this file 54 84 1 SM

Audiens Framing : Peluang Baru dalam Penelitian
Audiens
Twediana Budi Hapsari
PhD Candidate from Department of Media Music Communication and Cultural
Studies, Faculty of Arts, Macquarie University, Sydney, NSW, Australia.
Dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Agama Islam, Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta
Abstrak
Studi tentang audiens adalah salah satu kajian penting dalam ilmu komunikasi.
Kajian audiens ini berkembang seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi
itu sendiri, dari face to face communication hingga pemanfaatan teknologi digital
dalam komunikasi. Audiens ini tidak bisa dipisahkan dari konteksnya sebagai anggota
masyarakat dan lingkungan sosial. Oleh sebab itu dapat dipahami bahwa banyak
faktor yang mempengaruhi proses audiens membingkai (frames) suatu isu dari media,
tidak hanya berasal dari pengetahuan dan pengalaman pribadi yang dimiliki oleh
individu audiens sendiri, namun juga faktor lain dari lingkungannya seperti pendapat
dari kelompok rujukan dimana individu tersebut menjadi bagiannya juga penggunaan
teknologi dalam mengakses media. Proses pembentukan bingkai isu dalam benak
audiens disebut sebagai proses framing oleh audiens (audience framing).

Kata kunci : audiens, framing audiens, media


Abstract
The study of the audience is one of the key studies in communication science. Audience
studies are growing along with the development of communication technology itself,
from face to face communication to the use of digital technologies in communications.
The audience can not be separated from its context as a member of society and social
environment. Therefore it can be understood that many factors inluence the process of
framing the audience (frames) an issue of the media, not only from personal knowledge
and experience possessed by individual audience itself, but also other factors of the
environment such as the opinion of a reference group in which the individual also be
part of technology use in accessing the media. The process of forming a frame issue
in the minds of the audience referred to as the process of framing by the audience
(audience framing).

Keywords: audience, audience framing, media

Pendahuluan
Secara umum audiens dideinisikan
sebagai pengguna media. Namun
dalam perkembangannya pemaknaan

audiens berubah seiring dengan makin
beragamnya pemanfaatan media untuk
berbagai tujuan; tidak hanya untuk

penyebaran informasi, tetapi juga
kampanye politik dan pemasaran produk.
Virginia Nightingale memetakan empat
posisi audiens berdasarkan hubungannya
dengan media, yaitu publik, pasar,
komunitas dan fans (Nightingale, 2004).
Audiens dipandang sebagai publik ketika

Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 6, Januari 2013

485

Audiens Framing: Peluang...

Twediana Budi Hapsari


komunikator melihat audiens memiliki
beragam kepentingan politik. Sedangkan
audiens dipandang sebagai target pasar
ketika mereka menjadi sasaran iklan
produk yang ada di media. Ketika audiens
dilihat sebagai bagian dari budaya yang
mengekspresikan identitasnya melalui
teks media, maka mereka disebut sebagai
komunitas. Terakhir, kata fans berasal
dari asal kata ‚fanatik‘ yang artinya
seseorang yang sikap dan perilakunya
sangat dipengaruhi oleh orang lain yang
menjadi idolanya (Sullivan, 2013).
Jika dirunut dari sejarah perkembangan
teknologi
komunikasi,
Abercrombie & Longhurst (1998)
membagi audiens dalam dalam tiga
tahap: simple audience, mass audience
dan diffusion audience. Simple audience

atau audience sederhana adalah audience
dalam komunikasi langsung (face to face
communication) seperti audience dalam
pertunjukan konser atau opera. Kajian
ini paling banyak dilakukan pada saat
teknologi media belum banyak digunakan
masyarakat pada abad 19. Mass audience
ditujukan pada audience yang membaca
surat kabar, mendengarkan radio dan
menonton televisi. Dalam perkembangan
beragam teknologi media yang semakin
pesat saat ini, audience
cenderung
mengakses lebih dari satu media sekaligus
dalam satu waktu yang disebut sebagai
audience yang tersebar (diffusion audience).
Misalnya seseorang membaca surat kabar
sambil menonton siaran berita di televisi,
atau browsing internet bersamaan dengan
mendengarkan radio.

Tradisi penelitian tentang audiens
mulai berkembang sejak tahun 1920-an,
ketika media radio diciptakan dan mulai
digunakan secara massal. Beberapa
ilmuwan mencoba mengklasiikasikan
tradisi penelitian audiens ini, seperti
Jensen & Rosengren (1990), Webster
486

(1998) dan Marie Gillespie (2005). Jensen
& Rosengren (1990) mengklasiikasikan
tradisi penelitian audiens menjadi lima,
yaitu: penelitian efek media, uses &
gratiications, penelitian yang mengkritisi
text media, cultural studies dan reception
analysis.
Di sisi lain, James G Webster
(1998) berpendapat bahwa relasi antara
media-audience bisa dilihat dalam tiga
model dasar, yaitu audiens sebagai

tujuan (audience as outcome), audiens
sebagai massa (audience as mass) dan
audiens sebagai agen (audience as agen)
(Webster, 1998). Pada model pertama,
media memiliki peran kuat dalam
mempengaruhi
audiens,
sehingga
termasuk dalam model ini adalah teori
efek, propaganda, perubahan sikap dan
ilm theory. Pada model kedua, audiens
dilihat sebagai kumpulan banyak
orang, anonim,dan tersebar luas dan
tidak saling kenal satu sama lain. Studi
yang termasuk dalam kategori ini di
antaranya rating dan komoditas audiens,
perilaku massa dan media events. Model
terakhir, audiens sebagai agen, melihat
audiens memiliki kebebasan memilih
media, juga menginterpretasikan isi

media berdasarkan pengetahuan dan
pengalamannya sendiri(Sullivan, 2013).
Selanjutnya, Marie Gillespie (2005)
menyederhanakan pembagian tradisi
relasi media-audiens ini menjadi dua,
yaitu tradisi efek media (media effect
tradition) dan tradisi penggunaan
serta interpretasi media (media use
and interpretation). Penelitian dalam
tradisi pertama menekankan pada efek
media terhadap audience. Dalam hal
ini audience
dianggap pasif (passive
audience). Sedangkan penelitian pada
tradisi kedua menekankan peran aktif
audience (active audience) dalam memilih
dan mengkonsumsi isi media serta

Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 6, Januari 2013


Twediana Budi Hapsari

aktif dalam menginterpretasi isi media
(Gillespie, 2005).
Ditinjau dari jenis tradisi penelitian
di atas, penelitian audiens framing
termasuk dalam tradisi penelitian efek,
yaitu efek dari media frames (Scheufele,
1999).
Dennis
McQuail
membagi
penelitian efek media ini menjadi empat
tahap, yaitu diawal abad 20 hingga
tahun 1930-an, tahun 1930-an hingga
akhir 1960-an, dekade 1970-an, dan awal
1980-an hingga saat ini (McQuail, 1994).
Pada tahap pertama, yaitu pada masa
Perang Dunia I, penelitian didominasi
pada strategi propaganda perang yang

mengakibatkan munculnya ketakutan
terhadap kuatnya pengaruh media
terhadap perilaku audiens. Tahap kedua,
penelitian cenderung kebalikan dari
tahap pertama, yaitu perubahan perilaku
publik tidak disebabkan oleh pengaruh
media melainkan oleh pengaruh orang
lain. Klapper (1960) menyimpulkan dalam
penelitiannya bahwa pengaruh perilaku
memilih seseorang dalam pemilu tidak
dipengaruhi oleh kampanye melalui
media, tetapi oleh pengaruh orang-orang
di sekelilingnya (Klapper, 1960). Tahap
ketiga dimulai pada awal tahun 1970an,
ketika fokus penelitian tidak lagi pada
perubahan perilaku audiens, namun pada
efek kognisi atau pengetahuan audiens.
Tahap keempat adalah penelitian yang
didominasi oleh term ‘konstruksi sosial’.
Pada tahap ini hubungan antara mediaaudiens bercampur antara efek kuat dan

terbatas dari media. Pada satu sisi, media
memiliki kekuatan dalam mengkonstruksi
realitas yang dituangkan dalam teks
media. Namun di sisi lain, audiens juga
tidak semata-mata ‘menerima’ teks media
sebagaimana adanya. Audiens juga akan
‘mengkonstruk’ makna berdasarkan
tidak hanya apa yang ada dalam teks
media, namun juga mempertimbangkan

Audiens Framing: Peluang...

nilai, keyakinan dan pengalaman yang
dia miliki serta pengetahuan yang
dia peroleh dari kelompok referensi
(Scheufele, 1999).
Audiens framing sebagai ranah
kajian efek merupakan pengembangan
dari kajian teori framing itu sendiri. Di
awal penelitian tentang framing tahun

1980-an, fokus penelitian masih bertumpu
pada media framing dalam kajian
komunikasi politik dan opini publik.
Hingga pada akhir tahun 1990-an Dietram
Scheufele melihat teori framing dalam
pendekatan yang lebih komprehensif,
dengan tidak hanya menjelaskan teori
framing dari dua dimensi- media frames
dan audiens frames – namun juga
menjelaskan bagaimana kedua dimensi
tersebut berinteraksi sebagai variabel
dependen dan independen (Scheufele,
1999). Bab ini akan menjelaskan tentang
audiens framing, beberapa penelitian
tentang audiens framing, serta beberapa
model proses framing di media dan
audiens. Selain itu bab ini juga akan
menjelaskan tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi proses terbentuknya
frames di benak audiens.
Teori Framing
Studi tentang framing dalam media
dan komunikasi tiga dekade terakhir ini
menjadi tren di antara ilmuwan sosial.
Menurut SSCI index dibawah kategori
‘ilmu komunikasi’, jumlah artikel yang
memuat kata ‘frame’ atau ‘framing’
bertambah secara drastis. Pada tahun 1977
sampai 1991 jumlah artikel yang terindex
kurang dari 10, kemudian meningkat
menjadi 20 artikel pada tahun 1995 dan
mencapai puncaknya pada tahun 2009
sejumlah 90 artikel (R. V. L. v. Zoonen,
2011). Konsep framing telah digunakan
dalam bidang sosiologi sejak pertengahan
th 1950 oleh Bateson, dan pertama kali

Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 6, Januari 2013

487

Audiens Framing: Peluang...

Twediana Budi Hapsari

dipopulerkan dalam studi komunikasi
oleh Goffman pada tahun 1974. Setelah
artikel Entman berjudul ‘Framing as a
Fracture Paradigm’ yang dipublikasikan
pada tahun 1993, penggunaan term ‘frame’
atau ‘framing’ menjadi semakin luas sejak
saat itu (Kitzinger, 2007). Framing berarti
proses menseleksi dan memberi perhatian
lebih pada suatu bagian peristiwa. Istilah
frame dan framing telah digunakan dalam
beragam bidang seperti sosiologi, politik,
linguistik, psikologi dan seni murni
(Kitzinger, 2007). Dalam bidang Sosiologi,
Erving Goffman (1974) mendeinisikan
frame sebagai ‘schemata of interpretation’
atau ‘bagian yang mendapat perhatian
lebih untuk diinterpretasi’. Dalam proses
ini individu menentukan, mempersepsi,
mengidentiikasi dan memberi label pada
suatu peristiwa atau informasi(Kosicki,
1993). Dalam bidang Psikologi, istilah
framing berhubungan dengan proses
kognitif individu dalam memproses
informasi. Sedangkan di bidang politik,
Entman mendeinisikan framing sebagai
‘opini publik’ dimana dalam proses
demokrasi, framing ini dikontrol oleh elit
politik (Entman, 1993).
Proses framing pada intinya adalah
menseleksi dan menonjolkan suatu fakta.
Robert Entman (1993) mendeinisikan
framing adalah menseleksi beberapa
aspek dari realitas yang ada dan
membuatnya menjadi lebih menonjol
ketika
dikomunikasikan
kedalam
teks (Entman, 1993). Tahapan dalam
proses framing adalah: menentukan
masalah, mendiagnosa sebab timbulnya
masalah, membuat penilaian moral dan
menawarkan solusi terhadap masalah
tersebut. Proses framing ini terjadi
pada unsur-unsur komunikasi; seperti
komunikator, teks, audiens dan budaya.
Komunikator yang memutuskan framing
dari suatu issues. Issue tersebut kemudian

488

dituangkan ke dalam teks berita, yang
menampilkan atau tidak menampilkan
suatu fakta, diberi istilah, imej stereotipe,
sumber informasi dan juga kalimatkalimat yang dibuat untuk menonjolkan
fakta atau penilaian terhadap suatu
issue. Frame yang ada dalam media teks
kemudian menggiring pemikiran dan
kesimpulan audiens terhadap suatu
issue, atau bahkan tidak mereleksikan
frame di dalam teks atau frame yang
diinginkan
komunikator.
Terakhir
adalah konteks latar belakang budaya
yang mempengaruhi komunikator dan
audiens dalam melakukan proses framing
(Entman, 1993).
Dari penjelasan diatas tampak bahwa
proses framing terjadi tidak hanya pada
komunikator, tapi juga pada teks, audiens
dan budaya, karena memahami framing
berarti memahami bagaimana proses
mempresentasikan suatu berita serta
bagaimana memahaminya. Oleh sebab itu
dalam framing dikenal adanya dua konsep:
media framing atau framing yang dibuat di
media dan audience framing atau framing
yang dilakukan oleh audiens. Secara
umum, proses pemaknaan yang terjadi
pada media framing dan audience framing
sejalan dengan yang dijelaskan oleh Hall
dalam model encode/decode (Hall, 1980).
Komunikator atau pengelola media meencode pesan yang akan dimuat di media,
dengan menseleksi dan menekankan titik
berat pada fakta yang sekiranya akan
menarik perhatian audiens. Audiens
mengakses media dan me-decode teks
yang telah dikemas tadi sesuai dengan
latar belakang pengetahuan, nilai, budaya
juga referensi dari orang-orang yang
berpengaruh terhadap audiens. Sehingga
isi teks media bisa mengandung banyak
makna atau polisemy, tergantung siapa
yang memaknainya.

Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 6, Januari 2013

Twediana Budi Hapsari

Perkembangan Studi Audience Framing
Studi mengenai audience framing
berawal dari analisis framing di media
meliputi proses terbentuknya frame
media dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Beberapa ilmuwan studi
media meneliti konstruksi sosial dalam
pemberitaan media; seperti yang dilakukan Gitlin (1980) yang meneliti proses
framing di media Amerika Serikat terhadap
gerakan mahasiswa tahun 1960, atau
Van Zoonen (1992) dan Tuchman (1978)
yang meneliti konstruksi media terhadap
gerakan pembebasan perempuan di
Belanda dan Amerika sekitar tahun
1970-an (Gitlin, 1980; Tuchman, 1978; V.
Zoonen, 1992).Selain itu, Pan & Kosicki
(1993) juga mengenalkan metode análisis
teks media dari empat dimensi struktural
yaitu struktur sintaksis, struktur skrip,
struktur tema dan struktur retorika
(Kosicki, 1993). Penelitian-penelitian
tersebut tidak hanya melihat bagaimana
suatu peristiwa di’konstruk’ dan diframing
dalam media teks, namun juga melihat
proses produksi media seperti bagaimana
kerja para jurnalis menentukan faktafakta yang lebih ditonjolkan, keterbatasan
ruang dan waktu dalam media, juga
mempertimbangkan kepentingan elit
politik dan kebutuhan inansial untuk
biaya operasional media. Atau dengan
kata lain proses pembentukan framing
media merupakan hasil interaksi sosial
antara elit politik dan aktor media serta
lingkungan sosial (R. V. L. v. Zoonen,
2011).
Penelitian tentang framing dan
pengaruhnya terhadap audiens mulai
mendapat perhatian dalam kajian media
frames dan pembentukan opini publik.
Gamson (1992) melihat adanya kaitan
antara gerakan sosial, liputan media dan
pembicaraan keseharian masyarakat.

Audiens Framing: Peluang...

Gamson juga melihat adanya pengaruh
frame dominan di media yang bersumber
dari pejabat pemerintah dan pelaku
ekonomi dengan frame kritis yang
dikembangkan oleh audiens dalam
percakapan
sehari-hari.
Gamson
menyimpulkan bahwa media frame akan
berpengaruh kuat ke audiens ketika
mereka tidak memiliki pengalaman
dan pengetahuan yang cukup terkait
dengan issue yang diangkat dalam
media. Sebaliknya, media frame tidak
akan memiliki peran yang berarti ketika
audiens memiliki pengetahuan dan
pengalaman cukup tentang suatu isu dan
bertentangan dengan isi media, dalam hal
ini audiens lebih mempercayai isu yang
beredar dalam diskusi publik dibanding
dengan frame media.
Penelitian pengaruh media terhadap
gerakan sosial juga dieksplorasi oleh
David Snow dkk (1986) yang melihat
adanya ketimpangan dalam kajian-kajian
social movement pada waktu itu tanpa
pengaruh isi media. Menurut Snow, dua
pendekatan umum yang dipakai dalam
mengkaji gerakan sosial yaitu perspektif
psiko-fungsional
(psychofunctional)dan
perspektif sumber mobilisasi (the resource
mobilization perspective) tidak memperhatikan proses intepretasi ketidakpuasan
(grievance intepretation) yang didapat
diantaranya melalui media (David A
Snow, E Burke Rochford, 1986).
Terkait
dengan
hal
tersebut,
Snow dkk mengenalkan konsep frame
alignment, yaitu deretan frame-frame yang
menjadi inspirasi gerakan sosial tersebut.
Proses frame alignmentmerupakan proses
penting dalam gerakan partisipasi
individu dalam gerakan sosial, meliputi
empat proses, yaitu: frame bridging, frame
ampliication, frame extensión dan frame
transformation. Frame bridging adalah
proses menghubungkan dua ideologi

Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 6, Januari 2013

489

Audiens Framing: Peluang...

Twediana Budi Hapsari

atau lebih yang tidak berhubungan
sebelumnya,
namun
memiliki
perhatian yang sama pada satu isu,
yang pada akhirnya menggerakkan
individu maupun organisasi untuk
melakukan social movement bersama.
Frame ampliication adalah pemantapan
frame dengan melakukan klariikasi
terhadap isu dikaitkan dengan nilai dan
kepercayaan tiap individu dan kelompok
yang terlibat. Frame extention adalah
upaya memperluas isu yang diframe
sebelumnya, untuk semakin menguatkan
alasan gerakan sosial yang dimaksud.
Terakhir, frame transformation adalah
proses merubah frame yang sudah kuat
pada proses sebelumnya menjadi bentuk
frame baru yang lebih menarik dan
memberikan alternatif kepada participan
untuk berbuat sesuatu.
Sejalan dengan penelitian Gamson
dan Snow di atas, lebih lanjut David
Morley dalam penelitiannya berjudul
Nationwide Audience (1980) menemukan
kaitan antara ideologi dan pengetahuan
yang telah dimiliki audiens sebelumnya
akan mempengaruhi cara audiens
mengintepretasikan isi teks media dan
menghasilkan pemaknaan yang berbeda
pula. Morley mengklasiikasikan tiga
kemungkinan cara audiens membaca isi
media yaitu: preferred Reading, negotiated
Reading
dan
alternative/oppositional
Reading. Preferred reading adalah audiens
yang menerima semua isi teks media
tanpa mempertanyakan lebih lanjut.
Kebalikannya, audiens yang menolak isi
teks media disebut Alternative/oppositional
reading. Sedangkan negotiated reading
adalah audiens yang menegosiasikan
makna dalam teks media, dia hanya menerima yang menurutnya sesuai dengan
nilai, pengetahuan dan pengalaman yang
telah dimiliki sebelumnya.

490

Fokus penelitian framing kemudian
berkembang pada efek framing, yaitu
melihat
pengaruh
framing
media
terhadap audiens. Druckman (2001)
dan Vreese (2012) memiliki pendapat
yang berbeda dalam mengkategorikan
studi efek framing ini. James N
Druckman dalam artikelnya berjudul
On the Limits of Framing Effects: Who Can
Frame? menitikberatkan klasiikasinya
berdasarkan isi frame media yang bisa
mempengaruhi opini audiens; yaitu
bagaimana frame yang berbeda di media
bisa mempengaruhi opini audiens dan
bagaimana frame yang berbeda di media
melahirkan opini yang berbeda pula di
benak audiens (Druckman, 2001). Di sisi
lain, Vreese membedakan efek framing
media ini pada teknis pemuatan frame
di media; yaitu berapa lama suatu efek
framing bertahan dibenak audiens dan
apa yang terjadi jika suatu frame dimuat
di media berulang-ulang (Vreese, 2012).
Beberapa penelitian efek framing
mengeksplorasi
perbedaan
frames
dalam media dan efeknya pada audiens.
Penelitian Iyengar (1991) tentang efek
berita politik di televisi terhadap atribusi
publik merupakan penelitian awal di
bidang efek framing. Iyengar menemukan
adanya perbedaan efek framing pada
cara media membingkai berita dalam
episodic frames (menekankan pada
satu masalah saja) atau thematic frames
(muncul dari konteks social dan politik
yang lebih luas). Iyengar menyimpulkan
dari penelitiannya bahwa audiens
cenderung lebih mudah menerima pesan
dalam episodic frames karena lebih detail
dan sempit dalam bingkai beritanya
dibanding thematic frames (R. V. L. v.
Zoonen, 2011).
Sejumlah ilmuwan komunikasi
politik melihat adanya efek pada repetitive
framing dan competitive framing. Mereka

Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 6, Januari 2013

Twediana Budi Hapsari

berpendapat bahwa berita yang dimuat
berulang-ulang (repetitive framing) akan
meningkatkan derajat aksesibilitasnya,
yang pada akhirnya akan menguatkan
framing pesan dalam berita tersebut
(Dennis Chong, 2007b). Sedangkan
competitive framing terjadi ketika ada
dua berita yang saling bertentangan
berkembang pada waktu yang sama.
Hal ini akan membawa dampak
meningkatnya nilai individu audiens dan
menurunkan efek pemberitaannya. Hal
ini terjadi karena ketika dihadapkan pada
dua berita yang bertentangan satu sama
lain, audiens akan merujuk pada tokohtokoh masyarakat yang dia percaya
atau kembali pada nilai, pengetahuan
dan pengalaman yang telah dimiliki
sebelumnya (Vreese, 2012).
Beberapa penelitian efek framing di
atas cenderung melihat audiens sebagai
audiens pasif yang hanya ‘bereaksi’
ketika diterpa media. Hal ini wajar terjadi,
karena sebagaimana halnya penelitian
efek media lainnya, titik berat perhatian
berada pada media teks dan reaksi
audiens terhadap media teks tersebut.
Padahal sebenarnya audiens memiliki
otoritasnya sendiri dalam memaknai
isi media; apakah dia akan menerima
secara utuh, hanya sebagian atau tidak
percaya sama sekali dengan isi media.
Apalagi dalam perkembangan teknologi
komunikasi saat ini, di mana setiap orang
bisa mengakses berita dari mana saja dan
kapan saja. Setiap orang juga bisa menjadi
konsumen sekaligus produsen dari berita
itu sendiri. Oleh sebab itu tidaklah tepat
jika audiens hanya dipandang sebagai
pihak yang pasif, tidak berbuat apa-apa
dalam menerima isi media.
Berkaitan dengan perkembangan
new media serta teknologi komunikasi
saat ini, maka sudah seharusnya
penelitian framing dilihat secara lebih

Audiens Framing: Peluang...

komprehensif. Penelitian tentang framing
media tidak bisa lagi dilihat terpisah
tanpa melibatkan audiens, karena di
tengah berkembangnya media sosial
saat ini setiap orang bisa memproduksi
dan mereproduksi berita. Kajian audiens
framing juga perlu dikembangkan untuk
mendapatkan hasil yang lebih terintegrasi
terkait suatu isu jika dilihat dari dua sisi:
media framing dan audience framing.
Audience Framing
Seperti telah dijelaskan diatas,
kajian tentang audience framing berawal
dari kajian efek media framing. Etman
(1991) menyebutnya sebagai `individual
frames‘, yaitu proses mental seseorang
dalam mengolah informasi yang dia
dapat setelah mengkonsumsi media
frames. Audiens framing memang tidak
bisa dipisahkan dari teori Hall (1980)
mengenai encoding/decoding. Media meencode realitas menjadi pesan dalam media
teks, kemudian audiens men-decode pesan
itu sesuai dengan pengetahuan, nilai,
kepercayaan dan pengalamannya. Oleh
sebab itulah suatu pesan di media bisa
dimaknai berbeda oleh masing-masing
individu atau disebut dengan polysemi.
Adanya perbedaan pemaknaan di
benak audiens terhadap isi teks media
ini sebenarnya telah lama disadari,
terutama dalam proses konstruksi sosial
di tengah masyarakat. Gamson (1988)
berpendapat, bahwa konstruksi sosial
di tengah masyarakat terbentuk dari
proses interaksi sosial di antara mereka.
Dalam proses ini, aktivitas audiens dalam
menginterpretasi teks media menjadi
dasar dari pembentukan opini publik di
tengah masyarakat. Hal ini bertentangan
dengan kesimpulan Iyengar (1991) yang
memfokuskan pada reaksi audiens
terhadap framing media, dalam konstruksi
sosial lebih menekankan pada proses

Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 6, Januari 2013

491

Audiens Framing: Peluang...

Twediana Budi Hapsari

berikir dan berinteraksi individu dalam
memaknai suatu isu (Sotirovic, 2000).
Seperti telah disinggung di muka,
bahwa perkembangan teknologi komunikasi dewasa ini membawa konsekuensi
terjadinya perubahan signiikan terhadap
teori-teori komunikasi, khususnya pada
hal yang berkaitan dengan studi audiens.
Terkait hal ini, Maxwell McCombs
mencoba me-review kembali teori Agenda
Setting yang telah banyak dibahas dan
digunakan oleh para ilmuwan media dan
komunikasi sejak pertama dikenalkan
pada tahun 1972. Menurut McCombs,
perkembangan teknologi komunikasi
khususnya internet telah membawa
perubahan yang signiikan khususnya
dalam proses pembentukan agenda
media dan agenda publik, dua bahasan
utama dalam penelitian agenda setting
(McCombs, 1972).
Tinjauan penelitian agenda-setting
oleh McCombs ini menarik karena dia
menyadari bahwa perubahan teknologi
komunikasi telah berubah sama sekali
jika dibanding 40 tahun lalu ketika teori
agenda-setting pertama kali diluncurkan
bersama Donald Shawn. Dalam tulisannya
yang berjudul ‘A Look at Agenda-Setting:
Past, Present and Future’, McCombs
mencoba mengidentiikasi beberapa
perubahan mendasar dari perubahan
situasi tersebut dan memformulasikan
ulang konsep agenda-setting menjadi
second level agenda-setting atau agenda
setting level kedua (McCombs, 2005).
Dalam tinjauannya ini McCombs melihat
bahwa proses second level agenda-setting
ini sebenarnya beririsan dengan proses
framing, di mana agenda media tidak
hanya terbatas pada penyampaian
informasi tentang suatu fakta saja,
melainkan atribusi dari suatu peristiwa
yang disampaikan melalui agenda
media. Atribusi fakta atau peristiwa ini
492

