KEWENANGAN BPKP DALAM MENENTUKAN KERUGIAN NEGARA AKIBAT KORUPSI DI INSTANSI PEMERITAHAN DAERAH

  KEWENANGAN BPKP DALAM MENENTUKAN KERUGIAN NEGARA AKIBAT KORUPSI DI INSTANSI PEMERITAHAN DAERAH (Jurnal Ilmiah) Oleh MERY FARIDA Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM Pada Bagian Hukum Administrasi Negara FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2018

  

ABSTRAK

KEWENANGAN BPKP DALAM MENENTUKAN KERUGIAN NEGARA

AKIBAT KORUPSI DI INSTANSI PEMERITAHAN DAERAH

Oleh

Mery Farida, Prof. Dr. Yuswanto, S.H.,M.H, Nurmayani, S.H.,M.H.

  Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung Jalan Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung, 35145

  Email : meryfarida95@gmail.com Kerugian negara akibat korupsi di instansi pemerintahan daerah terus meningkat, seiring dengan bertambahnya transfer dana dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, oleh karena itu dibutuhkan suatu lembaga untuk menghitung dan menetapkan kerugian keuangan negara di daerah. Secara konstitusional BPK adalah satu-satunya lembaga yang memiliki kewenanga tersebut, tetapi beberapa tahun terakhir Aparat Penegak Hukum berdasarkan Nota Kesepahaman Antara Kejaksaan RI, Kepolisian Negara RI, dan BPKP Nomor: Kep-109/A/JA/09/2007; No. Pol.: B/2718/ Ix/2007; dan Nomor: Kep-1093/K/D6/2007 tentang Kerjasama Dalam Penanganan Kasus Penyimpangan Pengelolaan Keuangan Negara Yang Berindikasi Tindak Pidana Korupsi meminta bantuan BPKP untuk melakukan penentuan kerugian negara, sehingga hal ini mejadi polemik di masyarakat. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah kewenangan BPKP dalam menentukan kerugian negara Akibat Korupsi di Instansi Pemerintah Daerah? Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, jenis data yaitu data Sekunder dan Analisis data yang digunakan yaitu Analisis deskriptif kualitatif. . BPKP berwenangan melakukan penghitungan kerugian negara yang didasarkan pada Putusan MK No. 31/PUU-X/2012 dan Pasal 3 huruf e Undang-Undang No, 192 Tahun 2014 Tentang Badan Pemeriksaa Keuangan dan pembangunan yang menyatakan penghitungan kerugian negara BPKP melalui Audit Investigasi, tetapi berdasarkan Peraturan Kepala BPKP Nomor: Per-1314/K/D6/2012 tentang Pedoman Penugasan Bidang Investigasi sebelum melakukan penghitungan kerugian negara BKPK harus mendapat permintaan terlebih dahulu oleh APH Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun, menyatakan bahwa BPKP hanya memilki kewenangan Menghitung Kerugian Negara dan yang memiliki kewenangan menghitung kerugian negara adalah hakim dan BPK. Selain itu yang menjadi alasan BPKP tidak berwenang adalah BPKP hanya menerima mandat dari APH, sehingga Laporan BPKP bukan merupakan KTUN dan bersifat informatif.

  

Kata Kunci: Kewenangan, Badan Pemeriksa Keuangan Dan pembangunan,

Penentuan Kerugian Negara, Pemerintah Daerah

  

THE AUTHORITY OF THE FINANCIAL AND DEVELOPMENT

SUPERVISORY BOARD IN DETERMINING STATE LOSSES DUE TO

CORRUPTION IN LOCAL GOVERMENT INSTITUTION

By

Mery Farida, Prof. Dr. Yuswanto, S.H.,M.H, Nurmayani, S.H.,M.H

  Legal Section State Administration Faculty of Law University of Lampung.

  Street Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung, 35145 Email :

  State losses due to corruption in local government agencies continue to increase, along with increased transfer of funds from Central government to local governments, therefore it takes an institution to calculate and determine the financial losses of the state in the region. Constitutionally Financial Audit Board is the only institution that has the authority, but the last few years Law Enforcement Apparatus based on a memorandum of understanding between the Attorney General of the Republic of Indonesia, the Indonesian National Police, and The Financial and Development Supervisory Board number: Kep-109/A/JA/09/2007; No. Pol.: B/2718/ Ix/2007; and number: Kep-1093 / K / D6 / 2007 concerning Cooperation in the Handling of Cases of Irregularities in State Financial Management Indicated by Corruption, asks BPKP's assistance to determine the state's loss, so that this becomes a polemic in the community.

  The problem in this research is how is the authority of The Financial and Development Supervisory Board in determining state losses due to Corruption in Local Government Institution? This study uses the normative juridical approach, the type of data is secondary data and data analysis used is descriptive qualitative analysis.

