J00763

ARTIKEL
JURNAL WIDYA SARI

PENGEMBANGAN MODEL
PENGELOLAAN ANGGARAN SEKOLAH BERBASIS PARTISIPASI
Bambang Ismanto, Entri Sulistari, dan Gustin Tanggulungan

Abstract

This study aims to identify the best practices of school -based budget management
stakeholder participation. Participatory budget management model be an alternative in the
preparation of the program and the establishment of the school budget. The study was
conducted with a qualitative approach to data collection methods of focus group discussions,
depth interviews, and documentary study of the school budget management practices.
Subjects were Public and private schools in Salatiga includes elementary, junior high, high
school and vocational school. Research sources include document management school
budgets, and budget management consists School Principal, School Committee teacher, and
parents. Research shows that the management of the school budget either elementary, junior
high, high school and vocational school has been involved parties such as the School
Committee, teachers and principals . The policy of 9-year compulsory education ( elementary
and secondary ) schools in an obstacle free (no cost) involve parents and the community in

meeting the needs of the budget. While the source of revenue of the budget for the School of
Public and Private portion can not meet the needs in the development of quality school
programs. Limited sources of additional revenue resulting area of the School Operational
Assistance / BOS have not been able to meet the operational needs of school students and
personnel . Management of the school budget from the Government ( Budget) and the Local
Government ( budget ) is implemented in accordance areas of financial regulation . While
financial resources are managed according to the principles of community stakeholders
agreement . Community participation is necessary to solve the school budget needs to ensure
the implementation of programs that can improve the quality of education . Various needs
and proposed solutions are described and socialized school budgets transparently to
stakeholders to obtain a solution solving .

Keywords : Model, Budget, Schools, Participation

1

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi best practices pengelolaan anggaran
sekolah berbasis partisipasi pemangku kepentingan. Model pengelolaan anggaran yang
partisipatif menjadi alternatif dalam penyusunan program dan penetapan anggaran sekolah.

Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan metode pengumpulan data Focus
Group Discussion, depth interview dan studi dokumentasi praktek pengelolaan anggaran
sekolah. Subjek penelitian adalah Sekolah negeri dan swasta di Kota Salatiga meliputi SD,
SMP, SMA dan SMK. Sumber penelitian meliputi dokumen pengelolaan anggaran sekolah,
dan Manajemen anggaran Sekolah terdiri Kepala Sekolah, guru Komite Sekolah, dan Orang
tua. Penelitian menunjukkan bahwa Pengelolaan anggaran sekolah baik SD, SMP, SMA dan
SMK telah melibatkan pihak-pihak seperti Komite Sekolah, Guru dan Kepala Sekolah.
Penetapan wajib belajar 9 tahun (SD dan SMP) gratis menjadi kendala sekolah dalam
melibatkan orang tua dan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan anggaran. Sementara itu
sumber penerimaan dari APBD bagi Sekolah Negeri dan sebagian Swasta belum dapat
memenuhi kebutuhan dalam pengembangan program sekolah yang bermutu. Keterbatasan
sumber Pendapatan Asli daerah berakibat tambahan Bantuan Operasional Sekolah / BOS
belum dapat memenuhi kebutuhan operasional sekolah dan personil peserta didik.
Pengelolaan anggaran sekolah yang bersumber dari Pemerintah (APBN) dan Pemerintah
Daerah (APBD) dilaksanakan sesuai regulasi keuangan daerah. Sedangkan sumber-sumber
keuangan yang dari masyarakat dikelola berdasarkan prinsip kesepakatan para pemangku
kepentingan. Partisipasi masyarakat diperlukan untuk memecahkan kebutuhan anggaran
sekolah yang dapat menjamin pelaksanaan program yang dapat meningkatkan mutu
pendidikan. Berbagai kebutuhan dan usulan pemecahan anggaran sekolah dijelaskan dan
disosialisasikan secara transparan kepada pemangku kepentingan untuk mendapatkan solusi

pemecahan.
Kata kunci : Model, Anggaran, Sekolah, Partisipasi

2

PENDAHULUAN
Pergeseran pemerintahan sentralistik mengarah ke desentralistik di Indonesia sekitar
Tahun 2001 membawa implikasi perubahan tata kelola pendidikan di Kabupaten / Kota.
Pemerintah Daerah memiliki kewenangan mengelola pendidikan sesuai potensi, dan aspirasi
masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam pemecahan masalah pemerataan, akses dan mutu
pendidikan dilakukan sejak tahapan perencanaan, implementasi dan pengawasan programprogram pendidikan. Partisipasi masyarakat dalam hal ini pemangku kepentingan seperti
orang tua, Komite Sekolah, Tokoh Masyarakat, mendinamiskan Kepala Sekolah bersama
guru dan tenaga kependidikan dalam memberdayakan potensi sekolah dan masyarakat.
Anggaran sekolah merupakan salah satu agenda dalam pemecahan masalah
manajemen sekolah. Keterbatasan sumber-sumber penerimaan sekolah dari siswa (orang tua),
Pemerintah (Daerah) dan masyarakat menjadi kendala dalam peningkatan mutu pendidikan
seiring perkembangan teknologi informasi dan arus globalisasi. Sumber penerimaan dari
Pemerintah baik APBN dan APBD diatur secara ketat sesuai regulasi administrasi keuangan
Negara. Upaya mengembangkan sumber-sumber penerimaan dari masyarakat khususnya
orang tua murid pada SD/MI dan SMP/MTs terkendala eforia pendidikan gratis wajib belajar