sama dengan media frames. Sedangkan
agenda publik adalah bagaimana publik
menginterpretasi isu yang ia dapatkan
dari beragam media informasi baik surat
kabar, televisi, radio, maupun mediamedia online lainnya.
Beragamnya media yang menjadi
sumber referensi publik terhadap suatu
inilah yang menjadi tolok ukur perubahan
konsep agenda-setting tradisional – yang
sudah kita kenal sebelumnya – dengan
second level agenda-setting yang baru.
Setidaknya ada dua hipótesis McCombs
terkait perubahan ini dan membuatnya
memformulasikan ulang teori agendasetting-nya. Hipotesis tersebut adalah:
pertama, kemampuan audiens mengakses
internet, baik itu website maupun blog
untuk mencari informasi atau hanya
memberi komentar.1 Hipotesis kedua
adalah banyaknya agenda media yang
bisa diakses publik melalui websites
dengan beragam versinya, tidak seperti
pengulangan agenda yang biasanya ada
pada media tradisional.
Minimal ada dua hipotesis yang
menjadi perhatian McCombs terkait
hipótesis pertamanya yaitu kemampuan
publik mengakses internet, karena
dibutuhkan penguasaan teknologi dan
ketersediaan komputer atau alat lain untuk
mengaksesnya. Dalam perkembangan
teknologi yang semakin terjangkau saat
ini, tampaknya hal tersebut tidak lagi
menjadi masalah, hanya saja publik
yang mengakses internet adalah mereka
dengan latar pendidikan yang lebih baik
dan berasal dari kalangan muda. Selain
itu, McCombs juga melihat kebiasaan
publik dalam mengakses media yang jauh
berbeda dengan media tradicional. Jika

1
Artikel ini ditulis pada tahun 2005, dimana media
sosial belum muncul dan menjadi mainstream di dunia
maya.

Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 6, Januari 2013

Twediana Budi Hapsari

pada media tradisional mereka memiliki
waktu-waktu tertentu untuk membaca
surat kabar atau menonton acara televisi,
hal ini tidak berlaku pada media baru,
karena mereka bisa mengakses internet
di mana saja dan kapan saja.
Hipótesis kedua dari McComb adalah
banyaknya informasi yang bisa diakses
melalui websites, di mana kenyataan
ini kebalikan dengan tradisional media
yang memiliki keterbatasan tempat dan
waktu untuk menayangkan suatu isu,
sehingga media tradisional ini cenderung
memuat suatu isu secara berulang
untuk mendapatkan perhatian dari
audiensnya. Oleh sebab itu, perbedaan
kajian agenda setting yang lama dengan
yang baru terletak pada beragamnya
sumber media yang bisa diakses oleh
audiens. Hal ini menyebabkan tidak
mudah untuk menentukan agenda media
dalam penelitian agenda setting jika
menggunakan teori yang lama.
Oleh sebab itu McCombs mencoba
‘merevisi’ tinjauan teori agenda-setting
klasik miliknya menjadi second level
agenda-setting theory. Secara umum teori
agenda-setting ini tidak berubah, yaitu
adanya ‘perpindahan’ agenda media
kepada agenda publik. Namun demikian,
mengingat adanya perubahan lingkungan
masyarakat dan teknologi media yang
berkembang, maka ada penyesuaian ‘cara’
melihat agenda media dan agenda publik
ini. Jika agenda media dipahami sebagai
topik yang diangkat oleh media tradisional
pada agenda setting klasik, pada second
level agenda setting, agenda media lebih
dipahami sebagai media frames, atau
atribusi pesan yang sengaja ditonjolkan
dari sebuah isu. Hal ini dilakukan
mengingat begitu banyaknya sumbersumber informasi berkenaan dengan isu
terntentu, meskipun demikian McCombs
melihat adanya perhatian yang terpusat

Audiens Framing: Peluang...

pada beberapa fakta saja dari suatu
isu. Sehingga McCombs memutuskan
bahwa terjadi atribusi isu, tidak hanya
menyampaikan informasi umum dari
suatu fakta; namun juga menonjolkan
bagian-bagian
tertentu
dari
fakta
(framing) tersebut untuk mendapatkan
perhatian lebih. Demikian pula yang
terjadi pada publik, jika pada teori klasik
disebut ‘agenda publik’ yang melihat
tema atau topik apa menjadi perhatian
publik terhadap suatu isu, pada second
level agenda setting disebut dengan
‘agenda setting effects’ atau efek agenda
setting yang melihat bagaimana publik
mengintepretasi suatu isu, bagian mana
dari isu tersebut yang menjadi perhatian
(salience) dari audiens (McCombs, 2005).
Proses yang terjadi pada agenda
setting effects sejalan dengan proses terbentuknya audience framing, yaitu proses
intepretasi framing media oleh audiens
menurut pengetahuan, pengalaman dan
interaksi dengan lingkungan sosialnya.
Ada beberapa pendekatan dalam melihat
audience framing ini, di antaranya melalui
resource strategies (Gamson, 1992) dan need
for orientation (McCombs, 2005). Resource
strategies atau strategi rujukan adalah
strategi audiens dalam menggunakan
rujukan untuk menginterpretasi bingkai
media. Menurut Gamson, strategi rujukan
ini terbagi menjadi dua, yaitu substantial
media effects strategy dan personal strategy.
Strategi pertama adalah mereka yang
menggunakan strategi budaya, popular
wisdom, kebenaran umum, bahkan
stereotype dan nilai-nilai umum yang
telah jamak dipahami secara luas. Orangorang yang menggunakan strategi ini
cenderung mudah terpengaruh oleh
media frames. Sedangkan strategi kedua
dilakukan oleh mereka yang lebih
mengutamakan
pada
pengalaman
langsung maupun tidak langsung dengan

Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 6, Januari 2013

493

Audiens Framing: Peluang...

Twediana Budi Hapsari

media frames, sehingga audiens dengan
strategi ini cenderung tidak mudah
terpengaruh dengan isi media.
Di sisi lain McCombs (2005)
melihat need for orientation atau orientasi
kebutuhan audiens ketika mereka
mengkonsumsi isi media karena pada
dasarnya setiap manusia itu memiliki
rasa ingin tahu yang besar. Oleh sebab
itu orientasi kebutuhan audiens ketika
mengkonsumsi media ditentukan oleh
dua konsep yaitu relevansi (relevance) dan
ketidakpastian (uncertainty). Orientasi
kebutuhan seseorang disebut rendah
ketika melihat suatu isu memiliki derajat
relevansi dan ketidakpastian yang rendah
terhadap dirinya. Jika derajat relevansinya
tinggi namun ketidakpastiannya rendah,
maka
orientasi
kebutuhan
orang
tersebut adalah menengah atau moderate.
Sedangkan jika suatu isu memiliki derajat
relevansi dan ketidakpastian yang tinggi
maka orientasi kebutuhan orang tersebut
terhadap suatu isu menjadi tinggi juga.
Selain relevansi dan ketidakpastian,
McCombs menambahkan komponen
ketiga dari orientasi kebutuhan ini yaitu
derajat usaha untuk mengakses media.
Hal ini berdasarkan temuan Gunho Lee
(2005) terkait upaya seseorang untuk
mendapatkan informasi melalui dunia
maya. Tidak seperti media tradisional (TV,
Radio, Surat Kabar) yang informasinya
telah tersaji dan mudah diakses oleh
audiens, pada media baru seperti internet,
audiens harus berusaha terlebih dahulu
untuk bisa mendapatkan informasi yang
diinginkan (McCombs, 2005).
Chong dan Druckman (2007) menetapkan tiga langkah dalam mekanisme
psikologis audiens dalam proses efek
framing (Dennis Chong, 2007a). Pertama,
audiens sebelumnya telah memiliki
pengetahuan dan kepercayaan didalam
memori otaknya. Kemudian langkah
494

