Model Tata Spasial Hunian Masyarakat Bali Perkotaan.
Scanned by CamScanner
MODEL TATA SPASIAL HUNIAN MASYARAKAT
BALI PERKOTAAN
Ngakan Putu Sueca
PROGRAM STUDI ARSITKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS UDAYANA
29-30 Oktober 2015
Perkembangan proporsi penduduk
perdesaan dan perkotaan di
Indonesia
2025
2007
Pdd desa
Desa
Pdd kota
Kota
manusia:
homo urbanus
Kota kini menjadi MESIN KEHIDUPAN
• Semakin banyak orang mengandalkan hidup pada kota
• Kota menjadi sumber kemakmuran
• Kota pusat produksi
• Kota pusat pelayanan terbaik
• Kota pusat peradaban millennium ketiga
MASA DEPAN TERGANTUNG PADA BAGAIMANA
KITA MERANCANG DAN MENGELOLA KOTA KITA
Kehidupan kota memiliki ciri atau karakteristik
yang sangat berbeda dengan kehidupan perdesaan
jaman dulu
Rumah: sangat penting bagi siapa pun
Tempat
berlindung
Membesarkan
dan mengasuh anak
Mengembangkan
Membina
kehidupan sosial
Menjalankan
kegiatan ekonomi
Melaksanakan
kegiatan adat istiadat
Mempertahankan
FUNGSI
budaya
tradisi
KOMPLEKS
Telah terjadi TRANSFORMASI KULTURAL
pada masyarakat Bali pada umumnya,
dari budaya agraris ke budaya industri
dan jasa; dari budaya desa ke budaya
kota
Akibatnya terjadi fenomena:
Transformasi
Perombakan
pada rumah tradisional
pada perumahan masal
Oleh karena itu: tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui:
1. Transformasi hunian tradisional yang terjadi di daerah perkotaan
2. Pola-pola aktivitas dan keruangan hunian masyarakat di daerah perkotaan
3. Pola spasial rumah masyarakat di daerah perkotaan
4. Unsur-unsur atau pola/nilai tradisi lama yang masih bertahan dalam hunian saat ini
5. Pola-pola spasial baru yang muncul
Dengan pemahaman ini maka diharapkan akan
konsep keruangan hunian
modern masyarakat perkotaan
sebagai dasar pengembangan rumah
yang berwawasan budaya Bali, baik oleh
dapat ditemukan
para arsitek, pengembang perumahan, pemerintah,
dan para pemangku kepentingan lainnya sehingga
efisiensi pembangunan dapat dicapai
HASIL DAN BAHASAN
KONTEKS KEKOTAAN:
Karakteristik masyarakat perkotaan
masyarakat di daerah perdesaan
Profesi: non
berbeda dengan
pertanian
Kepadatan penduduk lebih tinggi, juga kepadatan
bangunannya
Harga lahan jauh lebih mahal
Relatif lebih panas akibat daerah penghijauan yang kurang
Secara sosiologis, lebih individual, solidaritas komunal
berkurang.
Nilai-nilai ekonomi lebih tinggi
HASIL DAN BAHASAN
POLA-POLA AKTIVITAS DAN KERUANGAN HUNIAN
AKTIVITAS DOMESTIK:
Aktivitas domestik masyarakat perkotaan dan perdesaan tidak terlalu banyak
Perbedaan yang ada adalah pada jenis, intensitas,
proporsi kegiatan
berbeda.
Aktivitas
domestik
seperti: memasak, beristirahat, mencuci, bekerja,
belajar, bersenda gurau, membersihkan rumah, berkebun, menerima tamu,
berekreasi, menyimpan, mandi dan membersihkan diri, dan berbagai kegiatan
sejenis lainnya
Rumah
menyediakan ruang bagi aktivitas yang dulu disediakan
lingkungan tradisional
HASIL DAN BAHASAN
POLA-POLA AKTIVITAS DAN KERUANGAN HUNIAN
AKTIVITAS RITUAL:
Secara umum, aktivitas ritual tidak terlalu banyak
mengalami perubahan dan tidak pula berpengaruh penting terhadap
tatanan spasial rumah. Hal ini telah menjadi temuan umum bahwa hal-hal yang
terkait dengan nilai religiusitas dan kegiatan keagamaan paling sedikit mengalami
perubahan dibandingkan dengan unsur-unsur kebudayaan lainnya.