  BPKP has the authority to calculate state losses based on Decision of the Constitutional Court No. 31 / PUU-X / 2012 and affirmed in Article 3 letter e Act no. 192 Year 2014 About the Finance and Development Audit Board which states the calculation of state losses The Financial and Development Supervisory Board through Investigation Audit, but based on Regulation of Head of The Financial and Development Supervisory Board Number: Per-1314 / K / D6 / 2012 concerning Guidelines for Assignment of Investigation Field before calculating the loss of State The Financial and Development Supervisory Board shall be requested in advance by Law Enforcement Apparatus Circular Letter of the Supreme Court No. 4 Year 2016 On the Implementation of the Result of the Plenary Meeting of the Supreme Court Chamber of the Year, stating that The Financial and Development Supervisory Board only has the authority to calculate State Losses and that has the authority to calculate state losses is the judge and the Financial Audit Board. In addition, the reason why The Financial and Development Supervisory Board is not authorized is that The Financial and Development Supervisory Board only accepts mandates from Law

  Enforcement Apparatus, so the The Financial and Development Supervisory Board Report is not a state administrative decision and is informative.

  Keywords: Authority, The Financial and Development Supervisory Board, Determining State Losses, Local Goverment

I. PENDAHULUAN

  Pengawasan Internal 1)

  Negara, 2014, Bandar Lampung: Justice Publisher, hlm. 64

  ICW 219 kasus tindak pidana korupsi terjadi di Pemerintahan Kabupaten denga total kerugian mencapai Rp. 478 Miliar. Sedangkan Pemerintah Kota beradaa di urutan kedua terbesar yang tersangku kasus korupsi pada tahun yang sama, yakni total 73 kasus dan kerugian Negara mencapai Rp. 247 Miliar rupiah. Salah satu permasalahan yang terjadi mengenai pengawasan terhadap keuangan negara adalah lembaga Negara manakah yang berhak menentukan adanya suatu kerugian negara. khususnya antara BPK dan BPKP sebab perbedaan hasil penghitungan kerugian Negara yang 2 Yuswanto, Hukum Keuangan

  Berdasarkan hasil penghitungan ICW (Indonesia Corruption Watch) ditemukan jumlah kasus korupsi yang menimbulkan kerugian negara terbanyak berada dilevel pemerintahan Kabupaten/Kota. Temuan

  Pengawasan Eksternal oleh Badan Pemeriksa Keuangan keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

  3) Badan Pengawas Keuangan dan Pembanguan; b.

  Jendral, Inspektorat Provinsi, dan Inspektorat kabupaten kota;

  2) Inspektorat

  Dilakukan oleh atasan terhadap bawahannya dalam suatu lingkungan kerja;

  Tujuan Negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam alinea ke-IV UUD 1945 yaitu “memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social” dan untuk mencapai tujuan tersebut maka akan selalu berkaitan dengan pengelolan keuangan Negara sebagai bentuk pembiayaan terhadap penyelenggara - an pemerintahan Negara, akan tetapi dalam pengelolaan keuangan daerah baik pada tingkat pusat maupun daerah terdapat kerugian keuangan negara maupun potensi kerugian negara.

  Menurut Thedorus M. Tuanakotta terdapat lima sumber yang dapat menimbulkan keuangan negara yaitu:

  Penentuan Kerugian Negara yang dilakukan Oleh BPKP dalam Tindak Pidana Korupsi, Vol. 4, No. 3, tahun 2015, hlm 3

  adalah kegiatan untuk menjamin agar pengumpulan penerimaan-penerimaan Negara, dan penyaluran pengeluaran- pengeluaran Negara tidak menyimpang dari rencana yang telah digariskan didalam anggaran. Bentuk pengawasan dalam rangka pengelolaan dan tanggungjawab 1 Chandra Ayu Astuti, Anis Chariri,

  2

  Pengawasan keuangan Negara

  e. Kredit Macet sumber kerugian keuangan negara tersebut, memungkin kan terjadinya indikasi tindak pinada, oleh karena itu pengelolaan terhadap keuangan Negara harus dilakukan pengawasan.

  d. Penempatan Aset

  c. Pemanfaatan Aset

  b. Pelepasan Asset

  1

  keuangan negara dalam hal untuk menghitung kerugian keuangan negara dapat berupa: a. dilakukan oleh BPK dan BPKP di perhitungan, suratsurat bukti, tingkat pemerintah daerah notulen rapat penitia dan sejenisnya, hasil survei

  BPKP adalah lembaga pemerintah laporanlaporan pengelolaan, non departemen (LPND) yang berada dan surat-surat lainnya yang di bawah dan bertanggung jawab diperlukan dalam pengawasan; langsung kepada Presiden.

  c.

  Pengawasan kas, surat-surat berdasarkan Peraturan Presiden No. berharga, gudang persediaan 192 Tahun 2014 Tentang Badan dan lain-lain; Pemeriksaan Keuangan Dan d.

