PERBEDAAN DALAM KEHARMONISAN SEBAGAI IMAJINASI KREATIF PENCIPTAAN KARYA SENI LUKIS - ISI Denpasar

  

ABSTRAK

PERBEDAAN DALAM KEHARMONISAN

SEBAGAI IMAJINASI KREATIF PENCIPTAAN KARYA SENI LUKIS

  

I Wayan Gulendra

wayangulendra@yahoo.com

FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN

  Seni merupakan refleksi dari akumulasi pengalaman batin melalui kajian, pengamatan, eksplorasi, dan perenungan terhadap suatu nilai-nilai klehidupan, menyangkut agama, budaya, politik, adat istiadat, keindahan alam, maupun aktivitas kehidupan masyarakat sehari-hari. Berbagai fenomena obyek yang ada tidak dengan serta merta diwujudkan menjadi bentuk bahasa visual, melainkan telah dilakukan perenungan dan interpretasi yang intens terhadap esensinya untuk menciptakan pencitraan (images) dari suatu fenomena estetik.

  Berangkat dari pengalaman dan pengamatan terhadap fenomena kehidupan bermasyarakat, menampakkan berbagai prilaku disharmoni, hal tersebut tidak terlepas dari kurangnya pemahaman terhadap hakekat kebhinekaan dalam berinteraksi dalam hubungan sebagai warga masyarakat.

  Sebagaimana hubungan manusia yang harmonis baik secara spiritual maupun jasmaniah sebagai prilaku yang demokratis secara utuh yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Pengamalan dan penghayatan terhadap prinsip keseimbangan yang berlandaskan filosofi Tri Hita Karana harus dilaksanakan secara total dalam satu kesatuan sebagai prinsip berkehidupan dalam sistem kemasyarakatan. Apabila makna Tri Hita Karana ini disikapi dengan pikiran yang arif dan bijak tanpa mementingkan rasa egoisme dan otoritas yang mutlak, maka hal ini akan berdampak pada hubungan kehidupan yang selaras.

  Kemajuan ilmu dan teknologi telah mengantarkan manusia pada otoritas yang mutlak, dalam menghegomoni segala aspek kehidupan yang semata-mata kepentingan material dan financial sebagai standar penentuan status berkaitan hubungan berinteraksi atas sesama maupun dengan lingkungan alamnya.

  Pandangan tersebut telah memprovokasi emosi sehingga muncul gagasan untuk menghadirkan nilai-nilai filosofi kehidupan sebagai sebuah pemaknaan terhadap fenomena yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Adapun kompleksitas dan tuturan konsepnya merupakan suatu interpretasi yang tidak lagi bergantung pada bentuk-bentuk representative, melainkan didekonstruksi namun masih dapat dirasakan adanya rangsangan keterbacaan sumber ide melalui bagian- bagian tertentu dalam mengartikulasikan gagasan.

  Kata Kunci: Seni Lukis, Beda dalam harmon

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

  Seni merupakan ungkapan realita gejolak jiwa dari kristalisasi pengalaman imajinatif melalui kepekaan rasa, pengamatan dan perenungan terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di lingkungan masyarakat. Kemudian dengan kemampuan inteleksi dan intuisi serta keterampilan teknik untuk mengintepretasi suatu fenomena yang diekspresikan secara artistik ke dalam bahasa visual seni rupa.

  Dalam menciptakan karya seni, seniman tidak bisa lepas dari pengaruh lingkungan seperti agama, budaya, adat-istiadat dan lain sebagainya, oleh sebab itu setiap karya seni akan mencerminkan latar belakang nilai-nilai budaya masyarakatnya, dan merupakan kenyataan yang langsung dihadapi sebagai rangsangan atau pemicu kreativitas kesenimanannya. (Sumardjo, 2000: 133). Begitu pula yang terjadi pada pencipta sebagai bagian dari komunitas interaksi sosial masyarakat Bali, dalam melakukan aktivitas berkesenian ternyata fenomena-fenomena sosial, budaya, agama serta pesona keindahan lingkungan alamnya telah menggetarkan batin dan memberikan rangsangan imaj inatif

  Hal tersebut memprovokasi aktivitas intuisi dan membangun potensi kreatif yang kemudian dicurahkan ke dalam karya seni rupa. Bali merupakan salah satu tujuan utama wisatawan baik domestik maupun mancanegara, telah membawa perubahan yang sangat signifikan bagi kehidupan masyarakat Bali, terutama dalam pergaulan global melalui media komunikasi dan informasi yang semakin canggih. Problematik yang dihadapi masyarakat Bali sebagai dampak dari keterbukaannya, melalui akulturasi budaya dari berbagai suku bangsa di dunia dengan keanekaragaman latar belakang budayannya. Masyarakat Bali dengan segala potensi sumberdayanya, telah memasuki budaya progresif yang senantiasa mengejar ketertinggalannya disegala sektor kehidupan untuk mengantisipasi perkembangan global yang penuh persaingan. Dampak dari perubahan tersebut telah mempengaruhi prilaku bermasyarakat yang cukup signifikan terhadap tatanan nilai-nilai budaya masyarakat Bali, termasuk perubahan sikap mental, pola hidup dan cara pandang yang berakibat munculnya perbedaan pada tataran strata sosial dan budaya yang cenderung melahirkan berbagai macam konflik kepentingan baik politis maupun materialistis.

  Untuk menghadapi pengaruh global yang kompetitif tersebut, maka konsep hidup masyarakat Bali yang dilandasi oleh falsafah Tri Hita Karana harus dipahami dan dihayati sehingga dapat diamalkan dalam prilaku kehidupan berrmasyarakat.

  Tri Hita Karana merupakan tiga unsur perekat hubungan keselarasan yang harus dipahami untuk memaknai kehidupan dalam perbedaan. Hubungan keselarasan yang dimaksud adalah hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan lingkungannya. Bila makna Tri Hita Karana dapat dikelola dan ditata secara bijak, maka perbedaan akan menjadi suatu kekuatan untuk menciptakan keseimbangan dalam menata kehidupan yang pluralistik di lingkungan masyarakat. Demikian pula sebaliknya, apabila perbedaan yang ada tidak mampu dikelola dan ditata, maka berpotensi melahirkan kerawanan dan rentan akan terjadinya konflik yang berimplikasi munculnya perpecahan atau disharmoni.

