MAKNA DARI SIMBOL KUNANG-KUNANG DALAM CERPEN-CERPEN KARYA AGUS NOOR : TINDAJUAN SEMIOTIKA.

(1)

MAKNA DARI SIMBOL KUNANG-KUNANG DALAM

CERPEN-CERPEN KARYA AGUS NOOR: TINJAUAN SEMIOTIKA

SKRIPSI

diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

oleh

Fanny Marini Tiara 1000303

PRODI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

DEPARTEMEN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2015


(2)

MAKNA DARI SIMBOL KUNANG-KUNANG

DALAM

CERPEN-CERPEN KARYA AGUS NOOR:

TINJAUAN SEMIOTIKA

Oleh

Fanny Marini Tiara

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra

© Fanny Marini Tiara 2015 Universitas Pendidikan Indonesia

Februari 2015

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(3)

LEMBAR PENGESAHAN FANNY MARINI TIARA

MAKNA DARI SIMBOL KUNANG-KUNANG DALAM CERPEN-CERPEN

KARYA AGUS NOOR: TINJAUAN SEMIOTIKA disetujui dan disahkan oleh pembimbing:

Pembimbing I

Drs. Memen Durachman, M. Hum. NIP 196306081988031002

Pembimbing II

Nenden Lilis Aisyah, M. Pd. NIP 197109262003122001

Mengetahui:

Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni

Universitas Pendidikan Indonesia

Dr. Dadang S. Anshori, M. Si NIP 197204031999031002


(4)

FANNY MARINI TIARA, 2015

MAKNA DARI SIMBOL KUNANG-KUNANG DALAM CERPEN-CERPEN KARYA AGUS NOOR : TINDAJUAN ABSTRAK

Dalam karya-karya Agus Noor, ada hal yang seringkali muncul, yaitu kunang-kunang. Ia termasuk sebagai sastrawan yang konsisten menggunakan hewan malam itu sebagai simbol dalam menulis karya sastra, terutama pada cerpen-cerpennya. Terdapat tiga cerpen Agus Noor yang memunculkan kunang-kunang sebagai simbol, yakni “Serenade Kunang-kunang”, “Kunang-kunang di Langit Jakarta”, dan “Requiem Kunang-kunang”. Ketiga cerpen ini merupakan cerpen yang membahas mengenai kerusuhan yang terjadi dibeberapa tempat di Indonesia, seperti Ambon dan Jakarta. Kunang-kunang merupakan hewan yang sering ditampilkan sebagai tokoh cerita dan juga sebagai metafora dari penggambaran suasana yang coba diciptakan Agus Noor. Kunang-kunang dihadirkan sebagai hewan yang berasal dari imbas tragedi kerusuhan. Layaknya sebuah dongeng, Agus Noor menghadirkan kunang-kunang sebagai hewan yang sering kali dikaitkan dengan kematian para tokoh.

Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui makna apa saja yang terkandung dalam kunang-kunang yang dihadirkan Agus Noor dalam ketiga cerpan tersebut. Untuk membaca simbol kunang-kunang tersebut, digunakan analisis semiotika sebagai ilmu yang mempelajari mengenai pemaknaan simbol. Semiotika yang dipakai adalah semiotika Saussure yang lebih spesifik pada pemaknaan tanda lewat petanda dan penanda. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis mulanya mendeskripsikan fakta-fakta yang ada, yang kemudian disusul dengan analisis.

Setelah dilakukannya analisis, terdapat beberapa kesamaan diantara ketiga cerita tentang pemaknaan kunang-kunang. Kunang-kunang dipilih, sebagai pendukung pembentukan suasana cerita yang mistis akan sebuah kematian dan kerusuhan yang terjadi di beberapa kota dalam cerpen. Kunang-kunang juga dihadirkan sebagai hewan mitos yang pada dasarnya mitos tersebut memang telah


(5)

FANNY MARINI TIARA, 2015

MAKNA DARI SIMBOL KUNANG-KUNANG DALAM CERPEN-CERPEN KARYA AGUS NOOR : TINDAJUAN melegenda di Indonesia sendiri, tentang bagaimana orang mati yang kemudian berubah menjadi kunang-kunang.


(6)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Prosa merupakan bagian dari jenis genre sastra dan salah satu contohnya adalah cerpen (cerita pendek). Cerpen dapat diartikan melalui tiga ciri dasar yang dinyatakan Sumardjo dan Saini K.M. yaitu, 1) cerita yang pendek, 2) bersifat rekaan, cerpen adalah murni sebagai cerita ciptaan saja, direka oleh pengarang. Meskipun cerpen hanyalah rekaan, namun ditulis sesuai kejadian sebenarnya, 3) bersifat naratif atau penceritaan, namun tidak semua cerita dapat disebut cerpen. Cerpen merupakan sebuah gambaran kenyataan yang diambil dari kehidupan nyata, akan tetapi sebenarnya telah terjadi. Jadi, cerpen bisa dinyatakan sebagai karangan narasi (prosa) yang aktif dan pendek dalam arti memiliki keterbatasan dalam penggambaran unsur-unsur, yakni berefek tunggal dan tidak kompleks yang terbatas akan jumlah kuantitas (jumlah kata atau tulisan).

Ketika membaca sebuah cerpen, sama halnya seperti membaca karya sastra yang lain (puisi, novel, naskah drama, dll) pembaca akan menemukan pesan atau gagasan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Hal ini jelas, karena pada dasarnya seorang pengarang menulis sebuah karya sastra bukan hanya sekedar asal menulis (tanpa tujuan tertentu). Salah satu penggambaran pesan atau gagasan di dalam cerpen adalah melalui simbol. Dalam hal ini, simbol merupakan lambang yang diyakini pengarang sebagai sesuatu yang dapat mewakili pesan dan mendukung penyampaian cerita melalui penggambaran yang indah. Wellek dan Warren (1989, hlm. 15) menyatakan bahwa yang dipentingkan dalam bahasa sastra adalah tanda, simbolisme suara dari kata-kata. Dalam karya sastra, keambiguitasan dan permainan kata-kata merupakan hal penting. Itulah yang menjadikan sastra berbeda dari karya tulis lain dan menjadi keunggulan yang bisa digunakan pengarang sebagai pembangunan jiwa yang indah.