9 tahun. PerMendiknas No: 44 Tahun 2012 melarang SD/MI dan SMP/MTs untuk menarik
pungutan pendidikan dari orang tua murid. Kendala ini memerlukan dukungan dan
masyarakat untuk peningkatan mutu pendidikan.
Hanushek, Eric A. (1996), menilai bahwa pendidikan merupakan investasi sumber
daya manusia. Amerika Serikat memiliki komitmen untuk mengalokasikan anggaran
negaranya baik dari pemerintah federal, negara bagian dan pemerintah lokal guna
meningkatkan akses dan mutu pendidikan. Sumber daya pendidikan yang terdapat disekolah
diarahkan agar dapat dipergunakan siswa bersama guru dalam meningkatkan kompetensinya.
Desentralisasi keuangan daerah perlu mendapatkan respon positif dari manajemen
sekolah baik SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan SMK/MAK dalam menyusun program yang
relevan dengan peningkatan mutu dan daya saing lulusan. Menurut Ismanto (2011),
keterbatasan pengalaman manajerial dan administrasi keuangan Kepala Sekolah serta tidak
adanya dukungan tenaga administrasi SD di Kota Salatiga Provinsi Jawa Tengah menjadi
hambatan dan kendala dalam pengelolaan sumber daya keuangan sekolah. Tata kelola
keuangan Sekolah swasta relatif lebih maju. Manajemen Sekolah terdiri Kepala Sekolah
dibantu Wakil dan difasilitasi tenaga Tata Usaha, Putakawan bahkan laboran.
Implikasi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan anggaran sekolah adalah
implementasi MBS. Pengelolaan dana bersumber APBN/APBD Sekolah diwajibkan
melaksanakan administrasi keuangan sesuai regulasi keuangan daerah. Tata kelola anggaran
sekolah berbasis partisipasi perlu melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan sekoah

sejak perencanaan, implementasi dan pengawasan anggaran sekolah.
Model pengelolaan anggaran sekolah tidak cukup dikembangkan berdasarkan
regulasi keuangan daerah sebagai dasar pengelolaan APBD. Partisipasi masyarakat perlu
diakomodasikan untuk memahami masalah dan kebutuhan pendidikan serta dukungan
pemenuhan anggaran pendidikan. Keterlibatan masyarakat dalam mengupayakan pendanaan
pendidikan sangat dimungkinkan dan dijamin PP 48 tahun 2008. Upaya mengidentifikasikan
sumber daya, mengelaborasi aspirasi dan kepentingan peningkatan mutu dan daya saing SDM
perlu diwadahi (diakses) dalam model pengelolaan anggaran sekolah. Pengalaman praktis
sekolah dalam mengelola anggaran menjadi masukan dalam merancang proses penganggaran,
penatausahaan dan pertanggungjawaban anggaran yang mengakomodasikann aspirasi dan
sumber daya pemangku kepentingan.
3

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk : (1) Mengetahui praktek (tata kelola)
pengelolaan penganggaran sekolah
sesuai ketentuan pengelolaan keuangan daerah,
(2)Memahami peran serta kepala sekolah, guru, orang tua/wali murid, komite sekolah, tokoh
agama dan masyarakat dalam proses perencanaan penatausahaan & pertanggungjawaban
anggaran sekolah, (3)Mengidentifikasikan kekuatan, kelemahan, peluang dan kendala dalam
strategi pengelolaan anggaran sesuai regulasi APBD (4)Mengidentifikasikan sumber daya

pemangku kepentingan sekolah dalam pengelolaan anggaran (tahap perencanaan,
penatausahaan & pertanggungjawaban) (5)Apakah indikator kunci peran pemangku
kepentingan dalam proses penganggaran sekolah yang relevan dengan peningkatan mutu dan
daya saing lulusan, (6)Bagaimanakah model proses penganggaran, penatausahaan dan
pertanggungjawaban anggaran sekolah berbasis partisipasi pemangku kepentingan
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008, Pendanaan pendidikan
adalah penyediaan sumberdaya keuangan yang diperlukan untuk penyelenggaraan dan
pengelolaan pendidikan. Dana pendidikan adalah sumber daya keuangan yang disediakan
untuk menyelenggarakan dan mengelola pendidikan yang meliputi: biaya satuan pendidikan;
biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan; dan biaya pribadi peserta didik.
Prinsip pengelolaan anggaran sekolah diharapkan dapat menjamin
keadilan (tanpa
diskriminasi), efisiensi (kewajaran), transparan (terbuka), dan akuntabilitas publik (dapat
dipertanggungjawabkan). Secara administratifi pengelolaan dana pendidikan oleh satuan
pendidikan dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan anggaran
rumah tangga penyelenggara atau satuan pendidikan, serta peraturan satuan pendidikan.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggungjawab menyediakan anggaran
yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi masyarakat. Hal ini sesuai
amanat pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara memprioritaskan

anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan
belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional.Perencanaan partisipatif dalam anggaran sekolah dapat
mengembangkan fungsi kognitif, instrumental, politik dan sosial. Fungsi Kognitif:
menghasilkan keputusan yang rasional mempertimbangkan kajian akademis, masukan, kritik
kelompok terkait, alokasi sumber daya. Fungsi Instrumental; Alat mempertemukan berbagai
kepentingan dalam pengambilan keputusan. Fungsi politik: mengurangi resistensi keputusan
berdasarkan keputusan bersama, legitimasi public. Fungsi sosial; mengidentifikasi kebutuhan
riil di masyarakat dan menyelesaikan problem utama.
Papke, (2000), menyatakan bahwa di Amerika Serikat, salah satu hal penting
adalah tanggung jawab pemerintah untuk membangkitkan pendapatan terpisah dari tanggung
jawab untuk menghasilkan layanan. Pemerintah Daerah dan sekolah distrik atau kota
termasuk yang independen, mempunyai tanggung jawab secara penuh untuk menyediakan
layanan pendidikan. Pemerintah Daerah hanya mengalokasikan sekitar 45.5 % untuk layanan
pendidikan. Negara Bagian sekitar 48.1 % dan pemerintah federal menyumbang sekitar 6.4 %
sekaligus menyediakan sisa kekurangan dana.
4

Proses partisipasi publik perlu disusun sejak
perencanaan, implementasi,

pengawasan dan pertanggungjawaban penggunaan dana pendidikan. Hal ini relevan dengan
penelitian Louis Volante (2007) di Kanada yang menjelaskan bahwa tanggung-jawab bidang
pendidikan adalah tiga stake holder kunci yaitu Wajib pajak, pemilih resmi (rakyat dewasa),
dan guru. Tidak berlebihan jika pada level dasar, wajib pajak ingin 'know-how' sistem
pendidikan yang sedang berlangsung dan mengharapkan pemerintah serta sekolah untuk
menyediakan bukti di terhadap nilai investasi mereka.
Menurut Gaffar (2008), terdapat enam tahap penyusunan kebijakan publik yaitu :
(1)Problem identification (identifikasi masalah), (2) Criteria (penetapan criteria alternatif
pemecahan masalah), (3)Alternatif Solutions (penyusunan alternatif pemecahan masalah),
(4)Evaluation of alternative (evaluasi alternatif pemecahan masalah), (5)Exhibit the decision
(pengambilan keputusan) dan (6) Monitoring outcome (Monitor outcome/hasil). Dunn
(2003), berpendapat bahwa setiap analisis kebijakan berorientasi pada Masalah. Perumusan
masalah, dapat dipandang sebagai suatu proses dengan empat tahap yang saling tergantung,
yaitu pencarian masalah, pendefinisian masalah, spesifikasi masalah, dan pengenalan
masalah. Untuk mengatasi situasi masalah harus mengenali situasi yang merupakan isu
publik yang terjadi di masyarakat. Meta masalah yaitu masalah diatas masalah atau juga
dikenal sebagai tuntutan masalah yang belum terstruktur. Masalah substantif didefinisikan
dari meta masalah, yaitu dipilih dari masalah ekonomi, masalah sosial budaya, masalah
politik, dan lain-lain.
Dunn (2003), mengklasifikasikan model-model analisis kebijakan meliputi : model

