BAB II YURISDIKSI DAN KEWENANGAN NEGARA DALAM MENANGANI - YURISDIKSI DAN KEWENANGAN NEGARA DALAM MENANGANI UNRULY PASSENGER Repository - UNAIR REPOSITORY

BAB II YURISDIKSI DAN KEWENANGAN NEGARA DALAM MENANGANI UNRULY PASSENGER BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL 2.1. Penanganan terhadap Unruly Passenger dalam Konvensi Tokyo 1963 Konvensi Tokyo 1963 merupakan sebuah konvensi yang dibuat berdasarkan

  sebuah draft yang disusun di Roma pada tahun 1962. Konvensi ini berlaku sejak tahun 1969 dan telah diratifikasi oleh 185 (seratus delapan puluh lima) negara.

  Sebelum Konvensi Tokyo 1963 dibuat, dalam kasus United States v. Cordova dalam bab I, hakim memutus bahwa Cordova dan Santano, dua penumpang yang mabuk dalam pesawat milik Flying Tiger, Inc. dari San Juan ke New York, bebas karena pelanggaran yang dilakukan terjadi di atas pesawat udara yang sedang dalam keadaan terbang di atas Samudra Atlantik, sehingga hakim merasa bahwa Amerika Serikat tidak memiliki yurisdiksi atas kasus tersebut.

  Pada tahun 1956, dalam sebuah pesawat yang didaftarkan di Inggris sedang dalam penerbangan di antara Bahrain dan Singapura, seorang penumpang ditemukan membawa opium. Inggris memiliki yurisdiksi di dalam pesawat terbang yang sedang berada di wilayah negara lain atau laut bebas, tetapi tidak mengatur mengenai pelanggaran dan kejahatan terkait dengan narkoba berdasarkan Dangerous Drugs Act 1920 yang merupakan hukum nasionalnya.

  Pelanggaran terkait narkoba hanya berlaku bagi orang yang melakukan pelanggaran tersebut di Inggris. Sehingga pengadilan di Inggris tidak memiliki

  19

  yurisdiksi atas pelanggaran tersebut di atas pesawat. Dengan kasus-kasus tersebut, Konvensi Tokyo 1963 dibuat untuk mengisi kekosongan hukum bagi negara-negara yang tidak memiliki aturan mengenai pelanggaran atau kejahatan yang terjadi di pesawat udara yang sedang dalam keadaan terbang di wilayah

  20 negara lain atau di atas laut bebas.

2.1.1. Cakupan Konvensi

  Ketentuan mengenai pelanggaran dan tindakan-tindakan yang membahayakan keselamatan penerbangan ditentukan berdasarkan hukum nasional,

  21

  meskipun tindakan tersebut bukan termasuk pelanggaran. Ketentuan hukum nasional suatu negara tentu berbeda dengan negara yang lainnya. Atas dasar itulah di dalam Konvensi Tokyo 1963 tidak dicantumkan definisi dari bentuk-bentuk

  22 pelanggaran dan tindakan yang dimaksudkan di dalam konvensi.

  Dengan pemberlakuan hukum nasional terhadap pelaku pelanggaran di dalam pesawat udara, kapten penerbang diberikan kewenangan untuk menentukan

  23

  pelanggaran dan melakukan penahanan terhadap unruly passenger. Namun,

  19 20 R. v. Martin (1956) 2 Q.B. 272 Brian F. Havel dan Gabriel S. Sanchez, The Principles and Practice of International Aviation Law , Chambridge University Press, New York, 2014, hal.194. 21 22 Pasal 1 (1) Konvensi Tokyo 1963.

  Pablo Mendes de Leon, Op.Cit., hal. 397. Konvensi Tokyo 1963 tidak berlaku terhadap pelanggaran hukum pidana nasional

  24 terkait politik atau diskriminasi terhadap ras dan agama.

  Konvensi Tokyo 1963 memiliki 2 (dua) definisi in flight. Definisi in flight yang pertama adalah: “…from the moment when power is applied for the purpose

  25 of takeoff until the moment when the landing run ends . Definisi in flight ini

  ” berlaku dalam hal penerapan Konvensi Tokyo 1963 terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di dalam pesawat. Dengan demikian, ketika pesawat tersebut diparkirkan atau mengambil posisi sebelum take off maupun

  26

  setelah landing tidak termasuk dalam cakupan Konvensi Tokyo 1963, karena

  27

  dalam posisi tersebut pesawat tidak dianggap in flight. Sementara itu, definisi in

  flight yang ke-dua adalah: Notwithstanding the provisions of article 1, paragraph 3, an aircraft shall for the purposes of this Chapter, be considered to be in flight at any time from the moment when all its external doors are closed following the embarkation until the moment when any such door is opened for disembarkation. In the case of forced landing, the provisions of this Chapter shall continue to apply with respect to offences and acts committed on board until competent authorities of a State take over the responsibility for the

  28 aircraft and for the persons and property on board .