kedua adalah beberapa kepercayaan
tersebut berada ditempat yang mudah
diakses ketika audiens menangkap
isu yang telah diframing oleh media,
sehingga ia akan ‘mencocokkan’ apakah
pengetahuan dan kepercayaan yang
dia miliki sesuai dengan isu media
yang dia dapatkan. Terakhir audiens
akan mengevaluasi isu tersebut dan
mempertimbangkan apakah perlu untuk
dibingkai atau tidak. Dua faktor yang
akan mempengaruhi audiens ketika ia
mempertimbangkan suatu isu untuk
diframe atau tidak, yaitu motivasi
individu dan konteks kompetitif dari
isu tersebut (Chong, 2007a; Lecheler,
2009). Motivasi individu berkaitan
dengan penting tidaknya isu tersebut
terhadap dirinya, sedangkan konteks
kompetitif adalah keberadaan framing
isu yang bertentangan yang mungkin
mempengaruhi apakah isu tersebut
makin menguat dibenak audiens, atau
membuat audiens frame baru.
Dalam penjelasan di atas tampak
bahwa proses audience framing sejalan
dengan second level agenda-setting theory,
dengan lebih memperhatikan perkembangan teknologi komunikasi di masa
kini. Saat ini penelitian tentang mediaaudiens sudah tidak bisa dilihat sebagai
interaksi tunggal, yang berlaku satu isu
dari satu media kemudian memberikan
efek terhadap audiens, melainkan melihat
interaksi media-audiens dengan perspektif
yang baru.
Audience Framing
Metodologi

:

Beberapa

Isu

Pertanyaan berikut terkait audiens
framing adalah bagaimana metodologi
penelitiannya?
beberapa
penelitian
mengenai efek media framing dan audiensce
framing telah dilakukan oleh para
ilmuwan komunikasi khususnya dalam

Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 6, Januari 2013

Twediana Budi Hapsari

Audiens Framing: Peluang...

bidang komunikasi politik dan opini
publik. Pemetaan penelitian efek framing
telah dibuat jelas oleh Dietram Scheufele
(1999) dalam artikelnya ‘Framing as a
Theory of Media Effects’. Dalam artikel
ini Scheufele tidak hanya memetakan
pendekatan penelitian framing, tapi
juga proses terbentuknya framing media
hingga audiens framing (Scheufele, 1999).

proses
terbentuknya
media
teks.
Sebaliknya, penelitian individual frame
sebagai independen variabel fokus pada
frame individu mempengaruhi gerakan
sosial di masyarakat. Seperti temuan
Gamson (1985) yang meneliti pengaruh
frame individu dalam menginterpretasi
konlik terhadap tindakan kolektif yang
mengarah pada gerakan sosial.

Pemetaan pendekatan penelitian
framing menurut Scheufele (1999) bisa
dilihat dari dua dimensi : pertama dari
tipe frame yang diteliti (media frames
atau audience frames) dan bagaimana
operasionalisasi frame-frame tersebut
ke dalam kerangka penelitian, apakah
sebagai dependent variabel atau independenvariabel (Scheufele, 1999). Framing sebagai
dependen variabel adalah studi yang meneliti
beragam faktor yang mempengaruhi
proses modiikasi terbentuknya Misalnya
penelitian Schoemaker & Reese (1996)
yang meneliti tentang media frame oleh
jurnalis dipengaruhi oleh faktor-faktor
sosial-budaya dan kebijakan organisasi.
Sedangkan individual frame dipengaruhi
oleh ideologi yang dimilikinya (Tuchman,
1978), atau audience frame yang langsung
dipengaruhi oleh bagaimana media
membingkai suatu isu (Prince, Tewksbury
& Power, 1995, 1995) (Scheufele, 1999).

Selain memetakan media frame dan
audience frame pada variabel independen
dan dependen, Scheufele juga mencoba
membuat model framing agar tampak
dimana posisi audience framing dan
efeknya.
Scheufele
menggambarkan
proses framing kedalam beberapa tahap, yaitu: frame building, frame setting,
individual-level effects of framing dan link
yang menghubungkan antara audiens
dan jurnalis. Kedudukan masing-masing
proses tersebut bisa dilihat pada gambar 1.

Selanjutnya penelitian framing sebagai variabel independen terletak pada
hubungan media-audiens dalam proses
framing, bagaimana media frames sebagai
independen variabel mempengaruhi
audience frame dan begitu pula sebaliknya.
Beberapa penelitian tentang media frames
sebagai independen variabel misalnya
penelitian yang dilakukan oleh Pan &
Kosicki (1993) yang menggambarkan
struktur wacana media ke dalam empat
struktur: sintaksis, skrip, tematik dan
retorikal. Dari keempat stuktur ini bisa
diketahui pengaruh teks media terhadap

Pada proses pembentukan frame
media (frame building) ada beberapa
faktor yang mempengaruhinya, yaitu
kebijakan media, nilai, sikap dan ideologi
dari jurnalis, juga tekanan-tekanan dari
lingkungan sosial dan politik di sekitar
media tersebut. Shoemaker & Reese
(1996) mengatakan bahwa paling tidak
ada tiga sumber yang mempengaruhi
terbentuknya frame media ini (Reese,
1996). Pengaruh pertama adalah dari
jurnalis sebagai pelaku utama pembuat
frame media, seperti ideologi yang
dimiliki jurnalis, sikap jurnalis terhadap
suatu isu, juga nilai-nilai profesional
yang dipercaya oleh jurnalis. Sumber
kedua adalah proses rutin seleksi atau
‘gate keeping’ dalam ruang redaksi,
dimana kebijakan organisasi juga
sangat mempengaruhi arah frame media
terhadap suatu isu. Ketiga adalah sumber
yang berasal dari luar organisasi media
seperti elit politik, pihak penguasa, dan
juga kelompok kepentingan lainnya.

Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 6, Januari 2013

495

Audiens Framing: Peluang...