Menghaturkan sodan (ritual harian setelah selesai memasak)
Melaksanakan panca yadnya seperti sembahyang setiap hari, pada saat
hari-hari tertentu (purnama, tilem, tanggalan kliwon, dll.)
Melaksanakan butha yadnya seperti halnya (mecaru)
Melaksanakan manusa yadnya (upacara pernikahan, potong gigi, tiga bulanan, 42
hari, menek kelih, ngaben)
HASIL DAN BAHASAN
POLA-POLA AKTIVITAS DAN KERUANGAN HUNIAN
AKTIVITAS EKONOMI:
Perubahan
Lebih
mendasar pada seting tradisional
dominan
Menggunakan
dibandingkan dengan di daerah perdesaan.
area telajakan
atau area yang berorientasi ke
jalan raya. Akses terhadap promosi dan pelanggan menjadi alasan mengapa area ini
mengalami transformasi yang signifikan.
Juga
area yang lebih dalam
dari rumah tradisional juga
bertransformasi menjadi tempat atau ruang untuk melaksanakan kegiatan ekonomi
HASIL DAN BAHASAN
POLA SPASIAL RUMAH MASYARAKAT DI DAERAH URBAN
SETING SOSIAL KULTURAL MENJADI TEMPAT PRODUKSI
Dulu sawah dan ladang merupakan lahan untuk berproduksi
Dulu rumah merupakan seting sosial dan kultural
KINI
Ketika masyarakat memiliki profesi yang beragam dan ganda, sawah dan ladang bukan lagi
sebagai tempat utama untuk berproduksi.
Rumah juga merupakan tempat
produksi
Kini rumah sebagai
tempat bereproduksi dan produksi
Bagian-bagian yang dapat dijadikan tempat produksi dapat saja bagian depan rumah, belakang
rumah, atau bagian tengah (inti) rumah.
HASIL DAN BAHASAN
HILANGNYA TEBA/KEBUN BELAKANG RUMAH
Teba
Teba
atau kebun/ladang yang memiliki banyak fungsi pada rumah tradisional .
menghilang terutama karena kebutuhan ruang yang meningkat
baik karena perkembangan demografi keluarga maupun karena alasan lainnya.
Beralih
fungsi menjadi ruang untuk melakukan kegiatan, baik domestik,
ekonomi, sosial maupun kegiatan lainnya sesuai dengan kebutuhan dan keinginan
penghuni
HASIL DAN BAHASAN
DEPAN DAN BELAKANG RUMAH
Tatanan spasial tradisional:
Fenomena
nilai sakral profan
baru
antara lain adalah: depan belakang; bersih kotor, atas
bawah, publik privat, disamping tatanan tradisional tetap bertahan seperti hulu
teben, sakral dan profan
indikator seperti: penempatan ruang; jenis
dan sifat kegiatan; peralatan dan
perlengkapan
Berbagai
depan adalah yang bersifat: “bersih”, bernilai, suci, utama
belakang adalah yang kotor, kurang bernilai
HASIL DAN BAHASAN
HULU DAN TEBEN/SAKRAL DAN PROFAN
Ruang
tidak netral terkait dengan nilai-nilai kepercayaan dan
Kiblat
masih tetap dipertahankan
keyakinan
tersisa: hulu teben.
Variasi nilai muncul: perbedaan persepsi dan cara pandang
Penempatan ruang-ruang suci untuk tempat bersembahyang
Nilai tradisi masih
keluarga sepertinya merupakan harga mati yang sulit ditawar. Tetap ada patokan
kemana arah yang dianggap suci yakni ke arah matahari terbit (timur/kangin) dan
ke arah ketinggian/gunung (kaja).
