial, pertumbuhan masyarakat, maupun pribadi masyarakat itu sendiri), dan kaitannya dengan itu, sosial masyarakat dapat menyangkut berbagai bidang, yaitu ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya. Kritik sosial berarti memberikan tanggapan atau penilaian terhadap masyarakat tersebut. Akan tetapi, kritik sosial disini dilakukan terhadap karya sastra. Jadi, bagaimanakah kehidupan sosial yang terkandung di dalam sebuah karya sastra, yang nantinya akan dilakukan kritikan atau pertimbangan atau penilaian.

  Karya sastra sebagai karya seni memerlukan pertimbangan, memerlukan penilaian akan “seninya”. Sampai sejauh mana nilai seni suatu karya sastra; ataupun mengapa suatu karya sastra dikatakan mempunyai nilai seni; atau dengan kata lain mengapa suatu karya sastra ini “indah”, sedang karya sastra yang lain tidak (Pradopo, 2007: 30). Dari pendapat tersebut, kita tahu bahwa betapa pentingnya suatu pertimbangan atau penilaian yang harus dilakukan terhadap karya sastra. Kritik sosial dalam karya sastra merupakan kritik yang dilakukan terhadap karya sastra (hasil ciptaan seorang/pengarang) yang menitikberatkan pada aspek sosial masyarakat pada karya sastra tersebut, sehingga memberikan penilaian atas norma-norma yang berlaku. Seperti halnya yang diungkapkan Pradopo (2007: 62) untuk dapat menilai karya sastra haruslah diketahui norma-norma karya sastra. Sebab itu, tidak dapat kita meninggalkan pekerjaan mengurai atau menganalisis karya sastra.

  Setelah itu, kita hubungkan dengan penilaian kepada tiap-tiap lapis norma karya sastra dan kita kumpulkan kembali, yaitu memberi nilai secara keseluruhan kepada karya sastra itu berdasarkan nilai-nilai yang terdapat pada lapis-lapis norma itu yang berkaitan secara erat. Berbicara masalah sosial dan sastra, berarti sama saja berbicara tentang kebuyaaan. Pasalnya, sastra merupakan bagian dari kebudayaan. Sastra itu sendiri adalah pencerminan masyarakat yang memiliki hubungan dengan kebudayaan yang amatlah erat. Seperti yang dinyatakan Noor (2010: 61) bahwa hubungan karya sastra dengan sistem sosial budaya sangat erat. Sebagian dari budaya, karya sastra mempunyai kaitan dengan segi budaya lain, seperti bahasa, agama, kesenian, sistem sosial yang meliputi sistem nilai dalam masyarakat, tradisi, pola pikir, dan sebagainya.

  Hal itu terlihat jelas jika memperhatikan fungsi sosial sastra dalam hubungannya dengan sistem sosial budaya. Raymond Williams dalam Susanto (2012: 185) mengembangkan bentuk-bentuk kritik sosial yang bersifat radikal terhadap berbagai bidang, seperti kekuasaan, politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Bentuk kritik sosial tersebut merupakan suatu tanggapan atau penilaian baik atau buruknya fenomena-fenomena yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Dalam kehidupan sosial terdapat ilmu masyarakat atau ilmu kemasyarakat yang mempelajari manusia sebagai golongan atau anggota masyarakat (tidak sebagai individu yang terlepas dari golongan dan masyarakat), ikatan adat, kepercayaan atau agama, kebiasaan, tingkah laku, serta kebudayaan yang meliputi segala segi kehidupan.

