BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian kesejahteraan psikologis - TEDY DHEA PRATIWI BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian kesejahteraan psikologis Ryff (dalam Neila, 2016) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai kondisi mental yang dianggap sehat dan berfungsi maksimal. Kesejahteraan psikologis menjadi faktor penting dalam menentukan

  kualitas hidup individu. Kondisi mental yang sehat mengarahkan individu untuk berusaha mencapai suatu keseimbangan dalam hidup dengan menerima kualitas positif dan negatif diri, menyadari potensi yang dimiliki, mampu menyesuaikan diri dengan kondisi yang sulit, serta mampu memberikan kontribusi kepada orang lain dan lingkungan sekitar.

  Kesejahteraan psikologis adalah salah satu konsep yang berkembang dalam ranah psikologi positif. Konsep kesejahteraan psikologis ini merupakan gambaran dari kesehatan psikologis seseorang. Tingkat kesehatan psikologis ini didasarkan pada pemenuhan kriteria fungsi kesehatan mental positif yang dikemukakan oleh para ahli psikologi Wulandari (2011).

  Kesejahteraan psikologis mengarah pada kebahagiaan dan pencapaian penuh atas potensi psikologis sebagai hasil dari pengalaman hidup, sehingga mampu berfungsi secara optimal. Pencapaian kesejahteraan psikologis berkaitan dengan adanya hasrat untuk selalu bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang produktif melalui pedoman dan kebermaknaan dalam hidup. Kesejahteraan psikologis memiliki nilai yang tinggi dalam kehidupan, sehingga setiap individu akan berupaya dengan berbagai cara untuk mencapai kesejahteraan psikologis.

  Carr (2004) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis adalah pencapaian penuh potensi psikologis individu. Kesejahteraan psikologis lebih menekankan pada kondisi optimis dibandingkan kondisi pesimis. Individu yang pesimis berkaitan dengan depresi, ketakutan, dan kecemasan dalam menghadapi situasi dengan ketidakpastian. Individu yang optimis akan membantu diri dengan menggunakan kemampuan yang dimiliki dalam mempersiapkan strategi untuk mengelola situasi dengan berbagai tekanan.

  Kemampuan dalam mengelola berbagai peluang yang ada pada setiap tekanan akan terkait dengan perubahan yang positif dalam kesejahteraan fisik, kesejahteraan psikologis, dan peningkatan kemampuan diri. Individu yang optimis akan memiliki ketangguhan dan keyakinan dalam diri atas kemampuan yang dimiliki, ketika menghadapi situasi dengan ketidak pastian.

  Ryff dan Keyes (dalam Neila, 2016) saat menyusun skala well-being. Grant, Christianson, dan Price (2007) menyebutnya sebagai ‘kebahagiaan’ sedangkan Kahneman, Krueger, Schkade, Schwarz, Stone (2004) menggunakan istilah well-being unt uk menjelaskan ‘keberfungsian individu’, Dimensi ini berfokus pada pengalaman subjektif individu yang mencakup dua komponen yakni hedonik dan eudamonik. Hedonik mengacu pada pengalaman subjektif tentang kesenangana seperti kepuasan kerja, sedangakan eudamonik fokus pada pemenuhan dan realisasi potensi manusiawi seperti komitmen dan kaitan kerja (Ryan, Huta, dan Deci,2008).

  Berdasarkan penjelasan para ahlidiatas disimpulkan pengertian kesejahteraan psikologis merupakan kondisi mental yang sehat akibat penerimaan hal yang positif dan negatif sehingga mengalami munculnya bahagia dan berfikir positif.

2. Dimensi kesejahteraan psikologis

  Ryff dan Singer (dalam Susi, Meithy, & Rachia, 2017) menjelaskanpsychological well-beingkedalam enam aspek yakni: a. Penerimaan diri

  Penerimaan diri merupakan salah satu karakter dari individu yang mengakualisasikan dirinya sehingga mereka dapat menerima dirinya apa adanya, memberikan penilaian yang tinggi pada individualitas dan keunikan diri sendiri. Dalam mendefinisikan dimensi ini, Ryff (dalam Susi et al. 2017) menggunakan beberapa pemikiran dari tokoh-tokoh terdahulu seperti Rogers, Allport, Erikson, dan Maslow.