  Meminta keterangan tentang Pembangunan yang atur dalam Pasal 2 tindak lanjut hasil pengawasan, baik hasil menyatakan: “BPKP mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pengawasan sendiri maupun pemerintahan di bidang pengawasan hasil pengawasan Badan keuangan negara/ daerah dan Pemeriksa Keuangan, dan lembaga pengawasan lainnya. pembangunan nasional.” Untuk Menjalankan tugasnya Berdasarkan Putusan Mahkamah berdasarkan Pasal 54 Keppres No. 103 Konstitusi Nomor 31/PUUX/2012 Tahun 2001, BPKP memiliki terkait pengujian Undang-Undang kewenangan yaitu: Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

  1) Pemberantasan Tindak Pidana Penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya; Korupsi terhadap Undang-Undang Perumusan bidangnya untuk mendukung Tahun 1945 yang menyatakan bahwa pembangunan secara makro; KPK bukan hanya dapat berkoordinasi

  3) dengan BPKP dan BPK dalam rangka Penetapan sistem informasi di bidangnya; pembuktian suatu tindak pidana

  4) korupsi, melainkan dapat juga Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah berkoordinasi dengan instansi lain, yang meliputi pemberian bahkan Dapat membuktikan sendiri di pedoman, bimbingan, pelatihan, luar temuan BPKP dan BPK. Maka arahan, dan supervisi di berdasarkan hal ini BPKP memiliki bidangnya; kewenangan untuk melakukan audit

  5) terhadap keuangan Negara.

  Penetapan persyaratan akreditasi lembaga pendidikan dan sertifikasi tenaga profesional/ahli Untuk mengetahui adanya kerugian serta persyaratan jabatan di negara atau tidak, maka kejaksaan bidangnya; berkoordinasi dengan auditor yang

  6) mampu menghitungnya yang dalam Kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- hal ini adalah BPKP, Penunjukan undangan yang berlaku, yaitu: BPKP sebagai auditor dalam

  a. menghitung kerugian negara dalam Memasuki semua kantor, bengkel gudang, bangunan, kasus korupsi bukan tanpa dasar, hal tempat-tempat penimbunan, ini didasarkan pada Pasal 4 ayat (4) sebagainya; Nota Kesepahaman Antara Kejaksaan b. RI, Kepolisian Negara RI, dan BPKP

  Meneliti semua catatan, data elektronik, dokumen, buku Nomor: Kep-109/A/JA/09/2007; No. Pol.: B/2718/ Ix/2007; dan Nomor: Kep-1093/K/D6/2007 tentang Kerja- sama Dalam Penanganan Kasus Penyimpangan Pengelolaan Keuangan Negara Yang Berindikasi Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan “Dalam hal dari hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diketahui adanya penyimpangan yang berindikasi tindak pidana korupsi, maka BPKP melakukan audit investigatif dan melaporkan hasilnya dalam rapat koordinasi maupun kepada Instansi penyidik untuk ditindaklanjuti”.

  Akan tetapi, secara yuridis Kewenagan BPK dalam menentukan kerugian Negara secara Konstitusional diatur dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 yang menyata kan bahwa “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri”. Kemudian di pertegas dengan Pasal 10 ayat (1) Undang- Undang No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan yang menyatakan “BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”. Sedangkan BPKP merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan Keppres dan kewenangannya diatur melalui Keppres Keppres No. 103 Tahun 2001 dan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (PPSPIP). Sehingga BPK merupakan lembaga yang lebih berwenang apabila terjadi tabrakan kewenangan antara keduanya. Hal ini merujuk pada teori stuffenbau dan asas lex superior derogate lege inferior.

  Atas dasar Permasalahan yang berkaitan dengan kerugian negara ini, maka pada akhir tahun 2016 dikeluarlah Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Dalam Angka 6 SEMA tersebut dijelaskan Bahwa “Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/ Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap dan audit pengelolaan keuangan Negara namun tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan Negara. Dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara” Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis tertarik untuk menulis judul skripsi “Kewenangan BPKP Dalam Menentukan Kerugian Negara Akibat Korupsi Di Instansi Pemer intahan Daerah” Berdasarkan latar belakang yang telah uraikan diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bagaimanakah kewenangan BPKP dalam menentukan kerugian Negara akibat korupsi di Instansi Pemerintahan Daerah ?

II. METODE PENELITIAN

  Bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer. Terdiri dari buku-buku, literatur dan hasil penelitian yang 3 Soerjono Soekanto, Pengantar

  2) Prosedur Pengolahan Data pengolahan data yaitu kegiatan merapikan data dari hasil 4 Ibid, hlm. 52

  Prosedur Pengumpulan Data Pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah prosedur studi pustaka. Studi Kepustakaan adalah Pengkajian tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber. Pengkajian tersebut dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur, perundangundangan, dokumen, dan pendapat para sarjana dan ahli yang berkaitan dengan Kewenangan BPKP Dalam Menentukan Kerugian Negara Akibat Korupsi Di Instansi Pemeritahan Daerah