diskriptif, model normatif, model simbolik dan model prosedural. Dalam hal ini Suharto
(2005) menyatakan bahwa setiap model perumusan kebijakan terdapat tiga tahapan yang
saling terkait yaitu identifikasi, evaluasi dan implementasi. Dalam hal ini, Santoso (2010),
model kebijakan publik memiliki karakteristik yaitu sederhana dan jelas (clear), ketepatan
identifikasi aspek penting problem kebijakan (precise), menolong untuk pengkomunikasian
(communicable), usaha langsung untuk memahami kebijakan publik secara lebih baik
(managable) dan memberikan penjelasan dan memprediksi konsekuensi (consequences).
Revitalisasi desentralisasi pendidikan pada satuan pendidikan diwujudkan dalam
Manajemen Berbasis Sekolah. Dalam konsepsi manajemen ini, Sekolah memberdayakan
potensi lingkungan internal dan eksternal untuk mendukung pencapaian visi, misi dan
program yang ditetapkan. Dalam hal ini, Rohiat (2008:55) menyatakan bahwa MBS
merupakan model manajemen yang memberikan otonomi (kewenangan dan tanggung jawab)
lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas / keluwesan lebih besar kepada sekolah
untuk mengelola sumber daya, dan mendorong sekolah meningkatkan partisipasi warga
sekolah dan masyarakat mewujudkan mutu pendidikan.
Karlsen et.al. (1999), dalam penelitian tentang desentralisasi tata kelola pendidikan
di Kolumbia menyimpulkan bahwa pergerakan desentralisasi dari pusat dan pergerakan
pemusatan dalam arah kebalikannya secara normal mendorong ke arah tekanan, tidak hanya
antara badan pusat dan lokal, tetapi juga di antara berbagai institusi dan kelompok di tingkat
pusat serta lokal. Penelitian Terhadap perbedaan paham desentralisasi serta manajemen lokal,

merepresentasikan satu cakupan luas dari praktek berbagai negara. Strategi pemerintah baru
yang sepertinya bermanfaat untuk mencapai satu koneksi lebih dekat antara ekonomi dan
5

pendidikan. Keduanya, di tingkat lokal dan pusat, desentralisasi nampak untuk
mempromosikan komersialisasi dan privatisasi dalam bidang pendidikan.
MBS juga merupakan salah satu model manajemen strategik. Hal ini berarti
meningkatkan pencapaian tujuan melalui pengerahan sumber daya internal dan eksternal.
Menurut Thomas Wheelen dan J. David Hunger (1995), empat langkah utama dalam
menerapkan perencanaan strategik yaitu (1) memindai lingkungan internal dan eksternal (2)
merumuskan strategi yang meliputi perumusan visi-misi, tujuan organisasi, strategi, dan
kebijakan (3) implementasi strategi meliputi penyusunan program, penyusunan anggaran,
dan penetapan prosedur (4) mengontrol dan mengevaluasi kinerja.
Sekolah memiliki tanggung jawab untuk mengelola dirinya berkaitan dengan
permasalahan administrasi, keuangan dan fungsi setiap personel sekolah di dalam kerangka
arah dan kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah (Umaedi:1999) Bersama - sama
dengan orang tua dan masyarakat, sekolah harus membuat keputusan, mengatur skala
prioritas disamping harus menyediakan lingkungan kerja yang lebih profesional bagi guru,
dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta keyakinan masyarakat tentang
sekolah/pendidikan. Kepala sekolah harus tampil sebagai koordinator dari sejumlah orang

yang mewakili berbagai kelompok yang berbeda di dalam masyarakat sekolah dan secara
profesional harus terlibat dalam setiap proses perubahan di sekolah melalui penerapan
prinsip-prinsip pengelolaan kualitas total dengan menciptakan kompetisi dan penghargaan di
dalam sekolah itu sendiri maupun sekolah lain
METODE PENELITIAN
Pendekatan penelitian yang relevan dengan pengembangan model pengelolaan
anggaran sekolah berbasis partisipasi adalah kualitatif. Pemahaman fenomenologis tentang
alokasi anggaran pendidikan dari APBD dan APBN menjadi titik tolak perlunya kehadiran
pemangku kepentingan dalam pengelolaan sekolah. Subyek penelitian adalah Sekolah Negeri
yang meliputi 5 unit SD Negeri (SD Salatiga 1, SD 2, SD Argomulyo, SD Tingkir, SD
Blotongan), 5 SMP (SMP 2, 3, 4, 7, dan 9) dan 5 SMA/SMAN (SMAN 2, SMAN 3, SMK 1,
2, 3). Pemilihan subyek penelitian mempertimbangkan lokasi perdesaan dan perkotaan
sebagai representasi keswadayaan social.
Pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumentasi, Focus Group Discussion
(FGD) dan Depth Interview. Setiap metode pengumpulan data didukung panduan
pelaksanaan kegiatan pengumpulan data. Studi dokumentasi dilakukan atas dokumen
RAPBS, serta Pelaksanaan dan Pertanggung jawaban APBS.
Analisis data meliputi 3 (tiga) kegiatan utama yaitu analisis konteks, reduksi data
dan mengurai fokus. Analisis konteks dilakukan dengan output terdiskripsinya subyek
penelitian, aktivitas dan fenomena dalam pengelolaan anggaran sekolah. Reduksi data
meliputi kegiatan menseleksi temuan-temuan yang relevan dengan upaya membangun
prototype model. Pada tahap mengurai fokus, dalam penelitian dipergunakan alat bantu
analisis SWOT untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan kendala
pengembangan model anggaran sekolah baik berdasarkan regulasi keuangan daerah dan
partisipasi pemangku kepentingan. Sebagai wujud akuntabilitas dilakukan triangulasi data
dengan melakukan member check, silang informan dan jika dipandang perlu dilakukan
6