  Menurut Rogers (2009), karakteristik dari kematangan. Individu ini akan memiliki keamanan emosional, mereka tidak terpuruk dengan hal yang tidak berjalan sesuai dengan harapan, mereka menyadari bahwa frustasi dan ketidaknyamanan merupakan bagian dari kehidupan. Erikson (dalam Susi, Meithy, &Rachia, 2017) berpendapat bahwa hal ini juga melibatkan penerimaan akan masa lalu, dengan keberhasilan dan kegagalan yang dialami individu. Begitu pula dengan Maslow, ia berpendapat bahwa penerimaan diri merupakan salah satu syarat aktualisasi diri. Dari penjabaran tersebut, menurut Ryff (dalam Susi et al. 2017) kriteria seseorang yang memiliki skor dimensi penerimaan diri yang tinggi dideskripsikan sebagai individu yang memilki sikap positif terhadap diri sendiri, mengetahui dan menerima berbagai aspek diri (baik kualitas baik maupun kualitas buruk) merasa positif akan kehidupan masa lalu.

  b. Hubungan positif dengan orang lain Dimensi penting lain dari psychological well-being adalah kemampuan individu untuk membina hubungan yang hangat dengan orang lain. Allport (dalam Susi, Meithy, &Rachia, 2017) memasukkan hubungan yang hangat dengan orang lain sebagai kriteria dari kematangan, yaitu kemampuan untuk memiliki keintiman yang luas dalam cinta, baik dengan anggota keluarga atau teman, dan menunjukkan kasih sayang, penghormatan, dan harapan yang dimiliki orang lain, serta tidak mengeksploitasi orang lain untuk keuntungan pribadinya. Erikson juga memasukkan kemampuan menjalin hubungan yang intim dengan orang lain (intimacy) sebagai salah satu tugas perkembangan, terutama pada tahap dewasa muda. Kemampuan untuk menjalin hubungan yang positif dengan orang lain ini ditekankan berulang kali dalam teori positivefunctioning, maka Ryff menetapkan hal ini sebagai salah satu dimensi psychologicalwell-being.

  c. Otonomi Dimensi otonomi menyangkut kemampuan untuk menentukan nasib sendiri (self-determination), bebas dan memilki kemampuan untuk mengatur perilaku sendiri. Menurut Maslow (2009), otonomi merupakan salah satu syarat aktualisasi diri, dengan demikian inidividu bergantung pada diri sendiri untuk perkembangan dirinya. Otonomi tidak berarti antisosial atau tidak konform, melainkan mengikuti standar tingkah laku pribadi dan tidak begitu saja mengikuti aturan diri orang lain. Rogers (dalam Susi et al. 2017) pun berpendapat bahwa individu yang berfungsi secara penuh akan memiliki lokus evaluasi internal. Dengan demikian, individu akan mengevaluasi dirinya berdasarkan standar pribadi, bukan standar yang dianut orangorang lain. Selain Maslow dan Rogers, pentingnya regulasi tingkah laku dari dalam diri juga ditekankan oleh Jahoda (dalam Susi et al. 2017). Berbeda dengan tokoh-tokoh sebelumnya, Jung lebih menekankan konsep otonomi pada pembebasan diri dari konvensi/adat, yang berarti individu tidak lagi terikat dengan ketakutan bersama, kepercayaan, dan hukum yang dianut orang banyak.

  d. Penguasaan lingkungan

  Penguasaan lingkungan merupakan kemampuan individu untuk memilih, menciptakan dan mengelola lingkungan agar sesuai dengan kondisi psikologisnya dalam rangka mengembangkan diri. Menuru Allport (dalam Susi, Meithy, &Rachia, 2017) mendeskripsikan individu yang matang sebagai seseorang yang membangun ketertarikan yang kuat di luar diri dan berpartisipasi dalam aktivitas manusia. Individu ini memiliki persepsi yang realistis terhadap lingkungan di sekitarnya, mereka tidak hidup di dunia khayalan dan tidak membelokkan realita untuk menyesuaikannya dengan harapan mereka (2009).

  Pembahasanpenguasaan lingkungan, Buhler (dalam Susi, Meithy, &Rachia, 2017) juga menyatakan bahwa manusia memilki kecenderungan untuk mengubah dunia disekelilingnya melalui aktivitas fisik ataupun mental. Birren dan Renner juga mengemukakan bahwa seseorang yang sehat secara mental akan mengambil kesempatan- kesempatan yang muncul di lingkungan sekitarnya. Kesimpulannya, perspektif ini menyatakan bahwa partisipasi aktif dan penguasaan lingkungan merupakan hal yang penting bagi seorang individu untuk dapat berfungsi secara maksimal.

