BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - TRI MULYANI BAB I

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Organisasi merupakan wahana atau sarana yang efektif untuk

  memperjuangkan suatu tujuan yang dicita-citakan. Organisasi-organisasi menciptakan kerangka (setting), yaitu banyak di antara yang melaksanakan proses kehidupan. Sehubungan dengan itu dapat dikatakan bahwa organisasi-organisasi menimbulkan pengaruh besar atas perilaku di masyarakat. Organisasi mengajarkan berbagai banyak pengalaman hidup yang tidak didapat dalam pendidikan formal. Interaksi sosial tercipta antar anggota, karena dalam suatu organisasi terdiri dari banyak anggota yang siap bekerja sama satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama (Kamal Pasha, 2003: 272).

  Muhammadiyah adalah suatu persyarikatan, suatu organisasi, suatu perkumpulan, atau suatu

  Jam‟iyah yang merupakan gerakan Islam yang

  dipelopori oleh Ahmad Dahlan di kampung Kauman. Organisasi ini berawal dari Pendirian pondok oleh K.H. Ahmad Dahlan setelah pulang menunaikan ibadah haji. Pendirian pondok itu bertujuan untuk menampung para pelajar dari luar daerah yang belajar di Yogyakarta.

  Seiring dengan berjalannya waktu, Muhammadiyah mengalami perkembangan yang sangat pesat, yaitu terbukti dengan berdirinya Musyawarah Ulama Muhammadiyah dan berhasil mendakwahkan Islam ke seluruh dunia (Mulkhan, 2010: 9-11).

  1 Selain Majelis dan lembaga, terdapat organisasi Otonom, yaitu organisasi yang bernaung di bawah organisasi induk, dengan masih tetap memiliki kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Dalam Persyarikatan Muhammadiyah memiliki organisasi otonom (ORTOM), yaitu

  „Aisyiyah, Nasyiatul „Aisyiyah (NA), Pemuda Muhammadiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Tapak Suci Putra Muhammadiyah, dan Gerakan Kepanduan Hizbul-Wathan (Kamal Pasha, 2003: 145).

  Pada tahun 1921, beberapa cabang Muhammadiyah yang telah berdiri, yaitu di Srandakan (Yogyakarta), Imogiri (Yogyakarta), Blora (Jawa Tengah), Surakarta (Jawa Tengah), Kepanjen (Jawa Timur). Satu tahun kemudian yaitu tahun 1922 beberapa cabang menyusul berdiri yaitu, Salatiga (Jawa Tengah), Purwokerto (Jawa Tengah), Pekajangan (Jawa Tengah), Jakarta, Garut (Jawa Barat) (Munir Mulkhan, 2010: 15).

  Pada tahun 1930-an, berdirilah Pimpinan Cabang Muhammadiyah Jatilawang. Berdirinya PCM Jatilawang ini tentu saja mempunyai maksud dan tujuan. Seperti yang kita ketahui bahwa Muhammadiyah merupakan suatu persyarikatan yang bergerak dalam dakwah Islam. Pimpinan Cabang Muhammadiyah Jatilawang juga mempunyai amal usaha di antaranya bidang pendidikan, kemasyarakatan, dan bidang keagamaan. Pimpinan Cabang Muhammadiyah Jatilawang juga mempunyai organisasi otonom seperti „Aisyiyah, Nasyiatul „Aisyiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Pemuda Muhammadiyah, dan Hizbul Wathan.

  „Aisyiyah merupakan organisasi otonom Muhammadiyah yang beranggotakan ibu-ibu berusia lebih dari 40 tahun, sedangkan Nasyiatul „Aisyiyah (NA) beranggotakan perempuan berusia lebih dari 20 tahun. Hal yang menarik dari kedua organisasi otonom Muhammadiyah ini adalah beranggotakan perempuan

  . „Aisyiyah merupakan perkumpulan ibu-ibu yang sangat semangat dalam berorganisasi di samping kewajibannya di rumah sebagai seorang ibu dan seorang istri. „Aisyiyah dalam proses pembentukannya juga mempunyai sejarah, serta mempunyai peranan bagi masyarakat. „Aisyiyah mempunyai Amal Usaha di dalam menjalankan kegiatan berorganisasi.

  Pimpinan Cabang „Aisyiyah Jatilawang mempunyai keistimewaan karena sekretariat berada di desa Tinggarjaya, padahal pada umumnya kedudukan cabang ada di kecamatan.

  Berdirinya Pimpinan Cabang „Aisyiyah Jatilawang tentu saja mempunyai tujuan yang baik bagi kesejahteraan masyarakat Jatilawang, terutama desa Tinggarjaya karena sekretariat berada di desa Tinggarjaya. Keberadaan Pimpinan Cabang „Aisyiyah Jatilawang ini memberi perubahan terhadap desa Tinggarjaya. Perubahan tersebut terjadi karena adanya kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan seperti kegiatan dalam bidang ekonomi, pendidikan, sosial, tabligh, dan kesehatan. Bidang-bidang tersebut tentu saja mempunyai kegiatan yang positif, di Tinggarjaya yang paling menonjol ialah bidang ekonomi, pendidikan dan kesehatan.

  Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting dan dibutuhkan oleh seluruh masyar akat. Pimpinan Cabang „Aisyiyah Jatilawang mempunyai

  Amal Usaha dalam bidang Pendidikan dengan mendirikan kelompok bermain dan Taman Kanak-kanak. Pendirian lembaga pendidikan tersebut membawa perubahan yang cukup besar bagi pendidikan di Kecamatan Jatilawang, khususnya desa Tinggarjaya.

  Tinggarjaya merupakan desa tempat awal berkembangnya „Aisyiyah di kecamatan Jatilawang. Desa yang terkenal dengan lahan pertanian yang cukup luas dan subur, terutama persawahan. Tinggarjaya merupakan desa yang menjadi cikal bakal lahirnya gerakan organisasi perempuan „Aisyiyah. Pimpinan Cabang „Aisyiyah Tinggarjaya merupakan nama yang digunakan pada saat awal berdirinya organisasi tersebut. Nama itu kemudian mengalami perubahan menjadi Pimpinan Cabang „Aisyiyah Jatilawang. Hal tersebut dilakukan karena kedudukan cabang di kecamatan.