  Definisi in flight ini dibedakan dengan definisi in flight dalam Pasal 1 (3). Pengaturan in flight ini dibuat untuk menentukan kapan kapten penerbang dapat menerapkan kewenangannya. Ketika pesawat udara telah tertutup dan terpisah 24 25 Pasal 2 Konvensi Tokyo 1963. 26 Pasal 1 (3) Konvensi Tokyo 1963. 27 Ruwantissa Abeyratne, Op.Cit., hal. 224.

  Pablo Mendes de Leon, Op.Cit., hal. 396. dari dunia luar, kapten penerbang memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan demi menjaga keselamatan pesawat, penumpang, maupun barang-barang

  29 di dalamnya.

2.1.2. Yurisdiksi State of Registration

  Sebelum adanya Konvensi Tokyo 1963, tidak ada perjanjian internasional mengenai pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan di atas pesawat, sehingga terdapat banyak permasalahan dalam melakukan penanganan terhadap unruly

  passenger terutama terkait yurisdiksi. Pelanggaran dapat terjadi di atas pesawat yang sedang dalam keadaan terbang di atas wilayah negara lain atau laut bebas.

  Sementara itu, sebelum ada Konvensi Tokyo 1963, pesawat bukan merupakan

  30 extraterritorial jurisdiction . Hal ini mengakibatkan hukum nasional tidak dapat

  menjangkau pelanggaran yang terjadi di dalam pesawat yang sedang dalam keadaan terbang di wilayah negara lain atau laut bebas.

  Melihat permasalahan yurisdiksi di dalam kasus seperti United States v.

  31 Cordova , maka perlu ada unifikasi aturan terkait yurisdiksi. Dalam Pasal 3 (1)

  Konvensi Tokyo 1963 terdapat prinsip extraterritorial jurisdiction yang memberikan kewenangan state of registration untuk menerapkan hukumnya terhadap pelanggaran yang terjadi di atas pesawat yang sedang dalam keadaan 29 30 Pablo Mendes de Leon, Loc.Cit.

  Bryan A. Garner, ed., Black’s Law Dictionary (Ninth Edition), West, Dallas, 2009, hal. 929.

  extraterritorial jurisdiction. (1818) A court’s ability to exercise power beyond its territorial limits.” 31 Sami Shubber, Jurisdiction Over Crimes on Board Aircraft, Martinus Nijhoff, Den Haag,

  32

  terbang. Pasal tersebut dibuat untuk menutup celah yurisdiksi bagi unruly

  33 passenger untuk terbebas dari tuntutan hukum, sehingga dapat dipastikan

  bahwa tetap ada hukum pidana yang berlaku ketika pesawat udara terbang di atas

  34 laut bebas.

  Negara lain peserta konvensi yang bukan merupakan state of registration juga memiliki kewenangan untuk menerapkan yurisdiksinya dalam beberapa kasus. Dalam Pasal 4 Konvensi Tokyo 1963 disebutkan:

  A Contracting State which is not the State of registration may not interfere with an aircraft in flight in order to exercise its criminal jurisdiction over an offence committed on board except in the following cases: (a) the offence has effect on the territory of such State; (b) the offence has been committed by or against a national or permanent resident of such State;

  (c) the offence is against the security of such State; (d) the offence consists of a breach of any rules or regulations relating to the flight or manoeuvre of aircraft in force in such State; (e) the exercise of jurisdiction is necessary to ensure the observance of any 35 obligation of such State under a multilateral international agreement .

  Dengan demikian, negara selain yang disebutkan dalam Pasal 3 (1) dan

  Pasal 4 Konvensi Tokyo 1963 tidak memiliki kewenangan untuk menghalangi pesawat yang sedang dalam keadaan terbang untuk menerapkan yurisdiksinya terhadap pelanggaran atau tindakan lain yang terjadi di dalam pesawat tersebut

  36 selama penerbangan. 32 33 Ruwantissa Abeyratne, Op.Cit., hal. 220.

  Huang Jiefang, Aviation Safety and ICAO, International Civil Aviation Organization, Montreal, 2009, hal. 116. 34 35 Ruwantissa Abeyratne, Op.Cit., hal. 223.

Pasal 4 Konvensi Tokyo 1963.

  Dalam Konvensi Tokyo 1963 tidak diatur mengenai yurisdiksi state of

  operator . State of registration dan state of operator dibedakan dalam Pasal 83 bis

  Konvensi Chicago 1944. Pasal tersebut ditambahkan ke dalam Konvensi Chicago 1944 karena semakin banyak pesawat yang dioperasikan oleh maskapai yang berada di negara yang bukan merupakan negara registrasi pesawat. Apabila warga negara state of registration tidak terlibat, maka state of registration akan merasa tidak memiliki kepentingan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh unruly

  37 passenger dalam pesawat yang operatornya berada di negara lain.

2.1.3. Kewenangan Kapten Penerbang

  Kapten penerbang memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan dan menahan unruly passenger ketika pintu eksternal tertutup hingga terbuka kembali untuk embarkasi. Dalam hal terjadi pendaratan darurat, maka kapten penerbang masih memiliki kewenangan hingga pihak berwajib yang memiliki kompetensi

  38

  mengambil alih. Kapten penerbang dapat melakukan tindakan penahanan dan disembarkasi terhadap unruly passenger di negara manapun tempat pesawat udara

  39 tersebut mendarat untuk diserahkan kepada pihak berwenang.

