BAHAN PAPARAN BAYU-31 AGUSTUS 2016

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL DALAM
SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN
INDONESIA

DR. BAYU DWI ANGGONO
Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi
(Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember

OUTLINE
a.
b.
c.
d.

Klasifikasi Peraturan Negara
Teori Kuasa Mengatur Peraturan Perundang-undangan
Kuasa Mengatur oleh Eksekutif
Jenis Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk
eksekutif
e. Klasifikasi Peraturan Direktur Jenderal sebagai
Peraturan Perundang-undangan

f. Konsekuensi Peraturan Direktur Jenderal sebagai
Peraturan Perundang-undangan

KONDISI FAKTUAL
• Selain Peraturan Menteri, dalam sistem perundang-undangan
Indonesia sejak lama telah dikenal keberadaan Peraturan Direktur
Jenderal (bahkan Sebelum dibentuknya UU 10/2004):
a.Keputusan
Dirjen
Perhubungan
Darat
Nomor
AP.005/3/13/DPRD/94 tentang Petunjuk Teknis Persyaratan
Pelayanan Minimal Kapal Sungai, Danau dan Penyeberangan
b.Keputusan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor : F.749-IZ.03.02-749
Tahun 1989 tentang Pelaksanaan Pengeluaran Surat Perjalanan
Republik Indonesia (SPRI) bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke
luar negeri.
c.Keputusan. Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 537/PJ./2000
tentang Tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Dalam

Tahun Berjalan Dalam Hal-Hal Tertentu.
d.Keputusan Direktur Jenderal Pertambangan Umum No:
208.K/201/DDJP/1996 Tentang Wilayah Eks Kuasa Pertambangan
(KP)/Kontrak Karya (Kk)/Kontrak Karya Batubara (KKB)/Surat Izin
Penyelidikan Pendahuluan (SIPP).

KLASIFIKASI PERATURAN NEGARA




Peraturan negara (staatsregelings) adalah peraturan-peraturan tertulis
yang diterbitkan oleh instansi resmi, baik dalam pengertian lembaga
maupun dalam pengertian pejabat tertentu. Peraturan yang dimaksud
meliputi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang, Peraturan pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri,
Peraturan Daerah, Instruksi, surat edaran, pengumuman, surat
keputusan, dan lain-lain.
Peraturan negara (staatsregelings) atau keputusan dalam arti luas
(besluiten) dapat dibagi dalam 3 (tiga) kelompok yakni:
(1) Wettelijk regeling (peraturan perundang-undangan), seperti UUD,

undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang,
peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri,
peraturan daerah, peraturan desa, dan lain-lain;
(2) Beleidsregels (peraturan kebijakan), seperti instruksi, surat edaran,
pengumuman dan lain-lain;
(3) Beschikking (penetapan), seperti surat keputusan dan lain-lain

TEORI KUASA MENGATUR
• Dari cabang-cabang kekuasaan negara yaitu legislatif, eksekutif,
yudikatif pada dasarnya yang diberikan kuasa mengatur melalui
pembentukan peraturan perundang-undangan adalah cabang
kekuasaan legislatif dan eksekutif.
• Lembaga legislatif merupakan organ utama pembentuk produk
legislatif (meskipun dalam kasus Indonesia dibentuk dengan
persetujuan bersama Presiden sebagai kepala eksekutif),
sementara lembaga eksekutif bertindak sebagai lembaga
sekunder dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
(utamanya peraturan di bawah undang-undang).
• Dalam bahasa A Hamid S Attamimi (1990) kekuasaan mengatur
oleh lembaga legislatif tersebut dinamakan dengan pouvoir

legislatif, sedangkan kekuasaan mengatur yang dimiliki oleh
lembaga eksekutif untuk menjalankan atau mengatur bekerjanya
UU disebut dengan pouvoir reglementaire.