B. Rumusan Masalah 1.

   Bagaimana proses berdirinya „Aisyiyah di Tinggarjaya? 2. Bagaimana perkembangan Amal Usaha „Aisyiyah dalam bidang

  pendidikan dan Amal Usaha lain di Tinggarjaya? 3.

   Bagaimana peranan „Aisyiyah dalam pengembangan pendidikan dan

  pemberdayaan perempuan di Tinggarjaya? C.

   Tujuan Penelitian

  Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menjelaskan awal mula berdirinya „Aisyiyah di Tinggarjaya.

  2. Mengungkapkan Amal Usaha „Aisyiyah dalam bidang pendidikan dan amal usaha lain di Tinggarjaya.

3. Mengetahui peranan „Aisyiyah dalam pengembangan pendidikan dan pemberdayaan perempuan di Tinggarjaya.

D. Manfaat Penelitian

  Berdasarkan tujuan penelitian diatas, dapat diperoleh manfaat sebagai berikut:

  1. Manfaat teoretis

  a. Hasil penelitian ini diharapkan menambah khasanah pengetahuan khususnya untuk sejarah.

  b. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai awal dari penelitian selanjutnya

  c. Hasil penelitian ini diharapkan memberi sumbangan penelitian bagi kelimuan dan para akademika.

  2. Manfaat Praktis

  a. Hasil penelitian ini diharapkan pengurus dapat meningkatkan kinerja sesuai dengan majlis-majlisnya.

  b. Hasil penelitian ini diharapkan pengurus dapat memperbaiki atau menambah kegiatan baru yang belum dilaksanakan c. Hasil penelitian ini diharapkan pemerintah desa dan masyarakat dapat meningkatkan perhatian dan dukungan terhadap organisasi-organisasi gerakan sosial yang ada.

E. Kajian Pustaka dan Penelitian yang Relevan

  1. Kajian Pustaka Peranan menurut pengertian bahasa dari kamus W.J.S

  Poerwadarminto (1987: 735) adalah sesuatu yang jadi bagian atau yang memegang peran utama, sedangkan Soekanto (2015: 211) mengungkapkan bahwa peranan menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri dari suatu proses. Peranan mencakup hal-hal sebagai berikut :

  a. Norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian ketentuan yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat.

  b. Suatu konsep perihal yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat.

  c. Sebagai perilaku Individu yang penting dalam struktur sosial.

  Maka peran merupakan suatu unsur yang dinamis dari suatu kedudukan atau posisi sebagaimana dijelaskan dalam pengertian diatas.

  Posisi seseorang dalam masyarakat merupakan statis yang menunjukan tempat individu pada organisasi masyarakat. Pentingnya peran adalah karena ia mengatur perilaku seseorang. Peranan menyebabkan perilaku seseorang pada batas-batas tertentu yang meramalkan perbuatan-perbuatan orang lain, sehingga orang yang bersangkutan akan dapat menyesuaikan perilaku sendiri dengan orang-orang sekelompoknya. Hubungan sosial yang ada dalam masyarakat merupakan hubungan antara peranan-peranan individu dalam masyarakat (Soekanto, 2015: 211).

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pemberdayaan merupakan cara ataupun proses untuk menghidupkan sesuatu sehingga menjadi sangat berguna. Pemberdayaan berasal dari kata

  “daya” yang mendapat awalan

  ber- yang menjadi kata “berdaya” artinya memiliki atau mempunyai daya. Daya artinya kekuatan, berdaya artinya memiliki kekuatan. Pemberdayaan artinya membuat sesuatu menjadi berdaya atau mempunyai daya atau mempunyai kekuatan. Pemberdayaan dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari empowerment dalam bahasa inggris.

  Pendidikan adalah hidup. Pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung di semua lingkungan dan sepanjang hidup.

  Pendidikan adalah segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu yang berlangsung seumur hidup karena adanya pengaruh lingkungan, lingkungan pendidikan berlangsung disemua lingkungan hidup, baik yang khusus diciptakan untuk kepentingan pendidikan maupun yang ada dengan sendirinya. Pendidikan berlangsung dalam beragam bentuk, pola, dan lembaga. Pemberdayaan pendidikan merupakan cara ataupun proses untuk membuat pendidikan menjadi semakin mempunyai kekuatan dan berguna bagi masyarakat, proses atau cara tersebut dilakukan dengan mendirikan ataupun mengembangkan pendidikan yang sudah ada, dengan cara mendirikan lembaga pendidikan (Mudyahardjo, 2012: 3-8).

  2. Penelitian yang Relevan Penelitian yang terdahulu yang berkaitan dengan Peranan

  „Aisyiyah, antara lain yang dilakukan oleh Latifah Hayati (2008) dan

  Jajang Kurnia (2011). Latifa h Hayati (2008) yang berjudul “Peran „Aisyiyah dalam Internalisasi Nilai-nilai Muhammadiyah di Kampung Kauman Yogyakarta”. Penelitian ini membahas tentang sejarah „Aisyiyah dan perkembangannya di Kampung Kauman, dan penelitian ini dilakukan di Pimpinan Ranting

  „Aisyiyah Kauman Yogyakarta. Penelitian ini mempunyai tujuan mengetahui perkembangan „Aisyiyah di tingkat ranting

  Kauman Yogyakarta dalam mengembangkan para kadernya dan mengetahui dan memahami posisi dan peran yang dimainkan mayarakat di Kauman Yogyakarta. Penelitian menghasilkan banyak informasi mengenai keadaan Kauman sebelum dan sesudah adanya oganisasi Muhammadiyah ataupun „Aisyiyah, tokoh-tokoh yang berjasa dalam „Aisyiyah di Kauman serta penerapan nilai-nilai Muhammadiyah di Pimpinan Ranting „Aisyiyah di Kauman.