  Setiap manusia adalah perbedaan. Dan perbedaan-perbedaan itu tidak perlu dipertentangkan kecuali manusia itu membuat dirinya sebagai batu. Justru perbedaan-perbedaan di antara manusia itu dapat memperkaya diri masing- masing, asal mau bersikap terbuka. Setiap manusia mengembangkan dirinya dalam perjalanan ruang dan waktunya sendiri sendiri. Tidak ada manusia yang sama satu sama lain. (Sumardjo, 2001: 77). Konsep perbedaan di lingkungan masyarakat Bali lebih dikenal dengan

  

“Rwa Bhineda”, yang meliputi baik buruk, suka duka, kanan kiri dan lain

  sebagainya. Demikian pula disebutkan dalam kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”. Hal tersebut merupakan kansep keseimbangan dari berbagai perbedaan namun pada hakekatnya adalah tunggal dalam satu kesatuan yang saling bersinergi. Hal ini merupakan ajaran-ajaran kebenaran yang menyangkut pandangan hidup masyarakat Bali yang berorientasi pada hubungan vertikal dan horisontal, sekala- niskala yaitu berkaitan dengan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam menjaga hubungan yang harmonis terhadap alam lingkungannya.

  Memaknai fenomena kehidupan yang terjadi di lingkungan masyarakat dewasa ini, yang penuh dengan intrik-intrik kepentingan pribadi atau kelompok tanpa mempertirnbangkan nilai-nilai moral, mengakibatkan munculnya berbagai konflik horisontal yang dapat diamati dari perubahan prilaku kehidupan sehari- hari. Kehidupan yang cenderung mengutamakan materialistis dan individualistis dengan mengabaikan sekat-sekat nilai budaya bangsanya di antaranya pertentangan agama, suku, pengerusakan dengan mengeksploitasi lingkungan alam, pemaksaan kehendak dengan merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan melalui kekuasaan, kekerasan dan lain sebagainya.

  Dari pengamatan fenomena tersebut telah memberi inspirasi dan memprovokasi inteleksi dan intuisi dalam ruang imaj inasi, sehingga melahirkan ide-ide kreatif yang akan diwujudkan dalam karya seni lukis. Secara makro ide dalam penciptaan ini adalah makna Tri Hita Karana sebagai suatu pandangan bermakna universal untuk membangun kesadaran dan pencerahan bagi masyarakat untuk menjalin kehidupan yang selaras dalam suatu perbedaan, merupakan sesuatu yang indah apabila ditata dalam suatu struktur yang harmonis. Hal tersebut mengacu dari konsep atau dasar pemikiran, bahwa perbedaan merupakan suatu nilai kodrati yang hakiki bagi segala bentuk kehidupan dalam menjaga prinsip-prinsip keseimbangan, maka pemaknaan nilai Tri Hita Karana sebagai wujud pencerahan lahir batin untuk mencapai hidup yang harmonis untuk menghargai perbedaan-perbedaan dalam menata kehidupan yang demokaratis.

  Perumusan Masalah

  Sehubungan dengan latar belakang menyangkut fenomena kehidupan lingkungan masyarakat, dilihat dari esensi dualitas yang dijadikan sumber kajian dalam penciptaan ini, maka dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut:

  Bagaimana mengartikulasikan makna perbedaan dalam kehamonisan 1. sebagai filosofi kehidupan kedalam karya seni lukis, yang mencerminkan adanya kesatuan teks dan konteks dalam wujud visualnya.

  Bagaimana memanfaatkan potensi material secara kreatif yang dapat 2. mewadahi petualangan imajinasi, yang lebih ditekankan pada kemampuan intuisi untuk mengintepretasi setiap gejala artistik dari esensi perbedaan dalam fenomena kehidupan sehari-hari.

  Bagaimana menghayati setiap fenomena berkaitan dengan konteks 3. penciptaan, sehingga ada hubungan antara konsep dengan visualisasinya sebagai metafore setiap ide yang diwujudkan dalam karya seni lukis.

II. TINJAUAN PUSTAKA

  Untuk mematangkan konsep penciptaan, terutama membentuk struktur karya yang memiliki landasan yang kuat, maka perlu diadakan kajian terhadap sumber yang akan dijadikan pijakan untuk berolah rasa, sehingga dapat membangun pengalaman-pengalaman baru. Pengalaman-pengalaman baru tersebut diharapkan dapat memberikan getaran intuitif serta memprovokasi emosi menghadirkan imajinasi kreatif. Kajian tersebut dapat dilakukan pada sumber referensi, baik berupa sumber kepustakaan, hasil observasi, responden, perenungan, penjelajahan dan pengamatan terhadap objek-objek tertentu yang dapat memberikan rangsangan imajiner dalam menciptakan suatu karya seni. Pengalaman estetik timbul dari reaksi positif terhadap pemaknaan nilai-nilai dari suatu fenomena yang terjadi di sekitar kita, seperti yang dikatakan Hartoko (1984: 12), bahwa:

  Dalam kesenian dan pengalaman estetik itu budi manusia memainkan peranan utama, tetapi bukan budi yang diskursif (yang menganalisa dan bernalar), melainkan yang bersifat intuitif (melihat dalam sekejap mata) dan konotural (karena persamaan dalam sifat dan tabiat). Terjadi semacam interpenetrasi (saling menerobos) antara alam dan manusia. Kedua belah pihak Saling meluluh tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Manusia yang merasakan getaran keindahan alam mengadakan semacam identifikasi spiritual dengan alam itu, bahkan alam memasuki kalbunya. Dan sebaliknya: manusia memasuki alam, memeteraikan alam dengan kehadiran- nya, merasakan keindahan alam itu sejauh alam mengandung unsur-unsur manusiawi, mengandung syaratsyarat yang melambangkan emosi dan pengalaman manusia.