(7)

Keambiguitasan bisa terjadi melalui penggunaan simbol. Lewat simbol tersebut pembaca akan mulai menerka-nerka atas apa yang ingin disampaikan oleh pengarang dalam tulisannya. Simbol bisa dihubungkan melalui berbagai unsur yang terdapat di dalam maupun luar cerpen. Bisa saja dihubungkan dengan kehadiran alur, tokoh, atau hal-hal lain yang mendukung cerpen, baik dari unsur intrinsik maupun ekstrinsik. Seperti yang dinyatakan Todorov (1985, hlm. 1) bahwa karya sastra merupakan objek final dan tunggal dan yang selanjutnya akan disebut interpretasi. Interpretasi yang kadang-kadang juga disebut ulasan, komentar, penguraian teks, lektur, analisis atau sekedar kritik. Dapat didefinisikan sesuai dengan tujuannya, yaitu mengungkapkan makna teks yang diteliti. Interpretasi dapat hadir melalui berbagai cara dan berbagai ide. Bahkan terkadang seorang pembaca bisa saja menginterpretasikan lebih dari yang dimaksud oleh pengarang. Hal ini dimaklumkan, karena ketika karya sastra sudah berada di tangan pembaca, sudah sepantasnyalah karya sastra tersebut menjadi milik pembaca.

Sebenarnya terdapat banyak simbol dalam kehidupan, begitupun dengan tanda dan maknanya. Oleh karena itu, yang dapat menyaring pesan dari karya sastra adalah pengetahuan dari si pembaca sendiri. Hasil dari interpretasi akan berbanding lurus dengan skemata yang dimiliki oleh si pembaca. Jadi, semakin luas pengetahuan yang dimiliki oleh si pembaca, akan semakin luaslah pemaknaannya tentang suatu karya, begitupun sebaliknya. Makna sendiri dapat diartikan sebagai proses penafsiran yang menghubungkan antara representasi dengan objek. Tidak terbatasnya makna pada suatu simbol menyebabkan pengetahuan pembacalah yang menjadi batasan tafsiran atau interpretasinya. Ratna (2011, hlm. 112-113) menguatkan pernyataan ini, yaitu tanda-tanda sastra tidak terbatas pada teks tertulis. Hubungan antara penulis, karya sastra, dan pembaca menyediakan pemahaman mengenai tanda yang sangat kaya. Faktor-faktor lain yang seolah-olah bersifat teknis, seperti penerbit, penyunting, dan lainnya, juga memegang peranan penting dalam memahami sistem tanda sastra.


(8)

Seorang pengarang tentu menggunakan bahasa untuk menyampaikan gagasan atau ide dalam karyanya, karena bahasa sendiri merupakan sistem tanda. Jadi, dalam semiotika melibatkan tanda atau lambang yang ditafsirkan pembaca. Masinambow (2001, hlm. 1) berpendapat bahwa di dalam semiotik makna didefinisikan secara erat dengan tanda, tetapi hubungan antara makna dan tanda dikonseptualkan secara berbeda jika pendirian teoritis berbeda.

Simbol-simbol tersebut yang kemudian menjadi menarik untuk dikaji melalui pendekatan semiotika. Seperti yang disampaikan Zaimar (1991, hlm. 19) bahwa interpretasi sebuah karya termasuk lingkup makna wacana dan ini masuk dalam bidang tugas semiotik. Dengan demikian, di dalam penelitian ini juga akan digunakan analisis semiotik. Pradopo (1995, hlm. 108-109) menyampaikan bahwa karya sastra merupakan struktur (sistem) tanda-tanda yang bermakna. Tanda-tanda tersebut mempunyai makna sesuai dengan konvensi ketandaan. Karya sastra itu merupakan sistem semiotik tingkat kedua yang mempergunakan bahan bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama. Simbol yang terdapat dalam cerpen diinterpretasikan atau ditafsirkan, barulah dari sana sebuah makna bisa didapatkan. Sebab, simbol yang tersurat dalam sebuah teks cerpen erat kaitannya dengan maksud cerita yang ingin disampaikan oleh pengarang terhadap pembacanya. Semiotika dalam hal ini dapat membantu untuk membongkar simbol-simbol tersebut. Semiotik sendiri, yaitu pendekatan yang mengkaji karya sastra sebagai tanda-tanda. Luxemburg (1992, hlm. 44) menyatakan bahwa semiotik itu (kadang-kadang juga dipakai istilah semiologi) adalah ilmu yang secara sistematik mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang (sèmeion, bahasa Yunani yang artinya tanda), sistem-sistem lambang dan proses-proses perlambangan.

Zaimar memaparkan lebih jelas tentang tanda. Menurut Zaimar (1991, hlm. 20-21) Semiotik adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda: bahasa, kode, sistem sinyal, dan lain-lain. Definisi ini menjadikan bahasa sebagai bagian dari semiotik. Tanda-tanda memungkinkan seseorang untuk berpikir, berkomunikasi dengan yang


(9)

lain, memberi arti pada yang diusulkan dunia. Secara definitif Ratna (2011, hlm. 112) menyatakan bahwa tanda adalah sembarang apa yang mengatakan tentang sesuatu yang lain dari pada dirinya sendiri. Atau dalam artian lain bisa kita simpulkan bahwa sesuatu yang mewakili makna lain. Karya sastra, sebagai karya yang ditulis dengan berpedoman pada bahasa metaforis konotatif dan hakikat kreativitas imajinatif menjadi ladang bagi sistem tanda. Ini mengapa karya sastra didominasi oleh simbol yang dimaksudkan untuk mempermaksudkan hal lain.

Berangkat dari pemaknaan tersebut, ada salah seorang pengarang yang banyak melakukan penyimbolan dalam cerpennya, yaitu Agus Noor. Agus Noor lahir di Tegal, Jawa Tengah. Ia menempuh pendidikan formalnya di Jurusan Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Agus Noor bisa dikatakan sebagai pengarang yang cukup produktif. Karya-karyanya sering kali muncul di media cetak nasional. Hal ini menunjukkan eksistensi seorang Agus Noor cukup diakui oleh para pembaca di Indonesia.