perpanjangan waktu pengumpulan data sesuai situasi kondisi sosial pemnagku kepentingan
sekolah.
HASIL PENELITIAN
Kota Salatiga termasuk salah satu daerah di Provinsi Jawa Tengah
yang
menunjukkan keberhasilan dalam pelaksanaan wajib belajar 9 tahun di Provinsi Jawa Tengah
(target APM SD/MI sekitar 96,04 % dan APK SMP/MTs sekitar 99,72 %). APK Kota
Salatiga tingkat SD/MI mencapai 101,92%, APK SMP/MTs mencapai 108,63%, APK
SMA/MA/SMK mencapai 106,33 %. Sedangkan APM SD/MI mencapai 100,66% APM
SMP/MTs mencapai 78,86%, APM SMU/MA mencapai 73,49%. Anggaran Sekolah menjadi
bagian dalam Pengelolaan Keuangan Daerah dalam hal ini Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD). Oleh karena seluruh sekolah di Kota Salatiga sejak SD, SMP, SMA dan
SMK baik negeri dan swasta mendapatkan alokasi pembiayaan pendidikan dari APBD.
Terutama Satuan pendidikan SD dan SMP sebagai pelaksanaan wajib belajar 9 tahun
mendapatkan alokasi anggaran yang relatif besar dari APBD Kota Salatiga. Pada tabel
berikut tampak bahwa total biaya penyelenggaraan pendidikan Tahun 2011 pendidikan SD di
Kota Salatiga sebesar Rp 32.062.062.000, SMP sebesar Rp.24.829.279.000 dan SMA
sebesar: Rp 8.322.152.000; serta SMK sebesar Rp 7.280.973.000. Ini berarti bahwa biaya
penyelenggaraan pendidikan tertinggi di SD dan terendah di SMK.
Tabel 1. Biaya dan Sumber Pembiayaan Pendidikan
SD, SMP, SMA dan SMK Di Kota Salatiga

NO
1
2
3
4
5
6

Sumber
APBN
Yayasan
Orang Tua
APBD Jateng
APBD Salatiga
Lainnya
Jumlah Biaya
Jumlah Siswa
Unit cost

SD
7.092.515
1.095.954
4.807.808
1.141.758
17.325.307
598.720
32.062.062
16.905
1.896,60

SMP
6.984.196
300.584
4.019.899
50.000
12.911.132
563.468
24.829.279
8.589
2.890,82

SMA
710.478
675.839
4.870.400
43.698
1.416.485
605.253
8.322.152
4.327
1.923,31

SMK
1.000.044
1.187.779
3.887.574
0
0
1.205.576
7.280.973

9.005
808,55

Sumber : Profil Pendidikan Kota Salatiga Tahun 2011 (diolah)
Sumber penerimaan pada tingkat SD sumber penerimaan terbesar berasal dari APBD
Kota Salatiga sebesar Rp 17.325.307.000 dan terendah sumber lainnya sebesar Rp
598.720.000. Pada tingkat SMP sumber biaya pendidikan terbesar berasal APBD Kota
Salatiga sebesar Rp12.911.132.000 dan terendah bersumber dari Yayasan sebesar Rp
300.584.000. Yayasan yang dimaksudkan adalah Lembaga Penyelenggara Pendidikan
Swasta. Pada tingkat SMA, sumber pembiayaan pendidikan terbesar berasal dari orang
tua/wali siswa sebesar Rp4.870.400.000 dan terendah dari APBD Provinsi Jawa Tengah
sebesar Rp 43.698.000. Sedangkan sumber penerimaan biaya pendidikan SMK terbesar dari
7

orang tua sebesar Rp3.887.574 dan Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kota Salatiga tidak
membantu anggaran pendidikan SMK.
Pada tabel di atas, memperlihatkan jumlah siswa SD sebanyak 16.905 jiwa, SMP
:8.589 jiwa, SMA : 4.327 jiwa dan SMK sebanyak : 9.005. Berdasarkan data ini, maka unit
cost (biaya pendidikan per anak setahun) pada tingkat SD sebesar Rp 1.896.600, SMP sebesar
Rp 2.890.820, SMA sebesar Rp 1.923.310 dan SMK sebesar Rp 808.550. Ini berarti bahwa
unit cost biaya pendidikan tertinggi di Kota Salatiga pada tingkat SMP.
Pemerintah Kota Salatiga mulai Tahun 2009 mengalokasikan Bantuan Operasional
Sekolah Daerah (BOSDA). Alokasi BOSDA SD/SDLB setiap sekolah per tahun Rp
10.000.000; dan SMP/SMPLB sebesar Rp. 20.000.000; per tahun. Sedangkan bantuan biaya
peserta didik SD/SDLB per bulan Rp 4.000 dan SMP/SMPLB sebesar Rp 12.000 per bulan.
Kebijakan ini sebagai upaya mendukung biaya penyelenggaraan satuan pendidikan yang
selama ini bersumber dari Bantuan Operasional Sekolah.
Seperti yang tampak pada gambar berikut, alokasi anggaran pendidikan / sekolah
integral dalam APBD Kota Salatiga, ditetapkan pada Peraturan Daerah. APBD dijabarkan
berdasarkan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) hasil Musrenbang sejak tingkat
Kelurahan, Kecamatan dan Kota Salatiga. Partisipasi masyarakat dimulai sejak Musrenbang,
pembahasan Dn penetapanan Kebijakan Umum Anggaran, Prioritas dan Plafon Anggaran
Sementara (PPAS) dan APBD oleh DPRD dan Walikota Salatiga. Dalam pembahasan KUA
PPAS dan RAPBD, masyarakat dapat memberikan masukan dan pertimbangan pembahsan
anggaran pendidikan / sekolah melalui Komisi yang yang membidangi pendidikan, Badan
Anggaran dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Terbatasnya
sumber-sumber
penerimaan APBD Kota Salatiga tampaknya tidak bisa mencukupi kebutuhan biaya
operasional penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah. Dalam penyelenggaraan
pendidikan dasar SD dan SMP sebagai implementasi wajib belajar 9 tahun, Pemerintah dan
Pemda semestinya mengalokasikan dana melalui APBN dan APBD serta direncanakan sejak
Musrenbang dan penetapan KUA PPAS. Alur penyusunan dan pengelolaan anggaran sekolah
sesuai regulasi keuangan daerah, disajikan dalam gambar berikut :
RPJM

