BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PENELITIAN TERDAHULU - BAB II RINALDI WAHYU BAGUS PRAKOSO HUKUM'18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PENELITIAN TERDAHULU No Nama Peneliti Judul dan Tahun Penelitian Permasalahan Hasil Penelitian

1 Nenik

  Lestari Penanganan Pencurian Kayu Perhutani oleh Kesatuan Pemangkuan Hutan Telawa (2006)

  Bagaimana proses penanganan pencurian kayu dan faktor penyebab pencurian kayu perhutani di wilayah KPH Telawa.

  Wilayah hutan yang berada di dekat desa serta mempunyai potensi kayu yang baik yang selalu dijadikan sasaran untuk pencurian. Adapun kualitas pencurian yang terjadi di KPH Telawa sebagian besar menggunakan peralatan sederhana. Adapun proses penanganan yang dilakukan oleh pihak perhutani belum mencapai hasil yang maksimal, ditandai dengan masih banyaknya para pencuri yang lolos dari sergapan petugas, selain itu dalam hal penyidikan dan proses selanjutnya terdapat hambatan yaitu masalah pendanaan/anggaran yang terbatas.

2 Eko Putra

  Doni Pelaksanaan Penyidikan terhadap Tindak Pidana Penebangan Liar (2011)

  Pelaksanaan penyidikan terhadap tindak pidana penebangan liar yang dilakukan oleh penyidik di POLRES Aro Suka Solok serta proses koordinasi antara Penyidik POLRI dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam

  Pelaksanaan penyidikan terhadap tindak pidana penebangan liar didominasi oleh Penyidik POLRI sedangkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang berada di Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Solok sebagai penunjuk saksi ahli untuk membantu Penyidik POLRI dalam hal memberikan keterangan mengenai sah atau tidaknya dokumen - dokumen yang melekat pada kayu, pelaksanaan menentukan jenis kayu dan penyidikan mengukur volume kayu terhadap tindak yang pidana menjadi objek dari tindak penebangan pidana penebangan liar. Hal Liar. ini terjadi karena kurangnya kualitas dan kuantitas dari Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan tersebut dalam hal melakukan penyidikan. Walaupun sudah ada pedoman dalam melakukan penyidikan tetapi dalam prakteknya penyidik dalam melakukan penyidikan belum bisa memahami sepenuhnya pedoman pelaksanaan penyidikan tersebut.

  Keterangan : Kedua penelitian tersebut memiliki persamaan dan perbedaan. Secara ringkas penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya secara umum membahas tentang Illegal logging khususnya dalam melakukan penyidikan. Adapun perbedaan antara penelitian yang sebelumnya dengan penelitian yang peneliti lakukan saat ini adalah bagaimana proses penyidikan serta koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dengan Penyidik POLRI.

B. LANDASAN TEORI

  1. Tinjauan Umum Hukum Acara Pidana

  Hukum acara pidana berkaitan erat dengan adanya hukum pidana, kedua- duanya merupakan satu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat bagaimana alat-alat perlengkapan negara, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan

  4 bertindak guna mencapai tujuan negara mengadakan hukum pidana.

  Sebagaimana yang dikutip oleh Hibnu Nugroho menyatakan bahwa hukum acara pidana merupakan ketentuan tertulis tentang pelaksanaan ketentuan hukum pidana. Pelaksanaan ketentuan hukum pidana selalu akan melanggar hak seseorang. Oleh sebab itu harus terdapat ketentuan yang limitatif sejauh mana tindakan-tindakan yang boleh dilakukan pelaksana hukum dalam

  5 melaksanakan ketentuan hukum pidana.

  Hukum acara pidana atau sering disebut dengan hukum pidana formil yang isinya mengatur tentang bagaimana usaha negara untuk menjalankan hukum pidana materiil. Dalam usaha negara menegakkan hukum pidana materiil, maka hukum pidana formil terdiri dari macam - macam ketentuan, yang pada dasarnya mengenai ketentuan tentang tindakan dan upaya yang boleh dan atau harus dilakukan negara melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya polisi, jaksa, dan hakim) serta bagaimana caranya berbuat terhadap si pembuat.

  4 Martiman Prodjohamidjojo. 2002. Teori dan Teknik Membuat Surat Dakwaan. PT. Ghalia 5 Indonesia. Jakarta, hal. 9.

  

Hibnu Nugroho. 2012. Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, PT. Media

Prima Aksara. Jakarta, hal. 31.

  Di samping itu, hukum pidana formil juga berisi tentang apa yang boleh dan atau harus dilakukan oleh si pembuat dalam usahanya mempertahankan hak- haknya yang berhadapan dengan negara dalam usaha negara mempertahankan

6 Sehingga sebagian sarjana berpendapat bahwa ruang lingkup hukum

  acara pidana mencakup beberapa hal sebagai berikut yakni: 1) Penyidikan Perkara Pidana; 2) Penuntutan Perkara Pidana; 3) Pemeriksaan di Sidang Pengadilan; 4) Pelaksanaan Putusan Hakim (Eksekusi).