  Rwabhineda, merupakan konsep dasar yang diyakini masyarakat Hindu

  Bali, bahwa dua kekuatan besar yang berbeda namun memiliki hakekat yang sama dalam mencapai sesuatu, bertujuan untuk keseimbangan hidup. Seperti yang dinyatakan oleh Maman Noor (2002: 23) bahwa, “...kesepadanan dan ketegangan dalam suatu pusaran ruang dan waktu adalah rwabhineda yang tidak harus dipertentangkan atau diharmoniskan karena ia sudah berada sejak semula”.

  Istilah “rwabhineda” berarti dua yang dibedakan; dimaksudkan bahwa dua hal yang berbeda memiliki hakekat tunggal, contoh: baik-buruk, suka-duka, besar- kecil, dan sebagainya. Keduanya selalu ada, berhadapan, bersanding, berdampingan seiring sejalan, terkadang berlawanan dan bahkan berbenturan; namun pada hakekatnya selalu menyatu. Rwabhineda merupakan sebuah konsep kehidupan yang oleh masyarakat Bali diyakini sebagai salah satu tatanan nilai untuk melandasi sesuatu prilaku dalarn mengarungi hidup di jagat maya ini ( Nyoman Chaya, 2004: 93).

  Penjabaran di atas, bila dikaitkan dengan kenyataan sebagai suatu fenomena, dapat diartikan bahwa baik dan buruk dalam kehidupan manusia adalah dimensi perbedaan yang senantiasa bergulat sebagai suatu fenomena kehidupan, selalu dialami, diterima, serta ditanggapi oleh manusia itu sendiri.

  Dari pengamatan dan kajian yang telah dilakukan terhadap pemahaman masyarakat terhadap makna Tri Hita Karana yang dikaitkan dengan fenomena kehidupan masyarakat dewasa ini, maka tercetuslah suatu gagasan/ide sebagai konsep dasar dalam penciptaan karya seni lukis, dengan mengangkat topik “Merajut Perbedaan untuk mencapai Harmoni” atas pemaknaan terhadap nilainilai Tri Hita Karana.

  Perbedaan merupakan fenomena alam dalam kapasitasnya mengisi tempat, ruang dan waktu (desa, kala, patra) yang selalu bergerak dengan iramanya rnasing-masing. Dia begitu menggetarkan perasaan, penuh pesona sekaligus mengagumkan bila mempunyai kepekaan dan kemampuan untuk menghayatinya. Betapa besar, indah dan agungnya dengan kemahakuasaanNya Tuhan telah menciptakan keragaman isi alam semesta ini. Namun dalam perbedaan tersebut sesungguhnya berasal dari unsur yang tunggal yaitu kebenaran yang tidak ada duanya, seperti yang disebutkan dalam lontar Sutasoma karangan Mpu Tantular bahwa, “Bhineka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa, yang artinya berbeda- beda tetapi satu, tidak ada dharma yang dua” (Sudarta, 2001: 6).

  Di lingkungan masyarakat Bali, ada falsafah hidup yang dilandasi oleh ajaran agama Hindu dan dirumuskan dalarn konsep”Tri Hita Karana” yang terdiri dari:

  • Sanghyang Jagad Karana, Tuhan (Super Natural Power) -Bhuana, alam semesta (macrocosmos)
  • Manusia, (microcosmos)

  Tri Hita Karana, yang berarti: Tri (tiga), Hita (kebahagiaan) dan Karana (penyebab), jadi secara garis besarnya konsep tersebut mempunyai arti tiga penyebab yang menimbulkan kebahagiaan atau keharmonisan, dalam hal ini hubungan manusia secara vertikal dan horisontal yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan alamnya. Ketiga unsur tersebut tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain, dan merupakan satu kesatuan yang utuh pada setiap aspek kehidupan bermasyarakat. Konsep tersebut tercermin sebagai inti dari nilai tradisi yang telah berjalan menata ruang kehidupan masyarakat Bali yang disebut dengan “Tri Angga”. Ketiga unsur “Tri Hita Karana” menurut pendapat Atmaja adalah (a) Parahyangan merupakan tempat suci pemujaan bagi umat Hindu, (b) Palemahan yang berarti tanah atau lingkungan alam tempat tinggal dan (c) Pawongan berarti wong sama dengan orang yang segala sesuatu menyangkut orang-orang Bali (Atmaja, 1999: 61-66). Nilai-nilai tersebut telah menjadi pedoman dalam berprilaku guna merajut perbedaan dalam kehidupan bermasyarakat,sehingga dalam pergaulan tertanam jiwa yang ramah lingkungan penuh toleransi terhadap semua mahkluk hidup beserta seluruh isi alam semesta ini.

  Manusia yang dikaruniai keistimewaan melebihi makhluk lainnya di jagad raya ini yaitu kemampuan cipta, rasa dan karsa sudah seharusnya memiliki sikap

  

“Ngadep Welas Asih, Ngalap Tresna” yang artinya memberikan cinta kasih untuk

  mendapatkan kesetiaan terhadap segala yang ada di alam semesta ini, karena sesungguhnya hubungan manusia dengan isi alam semesta ini adalah suatu rangkaian yang saling membutuhkan. Maka dengan memahami dan menghayati nilai-nilai luhur falsafah kehidupan tradisi yang rnasih relevan di era global ini sudah semestinya dapat dipertahankan untuk pengendalian diri dalam menghadapi segala bentuk perubahan dengan berbagai perbedaan bentuk budaya yang berimplikasi terhadap prilaku budaya yang ada. Nilai-nilai tersebut sangat menarik sebagai isi dalam penciptaan karya seni lukis yang terajut dalam olahan teknik dan material untuk mencerminkan merajut perbedaan menuju harmoni.

  Tata ruang kehidupan tersebut memiliki pusat persilangan dari empat arah mata angin yakni, kangin- kauh (timur-barat) dan kaja- kelod (utara-selatan). Arah kangin-kauh adalah dualisme tersterial manusia, yakni kelahiran (kangin) dan kematian (kauh); sedangkan arah kaja/kelod adalah dualisme calestial (surgawi), yakni kaja sebagai dunia atas dan kelod sebagai dunia bawah. Dua pasangan dualistik “ruang” (lahir-mati) dan dualisme “waktu” (dunia atas dan dunia bawah yang abadi, dan dunia kekinian) bertemu di pusat yakni di catuspata (Jiwa Atmaja, 2003: 21).