HASIL DAN BAHASAN
BERSIH DAN KOTOR
Selaras
dengan fenomena depan belakang. Depan
berarti bersih dan belakang identik dengan kotor. Namun demikian, tidak
jarang dijumpai bahwa dibagian depan rumah terdapat indikatorindokator kekotoran seperti jemuran, garasi, gudang, tempat sampah,
Umumnya pada lahan-lahan sempit dimana arah depan memberikan
keleluasaan untuk mendapatkan sinar matahari untuk mengeringkan
pakaian yang dicuci. Tiada pilihan lain karena lahan penuh terbangun
dimanfaatkan untuk mendapatkan ruang bangunan yang tertutup
Umumnya ruang terbuka atau natah tersisa di bagian depan rumah
HASIL DAN BAHASAN
ATAS DAN BAWAH
Vertikalitas telah menjadi fenomena penting dalam era kota
Tanah
mahal, langka dan makin terbatas
Berbanding terbalik dengan jumlah manusia penghuninya
Pengembangan tanah ke samping sangat tidak mungkin, oleh karena itu,
kekurangan atas tempat dilakukan ke arah atas, vertikal
Dengan demikian muncul paradigma baru dalam membangun ke arah
vertikal yang memunculkan
multi interpretasi
HASIL DAN BAHASAN
POLA SPASIAL RUMAH MASYARAKAT DI DAERAH URBAN
PUBLIK DAN PRIVAT
Rumah
sebagai area privat seringkali menjadi
area publik dimana setiap orang memiliki akses untuk
menggunakannya.
Kebutuhan
privasi
bagi masyarakat kini di daerah perkotaan
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kenyataan pada rumah tradisional.
Berbanding
lurus dengan status sosial
HASIL DAN BAHASAN
POLA SPASIAL RUMAH MASYARAKAT DI DAERAH URBAN
NILAI KOMODITAS
Rumah
dulu sakral
Kini, tanah dan rumah yang ada didalamnya merupakan
dagangan
tidak dapat diperjualbelikan
barang
yang dapat diperjualbelikan, memiliki nilai ekonomi
Ada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa tanah yang mereka
tempati adalah tanah ulayat milik desa yang sewaktu-waktu karena
keadaan tertentu dapat diambil kembali atau dikembalikan kepada desa
sebagai pemilik.
HASIL DAN BAHASAN
POLA SPASIAL RUMAH MASYARAKAT DI DAERAH URBAN
NATAH
natah sampai saat ini masih sebagai
ruang yang sangat
esensial, baik yang bermakna spiritual maupun profan.
Ruang ini masih memiliki fungsi terutama dalam kaitannya untuk
mewadahi kegiatan-kegiatan ritual keagamaan.
Hal ini menjadi fakta, baik pada rumah tradisional yang sudah
berkembang maupun pada rumah baru di perkotaan.
HASIL DAN BAHASAN
SINGLE TO MULTI FAMILY HOUSE
Dulu, setiap
Kini, cara
Rumah: lebih dari satu keluarga inti (extended
Bangunan ada yang masih berupa bale dengan fungsi khusus seperti bale
dangin atau bale daja, jineng/kelumpu, dsb.
keluarga
tinggal dalam satu petak pekarangan
bermukim berubah
family)
Kini juga bale atau bangunan dapat terdiri dari beberapa ruangan dengan
berbagai fungsi yang diwadahi
Rumah kini dapat terdiri dari beberapa bale atau bangunan, dengan satu atau
banyak ruangan, dengan satu atau beberapa fungsi yang diwadahi, dihuni oleh
satu atau lebih keluarga
Kesimpulan
Budaya bermukim berubah dan akan terus
berkembang
Rumah dari seting kultural dan tempat reproduksi
menjadi tempat produksi
Nilai komoditas melekat pada rumah di kota
Terjadi densifikasi dan efisiensi penggunaan lahan
Keragaman penafsiran terhadap apa yang benar
dan baik
Orientasi dan hirarkhi ruang baru
Suksma, terima kasih
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015
SEMINAR NASIONAL
DAN TEKNOLOGI
Kuta, 29 - 30 Oktober 2015
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN
KEPADA MASYARAKAT
UNIVERSITAS UDAYANA
UDAYANA UNIVERSITY PRESS
2015
Kuta, 29-30 Oktober 2015 | iii
SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015
SEMINAR NASIONAL SAINS
DAN TEKNOLOGI 2015
Kuta, 29 - 30 Oktober 2015
Ni Made Ary Esta Dewi Wirastuti, S.T., MSc. PhD
Prof. Dr. Drs. IB Putra Yadnya, M.A.
Prof. Dr. Ir. I Gede Mahardika, M.S.
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH., MHum., LLM.
Prof. Dr. drh. I Nyoman Suarsana, M.Si
Prof. Dr. Ir. I Gede Rai Maya Temaja, M.P.