  2.3 Prosedur Pengumpulan Dan Pengolahan Data

  Bahan-bahan penunjang lain yang ada relevansinya dengan pokok- pokok permasalahan, memberikan informasi, petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, ensklopedia, bulletin, majalah, artikel-artikel di internet dan bahan-bahan lainnya yang sifatnya seperti karya ilmiah berkaitan dengan Kewenangan BPKP Dalam Menentukan Kerugian Negara Akibat Korupsi Di Instansi Pemeritahan Daerah

  3) Bahan Hukum Tersier

  berkaitan dengan Kewenangan BPKP Dalam Menentukan Kerugian Negara Akibat Korupsi Di Instansi Pemeritahan Daerah

  Penelitian Hukum , 1983, Jakarta: Rineka

  2.1. Pendekatan Masalah

  Pendekatan masalah yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah: Pendekatan secara yuridis normatif

  Bahan Hukum Primer Bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat seperti peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya

  : 1)

  4

  Data yang diperlukan dalam penelitian adalah data yang bersumber dari bahan-bahan pustaka, yamg antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian dan seterusnya (library research). Data sekuder yan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari

  2.2. Data Dan Sumber Data

  —undangan, teori-teori dan literatur-literatur yang erat hubungan dengan Kewenangan BPKP Dalam Menentukan Kerugian Negara Akibat Korupsi Di Instansi Pemeritahan Daerah

  , Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan dengan cara menelaah kaidah-kaidah, norma, norma, aturan- aturan yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Pendeketan tersebut dimaksud untuk mengumpulkan berbagai macam peraturan perundang

  3

  2) Bahan Hukum Sekunder pengumpulan data sehingga siap pakai untuk dianalisis.

  langkah-langkah sebagai berikut: a.

  III. PEMBAHASAN Penentuan Kerugian Negara Oleh BPKP Dalam Tindak Pidana Korupsi di Pemerintahan Daerah

  2017, APBN Yang Lebih Kredibel dan berkualitas ditengah ketidakpastian global, Kementrian Keuagang, hlm. 26

  , akan tetapi semakin besarnya dana untuk pemerintah daerah, maka semakin meningkat pula kerugian negara. Berdasarkan laporan hasil pemeriksan BPK pada tahun 2016 menemukan kerugian negara sebanyak 2.525 permasalahan senilai Rp1,13 triliun dan potensi kerugian negara sebanyak 413 senilai Rp419,60 miliar Kasus tindak pidana korupsi merupakan penyebab kerugian negara terbesar di Indonesia yang sangat berpengaruh kepada turunnya kualitas kehidupan masyarakat maupun

  6

  Jumlah dana untuk seluruh daerah pada tahun 2016 mencapai Rp. 776, 3 Triliun

  3.1 Penghitungan Kerugian Negara

  analisis deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif adalah analisis yang diwujudkan dengan cara menggambarkan kenyataan atau keadaan-keadaan atas suatu objek dalam bentuk uraian kalimat berdasarkan keterangan-keterangan dari pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan penelitian ini. Hasil analisis tersebut kemudian di interprestasikan guna memberikan gambaran yang jelas terhadap permasalahan yang jelas terhadap permasalahan yang diajukan.

5 Dengan

  Pemeriksaan data (editing), yaitu mengoreksi data yang terkumpul sudah cukup lengkap, sudah benar, dan sudah sesuai dengan masalah; b. Klasifikasi data, yaitu menempatkan data sesuai dengan kelompok-kelompok yang telah ditentukan dalam bagian-bagian pada pokok bahasan yang akan dibahas, sehingga diperoleh data yang objektif dan sistematis sesuai dengan penelitian yang dilakukan.

  Hukum dalam Praktek , 2008, Jakarta:Sinar Grafika, hlm. 72 6 Direktorat Penyusun APBN,

  Data yang telah diolah kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu Data yang telah diolah kemudian dianalisis dengan menggunakan 5 Bambang Waluyo, Penelitian

  Sistematis data (systematizing), yaitu penyusunan data berdasarkan urutan data yang telah ditentukan dan sesuai dengan ruang lingkup pokok bahasan secara sistemastis dengan maksud untuk memudahkan dalam menganalisis data.

  d.

  Rekontuksi data (reconstruction), yaitu menyusun ulang data secara teratur, berurutan, dan logis sehingga mudah dipahami menjawab pokok bahasan yang diteliti.

  c.

2.3. Analisis Data

  mengganggu stabilitas ekonomi

  b.

  1 Tahun 2010, hlm. 4

  Audit dengan tujuan tertentu BPK berkaitan dengan pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan investigasi. Pemeriksaan keuangan adalah audit dengan tujuan tertentu yang dimaksudkan untuk menyatakan 8 Agung Suseno, Eksistensi BPKP Dalam Pengawasan Keuangan Negara , Vol. 17, no.

  Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif.

  c.

  Pasal 23E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun melaksanakan pemeriksaan kinerja pengelolaan keuangan negara.

  Pemeriksaan kinerja, adalah pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi, serta pemeriksaan atas aspek efektivitas yang lazim dilakukan bagi kepentingan manajemen oleh aparat pengawasan intern pemerintah.