  Dalam Pasal 8 dan 9 Konvensi Tokyo 1963, terdapat ketetuan mengenai

  disembarkation dan delivery oleh kapten penerbang. Kedua istilah tersebut

  memiliki konsep dan akibat hukum yang berbeda. Disembarkation yang dimaksudkan dalam Pasal 8 Konvensi Tokyo 1963 adalah kewenangan kapten 37 38 Ruwantissa Abeyratne, Op.Cit., hal. 228.

Pasal 5 (2) Konvensi Tokyo 1963.

  penerbang untuk melakukan disembarkasi di wilayah negara manapun terhadap orang yang dianggap telah atau akan melakukan hal yang merupakan pelanggaran maupun bukan pelanggaran di atas pesawat yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan. Ketika orang tersebut didisembarkasi, pihak berwenang

  40 di wilayah pesawat mendarat tersebut tidak mengambil tindak lebih lanjut.

  Apabila orang tersebut bukan merupakan warga negara dari state of landing, negara tersebut dapat mengembalikan unruly passenger tersebut ke negara asalnya,

  41 negara tempatnya bertempat tinggal, atau negara tempatnya memulai perjalanan.

  Sementara delivery di dalam Pasal 9 Konvensi Tokyo 1963 adalah kewenangan kapten penerbang untuk melakukan disembarkasi terhadap orang yang dianggap telah melakukan pelanggaran berat sesuai dengan hukum nasional dari negara registrasi pesawat. Hal tersebut membutuhkan tindak lanjut dari pihak

  42

  berwenang dari negara tempat pesawat mendarat. Namun apabila negara tempat pesawat mendarat bukan state of registration maka pihak berwajib tidak menindaklanjuti unruly passenger apabila tidak memiliki kepentingan atau yurisdiksi.

  Kapten penerbang juga dapat memberi kuasa atau mengharuskan kru pesawat dan dapat memberi kuasa atau meminta bantuan penumpang, tetapi tidak

  43

  mengharuskan, untuk menahan unruly passenger dalam Pasal 6 (2). Selain itu, 40 41 Huang Jiefang, Op.Cit., hal.120. 42 Pasal 14 (1), Konvensi Tokyo 1963.

  Ibid. dalam pasal yang sama juga terdapat ketentuan bahwa kru pesawat dan penumpang dapat mengambil tindakan preventif terhadap penumpang yang dianggap akan melakukan pelanggaran tanpa diberi kuasa oleh kapten penerbang selama memiliki alasan yang kuat.

  Para delegasi dalam konferensi diplomatik di Tokyo mencoba untuk memberikan kewenangan terhadap orang lain di dalam Konvensi Tokyo 1963.

  Sebenarnya penumpang tidak memiliki kewenangan untuk menentukan apakah sebuah tindakan merupakan pelanggaran atau bukan dan apakah tindakan tersebut dapat membahayakan keselamatan penerbangan atau tidak. Namun, Pasal 6 (2) Konvensi Tokyo 1963 dibuat sebagai sebuah dasar ketika suatu keadaan darurat terjadi ketika benar-benar ada bahaya terkait keselamatan terhadap pesawat, orang, maupun barang tanpa perlu adanya pengetahuan teknis untuk mengetahui adanya

  44 bahaya.

  45 Dalam kasus Zervignon v. Piedmont Aviation, Inc., kapten penerbang

  menurunkan beberapa orang penumpang karena kemungkinan adanya hijacking (pembajakan pesawat) setelah mendapat laporan dari seorang penumpang yang mendengar percakapan beberapa orang penumpang tersebut. Hakim berpendapat bahwa keputusan kapten penerbang tersebut beralasan dan telah sesuai dengan Konvensi Tokyo 1963. Hakim beranggapan bahwa kapten penerbang bertanggung jawab penuh atas keselamatan pesawat tersebut dan berwenang untuk mengambil

44 Ruwantissa Abeyratne, Op.Cit., hal. 222.

  tindakan langsung tanpa perlu memikirkan lagi apakah pelanggaran tersebut akan benar-benar dilakukan atau tidak.

  Dalam Konvensi Tokyo 1963, tindakan yang diambil oleh kapten penerbang dalam menyerahkan unruly passenger kepada pihak berwenang di tempat pesawat

  46

  melakukan pendaratan harus memiliki reasonable grounds. Reasonable grounds digunakan oleh kapten penerbang untuk melakukan kewenangannya tanpa perlu

  47

  membuktikan apakah tindakan yang diambil olehnya tersebut benar. Selain itu, kru pesawat dan penumpang dapat mengambil tindakan preventif yang beralasan tanpa pemberian kuasa dari kapten penerbang selama kru pesawat atau penumpang memiliki reasonable grounds bahwa tindakan preventif tersebut perlu

  48 dilakukan.

