Datang dengan Permusuhan Pergi dengan Islam

Umair bin Wahab al-Jumahy

Datang dengan Permusuhan Pergi dengan Islam
Oleh: SAKTI WIBOWO
PERANG Badr telah menggoreskan luka perih yang terus menganga bagi kaum Quraisy.
Rasa malu memang derita yang paling besar. Namun kesedihan merupakan luka yang
menggigit meninggalkan rasa sakit. Saudara yang terbunuh. Anak-anak yang tertawan.
Harta benda yang ludes. Semuanya bermata di Madinah, karena di sanalah sekarang
berhimpun orang-orang yang menjadi mala dari kebencian dan dendam itu.
Mereka adalah kaum Muslimin, sumber kebencian Makkah itu. Seperti seorang lelaki
yang kini tengah berdiri di Hijr, dekat Kakbah. Rasa sakit dan dendam membekas dalam
hatinya. Ia adalah Umair bin Wahab al-Jumahy.
Seorang anaknya yang turut serta dalam peperangan Badr kini tertawan kaum Muslimin
dan dibawa ke Madinah. Seorang tengah menemaninya, Shafwan bin Umayyah.
Keduanya saling membagi duka dari sebagian beban duka yang ditinggalkan Badr untuk
mereka. Umair sendiri memendam kalut yang tumpuk-menumpuk akan keselamatan anak
laki-lakinya.
“Mereka berpikir bahwa kita akan tinggal diam saja dengan perlakuan mereka terhadap
kita. Padahal tidak. Melainkan kita akan membalasnya. Dan betapa buruknya kehidupan
mereka sesudah perbuatan mereka membunuh para pembesar kita,” ujar Shafwan
menggerutu.

Umair menjawab, “Benar engkau, Shafwan. Kita akan membuat perhitungan dengan
mereka. Ingin benar tanganku sendiri yang memenggal kepala Muhammad, mengingat
pula lelaki itu telah menyakiti dan menawan anakku. Namun aduhai, kini ada yang
memberati langkahku, ya Shafwan. Aku tak ingin dibilang pengecut karenanya, namun
seperti beban itu menahanku pergi ke Madinah menuntut balas kepada Muhammad.”
“Apakah itu, ya Umair?”
”Aku masih memiliki hutang yang banyak dan belum mampu untuk membayarnya. Serta
aku memiliki banyak anak yang aku khawatir akan tersia-sia jika aku mati terbunuh di
Madinah.”
“Hanya karena itu kau menahan diri? Padahal kini hanya engkaulah jagoan Quraisy yang
tersisa. Hanya engkau yang mungkin membalaskan luka hati Madinah dan menebus rasa
malu itu.”
“Ya. Apalagi aku memiliki alasan untuk bersitetap dengan Muhammad dengan adanya
anakku dalam tawanannya. Aku bisa berdekatan dengan Muhammad dan kemudian
dengan pedangku yang beracun aku akan menikamnya. Tetapi sesudah itu akau akan
ditangkap, dan kemudian dibunuh… lantas….”
“Tentang utangmu dan anak-anakmu yang akan terlantar?”
“Ya.”
“Kalau benar kau berniat membunuh Muhammad, maka serahkanlah urusanmu
kepadaku. Hutang-hutangmu akan aku lunasi, dan anak-anakmu akan kucukupi

kebutuhannya.”
***

DICAPAILAH kesepakatan itu. Pada hari yang telah ditentukan Umair pun berangkat ke
Madinah. Shafwan mengantarkannya hingga ke tepi kota. Seraya melepas gembiranya
akibat percayanya ia akan kemampuan Umair, ia pun berseru, “Sebentar lagi dendam
akan terbalas dan rasa malu itu akan tertebus. Sebentar lagi dendam kita terbalas….”
Berhar-hari ia menunggu kalau-kalau telah ada kabar dari Umair. Tentu saja untuk
mengharapkan Umair kembali dengan selamat sangat tidak masuk akal, mengingat
kenekadan Umair itu. Namun paling tidak akan cukup ia merasa yakin Muhammad akan
terbunuh.
Sekali-sekali lalulah beberapa kafilah dagang yang melintas Madinah, dan kini melewati
tepian Makkah. Tak bosan-bosan ia akan bertanya, “Wahai Tuan, tidakkah ada kabar yang
menggemparkan yang kalian bawa?”
“Tidak ada kabar apa-apa, Tuan Quraisy. Tad ada kegemparan apa-apa yang kami
ketahui.”
“Tidakkah di kota itu ada pembunuhan terhadap orang yang menyatakan diri sebagai
Nabi?”
Karena memang tak ada pembunuhan itu. Tak juga satu di antaranya yang terbunuh. Baik
itu Rasulullah, maupun diri Umair.