  Pemeriksaan keuangan, adalah pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemeriksaan keuangan ini dilakukan oleh BPK dalam rangka memberikan pernyataan opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah.

  7 .

  Tanggung Jawab Keuangan Negara, BPK diberi kewenangan untuk melakukan 3 (tiga) jenis pemeriksaan, yakni: a.

  Merugikan Negara Daam Kasus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Selatan: Indonesia

  15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksaan Keuangan, Berdasarkan penjelasan Undang- Undang No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan 7 Emerson Yuntho, dkk, Penerapan Unsur

  Pasal 23E UUD 1945, yang kemudian kewenangannya dipertegas dalama Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No.

  berwenang untuk melakukan penghitungan kerugian negara adalah BPK sebagaimana tercantum dalam

  Tindak pidana korupsi banyak dilakukan di pemerintah daerah dan terbesar terjadi pada pemerintahan kabupaten/kota. yang didasarkan pada temuan ICW menunjukan sepanjang tahun 2016 ada 219 kasus tindak pidana korupsi terjadi di Pemerintahan Kabupaten denga total kerugian mencapai Rp. 478 Miliar. Sedangkan Pemerintah Kota beradaa di urutan kedua terbesar yang tersangku kasus korupsi pada tahun yang sama, yakni total 73 kasus dan kerugian Negara mencapai Rp. 247 Miliar rupiah. Kerugian negara akibat dari tindak pidana korupsi harus dibuktikan secara nyata adanya kerugian negara. Oleh karena itu untuk menentukan ada tidaknya kerugian negara harus dilakukan penghitungan kerugian negara oleh institusi resmi yang menghitung kerugian negara yang dalam hal ini adalah lembaga pengawas keuangan negara yaitu BPK selaku pengawas keuangan negara ekstern dan BPKP selaku pengawan keuangan negara Intern.

8 Secara konstitusional lembaga yang

  pendapat mengenai nilai kerugian keuangan negara yang timbul dari suatu kasus penyimpangan dan digunakan untuk mendukung tindakan litigasi, sedangkan pemeriksaan investigasi adalah proses mencari, menemukan, dan mengumpulkan bukti secara sistematis yang bertujuan mengungkapkan terjadi atau tidaknya suatu perbuatan dan pelakunya guna dilakukan tindakan hukum selanjutnya. Hasil dari pemeriksaan keuangan audit investigasi adalah kerugian negara, potensi kerugian negara dan kekurangan penerimaan. Apabila hasil pemeriksaan berupa potensi kerugian negara ditemukan adanya indikasi tindak pidana korupsi maka berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  Berdasarkan IHPS I Tahun 2017 terdapat beberapa kasus tidak dapat di tindaklanjuti oleh BPK dikarenakan banyaknya permintaan penghitungan kerugian negara kepada BPK, oleh karena itu APH selain meminta penghitungan kerugian negara/kerugian daerah kepada BPK, APH meminta penghitungan kerugian negara pada pengawas intern pemerintah yaitu Badan Pengawas Keuangan Dan Pembangunan (BPKP), dikarenakan penghitungan kerugian negara merupakan hal yang mendesak dalam rangka pemberantasan korupsi dan terdapat beberapa permintaan APH yang belum sempat di tindaklanjuti oleh BPK maka APH meminta penghitungan kerugian negara kepada BPKP yang berkompeten dalam melakukan penghitungan kerugian negara.

  Ketentuan mengenai penghitungan kerugian negara meskipun dalam kewenangan BPKP tidak dijelaskan secara eksplisit tetapi berdasarkan Pasal 3 huruf e tentang fungsi BPKP dalam Peraturan Presiden No. 192 Tahun 2014 Tentang Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan, BPKP memiliki fungsi menghitung kerugian negara yang dinyatakan sebagai berikut: “pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan program dan/atau kegiatan yang dapat menghambat kelancaran pembangunan, audit atas penyesuaian harga, audit klaim, audit investigatif terhadap kasus-kasus penyimpangan yang berindikasi audit penghitungan kerugian keuangan negara/daerah, pemberian keterangan ahli, dan upaya pencegahan korupsi;” Fungsi BPKP dalam menghitung kerugian keuangan negara pada pemerintah daerah diuraikan dalam

  Pasal 385 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah sebagai berikut: 1)

  Masyarakat dapat menyampaikan pengaduan atas dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh aparatur sipil negara di instansi Daerah kepada Aparat Pengawas Internal Pemerintah dan/atau aparat penegak hukum. 2)

  Aparat Pengawasan Internal Pemerintah wajib melakukan pemeriksaan atas dugaan penyimpangan yang diadukan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

  3) Aparat penegak hukum melakukan pemeriksaan atas pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah terlebih dahulu berkoodinasi dengan Aparat Pengawas Internal Pemerintah atau lembaga pemerintah nonkementerian yang membidangi pengawasan.

  4) Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditemukan bukti adanya penyimpangan yang bersifat administratif, proses lebih lanjut diserahkan kepada Aparat Pengawas Internal Pemerintah.