  Proses dan prosedural penyidikan merupakan tahap awal dalam pemeriksaan perkara pidana yang dilakukan kepolisian selaku penyidik dan Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang- undang. Yang pada hakikatnya penyidikan dimulai sejak diketahui adanya sangkaan bahwa seseorang telah melakukan suatu tindak pidana. Kemudian penyidikan yang dilakukan itu harus berdasarkan cara - cara yang diatur dalam

  7 undang - undang.

  Dalam hukum acara pidana kedudukan penyidikan amatlah penting karena dengan proses tersebut dapat menjadi proses awal bagi aparat penegak 6 hukum yakni kepolisian untuk mencari bukti sekaligus pelaku yang diduga

  

Adami Chazawi. 2008. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta,

7 hal.4.

  

Lilik Mulyadi, 2012, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahanny, PT. Alumni. Bandung, hal. 42. melakukan suatu tindak pidana. Proses tersebut menjadi penting adanya karena hukum acara pidana hendak mewujudkan fungsinya sendiri sebagai hukum formil dari hukum pidana yakni sebagai berikut: 2) Pemberian keputusan hakim.

  8 3) Pelaksanaan keutusan.

  Sehingga adanya proses tersebut menjadi langkah awal dalam mencapai fungsi mencari dan menemukan kebenaran. Karena apabila dijabarkan fungsi mencari dan menemukan kebenaran ini haruslah didukung oleh adanya bukti - bukti yang kuat tentang terjadinya suatu tindak pidana (berdasarkan Pasal 183 KUHAP). Bukti - bukti tersebut menjadi hal yang mendasar untuk mengetahui apakah seseorang telah terbukti melakukan suatu tindak pidana atau tidak.

  Selain itu hukum acara pidana juga memiliki fungsi untuk mewujudkan Hukum Pidana, karena fungsi hukum pidana pada umumnya adalah untuk mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Oleh karena itu barang siapa yang melanggar ketentuan yang ada dalam hukum pidana Undang - undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) dan memenuhi unsur- unsur yang ditetapkan dalam ketentuan tersebut maka dapat dikenai sanksi

  9

  pidana. Sanksi pidana merupakan ultimum remedium yaitu obat terakhir,

  8 9 Lilik Mulyadi, Op. Cit, hal. 11.

  Ibid, hal. 15. apabila sanksi atau upaya-upaya pada cabang hukum lainnya tidak mempan

  10 atau dianggap tidak mempan.

  Sanksi yang dapat dikenakan kepada para pelanggar tersebut adalah yang membuat terang adanya suatu tindak pidana maka proses penyidikan mejadi penting adanya karena untuk menghindari akibat seseorang yang memang tidak bersalah harus dijatuhi sanksi pidana (eror in persona). Maka tugas dari penyelenggara/pelaksana dari hukum acara pidana mulai dari kepolisian harus mampu mencari dan menemukan setidaknya mendekati kebenaran melalui fungsinya yakni melakukan penyidikan. Di mana proses tersebut juga tidak hanya dilakukan oleh penyidik kepolisian namun juga dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil tertentu yang khusus diberi wewenang untuk melakukan penyidikan. Sehingga pada akhirnya akan terdapat koordinasi antara keduanya yang sama-sama mencari kebenaran materiil, namun tetap yang menjadi pokok adalah lembaga kepolisian.

  Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang- undang pidana: 1) Negara melalui alat - alatnya menyidik kebenaran.

  2) Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu. 3) Mengambil tindakan - tindakan yang perlu guna menangkap si pelaku 10 dan kalau perlu menahannya.

  Habib Adji, 2005, Jurnal Renvoi. Vol. 1, Nomor 10-22 (3 Maret 2005) hal. 126.

  4) Mengumpulkan bahan - bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut. 5) Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib. 6) Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut. 7) Akhirnya, melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib itu.

11 Di samping itu harus menjadi tugas penting yang diemban oleh hukum

  acara pidana adalah memberikan bingkai yang menjadi garis merah kepada para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya agar tidak melampaui batas kewenangannya, mengingat setiap pelaksanaan suatu penegakan hukum akan berkaitan langsung dengan pelanggaran HAM, terutama HAM bagi tersangka / terdakwa.

  12

2. Asas - asas Hukum Acara Pidana

  Pentingnya suatu asas adalah menjadi keharusan karena dari asas tersebut bakal menjadi suatu konsep yang akan dituangkan dalam bentuk teknis berupa aturan yang telah disepakati bersama. Dalam hukum acara pidana pun di dalamnya mengandung beberapa asas yang menurut para pakar dapat diuraikan sebagai berikut: 11 Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia. PT. Sinar Grafika, Jakarta, hal. 6. 12 Hibnu Nugroho, Op. Cit, hal. 31.