RPJMD

5 tahun

5 tahun

5 tahun

Renstra
SKPD
1 tahun

SEKOLAH

Renja
SKPD

MUSRENBANG

1 tahun

RKP

RKPD

1 tahun

1 tahun

Dibahas
bersama DPRD

PPAS

KUA

NOTA KESEPAKATAN PIMPINAN DPRD
WALI KOTA SALATIGA

RKA-SKPD

PEDOMAN
PENYUSUNAN
RKA-SKPD

TAPD

RAPERDA
APBD

1 tahun

Gambar : 1. Proses Perencanaan Program dan Anggaran Sekolah sesuai Regulasi APBD
8

Pengalaman beberapa sekolah baik negeri dan swasta yang telah menyusun program
dan anggaran sesuai dengan Permendiknas No. 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan
Pendidikan ternyata penyusunan anggaran dalam bentuk RKAS memiliki nilai tambah
dibandingkan RAPBS. Oleh karena, penyusunan RKAS menerapkan prinsip-prinsip :
(1)Demand driven (berdasarkan kebutuhan, (2)Data driven, realistik sesuai dengan hasil
analisis konteks, (3)Dapat memperbaiki prestasi belajar peserta didik, (4)Membawa
perubahan yang lebih baik (peningkatan/ pengembangan), dan (5)Sistematis, terarah, terpadu
(saling terkait & sepadan), dan menyeluruh, dan (6)Tanggap terhadap perubahan,(7)Bersifat
partisipasif, keterwakilan, dan transparansi, dan (8)Berdasarkan pada hasil review dan
evaluasi.
Secara menyeluruh pengelolaan keuangan sekolah yang bersumber dari APBD Kota
Salatiga disajikan dalam gambar berikut :

RKJM – RPS
4 Tahun

Disiapkan Kep Sek
dan
dibahas

ditetapkan bersama
Komite Sekolah

RKAS /
RAPBS

Sebelum tahun ajaran baru,
RKAS/RAPBS
dibahas
bersama antara orang tua
didik, sekolah dan komite
sekolah
dan
disahkan
menjadi APBS oleh Dinas
Pendidikan paling lambat
akhir bulan Juli pada awal
tahun pelajaran

KAS/
APBS

PELAKS.
ANGGARAN
Seluruh
dana
pendidikan
sekolah dikelola
sesuai
sistem
anggaran daerah

KAS/APBSP

Jika ada
penambahan/
pengurangan dana

Pelaporan Dan
Pertanggung
Jawaban
1. Laporan hasil
kegiatan wajib
dibuat
2. Laporan
kegiatan selama
1 tahun
anggaran
disampaikan
kepada diknas
paling lambat tgl
5 januari tahun
berikutnya

Gambar 2. Pengelolaan Keuangan Sekolah yang bersumber dari APBD

Program pengawasan tidak hanya terbatas pada proses pembelajaran saja, tetapi
pengawasan dan kontrol dilaksanakan secara menyeluruh untuk setiap program dan kegiatan
pendidikan di sekolah. Hal ini dilakukan agar sekolah dapat terus menerus mengevaluasi diri
untuk meningkatkan kinerjanya, sehingga peningkatan mutu pendidikan di sekolah tersebut
secara umum dapat terlaksana. Pengawasan juga merupakan bantuan dalam pengembangan
untuk memperoleh kondisi yang lebih baik, terutama bantuan untuk memperbaiki dan
meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Selain itu, pengawasan juga merupakan suatu
aktivitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu seseorang atau sekelompok orang
agar dapat melakukan pekerjaannya secara efektif, serta merupakan pekerjaan pembinaan
yang menggunakan sejumlah teknik atau pendekatan dalam memberikan dorongan dan
9

bantuan secara profesional untuk memperbaiki kinerja. Sesuai Permendiknas No. 19 Tahun
2007 Standar Pengelolaan Pendidikan Para Kepala Sekolah menyatakan bahwa pengawasan
pengelolaan sekolah meliputi pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut
hasil pengawasan.
Sebagai pertanggungjawaban anggaran, Laporan Tahunan Sekolah dibahas dalam
forum komite sekolah. Aspek-aspek apa saja yang perlu dilaporkan, bagaimana format
laporannya, dan siapa/gugus tugas mana yang melakukannya dan perlu dibahas lebih lanjut.
Yang pasti adalah bahwa laporan tahunan sekolah sangat bermanfaat bagi sekolah sendiri dan
para stakeholder nya. Laporan Tahunan Sekolah merupakan kesempatan bagi sekolah untuk
memberikan pertanggungjawaban terhadap stakeholder sekolah (khususnya orang tua).
Melalui media ini mereka memperoleh informasi yang jujur, objektif, dan dapat dipercaya
mengenai kinerja sekolah dan hasil belajar murid. Laporan Tahunan Sekolah yang telah
dibahas dan mendapat penerimaan sekolah, selanjutnya akan disampaikan ke Dinas
Pendidikan Kota Salatiga sebagai bahan untuk melakukan review sekolah.
Dalam perwujudan good governance pengelolaan anggaran sekolah, Pemerintah Kota
Salatiga memfasilitasi dan membantu staf sekolah atas tindakannya yang akan dilakukan
sekolah, mengembangkan kinerja staf sekolah dan kinerja siswa dan seleksi karyawan.
Partisipasi Pemangku kepentingan dalam Penyusunan anggaran sekolah di Kota Salatiga
dengan kegiatan sebagai berikut : Mengidentifikasikan kebutuhan sekolah untuk kegiatan
operasional dan peningkatan mutu lulusan, Pelibatan Guru, menyusun kegiatan yang
relevan pemecahan masalah belajar dan mutu siswa, Pelibatan Tenaga kependidikan
menyusun kegiatan yang relevan dengan peningkatan sarana prasarana sekolah pemecahan
masalah belajatr dan mutu siswa, Pelibatan Siswa, Orang Tua dalam menyusun kegiatan
pemecahan masalah belajatr dan mutu siswa, Komite Sekolah menjadi bagian prakarsa,
inisiator dan Perencanaan, penatausahaan dan pertanggungjawaban APBS
Upaya pemecahan masalah anggaran pendidikan di Kota Salatiga melalui MBS
disajikan dalam gambar berikut.