Agus Noor (2010) merupakan salah satu cerpenis terpenting dalam sastra Indonesia kotemporer sekarang ini. Ia telah menghasilkan beberapa kumpulan cerpen, seperti Bapak Presiden yang Terhormat, Selingkuh Itu Indah, Rendevous, Potongan Cerita di Kartu Pos, yang memperoleh Penghargaan Sastra dari Pusat Bahasa, pada 2009. Cerpen-cerpennya banyak terpilih dalam Cerpen Pilihan Kompas maupun Cerpen Indonesia Terbaik versi Pena Kencana. Sementara satu cerpennya,

“Pemburu”, oleh majalah sastra Horison, dinyatakan sebagai salah satu karya terbaik

yang pernah terbit di majalah itu selama kurun waktu 1990-2000. Selain itu, ada juga satu buku kumpulan monolognya, Matinya Toekang Kritik.

Agus Noor (2010) menulis banyak prosa, cerpen, naskah lakon (monolog dan teater), serta skenario sinetron. Beberapa buku yang telah ditulisnya antara lain, Memorabilia, Bapak Presiden yang Terhormat, Selingkuh Itu Indah, Rendezvous (Kisah Cinta yang Tak Setia), Matinya Toekang Kritik, Potongan Cerita di Kartu Pos. Karya-karya Agus Noor yang berupa cerpen juga banyak terhimpun dalam


(10)

beberapa buku, antara lain Jl. Asmaradana (Cerpen Pilihan Kompas, 2005), Ripin (Cerpen Pilihan Kompas, 2007), Kitab Cerpen Horison Sastra Indonesia, (Majalah Horison dan The Ford Foundation, 2002), Pembisik (Cerpen-cerpen terbaik Republika), 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2008 (Pena Kencana), dan lain-lain.

Agus Noor adalah salah satu cerpenis Indonesia yang mampu merangsang imajinasi pembacanya. Kisah-kisah yang ditulisnya membuat pembaca larut memasuki dunia baru yang dibentuknya. Eksplorasinya dalam bercerita membuat setiap kisah yang ditulisnya menjadi penuh pukau. Cinta, sensualitas, sampai memori kekejaman politik terasa dalam bahasanya yang puitis dan sering kali mengejutkan. Karya-karyanya sering kali memunculkan simbol yang unik. Tema-tema yang diangkat olehnya sering kali berbau absurdisme dan surealisme dengan pemberian narasi yang dipenuhi imaji kekejaman dan kekerasan. Misalnya saja dalam kumpulan cerpennya Memorabilia. Cerita-cerita yang dihadirkan membawa pembaca dalam rasa takut kerusuhan dan rasa tega atas kekerasaan dan pembunuhan.

Kuat kaitannya dengan simbol atau perlambangan, ada yang selalu muncul dalam sejumlah cerpen-cerpen Agus Noor, yaitu Kunang-kunang. Cerpen-cerpen Agus Noor menjadi hal yang ramai diperbincangkan beberapa tahun ke belakang. Cerpenis yang pernah dimasukkan oleh Korie Layun Rampan sebagai sastrawan angkatan 2000 ini menjuluki dirinya sebagai Pangeran kunang. Kunang-kunang merupakan hewan kecil sebesar lalat yang mengeluarkan cahaya berkelip-kelip pada malam hari. Kunang-kunang telah menjadi hewan simbolis dalam cerpen-cerpennya. Kunang-kunang seringkali dijadikan sebagai metafora yang mewakili refleksi kondisi sosial historis dalam karya-karyanya. Ada tiga buah cerpen Agus Noor yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu “Serenade Kunang-kunang” (Kompas, 2008), “Kunang-kunang di Langit Jakarta” (Kompas, 2011), dan “Requiem Kunang-kunang” (Kompas, 2012). Hewan yang sering dimunculkan Agus Noor dalam beberapa cerpennya ini menjadi hal yang unik untuk dibahas secara semiotika.


(11)

Apa sebenarnya yang ingin disampaikan pengarang dengan terus menghadirkan hewan malam ini?

Cerpen “Serenade Kunang-kunang”, “Kunang-kunang di Langit Jakarta”, dan

“Requeim Kunang-kunang” sendiri adalah cerpen yang terbit secara nasional di Koran Harian Kompas dalam tahun yang berbeda. Ketiga cerpennya ini menjadikan kunang-kunang sebagai objek simbolik yang cukup kuat perannya. Kunang-kunang bagi Agus Noor tampaknya telah menjadi hewan yang cukup lekat dengan karya-karya tulisnya. Di dalam ketiga cerpen ini, Agus Noor menghadirkan kunang-kunang sebagai wujud lain dari sebab hadirnya suatu peristiwa. Kunang-kunang telah menjadi hewan sakral dalam cerpen-cerpen Agus Noor. Kunang-kunang dijadikan hewan mitos yang telah melegenda lewat kisah-kisah yang telah menyebar di tengah masyarakat.

Sebenarnya, bukan saja Agus Noor yang menghadirkan kunang-kunang sebagai simbol dalam karya sastra, ada juga beberapa pengarang lain yang pernah menghadirkan hewan malam ini sebagai simbol, seperti Umar Karyam (Seribu Kunang-Kunang di Manhattan), Goenawan Mohamad dalam puisinya yang berjudul

“Asmaradana”, dan beberapa pengarang lain. Dari beberapa pengarang yang juga menghadirkan kunang-kunang dalam karyanya, Agus Noor adalah pengarang yang cukup konsisten dalam menghadirkan simbol kunang-kunang tersebut. Tidak hanya pada satu karya saja. Tapi ada pada beberapa cerpennya, misalnya saja juga seperti cerpennya yang ditulis bersama Djenas Maesa Ayu yang berjudul “Kunang-kunang dalam Bir” (Kompas, 2010). Agus Noor mencoba memunculkan hal yang unik dan menarik lewat simbolisasi kunang-kunangnya dalam ketiga cerpennya, yaitu

“Serenade Kunang-kunang”, “Kunang-kunang di Langit Jakarta”, dan “Requiem Kunang-kunang”. Di dalam ketiga cerpennya, hewan malam ini disimbolkan sebagai imbas dari tragedi. Ketiga cerpen ini mempunyai keunikan yang sama, yaitu menghadirkan kunang-kunang sebagai simbol penyampai pesan atau gagasan atau mungkin juga bisa saja satire (sindiran) yang ingin disampaikan pengarang kepada


(12)

pembaca. Kunang-kunang disimbolkan sebagai hewan yang muncul dari orang yang sudah mati. Hewan malam ini juga dijadikan sebagai metafora sebagai penggambaran yang membuat seseorang jatuh cinta.