  2.1 Asas Legalitas Asas atau prinsip legalitas dengan tegas disebut dalam konsideran

  KUHAP seperti yang dapat dibaca pada huruf a, yang merumuskan: “Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang - undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan

  13

  pemerintahan itu dengan baik tidak ada kecualinya”. Semua tindakan penegak hukum harus:

  a) Berdasar ketentuan hukum dan undang-undang;

  b) Menempatkan kepentingan hukum dan perundang - undangan di atas segala-galanya, sehingga terwujud suatu kehidupan masyarakat bangsa yang takluk di bawah “supremasi hukum” yang selaras dengan ketentuan - ketentuan perundang-undangan dan perasaan keadilan bangsa Indonesia. Jadi arti the rule of law dan supremasi hukum, menguji dan meletakkan setiap tindakan penegakan hukum takluk di bawah ketentuan konstitusi, undang-undang dan rasa keadilan yang hidup di tengah - tengah kesadaran masyarakat. Memaksakan atau menegakkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat bangsa lain,

  14 tidak dapat disebut rule of law, bahkan mungkin berupa penindasan.

  13 M. Yahya Harahap, 2001, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan 14 Penuntutan , Jakarta: Sinar Grafika, hal. 36.

  Ibid.

  2.2 Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocent) Asas ini disebut dalam Pasal 8 Undang - undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam penjelasan umum “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.

  Asas praduga tak bersalah yang dianut KUHAP, memberi pedoman kepada aparat penegak hukum untuk mempergunakan prinsip akusatur dalam setiap tingkat pemeriksaan dan untuk menopangnya, KUHAP telah memberi perisai kepada tersangka/terdakwa berupa seperangkat hak - hak kemanusiaan yang wajib dihormati dan dilindungi pihak aparat penegak hukum. Dengan perisai hak-hak yang diakui hukum, secara teoritis sejak semula tahap pemeriksaan, tersa ngka/terdakwa sudah mempunyai “posisi yang setaraf” dengan pejabat pemeriksa dalam kedudukan hukum, berhak menuntut perlakuan yang digariskan dalam KUHAP seperti yang dapat

  15 dilihat pada BAB VI.

  2.3 Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim) merupakan bagian dari hak asasi manusia.

  Begitu pula peradilan bebas, jujur, dan tidak memihak yang ditonjolkan

  15 , hal.41.

  Ibid dalam undang-undang tersebut. Penjelasan umum yang dijabarkan dalam banyak pasal dalam KUHAP antara lain sebagai berikut: 1) Pasal 24 ayat (4), Pasal 25 ayat (4), Pasal 26 ayat (4), Pasal 27 ayat (4), ketentuan bahwa jika telah lewat waktu penahanan seperti tercantum dalam ayat sebelumnya, maka penyidik, Penuntut Umum, dan hakim harus sudah mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan demi hukum. Dengan sendirinya hal ini mendorong penyidik, Penuntut Umum, dan hakim untuk mempercepat penyelesaian perkara tersebut.

  2) Pasal 50 mengatur tentang hak tersangka dan terdakwa untuk segera diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu dimulai pemeriksaan, ayat (1), segera perkaranya diajukan ke pengadilan oleh Penuntut Umum, ayat (2) segera diadili oleh pengadilan, ayat (3). 3) Pasal 102 ayat (1) mengatakan penyelidik yang menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.

  4) Pasal 106 mengatakan hal yang sama di atas bagi Penyidik. 5) Pasal 107 ayat (3) mengatakan bahwa dalam hal tindak pidana selesai disidik oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b, segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.

  6) Pasal 110 mengatur tentang hubungan Penuntut Umum dan penyidik yang semuanya disertai dengan kata seegera, begitu pula Pasal 138.

  7) Pasal 140 ayat (1) merumuskan : “Dalam hal Penuntut Umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya

  16 membuat surat dakwaan”.

  Asas ini mencerminkan adanya perlindungan hak asasi manusia sekalipun orang tersebut berada dalam kedudukan sebagai tersangka/ terdakwa. Walaupun dalam kondisi dibatasi ditangkap kemudian ditahan, namun orang tersebut tetap memperoleh kepastian bahwa tahapan - tahapan pemeriksaan yang dilaluinya memiliki batas waktu

  17 yang terukur dan dijamin undang - undang.

  2.4 Asas Oportunitas Asas Opurtunitas bertolak belakang dengan asas legalitas. Menurut asas oportunitas, Penuntut Umum tidak wajib menuntut menuntut seseorang yang melakukan delik jika menurut pertimbangnnya akan merugikan kepentingan umum, maka dari itu demi kepentingan umum seseorang yang melakukan delik tidak dituntut. Kejaksaan berpendapat, lebih bermanfaat bagi kepentingan umum jika perkara itu tidak diperiksa

  18

  di sidang pengadilan. A.Z. Abidin Farid. Andi Hamzah memberi perumusan tentang asas oportunitas sebagai berikut:

  16 17 Andi Hamzah, Op. Cit, hal. 13-14. 18 Hibnu Nugroho, Op. Cit, hal. 34-35.

  Ibid, hal. 17.

  “Asas hukum yang memberikan wewenang kepada Penuntut Umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum”.