10

WAJAR 9 TH SALATIGA
(SD/MI – SMP/MTs)
- UUD 1945 (Psl 31)
-UU 20/2003 (Psl 6 dan 34)
-PP 47/2008 Wajar 9 Thn
-PP 48/2008 Pendn Penddlk
-PP 19 2005 – PP 32 2013
-PERDA PENDIDIKAN (2009)

Pemda
(APBN-APBD)
-Akses
-Terbatas
- Politik
-Kompleks

Visi-Misi Sekolah
-Mutu
-Akhlak Mulia
-Keberpihakan
-Daya Saing

Pemenuhan
Anggaran
Sekolah
-Kecukupan
-Keadilan
-Keberlanjutan

Masyarakat
-Persepsi Wajar
- Mis konsepsi
Pungutan dan
Sumbangan
- Good Governance
Sekolah

Manajemen
Berbasis Sekolah
-Perencanaan
-Implementasi
-Pengawasan dan
-Pengendalian

Gambar 3. Implementasi MBS Dalam Pengelolaan Anggaran Sekolah

Peran masyarakat bukan hanya dukungan finansial, tetapi juga dengan menjaga dan
menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan tertib serta menjalankan kontrol sosial di
sekolah. Peran tokoh-tokoh masyarakat dengan jalan menjadi penggerak, informan dan
penghubung, koordinator dan pengusul. Input dalam hal ini siswa sekolah adalah anggota
masyarakat. Dan para lulusan akan kembali ke masyarakat setelah menamatkan pendidikan di
sekolah. Upaya menjalin komunikasi masyarakat dilakukan para Kepala Sekolah, Guru dan
Komite Sekolah di Kota Salatiga guna memperoleh dukungan dan masukan konstruktif
dalam pengembangan sekolah.
Menurut Para Kepala Sekolah di Kota Salatiga, bentuk hubungan antara sekolah
dengan para stakeholdernya terbagi menjadi tiga model. Model pertama adalah profesional,
kedua yaitu advokasi, dan ketiga ialah kemitraan. Model Kemitraan mengandung pembagian
tanggungjawab dan inisiatif antara keluarga, sekolah dan masyarakat yang ditujukan pada
pencapaian target kependidikan tertentu. Model profesional mengandalkan pada layanan
pegawai sekolah dan para pakar, sehingga hubungan yang terjalin dengan pihak orangtua atau
masyarakat umumnya hanya satu arah. Adapun model advokasi terkesan lebih mendudukkan
dirinya sebagai usaha oposisi terhadap kebijakan pendidikan pada umumnya dan sekolah
pada khususnya. Model kemitraan mengandalkan pada kepentingan pribadi orang tua dan
anggota masyarakat yang mau tidak mau membuat mereka berpartisipasi dalam aktivitas
yang berkaitan dengan sekolah.
Dalam melakukan analisis terhadap fungsi dan faktor-faktornya, maka berlaku
ketentuan berikut: Untuk tingkat kesiapan yang memadai, artinya, minimal memenuhi kriteria
kesiapan yang diperlukan untuk mencapai sasaran, dinyatakan sebagai kekuatan bagi faktor
internal atau peluang bagi faktor eksternal. Sedangkan tingkat kesiapan yang kurang
11

memadai, artinya, tidak memenuhi kriteria kesiapan minimal, dinyatakan sebagai kelemahan
bagi faktor internal atau ancaman bagi faktor eksternal. Untuk menentukan kriteria kesiapan,
diperlukan standar, kecermatan, kehati-hatian, pengetahuan, dan pengalaman yang cukup
agar dapat diperoleh ukuran kesiapan yang tepat. Identifikasi kekuatan, kelemahan, peluang
dan kendala penyusunan anggaran berbasis partisipasi masyarakat tampak pada tabel berikut.
Tabel 2. Analisis Lingkungan Internal
Tahapan
1. Perencanaan

-

1. Implementasi

-

Lingkungan Internal
Kekuatan
Kelemahan
Pendidikan sbg prioritas
- Keterbatasan skill perencana program
pembangunan Kota Salatiga
dan anggaran
Anggaran Pendidikan > 38%)
- Plafond dan priortas APBD membatasi
APBD Salatiga
kreativitas
Keberhasilan APK Wajar > 100 %
- Proses politik APBD memperlemah
Komitmen DPRD dan Walikota
akses partisipasi sejak musrenbang
- Ketidaksiapan regulasi tata kelola
dalam Perencanaan APBD
anggaran pendidikan
Dukungan skill DPPKAD
Aplikasi Teknologi Informasi

-

Keterbatasan skill penatausahaan
keuangan daerah
Akses anggaran sekolah belum on line
menekan partisipasi
Belum tersusunnya SPM dan SOP tata
kelola keuangan sekolah
Keterbatasan auditor internal sekolah
Lemahnya sistem pengendalian
keuangan sekolah
Belum disusunnya SPM dan SOP
Anggaran Sekolah

2.

Pengawasan

-

Komitmen Komite Sekolah
Dinamika Supervisi dan Bimbingan
Pengawas
Komitmen Inspektorat Dalam good
governance Sekolah

-

Tabel 3. Analisis Lingkungan Eksternal
Tahapan
1.Perencanaan

Lingkungan Internal
-

2. Implementasi

-

3. Pengawasan

-

Peluang
Pendidikan mjd tanggungjawab
Pemerintah, Pemda dan masyarkat
Aplikasi teknologi informasi dalam
pengelolaan anggaran
Komitmen Orang tua dan
masyarakat dalam mendukung
mutu dan daya saing sekolah
Aplikasi teknologi informasi dalam
penatausahaan
Kerja sama Akademisi PT dalam
pelaksanaan program
Kondusivitas masyarakat Salatiga

Reformasi pendidikan
mendinamiskan pengawasan
Komitmen PT (UKSW) dalam
good governance sekolah
12

-

-

-

-

-

Ancaman-kendala
Kampanye pendidikan dasar
gratis menekan program kreatif
dan bermutu
Eforia politik transparansi berarti
buka-bukaan kurang mendukung
kondusivitas kerja
Moral hazard lelang proyek
pendidikan menunda program
sekolah
Sistem auditing Keuangan daerah
dan perpajakan yang ketat dan
kompleks
Eforia politik menekan partisipasi
pendidikan
Pemberitaan Pers yang tidak
seimbang dengan kondisi
manajemen sekolah