Agus Noor lewat tokoh-tokohnya di dalam cerpen (cerita pendek) sebagai pencerita menghadirkan mitos-mitos baru. Ketiga cerpen tersebut menjadi hal yang menarik jika dikaitkan dengan mitos yang berkembang di masyarakat Indonesia. Kemudian juga dihubungkan dengan kisah realitas yang terjadi pada beberapa kerusuhan dan pemberontakan yang terjadi di Indonesia beberapa tahun belakang. Agus Noor sepertinya punya cara unik dalam menyampaikan kisah realitas melalui simbol kunang-kunang sehingga terkesan layaknya sebuah dongeng. Kunang-kunang sebagai hewan malam menjadi simbol yang mendukung untuk menciptakan suasana yang mencekam dan sendu yang muncul dari imbas kerusuhan dan pemberontakan.

Referensi penelitian-penelitian sebelumnya bisa dilihat dari Tesis Universitas Sebelas Maret pada tahun 2013 yang ditulis oleh Dhimas Chandra Prasetyawan berjudul Problematika Sosial dalam Cerpen Kurma Kiai Karnawi Karya Agus Noor (Pendekatan Sosiologi Sastra), atau bisa dilihat juga pada tulisan Bakdi Soemanto seorang Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada yang didiskusikan di lembaga Indonesia Perancis, Yogyakarta pada tahun 1999 dengan judul Perhaps Only Those Horrible Thing Would Be Of Memorabilia. Namun, dari penelitian-penelitian tersebut belum ada yang memilih membahas Kunang-kunang dalam karya Agus Noor secara mendalam dengan menggunakan Analisis Semiotika. Penelitian ini tentu saja berbeda dengan penelitian sebelumya yang juga mengangkat karya-karya Agus Noor sebagai objek penelitian. Penelitian ini fokus pada simbol kunang-kunang yang sering dihadirkan Agus Noor dalam beberapa cerpennya. Penelitian ini mencoba membaca simbol yang selalu dihadirkan Agus Noor dalam beberapa cerpennya, yaitu kunang-kunang.

Melalui pendekatan semiotika peneliti ingin mencoba membaca hewan kunang-kunang yang selalu hadir dalam cerpen-cerpen Agus Noor.Kunang-kunang


(13)

tampaknya telah menjadi hewan mitos yang cukup lekat dengan karya-karyanya. Pendekatan semiotika diharapkan dapat membantu dalam pembacaan pesan ataupun gagasan yang hendak disampaikan Agus Noor lewat hewan malam tersebut. Dengan judul penelitian: Makna dari Simbol Kunang-Kunang dalam Cerpen-cerpen Karya Agus Noor: Tinjauan Semiotik. Banyak hal yang tidak terbaca di dunia ini karena selalu ada sesuatu yang tidak bisa terungkap secara langsung, karya sastralah salah satu contohnya. Oleh karena itu, simbol merupakan cara paling tepat untuk membahasakan sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan mudah. Peneliti ingin mengetahui pesan atau gagasan yang terkandung di dalam ketiga cerpen Agus Noor dan gagasan apa yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca melalui kunang-kunang.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana struktur pada cerpen “Serenade Kunang-kunang” (Kompas, 2008),

“Kunang-kunang di Langit Jakarta” (Kompas, 2011), dan “Requiem Kunang-kunang” (Kompas, 2012)?

2. Makna apakah yang terkandung dalam simbol kunang-kunang yang dihadirkan dalam ketiga cerpen?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mengetahui struktur cerpen “Serenade Kunang-kunang” (Kompas, 2008),

“Kunang-kunang di Langit Jakarta” (Kompas, 2011), dan “Requiem Kunang-kunang” (Kompas, 2012).

2. Mendeskripsikan makna kunang-kunang yang terkandung dalam ketiga cerpen yang dihadirkan pengarang.


(14)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat sebagai referensi tambahan terkait analisis semiotika, analisis cerpen, dan juga simbol kunang-kunang.

2. Manfaat Praktis

Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat dalam contoh penerapan simbol kunang-kunang dalam karya sastra.


(15)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini difokuskan pada aspek pendidikan (pesan) yang disampaikan pengarang melalui karya-karyanya dengan menggunakan kajian semiotika. Adapun subjek penelitiannya, yaitu cerpen-cerpen karya Agus Noor yang terkait dengan penggunaan kata kunang-kunang sebagai simbol cerita. Teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan teknik pembacaan dan pencatatan. Teknik analisis datanya dilakukan dengan menggunakan teknik deskriptif analisis.

A. Metode Penelitian

Semi (2012) menyatakan bahwa metode deskriptif merupakan suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.

Whitney dalam Nazir (1985, hlm. 63-65) memaparkan bahwa metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. Dalam metode deskripsi peneliti bisa saja membandingkan fenomena-fenomena tertentu sehingga merupakan suatu studi komparatif. Adakalanya peneliti mengadakan klasifikasi serta penelitian terhadap fenomena-fenomena dengan menetapkan suatu standar atau suatu norma tertentu sehingga banyak ahli menamakan metode deskriptif ini dengan nama survei normatif (normative survey). Dengan metode deskriptif ini juga diselidiki kedudukan


(16)

(status) fenomena atau faktor dan melihat hubungan antara satu faktor dengan faktor lain. Metode ini dinamakan juga studi status. Metode deskriptif juga ingin mempelajari norma-norma atau standar-standar. Dalam metode ini dapat diteliti masalah-masalah normatif bersama-sama dengan masalah status dan sekaligus membuat perbandingan-perbandingan antar fenomena. Perspektif waktu yang dijangkau dalam penelitian ini adalah waktu sekarang atau sekurang-kurangnya jangka waktu yang masih terjangkau dalam ingatan responden.