  Pandangan tersebut di atas merupakan konsep keseimbangan makrokosmos yang berorientasi pada siklus kehidupan dari dua unsur yang berbeda antara kelahiran dan kematian (kangin-kauh) yaitu arah terbit- terbenamnya matahari yang bermakna ruang. Kemudian arah utara-selatan dualistis yang berbeda berorientasi pada dunia atas dan dunia bawah, ulu-teben yang bermakna waktu. Pemaknaan ruang dan waktu adalah merupakan realitas kehidupan yang saling bersinergi baik dalam putaran makrokosmos (bhuana

  

agung) dan mikrokosmos (bhuana alit), dalam korelasi yang saling

ketergantungan.

  Pendapat tersebut mencerminkan adanya dua unsur kekuatan dalam satu kesatuan energi sebagai sumber kehidupan bagi segala yang ada di alam semesta ini, sebagaimana hubungan akasa dan pertiwi (langit dengan bumi), dalam tataran ruang waktu yang selalu bergerak sesuai dengan iramanya.

  Landasan utama dalam penciptaan karya seni lukis ini didorong oleh suatu kekuatan untuk mewujudkan keharmonisan berawal dari pengamatan terhadap fenomena sosial, yang telah memberikan rangsangan imaj inatif tentang filosofi kehidupan masa kini. Berdasar atas penghayatan dan perenungan yang dilakukan maka tercetuslah sebuah gagasan tentang esensi perbedaa.n dalam kehidupan bermasyarakat, sesungguhnya merupakan satu kesatuan sesuai dengan potensinya masing-masing. Fenomena kehidupan akhir-akhir ini kecenderungan terjadi gesekan disintegrasi yang mengakibatkan munculnya disharmoni terhadap tatanan kehidupan bermasyarakat. Merosotnya nilai-nilai moral dan tata krama bermasyrakat akibat dari kepentingan materialistik yang berlebihan dan tak terkendali, sehingga terjadilah diskriminasi golongan atau individu tertentu. Demikian pula halnya terhadap keberadaan lingkungan alam, dieksploitasi tanpa memperhitungkan kelestariannya yang mengakibatkan munculnya berbagai bencana, seperti kerusakan hutan, banjir, hilangnya sumber-sumber air bersih akibat pencemaran, polusi udara, serta musnahnya beberapa spicies binatang dari muka bumi. Hal tersebut terjadi akibat dari prilaku manusia yang semakin biadab hanya mementingkan diri sendiri, yang mengakibatkan kesengsaraan dipihak lain. Fenomena tersebut menjadi bahan renungan dan dasar pemikiran untuk mengangkat nilai-nilai filosofi kehidupan bermasyarakat berkaitan dengan keselarasan dan keharmonisan. Dalam menjalani hidup yang berkeseimbangan untuk memenuhi kebutuhan, dalam agama Hindu didasarkan pada pemahaman

  

“Tri Marga” yaitu tiga aspek nilai yang dijadikan pedoman sebagai warga

  masyarakat yaitu: 1. Dharma: kebenaran yang merupakan dasar dan jiwa dari segala usaha.

2. Artha: hasil usaha yang merupakan harta benda. Tetapi hasil usaha yang didapat dengan cara yang benar.

  3. Kama: keinginan mendapat kesukaan (kenikmatan) yang didasari dan dijiwai oleh Dharma, karena kama ini adalah keinginan yang harus dipenuhi, dilaksanakan dengan dasar kejujuran, yang bertujuan untuk kesejahteraan dan kesucian (Sudarta, 2001: 50-51).

  Nilai-nilai tersebut di atas rnerupakan suatu pedoman berprilaku dalam kehidupan bermasyarakat, dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup yang harus didasarkan pada kebenaran dan kejujuran. Hal tersebut dapat dilakukan secara tulus ikhlas berdasar atas keyakinannya terhadap adanya hukum

  

“karmaphala” yang artinya hasil dari perbuatan seseorang. Di lingkungan

  masyarakat Bali diyakini, bahwa perbuatan yang baik (subhakarma) membawa hasil yang baik dan perbuatan yang buruk (asubhakarma) membawa hasil yang buruk (2001: 18). Pemahaman dan penghayatan terhadap norma tersebut bagi masyarakat Bali, memberikan rasa nyaman dan harmonis disetiap aspek kehidupan bermasyarakat di lingkungannya. Kemudian dalam penataan kehidupan bermasyarakat berkaitan dengan lingkungannya yang di Bali disebut dengan

  

“Desa Pakraman” untuk memperoleh kemakmuran dan keharmonisan lahir batin

  dilandasi oleh “Sad Kerti” yaitu Atma Kerti, Danu Kerti, Wana Kerti, Samudra Kerti, Jagat Kerti dan Jana Kerti.

  Atma Kerti menyangkut semua usaha penyucian atma, ...Danu Kerti, Samudra Kerti, dan Wana Kerti, yang merupakan wujud kongkrit dari

  konsep kemestaan Hindu, menyangkut usaha perlindungan unsur alam yang langsung berhubungan dengan hidup manusia dan mahkluk lainnya.

  ...Jagat Kerti dan Jana Kerti bermaksud menata kehidupan manusia dalam

  kebersamaannya (Jagat Kerti) dan membangun manusia dalam kesendiriannya (Jana Kerti). Penataan masyarakat dan anggota masyarakat

  (Jagat Kerti dan Jana Kerti), inilah yang merupakan inti pokok dari

  keberadaan Desa Pakraman di Bali. Manusia dalam kebersamaannya dan manusia dalam kesendiriannya mengupayakan kehidupan yang bahagia dengan berbakti pada Tuhan dan selalu memelihara kesejahteraan alam. Hubungan timbal balik antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan alam lingkungannya disebut Tri Hita

  Karana (Wiana, 1995: 38).