  Pasal 35 c Undang - undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dengan tegas menyatakan asas oportunitas itu dianut di Indonesia. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut: “Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum” Menurut Andi Hamzah, dengan berlakunya UUD 1945 maka Jaksa

  Agung mempertanggungjawabkan pelaksanaan wewenang oportunitas kepada Presiden, yang pada gilirannya Presiden mempertanggungjawabkan pula pada rakyat. Pedoman pelaksanaan KUH

  AP memberi penjelasan mengenai “demi kepentingan umum” sebagai berikut: “Dengan demikian, kriteria demi kepentingan umum dalam penerapan asas oportunitas di Negara kita adalah didasarkan untuk kepentingan Negara dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan masyarakat”.

  19

  2.5 Prinsip Peradilan Terbuka Untuk Umum Tindakan penegakan hukum di Indonesia harus dilandasin oleh jiwa

  “persamaan” dan “keterbukaan” serta penerapan sistem musyawarah dan mufakat dari majelis peradilan dalam mengambil keputusan. Dengan landasan persamaa hak dan kedudukan antara tersangka/terdakwa dengan aparat penegak hukum, ditambah dengan sifat keterbukaan perlakuan oleh 19 Andi Hamzah, Op. Cit, hal 19. aparat penegak hukum kepada tersangka/terdakwa, tidak ada dan tidak boleh dirahasiakan segala sesuatu yang menyangkut pemeriksaan terhadap diri tersangka/terdakwa dan hasil pemeriksaan yang menyangkut asas ini adalah Pasal 153 ayat (3) KUHAP yang merumuskan:

  “Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak - anak”. Tidak dipenuhinya ketentuan tersebut mengakibatkan batalnya putusan demi hukum sesuai ketentuan Pasal 153 ayat (4) KUHAP.

  Kekecualian terhadap kesusilaan dan anak - anak alasannya karena kesusilaan dianggap masalahnya sangat pribadi sekali sehingga tidak patut untuk mengungkapkan dan memaparkan secara terbuka di muka umum, begitu juga dengan anak - anak melakukan kejahatan karena kenakalan. Walaupun sidang dinyatakan tertutup untuk umum, namun keputusan hakim dinyatakan dalam sidang yang terbuka untuk umum.

  2.6 Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum (Equality Before the

  Law )

  Asas ini merupakan konsekuensi logis dari sikap Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum dan bukan atas kekuasaan belaka. Di dalam pelaksanaan penegakan hukum semua orang harus diperlakukan sama dan tidak boleh dibeda - bedakan, baik untuk mendapatkan perlindungan hukum maupun bagi tersangka/terdakwa yang sedang menjalani proses persidangan. Ketentuan-ketentuan di dalam KUHAP mendasarkan pada asas ini, sehingga tidak ada satu pasal pun yang mengarah pada pemberian hak - hak istimewa pada suatu kelompok

  20 dan memberikan ketidakistimewaan pada kelompok lain.

  Pasal 4 ayat merumuskan: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda - bedakan orang”.

  Penjelasan umum butir 3a KUHAP merumuskan: “Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan”.

  Perlakuan yang sama ini tidak bisa hanya ditafsirkan sebagai diskriminasi tersangka dan terdakwa berdasarkan status sosial atau kekayaan saja, tetapi juga berhubungan dengan diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, seks, bahasa, agama, haluan politik, kebangsaan, kelahiran, dan lain-lain sebagaimana dalam Pasal 6 dan 7 UDHR dan

  21 serta Pasal 16 ICCPR 1996.

  2.7 Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap Pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap.

  20 21 Hibnu Nugroho, Op. Cit, hal. 36.

  

Agoes Dwi Listijono, 2005, Telaah Konsep Hak Asasi Manusia Dalam Kaitannya Dengan

Sistem Peradilan Pidana , Jurnal Hukum. Vol.1, No.1. hal.95.

  2.8 Tersangka/ Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum Dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP mengatur mengenai bantuan hukum dimana tersangka/terdakwa mendapat a) Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau ditahan.

  b) Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan.

  c) Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka/terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu.

  d) Pembicaraan antara penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh penyidik dan Penuntut Umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan Negara.

  e) Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum guna kepentingan pembelaan.

  f) Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka/ terdakwa.

  2.9 Asas Akusator KUHAP menganut asas akusator karena tersangka/terdakwa tidak lagi dipandang sebagai objek pemeriksaan. Prinsip akusator menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan: a. Adalah subjek, bukan sebagai objek pemeriksaan, karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri.

  “kesalahan” (tindakan pidana), yang dilakukan tersangka/terdakwa ke

  22 arah itulah pemeriksaan ditujukan.

  Aparat penegak hukum menjauhkan diri dari cara-cara pemeriksaan inkusitor yang menempatkan tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan sebagai objek yang dapat diperlakukan dengan sewenang - wenang yang digunakan dalam HIR, sama sekali tidak memberi hak dan kesempatan yang wajar bagi tersangka/terdakwa untuk membela diri dan mempertahankan hak dan kebenarannya terkadang untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka, pada pemeriksaan sering melakukan tindakan kekerasan dan penganiayaan.