Di dalam penelitian ini digunakan metode deskritif analisis. Metode deskriptif analisis mulanya mendeskripsikan fakta-fakta yang ada, yang kemudian disusul dengan analisis. Pengkajiannya dilakukan dengan cara menganalisis tiga cerpen Agus Noor yang terkait dengan symbol kunang-kunang, yaitu “Serenade Kunang-kunang”, “Kunang-kunang di Langit Jakarta”, dan “Requiem Kunang-kunang”. Pertama-tama akan dianalisis secara struktur dengan menggunakan analisis struktur Todorov, yaitu dengan mengkaji lewat dua aspek; aspek sintaksis (alur dan pengaluaran), aspek semantik (tokoh dan latar) dan aspek verbal (tipe penceritaan). Setelah itu akan dianalisis melalui gagasan dan simbolisasi yang dihadirkan oleh pengarang. Dari sana, akan terlihat maksud dan kedudukan pengarang dengan menghadirkan symbol kunang-kunang pada ketiga cerpen tersebut. Itulah yang menjadi pusat dari penelitian ini, yaitu mencaritahu mengenai makna yang dihadirkan hewan kunang-kunang dalam ketiga cerpen.

B. Sumber Data

Sumber data penelitian ini adalah tiga cerpen Agus Noor yang terbit pada Koran Harian Kompas pada setiap hari minggu, namun dalam rentang tahun yang berbeda. Ketiga cerpen tersebut adalah sebagai berikut.

1. “Serenade Kunang-kunang” terbit pada tahun 2008 di Koran Harian Kompas dengan tebal 4 halaman.


(17)

2. “Kunang-kunang di Langit Jakarta” terbit pada tahun 2011 di Koran Harian Kompas dengan tebal 5 halaman.

3. “Requiem Kunang-kunang” terbit pada tahun 2012 di Koran Harian Kompas dengan tebal 5 halaman.

C. Definisi Operasional

1) Simbol: merupakan lambang dari suatu hal yang mempunyai makna atau artian.

2) Makna: suatu hal yang menjadi pesan atau maksud.

3) Semiotika: ilmu tentang tanda yang dikembangkan dari teori strukturalisme Saussure (penanda dan petanda).

4) Kunang-kunang: hewan kecil sebesar lalat yang bisa terbang dan mengeluarkan cahaya, biasanya muncul pada malam hari.

D.Instrumen Penelitian

Pada bagian ini akan digambarkan kerangka penelitian agar analisis yang dilakukan oleh penliti lebih tergambarkan dengan jelas dan terperinci.

1. Pedoman Analisis Struktur teks cerpen.

No. Aspek-aspek Analisis Penjelasan

1.

Aspek Sintaksis

Pengaluran

Mendeskripsikan pengaluran yang ada pada ketiga cerpen. Penjelasan ini dimulai dengan menganalisis melalui sekuen-sekuen yang nantinya akan membentuk pengaluran.

2.

Alur

Mendeskripsikan alur yang ada pada ketiga cerpen. Penjelasan ini dimulai dengan menganalisis fungsi utama yang nantinya akan


(18)

membentuk alur dari cerpen. 3.

Aspek Semantik

Tokoh

Mendeskripsikan dan menjelaskan tokoh-tokoh yang ada pada ketiga cerpen, mulai dari nama, latar sosial, dan karakter tokoh.

4. Latar Mendeskripsikan latar-latar yang ada pada cerpen mulai dari latar tempat, waktu, dan suasana. 5. Aspek

Verbal

Tipe

Penceritaan

Mendeskripsikan tiga tipe penceritaan, yaitu wicara yang dinarasikan, wicara yang dialihkan, dan wicara yang dilaporkan.

Tabel 3.1 2. Pedoman Analisis Semiotik teks cerpen.

1 .

Representasi Gagasan: Uraian

Mendeskripsikan dan menjelaskan representasi gagasan melalui konsep yang dihadirkan pengarang dalam bentuk uraian teks yang ada pada ketiga cerpen. Tidak hanya terkait kunang-kunang, namun juga terkait uraian teks yang lain, yang sekiranya mampu memaknai simbol kunang-kunang lebih dalam.

2 .

Representasi Gagasan: Simbolisasi

Mendeskripsikan dan menjelaskan simbol-simbol yang dihadirkan pengarang dalam ketiga cerpen, misalnya seperti memberi pemaknaan pada beberapa simbol termasuk juga simbol kunang-kunang

Tabel 3.2 E. Teknik Pengumpulan Data

Dalam menganalisis sebuah karya sastra, sebaiknya tidak langsung menyimpulkan maksud dari karya sastra tersebut. Seperti yang telah diketahui sebelumnya, karya sastra adalah karya yang kaya akan makna. Hal itu menyebabkan kita untuk lebih rinci dalam memahami maksud dari karya sastra itu sendiri. Dalam


(19)

penelitian ini, telah dilakukan beberapa teknik pengumpulan data sebagai penunjang ditemukannya makna dari ketiga cerpen Agus Noor tersebut, yaitu dengan cara; studi pustaka, 1) melalui media buku-buku terkait sastra, semiotika, cerpen, Agus Noor, 2) penelitian-penelitian terdahulu yang relevan terkait penelitian yang menggunakan pisau analisis semiotika dan penelitian karya-karya Agus Noor, 3) Data-data tulisan dari internet atau yang telah didiskusikan pada sebuah komunitas.

F. Teknik Pengolahan Data

Penelitian ini menggunakan pendekatan semiotika. Adapun langkah-langkah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Menetapkan subjek penelitian, yaitu tiga cerpen Agus Noor yang memakai symbol kunang-kunang (“Serenade Kunang-kunang”, “Kunang-kunang di Langit Jakarta”, dan “Requiem Kunang-kunang”).

2. Membatasi masalah dengan memaparkan latar belakang, serta menentukan judul penelitian.

3. Memilih dan merumuskan masalah penelitian.

4. Menentukan tujuan dari penelitian, yaitu berangkat dari rumusan masalah yang telah dirumuskan.

5. Merumuskan kerangka teori. Dalam penelitian ini digunakan teori semiotika. 6. Menelusuri sumber-sumber kepustakaan atau mencari referensi terkait cerpen,

Agus Noor, semiotika, kunang-kunang, dan referensi lain yang sekiranya terkait dengan penelitian ini.

7. Menganalisis struktur teks ketiga cerpen melalui dua aspek menurut Todorov, yaitu aspek sintaksis (alur dan pengaluran) dan aspek semantik (tokoh dan latar). 8. Menjabarkan gagasan dan simbolisasi yang terdapat pada ketiga cerpen.