  Untuk memastikan bahwa kapten penerbang tidak dituntut atas kemungkinan bahwa dia melakukan kesalahan dalam mengambil tindakan, kapten penerbang memiliki imunitas terhadap tuntutan hukum oleh unruly passenger

  49

  yang diatur di dalam Pasal 10 Konvensi Tokyo 1963. Selain itu, kru pesawat dan penumpang juga mendapatkan imunitas dalam pasal tersebut. Imunitas terhadap tuntutan hukum diberikan pada kapten penerbang, kru pesawat, maskapai, dan penumpang agar mereka tidak ragu dalam mengambil tindakan

  46 47 Pasal 9 Konvensi Tokyo 1963. 48 Huang Jiefang, Loc.Cit.

Pasal 6 (2) Konvensi Tokyo 1963.

  terhadap pelanggaran-pelanggaran atau tindakan-tindakan lain yang dimaksud di

  50 dalam Konvensi Tokyo 1963.

  Contoh dari implementasi Pasal 10 Konvensi Tokyo 1963 terdapat dalam

  51

  kasus Zikry v. Air Canada. Pada tanggal 25 Agustus 2004, seorang penumpang dalam penerbangan dari Tel Aviv ke Toronto dicurigai merokok di toilet.

  Penumpang tersebut ditangkap oleh dua orang polisi ketika pesawat mendarat di Toronto. Pengadilan Haifa, Israel, memeriksa apakah langkah-langkah yang diambil oleh Air Canada telah sesuai dengan Konvensi Tokyo 1963. Hakim di Pengadilan Haifa memutus bahwa Air Canada memiliki imunitas terhadap tuntutan hukum berdasarkan Pasal 10 Konvensi Tokyo 1963 tanpa harus membuktikan bahwa penumpang tersebut benar-benar merokok.

  52 Sementara hakim dalam kasus Eid Ors v. Alaska Airlines, Inc. memiliki

  pendapat yang berbeda terkait Pasal 10 Konvensi Tokyo 1963, sembilan penumpang melakukan penerbangan dari Mesir ke Amerika Serikat untuk melakukan perjalanan bisnis. Kapten penerbang melakukan pendaratan darurat dan disembarkasi setelah mendapat laporan dari seorang pramugari bahwa mereka tidak mematuhi instruksi dari kru pesawat. Pengadilan berpendapat bahwa kapten penerbang seharusnya menyelidiki terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan dan tidak mengambil keputusan hanya berdasarkan laporan krunya. Hakim dalam kasus tersebut memutus bahwa imunitas terhadap tuntutan hukum berdasarkan 50 51 Ruwantissa Abeyratne, Op.Cit., hal. 223.

  Zikry v. Air Canada, CF No. 1716/05A. Pasal 10 Konvensi Tokyo 1963 hanya dapat diberikan jika langkah-langkah yang dilakukan oleh kapten penerbang, kru, penumpang, atau maskapai sesuai dengan konvensi.

2.1.4. Kewenangan dan Tanggung Jawab Negara dalam Menangani Unruly

  Passenger

  Pasal 11 Konvensi Tokyo 1963 dibuat untuk melawan hijacking, meskipun

  53 hijacking tidak tercakup secara memadai dalam pasal ini. Di dalam pasal

  tersebut diatur tentang kewenangan negara terhadap pesawat yang dirampas secara melawan hukum. Dalam Pasal 11 Konvensi Tokyo 1963 tertulis:

  1. When a person on board has unlawfully committed by force or threat thereof an act of interference, seizure, or other wrongful exercise of control of an aircraft in flight or when such an act is about to be committed, Contracting States shall take all appropriate measures to restore control of the aircraft to its lawful commander or to preserve his control of the aircraft.

  2. In the cases contemplated in the preceding paragraph, the Contracting State in which the aircraft lands shall permit its passengers and crew to continue their journey as soon as practicable, and shall return the aircraft and its cargo to the 54 persons lawfully entitled to possession.

  Negara harus mengambil tindakan untuk mengembalikan kendali pesawat kepada kapten penerbang atau memastikan bahwa kapten penerbang memiliki kendali terhadap pesawatnya. Negara juga harus mengizinkan penumpang dan kru untuk melanjutkan perjalanan secepatnya serta harus mengembalikan pesawat dan kargo terhadap orang-orang yang memiliki hak. Appropriate measures yang

53 Pablo Mendes de Leon, Op.Cit., hal. 398.

  dimaksud di dalam Konvensi Tokyo 1963 adalah tindakan-tindakan yang mungkin

  55 dapat dilakukan dengan mudah oleh negara-negara peserta konvensi.

  Dalam Pasal 12 dan 13 Konvensi Tokyo 1963, negara-negara yang menjadi anggota konvensi memiliki kewajiban untuk mengizinkan disembarkasi dan menerima penyerahan unruly passenger sesuai dengan permintaan kapten

  56

  penerbang. Negara berhak untuk menentukan sendiri apakah bisa melakukan penahanan terhadap unruly passenger tersebut dan apakah tindakan penahanan

  57

  tersebut telah sesuai dengan hukum nasionalnya. Penahanan tersebut dilanjutkan apabila negara merasa perlu untuk melakukan penahanan untuk proses pemidanaan atau untuk melakukan ekstradisi ke negara lain yang terkena dampak

  58

  atau memiliki kepentingan. Contohnya kasus di dalam pesawat Virgin Australia yang mendarat di Bali. Indonesia tidak melakukan penahanan terhadap Lockley karena merasa tidak perlu dan memulangkan Lockley ke negara asalnya.