Ir. Ida Ayu Astarini, M.Sc., Ph.D
Prof. Dr. Ir. Nyoman Gde Antara, M.Eng
Dra. Ni Luh Watiniasih, MSc, Ph.D
Prof. Dr. drh. Ni Ketut Suwiti, M.Kes.
Prof. Dr. Ir. I Made Alit Karyawan Salain, DEA.
Ir. I Nengah Sujaya, M.Agr.Sc., Ph.D.
Ir. Ida Bagus Wayan Gunam, MP, Ph.D
dr. Ni Nengah Dwi Fatmawati, SpMK, Ph.D
Dr. Agoes Ganesha Rahyuda, S.E., M.T.
Putu Alit Suthanaya, S.T., M.Eng.Sc, Ph.D.
I Putu Sudiarta, SP., M.Si., Ph.D.
Dr. Ir. Yohanes Setiyo, M.P.
Dr. P. Andreas Noak, SH, M.Si
I Wayan Gede Astawa Karang, SSi, MSi, PhD.
Dr. Drh. I Nyoman Suarta, M.Si
l
Udayana University Press,
Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Kepada Masyarakat Universitas Udayana
2015, xli + 2191 hal, 21 x 29,7
iv | Kuta, 29-30 Oktober 2015
SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015
Kuta, 29-30 Oktober 2015 | v
SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015
KATA PENGANTAR
S
eminar Nasional Sains dan Teknologi (SENASTEK), merupakan agenda tahunan Lembaga
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Udayana, dan tahun 2015 merupakan
penyelenggaraan SENASTEK yang ke II dalam upaya menyebarluaskan hasil-hasil penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat. Seminar ini merupakan sarana komunikasi bagi para peneliti dan pengabdi
dari perguruan tinggi, institusi pendidikan, lembaga penelitian maupun industri guna mempercepat
pengembangan sains dan teknologi.
Berbeda dengan Senastek sebelumnya, Senastek II tahun ini selain mendesiminasikan hasil
penelitian, juga mendesiminasikan hasil Pengabdian Kepada Masyarakat. Pengabdian kepada masyarakat
merupakan kegiatan sivitas akademika dalam mengamalkan dan membudayakan sains dan teknologi untuk
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, yang mana hasil-hasilnya nyata
dapat dirasakan oleh masyarakat dan menjadi tolok ukur sejauh mana hasil-hasil penelitian dapat diabdikan
untuk memaslahatan masyarakat banyak.
Senastek II, tahun 2015 diselenggarakan dalam kaitan dengan ulang tahun ke 53 Universitas Udayana
dan dalam rangka desiminasi hasil-hasil penelitian peneliti dari berbagai Perguruan Tinggi termasuk
Unud, Lembaga Penelitian, dll. Tema Senastek II adalah “Inovasi Humaniora, Sains dan Teknologi untuk
Pembangunan Berkelanjutan” dengan tujuan penyebarluasan informasi hasil penelitian dan pengabdian,
Ajang pertemuan ilmiah para peneliti dan pengabdi yang bergerak di bidang sains dan teknologi, dan
Sarana tukar informasi bagi para peneliti dan pengabdi dalam rangka pengembangan sains dan teknologi
ke depan. Topik Makalah meliputi: Bidang Humaniora, Ketahanan PanganKesehatan dan Obat-obatan,
Energi baru dan terbarukan Transportasi dan manufaktur, Informasi dan Komunikasi Pertahanan dan
keamanan, ketertiban dan kebencanaan, Biodiversitas, lingkungan dan , sumberdaya alam
Kegiatan Seminar ini diharapkan dapat mendorong terjadinya pertukaran informasi, pengetahuan,
dan pengalaman dalam penerapan sains dan teknologi untuk pemecahan permasalahan di masyarakat, serta
kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan publikasi hasil penelitian dan pengabdian; dan kerjasama
antar peneliti; antar Perguruan Tinggi dan Lembaga-lembaga penelitian di Indonesia.