  Jadi, berdasarkan beberapa pendapat di atas, kritik sosial dalam karya sastra tidak lain menilai karya sastra dari segi sosial. Di dalamnya menyangkut sastra, masyarakat, dan kebudayaan. Karena, antara sastra, masyarakat, dan kebudayaan merupakan suatu jalinan yang kuat, antara yang satu dengan yang lainnya saling berpengaruh, membutuhkan, dan saling menentukan dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Dalam hal ini, bentuk kritik sosial dalam karya sastra itu sendiri juga dapat berupa kritik terhadap politik dan pemerintahan, perilaku masyarakat, pelanggaran HAM, modernisasi atau budaya, dan sebagainya, yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Berikut penjelasan mengenai ragam kritik sosial dalam karya sastra.

a. Kritik Sosial terhadap Persoalan Pemerintah

  Dalam arti luas, pemerintah adalah segala bentuk kegiatan atau aktifitas penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh organ-organ atau alat-alat perlengkapan negara yang memiliki tugas dan fungsi sebagaimana digariskan oleh konstitusi. Sedangkan pemerintah dalam arti sempit tidak lain adalah aktifitas atau kegiatan yang diselenggarakan oleh organ pemegang kekuasaan eksekutif sesuai dengan tugas dan fungsinya. Dalam hal ini dilakukan oleh presiden atau pun perdana menteri sampai dengan level atau tingkat birokrasi yang paling rendah (Handoyo, 2009: 119).

  Dalam suatu pemerintahan pastinya memiliki kekurangan-kekurangan yang memaksa masyarakat atau kritikus-kritikus untuk menuangkan kritikannya dalam berbagai bentuk, baik lisan maupun tulisan. Kritik dari masyarakat berfungsi sebagai kontrol sosial terhadap pemerintah untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Ketika pemerintah mampu menjalankan tugas sesuai dengan fungsinya maka kehidupan dalam negara ini akan berjalan kondusif. Oleh karena itu pemerintah harus memperbaiki sistem-sistem yang belum sepenuhnya berpihak kepada rakyat. Salah satunya adalah masalah korupsi. Sampai saat ini pemerintah masih belum juga serius dalam menangani masalah korupsi yang dilakukan oleh para pejabat atau wakil rakyat. Hal tersebut juga salah satu kesalahan yang sangat fatal bagi perkembangan sebuah negara. Dari dahulu kala sampai sekarang masih ada perbuatan yang sangat merugikan harga diri pemerintah di mata masyarakat, bahkan di mata dunia, karena hanya mementingkan kepentingan diri sendiri dari pada kepentingan bersama.

  Upaya pemberantasan korupsi pada umumnya mengalami berbagai kendala, antara lain: a) belum memadainya ketentuan hukum yang diperlukan untuk menjerat para pelaku korupsi, b) tidak adanya keberanian, ketegasan, dan kamauan politik yang kuat dari pemerintah untuk berpegang teguh pada prinsip supremasi hukum dalam pemberantasan korupsi, c) tidak adanya kesungguhan dan minimnya profesionalisme aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan penasehat hukum) dalam memberantas korupsi. Banyak diantara mereka yang terlibat dalam praktik suap-menyuap untuk meloloskan para pelaku korupsi kelas kakap (Suteng, dkk., 2007: 58-60). Maka dari itu, dapat kita pahami bahwa perlu adanya kritikan dari seluruh masyarakat, guna untuk membantu pemerintah dalam mengoreksi diri terhadap kekurangan-kekurangan yang masih dimiliki oleh pemerintah Indonesia dalam menjalankan amanah dari masyarakat. Dari pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pemeritah merupakan susunan tata negara yang memegang peranan penting bagi pertumbuhan atau perkembangan suatu negara dalam berbagai bidang dan menetapkan, menyatakan, serta menjalankan kemauan individu-individu yang tergabung dalam organisasi politik.

b. Kritik Sosial terhadap Persoalan Masyarakat

  Perilaku masyarakat merupakan tanggapan atau reaksi masyarakat terhadap rangsangan lingkungan tertentu yang dapat mempengaruhi kebudayaan yang mereka anggap sama, baik secara individu maupun secara kelompok. Bentuk perilaku tersebut dapat berupa tindakan baik maupun buruk. Perilaku masyarakat yang buruk

  Media massa dapat disebabkan oleh berbagai sumber, sebagai contoh media massa.

sejak lama tidak diragukan lagi kekuatannya dalam mempengaruhi audiencenya.