  Pada asas akusator, perlakuan yang manusiawi terhadap tersangka/ terdakwa dikedepankan pada proses penegakan hukum yang diimbangi dengan menggunakan ilmu bantu hukum acara pidana seperti psikologi, kriminalistik, psikiatri, kriminologi, kedokteran forensik, antropologi, dan lain-lain.

  2.10 Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara 22 langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi dan secara M. Yahya Harahap, 2001, Op. Cit, hal. 40. lisan, artinya bukan tertulis antara hakim dengan terdakwa dan saksi. KUHAP mengatur dalam Pasal 154, 155 KUHAP dan seterusnya yang menyatakan pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim tertulis.

  2.11 Asas Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Pada dasarnya, pelaksanaan disini adalah pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van

  gewijsde ).

  2.12 Asas Hak Ingkar Maknanya bahwa hak seorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya.

  2.13 Asas Pengadilan Memeriksa Perkara Pidana dengan Adanya Kehadiran Terdakwa

  Dikaji dari perspektif praktik peradilan, apabila terdakwa pernah hadir di sidang pengadilan kemudian berikutnya tidak pernah hadir lagi sampai penjatuhan putusan, putusan terhadap terdakwa tetap dijatuhkan (bukan putusan in absentia).

  Asas-asas tersebut diatas dalam praktiknya tidak terlepas dari desain prosedur (procedural design) sistem peradilan pidana yang terdapat dalam KUHAP. Ditegaskan oleh Reksodiputro sebagaimana dikutip oleh Lilik Mulyadi yang mengatakan bahwa sistem ini terbagi dalam 3 (tiga) tahap yaitu: 1) Tahap pra-adjudikasi (pre-adjudication) 3) Tahap setelah sidang pengadilan atau tahap purna-adjudikasi

  23 (postadjudication).

  Kepada seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang - undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti rugi dan rehabilitasi. Sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalainnya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar dituntut, dipidana, dan atau

  

24

dikenakan hukuman administrasi.

  Dengan demikian penyidikan merupakan suatu proses atau langkah awal yang merupakan suatu proses penyelesaian suatu tindak pidana yang perlu diselidik dan diusut secara tuntas di dalam sistem peradilan pidana, dari pengertian tersebut maka bagian-bagian dari hukum acara pidana yang menyangkut tentang penyidikan adalah sebagai berikut: ketentuan - ketentuan tentang alat-alat bukti, ketentuan tentang terjadinya delik, 23 pemeriksaan ditempat kejadian, pemanggilan tersangka atau terdakwa,

  

Lilik Mulyadi, 2010, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritis dan Praktik

24 Peradilan, Bandung: CV. Mandar Maju, hal 85-86.

  

Agus Raharjo, Angkasa, dan Hibnu Nugroho. ―Rule Breaking dalam Penyidikan untuk

Menghindari Kekerasan yang dilakukan oleh Penyidik . Jurnal Dinamikan Hukum. Vol 1 No. 13 (Januari 2013) hal 65-66. penahanan sementara, penggeledahan, pemeriksaan dan introgasi, berita acara, penyampingan perkara, pelimpahan perkara kepada Penuntut

  25 Umum dan pengembalian kepada penyidik untuk disempurnakan.

  3. Tinjauan Umum Penyidikan

  3.1 Pengertian Penyidikan Hukum acara pidana sebagai hukum pelaksana dari hukum pidana mempunyai kedudukan yang sangat penting di mana semua aturan yang diatur dalam hukum acara pidana mempunyai peranan yang penting bagi penegakan setiap norma - norma yang telah diatur dalam hukum pidana.

  Pada hukum acara pidana sendiri berisi mengenai hal - hal yang bersangkutan dengan proses bagaimana seseorang yang sudah memenuhi rumusan tindak pidana dari undang-undang (KUHP) dapat dijatuhi hukuman atau pidana. Dimana salah satu proses yang penting yang menjadi kajian dalam hukum acara pidana adalah penyidikan sebagaimana yang diiyakan oleh para ahli hukum yang menyatakan bahwa adanya proses penyidikan dalam pengungkapan suatu tindakan pidana merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam mencari titik terang mengenai siapa yang menjadi

  26 pelakunya.

  Adanya proses penyidikan tersebut merupakan konsekuensi karena 25 untuk menegakkan aturan hukum pidana maka terlebih dahulu harus ada 26 Andi Hamzah. 2006. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. hal 118.

  

Anonim. 2012. Hukum Acara Pidana di Indonesia. demokrasiindonesia.wordpress.com. diakses pada tanggal 03 Maret 2018, jam 16.05 WIB. tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang. Padahal Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang di mana perbuatan tersebut melanggar ketentuan perundang-undangan yang diancam dengan ketentuan perundangan tersebut melahirkan sanksi yang bersifat pidana,

  27 sanksi bersifat perdata, ataupun sanksi yang bersifat administrasi.