  Jajan g Kurnia (2011) yang berjudul “Peran Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam Pemberdayaan Politik Perempuan”. Penelitian ini membahas tentang kontribusi Pimpinan Pusat

  „Aisyiyah dalam Pemberdayaan Politik Perempuan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pandangan Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam peran politik perempuan, untuk mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam pemberdayaan politik perempuan. Dalam penelitian ini membahas tentang peran kaum perempuan dalam dunia politik, penelitian ini dilakukan di Pimpinan Pus at „Aisyiyah. Penelitian yang berjudul “Peranan „Aisyiyah dalam pemberdayaan pendidikan di Tinggarjaya “ mempunyai tujuan untuk mengetahui proses berdirinya „Aisyiyah di Tinggarjaya, untuk mengetahui peranan „Aisyiyah di Tinggarjaya, dan untuk mengetahui A mal Usaha „Aisyiyah di Tinggarjaya. Penelitian ini dilakukan di Pimpinan Cabang „Aisyiyah Jatilawang di Tinggarjaya. Dari kedua penelitian yang telah dilakukan oleh Latifah Hayati dan Jajang Kurnia maka penelitian ini baru dan bertujuan untuk melengkapi informasi menge nai „Aisyiyah.

  Penelitian yang dilakukan oleh Latifah Hayati bertempat di Pimpinan Ranting „Aisyiyah Kauman Yogyakarta, kemudian penelitian yang dilakukan oleh Jajang Kurnia bertempat di Pimpinan Pusat „Aisyiyah Jakarta. Penelitian yang ber judul “Peranan „Aisyiyah Dalam P emberdayaan Kaum Perempuan di Tinggarjaya” dilakukan di Pimpinan Cabang „Aisyiyah Jatilawang yang bertempat di desa Tinggarjaya kecamatan Jatilawang kabupaten Banyumas.

F. Kajian Teori dan Pendekatan

  1. Kajian Teori Teori Mobilisasi Sumber Daya (Resource Mobilization Theory)

  Resource Mobilization Theory (RMT) , pertama kali diperkenalkan

  oleh Anthony Oberschall, Oberschall mengkritik Mass Society Theory yang dikembangkan Kornhauser, yang pada waktu itu merupakan perspektif yang sangat dominan dalam mengkaji gerakan sosial (social

  

movements ). Menurut Oberschall, mass society theory tidak mampu ketika menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dalam gerakan anti-demokrasi, seperti Gerakan Nazi (Nazism) di Jerman (Oman Sukmana, 2013: 42).

  Resource Mobilization Theory (RMT), memfokuskan perhatiannya

  kepada proses-proses sosial yang memungkinkan muncul dan berhasilnya suatu gerakan. Resource Mobilization Theory lebih banyak memberikan perhatian terhadap faktor-faktor ekonomi dan politik daripada Mass

  

Society Theory atau Relative Deprivation Theory, serta kurang

memberikan perhatian tehadap sifat-sifat psikologi dari anggota gerakan.

  Teori ini juga dibangun tidak didasarkan atas asumsi bahwa terdapat motivasi individu ketika bergabung dalam suatu gerakan, dan adanya keterasingan individu (individual alienation) adalah dianggap tidak relevan (kurang tepat). Resource Mobilization Theory berasumsi bahwa dalam suatu masyarakat dimana muncul ketidakpuasan maka cukup memungkinkan untuk memunculkan sebuah gerakan sosial. Faktor organisasi dan kepemimpinan merupakan faktor yang dapat mendorong atau menghambat suatu gerakan sosial (social movements). Menurut Oberschall dalam Locher (2002) istilah mobilisasi (mobilization) mengacu pada proses pembentukan kerumunan, kelompok, asosiasi, dan organisasi untuk mencapai suatu tujuan kolektif (Oman Sukmana, 2013: 42).

  Klandermans (1984) dengan mengutip pendapat Oberschall, Gamson, Marx dan Wood, McCarthy dan Zald, dan Snow menyatakan bahwa Resource Mobilization Theory (RMT) menekankan pada pentingnya faktor-faktor struktural (structural factor), seperti ketersediaan sumberdaya (the availibilty of resources) untuk kolektivitas dan posisi individu dalam jaringan sosial, serta menekankan rasionalitas tentang partisipasi dalam suatu gerakan sosial. Partisipasi dalam gerakan sosial dipandang bukan sebagai konsekuensi dari sifat-sifat predisposisi psikologis, tetapi sebagai hasil proses-proses keputusan rasional dimana orang melakukan pertimbangan untung dan rugi (reward and cost) atas ketelibatnya dalam gerakan sosial. Sejalan dengan pandangan Klandermans, selanjutnya Waterman dalam Pichardo (1988), menyatakan bahwa mobilisasi sumberdaya (resource mobilization) pada dasarnya suatu teori yang mengkaji rasionalitas dari perilaku gerakan sosial. Menurut Fireman dan Gamson dalam Pichardo (1988) esensi dari Resource

  

Mobilization Theory (RMT) adalah upaya untuk mencari basis rasionalitas

  tentang bentuk dan partisipasi dalam suatu gerakan sosial (Oman Sukmana, 2013: 43).

  Beberapa teoritisi telah melakukan kajian untuk memahami basis rasionalitas partisipasi dalam suatu gerakan sosial. Misalkan Olson dalam Pichardo (1988) mengembangkan model utilitaroan untuk menjelaskan partisipasi perilaku kolektif dan menyatakan bahwa untuk dapat memahami mengapa individu terlibat dalam suatu perilaku kolektif maka harus dianalisis tentang konsep imbalan dan biaya (reward and cost) yang dialami individu tersebut. Berbagai bentuk biaya (cost) yang dihubungkan dengan partisipasi dalam aktivitas kolektif meliputi antara lain : waktu (time), uang (money), keamanan personal (personal safety), dan hilangnya pekerjaan-pekerjaan (loss of job). Olson berpendapat bahwa aktivitas kolektif harus mampu menawarkan pilihan insentif, seperti prestise (prestige), gaji (salary), dan kepemimpinan (leadership) untuk menarik partisipasi masyarakat dalam suatu aktivitas kolektif.