Denpasar, Desember 2015
Panitia
Kuta, 29-30 Oktober 2015 | vii
SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................................................. vii
SAMBUTAN KETUA PANITIA............................................................................................................ ix
SAMBUTAN KETUA LPPM UNIVERSITAS UDAYANA ................................................................ xi
HUMANIORA
NILAI LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN
DAN PENGEMBANGAN HUKUM
Fenty U. Puluhulawa, Nirwan Yunus ..........................................................................................................3
KEBIJAKAN LOKAL DAN ETNISITAS MENUJU
INTEGRASI KELOMPOK ETNIS
DI KABUPATEN POHUWATO
Wantu Sastro ...............................................................................................................................................8
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEBERHASILAN IMPLEMENTASI EKONOMI
HIJAU DALAM RESTORASI DAN KONSERVASI TERUMBU KARANG DI PEMUTERAN BALI
SEBAGAI DAYA TARIK EKOWISATA
I Ketut Surya Diarta, I Gede Setiawan Adi Putra ....................................................................................13
KEMAMPUAN BAHASA BALI GENERASI MUDA BALI DI UBUD GIANYAR BALI
Ni Luh Nyoman Seri Malini, Luh Putu Laksminy, I Ketut Ngurah Sulibra .............................................21
INTENSITAS KAPITAL INDUSTRI DAN DINAMISME KEUNGGULAN
KOMPARATIF PRODUK EKSPOR INDONESIA
Ni Putu Wiwin Setyari ..............................................................................................................................29
MODEL ESTIMASI KINERJA KEUANGAN BERDASARKAN FAKTOR-FAKTOR
INTERNAL UKM DI KABUPATEN BANDUNG
Rivan Sutrisno, Mardha Tri Meilani ..........................................................................................................38
KAMUS PRIMITIVA SEMANTIK BALI-INDONESIA-INGGRIS BIDANG ADAT DAN AGAMA
Dr. I Made Netra, S.S., M.Hum, Drs. I Nyoman Udayana, M.Litt., Ph.D,
Dr. Drs. I wayan Suardiana, M.Hum, Drs. I Ketut Ngurah Sulibra, M.Hum.,
Dr. Drs. Frans I Made Brata, M.Hum .......................................................................................................46
MODEL KONFIGURASI MAKNA TEKS CERITA RAKYAT TENTANG PRAKTIK-PRAKTIK
BUDAYA RANAH AGAMA DAN ADAT
UNTUK MEMPERKOKOH JATI DIRI MASYARAKAT BALI
Dr. Dra. Ni Ketut Ratna Erawati, M.Hum, Dr. I Made Netra, S.S., M.Hum,
Dr. Frans I Made Brata, M.Hum, Prof. Dr. I Made Suastika, S.U ............................................................ 54
Kuta, 29-30 Oktober 2015 | xiii
SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015
MODEL KEKUTAN KERJA SAMA PEMERINTAH-MASYARAKAT
PADA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR PARIWISATA DI BALI
Ida Bagus Putu Adnyana ...................................................................................................................... 1868
PENGUJIAN PEMANFAATAN MIKROKONTROLER SEBAGAI
PENGENDALI PENGAMAN MOTOR INDUKSI TIGA FASA
TERHADAP OVERLOAD
I Gst. Agung Putu Raka Agung , I Gst Agung K. Diafari Djuni H ....................................................... 1876
PENATARAN PEKERJA ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI
DI DESA PAKRAMAN BEDHA KABUPATEN TABANAN
A.