Pendidikan menjadi salah satu layanan publik yang mendapatkan dukungan
Pemerintah Kota, DPRD dan masyarakat Kota Salatiga. Adanya suatu keyakinan bahwa
reformasi manajemen pendidikan persekolahan dengan menggunakan pendekatan model
MBS merupakan tuntutan yang mendesak, karena kompleksitas masa depan pendidikan
dituntut harus makin bermutu dan berkualitas sesuai dengan harapan masyarakat. Guru
menjadi bagian utama dalam pelaksanaan program sekolah. Guru menjadi kepercayaan
Komite Sekolah dalam menyusun program, merancang anggaran dan mengkoordinasikan
kegiatan (anggaran sekolah). Keterlibatan guru ini sebagai wujud tanggung jawab dan media
belajar dalam proses kaderisasi sekolah. Dari pengalaman Kepala Sekolah, keterlibatan guru
ini menjadi indikator loyalitas dan komitmen dalam pengembangan profesi.
Dalam lingkup sekolah di Kota Salatiga memandang MBS sebagai salah satu
alternatif pemecahan masalah di sekolah, tetapi MBS bukan satu-satunya model yang dapat
mendongkrak mutu dan kualitas pendidikan tanpa memperhatikan dukungan faktor lain. Ada
sejumlah faktor lain yang dapat menentukan dan mempengaruhi keberhasilan MBS misalnya
tingkat ekonomi masyarakat, sosial budaya, politik dan taraf pendidikan masyarakat,
kebijakan pemerintah, organisasi atau kepemimpinan kepala sekolah, strategi pembelajaran di
kelas, tata laksana sekolah, profesionalisme tenaga guru dan tenaga kependidikan lainnya.
Hal tersebut merupakan komponen yang harus diperhatikan dalam konteks manajemen
sekolah. Para pihak seperti Kepala Sekolah, Guru dan Komite Sekolah di Kota Salatiga
mengusulkan persyaratan implementas MBS yaitu: a. kepala sekolah dan guru Profesional;
b. Komitmen dan partisipasi orang tua; c. Dukungan alokasi dana; d.mutu pembelajaran dan
daya saing lulusan; e. Partisipasi stakeholder pendidikan f. Implementasi Program Sekolah.
Implementasi

MBS di Kota Salatiga dilaksanakan secara bertahap dengan

memperhatikan kondisi sekolah dan kondisi sosial masyarakat serta mempertimbangkan
faktor geografis, demografis, budaya setempat, dan potensi dasar yang dimiliki masyarakat
sekolah. Dalam pelaksanaan MBS, sekolah

menerapkan pola pendekatan idiografik

(membolehkan adanya kebebasan cara melaksanakan MBS). Walaupun demikian, masih
dapat menggunakan pendekatan nomotetik melaksanakan MBS secara “seragam” terutama
pada waktu pelaksanaan program kegiatan dengan memperhatikan ketentuan standar
pelayanan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pemikiran para Kepala sekolah di Salatiga dalam mengakomodasi aspirasi, harapan
dan kebutuhan stakeholder sekolah, dipandang
13

perlu dikembangkan wadah untuk

menampung dan menyalurkannya. Wadah yang dimaksudkan adalah Forum partisipasi
dimana representasi pada stakeholder sekolah terwakili secara proporsional. Komite sekolah
merupakan suatu badan yang berfungsi sebagai forum resmi untuk mengakomodasi dan
membahas hal-hal yang menyangkut kepentingan kelembangan sekolah dalam penyusunan
perencanaan strategik sekolah, penyusunan perencanaan tahunan sekolah, dan memikirkan
upaya-upaya untuk memajukan sekolah, serta memantau kinerja sekolah.
Di lingkungan SD, SMP, SMA dan SMK di Kota Salatiga, Manajemen Berasis
Sekolah keberadaannya dalam membantu mewujudkan sebuah sekolah yang madiri dan
efektif sudah mendesak. Peran serta masarakat dalam membangun sekolah diperlukan, karena
mereka adalah user atau pemakai out put sekolah, apa yang mereka inginkan perlu didengar,
apa yang mereka butuhkan perlu kita penuhi, agar kita tidak ditinggalkan mereka.
Managemen Berbasis Sekolah (MBS), merupakan pendekatan pembangunan sekolah yang
melibatkan masarakat secara penuh dan bertanggung jawab selalui struktur yang dibentuk
atau organisasi yang mewadahi mereka. Untuk itu diperlukan soerang kepala sekolah yang
mempunyai kemampuan manajerial, peka terhadap tuntutan dan perubahan masyarakat,
teknologi informasi, akses anggaran dan komunikasi publik untuk menjamin MBS optimal,
aspiratif dan menghasilkan program sekolah yang bermutu, kreatif dan inovatif.

PENUTUP
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian dapat disimpulkan bahwa :
a. Pengelolaan anggaran sekolah SD, SMP, SMA dan SMK Kota Salatiga pada
umumnya direncanakan, diimplementasikan dan diawasi secara partisipatif.
Keterlibatan Komite Sekolah semakin mendinamiskan Manajermen dalam
mengembangkan program dan sumber-sumber pendanaan pendidikan
b. Pihak-pihak yang tergabung dalam Komite Sekolah dalam hal ini perwakilan
orang tua, Tokoh Masyarakat, Guru dan Kepala Sekolah telah berperan sesuai
prinsip manajemen berbasis sekolah. Kebutuhan dan potensi sekolah menjadi
acuan dalam menyusun program dan anggaran sekolah.
c. Keterbatasan skill dilingkungan sekolah menjadi kelemahan dalam pengelolaan
anggaran berbasis partisipasi. Program pendidikan gratis SD dan SMP serta
terbatasnya alokasi APBD untuk menambah BOS Provinsi dan APBN menjadi
kendala dalam peningkatan mutu dan daya saing sekolah.