  Sementara Oberschall, McCarthy dan Zald, Gamson, dan Tilly dalam Pichardo (1988) mengkaji berbagai elemen yang diperlukan dalam suatu gerakan dan bagaimana proses dari elemen-elemen ini (khususnya sumberdaya) dimobilisasi untuk digunakan dalam suatu gerakan.

  Pendekatan ini mengkonsentrasikan pada isolasi dan pemahaman atas kekuatan-kekuatan yang berkontribusi terhadap munculnya gerakan sosial, khususnya persyaratan fisik dan lingkungan yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku gerakan. Konsep ini merupakan dasar lahirnya teori mobilisasi sumberdaya (the resource mobilization theory) tentang gerakan sosial. Menurut Halebsky dalam Pichardo (1988), teori sumberdaya menyamakan antara perilaku sosial (social movements behavior) dengan perilaku politik (political behavior). Secara umum model ini berpandangan bahwa keberadaan struktur pemerintah menentukan akses kelompok terhadap sumberdaya masyarakat (Oman Sukmana, 2013: 44).

  Perkembangan gerakan sosial dipandang sebagai produk dari kekuatan-kekuatan lingkungan (enviromental forces) baik bersifat internal maupun eksternal terhadap gerakan. Faktor-faktor internal meliputi : kepemimpinan (leadership), tingkat ketersediaan sumberdaya (level of

  

available resources ), ukuran kelompok (group size), dan tingkat dari

  organisasi internal (degree of internal organization). Sedangkan faktor- faktor eksternal meliputi : tingkat represi dari masyarakat (the level of

  

societal repression ), tingkat simpatisan eksternal (extent of extternal

sympathizers ), serta jumlah dan kekuatan kelompok politik (number and

strength of polity groups ). Menurut Pichardo (1988) interaksi dari berbagai

  faktor tersebut disebut sebagai faktor penentu atas perkembangan dan perilaku dari suatu gerakan sosial.

  Atas dasar berbagai kajian tentang basis rasionalitas partisipasi dalam tindakan kolektif, kemudian Pichardo (1988) melihat bahwa terdapat tiga elemen dasar dalam teori mobilisasi sumberdaya tentang proses terjadinya suatu gerakan sosial, yakni : sumberdaya (resources), motivasi (motivation), dan lingkungan politik (political environment).

  Menurut Canel dalam Triwibowo (2006) pendekatan RMT memusatkan analisisnya pada seperangkat proses kontekstual (keputusan mengenai pengelolaan sumberdaya, dinamika organisasi, serta perubahan politik) yang memampukan gerakan sosial untuk mengoptimalkan potensi- potensi struktural yang dimiliki guna mancapai tujuannya. Pendekatan ini menganalisis bagaimana para aktor gerakan sosial mengembangkan strategi dan berinteraksi dengan lingkungannya untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka. Munculnya gerakan sosial dan capaian dari aktivisme mereka dipandang sebagai hasil dari proses yang terbuka dan dipengaruhi oleh serangkaian taktik, strategi dan keputusan tertentu yang dipilih oleh para aktor dalam konteks relasi kuasa dan interaksi konfliktual yang ada (Oman Sukmana, 2013: 44).

  Selanjutnya terdapat dua model analisis dalam pendekatan

  

Resource Mobilization Theory menurut Pichardo (1988) dan Triwobowo

  (2006), yakni : Pertama, The Political-interactive model (The Political process

  

models ). Model ini dikembangkan oleh Tilly, Gamson, Oberschall dan

  McAdam. Model ini lebih menekankan pentingnya perubahan struktur kesempatan bagi aksi kolektif, keberadaan jejaring (network), serta kaitan horizontal yang telah terbangun dengan kelompok-kelompok tertindas (aggrieved groups) sebagai faktor penentu keberhasilan gerakan sosial.

  Model ini menempatkan relasi gerakan sosial dengan negara dan bingkai sistem politik yang ada sebagai determinan yang penting bagi keberhasilan gerakan sosial. Jika negara kuat dan represif, maka gerakan sosial sulit untuk mencapai tujuannya, demikian juga sebaliknya. Pichardo (1988) menjelaskan bahwa model ini menekankan pada kapasitas internal dari komunitas untuk menghasilkan organisasi gerakan sosial (Oman Sukmana, 2013: 45).

  Kedua, The Organizational-entrepreneurial model (The

  

Professional organizer models ). Model ini dikembangkan oleh McCarthy

  dan Zald. Model ini memandang bahwa dinamika organisasional, kepemimpinan, dan pengelolaan sumberdaya merupakan faktor yang lebih signifikan dalam menentukan keberhasilan gerakan sosial. Model ini pada dasarnya mengaplikasikan teori pengembangan organisasi untuk menganalisis gerakan sosial serta memandang bahwa organisasi formal merupakan carriers of social movements. Organisasi gerakan sosial adalah suatu organisasi yangt kompleks atau formal, yang mengidentikan tujuannya dengan preferensi dari gerakan sosial dan berusaha mewujudkan pencapaian tujuan-tujuan tersebut.

  Setiap Social Movement Organization (SMO) harus mampu

  mnegelola sumber-sumber (resources) yang tersedia dengan baik. Sumber- sumber dimaksud meliputi sumber-sumber material, seperti pekerjaan (jobs), penghasilan (income), dan tabungan (savings), serta sumber-sumber non material seperti wewenang (authority) komitmen moral (moral

  

commitment ), kepercayaan (trust), persahabatan (friendship), kemampuan

  (skills) dan sebagainya. Menurut Oberschall dalam Locher (2002) keberhasilan dan kegagalan sebuah gerakan, tergantung atas seberapa banyak orang-orang yang tergabung ke dalam organisasi, bagaimana mengarahkan mereka, apa pengorbanan mereka, bagaimana mereka bertahan terhadap pihak lawan (opponents).