9. Memberikan interpretasi tentang symbol kunang-kunang dari hasil analisis struktur yang dilakukan.


(20)

FANNY MARINI TIARA, 2015

MAKNA DARI SIMBOL KUNANG-KUNANG DALAM CERPEN-CERPEN KARYA AGUS NOOR : TINDAJUAN G. Kerangka Pikiran

Teks cerpen Agus Noor terkait Kunang-kunang “Serenade Kunang-kunang”, “Kunang-kunang di Langit Jakarta”, dan “Requiem Kunang-kunang” TujuanPenelitian:

1. Mengetahui struktur cerpen “Serenade Kunang-kunang” (Kompas, 2008), “ Kunang-kunang di Langit Jakarta” (Kompas, 2011), dan “Requiem Kunang-kunang” (Kompas, 2012).

2. Mendeskripsikan makna kunang-kunang yang terkandung dalam ketiga cerpen yang dihadirkan pengarang. Menganalisis struktur cerpen Requeim Kunang-kunang dengan menggunakan teori struktur Todorov, yaitu mengkaji melalui aspek sintaksis (alur dan pengaluran), aspek semantik (tokoh dan latar), dan aspek verbal (tipe penceritaan).

Menganalisis struktur cerpen “ Kunang-kunang di Langit Jakarta” dengan menggunakan teori struktur Todorov, yaitu mengkaji melalui aspek sintaksis (alur dan pengaluran), aspek semantik (tokoh dan latar), dan aspek verbal (tipe penceritaan).

Menganalisis struktur cerpen “Serenade Kunang-kunang” dengan menggunakan teori struktur

Todorov, yaitu mengkaji melalui aspek sintaksis (alur dan pengaluran), aspek semantik (tokoh dan latar), dan aspek verbal (tipe penceritaan).

Mendeskripsikan representasi gagasan: uraian yang ada pada ketiga cerpen.

Mendeskripsikan representasi gagasan: simbolisasi yang ada pada ketiga cerpen.


(21)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Setelah melakukan analisis struktur dan gagasan, didapat beberapa simpulan yang akan diuraikan sebagai berikut. Secara struktur, ketiga cerpen memiliki kesamaan dengan memiliki pengaluran yang linear, namun diselingin dengan ingatan kilas balik (satu peristiwa saja) dan sorot balik (beberapa peristiwa).

Pertama, pada cerpen Serenade Kunang-kunang memiliki 16 sekuen dan 7 fungsi utama. Semuanya secara utuh membentuk sebuah deskripsi mengenai kisah cinta tokoh aku pada seorang laki-laki yang telah mempunyai anak dan istri.

Kedua, pada cerpen Kunang-kunang di Langit Jakarta ditemukan 19 sekuen dan 14 fungsi utama. Cerpen Kunang-kunang di Langit Jakarta memang tidak secara eksplisit memberikan uraian tentang peristiwa yang disorot dalam alur cerita. Namun, ada beberapa pernyataan yang merujuk pada peristiwa yang dimaksud, yaitu kerusuhan Mei 1998.

Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan yang terjadi di Indonesia pada 13 Mei hingga 15 Mei 1998. Peristiwa ini terjadi serentak di beberapa kota di Indonesia. Namun konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Bandung, dan Surakarta. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti yang menewaskan empat orang mahasiswa Universitas Trisakti. Mereka tewas tertembak dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Pada peristiwa tersebut, para perusuh seolah tidak memiliki hati nurani. Selain melakukan penyiksaan dan perkosaan, mereka juga merusak, menjarah, bahkan membakar berbagai sarana pribadi dan publik dirusak.

Terakhir pada cerpen Requeim Kunang-kunang yang memiliki 16 sekuen dan 9 fungsi utama. Cerpen ini bercerita tentang konflik antar agama di Ambon yang difiksikan oleh Agus Noor. Pemfisikan ini menggunakan tokoh utama seekor kunang-kunang. Digunakannya tokoh kunang-kunang dalam cerpen ini sebagai simbol dalam


(22)

cerita agar gambaran masalah yang akan diungkapkan tidak menimbulkan provokasi karena masalah yang diungkit bersifat sensitif. Selain itu, dilihat dari sudut pandang penceritaan, cerpen ini menggunakan sudut pandang orang Nasrani. Melalui sudut pandang ini, Agus Noor ingin menunjukkan bahwa orang-orang yang menjadi korban konflik bukan hanya orang yang beragama Islam, mereka yang beragama Nasrani pun menjadi korban konflik Ambon tersebut. Melalui mitos kunang-kunang, Agus Noor menyampaikan pesan ceritanya. Dibalik mitos kunang-kunang tersebut terdaoat tiga kisah yang mereka percaya secara turun-temurun. Perumpumaan kunang-kunang ini menjadi cara untuk membangun sistem tanda dalam cerita sehingga menjadi simbolisme atas peristiwa sosial yang dirujuk oleh cerpen ini.

Dalam cerpen Requiem kunang-kunang ini Agus Noor memakai simbol-simbol latar, tokoh, dan cerita yang diharapkan mampu mengisahkan kembali kejadian atau peristiwa kerusuhan lintas agama yang bernuasa sara di Ambon, tanpa harus melukai atau mencoba memprovokasi orang yang telah menjadi korban kerusuhan itu. Dengan cara penyampaian menggunakan satire yang layaknya dongeng di negeri antah berantah. Maka Agus Noor memerlukan pengganti objek cerita tanpa harus menghilangkan keorisinilannya, yang kadang memerlukan catatan kaki. Ia memang memerlukan penjelasan-penjelasan itu dalam catatan kaki, dan tak bisa dimaknai dalam pemahaman estetika pembaca yang berasal dari masyarakat umum dan bukan dari lingkup kalangan sastra (sastrawan).

Latar dan tokoh dalam ketiga cerpen ini menukik ke dalam dunia batin kaum nasrani masyarakat Ambon, hingga melahirkan simbol yang khas. Latar dan alur dunia batin serupa ini, di tangan Agus Noor, hadir dalam narasi surealis yang berbahasa cukup liris.


(23)

B. Saran

Dari hasil analisis yang telah dilakukan pada bagian sebelumnya, maka penelitian ini menemukan usulan-usulan yang dapat diajukan sebagai saran. Adapun saran-saran yang diajukan sebagai berikut.

Pertama, hasil penelitian analisis makna kunang-kunang ini dapat dijadikan sebagai data pustaka acuan terhadap penelitian-penelitian serupa di masa depan, khususnya penelitian yang mengarah pada karya-karya Agus Noor dan juga penelitian yang erat kaitannya dengan makna kunang-kunang atau hewan lain.