Jahatnya kekuatan itu cenderung membabi buta, tidak mengenal laki-laki dan wanita, tua

dan muda, besar dan kecil, bila mereka tidak mampu menyaring informasi yang

diperoleh, maka dengan mudah terhipnotis oleh isi media. Manusia juga merupakan

makhluk peniru yang dapat dengan mudah menelan bulat-bulat isi media, tidak peduli

baik atau tidaknya pesan yang disampaikan melalui media tersebut bagi dirinya

(Lestiana, 2012: 5).

  Sebagai contoh perilaku masyarakat Indonesia yang sampai saat ini masih saja terjadi ditengah masyarakat, yaitu aksi pornografi yang dilakukan oleh berbagai kalangan, terutama remaja. Pengaruh media dan televisi pun sering kali diimitasi oleh

  

remaja dalam perilakunya sehari-hari. Misalnya saja remaja yang menonton film dewasa

yang berkebudayaan barat, melalui observational learning, mereka melihat perilaku yang

mengandung unsur pornografi itu menyenangkan dan dapat diterima lingkungan. Hal ini

pun diimitasi oleh mereka, terkadang tanpa memikirkan adanya perbedaan kebudayaan,

nilai serta norma-norma dalam lingkungan masyarakat yang berbeda. Pada kenyataan di

jaman yang modern ini kehidupan masyarakat sudah semakin kurang terkendali karena

pengaruh dari budaya asing (westernisasi) yang kerap mengeksploitasi pornografi, hal ini

tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa kita dan norma ketimuran. Pornografi

umumnya dikaitkan dengan tulisan dan penggambaran, karena cara seperti itulah yang

  

paling banyak ditemukan dalam mengekspos masalah seksualitas (Lestiana, 2012: 6).

  Dari hal inilah Rhoma Irama mencoba untuk memberikan arahan ataupun kritikan yang diharapkan mampu merubah sikap atau perilaku masyarakat yang tidak baik tersebut.

c. Kritik Sosial terhadap persoalan HAM (Hak Azasi Manusia)

  Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang melekat dan dimiliki setiap manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Rumusan “sejak lahir” sekarang ini banyak dipertanyakan, sebab bayi yang ada dalam kandungan pun sudah memiliki hak untuk hidup. Oleh karena itu, rumusan yang lebih sesuai adalah hak dasar yang melekat pada manusia sejak ia hidup. Kesadaran akan hak asasi manusia didasarkan atas pengakuan bahwa semua manusia sebagai mahluk Tuhan memiliki derajat dan martabat yang sama. Dengan pengakuan atas prinsip dasar tersebut, setiap manusia memiliki hak dasar yang disebut hak asasi manusia. Jadi, kesadaran akan adanya HAM tumbuh dari pengakuan manusia itu sendiri bahwa mereka adalah sama dan sederajat (Winarno, 2010: 129).

  Di negara kita ini (Indonesia) masyarakat masih sering sekali melakukan dan mengalami atau menjadi korban pelanggaran HAM. Kasus-kasus pelanggaran HAM tidak hanya terjadi pada dewasa sekarang ini saja, akan tetapi sudah terjadi berpuluh- puluh tahun silam. Sebagai contoh yang sampai sekarang masih sering terjadi adalah kasus penganiayaan tenaga kerja Indonesia (TKI). Lemahnya perlindungan hukum dari pemerintah dan kurang siapnya tenaga kerja yang akan bekerja di luar negeri menjadi penyebab terjadinya pelanggaran HAM. Selain itu, pada masa pemerintahan presiden Soeharto, masyarakat tidak diperbolehkan mengemukakan pendapatnya untuk menentang peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Hal tersebut juga dapat dikatakan sebagai pelanggaran HAM untuk bebas berpendapat.

  Terdapat pasal yang menjelaskan tentang kebebasan berpendapat, yaitu pasal 19 dalam piagam PBB tentang hak asasi manusia yang berbunyi “setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini, termasuk kebebasan mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat- pendapat dengan cara apapun juga dan dengan tidak memandang batas- batas” (Suradji, dkk., 2000: 40).