  Berdasarkan penjabaran tersebut, kriteria yang ditetapkan untuk dimensi penguasaan lingkungan adalah memiliki rasa penguasaan lingkungan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan, mengontrol kelompok aktivitas eksternal yang kompleks, menggunakan kesempatan di sekitar dengan efektif, dapat memilih atau menciptakan konteks yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadi (Ryff dalam Susi, Meithy, &Rachia, 2017).

  e. Tujuan dalam hidup Adanya tujuan hidup yang jelas merupakan bagian penting dari karakteristik individu yang memilki kesejateraan psikologis. Teori-teori perkembangan lifespan menjelaskan proses perkembangan sesuai dengan tujuan seseorang dalam kehidupannya. Terdapat berbagai teori dari beberapa tokoh mengenai tujuan individu dalam kehidupan. Buhler menyatakan tujuan individu pada usia madya adalah mengubah dunia dengan kreatif.

  Erikson berpendapat pencarian integrasi emosional merupakan tujuan individu. Di sisi lain, Rogers berpendapat bahwa tujuan individu yang berfungsi secara penuh adalah peningkatan kehidupan eksistensial, yaitu menghayati kehidupan pada setiap memennya.

  Individu yang berfungsi secara penuh memilki tujuan yang positif, kuat,

  

sense of directedness , yang seluruhnya berkontribusi pada senseof

meaningfulness dan integrasi mengenai berbagai bagian pada

  kehidupannya. Dari penjabaran tersebut, individu yang memilki tujuan hidup menurut Ryff(dalam Susi, Meithy, &Rachia, 2017) akan memiliki tujuan dalam hidup dan rasa kebertujuan, merasa bahwa terdapat makna dari kehidupan saat ini dan masa lalu, berpegang pada kepercayaan yang memberikan tujuan hidup memilki keinginan dan tujuan untuk kehidupan. f. Perkembangan pribadi Dimensi ini berkaitan dengan cara individu memandang dirinya dan harkat manusia untuk selalu tumbuh dan berkembang. Syarat perkembangan yang optimal tidak hanya pencapaian dimensi-dimensi yang telah dijabarkan sebelumnya, tetapi juga pengembangan berkelanjutan dari potensi seseorang, untuk terus bertumbuh dan berkembang sebagai seorang manusia (Ryff dalam Susi et al. 2017).

  Ryff juga berpendapat bahwa keadaan dunia yang selalu berubah membutuhkan perkembangan diri yang berkelanjutan pula. Keinginan untuk menjadi sebuah proses ini juga dinyatakan oleh Rogers sebagai karakteristik penting untuk dapat berfungsi secara penuh. Seseorang yang berfungsi secara penuh akan berkembang secara berkelanjutan, dan menjalani proses, bukan mencapai keadaan konstan dimana seluruh masalah telah terselesaikan.

  MenurutMaslow, usaha untuk aktualisasi diri yang mewujudkan ideal perkembangan tertinggi bagi individu merupakan sebuah proses yang berkelanjutan. Buhler juga mengemukakan mengenai perkembangan berkelanjutan individu, yaitu proses adaptasi individu atas keterbatasan dirinya menjadi perkembangan kreatif untuk meningkatkan ketentraman dalam diri. Oleh karena itu, kualitas perkembangan diri yang berkelanjutan dinyatakan sebagai dimensi kesejahteraan psikologis dalam model yang terintegrasi.

  Penjelasan sebelumnya, menurut Ryff (dalam Susi, Meithy, &Rachia, 2017) individu yang optimal pada dimensi perkembangan diri ini didefinisikan dengan kriteria berupa memilki perkembangan yang berkelanjutan, melihat diri sebagai individu yang bertumbuh dan berkembang, memiliki rasa akan menyadari potensi dirinya, melihat perkembangan dalam diri dan perilaku sepanjang waktu; serta berubah alam caracara yang merefleksikan pengetahuan diri dengan kefektifan yang lebih baik.

  Keenam aspek ini banyak digunakan sebagai aspek well-being dalam beberapa studi well-being mengingat cakupannya yang cukup komprehensif menggambarkan pengalaman sunjektif individu dalam mengoptimalkan potensi-potensi individualnya sebagai manusia.