  Menurut Pasal 1 angka 2 KUHAP: “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang - undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Dalam hal penyidikan, maka yang berperan di sini adalah penyidik.

  3.2 Unsur-unsur Penyidikan Berdasarkan pengertian penyidikan yang termuat dalam Pasal 1 angka

  2 KUHAP tersebut, unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian penyidikan adalah: a) Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang mengandung tindakan - tindakan yang antara yang satu dengan yang lain saling berhubungan.

  b) Penyidikan dilakukan oleh pejabat publik yang disebut penyidik.

  c) Penyidikan dilakukan dengan berdasarkan peraturan perundang - 27 undangan.

  

Salim,H.S. 2002. Dasar - Dasar Hukum Kehutanan (Edisi Revisi). Jakarta: Sinar Grafika. hal.147. d) Tujuan penyidikan ialah mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya. sebelum dilakukan penyidikan, telah diketahui adanya tindak pidana tetapi tindak pidana itu belum terang dan belum diketahui siapa yang melakukannya. Adanya tindak pidana yang belum terang itu diketahui dari

  28

  penyelidikannya. Oleh sebab itu penyidikan merupakan ujung tombak pengungkapan suatu tindak pidana. Guna mencapai tujuan hukum acara pidana yaitu mencari dan menemukan kebebaran materiil, maka beban pencarian untuk menemukan alat - alat bukti yang akan digunakan oleh

  29 penuntut umum dipersidangan ada dipundak penyidik.

  3.3 Pihak-pihak ditingkat Penyidikan Dalam sistem KUHAP kewenangan penyelidikan ada pada pejabat polisi Negara (Pasal 4 KUHAP), sedangkan kewenangan penyidikan ada pada pejabat polisi Negara dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang syarat kepangkatannya diatur dalam peraturan pemerintah (Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP).

  Menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) KUHAP: “Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil

  28 Adami Chazawi. 2005. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia. Malang: 29 Bayumedia Publishing. hal 380.

  Hibnu Nugroho, Op.cit, hal 31. tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang - undang untuk melakukan penyidikan”.

  Menurut Pasal 6 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa ada dua pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Bunyi Pasal 6 ayat (1) KUHAP, Penyidik adalah: a. Penyidik Polri

  Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai pejabat penyidik penuh, harus memenuhi syarat kepangkatan dan pengangkatan: 1) Sekurang - kurangnya berpangkat Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan paling rendah sarjana strata satu atau yang setara; 2) Bertugas dibidang fungsi penyidikan paling singkat 2 tahun; 3) Mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi reserse kriminal.

  4) Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; dan 5) Memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.

  30

  b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil Syarat untuk dapat diangkat menjadi PPNS menurut Peraturan

  Pemerintah tersebut adalah sebagai berikut: 1) Masa kerja sebagai pegawai negeri sipil paling singkat 2 tahun. 30 PP No. 58 Tahun 2010 tentang Perubahan PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, hal 3.

  2) Berpangkat peling rendah penata muda/golongan IIIa. 3) Berpendidikan paling rendah sarjana hukum atau sarjana lain yang setara.

  5) Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter pada rumah sakit pemerintah.

  6) Setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan peagawai negeri sipil paling sedikit bernilai baik dalam 2 tahun terakhir.

  31 7) Mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan dibidang penyidikan.

  Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kitab Undang - undang Hukum Acara Pidana. Syarat kepangkatan penyidik ditentukan bahwa untuk polisi serendah-rendahnya berpangkat Inspektur Dua Polisi, sedangkan untuk PPNS serendah-rendahnya berpangkat Penata Muda (gol III/a) atau yang disamakan. Syarat kepangkatan penyidik pembantu ditentukan bahwa untuk polisi serandah - rendahnya berpangkat Brigadir

31 PP No. 58 Tahun 2010 tentang Perubahan PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, hal 5-6.

  Dua Polisi, sedangkan untuk PPNS serendah - rendahnya berpangkat

  32 Pengatur Muda (gol II/a) atau yang disamakan.

  3.4 Penyidik Pegawai Negeri Sipil Berdasarkan Pasal 1 angka 5 PP No. 43 Tahun 2012 Tentang Tata

  Cara Pelaksanaan Koordinasi, Pengawasan, dan Pembinaan Teknis Terhadap Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan Bentuk-bentuk Pengama nan Swakarsa : “Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya di singkat PPNS adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang - undangan ditunjuk selaku Penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang - undang yang menjadi dasar hukumnya masing - masing”. Setelah berlakunya undang-undang hukum acara pidana yang baru, maka terjadi perubahan yang fundamental di dalam sistem peradilan pidana yang juga mempengaruhi pula sistem penyidikan. Di dalam KUHAP Pasal 6 ayat (1) huruf b telah ditentukan bahwa penyidik ada penyidik pegawai negeri sipil

  33 tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang - undang.

  Dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang menyatakan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang - undang yang menjadi 32 landasan hukumnya masing - masing dan dalam pelaksanaan tugasnya

  

Al. Wisnubroto, 2005, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,

33 hal 36.

  

L. Sumartini, 1996, Pembahasan Perkembangan Hukum Nasional tentang Hukum Acara Pidana, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, hal. 103. berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik POLRI. Oleh karena itu timbul kajian yang lebih mendalam lagi mengani adanya persoalan tentang apakah dalam melakukan proses penyidikan PPNS dalam prakteknya melaksanakan tugas tersebut. Padahal wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil tersebut adalah melakukan penyidikan yaitu tugas - tugas Kepolisian yang bersifat represif justisial, sehingga setelah lahirnya Penyidik Pegawai Negeri Sipil berdasarkan KUHAP, maka alat - alat kepolisian khusus tidak lagi berwenang melakukan tugas - tugas kepolisian yang bersifat judicial

  represif .

  Penyidik Pegawai Negeri Sipil mempunyai wewenang sebagai berikut: 1) Kewenangan penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah sesuai dengan yang ditetapkan dalam undang - undang yang menjadi dasar hukumnya masing - masing. 2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil tidak berwenang melakukan

  34 penangkapan dan atau penahanan.

  3) Apabila undang-undang yang menjadi dasar hukumnya tidak mengatur secara tegas kewenangan yang diberikan maka Penyidik Pegawai Negeri Sipil mempunyai wewenang penyidik dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP.

34 Keputusan Menteri Kehakiman No. M.04-PW.07.03 Tahun 1984, hal. 3.

  Disamping itu Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang dapat menjadi penyidik terdapat dalam undang-undang sebagai berikut

  35

  :

Tabel 2.1 Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang diatur dalam Undang -undang

  No Nomor Undang Undang Materi Pokok Pidana Pejabat Penyidik

  1

  9 Tahun 1992 Imigrasi PPNS Imigrasi

  2

  41 Tahun 1999 Kehutanan PPNS Kehutanan

  3

  19 Tahun 2002 Hak Cipta PPNS Ditjen HAKI

  4

  17 Tahun 2006 Kepabeanan PPNS Bea Cukai Kedudukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugas penyidikan secara terperinci adalah sebagai berikut: a) Penyidik Pegawai Negeri Sipil berkedudukan dibawah: i. koordinasi penyidik Polri ii. dibawah pengawasan penyidik Polri (Pasal 7 ayat (2)) b) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada penyidik pegawai negeri sipil tertentu dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 ayat (1)).

  c) Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik, jika dari penyidikan itu oleh penyidik pegawai negeri sipil di temukan bukti yang kuat untuk diajukan kepada penuntut umum (Pasal 107 ayat (2)).

35 Nikolas Simanjuntak, 2009, Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 56.

  e) Apabila penyidik Pegawai Negeri Sipil telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikannya tersebut diserahkan kepada penuntut umum, melalui penyidik Polri (Pasal 107 ayat (3)). karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan tindak pidana atau penyidikannya dihentikan demi hukum, maka penghentian penyidikan itu harus diberitahukan kepada penyidik

  36 Polri dan penuntut umum (Pasal 109 ayat (3)).

  3.5 Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kehutanan Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan pada Bab XIII Pasal 77 ayat (1), (2) dan (3) merumuskan sebagai berikut:

  1) Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung-jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang - undang Hukum Acara Pidana.

  2) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk: a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, 36 kawasan hutan dan hasil hutan.

  M. Yahya Harahap, Op. cit, hal 113-114. b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. hutan atau wilayah hukumnya.

  d. Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan yang berlaku.

  e. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.

  f. Menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

  g. Membuat dan menanda - tangani berita acara.

  h. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. 3) Pejabat penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum sesuai Kitab Undang - undang Hukum Acara Pidana.

  3.6 Tahap - tahap Penyidikan Menurut buku petunjuk pelaksanaan penyidikan tindak pidana di mana disampaikan oleh Kapolri Jend. Polisi Drs. Rusdiharjo tahun 2000 di Jakarta

  37

  pidana dalam buku petunjuk ini dapat di uraikan sebagai berikut:

  3.6.1 Penyelidikan Menurut ketentuan Bab I Pasal 1 angka 5 KUHAP: “Penyelidikan adalah rangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang - undang”. Pada hakikatnya, terhadap terminologi penyelidikan itu dahulu di kenal sejak eksisnya undang-undang tentang pemberantasan Tindak Pidana Subversi (Pasal 2 huruf b, d, Pasal 5, Pasal 6 ayat (1) Undang - undang No.

  11/Pnps/1963). Titik taut hubungan tersebut menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP disebutkan bahwa penyelidikan bukanlah merupakan fungsi yang berdiri sendiri, terpisah dari fungsi penyidikan, melainkan merupakan hanya salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan, yang mendahului tindakan lain yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan

37 Luhut M.P. Pangaribuan, 2000, Hukum Acara Pidana, Satu Kompilasi Ketentuan-Ketentuan KUHAP dan Hukum Internasional, Cet III, Jakarta: Djambatan, hal 135.

  surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan

  38 berkas perkara kepada Penuntut Umum.