  Negara tempat pesawat melakukan pendaratan memiliki kewajiban untuk membantu unruly passenger yang didisembarkasi di wilayahnya untuk

  59

  menghubungi perwakilan negaranya, memberitahukan negara dari unruly

  60 passenger , membantu melanjutkan perjalanannya apabila negara tersebut tidak 55 56 Ruwantissa Abeyratne, Op.Cit., hal. 225. 57 Ibid. 58 Pasal 13 (2) Konvensi Tokyo 1963. 59 Ruwantissa Abeyratne, Loc.Cit.

Pasal 13 (3) Konvensi Tokyo 1963.

  61

  melakukan penuntutan terhadap unruly passenger, dan memberikan national

  treatment atau perlakuan yang sama seperti dengan perlakuan terhadap warga

  62 negaranya sendiri apabila negara tersebut mengambil tindakan hukum.

2.1.5. Ekstradisi

  63 Dalam hukum pidana internasional, terdapat istilah ekstradisi. Ekstradisi dilakukan oleh negara-negara dengan perjanjian bilateral maupun multilateral.

  Terdapat beberapa kelemahan di dalam Konvensi Tokyo 1963, selain tidak berlakunya konvensi tersebut terhadap kejahatan politik, kelemahan lainnya

  64

  adalah pengaturan mengenai ekstradisi. Ekstradisi pada umumnya dilakukan terhadap tindakan-tindakan yang dianggap kejahatan di kedua negara dengan

  65

  pidana minimal 1 (satu) tahun. Selain itu, pidana militer, fiskal dan politik

  66

  umumnya tidak dimasukkan ke dalam perjanjian ekstradisi. Klausula lain dalam perjanjian ekstradisi adalah daluarsa berdasarkan hukum pidana para pihak dan

  67 juga ketentuan mengenai ne bis in idem. 61 62 Pasal 14 (1) Konvensi Tokyo 1963. 63 Pasal 15 (2) Konvensi Tokyo 1963.

  Boleslaw Adam Boczek, International Law: A Dictionary, Scarecrow Press, Inc., Amerika Serikat, 2005, hal. 60. “Extradition. A form of international judicial assistance designed to deny criminals save haven abroad, extradition is a formal procedure whereby an individual accussed or convicted of a crime under the laws of one state, is arrested in another state and handed over to the former state, at that state’s request, for trial or punishment.64 65 Brian F. Havel dan Gabriel S. Sanchez, Op.Cit., hal. 199.

  Antonia Cassese, The Oxford Companion to International Criminal Justice, Oxford University Press, New York, 2009, hal. 321. 66 Ibid.

  68 Pengaturan terkait ekstradisi terdapat di dalam Pasal 16. Yurisdiksi yang

  berlaku berdasarkan Konvensi Tokyo 1963 adalah state of registration. Jika pelanggaran terjadi di pesawat yang didaftarkan di suatu negara (state of

  registration ) tetapi dioperasikan oleh maskapai yang memiliki kedudukan di

  negara lain (state of operator), maka ada kemungkinan bahwa state of registration merasa tidak memiliki kepentingan apabila warga negaranya tidak terlibat dalam kasus tersebut, sehingga state of registration tidak mau mengambil langkah

  69 ekstradisi.

  Jika negara tidak melakukan penuntutan terhadap seseorang yang melakukan pelanggaran atau kejahatan, maka negara tersebut harus mengekstradisi atau membebaskan orang tersebut. Tidak terdapat prinsip aut

  70 dedere aut judicare (extradite or prosecute) di dalam Konvensi Tokyo 1963.

  Dalam Pasal 16 (2), terdapat penegasan bahwa Pasal 16 (1) bukan merupakan klausula ekstradisi, sehingga tidak ada kewajiban bagi negara untuk melakukan ekstradisi. Harus ada sebuah perjanjian bilateral atau multilateral untuk

  71

  melakukan ekstradisi terhadap unruly passenger. Ketika tidak ada perjanjian ekstradisi antara negara tempat unruly passenger diembarkasi dengan state of

  registration , maka unruly passenger akan terbebas dari tuntutan hukum. 68 69 Pasal 16 Konvensi Tokyo 1963. 70 Ruwantissa Abeyratne, Op.Cit., hal. 228.

  Boleslaw Adam Boczek, Op.Cit ., hal. xix. “aut dedere aut judicare or aut dedere aut prosequi: Either surrender a person suspected of a crime to the state of requesting such surrender, or prosecute the suspect.