  5) Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditemukan bukti adanya penyimpangan yang bersifat pidana, proses lebih lanjut diserahkan kepada aparat penegak perundang-undangan.

  Kewenangan BPKP dalam menghitung kerugian negara, dipertegas dengan Putusan MK Nomor: 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012 Menurut MK, dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK , melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan Dapat membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK.

  Kerjasama antara BPKP dan APH dituangkan dalam Nota Kesepahaman Antara Kejaksaan RI, Kepolisian Negara RI, dan BPKP Nomor: Kep-109/A/JA/09/2007; No.

  Pol.: B/2718/ Ix/2007; dan Nomor: Kep-1093/K/D6/2007 tentang Kerjasama Dalam Penanganan Kasus Penyimpangan Pengelolaan Keuangan Negara Yang Berindikasi Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan

  Pasal 4 ayat (4) nota kesepahaman tersebut menyatakan bahwa “Dalam hal dari hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diketahui adanya penyimpangan yang berindikasi tindak pidana korupsi, maka BPKP melakukan audit investigatif dan melaporkan hasilnya dalam rapat koordinasi maupun kepada Instansi penyidik untuk ditindaklanjuti”.

  BPKP dalam melaksanakan audit investigasi untuk menghitung kerugian negara harus di dasarkan pada permintaan tertulis dari instasi yang membutuhkan audit investigasi. berdasarkan Peraturan Kepala BPKP Nomor: Per-1314/K/D6/2012 tentang Pedoman Penugasan Bidang Investigasi dapat bersumber dari : a.

  Pengembangan Hasil Audit

  Operasional b. Pengaduan Masyarakat c. Permintaan

  Instansi Penyidik/Penetapan Pengadilan d. Permintaan Objek Penugasan

  Peraturan ini menggambarkan bahwa BPKP memiliki peran yang sangat penting dalam kemajuan negara khusus dalam menghitung kerugian negara yang terindikasi korupsi, selain itu peraruran perundang-undangan lain yang medukung kewenanang BPKP untuk melakukan penghitungan kerugian negara melalui audit investigatisi dan yang perlu diperhatikan disini adalah bahwa kewenangan BPKP dalam melakukan audit Investigasi untuk menentukan kerugian negara merupakan kewenangan yang diberikan berdasarkan mandat, dikarenakan dalam melaksanakan audit Investigasi BPKP harus mendapatkan permintaan terlebih dahulu dari APH atau instasni lain yang berwenang sehingga BPKP tidak melanggar kententuan dalam konstitusi.

  Penentuan kerugian negara hanya dapat dilakukan oleh lembaga yang berwenang menurut peraturan perundang-undangan. BPKP merupakan salah satu lembaga yang berwenang melakukan audit investigasi untuk menghitung kerugian negara, kemudian yang hasil penghitungan BPKP tersebut dapat menjadi penetapan kerugian keuangan negara. Berdasarkan peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang BPKP, BPKP merupakan suatu lembaga yang bertanggung jawab kepada Presiden dan mengenai pengawasan keuangan negara Presiden telah menugaskan BPKP untuk melakukan audit dengan tujuan tertentu melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2014 tentang Peningkatan Kualitas Sistem Pengendalian Intern Dan Keandalan Penyelenggaraan Fungsi Pengawasan Intern Dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat. Inpres tersebut diterbitkan dalam rangka mempercepat penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), yang menyatakan sebagai berikut:

  “Menugaskan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan pengawasan dalam rangka meningkatkan penerimaan negara/daerah serta efisiensi dan efektivitas anggaran pengeluaran negara/ daerah, meliputi: a. audit dan evaluasi terhadap pengelolaan penerimaan pajak, bea dan cukai; b. audit dan evaluasi terhadap pengelolaan Penerimaan Negara

3.2 Kewenangan BPKP Dalam Menentukan Kerugian Negara Akibat Korupsi di Pemerintahan Daerah

  Bukan Pajak pada Instansi Pemerintah, Badan Hukum lain, dan Wajib Bayar; c. audit dan evaluasi terhadap pengelolaan Pendapatan Asli

  Daerah; d. audit dan evaluasi terhadap pemanfaatan aset negara/ daerah; e. audit dan evaluasi terhadap program/kegiatan strategis di energi, ketahanan pangan, infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan; f. audit dan evaluasi terhadap pembiayaan pembangunan nasional/daerah; g. evaluasi terhadap penerapan sistem pengendalian intern dan sistem pengendalian kecurangan yang dapat mencegah, mendeteksi, dan menangkal korupsi; h. audit investigatif terhadap penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara/daerah untuk memberikan dampak pencegahan yang efektif; i. audit dalam rangka penghitungan kerugian keuangan negara/daerah dan pemberian keterangan ahli sesuai dengan peraturan perundangan.” Berdasarkan Instruksi presiden ini, BPKP hanya diberikan tugas untuk melakukan penghitungan kerugian negara, begitu pula dengan peraturan lainnya hanya menegaskan mengenai kewenangan BPKP dalam menghitung kerugian negara bukan menentukan kerugian keuangan negara baik pusat maupun daerah.