  Selain itu, tindakan-tindakan yang dikategorikan tidak berprikemanusiaan pun masih terjadi, sebagai contoh pembunuhan yang dilakukan dengan cara otopsi, perbudakan yang mengakibatkan kematian, penyiksaan sebelum dibunuh, dan masih banyak lagi yang lainnya. Perbuatan seperti ini sangat melanggar pasal-pasal yang berhubungan dengan HAM, antara lain pasal 4 dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 39 tahun 1999 tentang HAM yang berbunyi “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak-hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”, pasal 28G ayat (2) dalam UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik di negara lain” (Taniredja, 2012: 87).

  Penjelasan dari undang-undang tersebut sangat jelas sekali jika perbuatan dan perilaku yang dilakukan oleh manusia dapat merugikan dan melanggar hukum atau undang-undang tentang hak asasi manusia akan mendapatkan hukuman yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

d. Kritik Sosial di bidang Modernisasi (Budaya)

  Modernisasi merupakan persoalan yang menarik pada dewasa ini dan juga merupakan gejala umum di dunia ini. Kebanyakan masyarakat di dunia dewasa ini terkait pada jaringan modernisasi, baik yang baru memasukinya, maupun yang sedang meneruskan tradisi modernisasi. Secara historis, modernisasi merupakan suatu proses perubahan menuju pada tipe sistem-sistem sosial, ekonomi, dan politik yang telah berkembang di Eropa Barat dan Amerika Utara pada abad ke-17 sampai abad 19. Sistem sosial yang baru ini kemudian menyebar ke negara-negara Eropa lainnya serta ke negara-negara Amerika Selatan, Asia, Afrika pada abad 19 dan 20 ini. Modernisasi merupakan suatu bentuk perubahan sosial. Biasanya merupakan perubahan sosial yang terarah dan didasarkan pada perencanaan yang biasa dinamakan dengan social planning. Modernisasi merupakan suatu persoalan yang harus dihadapi masyarakat yang bersangkutan, karena prosesnya meliputi bidang- bidang yang sangat luas, menyangkut proses disorganisasi, problema-problema sosial, konflik antar-kelompok, hambatan terhadap perubahan, dan sebagainya. Pada proses modernisasi tersebut juga membutuhkan waktu yang lama, karena melingkupi berbagai bidang yang sudah disebutkan (Soekanto, 2009: 302-304).

  Pada proses tersebut, manusia berusaha untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan yang baru. Sebagian besar, modernisasi ini datang dari dunia barat yang semakin hari semakin maju, jadi mau tidak mau masyarakat harus bisa menyesuaikannya. Jika masyarakat tidak dapat mensikapi modernisasi dengan baik, maka akan terjadi goncangan sosial-budaya, ketimpangan sosial-budaya, kehilangan unsur sosial-budaya, ketidakpastian norma budaya, dan sebagainya. Goncangan dalam sistem sosial dan budaya suatu masyarakat dapat terjadi karena masyarakat menerima perbedaan itu sebagai bentuk terobosan atau penyerangan terhadap nilai- nilai yang telah lama dipegang teguh dan mengakar dalam budaya masyarakat itu. Sebaliknya, apabila masyarakat siap untuk menerima perbedaan nilai baru yang masuk dari luar, maka masyarakat dapat meredam goncangan yang ada dan merespon secara positif terhadap nilai baru sebagai bentuk penambahan wawasan baru dalam kehidupan masyarakat itu (Tim Abdi Guru, 2007: 227).

  Sebagai akibat adanya modernisasi yang berpengaruh terhadap perubahan sosial-budaya, timbulah berbagai masalah-masalah pada perilaku masyarakat.

  Sebagai contoh tindak kriminalitas, kenakalan remaja, pelacuran (prostitusi), dan sebagainya. Seseorang atau kelompok masyarakat dapat berperilaku jahat karena pengaruh interaksinya dengan orang-orang yang cenderung melawan norma-norma yang ada. Umumnya, perilaku demikian dipelajari melalui alat-alat komunikasi atau media massa yang dapat memberikan pengaruh-pengaruh tertentu, seperti buku, surat kabar, majalah, film, siaran TV, radio, dan sebagainya. Media-media tersebut sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan perilaku seseorang (Tim Abdi Guru, 2007: 189).