ARGUMENTASI PERLUNYA EKSEKUTIF DIBERIKAN
KUASA MENGATUR
1. Materi muatan UU lebih sering meletakkan hal-hal yang
prinsip dan umum saja.
2. Perkembangan kewajiban negara kesejahteraan
3. Kewajiban pemerintah memberikan layanan sosial dan
mewujudkan kesejahteraan sosial
4. Menunjang perubahan masyarakat yang semakin cepat dan
kompleks diperlukan percepatan pembentukan hukum.
5. Keterbatasan dalam Pembentukan UU seperti (keterbatasan
waktu, keterbatasan lnformasi legislator mengenai urusan
detail pemerintahan )

PERDEBATAN KUASA MENGATUR OLEH EKSEKUTIF
• Bagi Sarjana Hukum tata negara yang konvensional dan memegang
teguh prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) melarang

adanya penyerahan kekuasaan legislatif kepada lembaga lain yaitu
eksekutif.
• John Locke (1960):
“Legislator can have no power to transfer their authority of making
laws and place it in other hands”
• Konstitusi AS Pasal 1 Bagian 1: “All legislative power herein granted
shall be vested in a congress of the United States”
• Di AS perdebatan ini diselesaikan dengan praktik pembentukan
peraturan delegasi harus memperoleh justifikasi atas legitimasi
demokrasi yang sebelumnya diperoleh juga oleh UU asalnya.
• Di AS legitimasi pembentukan peraturan delegasi diperoleh dengan
mengikutsertakan kembali publik atau masyarakat seperti halnya
dalam pembentukan UU Awalnya

TEORI KEWENANGAN PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
• Kewenangan mengatur dan membentuk peraturan perundangundangan dibatasi oleh dua kekuasaan yaitu atributif dan delegatif.
• Atribusi kewenangan (attributie van wetgevingbevoegdheid)
adalah pemberian kewenangan membentuk peraturan oleh
Grondwet (UUD) atau oleh Wet (Undang-Undang) kepada suatu

lembaga negara atau lembaga pemerintahan baik di tingkat pusat
atau daerah.
• Delegasi kewenangan (delegatie van wetgevingbevoegdheid)
adalah pelimpahan kewenangan membentuk peraturan yang
dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
• Ciri delegasi kewenangan adalah: 1. pendelegasian dilakukan oleh
badan yang berwenang; 2. adanya delegasi menyebabkan
hilangnya wewenang delegant dalam jangka waktu yang ditentukan;
3.Delegataris harus bertindak atas nama sendiri, dan bertanggung
jawab secara eksternal.

JENIS POVOUIR REGLEMENTE
• Peraturan Delegasi/Peraturan Pelaksanaan (Verordung
Satzung) dan Peraturan Otonom (autonome satzung)
• Peraturan
Delegasi/Pelaksanaan
adalah
peraturan
perundang-undangan di bawah UU yang dibentuk sebagai

akibat adanya pelimpahan kewenangan membentuk
peraturan yang dilakukan oleh peraturan perundangundangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundangundangan yang lebih rendah (bersumber dari kewenangan
delegasi).
• Peraturan Otonom adalah peraturan perundang-undangan di
bawah UU yang dibentuk atas dasar pemberian kewenangan
membentuk peraturan oleh Grondwet (UUD) atau oleh Wet
(Undang-Undang) kepada suatu lembaga negara atau
lembaga pemerintahan baik di tingkat pusat atau daerah.
(bersumber dari kewenangan atribusi).

LEMBAGA YANG BERWENANG MEMBENTUK
PERATURAN DELEGASI UU
• Melihat sistem Pemerintahan Indonesia
• Sistem Pemerintahan Indonesia menempatkan Presiden
sebagai pemegang kekuasaan Pemerintahan tertinggi (Pasal
4 ayat (1) UUD 1945).
• Pasal 5 ayat (2) UUD 1945: Presiden menetapkan peraturan
pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana
mestinya .
• Makna Pasal 5 ayat (2) UUD 1945: a. Peraturan Pemerintah

sebagai peraturan delegasi dari UU; dan b. dibentuk oleh
Presiden.
• Risalah perumusan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 tidak
memberikan penjelasan apakah peraturan pemerintah itu
dapat diartikan lebih luas dibandingkan dengan istilah
Peraturan Pemerintah saat ini yang dibentuk hanya oleh
Presiden.