  Oberschall dalam Locher (2002) menyatakan bahwa keberadaan kelompok sosial akan lebih memungkinkan untuk memunculkan suatu gerakan sosial jika kelompok sosial tersebut tersegmentasi akan menarik keanggotaannya dari kelas khusus dalam suatu masyarakat. Semakin tersegmentasi kelompok asosiasi dalam suatu masyarakat, maka semakin besar kemungkinannya untuk dimobilisasi ke dalam Social Movement

  Organization (SMO). Kesamaan keanggotaan dalam suatu kelompok cenderung memiliki kesamaan juga dalam hal keinginan bersama.

  Faktor penting mengapa kelompok lebih mudah untuk melakukan mobilisasi karena kelompok memiliki jaringan komunikasi yang sudah mapan (established), terdapatnya anggota dengan kemampuan kepemimpinan, dan adanya partisipasi tradisional dari para anggotanya.

  Selain itu, dalam kelompok juga terdapat pemimpin, anggota, tempat pertemuan, kegiatan rutin, rantai sosial, dan berbagi kepercayaan, symbol serta bahasa yang sama. Seorang pemimpin dalam suatu Organisasi Gerakan Sosial harus memusatkan perhatiannya kepada masalah mobilisasi, hal-hal yang membuat ketidak puasan, pilihan taktis, dan infrastruktur masyarakat dan gerakan yang diperlukan agar suatu gerakan sosial berhasil.

  Pemimpin (leaders) dalam suatu organisasi gerakan sosial, memiliki resiko dan tanggungjawab yang lebih besar daripada para anggotanya, namun mereka juga akan menerima keuntungan yang lebih besar atas keberhasilan suatu gerakan sosial. Pemimpin biasanya akan mendapatkan keuntungan dalam hal status dan wewenang, kadang-kadang juga dalam hal kekayaan, atas posisinya dalam suatu organisasi gerakan sosial. Menurut Morris dan Staggenborg dalam Snow, Soule dan kriesi (2004) menyatakan bahwa para pemimpin (leaders) sangat penting dalam gerakan sosial, mereka menginspirasi komitmen, memobilisasi sumber- sumber, menciptakan dan memahami kesempatan-kesempatan, menyusun strategi, membingkai tuntutan-tuntutan, dan mempengaruhi hasil-hasil. Pemimpin gerakan (leaders movement) didefinisikan sebagai pembuat keputusan strategis (strategic decision-makers) yang menginspirasi dan mengorganisasikan orang lain untuk berpartisipasi dalam gerakan sosial (Oman Sukmana, 2013: 46).

  Menurut Singh (2010) teori mobilisasi sumber daya yang berbasiskan rasionalitas, tetaplah sebuat teori yang tidak persis dan tidak mencukupi. Ia gagal menjelaskan beberapa ekspresi kuat GSB: feminisme, environmentalism, perdamaian, pelucutan senjata, dan gerakan perekonomian lokal. Ini bukan proaktif atau offensive. Dengan tepat Cohen menyatakan bahwa “aktor-aktor kolektif kontemporer dengan sadar berjuang melawan kekuasaan untuk secara sosial membangun identitas baru, untuk menciptakan ruang demokratis bagi aksi sosial otonom. Apa yang penting adalah : (1) menemukan serangkaian kondisi, faktor dan kekuatan pendorong yang digunakan para aktor-aktor kolektif untuk menciptakan identitas, solidaritas, dan mempertahankan itu semua, (2) memeriksa hubungan antara musuh-musuh dengan isu-isu dalam konflik, dan (3) untuk mengenali latar sosial dan budaya aksi kolektif sebagaimana kondisi dan kekuatan pendorong ini membentuk dan mencetak perenungan dan kesadaran para aktor dalam situasi konkrit aksi kolektif dan gerakan sosial (Oman Sukmana, 2013: 47).

  „Aisyiyah merupakan organisasi otonom Muhammadiyah yang mempunyai tujuan menumbuhkan kesadaran masyarakat, khususnya perempuan terhadap berbagai masalah, memperkenalkan pandangan bahwa islam menganggap perempuan setara dengan laki-laki baik dalam ranah keagamaan maupun sosial. „Aisyiyah juga menganjurkan pembaharuan budaya dengan menggalakan penafsiran ulang terhadap pandangan yang menganggap perempuan sebagai pihak yang inferior.

  Penggunaan nama „Aisyiyah menunjukan bahwa tujuan organisasi yang bersangkutan adalah pembaruan budaya. Diadopsi dari sebuah nama salah seorang istri Nabi Muhammad yaitu „Aisyah. Nama „Aisyiyah akhirnya terpilih dari beberapa nama yang diajukan, nama tersebut adalah cerminan dari apa yang dicita-citakan Muhammadiyah tentang perempuan muslim, yakni seorang istri yang mandiri dan mampu aktif dalam ranah sosial, seperti halnya „Aisyah. Ideologi semacam itu bukanlah hal aneh bagi budaya masyarakat Kauman, yang merupakan “masyarakat matriarkis” dalam artian bahwa perempuan sering kali menjadi pencari nafkah. „Aisyiyah berperan sebagai ibu atau istri, sementara Muhammadiyah berperan sebagai ayah atau suami. Kombinasi ini adalah bagian dari sebuah usaha untuk memelihara konsep islam tentang pasangan. Dengan kata lain secara ideologis, Muhmmadiyah dan „Aisyiyah dibayangkan sebagai ayah dan ibu yang membentuk sebuah keluarga.