  Dari penelusuran dan pemahaman terhadap konsep tersebut di atas mengandung nilai religius dan pesan moral dalam usaha menjaga nilai-nilai kemanusiaan dan kelestarian alam demi terwujudnya hubungan yang harmonis untuk kelangsungan suatu ekosistem seluruh isi alam semesta ini. Dalam kenyataannya kondisi alam dan tata krama pergaulan dalam perbedaan bermasyarakat saat ini sangat berlawanan dengan konsep yang ada. Hal tersebut sangat menarik dijadikan dasar perenungan dan pemikiran sebagai konsep dalam penciptaan karya seni lukis, yang pada akhirnya menjadi konteks dalam proses penciptaan. Atas dasar pemahaman tersebut, maka perbedaan sebagai suatu realitas kehidupan yang pada hakekatnya saling berkaitan dan saling membutuhkan sehingga harus dikendalikan dan ditata melalui penyadaran dan pencerahan nilai-nilai moral yang selama ini terlupakan. Hidup menjadi berharga bila setiap individu menyadari nilai-nilainya, sebagai makhluk sosial dan berbudaya melalui kemampuan cipta, rasa dan karsanya.

  Bentuk-bentuk penilaian itu termuat dalam 4 lembaga kebenaran nilai, yakni sistem kepercayaan, sistem keilmuan, sistem filsafat, dan sistem kesenian. Seni adalah sebuah kosmos. Seni itu sebuah bentuk yang mengandung keteraturan dalam keutuhan dirinya. Seni, dengan demikian, juga mampu memberikan penilaian terhadap hidup yang chaos ini. Seni dapat memberi arti, memberikan harga, terhadap hidup ini. Seni dapat membuat seseorang betah hidup di dunia karena memberikan pemahaman tentang arti hidup ini (Sumardjo, 2000: 147).

  Pengamatan terhadap fenomena kehidupan sehari-hari, barang kali dianggap sebagai suatu hal yang biasa dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat. Namun dalam hal ini fenomena disharmoni antara kehidupan dengan lingkungannya secara psikologis telah memberikan getaran intuitif membangkitkan memori tentang nilai-nilai kehidupan sebagai suatu potensi dorongan internal maupun eksternal yang diwujudkan secara kreatif. Sebagaimana telah diungkapkan oleh Marianto (2002: 111), bahwa: “Dari sesuatu yang biasa, yang dianggap tak bermakna, atau yang sering dicap popular dapat diutak-atik dapat diberi nuansa nilainya, lalu darinya bisa dikedepankan lapisan-lapisan menarik untuk ditransformasi menjadi karya yang berkualitas”. Kesenian yang melibatkan rasa akan melahirkan keindahan, hal tersebut menurut Dewantara

  (dalam Soedarso Sp., 1990: 2), “seni adalah segala perbuatan manusia yang timbul dari hidup perasaannya dan bersifat indah

  3 hingga dapat menggerakkan jiwa perasaan manusia”.

  Melalui penciptaan karya seni lukis fenomena kehidupan diwujudkan dengan sebuah pemaknaan terhadap nilai perbedaan (kebhinekaan) sebagai esensi dari pengalaman indrawi yang terinkubasi dalam batin, kemudian diekspresikan secara kreatif yang melibatkan kemampuan teknis dengan pertimbangan unsur- unsur estetikanya. Hanya dengan tindakan kreatif, penghargaan terhadap sebuah nilai dapat diwujudkan ke dalam tataran visualisasi konsep dari pengalaman imajinatif estetik yang diaktualisasikan ke dalam bahasa rupa. “Nilai adalah, sesuatu yang dipandang berharga oleh orang atau kelompok orang serta dijadikan acuan tindakan maupun pengarti arah hidup. Nilai tersebut ditumbuhkan dan dibatinkan dalam kebudayaan orang itu, yang dihayati sebagai jagat makna hidup dan diwacanakan serta dihayati dalam bahasa jagat simbol” (Sutrisno, 2004: 107).

  Maka dalam mentransformasikan pengalaman batin ke dalam bentuk karya visual, merupakan suatu pencitraan terhadap nilai-nilai kehidupan yang dipandang sebagai jagat makna yang diaktualisasikan ke dalam karya-karya yang bernuansa simbolik sebagai suatu cara ungkap dari ide-ide yang bersifat personal. Ide terbentuk dari impresi-impresi berita-berita keindraan organ-organ penangkap khusus dan pengalaman-pengalaman rasa batin. Karena pengalaman-pengalaman yang “tercatat” mempunyai kecenderungan untuk menampakkan diri dalam suatu tindakan, layaklah suatu fungsi khas manusiawi membutuhkan suatu bentuk kegiatan lahiriah khas manusiawi.

  Hal itulah yang kita lihat dalam ekspresi murni ide-ide. Pada fase ini diperlukan prinsip yang lebih kuat yang bisa mengkobinasikan pembentukan ide. Dalam prinsip simbolisasi bahan yang diberikan oleh indra senantiasa ditempa menjadi simbol-simbol yang merupakan ide-ide elementer manusia (Triguna, 2000: 19-20).

  Kenyataan dalam kehidupan sehari-hari, tidak semua pengalaman dari pikiran dan perasaan manusia dapat diinformasikan ke dalam bentuk ucapan atau kata-kata, maka atas dasar aktivitas kreatif manusia menghadirkan isi pikiran dan perasaannya dengan menggunakan alat (tool animal) dan simbol (simbolicum animal). Hal ini menunjukkan adanya suatu dorongan kejiwaan terutama dalam berkesenian, rasa estetik memiliki peranan penting lahirnya karya seni.

  Kemudian di dalam bahasa Sanskerta kata simbol adalah “pratika” yang mengandung arti yang datang ke depan, yang mendekat. Dengan demikian kata ini mengandung makna menunjukkan, menampilkan atau menarik kembali sesuatu dengan analogi kualitas kepemilikan atau dengan mengasosiasikan ke dalarn fakta atau pikiran. Kecerdasan umat manusia mulai dengan konsepsi, puncak aktivitas mental, proses konsepsi berakhir pada ekspresi simbolis. Konsepsi menjadi pasti atau terjadi hanya ketika berwujud dalam simbol (Titib, 2001: 63).