  Penelitian Fitri, Rukia Luawo, & Noor (2017) menunjukan bahwa kesejahteraan psikologis pada remaja di SMA Negeri se-DKI Jakarta cukup baik. Jika dilihat per aspek, persentase tertinggi ada pada aspek penerimaan diri. Sedangkan jika dilihat per kelas tingkat kesejahteraan psikologis pada remaja laki-laki pada kelas XII memiliki persantase tertinggi.

  Penelitian Putri & Rustika, (2017 ) menunjukkan bahwa pola asuh autoritatif, efikasi diri, dan perilaku prososial secara bersama-sama berperan terhadap kesejahteraan psikologis. Sumbangan efektif pola asuh autoritatif, efikasi diri, dan perilaku prososial terhadap kesejahteraan psikologis sebesar 66,6%. menunjukkan bahwa pola asuh autoritatif tidak berperan secara signifikan terhadap kesejahteraan psikologis.

  Penelitian Mawarpury (2013) menunjukkan bahwa coping memiliki hubungan yang signifikan dengan kesejahteraan psikologis. Artinya semakin baik seseorang menggunakan coping dalam menghadapi persoalan makasemakin baik pula kesejahteraan psikologisnya, demikian sebaliknya.

  Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan dimensi kesejahteraan psikologis yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, pertumbuhan pribadi.

B. Penyesuaian Diri 1. Pengertian Penyesuaian Diri

  Pada dasarnya manusia ingin mempertahankan eksistensinya. Sejak lahir memenuhi kebutuhannya itu karena adanya dorongan-dorongan yang mengharapkan pemuasan. Bila pemuasan tercapai individu tersebut memperoleh keseimbangan. Sejak kecil individu belajar bertingkah laku, tingkah laku yang berhasil dalam memenuhi kebutuhannya berarti dapat menyesuaikan diri dan mengalami keseimbangan.

  Penyesuaian diri pada dasarnya menunjukkan pada semua faktor dan proses yang membuat individu menjadi selaras di dalam hidupnya di tengah-tengah orang lain Gunarsa (2000).

  Gerungan (2002) Penyesuaian diri yang mengalami hambatan akan mengganggu seseorang berperan serta berfungsi dalam kelompoknya.

  Penyesuaian yang baik akan membantu individu menjadi selaras di dalam kehidupannya di tengah-tengah orang lain. Penyesuaian diri merupakan proses seseorang yang berhubungan dengan tuntutan lingkungan terhadap sikap, perilaku dan emosi individu. Jadi dapat dikatakan bahwa penyesuaian diri merupakan proses dimana individu mendapatkan pembentukan sikap yang sesuai dengan perilaku kelompoknya.

  Lazarus (1961) mengemukakan bahwa, adjustment involves a

  

reaction of the person to demand imposed upon him. Penyesuaian diri

  termasuk reaksi seseorang karena adanya tuntutan yang dibebankan pada dirinya.

  PendapatFahmi (1977) penyesuaian diri merupakan kemampuan individu untuk mendapatkan ketentraman secara internal dan hubungannya dengan dunia sekitarnya. uraian tersebut, bila tidak ada reaksi terasa ada beban dan tidak mendapatkan ketentraman batin.

  Schneiders (1964) mengemukakan bahwa penyesuaian diri merupakansuatuprosesyangmencakup respon-respon mental dan tingkah laku, yang merupakan usaha individu agar berhasil mengatasi kebutuhan, ketegangan, konflik dan frustasi yang dialami didalam dirinya. Usaha individu tersebut bertujuan untuk memperoleh keselarasan dan keharmonisan antara tuntudan dalam diri dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan.

  Schneiders juga mengatakan bahwa orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik adalah orang yang memiliki keterbatasan yang ada pada dirinya, belajar untuk bereaksiterhadap dirinya dan lingkungan dengan cara yang matang, bermanfaat, efisien, dan memuaskkan, serta dapat menyelesaikan konflik, frustasi, maupun kesulitan-kesulitan pribadi dan sosial tanpa mengalami gangguan tingkah laku. Menurut Fahmi (2004) penyesuaian diri merupakan proses dinamis yang lebih sesuai antara diri individu dengan lingkungannya.

  Schneiders (1964) membagi penyesuaian diri ke dalam beberapa kategori. Salah satu pembagian itu adalah pembagian berdasarkan konteks situasional dari respon yang dimunculkan individi, yang terdiri dari penyesuaian personal, penyesuaian sosial, penyesuaian perkawinan dan penyesuaian vokasional.