  ”

2.2. Perubahan Konvensi Tokyo 1963 dalam Protokol Montreal 2014

  Konvensi Tokyo 1963 hingga kini telah berlaku selama 45 (empat puluh lima) tahun. Hingga saat ini, terdapat banyak kasus unruly passenger yang jumlahnya berkembang dan hal tersebut dapat membahayakan keselamatan penerbangan, namun di sisi lain masih terdapat banyak permasalahan dalam menangani unruly passenger. Protokol Montreal 2014 merupakan sebuah amandemen yang dibuat untuk menutup beberapa kelemahan dan menambahkan beberapa aturan terkait istilah-istilah yang dikenal setelah berlakunya Konvensi Tokyo 1963. Dalam Protokol Montreal 2014 terdapat berbagai tambahan, terutama terkait dengan berlakunya Konvensi Tokyo 1963, yurisdiksi dan status dari in flight security officers. Namun, tidak ada perubahan dalam kewenangan dan tanggung jawab negara.

1.2.1. Cakupan Konvensi

  Dalam Protokol Montreal 2014 masih tidak ditemukan definisi pelanggaran dan tindakan lain. Penyusun protokol sengaja tidak mengembangkan definisi dan

  72

  jenis-jenis pelanggaran. Para delegasi dalam International Conference on Air

  Law

  • – Diplomatic Conference to Consider Amending the Tokyo Convention of 1963 (ICAO Diplomatic Conference) yang diadakan di Montreal pada tahun

  2014 setuju untuk tidak menambahkan definisi, sehingga pelanggaran dan tindakan lain tetap ditentukan menggunakan hukum nasional. Kapten penerbang memiliki kewenangan untuk menentukan apakah pelanggaran tersebut diatur di dalam hukum nasional atau dapat membahayakan keselamatan penerbangan. Namun, terdapat penambahan Pasal 15 bis yang mengategorikan dua jenis pelanggaran, yaitu

  : “a) physical assault or a threat to commit such assault against

  a crew member; b) refusal to follow a lawful instruction given by or on behalf of the aircraft commander for the purpose of protecting the safety of aircraft or of 73 persons or property therein.

  ” Seperti yang diatur di dalam Konvensi Tokyo 1963, pelanggaran yang dilakukan atas dasar politik atau kejahatan politik juga bukan merupakan cakupan dari Protokol Montreal 2014. Selain pelanggaran yang didasari oleh diskriminasi terhadap race (ras) dan religion (agama) yang telah ada dalam Pasal 2 Konvensi Tokyo 1963, terdapat tambahan diskriminasi terhadap nationality (kewarganegaraan), ethnic origin (etnis asal), political opinion (pendapat politik)

  74 dan gender (jenis kelamin).

  Konvensi Tokyo 1963 memiliki 2 (dua) definisi in flight, yakni di dalam

  Pasal 1 (3) dan Pasal 5 (2). Dalam Protokol Montreal 2014 definisi in flight dalam

  75 Pasal 5 (2) dihapus. Pasal tersebut awalnya dibuat untuk menentukan kapan

  kapten penerbang dapat menerapkan kewenangannya. Dengan penghapusan Pasal 5 (2), maka kapten penerbang dapat menerapkan kewenangannya selama pesawat dalam keadaan in flight yang didefinisikan di dalam Pasal 1 (3a). Definisi in flight

  73 74 Pasal X Protokol Montreal 2014.

Pasal III Protokol Montreal 2014.

  dalam Pasal 1 (3a) telah diubah dan ditambah dalam Protokol Montreal 2014 sebagai berikut:

  … at any time from the moment when all its external doors are closed following embarkation until the moment when any such door is opened for disembarkation; in the case of a forced landing, the flight shall be deemed to continue until the competent authorities take over the responsibility for the aircraft and for persons and property on board.

  Kalimat pertama dalam definisi tersebut sama dengan definisi in flight yang

  76

  ada dalam Pasal 2 (a) Konvensi Beijing 2010. Pasal tersebut juga mengatur mengenai berlakunya status in flight dalam hal pendaratan darurat. Definisi tersebut digunakan untuk memperluas cakupan Konvensi Tokyo 1963 apabila Protokol Montreal 2014 telah berlaku. Dengan amandemen definisi in flight tersebut, maka Konvensi Tokyo 1963 akan berlaku ketika semua pintu pesawat

  77 tertutup sampai pintu-pintu tersebut dibuka untuk disembarkasi.

1.2.2. Yurisdiksi State of Operator dan State of Landing

  Pada saat Konvensi Tokyo 1963 dibuat, belum terdapat pengaturan mengenai pesawat yang diregistrasikan dalam suatu negara (state of registration) tetapi dioperasikan oleh maskapai yang berada di negara lain (state of operator). Pengaturan mengenai pesawat dengan state of registration dan state of operator yang berbeda terdapat di dalam Pasal 83 bis Konvensi Chicago 1944 sejak berlakunya Protokol Montreal 1980. Pasal 83 bis membebankan fungsi dan 76 Pasal 2 (a) Convention on the Suppression of Unlawful Acts Relating to International

  Civil Aviation , ditandatangani di Beijing pada tanggal 10 September 2010 (selanjutnya disebut sebagai Konvensi Beijing 2010). 77 Alejandro Piera dan Michael Gill, “Will the New ICAO—Beijing Instruments Build a Chinese Wall for Interna tional Aviation Security”, Vanderbilt Journal of Transnational Law, Vol. tanggung jawab state of registration kepada state of operator. Dalam pasal

  78

  79

  tersebut dikenal istilah leasing, chartering, dan interchanging. Leasing dibentuk melalui perjanjian, ICAO tidak memberikan definisi untuk istilah leasing karena negara-negara memiliki kebijakan yang berbeda mengenai pembentukan

  80 perjanjian leasing.