PRAKTIK PENDELEGASIAN OLEH UU
• Sebagian terbesar UU mendelegasikan kewenangan pengaturan
selanjutnya kepada Peraturan Pemerintah (PP), tetapi ada pula
yang memberikan delegasi langsung kepada Peraturan Presiden,
Peraturan Menteri, Peraturan Daerah Provinsi, ataupun Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota. Bahkan, Undang-Undang tentang
Perpajakan sejak dulu juga biasa memberikan delegasi untuk
pengaturan lebih lanjut langsungkepada Direktur Jenderal Pajak.
• Peraturan Menteri atau direktur jenderal mendapat perintah
langsung dari UU adalah hal yang kurang tepat mengingat ciri khas
ini adalah ciri negara yang menggunakan sistem parlementer
• UU sebaiknya dijabarkan lebih lanjut, bukan oleh Menteri apalagi

Direktorat Jenderal, melainkan oleh Presiden sebagai kepala
pemerintahan atau pemegang kekuasaan pemerintahan negara.
Presiden dapat menetapkan peraturan pelaksanaan itu dalam
bentuk Peraturan Pemerintah (PP).

KLASIFIKASI PERATURAN DIREKTUR
JENDERAL
• Peraturan Direktur Jenderal pada dasarnya masuk kategori
peraturan pelaksana (verordung satzung) yang dibentuk sebagai
akibat adanya pelimpahan kewenangan membentuk peraturan yang
dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dalam hal ini adalah Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden
atau Peraturan Menteri.
• Oleh karena masuk kategori peraturan pelaksana maka Peraturan
Direktur Jenderal tidak dianggap sah sebagai peraturan perundangundangan apabila dibentuk tanpa didasarkan atas delegasi
kewenangan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
• Peraturan Direktur Jenderal meskipun bentuknya seperi peraturan
apabila pembentukannya bukan karena pelimpahan kewenangan
membentuk peraturan yang dilakukan oleh peraturan perundangundangan yang lebih tinggi masuk kategori peraturan kebijakan
(beleidsregel/policy

rules/quasi
legislation/
spiegelsrecht,
pseudowetgeving).

BELEIDSREGEL (PERATURAN KEBIJAKAN)
• Pengertian peraturan kebijakan adalah ketentuan (rules bukan law)
yang dibuat pemerintah sebagai administrasi negara yang
pelaksanaan wewenang tersebut tidak didasarkan karena
wewenang perundang-undangan (delegasi atau atribusi) tetapi
didasarkan asas kebebasan bertindak (beleidsvrijheid atau
beoordelings vrijheid) atau lazim disebut freies Ermessen.
• Ciri Peraturan kebijakan:
a. Peraturan Kebijakan (tidak termasuk) salah satu bentuk atau
jenis peraturan perundang-undangan, meskipun dalam banyak
hal nampak (menampakkan gejala) sebagai peraturan
perundang-undangan);
b. Pelaksanaan kebijakan tersebut tidak dituangkan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan dikarenakan pembuat peraturan
kebijakan tidak mempunyai kewenangan perundang-undangan

(baik atribusi maupun delegasi).
c.Pengujian terhadap peraturan kebijakan lebih diarahkan pada
doelmatigheid dan karena itu batu uji nya adalah asas-asas
umum penyelenggaraan pemerintahan yang layak.