  Berdasarkan hasil survei menunjukkan banyaknya individu yang bermigrasi atau merantau ke kota Yogyakarta, oleh karena itu setiap individu membutuhkan penyesuaian diri di lingkungan baru yang berbeda dengan tempat asal individu tinggal. Lingkungan adalah suatu wadah penting untuk bersosialisasi kepada orang lain. Menurut Woodworth (Gerungan, 2004) pada dasarnya terdapat empat jenis hubungan antara individu dengan lingkungannya, individu dapat bertentangan dengan lingkungan, individu dapat menggunakan lingkungannya, indvidu dapat berpartisipasi dengan lingkunganya, dan individu dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya. Tentunya dibutuhkan interaksi antara individu dengan lingkungan baru untuk mendapatkan kenyamanan dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru, kenyamanan dapat diciptakan dari individu bergaul dengan individu yang lain dalam lingkungan baru tersebut. Dalam pergaulan individu sangat membutuhkan keterbukaan diri terhadap lawan bicaranya agar terjalinnya keakraban.

  Schneiders (2006) menjelaskan bahwa lingkungan dianggap dapat menciptakan penyesuaian diri yang cukup sehat bagi anak jika anak dibesarkan dalam keluarga yang memberikan cinta, respek, toleransi dan kehangatan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa lingkungan tempat individu belajar merupakan lingkungan kedua setelah lingkungan keluarga untuk membentuk individu.

  Menurut Gerdes (2004), kesulitan dan kegagalan dalam penyesuaian diri sering kali menyebabkan drop out dari bangku kuliah.

  Dalam istilah psikologi, penyesuaian diri disebut dengan istilah

  

Adjusment yaitu suatu proses untuk mencari titik temu antara kondisi diri

  sendri dan tuntutan lingkungan (Davidoff,1991) penyesuaian diri merupakan suatu proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah perilaku individu agar terjadi hubungan yang lebih sesuai antara diri individu dengan lingkungannya (Mu’tadin, 2002). Schneiders (1964) mendefinisikan penyesuaian diri yaitu proses yang melibatkan respon- respon mental serta perilaku dalam upaya mengatasi kebutuhan dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, kekecewaan dan konflik-konflik untuk mencapai keadaan yang harmonis antara dorongan pribadi dengan lingkungannya.

  Penelitian Kusdiyati (2012) menunjukkan bahwa siswa dengan pola asuh Authoritativeserta tidak terpengaruh oleh teman sebaya merupakan faktor paling positifyang dapat menyebabkan individu tersebut dapat menyesuaikan diri dengan baik.

  Penelitian Lestari (2016) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara keterbukaan diri dengan penyesuaian diri mahasiswa Riau di Yogyakarta.Hal ini berarti semakin tinggi tingkat keterbukaan diri mahasiswa Riau di Yogyakarta, maka semakin tinggi pula penyesuaian dirinya.

  Penelitian Hasmayni (2014) menyatakan bahwa semakin tinggi kepercayaan diri, maka semakin tinggi penyesuaian diri remaja.

  Sebaliknya, semakin rendah kepercayaan diri maka semakin rendah penyesuaian diri remaja. Lebih spesifik, diketahui pula bahwa para remaja yang merupakan siswa/siswi MAN I Rantau Utara memiliki kepercayaan diri dan kemampuan menyesuaikan diri yang berada di kategori tinggi.

  Berdasarkan penjelasan para ahli diatas dapat disimpulkan pengertian penyesuaian diri merupakan suatu kemampuan yang mengacu ke arah hubungan yang harmonis antara tuntutan internal dari motivasi dan tuntutan eksternal dari realitas.

2. Aspek-aspek penyesuaian diri

  Menurut Fromm dan Gilmore (2009) ada empat aspek kepribadian dalam penyesuaian diri yang sehat antara lain : a. Kematangan emosional, yang mencakup aspek-aspek :

  1) Kemantapan suasana kehidupan emosional 2) Kemantapan suasana kehidupan kebersamaan dengan orang lain.