  Konsep Keluarga yang menubuh di sini dimaksudkan untuk membedakan keluarga itu dari keluarga bangsawan Jawa yang disitu sang ibu memiliki status yang sangat remeh dan anak-anak semata-mata dimiliki oleh sang ayah, oleh karena itu, „Aisyiyah menyimbolkan seorang ibu yang aktif dan terlibat dalam proses pembuatan keputusan dalam sebuah keluarga, sebuah penolakan tegas terhadp kepatuhan total dari seorang istri seperti yang digariskan dalam kebudayaan Jawa, yaitu penolakan terhadap gagasan yang dikenal sebagai suwarga nunut neraka katut (Ro‟fah, 2016: 32-33).

  Berdirinya „Aisyiyah membawa perubahan besar karena mempunyai peranan penting. Hal tersebut terbukti setelah dua tahun berdiri „Aisyiyah merintis adanya pendidikan dini untuk anak-anak, ialah semacam playgroup yang kemudian berkembang menjadi TK yang tersebar di seluruh Indonesia. TK milik „Aisyiyah diseragamkan dengan sebutan nama TK „Aisyiyah Bustanul Athfal. Penyeragaman sebutan ini diambil/diinsturksikan pada kesempatan Pimpina n Pusat „Aisyiyah mengadakan workshop ke-10 wilayah pada tahun 1973. Hal ini menunjukan betapa besar minat „Aisyiyah terhadap pentingnya pendidikan diberikan kepada anak-anak sejak dini, baik pendidikan agama maupun pendidikan umum. Anak-anak ini diharapkan menjadi orang yang pandai dan bijaksana, memahami ilmu agama dan mampu melaksanakan tuntunan-tuntunan sebagai muslim yang baik, dapat menguasai ilmu-ilmu yang lain untuk dapat ikut aktif dalam pembangunan negara sebagai warga negara yang baik, dan mampu menerima estafet kepemimpinan pada saatnya nanti.

  Tahun 1922, mendirikan mushola „Aisyiyah di Kampung Kauman Yogyakarta, dijadikan pusat kegiatan anggota, maksudnya musholla tersebut dijadikan tempat ibu- ibu „Aisyiyah membicarakan rencana- rencana kegiatannya, dan disitulah mucul bermacam-macam ide baru untuk membuka amal usaha organisasi. Tahun 1923 mengadakan Gerakan Pemberantasan Buta Huruf, baik huruf latin maupun huruf Arab.

  „Aisyiyah yakin bahwa kebodohan harus dihilangkan, setidak-tidaknya dikurangi. Buta huruf latin dan Arab merupakan hal pokok untuk menghilangkan/mengurangi kebodohan tersebut. Dengan dapat membaca dan menulis, orang dapat menggali ilmu-ilmu yang bermanfaat. Hal tersebut membuktikan bahwa „Aisyiyah sangat berperan dalam memajukan bangsa.

  Tahun 1926 menerbitkan majalah organisasi, diberi nama Suara

  „Aisyiyah. Majalah organisasi yang sederhana, menggunakan bahasa

  daerah (bahasa jawa). Dengan menerbitkan majala h ini, berarti „Aisyiyah benar-benar memahami perlunya alat komunikasi yang dapat dengan cepat sampai kepada umat, karena pada waktu itu „Aisyiyah sudah mulai berkembang jauh dari Yogyakarta. „Aisyiyah telah memikirkan penggunaan alat canggih sesuai dengan situasi dan kondisi pada waktu itu.

  Dengan demikian „Aisyiyah dapat memberikan informasi tentang kemajuan organisasi atau penjelasan-penjelasan kepada umat lewat media massa majalah Suara „Aisyiyah tersebut.

  2. Pendekatan Pada penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan Sosiologi.

  Pendekatan Sosiologi digunakan untuk mengkaji hubungan antara individu dalam masyarakat yang luas. Pada masyarakat yang luas bentuk kerjasama mutlak diperlukan karena dalam kehidupan masyarakat terjadi interaksi antara pemimpin dan lingkungan. Pendekatan Sosiologi lebih ditekankan kepada peranan perilaku kepemimpinan, kelangsungan, dan interaksi timbal balik diantara semua variabel-variabel yang ada (Thioha, 2010: 46).

  Peneliti menggunakan pendekatan sosiologi karena fokus peneliti berada pada peranan organisasi dalam sebuah masyarakat, kiprah dari organisasi „Asiyiyah di dalam masyarakat yang mempunyai banyak manfaat bagi masyarakat di desa Tinggarjaya, kecamatan Jatilawang.

G. Metode Penelitian Metode merupakan suatu cara untuk mencapai ilmu pengetahuan.

  Jika sebuah ilmu tidak mempunyai metode, maka ia tidak layak disebut sebagai ilmu (Priyadi, 2013: 48). Metode sejarah adalah suatu cara seorang sejarawan mendekati objek penelitiannya dengan langkah-langkah yang terstruktur sehingga akan mempermudah dalam memperoleh data sejarah (Priyadi, 2013: 111). Metode penelitian sejarah meliputi : 1) Heuristik

  Langkah kerja sejarawan untuk mengumpulkan sumber-sumber (sources) atau bukti-bukti (evidences) sejarah ini disebut heuristik. Kata Heuristik berasal dari kata heurisken dalam bahasa Yunani yang berarti mencari atau menemukan. Dalam bahasa latin heuristik dinamakan sebagai arts inveniendi (seni mencari) atau sama artinya dengan istilah

  arts of invention dalam bahasa Inggris (Daliman, 2012: 51-52).

  Heuristik merupakan istilah untuk mencari dan menemukan sumber sejarah. Dalam mencari sumber tidak mudah seperti membalikan telapak tangan. Data sejarah tidak selalu tersedia dengan mudah sehingga untuk memperolehnya harus bekerja keras mencari data lapangan, khususnya artifact, baik pada situs-situs sejarah maupun lembaga museum (milik pemerinta atau pribadi), atau mencari data sejarah lisan yang menyangkut para pelaku dan penyaksi sejarah atau dokumen yang tersimpan pada lembaga, baik kearsipan maupun arsip perorangan, atau naskah-naskah yang juga tersimpan pada lembaga, baik perpustakaan maupun perorangan (Priyadi, 2013: 112).