Twediana Budi Hapsari

Gambar 1. Model proses dari penelitian Framing oleh Dietram Scheufele
(1999)
Proses kedua adalah frame setting, di
mana menurut Scheufele sama dengan
proses second level agenda setting dari
McCombs, yaitu proses transmisi media
frame ke audience frame. Frame media yang
muncul dalam agenda media bisa dilihat
dari dua dimensi, yaitu visibilitas atau
kemampuannya menarik perhatian dan
kepentingan audiens serta valence atau
derajat keterkaitan isu media dengan
kepentingan audiens. Sedangkan jika
dilihat dari audience frames, suatu isu
dianggap menarik jika memenuhi
dua kriteria, yaitu social salience atau
merupakan hal menarik oleh masyarakat
sosial dan personal salience atau hal yang
menarik bagi individu (McCombs, 2005).
Dari sisi audiens, ada beberapa
faktor yang mempengaruhi terbentuknya

496

audience framing, yang oleh Gamson (1992)
diidentiikasi menjadi tiga yaitu: kultural,
personal dan integrated.
Pendekatan
kultural biasanya digunakan untuk
membangun frame individu yang umum
berada ditengah masyarakat, berdasarkan
wacana dan popular wisdom yang ada.
Pendekatan
personal
berdasarkan
pengalaman pribadi dan norma moral
yang biasa berlaku, namun tidak
melibatkan wacana media. Sedangkan
pendekatan integratif adalah integrasi
antara wacana media, popular wisdom dan
pengalaman pribadi dalam pembentukan
frame individu dalam diskusi (Gamson,
1992).
Setelah media frames ditransfer ke
audience frame, selanjutnya Scheufele
menjelaskan tahap berikutnya dalam

Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 6, Januari 2013

Twediana Budi Hapsari

proses framing, yaitu efek individual
dalam proses audience framing. Efek
yang ditunjukkan meliputi kognisi atau
pengetahuan, sikap dan perilaku individu
yang berubah setelah dipengaruhi oleh
media frames dan audience frame. Sebagai
contoh studi yang dilakukan oleh Iyengar
(1991) menunjukkan bahwa episodic
frame, atau frame isu yang terbatas pada
satu fakta atau pelaku saja, memberikan
pemahaman yang lebih baik kepada
audiens dibanding dengan frame tematik
yang lebih abstrak.
Terakhir adalah proses yang
menghubungkan antara audiens dengan
jurnalis sebagai pelaku pembuat media
frames. Sebagai bagian dari masyarakat,
tidak bisa dipungkiri bahwa jurnalis
juga menjadi bagian dari audiens. Oleh
sebab itu audies juga memiliki peluang
yang besar untuk mempengaruhi media
frames, khususnya terkait dengan isuisu terkini yang sering menjadi wacara
publik di luar media.
Secara garis besar, penelitian-penelitian seputar audiens framing berusaha
menelusuri
beragam
faktor
yang
mempengaruhi terbentuknya audience
framing; baik itu faktor yang berasal
dari media, bentuk teks, cara menyampaikannya, maupun faktor terkait dengan individu seperti nilai personal,
pengaruh kelompok rujukan dan tingkat
relevansi isu dengan kepentingannya.
Contoh penelitian yang mencoba melihat
perbedaan cara mengekspos berita dan
personal values adalah penelitian yang
dilakukan oleh Lin (2009). Lin meneliti
ekspos berita perang Iraq melalui beragam
media dan program yang berbeda2 beserta
2

Sumber media framing yang diteliti adalah

Audiens Framing: Peluang...

pengaruhnya terhadap pembentukan
frame audiens dengan perbedaan latar
belakang jiwa nasionalisme & patriotik,
agama dan politik.3 Dari penelitian ini
Lin menyimpulkan bahwa opini publik
(dan audience frames) bisa terbentuk dari
interaksi antara cara media mengekspos
berita dan nilai-nilai individual.
Huiping
Huang
(2009)
yang
melihat perbedaan frame media dalam
proses terbentuknya audiens frames.
Studi ini meneliti perbedaan liputan
tiga media besar di Taiwan mengenai
dua isu kontroversial yang muncul
bersamaan, sedangkan audiens frames
didapat dari interview melalui telepon
secara acak. Análisis dari penelitian ini
dilakukan dalam dua tahap; pertama
membandingkan media frames dan
audience frames, dan melihat seberapa
jauh media mempengaruhi terbentuknya
audiens frames. Tahap análisis kedua
adalah melihat faktor-faktor yang paling
mempengaruhi individu dalam membuat
audience framing. Temuan Huang yang
menarik adalah media frame dari suatu
isu yang muncul bervariasi di media
akan menghasilkan audience frame yang
beragam pula, sebaliknya, jika suatu isu
cenderung diframing sama oleh media
maka audiens juga cenderung memiliki
frames yang seragam pula terhadap isu
tersebut (Huang, 2009).

program dan media yang menayangkan pemberitaan
invasi Amerika ke Iraq pada tahun 2003. Lin
mengkategorikannya menjadi : program talkshow di TV
kabel, program berita di TV Kabel, program talkshow di
radio dan siaran berita di TV umum.
3
Responden ditanya dalam skala 1-7 apakah
mereka memiliki jiwa nasionalisme & patriotic
membela Negara, sebagai individu yang religious, dan
berpandangan politik sangat konservatif atau sangat
liberal.

Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 6, Januari 2013

497

Audiens Framing: Peluang...

Twediana Budi Hapsari

Penelitian mengenai audience framing
tidak hanya terbatas pada reaksi terhadap
media frames dan menggunakan metode
survey. Penelitian yang dilakukan oleh
Prince dkk (2005) adalah salah satu
penelitian menarik yang memperkaya
varian metodologi audience framing,
yaitu dengan mem-framing diskusi
publik dengan menggunakan metode
eksperimen. Prince dkk mencoba
menginvestigasi frame publik (di AS)
- yang dikelompokkan menjadi tiga,
yaitu yang memiliki pandangan politik
konservatif, liberal dan campuran
keduanya - mengenai isu kesetaraan
hak bagi kaum homoseks di tengah
masyarakat (Vincent Prince, 2005). Hasil
menarik dari penelitian ini adalah adanya
perbedaan pemberian ‘label’ pada para
penyuka sejenis, yaitu bagi kelompok
konservatif menyebut ‘homosexual’
sedangkan kelompok liberal lebih suka
menyebut ‘gay’. Penelitian ini juga
memperkuat pendapat Gamson (1992)
bahwa media frames itu hanyalah bagian
dari ‘alat’ untuk membentuk audience
frames, karena penelitian membuktikan
bahwa mereka yang telah memiliki
ideologi pemikiran sendiri tidak terlalu
terpengaruh oleh pemberitaan di media.
Beberapa contoh penelitian di atas
menunjukkan bahwa peluang penelitian
audience framing masih terbuka lebar, dan
beragam variasinya. Sebagian besar penelitian framing adalah menginvestigasi
pengaruh media framing terhadap
terbentuknya opini publik atau audiens
framing. Sedangkan proses sebaliknya –
dimana audience frames mempengaruhi
media frames – masih jarang dilakukan.
Padahal, audiens memiliki power dan
otoritas untuk mengakses, menseleksi

