KESEPIAN LANSIA | Karya Tulis Ilmiah

Pada hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial yang tak dapat hidup seorang
diri namun lebih senang hidup berkelompok. Manusia memerlukan pergaulan atau
hubungan interpersonal yang akrab dengan orang lain. Hal ini sama seperti yang
diutarakan Aristoteles (384-322 sebelum masehi) bahwa manusia adalah ZOON
POLITICON, artinya pada dasarnya manusia ingin selalu bergaul dan berkumpul
menjadi

makhluk

yang

bermasyarakat

(http://anwarabdi.wordpress.com/tag/manusia-sebagai-makhluk-sosial).
Dapat dipastikan, tidak ada manusia normal di dunia ini yang menghendaki hidup
sendirian, terasing, atau diasingkan kecuali ada faktor-faktor khusus yang menjadi
penyebabnya. Jika seseorang tidak memiliki teman dekat atau diasingkan dari
komunitasnya, maka orang tersebut akan merasa kesepian walaupun sedang berada
ditengah-tengah keramaian orang banyak.
Kesepian merupakan salah satu perasaan paling tidak nyaman yang dapat dialami
oleh seseorang (Warren, 2007). Kesepian dapat timbul karena seseorang

membutuhkan orang lain untuk membina hubungan khusus yang salah satunya adalah
persahabatan akrab sampai kasih sayang yang mendalam (Lake, 1986). Hal serupa
juga diungkapkan oleh Korkow (dalam Setyowanti, 2009), yaitu salah satu penyebab
dari kesepian adalah transisi kehidupan. Kesepian dapat terjadi pada setiap orang baik
anak-anak, remaja, dewasa hingga lanjut usia sekalipun. Menjadi lebih tua merupakan
sebuah seri dari perubahan, dan perubahan apa pun dapat menciptakan kesepian
dalam hidup (Warren, 2005).
Menurut Masdani (1998) orang dikatakan lanjut usia apabila telah berumur 60
tahun keatas. Pada masa ini lansia akan mengalami proses penuaan atau aging yang
merupakan suatu proses dinamis sebagai akibat dari perubahan sel, perubahan
fisiologis, dan perubahan psikologis (Afida, 1996). Sehingga dalam masyarakat masa
tua sering diidentikan dengan masa penurunan dan ketidakberdayaan. Mereka
beranggapan bahwa masa tua itu tidak berguna, lemah, tidak memiliki semangat
hidup, pelupa, penyakitan, dilupakan keluarga, dan sebagainya. Padahal dengan
beberapa penurunan yang dialami, orang yang sudah tua (lansia) pemenuhan
kebutuhannya akan sangat bergantung pada bantuan orang lain ( Hurlock, 1980).
Masalah yang kemudian muncul, kebanyakan lansia tinggal sendiri setelah
ditinggal pasangannya. Menurut Leangle & Probst (dalam Brehm, 2002) masalah
1


psikologis akibat keterpisahan orang tua dengan anggota keluarga yang dicintai
misalnya pasangannya merupakan masalah yang relatif sering terjadi sehingga
memicu rasa kesepian yang semakin meningkat. Sedangkan anak-anak mereka
tumbuh dan berkembang dengan mandiri serta meninggalkan rumah dan hidup
terpisah dengan orangtua (Gunarsa, 2004).
Solusi yang biasanya diberikan kepada lansia, umumnya tinggal bersama anak dan
cucu, baik dirumah anak maupun di rumah lansia itu sendiri. Dengan pertimbangan,
pihak keluarga dapat lebih mudah memantau kebutuhan yang diperlukan orang tuanya
yang sudah lanjut usia. Selain itu tinggal bersama anak dan cucu akan
membahagiakan lansia, karena mereka tinggal bersama sehingga tidak merasa
kesepian (Lontar, 2007). Tapi, tidak jarang bahwa lansia yang tinggal bersama
keluarga justru mengalami kesepian dan merasa ditelantarkan karena anak cucu sibuk
dengan urusan masing-masing. Lansia merasa tidak memiliki seorangpun untuk
dijadikan pelarian saat dibutuhkan serta kurangnya waktu untuk berhubungan dengan
lingkungan keluarga maupun sekitar tempat tinggalnya (Santrock, 2002). Sedangkan
lansia yang tetap tinggal di rumahnya sendiri, perasaan kesepian tampaknya bisa
terobati dengan keberadaan tetangga yang telah lama dikenal. Asumsinya bahwa
mereka telah lama tinggal di rumah tersebut, maka mereka sudah merasa tidak asing
karena memiliki rumah dan lingkungan sekitar. Adaptasi yang perlu dilakukan hanya
meliputi kehadiran anak, menantu, serta cucu sehingga tidak terlalu banyak perubahan