  Dalam proses penciptaan di samping melalui suatu perencanaan- perencanaan, penulis tidak mengesampingkan ide-ide yang muncul secara spontan, terutama ketika dalam proses melukis kadang-kadang secara intuitif muncul gagasan-gagasan baru yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan. Getaran intuisi merupakan kepekaan rasa di bawah kesadaran yaitu tanpa direncanakan atau dipikirkan terlebih dahulu. Pengetahuan intuisi sebagai pengetahuan mandiri dalam hal fungsi intelektual, di mana ide muncul tanpa melalui analisa terlebih dahulu merupakan gejala estetik yang lebih bersifat emosional dan spontan. Peristiwa yang tak terencana tersebut ikut memperkaya aktivitas kreatif dan artistik dalam proses penciptaa.n karya seni lukis. Seperti apa yang dikatakan oleh Croce (1965: 8) bahwa:

  ... there is a sure method of distinguishing true intuition, true

  representation, from that which is inferior to it: the spiritual fact from the mechanical, passive, natural fact. Every true intuition or representation is olso expression. That which does not objectify it self in expression is not intuition or representation but sensation and mere natural fact. The spirit only intuites in making, forming, expressing.

  Ada sebuah metode yang digunakan untuk membedakan intuisi sejati, yang merupakan representasi sejati, dengan intuisi yang lebih rendah derajatnya: yang membedakan fakta spiritual dengan fakta mekanis, pasif, dan alamiah. Yang tidak dapat mewujudkan dirinya dalam bentuk ekspresi bukanlah suatu intuisi atau representasi, tapi sebuah sensasi/perasaan dan hanya sebuah fakta alamiah saja. Jiwa hanya mengeluarkan kata hati (intuisi) ketika membuat, rnembentuk, dan mengekspresikan.

  Sesuai dengan pernyataan tersebut, maka perwujudan karya seni lukis dalam penciptaan ini rnerupakan aktivitas kreatif yang melibatkan unsur rohani dan fisik yaitu suatu gagasan yang divisualisasikan melalui elemen-elemen seni rupa seperti garis, bentuk, warna, tekstur, ruang serta media lainnya, disusun ke dalam satu kesatuan yang utuh untuk mencapai harmoni pada kanvas serta memanfaatkan media lain yang dapat mendukung tujuan estetik dan artistik. Elemen-elemen seni rupa tersebut, dalam pengorganisasiannya berdasar atas pertimbangan ide, konsep dengan unsur-unsur estetika dalam seni rupa seperti komposisi, proporsi, harmoni, balans dan irama yang memiliki peranan yang sangat penting. Dalam hal ini penulis tidak akan menguraikan secara rinci tentang unsur-unsur tersebut di atas, tetapi hanya menekankan pada elemen-elemen yang dominan seperti, garis, bentuk, warna, tekstur dan ruang sebagai berikut:

1. Pengertian Garis

  Garis merupakan elemen dasar dalam seni rupa yang mengandung arti lebih dari sekedar goresan, karena garis dengan iramanya dapat menimbulkan suatu kesan simbolik pada pengamatnya. Peranan garis sangat penting dalam proses perwujudan bentuk, karena garis sangat menentukan kualitas ekspresi seorang seniman yang nampak pada sapuan-sapuan atau dalam pemberian aksentuasi tertentu pada objek penciptaannya. Ketika garis diberi struktur, seperti misalnya disusun melalui ritme, simetri, keseimbangan akan membentuk polapola tertentu sehingga garis sudah dapat berbicara sebagai media ekspresi. Sebagaimana yang dikatakan oleh Djelantik (2001: 20) bahwa:

  Garis-garis bisa disusun sedemikian sehingga menimbulkan ilusi pada pengamat, yakni “kesan buatan”. Membuat persepsi yang diterima sang pengamat lain dari pada yang sesungguhnya. Suatu teknik gambar yang dipakai sehari-hari yang disebut perspektif memberi ilusi jarak jauh dan dekat dengan mengarahkan garis-garisnya ke suatu titik jauh pada horison atau cakrawala sama dengan akhir pandangan mata.

  Dalam hal ini garis memiliki kesan imajiner terhadap pengamatnya, sehingga garis sangat pundamental untuk menghadirkan ekspresi dalam suatu karya seni lukis, baik dalam proses penyusunan, perancangan bentuk realistik maupun imajiner sangat tergantung dari penguasaan garis. Hal tersebut dapat dilakukan dengan penguasaan terhadap sifat-sifat garis sesuai dengan iramanya seperti garis lurus memberikan perasaan yang berbeda dengan garis melengkung, yang lurus memberi kesan kaku dan yang melengkung memberi kesan luwes dan lemah lembut. Di samping itu kesan garis juga sangat tergantung dari ukuran, tebal tipisnya (volumenya). Garis yang menjadi bahasa pokok dalam berekspresi, menurut Blake, yang diungkap kembali oleh Read (dalam Soedarso Sp., 2000 : 20) bahwa pedoman yang penting dan ampuh bagi seni, juga buat kehidupan ini, adalah makin nyata, tajam, dan kuat garis batasnya, makin sempurna karya seni, dan kekurangjelasan serta kekurangtajaman pada garis besarnya merupakan bukti dari lemahnya imajinasi, peniruan, dan kecerobohan.

  Maka dalam proses penciptaan seni rupa, studi sketsa adalah suatu cara pelatihan penguasaan garis guna mengasah kepekaan berimajinasi dan berekspresi, sehingga mampu merangsang dan membangun pengalaman- pengalaman baru dalam proses penciptaan. Melalui penguasaan garis seorang seniman dapat mengekspresikan dan mentranformasikan ide tentang bentukbentuk imajinatif maupun bentuk-bentuk yang representatif ke dalam suatu karya yang kreatif dan artistik. Dalam hal ini penulis menciptakan karya seni lukis mengutamakan peranan garis karena ingin mewujudkan karakter, untuk mentransformasikan ide-ide tentang perbedaan dalam keselarasan.