  Audit Investigasi dalam hal menghitung kerugian negara, sebagaimana dijelaskan sebelumnya harus berdasarkan pada permintaan APH. Sehingga sumber kewenagan BPKP dalam menghitung kerugian negara adalah mandat dari APH. Maka Laporan BPKP bersifat informatif dan bukan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara seperti halnya penentuan kerugian negara oleh BPK. Berdasarkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara No. 75 PK/TUN/2015 investigatif BKPK bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara. Laporan BPKP bukan merupakan KTUN dikarenakan tidak terpenuhinyan unsur bersifat individual, final dan menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum. Unsur bersifat Individual tidak terpenuhi karena Laporan Hasi Audit Investigasi oleh Deputi BPKP Bidang Investigasi merupakan permintaan penyidik yang dalam hal penghitungan kerugian keuangan negara tanpa memberikan rekomendasi kepada seseorang dan/atau pejabat untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, sehingga Lapaoran Audit Investigasi BPKP tidak memenuhi unsur 9 Rita Novita Sari, Penghitungan Kerugian

  Keuangan Negara Oleh BPKP Sebagai

  individual. Sedangkan tidak terpenuhinya unsur final dikarenakan Laporan Hasi Audit Investigasi BPKP hanya bersifat informatif dan belum bersifat final sebab memuat hasil penghitungan kerugian keuangan negara yang dikeluarkan oleh BPKP masih memerlukan tindak lanjut dari APH selaku instansi yang meminta BPKP untuk melakukan audit investigasi dalam hal penghitungan kerugian negara kemudian unsur Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum tidak terpenuhi dikarena putusan tersebut tidak bersifat final sehingga tidak memiliki akibat hukum.

  9 Menurut keputusan mahkamah agung

  tersebut laporan kerugian keuangan negara BPKP dalam hal ini merupakan keterangan ahli untuk menghitung kerugian negara yang dituangkan kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli yang dalam hal ini adalah BPKP yaitu mempunyai nilai kekuatan pembuktian "bebas" atau "vrij bewij skracht". Di dalam dirinya tidak ada melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempuma dan menentukan. Terserah pada penilaian hakim. Hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk mesti menerima kebenaran keterangan ahli dimaksud. Akan tetapi, Hakim dalam mempergunakan wewenang kebebasan dalam penilaian pembuktian, harus benar-benar bertanggung jawab atas landasan moral demi terwujudnya kebenaran sejati dan demi tegaknya hukum serta kepastian hukum.

  Putusan Mahkamah Agung Nomor 75 PK/TUN/2015), Skripsi, Fakultas Hukum Maka dengan demikian hanya satu lembaga yang dapat menentukan kerugian negara yaitu BPK sebagaimana tercantum dalam Pasal

  23 E ayat (1) UUD 1945, yang kemudia di pertegas dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2006 yang menyatakan BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.

  Akan tetapi, karena masih banyaknya pertentangan mengenai kewenangan BPKP dan BPK ini maka Ketentuan mengenai penentuan kerugian keuangan negara ini di pertegas dengan Surat Edaran Mahkamah Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Dalam Angka 6 SEMA tersebut dijelaskan Bahwa : “Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/ Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan Negara namun tidak berwenang menyatakan atau men- declare adanya kerugian keuangan Negara. Dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara.”

  Dalam SEMA ini dijelaskan bahwa yang memiliki kewenangan menentukan kerugian negara hanya BPK, sedangkan BPKP hanya memiliki kewenangan untuk menghitung kerugian keuangan negara. Namun dalam keadaan tertentu penentuan kerugian keuangan negara tetap berada di tangan hakim.

  Dikeluarkan SEMA No. 4 tahun 2016, mahkamah agung mengharapakan dapat menghentikan pertentangan tersebut akan tetapi apabila di perhatikan SEMA No. 4 Tahun 2016 menimbulkan multitafsir mengenai lembaga mana yang berwenang penghitungan kerugian negara, karena apabila hasil penghitungan kerugian negara oleh BPKP menyatakan adanya kerugian negara, tetapi BPK menyatakan tidak ada kerugian negara, maka hasil audit BPKP atau penghitungan kerugian negara? Berdasarkan SEMA tersebutnya kewenangan tersebut kembali pada hakim. Dengan demikian akan tetap terjadi pertentangan yang panjang kembali mengenai kewenangan penentuan kerugian negara, sehingga menghambat proses pemberantasan korupsi dan hal serupa juga telah dinyatakan oleh

  ICW yang menyebutkan bahwa “ peran institusi lain di luar BPK untuk menyatakan kerugian negara adalah kebutuhan mendesak dalam upaya pemberantasan korupsi khususnya pada upaya pembuktian di pengadilan. Sedangkan pedoman dari MA itu berpotensi menimbulkan multitafsir perihal institusi mana yang berwenang menghitung kerugian negara, guna pembuktian di pengadilan. Dikhawatirkan upaya penghitungan kerugian negara yang dilakukan BPKP kembali menuai perdebatan.” Maka berdasarkan uraian diatas, dapatlah di ketahuin bahwa BPKP tidak berwenang menentukan kerugian negara dan yang memiliki kewenangan secara yuridis adalah BPK, akan tetapi apabila dikemudian hari terjadi pertentangan mengenai penentuan kerugian negara dilakukan oleh hakim, dan apabila hakim menggunakan hasil audit BPKP di bandingkan BPK dapatlah dikatakan bahwa hasil audit BPKP adalah second analisis yang menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan keputusan kerugian negara.