  3) Kemampuan untuk santai, gembira dan menyatakan kejengkelan 4) Sikap dan perasaan terhadap kemampuan dan kenyataan diri sendiri

  b. Kematangan intelektual, yang mencakup aspek-aspek : 1) Kemampuan mencapai wawasan diri sendiri 2) Kemampuan memahami orang lain dan keragamannya 3) Kemampuan mengambil keputusan 4) Keterbukaan dalam mengenal lingkungan

  c. Kematangan sosial, yang mencakup aspek-aspek : 1) Keterlibatan dalam partisipasi sosial 2) Kesediaan kerjasama 3) Kemampuan kepemimpinan 4) Sikap toleransi

  d. Tanggung jawab, yang mencakup aspek-aspek : 1) Sikap produktif dalam mengembangkan diri 2) Melakukan perencanaan dan melaksanakannya secara fleksibel 3) Sikap empati, bersahabat dalam hubungan interpersonal 4) Kesadaran akan etika dan hidup jujur

  Penyesuaian diri yang berhasil menurut Winarna Surachmad ( Siti sundari, 1986): Bila mana dengan sempurna memenuhu kebutuhan, tanpa melebihkan yang satu dan mengurangi yang lain. Bila tidak mengganggu manusia lain dalam memenuhi kebutuhan yang sejenisnya. Bila mana bertanggung jawab terhadap masyarakat dimana ia berada (saling menolong secara positif).

  Penyesuaian diri sebagai usaha manusia untuk mencapai keharmonisan pada dirinya dan lingkungannya. Memenuhi kebutuhan yang tidak berlebihan tidak merugikan orang laindan wajib menolong orang lain yang memerlukan.

  Schneiders (1964) mengungkapkan bahwa penyesuaian diri yang baik meliputi enam aspek sebagai berikut : a. Tidak terdapat emosionalitas yang berlebih

  Aspek pertama menekankan kepada adanya kontrol dan ketenangan emosi individu yang memungkinkannya untuk menghadapi permasalahan secara inteligen dan dapat menentukan berbagai kemungkinan pemecahan masalah ketika muncul hambatan. Bukan berarti tidak ada emosi sama sekali, tetapi lebih kepada kontrol emosi ketika menghadapi situasi tertentu.

  b. Tidak terdapat mekanisme psikologis Aspek kedua menjelaskan pendekatan terhadap permasalahan lebih mengindikasikan respon yang normal dari pada penyelesaian masalah yang memutar melalui serangkaian mekanisme pertahanan diri yang disertai tindakan nyata untuk mengubah suatu kondisi. Individu dikategorikan normal jika bersedia mengakui kegagalan yang dialami dan berusaha kembali untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Individu dikatakan mengalami gangguan penyesuaian jika individu mengalami kegagalan dan menyatakan bahwa tujuan tersebut tidak berharga untuk dicapai.

  c. Tidak terdapat perasaan frustrasi personal Penyesuaian dikatakan normal ketika seseorang bebas dari frustasi personal. Perasaan frustasi membuat seseorang sulit untuk bereaksi secara normal terhadap situasi atau masalah. Individu yang mengalami frustrasi ditandai dengan perasaan tidak berdaya dan tanpa harapan, maka akan sulit bagi individu untuk mengorganisir kemampuan berpikir, perasaan, motivasi dan tingkah laku dalam menghadapi situasi yang menuntut penyelesaian.

  d. Kemampuan untuk belajar Proses dari penyesuaian yang normal bisa diidentifikasikan dengan pertumbuhan dan perkembangan dalam pemecahan situasi yang penuh dengan konflik, frustasi atau stress. Penyesuaian normal yang ditunjukkan individu merupakan proses belajar berkesinambungan dari perkembangan individu sebagai hasil dari kemampuannya mengatasi situasi konflik dan stres. e. Pemanfaatan pengalaman masa lalu Dalam proses pertumbuhan dan perubahan, penggunaan pengalaman di masa lalu itu penting. Ini merupakan salah satu cara dimana organism belajar. Individu dapat menggunakan pengalamannya maupun pengalaman orang lain melalui proses belajar. Individu dapat melakukan analisis mengenai faktor-faktor apa saja yang membantu dan mengganggu penyesuaiannya.

  f. Sikap realistik dan objektif Penyesuaian yang normal secara konsisten berhubungan dengan sikap realistik dan objektif. Sikap yang realistik dan objektif adalah berdasarkan pembelajaran, pengalaman masa lalu, pemikiran rasional mampu menilai situasi, masalah atau keterbatasan personal seperti apa adanya. Sikap yang realistik dan objektif bersumber pada pemikiran yang rasional, kemampuan menilai situasi, masalah dan keterbatasan individu sesuai dengan kenyataan sebenarnya.

  Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan aspek dari penyesuaian diri sebagai berikut tidak terdapat emosionalitas yang berlebih, Tidak terdapat mekanisme psikologis, tidak terdapat perasaan frustasi personal, kemampuan untuk belajar, pemanfaatan pengalaman masa lalu, sifat reaistik dan objektif.

3. Faktor penyesuaian diri

  Menurut Schneiders (1964) faktor penyesuaian penyesuaian diri yaitu :

  a. Faktor kondisi fisik, yang meliputi faktor keturunan, kesehatan, bentuk tubuh dan hal-hal lain yang berkaitan dengan fisik.

  b. Faktor perkembangan dan kematangan, yang meliputi perkembangan intelektual, sosial, moral dan kematangan emosional.

  c. Faktor psikologis, yaitu faktor-faktor pengalam individu, frustasi dan konflik yang dialami, dan kondisi-kondisi psikologis seseorang dalam penyesuaian diri.

  d. Faktor lingkungan, yaitu kondisi yang ada pada lingkungan, seperti kondisi keluarga, dan kondisi rumah.

  e. Faktor budaya, termasuk adat istiadat dan keagamaan yang turut mempengaruhi penyesuaian diri seseorang.

  Menurut Drajat (1989), mengungkapkan bahwa penyesuaian diri seseorang dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: a. Frustasi (tekanan perasaan)

  Frustasi adalah proses yang menyebabkan orang merasa akan adanya hambatan terhadap terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan atau menyangka bahwa akan terjadi sesuatu hal yang menghalangi keinginannya. Seseorang yang tidak mampu menghadapi keinginannya. Seseorang yang tak mampu menghadapi frustasinya secara wajar ia akan berusaha untuk mengatasinya dengan kekerasan dan khayalan atau lamunan. b. Konflik (pertentangan batin) Konflik adalah terdapatnya dua macam dorongan atau lebih yang berlawanan atau bertentangan satu sama lain dan tidak mungkin dipenuhi dalam waktu yang sama.

  c. Kecemasan Kecemasan adalah manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan dan pertentangan batin.

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri yaitu faktor kondisi fisik, faktor perkembangan dan kematangan, faktor psikologis, faktor lingkungan, serta faktor budaya dan frustasi, konflik, kecemasan.

4. Dimensi penyesuaian diri

  Adapun dimensi keterbukan diri Menurut Pearson (1946) dimensi keterbukaan diri yaitu: a. Jumlah informasi yang diungkapkan.

  Keterbukaan diri dan jumlah informasi berkaitan dengan seberapa banyak informasi yang diungkapkan oleh individu.

  b. Sifat dasar yang positif dan negatif Sifat dasar yang positif dan negatif menyangkut bagaimana individu mengungkapkan diri mengenai hal-hal positif dan negatif mengenai dirinya karena individu dapat memuji atau bahkan menjelek-jelekan dirinya sendiri. c. Dalamnya suatu pengungkapan diri Dalamnya pengungkapan diri, menyangkut seberapa banyak dan detail informasi yang diungkapkan oleh individu karena individu dapat mengungkapkan dirinya secara umum maupun secara mendetail.

  d. Waktu pengungkapan diri Waktu pengungkapan diri berhubungan dengan berapa lama waktu yang relatif lama. Selain itu, kondisi yang sepi atau ramai dapat mempengaruhi individu dalam membuka diri.

  e. Lawan bicara Lawan bicara merupakan individu yang akan dituju untuk melakukan keterbukaan diri. Biasanya orang-orang yang terdekat seperti kepada orangtua, teman, pacar, sahabat, keluarga dan guru. Selain itu jenis kelamin terhadap lawan bicara juga mempengaruhi keterbukan individu.

C. Mahasiswa Rantau

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi, berada dalam suatu struktur pendidikan tertentu dan merupakan tingkat pendidikan tertinggi dibandingkan yang lainnya. Sedangkan menurut Hartaji (2012) mahasiswa adalah seseorang yang sedang belajar dan terdaftar sedangkan manimba ilmu maupun sedang belajar dan terdaftar sedang menjalani pendidikan pada satu istitusi seperti universitas, politeknik maupun istitusi pendidikan lainnya. Menurut Naim (2013), merantau adalah meninggalkan kampung halaman, dengan kemauan sendiri, memiliki jangka waktu lama, denagan tujuan tertentu, menuntut ilmu dan mencari pengalaman, namun suatu saat akan kembali pulang.