  3.6.2 Penindakan penyidik atau penyidik pembantu terhadap setiap orang atau benda atau barang yang ada hubungannya dengan tindak pidana yang terjadi. Tindakan hukum tersebut yaitu: a) Pemanggilan tersangka atau saksi.

  b) Penangkapan.

  c) Penahanan.

  d) Penggeledahan.

  e) Penyitaan.

  3.6.3 Pemeriksaan Penyidik atau penyidik pembantu segera menyampaikan kepada penuntut umum dalam hal pemeriksaan tindak pidana telah dimulai. Yang berwenang melakukan pemeriksaan adalah penyidik atau penyidik pembantu.

  3.6.4 Penyelesaian dan Penyerahan Berkas Perkara Penyelesaian dan penyerahan berkas perkara merupakan kegiatan akhir dari proses penyidikan perkara pidana. Kegiatan penyelesaian berkas perkara terdiri dari: 38

  a. Pembuatan resume Lilik Mulyadi, Op. Cit, hal 55. b. Penyusunan berkas perkara c. Penyerahan berkas perkara.

4. Tinjauan Umum Illegal Logging

  4.1 Pengertian Illegal Loging Tindak Pidana Kehutanan tergolong dalam salah satu Tindak Pidana

  Khusus, dimana pengaturannya diatur secara terpisah dalam sebuah Undang

  • undang umum. Ruang lingkup tindak pidana khusus ini tidaklah bersifat tetap, akan tetapi dapat berubah tergantung dengan apakah ada penyimpangan atau menetapkan sendiri ketentuan khusus dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur substansi tertentu.

  Definisi lain dari illegal logging adalah operasi/kegiatan kehutanan yang belum mendapat ijin dan yang merusak. Istilah lain dari pembalakan illegal adalah istilah dari penebangan liar yang menggambarkan semua praktek atau kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan pemanenan, pengelolaan dan perdagangan kayu yang tidak sesuai dengan hukum Indonesia, penebangan liar dibagi menjadi 2, yaitu:

  1) Pertama, yang dilakukan oleh operator yang sah yang melanggar ketentuan dalam perizinan yang dimiliknya; 2) Kedua, melibatkan pencurian kayu oleh orang yang sama sekali tidak memiliki izin.

  Berdasarkan pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa penebangan liar (illegal logging) adalah kegiatan dibidang kehutanan atau merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup penebangan, pengangkutan, pengolahan hingga kegiatan jual beli (ekspor-impor) kayu yang tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku atau perbuatan yang

  

39

Di samping itu secara terminologi istilah Illegal Logging yang

  merupakan bahasa Inggris terdiri dari 2 (dua) kata:

  1) Illegal , yang artinya tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum, haram.

  2) Log , yang artinya batang kayu, kayu bundar dan gelondongan. Sehingga

  kata logging berarti menebang kayu dan membawa ke tempat

  40 penggergajian.

  4.2 Unsur-Unsur Illegal Loging Setiap tindak pidana pasti di dalamnya termuat suatu rumusan unsur - unsur yang menjadi dasar pembentuknya. Tidak terkecuali dengan adanya tindak pidana Illegal Logging yang perkembangannya dari tahun ke tahun mengalami persentase yang selalu meningkat. Seperti halnya pada tindak pidana yang lain, tindak pidana Illegal Logging sebagai tindak pidana yang bersifat khusus yang pengaturannya terpisah dari KUHP yakni dengan adanya Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan di dalamnya

  39 Ahmad Ubbe, 2013, Penelitian Hukum tentang Peran Masyarakat Hukum Adat Dalam

Penganggulangan Pembalakan Liar . Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum Nasional

40 BPHN Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, hal 35.

  

Jhon M Echols, 2006, An English-Indonesia dictionary (Cetakan XXIII), Jakarta: Gramedia. hal 363. terdapat beberapa unsur yang dapat mempengaruhi timbulnya tindak pidana tersebut diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Setiap orang pribadi atau badan hukum dan atau badan usaha. karena kealpaannya. 3) Menimbulkan kerusakan hutan, dengan cara - cara yakni: i. Merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan. ii. Kegiatan yang keluar dari ketentuan perizinan sehingga merusak hutan. iii. Melanggar batas - batas tepi sungai, jurang, dan pantai yang ditentukan undang-undang. iv. Menebang pohon tanpa izin. v. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga sebagai hasil hutan illegal. vi. Mengangkiut, menguasai, atau memiliki hasil hutan tanpa Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). vii. Membawa alat-alat berat dan alat - alat lain pengelolaan hasil hutan tanpa izin.

C. KERANGKA PEMIKIRAN PANCASILA

  Latar Belakang Masalah: Kabupaten Grobogan sebagian besar Peraturan Perundang-undangan: wilayahnya terdiri dari hutan dengan hasil atau produk utamanya berupa kayu jati, mahoni dan