  Dalam tahap heuristik, peneliti menggunakan wawancara mendalam untuk mendapatkan informasi yang diperlukan. Wawancara dilakukan dengan

  Ketua Umum Pimpinan Cabang „Aisyiyah Jatilawang, yaitu Siti Khuszaemah. Selain wawancara mendalam, informasi juga diperoleh dari dokumen-dokumen yang dimiliki oleh Pimpinan Cabang „Aisyiyah Jatilawang. Dokumen tersebut di antaranya adalah surat keputusan berdir inya Pimpinan cabang „Aisyiyah Jatilawang, dan dokumentasi kegiatan yang dilakukan oleh Pimpinan Cabang „Aisyiyah

  Jatilawang. Informasi juga didapat dari kepala desa Tinggarjaya serta kepala kelompok bermain dan taman kanak- kanan „Aisyiyah Bustanul Athfal di Jatilawang. 2) Kritik

  Kritik dalam penelitian sejarah identik dengan kritik sumber, yaitu kritik ekstern yang mencari otentisitas atau keotentikan (keaslian sumber dan kritik intern yang menilai apakah sumber itu memiliki kredibilitas (kebiasaan untuk dipercaya) (Priyadi, 2013: 75). Tujuan dari kegiatan ini ialah bahwa setelah peneliti berhasil mengumpulkan sumber-sumber, ia tidak akan menerimanya begitu saja apa yang tercantum dan tertulis pada sumber-sumber itu. Langkah seharusnya sumber itu harus disaring secara kritis, terutama terhadap data dari sumber lain, agar terjaring fakta. Langkah-langkah inilah yang dimaksud kritik sumber, baik terhadap bahan materi (ekstern) sumber maupun terhadap substansi (isi) sumber (Sjamsuddin, 2007: 131).

  Kritik atau verifikasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mengkritik sumber lisan melalui wawancara simultan. Wawancara simultan ini bisa dimanfaatkan sekaligus selain untuk memperoleh sumber sejarah lisan, juga untuk melakukan kritik sumber, baik kritik ekstern maupun kritik intern. Kritik Ekstern yang menuntut terhadap sumber lisan dalam hal keautentikan sumber, maka sejarawan dapat meminta kesaksian pelaku lain apakah benar orang itu pelaku atau terlibat dalam peristiwa. Wawancara simultan juga dimanfaatkan untuk melakukan kritik intern. Kritik Intern ditempuh dengan membandingkan antar sumber, atau antar sumber sejarah lisan.

  Sumber sejarah lisan yang berversi-versi itu dibandingkan satu sama lain sehingga akan diketahui versi yang kuat dan versi yang lemah.

  Versi yang kuat biasanya didukung oleh banyak pelaku, versi lemah yang tidak mendapat dukungan. Perbandingan versi akan menyimpulkan bahwa versi tertentu itu mengada-ada atau dibuat-buat oleh pelaku tertentu. Namun, koreksi dari pelaku-pelaku lain dapat mendeteksi versi tertentu sesuai dengan apa adanya. Sesuatu yang apa adanya adalah fakta sejarah yang lolos dari kritik ekstern dan kritik intern. Kritik Ekstern bermain pada tataran keatutentikan atau keaslian sumber, sedangkan kritik intern bekerja pada kawasan kredibilitas atau tingkat bisa dipercaya (Priyadi, 2014: 96- 98).

  Dalam penelitian ini peneliti mewawancarai ketua umum Pimpinan Cabang „Aisyiyah Jatilawang yaitu Siti Khuszaemah, informasi yang diperoleh dari beliau diperkuat dengan adanya dokumen-dokumen yang dimiliki oleh PCA Jatilawang. Selain dokumen yang menjadi penguat, juga wawancara dengan guru- guru TK „Aisyiyah se-kecamatan

  Jatilawang. Guru-guru tersebut membenarkan bahwa Siti Khuszaemah sudah bergabung dan mengetahui tentang Muhammadiyah khususnya „Aisyiyah sejak beliau masih kecil. Jadi, informasi yang diperoleh dari beliau kuat. Kepala desa Tinggarjaya yaitu Sidan Hadi Danu Martopo juga mengakui bahwa Siti Khuszaemah berasal dari keluarga Muhammadiyah dan sudah menekuni organisasi sejak beliau masih kecil.

  Informasi yang diperoleh dari Siti Khuszaemah juga tidak berbeda dengan informasi yang diperoleh dari narasumber lain. Sebelum melakukan wawancara dengan narasumber lain yaitu kepala TK „Aisyiyah Bustanul Athfal dan kelompok bermain se-kecamatan Jatilawang.

  Pemilihan narasumber tersebut juga merupakan rekomendasi dari Siti Khuszaemah selaku Ketua umum Pimpinan Cabang „Aisyiyah Jatilawang.

  Informasi yang diperoleh peneliti kuat karena tidak hanya berasal dari satu narasumber. Dokumen yang ada di PCA Jatilawang juga lengkap dan dapat memperkuat data. 3) Interpretasi

  Interpretasi berarti menafsirkan atau memberi makna kepada fakta- fakta (facts) atau bukti-bukti sejarah (evidences). Interpretasi diperlukan karena pada dasarnya bukti-bukti sejarah sebagai saksi (witness) realitas dimasa lampau adalah hanya saksi-saksi bisu biasa. Penafsiran dalam metode sejarah menimbulkan subjektifitas yang sangat sukar dihindari, karena ditafsirkan oleh sejarawan, sedangkan yang objektif adalah peristiwanya. Penafsiran model sejarah tersebut dapat diterapkan dalam ilmu antropologi, seni pertunjukan, studi agama, filologi, arkeologi dan ilmu sastra (Priyadi,2011: 88-89).