  Selain state of registration yang telah ada dalam Konvensi Tokyo 1963, Protokol Montreal 2014 menambahkan yurisdiksi state of operator ke dalam Pasal

  81 1 (3b) Konvensi Tokyo 1963.

  Pasal ini disesuaikan dengan Pasal 83 bis Konvensi Chicago 1944 yang membedakan state of registration dengan state of

  operator . Selain state of operator, terdapat penambahan yurisdiksi state of

  82 landing dalam Pasal 3 (1 bis). Dalam survey yang dilakukan oleh IATA pada

  tahun 2013, lebih dari 60% maskapai melaporkan bahwa pihak berwenang di state

  of landing tidak melakukan penuntutan terhadap unruly passenger dengan alasan

  83 tidak memiliki yurisdiksi.

  78 ICAO Circular 295, Guidance on the Implementation of Article 83 bis of the Convention on International Civil Aviation , ICAO, 2013, hal. 1. “… to charter an aircraft the entire capacity is hired or purchased privately by one or more entities, which may re- 79 sell it to the public….”

  Ibid. “… an aircraft interchange or interchange flight is a regularly scheduled, single-plane through service linking a route of one air carrier at the interchange point to a route of a second air carrier, with the same aircraft being crewed by and under the operational control of the respective authorized carrier on each route.” 80 81 Ibid. 82 Pasal II Protokol Montreal 2014. 83 Pasal IV Protokol Montreal 2014.

  ICAO LC/35-WP/2-3, Views of the International Air Transport Association (IATA) on Di dalam Pasal 3 (2 bis), definisi dari state of landing adalah negara tempat pesawat mendarat dengan unruly passenger yang masih ada di dalam pesawat tersebut. Sebagai state of landing, dalam Pasal 3 (2 ter), negara harus melihat apakah tindakan yang dilakukan oleh unruly passenger tersebut merupakan pelanggaran berdasarkan hukum nasional state of operator.

1.2.3. Kewenangan Kapten Penerbang dan Status In Flight Security Officers (IFSO)

  Kapten penerbang dapat menerapkan kewenangannya selama pesawat dalam keadaan in flight. Dalam Konvensi Tokyo 1963, definisi in flight bagi kapten penerbang untuk menerapkan kewenangannya berbeda dengan definisi in

  flight dalam berlakunya konvensi. Definisi di dalam Pasal 5 (2) tersebut dihapus

  dalam Protokol Montreal 2014, sehingga kapten penerbang dapat menerapkan kewenangan di pesawat dalam keadaan in flight sesuai dengan Pasal 1 (3) yang telah diubah.

  Lebih dari 40 (empat puluh) negara memiliki IFSO atau Air Marshall dan

  ICAO telah mengakui peran dan fungsi IFSO. Namun di dalam Konvensi Tokyo

  84

  1963, IFSO hanya memiliki status sebagai penumpang. Hal tersebut

  85

  dikarenakan IFSO belum ada pada saat Konvensi Tokyo 1963 dibuat. Di dalam

  86 Protokol Montreal 2014, status IFSO telah ditambahkan ke dalam Pasal 6. 84 ICAO DCTC Doc No. 7, Draft Protocol to Amend The Tokyo Convention Of 1963 Authority and Protections for In-Flight Security Officers 85 ICAO DCTC Doc No. 4, Note of The Secretariat

  Awalnya status dan definisi IFSO hanya terdapat di Annex 17 dari Konvensi Chicago 1944. Protokol Montreal 2014 mengakui status IFSO dan memberi dasar bagi IFSO untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya.

  Dalam draft Protokol Montreal 2014, terdapat 2 (dua) opsi terkait dengan status IFSO. Opsi pertama memberikan IFSO kewenangan yang sama dengan kapten penerbang, sementara opsi ke-dua memberikan IFSO posisi yang sama

  

87

  dengan kru pesawat dan penumpang. Jepang berpendapat bahwa IFSO bertugas untuk mencegah atau menangani pelanggaran berat seperti terorisme termasuk

  hijacking , sehingga IFSO seharusnya tidak menunjukkan identitas ketika sedang

  berada dalam penerbangan. Apabila IFSO menangani masalah pelanggaran kecil dalam sebuah penerbangan, maka identitasnya sebagai IFSO dapat dimanfaatkan oleh orang yang berniat untuk melakukan pelanggaran berat di dalam pesawat

  88 tersebut.

  Air Navigation Bureau memberikan pendapat bahwa seharusnya

  kewenangan kapten penerbang bersifat final dan tidak dibagi atau dilemahkan

  89 dengan adanya kewenangan yang sama dengan orang lain di dalam pesawat.