498

dan memaknai isi berita yang dia dapat.
Penelitian yang dilakukan oleh Prince
dkk menunjukkan peran aktif audiens
tersebut, meskipun tidak secara langsung
menyinggung tentang media frames yang
muncul seputar isu tersebut.
Peluang Penelitian Audience Framing di
Indonesia
Bagaimana
dengan
peluang
penelitian audience framing di Indonesia?
Indonesia memiliki masyarakat dengan
beragam etnis, ideologi, agama, hingga
perbedaan latar belakang sosial-ekonomi
dan penguasaan teknologi. Di samping
memiliki variasi kombinasi audiens
yang cukup besar, penduduk Indonesia
juga menempati angka terbesar keempat
di dunia. Hal ini berarti masih terbuka
peluang yang sangat besar untuk
mengeksplorasi topik kajian ini secara
lebih mendalam.
Ada beberapa hal mendasar yang
harus dipertimbangkan ketika akan
mendesain penelitian audience framing
di Indonesia khususnya dalm kondisi
masyarakat yang multi etnis. Beberapa
pertimbangan tersebut diantaranya:
posisi audiens, faktor budaya dan
pengusaan teknologi media. Posisi
audiens terkait dengan sudut pandang
audiens dilihat sebagai audiens pasif atau
aktif. Dalam penelitian-penelitian opini
publik, audience framing dilihat sebagai
efek dari media frames. Seperti halnya
apa yang dilakukan oleh Huang (2009)
di atas, yang melihat framing audiens
tentang dua isu Taiwan yang dimuat
di media. Di sisi lain, audiens memiliki
peran aktif dalam penelitian audience
framing ketika akan melihat faktor-faktor
yang
mempengaruhi
terbentuknya

Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 6, Januari 2013

Twediana Budi Hapsari

audience framing, atau ingin mengetahui
tanggapan audiens terhadap suatu isu –
terlepas dari pengaruh media semata.
Sebagai masyarakat yang multi
etnis, pertimbangan faktor-faktor budaya
menjadi sangat penting dalam penelitian
audience framing. Menurut Hofstede
(1986) dalam konsep cultural variabilities,
tipologi masyarakat Indonesia tergolong
masyarakat
kolektivis.
Masyarakat
kolektivis adalah masyarakat yang
berkelompok, dan setiap individu di
dalamnya terikat dengan kelompoknya
(Hofstede, 1986). Kelompok yang
dimaksud bisa dalam artian keluarga,
organisasi, atau kelompok agama.
Meskipun dalam kehidupan saat ini
nilai-nilai global semakin tersebar karena
didukung oleh pesatnya teknologi
komunikasi di perkotaan, ada asumsi
bahwa masyakarat di kota-kota besar
Indonesia
cenderung
individualis.
Namun demikian belum ada data empiris
yang menyatakan asumsi tersebut.
Dalam masyarakat kolektivis, nilainilai dalam kelompok ini dijunjung tinggi
dan menjadi rujukan dalam menilai dunia
termasuk memframing berita. Sebagai
contoh pengaruh nilai-nilai agama
khususnya Islam dalam pemberitaan
media. Kasus pelarangan konser Lady
Gaga tahun 2012 dan pelarangan
terbitnya majalah Playboy Indonesia
tahun 2007 lalu terjadi karena adanya
tekanan keras kelompok-kelompok umat
Islam melalui demonstrasi yang massif di
beberapa kota di Indonesia. Oleh sebab
itu memasukkan kelompok rujukan
sebagai salah satu faktor penting yang
mempengaruhi proses terbentuknya
audiens frames di Indonesia.

Audiens Framing: Peluang...

Selain penetapan peran audiens dan
faktor budaya dalam penelitian audience
framing di Indonesia, satu hal penting
yang juga perlu dipertimbangkan adalah
penggunaan
teknologi
komunikasi
dalam mengakses media. Perkembangan
teknologi komunikasi ini mendorong
semakin luasnya penggunaan new media
termasuk social media yang membawa
perubahan signiikan dalam kajian-kajian
komunikasi dewasa ini. McCombs (2005)
dalam teori secondary agenda-setting-nya
juga telah mempertimbangkan faktor
effortness atau usaha audiens dalam
mencari informasi dalam internet. Dalam
konteks Indonesia, jumlah pengguna
teknologi komunikasi atau sering disebut
gadget dalam bentuk Smart pone,notebook,
laptop, dan perangkat canggih lainnya
semakin meningkat khususnya di daerah
perkotaan.Hasil riset yang dilakukan oleh
MarkPlus Insight Indonesia pada tahun
2011 menyatakan bahwa pada tahun
2011 pengguna internet di 11 kota besar
Indonesia mencapai 55 juta pengguna
atau sekitar 40-45% dari total penduduk
di kota-kota tersebut (Wahono, 2011).
Hasil penelitian ini juga menyatakan
bahwa jumlah mobile internet user atau
pengguna internet dari perangkat
mobile seperti Smartphone dan notebookdi
Indonesia pada tahun tersebut mencapai
29 juta, naik hampir 100% dari tahun
sebelumnya yang hanya berkisar 16 juta
pengguna dan 50-80% usia penggunanya
berkisar antara 15-30 tahun. Ini berarti
bahwa pertimbangan pengguna gadget
ini menjadi penting ketika desain riset
audience framing bertujuan meneliti target
audiens kalangan usia tersebut, karena
berarti sebagian besar dari mereka adalah
pengguna mobile internet.

Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 6, Januari 2013

499

Audiens Framing: Peluang...

Twediana Budi Hapsari

Beberapa pertimbangan di atas
kemudian bisa dimodiikasi dengan
isu
tertentu
untuk
menghasilkan
beragam variasi desain riset audience
framing di Indonesia. Perubahan teknologi komunikasi termasuk makin
berkembangnya new media yang lebih
interaktif dalam sosial media misalnya,
semakin memperkaya unit análisis
audience framing ini di masa depan.
Perubahan ini juga membawa dampak
berkembangnya
kajian
teori-teori
audiens seperti cultivation theory, uses &
gratiications dan reception theory yang
menganalisis relasi one to one antara
media dan audiens. Dalam kajian
audience framing, relasi ini diperluas
karena perkembangan teknologi media
menyebabkan tidak mungkin lagi
dibatasi sumber media teks hanya dari
satu media saja yang membawa efek
pada terbentuknya audience framing.
Simpulan
Studi mengenai audience framing
pada dasarnya bukanlah kajian baru
dalam studi ilmu komunikasi. Studi
audience framing ini berasal dari integrasi
teori framing dan teori-teori audiens. Pada
awalnya teori framing ini lebih banyak
menganalisis proses terjadinya frame di
media dan kemudian berkembang pada
efek yang ditimbulkan media framing
terhadap audiens. Pada masa ini audiens
memang lebih banyak diperlakukan
sebagai passive audience . Namun dalam
perkembangan
selanjutnya,
kajiankajian tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi
proses
penerimaan
terhadap teks media dan terbentuknya
frame audiens menempatkan audiens
pada posisi active.

500

Dalam konteks Indonesia yang multi
etnis, peluang pengembangan penelitian
audience framing masih terbuka lebar.
Beragam variasi desain riset audience
framing bisa dibuat dengan mengkombinasikan peran audiens, pengaruh
budaya dan penggunaan teknologi
komunikasi. Semoga dengan mengimplementasikan audiens framing ini akan
menambah
khasanah
pengetahuan
mengenai masyarakat Indonesia khususnya dalam ranah kajian audi