  Perilaku lain akibat adanya perubahan sosial-budaya akibat modernisasi yaitu kenalan remaja. Kenalakan remaja saat ini sudah semakin menjalar keseluruh pelosok di berbagai daerah di Indonesia. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya kasih sayang dan bimbingan dari orang tua mereka, baik pada keluarga yang mampu maupun yang tidak mampu. Secara sosiologis, terjadinya kenakalan remaja dapat dikarenakan oleh berbagai hal, antara lain kurangnya pemberian nilai dan kebenaran oleh orang tua, timbulnya organisasi-organisasi nonformal yang berperilaku menyimpang sehingga tidak disukai masyarakat, dan timbulnya usaha-usaha untuk mengubah keadaan yang disesuaikan dengan trend. Selanjutnya pelacuran (prostitusi) dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri pada umum untuk melakukan tindakan seksual dengan mendapat upah. Prostitusi merupakan kegiatan yang melanggar susila yang sampai sekarang semakin berkembang hampir di semua daerah terutama di kota-kota besar (Tim Abdi Guru, 2007: 190).

6. Kenyataan Historis

  Seperti yang kita pahami bahwa karya sastra merupakan hasil perenungan pikiran seseorang. Perenungan tersebut dipengaruhi adanya fenomena-fenomena yang terjadi secara nyata atau dapat juga disebut sebagai kenyataan historis. Dalam sebuah penelitian kritik sosial pada lirik lagu ini, kenyataan historis digunakan sebagai pembuktian yang relevan dengan lirik lagu yang diciptakan. Oleh karena itu, tidak terjadi kesalahpahaman atau ketidakcocokan antara lirik lagu dengan kenyataan yang terjadi. Kenyataan historis tersebut antara lain adalah sebagai berikut.

a. Berakhirnya Orde Baru dan Lahirnya Orde Reformasi

  Pemerintah orde baru berusaha menjalankan pemerintahan dengan berpedoman pada pancasila dan UUD 1945. Namun demikian, dalam praktiknya atau pelaksanaannya banyak tindakan-tindakan anggota pemerintah yang mengingkari kedua sumber pedoman tersebut. Dapat dilihat dari penyelenggaraan pemilihan umum yang dianggap tidak jujur dan tidak adil. Pemanfaatan P4 (Pemasyarakatan Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila) untuk mempertahankan kekuasaan dan penyelenggaraan demokrasi yang ditujukan untuk kepentingan golongan tertentu.

  Dalam pelaksanaan politik luar negeri, Indonesia terganjal dalam masalah integrasi Timor Timur (Bachri, dkk., 2009: 46). Pemerintah orde baru pada waktu itu memang dinilai sangat otoriter. Masyarakat dilarang untuk menentang kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, khususnya dalam hal berpendapat. Hal itu tidak lain adalah aturan main politik yang dilancarkan oleh presiden Soeharto, yaitu sistem pemberian hadiah bagi yang pro terhadap Soeharto dan hukuman bagi yang kontra atau menentang kekuasaannya.

  Pemerintah orde baru telah mencoba untuk membuka hubungan politik dan ekonomi dengan negara-negara barat dan Jepang (kapitalis). Sebaliknya, hubungan dengan negara-negara sosialis-komunis mengalami kemunduran. Indonesia semakin terarah untuk menjadi bagian dari pengaruh blok barat. Aliran dana asing semakin banyak ke Indonesia. Kebijakan ekonomi yang menyangkut devisa dan perdagangan luar negeri telah menyebabkan pertumbuhan ekonomi semakin meningkat. Namun, diawali dengan krisis moneter internasional tahun 1997, pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin merosot. Memasuki tahun 1998 pengaruh krisis moneter merambah ke sektor ekonomi lain. Banyak perusahaan bangkrut, pemutusan hubungan kerja banyak menimbulkan pengangguran, daya beli merosot, kualitas penduduk merosot (Bachri, dkk., 2009: 55). Dalam hal ini, pemerintah Indonesia pada masa orde baru termasuk tidak cekatan dalam menghadapi krisis moneter, maka keberhasilan pembangunan pada orde baru tidak ada artinya.