yang dialami.
Berbeda dengan lansia yang pindah ke rumah anak, mereka harus melakukan
adaptasi dengan rumah yang ditempati beserta penghuni serta lingkungan sekitar.
Menurut Tobin & Lieberman (1976) mengatakan bahwa semakin besar perbedaan
antara lingkungan lama dan baru maka akan semakin besar kebutuhan lansia untuk
membangun respon-respon adaptif diatas kapasitas yang dimilikinya. Bagi lansia yang
pindah ke rumah anak, sangat mungkin bahwa di lingkungan baru tidak ada teman
sesama lansia yang tinggal berdekatan sehingga perasaan kesepian yang dialami
semakin parah. Padahal keinginan untuk mencari teman sebaya merupakan
karakteristik khas pada lansia (Carstensen dalam Sari, 2004). Dengan memiliki teman
sebaya para lansia dapat saling bertukar pengalaman melalui sudut pandang yang
sama sehingga timbul perasaan dimengerti dan didukung (Atwater, dalam Sari, 2004).
Kebanyakan dari lansia yang memiliki teman dekat dan memiliki lingkaran
2

pertemanan yang aktif lebih sehat dan bahagia ( Rowe& Khan, dalam Papalia,
Feldman, Sterns & Camp, 2002).
Sebenarnya terdapat alternatif penataan tempat tinggal bagi lansia yaitu, panti
jompo. Tinggal di panti jompo sebenarnya bukan pilihan yang salah, hanya saja
pilihan tersebut menimbulkan persoalan psikologis dan sosial-budaya bagi

masyarakat. Bagi bangsa Asia, memang terdapat budaya untuk memiliki rasa hormat
pada orang-orang yang sudah tau dan berharap jika suatu saat orang tua tersebut tidak
dapat lagi mengurus diri mereka maka keluarga akan mengurusnya ( Papalia, Sterns,
Feldman & Camp, 2002). Tidak semua lansia tinggal dengan keluarga khususnya
dengan anak mereka. Hal ini juga terjadi pada kondisi lansia yang tinggal dipanti
jompo karena keluarga tak mampu mengurus. Secara bertahap keadaan ini dapat
menimbulkan perasaan hampa pada diri lansia dan semakin menambah perasaan
kesepian yang mereka alami (Gunarsa, 2004). Sejatinya, tinggal di panti jompo
mungkin akan lebih baik ketimbang menumpang dengan keluarga. Panti jompo
memiliki pengetahuan dan pengalaman merawat orang-orang yang sudah berusia
lanjut (Surbakti, 2013). Lansi juga dapat memenuhi kebutuhan sosialnya dengan
bersosialisasi bersama teman-teman sebaya. Selain itu, fasilitas seperti kunjungan
dokter akan memudahkan lansia itu sendiri untuk memeriksakan kesehatannya.
Kegiatan-kegiatan yang disediakan seperti olahraga, menyulam, bercocok tanam
memungkinkan lansia untuk terus aktif dan produktif.
Dengan latar belakang permasalahan tersebut maka peneliti tertarik untuk
mengetahui perbedaan kesepian pada lansia yang tinggal bersama keluarga dirumah
sendiri, lansia yang tinggal bersama keluarga dirumah anak, dan lansia yang tinggal
dipanti jompo.
DAFTAR PUSTAKA

Surbakti, E.B. 2013. Menata Kehidupan Pada Usia Lanjut. Jakarta: Praninta Aksara
Soetjiningsih, Ch.H. 2005.Psikogerontologi. Salatiga; Widya Sari
Soraya, Ika. 2007. Perbandingan Psychological well-being pada lansia. Fakultas Psikologi
Universita Indonesia
Iswari, T. 2000. Kesepian pada Lansia yang tinggal di panti Wredha dan tinggal di rumah.
Fakultas Psikologi; Universitas Kristen Satya Wacana

3

Sugiyono.2013. Statistika Untuk Penelitian. Bandung; ALFABETA

4