2. Pengertian Bentuk

  Kehadiran bentuk dalam seni rupa tidak terlepas dari peranan garis yang memberi batas ruang, sebagaimana yang terdapat dalam bentuk bidang dua dimensional garis menjadi batas keruangan dengan bidang yang lainnya dan pada bentuk tiga dimensional dibatasi oleh garis imajiner. Maka dalam hal ini bentuk sangat tergantung dari keberadaan garis yang menentukan identitas dari sebuah bentuk. Kemudian Feldman dalam buku Art as Image and Idea terjemahan SP. Gustami (1991: 28-29) menyebutkan:

  ...bentuk adalah “manifestasi fisik luar dari suatu obyek yang hidup” tetapi bidang adalah “manifestasi dari suatu obyek yang mati” ...Hasil berbagai bentuk dapat memiliki kualitas linier jika perhatian kita diarahkan pada batas-batas mereka, tetapi kontur-kontur itu biasanya mempunyai efek membuat kita menyadari bentuk, yakni mereka rnenghadirkan warna-warna yang silhouette pada bidang atau ruang yang mereka pagari.

  Kehadiran bentuk yang memiliki kualitas linier mempunyai efek batas keruangan, sehingga kita menyadari bentuk itu sendiri memiliki keluasan dan volume yang dapat dirasakan, diukur, dan ditafsirkan keberadaannya. Dalam penciptaan karya seni lukis, bentuk merupakan hasil intepretasi nilai terhadap bentuk-bentuk eksternal melalui pengamatan dan perenungan, yang kemudian menjadi pengalaman batin yang lebih bersifat imajiner. Ketika ada rangsangan intuitif, secara internal muncul suatu dorongan terhadap emosi untuk mengekspresikan kembali nilai-nilai tersebut yang disusun atas dasar pertimbangan-pertimbangan estetik dan artistik, melalui pemanfaatan medium tertentu seperti bahan, warna, tekstur serta teknik yang digunakan. Dari nilai bentuk ini dapat membangkitkan seluruh potensi diri penikmat untuk menggali lebih jauh nilai-nilai lain yang ditawarkan. Dalam hal ini penikmat dapat menangkap perasaan tertentu atau terbangkitkan perasaan tertentunya, karena bentuk lahiriah (inderawi) dari suatu karya seni juga dapat memberikan pengalaman imajiner dan mengembangkan pesan pada penikmat.

3. Pengertian Warna

  Warna merupakan elemen yang sangat penting dalam seni lukis, karena warna sebagai efek cahaya yang memberi kesan pada mata, sehingga dapat menghadirkan karakter dari suatu bentuk yang secara psikologis mempengaruhi perasaan. Sebagai mana yang diungkapkan oleh Darmaprawira (2002: 32-34) bahwa: Warna dapat mempengaruhi jiwa manusia dengan kuat atau dapat mempengaruhi emosi manusia. Warna dapat pula menggambarkan suasana hati. Keluarbiasaan warna terletak dalam hal kesederhanaan dan kesenangan emosional, bukan perenungan rasional, kenyataan, dan faktafakta yang disederhanakan, dikebiri atau dihilangkan sama sekali. Pada kondisi normal manusia itu menyukai warna. Mereka memiliki reaksi terhadap warna. Ada suasana hati yang diasosiasikan dengan lingkungan yang cerah, hujan atau mendung, gembira atau membosankan.

  Dalam hal ini dapat dikatakan, bahwa warna sebagai elemen dalam seni lukis untuk membangun kesan yang dapat mempengaruhi suasana perasaan, di mana kehadiran warna sangat penting untuk menambah nilai estetik dan artistik dalam satu kesatuan karya yang diciptakan. Apabila diperhatikan setiap individu memiliki emosi yang berbeda-beda, hal tersebut sangat tergantung terhadap sensitivitas seseorang terhadap warna. Maka pilihan-pilihan selera warna yang berbeda-beda merupakan wujud dari ekspresi dan karakter dari setiap individu. Pemilihan warna dan prosedur artistik merupakan masalah utama yang harus diperhitungkan dalam proses penciptaan karya seni lukis. Ketika warna dipandang sebagai material, maka dalam pengekspresiaannya akan melibatkan keterampilan teknik sesuai dengan kebutuhan artistik untuk mewujudkan ide-ide berdasar pada konsep yang telah ditentukan. Dalam proses perwujudan karya seni lukis, penulis memanfaatkan unsur-unsur warna sebagai simbol perbedaan karena dalam hal ini warna mempunyai peranan untuk menampilkan karakter yang diharapkan, sehingga dapat mewakili pesan ide dalam karya seni lukis.

4. Pengertian Tekstur

  Tekstur adalah nilai raba pada suatu permukaan, baik itu nyata maupun semu. Suatu permukaan mungkin kasar, halus, keras atau lunak, kasar atau licin. (Sidik dan Prayitno, 1979: 26). Tekstur merupakan karakter nilai raba yang dapat dirasakan secara fisik dan secara imajiner. Tekstur kasar ketika diraba secara fisik memang menunjukkan suatu permukaan yang kasar, sedangkan tekstur semu hanya nampak oleh mata karakternya kasar namun ketika diraba tidak dapat dirasakan sebagamana yang dilihat sehingga tekstur semacam ini hanya memberi kesan imajinatif pada perasaan. Dalam karya seni lukis pemanfaatan tekstur lebih bersifat teknis untuk mewujudkan nilai raba tersebut sesuai dengan karakter objek yang diharapkan. Penulis memanfaatkan tekstur kasar untuk menampilkan karakter objek dan pengolahan motif-motif tertentu dengan tujuan untuk mengabstraksikan nilai-nilai perbedaan yang terajut dalam olahan teknik secara estetik dan artistik.

III. TUJUAN DAN MANFAAT PENCIPTAAN

  2. Manfaat Penciptaan

  1. Tujuan Penciptaan

  • Untuk memvisualisasikan makna perbedaan atas intepretasi terhadap fenomena-fenomena kehidupan masyarakat ke dalam karya seni lukis.
  • Mewujudkan karya seni lukis yang bersumber dari nilai-nilai tradisi yang mengandung pandangan filosofis kehidupan dengan harapan lahir suatu karya yang mencerminkan jejak jejak ekspresi dari interaksi sosial lingkungan tradisi yang diartikulasikan ke dalam bahasa ekspresi pribadi.
  • Ingin menyampaikan pesan dan kritik secara simbolik kepada masyarakat, bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang selalu membutuhkan adanya interaksi sosial melalui cinta kasih, sehingga sudah sepatutnya perbedaan itu tidak dipertentangkan melainkan diselaraskan guna memperkaya wawasan dan cara pandang kita dalam mencapai harmoni.