Kedua, penelitian ini diharapkan dapat dikaji atau dianalisis dalam pemaknaan pada setiap kisah atau mitos yang coba dihadirkan pengarang dalam ketiga cerpen. Analisis bisa difokuskan pada pemecahan mitos yang disebarkan kepada masyarakat dan bagaimana kepercayaan masyarakat Indonesia menerima mitos mengenai kunang-kunang itu sendiri.


(24)

DAFTAR PUSTAKA

Aminudin. (2010). Pengantar apresiasi karya sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Luxemburg, Jan Van, dkk. (1992). Pengantar ilmu sastra. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Dick Hartoko. Jakarta: PT Gramedia.

Masinambow, E. K. M., dkk. (2001). Semiotik mengkaji tanda dalam artifak. Jakarta: Balai Pustaka.

Noor, Agus. (2010). Sepotong bibir paling indah di dunia. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.

Nurgiyantoro, Burhan. (2005). Sastra anak pengantar pemahaman duni anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko. (1999). Pengkajian puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Ratna, I Nyoman Kutha. (2010). Metodologi penelitian kajian budaya dan sosial humaniora pada umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Semi, M. Atar. (1993). Metode penelitian sastra. Bandung: Angkasa. Teuw, A. (2003). Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Todorov, Tzvetan. (1985). Tata sastra. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Okke K.S. Zaimar, dkk. Jakarta: Djambatan.

Wellek, Rene dan Austin Warren. (1989). Teori kesusasteraan. Jakarta: Gramedia.

Zaimar, Okke K. S. (2008). Semiotik dan penerapannya dalam karya sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Zoest, Aart Van, dkk. (1992). Serba-serbi semiotika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Zoest, Aart Van. (1993). Semiotika: tentang tanda, cara kerjannyadn apa yang kita lakukan dengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.


(1)

FANNY MARINI TIARA, 2015

MAKNA DARI SIMBOL KUNANG-KUNANG DALAM CERPEN-CERPEN KARYA AGUS NOOR : TINDAJUAN SEMIOTIKA

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

ditemukannya makna dari ketiga cerpen Agus Noor tersebut, yaitu dengan cara; studi pustaka, 1) melalui media buku-buku terkait sastra, semiotika, cerpen, Agus Noor, 2) penelitian-penelitian terdahulu yang relevan terkait penelitian yang menggunakan pisau analisis semiotika dan penelitian karya-karya Agus Noor, 3) Data-data tulisan dari internet atau yang telah didiskusikan pada sebuah komunitas.

F. Teknik Pengolahan Data

Penelitian ini menggunakan pendekatan semiotika. Adapun langkah-langkah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Menetapkan subjek penelitian, yaitu tiga cerpen Agus Noor yang memakai symbol kunang-kunang (“Serenade Kunang-kunang”, “Kunang-kunang di Langit Jakarta”, dan “Requiem Kunang-kunang”).

2. Membatasi masalah dengan memaparkan latar belakang, serta menentukan judul penelitian.

3. Memilih dan merumuskan masalah penelitian.

4. Menentukan tujuan dari penelitian, yaitu berangkat dari rumusan masalah yang telah dirumuskan.

5. Merumuskan kerangka teori. Dalam penelitian ini digunakan teori semiotika. 6. Menelusuri sumber-sumber kepustakaan atau mencari referensi terkait cerpen,

Agus Noor, semiotika, kunang-kunang, dan referensi lain yang sekiranya terkait dengan penelitian ini.

7. Menganalisis struktur teks ketiga cerpen melalui dua aspek menurut Todorov, yaitu aspek sintaksis (alur dan pengaluran) dan aspek semantik (tokoh dan latar). 8. Menjabarkan gagasan dan simbolisasi yang terdapat pada ketiga cerpen.

9. Memberikan interpretasi tentang symbol kunang-kunang dari hasil analisis struktur yang dilakukan.


(2)

FANNY MARINI TIARA, 2015

MAKNA DARI SIMBOL KUNANG-KUNANG DALAM CERPEN-CERPEN KARYA AGUS NOOR : TINDAJUAN SEMIOTIKA

G. Kerangka Pikiran

Teks cerpen Agus Noor terkait Kunang-kunang

“Serenade Kunang-kunang”, “Kunang-kunang di Langit Jakarta”, dan “Requiem Kunang-kunang”

TujuanPenelitian:

1. Mengetahui struktur cerpen “Serenade Kunang-kunang” (Kompas, 2008), “ Kunang-kunang di Langit Jakarta” (Kompas, 2011), dan “Requiem Kunang-kunang” (Kompas, 2012).

2. Mendeskripsikan makna kunang-kunang yang terkandung dalam ketiga cerpen yang dihadirkan pengarang. Menganalisis struktur cerpen Requeim Kunang-kunang dengan menggunakan teori struktur Todorov, yaitu mengkaji melalui aspek sintaksis (alur dan pengaluran), aspek semantik (tokoh dan latar), dan aspek verbal (tipe penceritaan).

Menganalisis struktur cerpen “ Kunang-kunang di Langit Jakarta” dengan menggunakan teori struktur Todorov, yaitu mengkaji melalui aspek sintaksis (alur dan pengaluran), aspek semantik (tokoh dan latar), dan aspek verbal (tipe penceritaan).

Menganalisis struktur cerpen “Serenade Kunang-kunang” dengan menggunakan teori struktur

Todorov, yaitu mengkaji melalui aspek sintaksis (alur dan pengaluran), aspek semantik (tokoh dan latar), dan aspek verbal (tipe penceritaan).

Mendeskripsikan representasi gagasan: uraian yang ada pada ketiga cerpen.

Mendeskripsikan representasi gagasan: simbolisasi yang ada pada ketiga cerpen.


(3)

FANNY MARINI TIARA, 2015

MAKNA DARI SIMBOL KUNANG-KUNANG DALAM CERPEN-CERPEN KARYA AGUS NOOR : TINDAJUAN SEMIOTIKA

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Setelah melakukan analisis struktur dan gagasan, didapat beberapa simpulan yang akan diuraikan sebagai berikut. Secara struktur, ketiga cerpen memiliki kesamaan dengan memiliki pengaluran yang linear, namun diselingin dengan ingatan kilas balik (satu peristiwa saja) dan sorot balik (beberapa peristiwa).