  Dari pengertian diatas, mahasiswa rantau adalah orang yang meninggalkan kampung halaman dan jauh dari orang tua yang sedang dalam proses belajar dan telah terdaftar di suatu institusi pendidikan.

  Seseorang yang memutuskan untuk menuntut ilmu pada jenjang pendidikan tinggi di luar daerah asalnya dalam jangka waktu tertentu dan atas kemauannya sendiri disebut dengan mahasiswa perantau (mochtar, 1979). Mahasiswa rantau mengalami tantangan yang berbeda di mahasiswa bukan perantau dalam menempuh pendidikan di perguruan tinggi tinggi. Penelitian dari Aprilianti (2012) menemukan bahwa menyesuaikan diri dengan kebudayaan “ tuan rumah “ sangat sulit. Mahasiswa yang berasal dari luar daerah harus menyesuaikan diri dengan kebudayaan baru, pendidikan yang baru dan lingkungan baru dan lingkungan sosial yang baru. Penelitian yang dilakukan oleh Lin dan Yi (Lee, Koeske, Sales, 2004) melaporkan mahasiswa yang berasal dari luar daerah mengalami masalah yang unik, yaitu sters yang disebabkan tidak familiar dengan gaya dan norma sosial yang baru, perubahan pada sistem dukungan, dan masalah intrapersolan dan interpersonal yang disebabkan oleh proses penyesuaian diri.

  Berdasarkan hasil survei menunjukkan banyaknya individu yang bermigrasi atau merantau ke kota Yogyakarta, oleh karena itu setiap individu membutuhkan penyesuaian diri di lingkungan baru yang berbeda dengan tempat asal individu tinggal. Lingkungan adalah suatu wadah penting untuk bersosialisasi kepada orang lain. Menurut Woodworth (dalam Gerungan, 2004: 59) pada dasarnya terdapat empat jenis hubungan antara individu dengan lingkungannya, individu dapat bertentangan dengan lingkungan, individu dapat menggunakan lingkungannya, indvidu dapat berpartisipasi dengan lingkunganya, dan individu dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya. Tentunya dibutuhkan interaksi antara individu dengan lingkungan baru untuk mendapatkan kenyamanan dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru, kenyamanan dapat diciptakan dari individu bergaul dengan individu yang lain dalam lingkungan baru tersebut. Dalam pergaulan individu sangat membutuhkan keterbukaan diri terhadap lawan bicaranya agar terjalinnya keakraban.

D. Kerangka berpikir

  Penyesuaian diri merupakan suatu proses yang mengacu ke arah hubungan yang harmonis antara tuntutan internal dari motivasi dan tuntutan eksternal dari realitas. Kesejahteraan psikologis merupakan hasil dari proses yang dilalui kebahagiaan, berpikiran positif kesejahteraan dalam hidup.Seseorang harus menyesuaikan diri dengan baik. Orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik maka akan tercapai kesejahteraan psikologis dalam menghadapi masalah yang dihadapi dari lingkungan. Pada umumnya orang yang mampu menyesuaikan diri dengan baik maka memiliki pola pikir yang positif, bahagia serta sejahtera dalam hidup. Mahasiswa rantau yang sedang menempuh perguruan tinggi harus mampu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru baik dari segi norma, adat dan kebiasaan. Kesejahteraan psikologis tersebut bisa melalui kebahagiaan dan berpikir positif.

  Hasil penelitian Kusdiyati (2011) hasil bahwa siswa dengan pola asuh

  Authoritative serta tidak terpengaruh oleh teman sebaya merupakan faktor

  paling positif yang dapat menyebabkan individu tersebut dapat menyesuaikan diri dengan baik.

  Dari uraian diatas peneliti dapat gambaran mengenai kerangka berpikirnya, sebagai berikut :

  Gambar 1 Kerangka berpikir

  Penyesuaian Kesejahteraan Mahasiswa

  Diri Psikologis Rantau E.

   Hipotesis

  Pengertian hipotesis menurut Sugiyono (2004) adalah jawaban sementara terhadap rumusan penelitian di mana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pernyataan. Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: H : Tidak ada pengaruh penyesuaian diri terhadap kesejahteraan psikologis pada mahasiswa ranrau di Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

  H : Ada pengaruh penyesuaian diri terhadap kesejahteraan psikologis pada

  1 mahasiswa ranrau di Universitas Muhammadiyah Purwokerto.