  Kapten penerbang memiliki pengetahuan yang lebih detail terhadap status keselamatan pesawat secara keseluruhan dan bertanggung jawab secara langsung terhadap operator pesawat. Kapten penerbang memiliki kewenangan untuk 87 ICAO DCTC Doc No. 3, Draft Text of The Protocol to The Tokyo Convention of 1963

  Proposed by The Legal Committee 88 ICAO DCTC Doc No. 10, Comments on The Draft Text of The Protocol to The Tokyo Convention of 1963 89 ICAO DCTC Doc No. 5, The Views of Air Navigation Bureau, ICAO, on Article VI of

  menjaga ketertiban dan kedisiplinan di dalam pesawat. Indonesia berpendapat bahwa kewenangan penuh yang diberikan kepada kapten penerbang memberikan

  90 kepastian hukum.

  Karena banyaknya pendapat yang tidak menyetujui pembagian kewenangan kepada kapten penerbang dan IFSO dalam ICAO Diplomatic Conference, kapten penerbang tetap memiliki kewenangan penuh atas pesawat di dalam Protokol Montreal 2014 dan status IFSO hampir sama dengan penumpang. Dalam Pasal 6 (2) Konvensi Tokyo 1963 yang telah diamandemen, diatur bahwa kapten penerbang dapat meminta bantuan atau memberi kuasa tetapi tidak mewajibkan

  91 IFSO atau penumpang untuk menahan unruly passenger. Kemudian, Pasal 6 (3)

  memberikan perbedaan antara IFSO dan penumpang. IFSO memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan preventif tanpa memerlukan kuasa dari kapten penerbang apabila dia merasa bahwa tindakan preventif tersebut perlu segera dilakukan untuk melindungi keselamatan penerbangan.

  Tindakan yang dilakukan oleh IFSO harus sesuai dengan perjanjian bilateral atau multilateral. Perjanjian terkait IFSO ditentukan sendiri oleh pihak-pihak perjanjian bilateral atau multilateral. Pada umumnya perjanjian IFSO berisi mengenai kewajiban-kewajiban negara dan prosedur operasional. Pasal 6 (4) menegaskan bahwa Konvensi Tokyo 1963 yang telah diamandemen tidak

90 ICAO DCTC Doc No. 24, Authority in Handling Offences and Certain Other Acts Commited on Board Aircraft .

  membebankan kewajiban kepada negara peserta untuk membuat atau menyetujui

  92 perjanjian terkait IFSO.

  IFSO juga mendapatkan imunitas terhadap segala tuntutan di dalam Pasal

  93

  10. Substansi dalam Pasal 10 Protokol Montreal 2014 sama dengan Konvensi Tokyo 1963, hanya terdapat penambahan IFSO untuk menyesuaikan statusnya dalam Pasal 6.

  1.2.4. Ekstradisi dalam Protokol Montreal 2014

  Pasal XI Protokol Montreal 2014 mengubah Pasal 16 (1) Konvensi Tokyo 1963. Untuk tujuan ekstradisi, pelanggaran yang dilakukan di dalam pesawat dianggap terjadi di wilayah negara-negara yang telah meratifikasi, sesuai dengan

  94 Pasal 3 (2) dan (2 bis), sehingga pelanggaran yang dilakukan di dalam pesawat dianggap terjadi di state of registration, state of operator, dan state of landing.

  Dalam Protokol Montreal 2014 tetap tidak terdapat klausula ekstradisi, sehingga protokol tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk melakukan ekstradisi. Pasal XI hanya mengubah substansi dalam Pasal 16 (1) dan tidak mengubah atau menghapus Pasal 16 (2). Dalam Pasal 16 (2) terdapat penegasan bahwa Pasal 16 (1) tidak membebankan kewajiban terhadap negara untuk melakukan ekstradisi terhadap unruly passenger.

  1.2.5. Right of Recourse 92 93 Pasal VII Protokol Montreal 2014.

Pasal IX Protokol Montreal 2014.

  Untuk melakukan disembarkasi terhadap unruly passenger atau menyerahkannya kepada pihak berwenang, pesawat harus melakukan pendaratan darurat atau pendaratan yang tidak terjadwal (unscheduled landing) dan hal

  95 tersebut berdampak terhadap biaya operasi maskapai.

  IATA memberikan beberapa contoh terkait biaya operasi, yakni termasuk pembuangan bahan bakar sebelum melakukan pendaratan untuk alasan keamanan, pengisian bahan bakar baru, dan pembayaran kompensasi terhadap penumpang lain yang merasa dirugikan karena penerbangan yang dialihkan sehingga menyebabkan

  96 keterlambatan.

  Karena banyaknya kasus pendaratan darurat untuk melakukan disembarkasi terhadap unruly passenger, maka perlu adanya aturan yang memberi dasar bagi maskapai untuk menuntut ganti kerugian kepada unruly passenger tersebut. Protokol Montreal 2014 menambahkan Pasal 18 bis yang mengatur mengenai

  97 right of recourse. Di dalam Pasal 18 bis diatur mengenai hak untuk menuntut

  ganti rugi, berdasarkan hukum nasional, terkait dengan kerugian yang dialami karena disembarkasi atau penyerahan unruly passenger.

  95 96 ICAO DCTC Doc No. 22, Comments on the Right of Recourse.

  Ibid.