Pertama, pada cerpen Serenade Kunang-kunang memiliki 16 sekuen dan 7 fungsi utama. Semuanya secara utuh membentuk sebuah deskripsi mengenai kisah cinta tokoh aku pada seorang laki-laki yang telah mempunyai anak dan istri.

Kedua, pada cerpen Kunang-kunang di Langit Jakarta ditemukan 19 sekuen dan 14 fungsi utama. Cerpen Kunang-kunang di Langit Jakarta memang tidak secara eksplisit memberikan uraian tentang peristiwa yang disorot dalam alur cerita. Namun, ada beberapa pernyataan yang merujuk pada peristiwa yang dimaksud, yaitu kerusuhan Mei 1998.

Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan yang terjadi di Indonesia pada 13 Mei hingga 15 Mei 1998. Peristiwa ini terjadi serentak di beberapa kota di Indonesia. Namun konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Bandung, dan Surakarta. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti yang menewaskan empat orang mahasiswa Universitas Trisakti. Mereka tewas tertembak dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Pada peristiwa tersebut, para perusuh seolah tidak memiliki hati nurani. Selain melakukan penyiksaan dan perkosaan, mereka juga merusak, menjarah, bahkan membakar berbagai sarana pribadi dan publik dirusak.

Terakhir pada cerpen Requeim Kunang-kunang yang memiliki 16 sekuen dan 9 fungsi utama. Cerpen ini bercerita tentang konflik antar agama di Ambon yang difiksikan oleh Agus Noor. Pemfisikan ini menggunakan tokoh utama seekor kunang-kunang. Digunakannya tokoh kunang-kunang dalam cerpen ini sebagai simbol dalam


(4)

cerita agar gambaran masalah yang akan diungkapkan tidak menimbulkan provokasi karena masalah yang diungkit bersifat sensitif. Selain itu, dilihat dari sudut pandang penceritaan, cerpen ini menggunakan sudut pandang orang Nasrani. Melalui sudut pandang ini, Agus Noor ingin menunjukkan bahwa orang-orang yang menjadi korban konflik bukan hanya orang yang beragama Islam, mereka yang beragama Nasrani pun menjadi korban konflik Ambon tersebut. Melalui mitos kunang-kunang, Agus Noor menyampaikan pesan ceritanya. Dibalik mitos kunang-kunang tersebut terdaoat tiga kisah yang mereka percaya secara turun-temurun. Perumpumaan kunang-kunang ini menjadi cara untuk membangun sistem tanda dalam cerita sehingga menjadi simbolisme atas peristiwa sosial yang dirujuk oleh cerpen ini.

Dalam cerpen Requiem kunang-kunang ini Agus Noor memakai simbol-simbol latar, tokoh, dan cerita yang diharapkan mampu mengisahkan kembali kejadian atau peristiwa kerusuhan lintas agama yang bernuasa sara di Ambon, tanpa harus melukai atau mencoba memprovokasi orang yang telah menjadi korban kerusuhan itu. Dengan cara penyampaian menggunakan satire yang layaknya dongeng di negeri antah berantah. Maka Agus Noor memerlukan pengganti objek cerita tanpa harus menghilangkan keorisinilannya, yang kadang memerlukan catatan kaki. Ia memang memerlukan penjelasan-penjelasan itu dalam catatan kaki, dan tak bisa dimaknai dalam pemahaman estetika pembaca yang berasal dari masyarakat umum dan bukan dari lingkup kalangan sastra (sastrawan).

Latar dan tokoh dalam ketiga cerpen ini menukik ke dalam dunia batin kaum nasrani masyarakat Ambon, hingga melahirkan simbol yang khas. Latar dan alur dunia batin serupa ini, di tangan Agus Noor, hadir dalam narasi surealis yang berbahasa cukup liris.


(5)

FANNY MARINI TIARA, 2015

MAKNA DARI SIMBOL KUNANG-KUNANG DALAM CERPEN-CERPEN KARYA AGUS NOOR : TINDAJUAN SEMIOTIKA

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Dari hasil analisis yang telah dilakukan pada bagian sebelumnya, maka penelitian ini menemukan usulan-usulan yang dapat diajukan sebagai saran. Adapun saran-saran yang diajukan sebagai berikut.

Pertama, hasil penelitian analisis makna kunang-kunang ini dapat dijadikan sebagai data pustaka acuan terhadap penelitian-penelitian serupa di masa depan, khususnya penelitian yang mengarah pada karya-karya Agus Noor dan juga penelitian yang erat kaitannya dengan makna kunang-kunang atau hewan lain.

Kedua, penelitian ini diharapkan dapat dikaji atau dianalisis dalam pemaknaan pada setiap kisah atau mitos yang coba dihadirkan pengarang dalam ketiga cerpen. Analisis bisa difokuskan pada pemecahan mitos yang disebarkan kepada masyarakat dan bagaimana kepercayaan masyarakat Indonesia menerima mitos mengenai kunang-kunang itu sendiri.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Aminudin. (2010). Pengantar apresiasi karya sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Luxemburg, Jan Van, dkk. (1992). Pengantar ilmu sastra. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Dick Hartoko. Jakarta: PT Gramedia.

Masinambow, E. K. M., dkk. (2001). Semiotik mengkaji tanda dalam artifak. Jakarta: Balai Pustaka.

Noor, Agus. (2010). Sepotong bibir paling indah di dunia. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.

Nurgiyantoro, Burhan. (2005). Sastra anak pengantar pemahaman duni anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko. (1999). Pengkajian puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Ratna, I Nyoman Kutha. (2010). Metodologi penelitian kajian budaya dan sosial humaniora pada umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Semi, M. Atar. (1993). Metode penelitian sastra. Bandung: Angkasa. Teuw, A. (2003). Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Todorov, Tzvetan. (1985). Tata sastra. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Okke K.S. Zaimar, dkk. Jakarta: Djambatan.

Wellek, Rene dan Austin Warren. (1989). Teori kesusasteraan. Jakarta: Gramedia.

Zaimar, Okke K. S. (2008). Semiotik dan penerapannya dalam karya sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Zoest, Aart Van, dkk. (1992). Serba-serbi semiotika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Zoest, Aart Van. (1993). Semiotika: tentang tanda, cara kerjannyadn apa yang kita lakukan dengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.