  Dalam menginterpretasikan fakta sejarah, sejarawan berusaha mendeskripsikan secara detail fakta-fakta yang disebut analisis. Deskripsi ini dilakukan agar fakta-fakta yang sudah diperoleh akan menampilkan jaringan antar fakta sehingga fakta-fakta itu saling bersinergi. Setelah dianalisis, kemudian akan mensintesiskan deskripsi dari hasil analisis. Sintesis berarti merangkaikan hasil-hasil analisis fakta yang berdiri sendiri-sendiri sehingga fakta-fakta itu akan saling bertautan, saling menyulam, dan saling membentuk jaringan, atau teks sejarah yang saling menguatkan. Dengan demikian, karya sejarah adalah karya jaringan atau tekstual, yang meliputi fakta-fakta (mentifact, socifact, dan artifact) yang saling menguatkan, utuh dan bulat (Priyadi, 2013: 121-122).

  Data yang sudah diperoleh dari semua narasumber melalui wawancara secara langsung dikumpulkan dan menghasilkan fakta. Fakta- fakta tersebut dideskripisikan dengan menggunakan teori. Teori yang digunakan dalam penelitian ini ialah teori mobilisasi sumberdaya. Fakta yang diperoleh dari penelitian ini ialah fakta mentifact. Fakta mentifact merupakan fakta yang berasal dari pemikiran-pemikiran orang yang terlibat dan merupakan bagian dari organisasi perempuan Pimpinan Cabang „Aisyiyah Jatilawang.

  4) Historiografi Historiografi yaitu langkah terakhir dalam metode sejarah atau sering disebut dengan penulisan sejarah atau penyusunan cerita sejarah.

  Ketika sejarawan mengerahkan seluruh daya pikirnya, bukan saja ketrampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan, tetapi yang utama penggunaan pikiran-pikiran kritis dan analisa-analisanya karena pada dasarnya ia harus menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitiannya atau penemunya itu dalam suatu penulisan utuh yang disebut historiografi. Keberartian (signifikasi) semua fakta yang dijaring melalui metode kritik baru dapat dipahami hubungannya satu sama lain setelah semuanya ditulis dalam suatu keutuhan bulat historiografi (Sjamsuddin , 2007: 156).

  Pada tahap penulisan ini, peneliti menyajikan laporan hasil penelitian dari awal hingga akhir, yang meliputi masalah-masalah yang harus dijawab (Priyadi, 2011: 92). Tujuan Penelitian adalah menjawab masalah-masalah yang telah diajukan, yaitu Bagaimana Proses berdirinya „Aisyiyah di Tinggarjaya? Bagaimana perkembangan Amal Usaha „Aisyiyah dalam bidang pendidikan dan Amal Usaha lain di Tinggarjaya? Bagaimana peranan „Aisyiyah dalam pengembangan pendidikan dan pemberdayaan perempuan di Tinggarjaya?

  Historiografi yaitu penulisan atau penyusunan, rekontruksi sejarah. Ketika sejarawan mengerahkan seluruh daya pikirnya, bukan saja ketrampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan, tetapi yang terutama menggunakan pikiran-pikiran kritis dan analisisnya karena ia pada akhirnya harus menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitiannya (Sjamsuddin, 2007: 156).

  Dalam penelitiaan yang telah dilakukan, peneliti memperhatikan aspek-aspek kronologis peristiwa. Aspek ini sangat penting karena penelitian ini merupakan penelitian sejarah sehingga peristiwa-peristiwa yang terjadi harus disajikan secara detail, hal tersebut akan mempermudah pembaca untuk memahami dan mengetahui informasi yang ditulis dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini selanjutnya akan disajikan dalam beberapa bab sesuai dengan pembahasan yang terkait satu sama lain sehingga penyajian dapat dipahami dan dimengerti oleh pembaca dengan benar.

  Pada hakikatnya, proses historiografi meliputi (1) Pengantar, (2) hasil penelitian, (3) simpulan. Penulisan sejarah sebagai laporan seringkali disebut karya historiografi yang harus memperhatikan aspek kronologis, periodesasi, serialisasi, dan kausalitas, sedangkan pada penelitian antropologi tidak boleh mengabaikan aspek holistik (menyeluruh) (Priyadi, 2011: 92).

H. Sistematika Penulisan

  Sistematika penulisan hasil penelitian ini disusun kedalam lima Bab, lima Bab itu mempunyai Sub Bab yang akan memberi penjelasan mengenai hasil penelitian, sehingga akan mempermudah pembaca dalam memahami isi dari hasil penelitian ini, Lima bab tersebut yaitu :

  Bab pertama adalah Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka dan penelitian yang relevan, kajian teori dan pendekatan, metode penelitian, dan Sistematika penulisan.

  Bab dua yaitu Sejarah „Aisyiyah di Tinggarjaya, yang membahas tentang awal mula berdirinya „Aisyiyah di Tinggarjaya, berdirinya Pimpinan Cabang „Aisyiyah Jatilawang di Tinggarjaya, dan perkembangan Pimpinan Cabang „Aisyiyah Jatilawang di Tinggarjaya.

  Bab tiga yaitu Amal Usaha „Aisyiyah dalam bidang pendidikan dan amal usaha lain di Tinggarjaya, pada bab ini akan membahas tentang Amal usaha

  „Aisyiyah dalam bidang pendidikan, bidang ekonomi, bidang kesehatan, bidang sosial, bidang tabligh dan bidang kader.

  Bab empat yaitu Peranan „Aisyiyah dalam pengembangan pendidikan dan pemberdayaan perempuan di Tinggarjaya, yang akan membahas tentang Kiprah Pimpinan Cabang „Aisyiyah Jatilawang dalam Pengembangan Pendidikan di Tinggarjaya,

  Peran „Aisyiyah dalam pemberdayaan perempuan di Tinggarjaya , dan Hubungan sosial „Aisyiyah dengan organisasi otonom Muhammadiyah lainnya dan masyarakat.

  Bab lima adalah penutup, penutup berisi tentang kesimpulan dan saran. Kesimpulan dari seluruh hasil penelitian dan saran penulis.