A. Ayu Oka Saraswati , I Wayan Kastawan Widiastuti Evert Edward Moniaga ........................1882
EVALUASI PENENTUAN KAPASITAS CB (CIRCUIT BREAKER) BERKAITAN
DENGAN AKAN DIOPERASIKANNYA SUTET 500 KV (2.450 MW)
(JAWA BALI CROSSING) SEGARARUPEK – GILIMANUK - NEWANTOSARI
PADA SISTEM KELISTRIKAN 150 KV BALI TAHUN 2017
Y P Sudarmojo, A I Weking ..................................................................................................................1889
DAMPAK ELECTRONIC WORD OF MOUTH:
ADOPSI OPINI ONLINE PADA KOMUNITAS ONLINE KONSUMEN
A.A.G Agung Artha Kusuma, Ni Made Wulandari Kusumadewi ........................................................1896
BIODIVERSITY LINGKUNGAN,
SUMBERDAYA ALAM
PENGARUH KONSENTRASI LOGAM KROM (Cr)
PADA PROSES FITOREMEDIASI TANAMAN AKAR WANGI
Achmad Zubair1), Mary Selintung2), Lawalenna Samang3), Hanapi Usman .........................................1907
KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN DI LAHAN REHABILITASI BEKAS TAMBANG
BATUBARA DI PT SINGLURUS PRATAMA
Ishak Yassir, Burhanuddin Adman, Syamsu Eka Rinaldi .....................................................................1915
PERBANYAKAN VEGETATIF ANGGREK DENDROBIUM ‘SONIA’
MENGGUNAKAN BATANG DEWASA PADA MEDIA YANG BERBEDA
Ida Ayu Astarini1),
.....................................................................................................1923
SINTESIS DAN KARAKTERISASI ION IMPRINTED POLYMERS (IIPs)
1)
1) Deana Wahyuningrum .........................................................1929
SINTESIS DAN KARAKTERISASI KARBON AKTIF
TERMODIFIKASI ERIOCHROME BLUE BLACK DARI BIJI PEPAYA
Widya Wigati1)
1) Henry Setiyanto ................................................................1933
xxxviii | Kuta, 29-30 Oktober 2015
SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA AKTIF EKSTRAK DAUN KAYU MANIS
(CINNAMOMUM BURMANNI BLUME) DAN UJI EFEKTIVITASNYA DALAM MENGENDALIKAN
JAMUR FUSARIUM OXYSPORUM FORMA SPECIALIS LYCOPERSICI PENYEBAB PENYAKIT
LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN TOMAT SECARA IN VITRO
Anak Agung Ketut Darmadi .................................................................................................................2025
GASIFIKASI BIOMASA DAN LIMBAH PADAT SISTEM SIRKULASI FLUIDIZED BED
I Nyoman Suprapta Winaya, Rukmi Sari Hartati, I Wayan Gede Ariastina .........................................2033
STRATEGI PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN
MELALUI ZONING MAP DAN ZONING TEKS
Indayati Lanya , N.Netera. Subadiyasa, Ketut Sardiana, dan G.P. Ratna Adi .....................................2039
PENINGKATAN PRODUKSI, MUTU, DAN PENDAPATAN USAHATANI
TANAMAN BUNGA GUMITIR MELALUI PEMUPUKAN MINERAL
N. Netera Subadiyasa, dan Indayati Lanya .......................................................................................2047
KEMAMPUAN DEGRADASI LIGNOSELULOSA DARI KONSORSIUM
BAKTERI RUMEN SAPI BALI DAN RAYAP
IB. G. Partama, I M. Mudita, I G. L. O. Cakra, I W. Wirawan .............................................................2055
MODEL TATA SPASIAL HUNIAN MASYARAKAT BALI PERKOTAAN
Ngakan Putu Sueca ...............................................................................................................................2062
PENGEMBANGAN GELLING AGENT ALAMI DARI DAUN GALING-GALING (CAYRATIA
TRIFOLIA L.) YANG MEMENUHI UJI KARAKTERISTIK FARMASETIS
I G.N.A. Dewantara Putra, I G.N. Jemmy A. Prasetia ..........................................................................2070
HIDROLISA DENGAN ASAM DAN ENZIM DALAM PROSES KONVERSI ULVA LACTUCA
MENJADI ETANOL
Tri Poespowati1, Ali Mahmudi Rini Kartika Dewi ...............................................................................2077
EVALUASI PENGGUNAAN TEMPAT PEMELIHARAAN
(KONTAINER PLASTIK DAN JARING) UNTUK PENELTIAN RESPON
FEEDING ABALON TERHADAP PAKAN SEGAR ALGA MAKRO.