***
NUN, ketika datangnya ia ke Madinah, segera sosoknya dikenali oleh Umar bin Khathab.
Umar segera berseru, “Ini musuh Allah si Umair bin Wahab. Demi Allah, pasti
kedatangannya untuk suatu maksud yang jahat. Dialah yang telah menghasut banyak
orang untuk berangkat memerangi kita di Badr.”
“Aku ke sini hendak bertemu dengan Muhammad berkenaan dengan anakku yang kini
ditawannya.”
Mendengar itu Umar segera masuk dan melaporkan kepada Rasulullah saw. Wajah beliau
yang teduh itu tersenyum, “Bawalah dia kepadaku.”
Beberapa orang sahabat dari golongan Muhajirin dan Anshar tampak berjaga di sekitar
Rasulullah saw. Lantas Umar bin Khathab memegang tangan Umair dan membawanya
masuk.
“Biarkanlah, ya Umar. Biarkan jagoan ini mendekat kepadaku.”
Umar pun melepaskan Umair dan membiarkannya mendekat kepada Rasulullah saw.
“Apakah maksud kedantanganmu, Umair?”
“Kedatanganku adalah untuk membicarakan tentang seorang yang kini berada padamu. Ia
adalah seorang anak laki-lakiku yang ikut serta dalam perang Badr dan kini tertawan
olehmu. Untuk itu hendaklah engkau mengatakan kepadaku, ya Muhammad, berapakah
tebusan yang kau minta?”
Rasulullah saw tersenyum. “Benarkah karena itu kedatanganmu?”

“Ya. Tidaklah ada yang lain yang menjadi tujuanku, semata untuk membicarakan perihal
tawanan itu.”
“Lantas mengapa kau menyandang pedangmu dan apa artinya bagimu?”
“Ini hanyalah pedang-pedang keparat. Barang-barang yang tak berguna. Kau pikir adakah
faidahnya bagi kami mengenai pedang-pedang ini?”
“Katakanlah yang sejujurnya, Umair.”
“Aku bersumpah, itulah tujuanku yang sesungguhnya.”

“Bukankah kau telah berdiri di Hijr dan berkata demikian terhadap Shafwan bin
Umayyah, bahwa kalau bukan karena hutang dan anak-anak niscaya engkau akan datang
ke Madinah. Lantas Shafwan menyanggupi hutang-hutangmu dan nafkah anak-anakmu.”
Umair sangat terperanjat mendengar penuturan Rasulullah saw. Bagaimana pun ia yakin
tidak ada orang ketiga yang mendengar rencananya bersama Shafwan. Mereka berdua
telah bersepakat untuk merahasiakannya sementara waktu. Namun ternyata semua itu
kini diketahui Rasulullah saw. Siapakah kiranya seorang yang memberitahunya? Tentu
hanya ada dua kemungkinan, ia atau Shafwan. Kedua kemungkinan ini telah terhapus
dengan sendirinya. Karena bagaimana mungkin Shafwan akan menceritakan kepada
Rasulullah saw?
Akhirnya sampailah ia pada sebuah kesimpulan, bahwa tidak ada yang memberitahukan
itu melainkan Allah saja. Keyakinan itu begitu menyentaknya dan tak dapat ia ragukan

lagi bahwa Muhammad adalah Rasulullah.
Dengan segera Umair bersyahadat di hadapan Rasulullah saw.
***
SHAFWAN masih menunggu di perbatasan Makkah. “Adakah berita yang
menggemparkan hari ini di Madinah?”
“Ya. Ada berita yang sangat menggemparkan dan kau akan terkejut karenanya.”
“O, tidak. Karena telah kau katakan dendam itu akan terbalas dan rasa malu akan
tertebus. Bukankah Muhammad telah terbunuh oleh Umair bin Wahab?”
“Bukan. Lagipula bulan malu yang tertebus, melainkan kalian akan lebih merasa malu,
karena berita itu adalah berita tentang masuk Islamnya Umair bin Wahab al-Jumahy.”
Shafwan terperanjat. Betul-betul berita itu berita yang menggemparkan dan membuat ia
terkejut.
Penulis adalah pengurus Forum Lingkar Pena cabang Solo.
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 17-02