IMPLIKASI PERATURAN KEBIJAKAN
• Hamid S. Attamimi mengemukakan bahwa terhadap suatu
peraturan kebijakan betapapun dikatakan berbeda dengan
peraturan perundang-undangan dalam kenyataannya ia
dirasakan “mengikat” juga secara umum “algemene
bindelend” karena masyarakat yang terkena peraturan itu
tidak dapat berbuat lain kecuali mengikutinya.
• Misal suatu juklak pelaksanaan tender hanya berisi ketentuan
mengenai tata cara administrasi negara melaksanakan
tender, tetapi ketentuan-ketentuan dalam Juklak secara tidak
langsung akan mengenai calon peserta tender,
• inilah yang disebutkan oleh Bagir Manan, mempunyai
relevansi hukum karena dimensi publiknya suatu peraturan
kebijakan tersebut.

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL SEBAGAI
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU 10/2004

TAP III/MPR/2000
TAP XX/MPRS/1966

1.
2.
3.
4.
5.
6.

UUD 1945
Ketetapan MPR
UU/Perpu
PP
Keppres
Peraturan
pelaksana
lainnya: Permen,
Instruksi Menteri,
dan lain-lainnya

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

UUD 1945
Ketetapan MPR
UU
Perpu
PP
Keppres
Perda

1.
2.
3.
4.

UUD 1945
UU/Perpu
PP
Peraturan
Presiden
5. Perda :
a. Provinsi
b. Kabupaten/
Kota
c. Desa

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL SEBAGAI
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN






Penjelasan tentang “Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya” dalam
TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 adalah: Peraturan-peraturan
pelaksanaan lainnya seperti : Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan
lain-lainnya, harus dengan tegas berdasar dan bersumber pada
peraturan perundangan yang lebih tinggi.
Dalam Pasal 4 ayat (2) TAP MPR Nomor III/MPR/2000 disebut jenis
peraturan perundang-undangan lainnya : “Peraturan atau keputusan
Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, menteri, Bank
Indonesia, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk
oleh Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang
termuat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan ini”.
Pasal 7 ayat (4) UU 10/2004 mengakui keberadaan peraturan
perundang-undangan lainnya yaitu: ”Jenis Peraturan Perundangundangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”.

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL SEBAGAI
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
• Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011:
UUD 1945; Ketetapan MPR; UU/Perpu; PP; Perpres; Perda
Provinsi; dan Perda Kabupaten/Kota.
• Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011: Jenis Peraturan Perundang-undangan
selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup
peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, KY,
BI, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang
dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah
Undang-Undang,
DPRD
Provinsi,
Gubernur,
DPRD
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
• Pasal 8 ayat (2) UU 12/2011: Peraturan Perundang-undangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan.

KONSEKUENSI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL
SEBAGAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
• Pertama: Perlu diatur tentang tahapan perencanaan,
penyusunan,
pembahasan,
pengesahan
atau
penetapan, dan pengundangan Peraturan Direktur
Jenderal sebagaimana dilakukan dalam pembentukan
peraturan
perundang-undangan
lainnya
(aspek
kepastian prosedur).
• Kedua: Perlu diatur tentang kewajiban melakukan
Pengharmonisasian bagi rancangan Peraturan Direktur
Jenderal
• Ketiga: Kewajiban membuka partisipasi, mengingat
Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan
dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.

KONSEKUENSI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL
SEBAGAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
• Keempat: Agar setiap orang mengetahuinya, maka Peraturan
Dirjen harus diundangkan. Peraturan Dirjen diundangkan
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
• Kelima: Peraturan Direktur Jenderal dapat menjadi obyek
pengujian di MA. Sesuai Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.
• Putusan Mahkamah Agung Nomor 03 P/HUM/2010 Tentang
Permohonan Hak Uji Materiil Terhadap Peraturan Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama Republik
Indonesia No. DJ.I/PP.00.9/973/2009, Tentang Tata cara
Pengajuan Usul Penetapan Jabatan Guru Besar/Profesor Di
PTAI.
• Amar putusannya adalah dikabulkan.

TERIMA KASIH
www.puskapsi.fh.unej.ac.id