IV. PENUTUP

4.1 Kesimpulan

  Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan: BPKP berwenang melakukan penghitungan kerugian keuangan negara melalui Audit Investigasi, hal ini didasarkan pada Keputusan Presidenn No. 103 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, Peraturan Presiden No. 192 Tahun 2014 Tentang Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan, Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2014 tentang Peningkatan Kualitas Sistem Pengendalian Intern Dan Keandalan Penyelenggaraan Fungsi Pengawasan Intern Dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat, dan Undang- Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Dearah. Kemudian dipertegas dengan Putusan MK Nomor: 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012 Menurut MK, akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah bahwa Penghitungan Kerugian Keuangan Negara harus didasarkan terlebih dahulu oleh permintaan penghitungan oleh instansi yang berwenang salah satunya APH sebagaimana tercantum dalam Peraturan Kepala BPKP Nomor: Per- 1314/K/D6/2012 tentang Pedoman Penugasan Bidang Investigasi. Walaupun demikian BPKP tidak memiliki kewenangan untuk menentukan kerugian keuangan negara, dikarena BPKP hanya menjalankan kewenangan berdasarkan mandat dari APH, sehingga APH memiliki kewenangan untuk menggunakan atau tidak menggunakan hasil laporan kerugian keuangan negara dari BPKP, selain itu Laporan kerugian keuangan negara yang dibuat oleh BPKP bukan merupakan putusan tata negara karena bersifat final sebab masih membutuhkan tindak lanjut dari APH sebagaimana tercantum dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara No. 75 PK/TUN/2015, maka yang dapat menentukan kerugian negara secara yuridis hanyalah BPK yang didasarkan pada Pasal 23 E ayat (1) UUD 1945, Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan dan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun, yang menyatakan dengan jelas kewenangan antara BPK dan BPKP dan juga dalam keadaan tertentu berdasarkan SEMA tersebut kewenangan menentukan kerugian keuangan negara adalah oleh Hakim. Dengan demikian hasil audit BPKP apabila di pergunakan hakim dalam mempertimbangankan pemberian keputusan penentuan kerugian negara dapat dijadikan second analisis yang Negara Oleh BPKP tidak mengikat hakim. Sebagai Keputusan Tata

  Usaha Negara (Analisis

4.2 Putusan Mahkamah Saran

  Banyaknya permasalahan mengenai Agung Nomor

  75

  kewenangan BPKP maupun BPK PK/TUN/2015), Skripsi, dalam menentukan kerugian negara, Fakultas Hukum sehingga menimbulkan ketidakpastian Universitas Lampung, hukum lembaga mana yang 2016 berwenang menentukan kerugian Agung Suseno. 2010. Eksistensi negara. Maka dari itu penulis BPKP Dalam mengharapkan adanya revisi terhadap Pengawasan Keuangan SEMA No. 4 Tahun 2016 untuk lebih Negara . Vol. 17, no. 1 Chandra Ayu Astuti, Anis Chariri. 2015. menekankan lembaga yang bewenang

  Penentuan Kerugian Negara

  menentukan kerugian negara dan

  yang dilakukan Oleh BPKP

  antara BPK dan BPKP lebih

  dalam Tindak Pidana

  meningkatkan kerjasama dalam hal

  Korupsi, Vol. 4. No. 3

  kerugian negara, karena kan apabila dilihat dari perannya masing-masing jika kedua lembaga ini mampu berkerjasama maka akan menciptakan pengawasan keuangan negara yang sangat baik.

  DAFTAR PUSTAKA Direktorat Penyusun APBN.

  Direktorat Jedral Anggran,

  Informasi APBN 2017, APBN Yang Lebih Kredibel dan berkualitas ditengah ketidakpastian global,

  Kementrian Keuagang Soekanto, Soerjono. 1984. Pengantar

  Penelitian Hukum . Rineka

  Cipta: Jakarta Waluyo, Bambang. 2008. Penelitian Hukum dalam Praktek .

  Sinar Grafika: Jakarta

  Yuntho, emerson, dkk. 2014 . Penerapan Unsur Merugikan Negara Daam Kasus Tindak Pidana Korupsi . Indonesia Corruption Watch: Jakarta Selatan

  Yuswanto. 2014. Hukum Keuangan

  Negara. Justice Publisher:

  Bandar Lampung Sari, Rita Novita. Penghitungan