Deny S. Yusup .......................................................................................................................................2085
PROPAGASI CENDAWAN ENDOMIKORIZA GLOMUS, GIGASPORA DAN ACAULOSPORA
PADA JENIS TANAH YANG BERBEDA
Meitini W. Proborini .............................................................................................................................2089
VARIASI JENIS DIATOM DI DANAU TAMBLINGAN UNTUK KEPENTINGAN FORENSIK
SEBAGAI INDIKATOR KEMATIAN AKIBAT TENGGELAM
Ni Made Suartini, I Ketut Junitha, Pararya Suryadipura, Ni Luh Watiniasihj ......................................2094
PERUBAHAN LUAS AREAL MANGROVE DI TAHURA
NGURAH RAI DARI DATA LANDSAT
I.W.Gede Astawa Karang, Abd. Rahman As-syakur, Elok Faiqoh dan I. G. B. Sila Dharma ..............2100
xl | Kuta, 29-30 Oktober 2015
SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015
Kuta, 29-30 Oktober 2015 | 1905
SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015
MODEL TATA SPASIAL HUNIAN MASYARAKAT BALI PERKOTAAN
Ngakan Putu Sueca 1)
1
Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran Bali
Telp/Fax : 0361 703384, E-mail : ngakansueca@yahoo.co.uk
ABSTRAK
Rumah merupakan satu dari kebutuhan dasar manusia sebagai tempat mengasuh keluarga, mengembangkan diri
dan berpartisipasi menuju peningkatan kehidupan dan peradaban. Tetapi banyak masyarakat yang belum memiliki
rumah yang sesuai dengan budayanya. Dan konsep hunian daerah perkotaan di Bali jarang mendapat perhatian
peneliti. Padahal, lebih dari separuh masyarakat Bali kini hidup di daerah perkotaan. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mendapatkan potret transformasi budaya hunian dari konsep hunian tradisional ke konsep hunian
modern sekarang ini, khususnya masalah keruangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan yang dilakukan di dalam rumah bukan hanya kegiatan yang bersifat
domestik melainkan kegiatan produksi. Fungsi rumah telah berkembang menjadi aset untuk melaksanakan kegiatan
ekonomi sebagai sumber pendapatan keluarga. Fungsi domestik juga berkembang terutama terkait dengan
perkembangan teknologi. Sedangkan fungsi sosial dan ritual hampir semuanya tetap bertahan.
Pada aspek ruang, ditemukan adanya tata ruang yang cukup bervariasi. Jika pada masyarakat tradisional, tata ruang
lebih banyak terkait dengan kepercayaan dan keyakinan yang didasari ajaran Hindu. Namun nilai-nilai kekinian
banyak dipengaruhi nilai modernitas, situasi dan kondisi serta pragmatisme. Nilai sakral profan merupakan rujukan
utama masyarakat tradisional. Namun kini muncul tata nilai ruang baru seperti depan belakang, bersih kotor, publik
privat, atas bawah. Secara prinsipil, tatanan sakral profan tetap dipertahankan sebagai nilai utama untuk menata
ruang didalam rumah namun disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada pada tiap-tiap rumah dan keluarga.
ABSTRACT
House is one of the essential human needs as place for upbringing family, self development and participate towards
life and civilization enhancement. Unfortunately, many people have no house which suitable for their culture.
Furthermore, dwelling concept for urban areas in Bali is being less researcher’s concern. On the other hand, more
than a half of Balinese currently living in urban areas. Goals of this study is to explain cultural transformation of
traditional dwelling concept into modern dwelling concept focusing on spatial issues.
Research results show that activities being hold in the house are not only domestic activities but also production
activities. Function of the house is becoming as asset for doing economic activities for getting family income. Domectic
funtcion is also evolving especially related to technology development. Furthermore social and ritual functions are
almost constant.
On the aspect of spatial, it is found variety of spatial orders. In the traditional society, spatial order is merely related
D? D85 B5 1>4 25 9>4E 4?3DB9>5 ?G5F5B 3EBB5>D >?B=C 1B5 =5B5NE5>354 2I
modernity, situation, context and pragmatism. Sacred profane norm is essential traditional community reference. But
today there is new spatial order such as front back, clean dirty, public private, up down. Principally, sacred profane
continuum is still conserved as an essential norms to arrange space in the house but it is adjusted to situation and
existing context of each house and family.
Kata kunci: spasial, rumah, perkotaan, transformasi
PENDAHULUAN
Rumah menjadi satu dari kebutuhan dasar manusia untuk dapat hidup sesuai dengan harkat
dan martabatnya. Rumah menjadi unit terkecil yang diperlukan keluarga didalam mengasuh keluarga,
mengembangkan diri dan berpartisipasi didalam membangun masyarakat dan bangsa menuju pada
peningkatan hidup, kehidupan dan peradaban manusia. Dengan hunian yang baik yang sesuai dengan
kebutuhan fungsi, sosial dan kultural, manusia dapat secara optimal melakukan tugas-tugas individual dan
kemasyarakatan. Oleh karena itu, rumah merupakan sesuatu yang amat penting bagi manusia, baik yang
tinggal di daerah perdesaan maupun di perkotaan. Akan tetapi banyak masyarakat yang belum memiliki
rumah yang sesuai dengan tuntutan budayanya. Bahkan, masih banyak yang belum memiliki rumah
terutama masyarakat di daerah perkotaan.