  Dalam perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan seni di lingkungan lembaga pendidikan seni, aktivitas penciptaan seni adalah wajib hukumnya mengingat visi dan misi yang diemban lembaga pendidikan seni yaitu sebagai pusat kajian dan penciptaan seni yang profesional akademik. Maka melalui aktivitas penciptaan ini diharapkan dapat meramaikan dan memberikan rangsangan positif bagi masyarakat khususnya peningkatan mutu pendidikan seni, melalui interaksi kritis di arena sosial yang lebih luas untuk mengembangkan wawasan berkesenian dengan menggali nilai-nilai tradisi sebagai suatu unggulan dalam meningkatkan daya saing bangsa.

IV. METODE PENCIPTAAN

1. Proses Penciptaan

  Melukis merupakan visualisasi konsep gagasan-gagasan sebagai hasil inkubasi dari sebuah perenungan, pengamatan, penjelajahan terhadap suatu fenomena estetik di lingkungan masyarakat yang setiap saat dapat memberikan getaran intuitif yang merangsang imajinasi untuk berekspresi. Perwujudan suatu karya seni terjadi melalui suatu proses yang berlangsung mulai dengan dorongan yang dirasakan baik secara eksternal maupun internal yang diaktualisasikan melalui simbol-simbol, sebagaimana yang dikatakan oleh Langer (dalam Djelantik, 1992: 56), “Art is creation of forms symbolic of human feeling” (kesenian adalah penciptaan wujud-wujud yang merupakan simbol dari perasaan manusia).

  Dalam penciptaan karya seni lukis, diperlukan suatu metode untuk menjelaskan jalannya tahapan-tahapan proses penciptaan. Pengertian metode adalah sebagai berikut:

  Metode ...cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (di dalam ilmu pengetahuan dsb); cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan;...(Kamus

  Besar Bahasa Indonesia, 1996: 652).

  Dalam kajian estetik yang sering dipakai oleh seniman dan perancang dalam penggalian ide menurut Sachari (2000: 223), dapat dikategorikan dengan beberapa pendekatan : a) heuristik: spontanitas dan kreatif; b) semantik: metafora dan kepatutan; c) sinektik: analogi atau fantasi; d) semiotik; pengkodean atau penandaan; e) simbolik: pemaknaan atau penyimbolan; f) holistik: bersifat universal atau global; g) tematik: pendekatan tema tertentu; h) hermeneutik: tafsiran atau interpretasi.

  Merujuk pendapat tersebut, maka proses penciptaan karya seni lukis ini difokuskan pada pendekatan semiotik, hermeneutik dan simbolik yaitu dengan melakukan pengamatan, pencermatan terhadap tanda-tanda, dan menafsirkamrya dengan pemaknaan terhadap subjekmatter. Dalam perwujudannya ke dalam karya seni lukis, kajian estetik sebagai suatu pendekatan yang utama berkaitan dengan tujuan penciptaan.

  Perwujudan suatu karya seni terjadi melalui suatu proses yang berlangsung mulai dengan dorongan yang dirasakan oleh seorang seniman untuk membuat karyanya sampai saat karya itu menjadi kenyataan. Menurut Djelantik (1990: 57), pada dasarnya proses perwujudan terjadi dalam dua tahap:

  • Penciptaannya yang mulai dengan dorongan yang dirasakan, disusul dengan “Ilham”, yang menemukan cara-cara untuk perwujudannya.
  • Pekerjaan pembuatan karya itu sendiri sampai selesai. Hasilnya disebut”kreasi” atau “ciptaan”

  Kemudian metode yang digunakan mengacu pada pendapat Hawkins, dalam bukunya yang berjudul Creating Through Dance, (dalam Soedarsono, 2001: 207), Hawkins menandaskan bahwa penciptaan sebuah karya tari yang baik selalu melewati tiga tahap: pertama exploration (eksplorasi); kedua improvisation (improvisasi); dan ketiga forming (pembentukan atau komposisi). Ketiga tahap tersebut ditinjau dari prinsip kerjanya sebenarnya dapat pula diterapkan dalam proses penciptaan karya seni lukis.

  Karena ada perbedaan yang hakiki antara seni pertunjukan dengan seni rupa, maka Soedarsono (2001: 207), berpendapat bahwa “rumusan Hawkins perlu sedikit dimodifikasi agar bisa dipergunakan untuk seni rupa. Kegiatan improvisasi untuk tari perlu diganti dengan kegiatan eksperimentasi untuk seni rupa. Pergantian ini, walaupun namanya berbeda, tetapi sebenarnya arah kerjanya sama”. Dalam penciptaan karya seni lukis, aktivitas eksperimentasi dilakukan melalui percobaan-percobaan dalam bentuk sketsa untuk mendapatkan rancangan yang diinginkan. Langkah tersebut dilakukan untuk memudahkan proses perwujudannya ke dalam kanvas sebagai media berekspresi. Maka dalam penciptaan ini metode yang dipergunakan melalui tahapan eksplorasi, eksperimentasi dan pembentukan. Mengenai tahapan-tahapan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

2. Tahap-tahap Penciptaan

a. Eksplorasi

  Tahap ini merupakan proses awal dalam penciptaan karya seni lukis, dengan melakukan pengamatan dan pencermatan pada sumber-sumber objek yang menjadi sumber inspirasi, yaitu pengamatan terhadap kain tenun tradisional Bali, pengamatan terhadap fenomena-fenomena kehidupan bermasyarakat, dan studi kepustakaan menyangkut norma-norma adat dan agama dalam penataan kehidupan di lingkungan masyarakat Bali yang dilandasi oleh agama Hindu. Kemudian untuk melengkapi data-data yang dibutuhkan berkaitan dengan penciptaan ini, diadakan penelusuran tentang esensi Tri Hita Karana melalui kajian pustaka dan wawancara dengan orang-orang yang mengetahui dan memahami falsafah hidup tersebut yang dapat dipertanggungjawabkan.