14

d. Sumber daya Guru menjadi ujung tombak dalam pengelolaan anggaran sekolah.
Motivasi dan komitmen guru dalam merevitalisasikan Manajemen Berbasis
Sekolah sebagai proses kaderisasi dan wujud rasa tanggung jawab kepada
Sekolah. Kepala sekolah menjadi motivator dan pengarah dalam mengerahkan
guru dalam menata dan melaksanakan program dan anggaran sekolah.
Berdasarkan kesimpulan di atas disarankan bahwa
a. Penyusunan tata kelola anggaran sekolah berbasis partisipasi dalam bentuk
penyusunan regulasi seperti Peraturan Daerah atau Peraturan Walikota Salatiga
diperlukan. Dengan demikian, sekolah dan masyarakat memiliki acuan payung hukum
dalam melibatkan pihak-pihak sejak tahapan perencanaan program, anggaran,
implementasi, pengawasan dan pertanggungjawaban program sekolah.
b. Keterlibatan pihak-pihak dalam Komite Sekolah perlu lebih dinamiskan fokus pada
pemecahan masalah (kebutuhan) sekolah. Program sosialisasi, training, workshop,
dan pemberian apresiasi para Tokoh Penggiat Sekolah akan semakin meningkatkan
motif dan komitmen dalam peningkatan mutu pendidikan di Kota Salatiga
c. Penempatan tenaga administrasi terutama di SD dan peningkatan kapasitas
(kompetensi) penyusunan program dan pengelolaan anggaran baik di SD, SMP, SMA
dan SMK diperlukan guna meningkatkan mutu pengelolaan anggaran sekolah.
d. Keterlibatan guru dalam Komite Sekolah perlu diberikan apresiasi sebagai tugas
administrasi dalam pembinaan profesi guru. Dengan demikian para guru merasa
keberadaannya dalam Komite Sekolah mendapatkan apresiasi.

15

DAFTAR PUSTAKA
Badan Standar Nasional Pendidikan, 2006, Standar Biaya Pendidikan, Biaya Operasi Sekolah Dasar,
Jakarta
Bush, Robin dan Yuna Farhan 2010, Kinerja Pengelolaan Anggaran Daerah 2009 Study di 41
Kabupaten/Kota di Indonesia, kerja sama The Asia Foundation dan FITRA
Cohen, William., A., (2002), The New Art of the Leader , (Alih Bahasa Hendrikus Leko ; Seni baru
Tentang Pemimpin, Memimpin Dengan Integritas dan Kehormatan), Jakarta : PT.
Prenhallindo.
Cohn, Elchanan., (1979). The Economics of Education. Revised Edition, Massachusetts: A Subsidiary
of Harper & Row Publisher, Inc,
Coombs, Philip H and Jacques Hallak, (1972), Managing Educational Cost, London, Oxford
University Press
Decentralized Basic Education (DBE), 2008, Panduan Fasilitasi Perhitungan Biaya Operasional
Pendidikan (BOSP) dan Penyusunan Kebijakan , Jakarta, Kerjasama MenkoKesra,
Depdikdiknas, Depag dengan Usaid. Amerika Serika Serikat.
Fattah, Nanang. (2007), Analisis Kebijakan dan Pengelolaan Pendidikan Dasar (Modul), Sekolah
Pasca Sarjana, Bandung, Universitas Pendidikan Indonesia
------------------,(2000). Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung : PT Remaja Rosda Karya.

Gaffar, M.F, (2008), Pembiayaan Pendidikan Nasional Indonesia, Tantangan, Peta
Permasalahan dan Strategi Perubahan Manajemen Pembiayaan Pendidikan Nasional
Indonesia, (makalah tidak dipublikasikan), Disajikan pada Konvensi Nasional
pendidikan Indonesia VI, di Universitas Pendidikan Ganesha, Bandung, Hotel Aston,
17 – 19 November 2008.
Hanushek, Eric A. (1996), Measuring Investment in Education, Journal of Economic
Perspectives-Volum
10,
Number
4--Fall
1996-Pages
9-30,
http://links.jstor.org/sici?sici=0895309%28199623%2910%3A4%3C9%3AMIIE%3E2.0.CO%3B2-1
Ismanto, Bambang, (2011), Kebijakan Pendanaan Pendidikan, Disertasi (tidak
dipublikasikan), Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
…….., (2010), Profil APBD Kota Salatiga tahun 2005-2010, Progdi Pendidikan Ekonomi,
FKIP UKSW, Salatiga
……, (2007), Kajian Peraturan Daerah Penyelenggaraan Pendidikan Kota Salatiga, Diskusi
Penyusunan Raperda bersama Dewan Pendidikan Salatiga
……., (2008), Integrasi Pendanaan Pendidikan dalam APBD Kota Salatiga, Workshop
Komisi I Bidang Pemerintahan/Pendidikan DPRD Kota Salatiga
Jones, Thomas,H, (1985), Introduction To School finance : Technique and Social Policy,
Macmillan Company : New York
Karlsen Gustav E., (1999), Decentralized-Centralism" Governance in Education:
Evidence from Norway and British Columbia, Canada, Canadian Journal of
Educational Administration and Policy, Issue #13, December 6, 1999.

16

Lotz, Jorgen, 2005, Accountability and Control in the Financing of Local Government in
Denmark, ISSN 1608-7143, OECD JOURNAL ON BUDGETING Volume 5 – No. 2
Louis Volante, Educational Quality and Accountability in Ontario dalam Canadian Journal of
Educational Administration and Policy, Issue #58, January 21, 2007. © by CJEAP
and the author(s).
Mulyono, 2010, Konsep Pembiayaan Pendidikan, Ar-Ruzz, Yogyakarta
Papke, (2000), National Tax Journal, Vol. 53 no. 1 (March 2000) pp. 153-168,
Thomas Wheelen dan J. David Hunger.1995. Essential of Strategic Management. PrenticeHall. New Jersey.
Umaedi, 1999, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah, Sebuah pendekatan baru
dalam
pengelolaan
sekolah
untuk
peningkatan
mutu ,
http://www.ssep.net/director.html, Unduh 22 Maret 2012
Widodo, et.al. (2008), Peran Komite Sekolah SMP di Kota Semarang , Jurnal Media
Penelitian Pendidikan, IKIP, PGRI Semarang, ISSN :
19878-936X
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas), Nomor : tentang Larangan Pungutan
Biaya Pendidikan Pada Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama
Progdi Pendidikan Ekonomi, (2011), Masterplan Pendidikan Kabupaten Semarang Tahun
2013-2017 (Kerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Semarang)
Rohiat, 2008, Manajemen Sekolah, Teori Dasar dan Praktik, PT Refika Aditama, Bandung
Undang-Undang, Nomor : 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
------------, Undang-Undang Nomor : 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
------------,Undang-Undang Nomor : 25 Tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional
------------,Undang-Undang Nomor : 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
------------, Undang-Undang Nomor : 34 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah

17

18

Dokumen yang terkait

J00763

1 1 18