2062 | Kuta, 29-30 Oktober 2015
SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015
Kota saat ini telah menjadi ruang bagi kehidupan mayoritas penduduk di seluruh dunia dimana
lebih dari 50% penduduk tinggal di daerah perkotaan, termasuk di Bali. Akan tetapi, kota belum mampu
menyediakan ruang hidup yang ideal bagi warganya, salah satu masalah adalah belum tersedianya ruang
hunian yang sesuai dengan akar budaya penghuni. Hal ini antara lain disebabkan telah terjadinya transformasi
budaya pada masyarakat di satu sisi. Pada sisi yang lain, hunian tradisional tidak dapat mewadahi tuntutantuntutan modern warga. Demikian pula hunian-hunian yang dibangun oleh pengembang telah banyak
6;?A6;V=3E; 6;4A@9=3D 43:=3@ 6;DG4G:=3@ A>7: B7?;>;=@K3 =3D7@3 6;3@993B =GD3@9 3F3G F;63= E7EG3;
dengan kebutuhan dan nilai-nilai yang diyakininya. Jika pembongkaran-pembongkaran, perbaikanperbaikan ini dihitung dengan uang, sesungguhnya terlalu besar investasi sia-sia yang dihamburkan untuk
itu. Ratusa milyar rupiah setiap tahun mungkin habis sia-sia hanya untuk membongkar rumah yang telah
dibangun untuk menyesuaikan kebutuhan pemilik. Padahal, jika rumah-rumah itu dibangun sesuai dengan
kebutuhan pemilik maka pemborosan itu dapat dihindari.
Biaya untuk pembongkaran, perbaikan, perubahan itu sesungguhnya dapat dialokasikan untuk
kebutuhan lain yang amat bermanfaat bagi warga. Oleh karena itu, memahami konsep keruangan hunian
modern masyarakat perkotaan di Bali sangatlah penting, baik secara sosial, kultural, fungsional, dan
ekonomi. Dengan demikian diharapkan bahwa temuan dari penelitian ini akan dapat dijadikan dasar oleh
para arsitek, pengembang perumahan dan pengambil kebijakan dibidang perumahan perkotaan untuk
merancang tempat hunian yang berlandaskan budaya masyarakat. Hal ini akan dapat menghindarkan
masyarakat terhadap pemborosan yang tidak perlu didalam mewujudkan harapan untuk memiliki tempat
hunian yang diinginkan.
Disamping itu, terdapat suatu kesenjangan informasi ataupun teori/konsep tentang arsitektur Bali,
khususnya antara informasi yang tersedia tentang arsitektur tradisional Bali (ATB) dengan arsitektur
modern khususnya untuk daerah perkotaan. Para peneliti selama ini terlalu banyak memfokuskan pada
kajian arsitektur tradisional di daerah perdesaan (lihat Gelebet, 1978; Salija, 1975; Fakultas Teknik Unud,
1981; 1982; Runa, 1993; 2004; Paturusi, 1988; Acwin, 2008a; 2008b) dan masih banyak kajian lain yang
mungkin ditemui, baik kajian dari perspektif ilmu arsitektur maupun disiplin ilmu lain. Informasi tentang
kebudayaan (tradisional) di Bali sangat berlimpah. Hal ini sangat kontras dengan kajian tentang arsitektur
rumah perkotaan yang dilakukan para peneliti. Dapat dikatakan bahwa kajian ini masih sangat minim,
padahal permasalahan krusial saat ini maupun di masa mendatang adalah pada daerah urban/perkotaan,
baik menyangkut masalah lingkungan, sosial, budaya, politik, transportasi, kriminalitas, perumahan, dan
sebagainya. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan dalam berbagai publikasinya bahwa umat
manusia menuju pada suatu dunia yang semakin mengkota (urbanizing world) (lihat UNCHS 1996; 2001;
UN Habitat 2008; Sueca 2009).
Sesungguhnya ada beberapa kajian yang telah dilakukan tetapi masih bersifat sangat parsial, baik
menyangkut substansi, lokasi mapupun perspektif kajian. Meganada (1990) misalnya melakukan kajian
terhadap perumahan KPR/BTN di Suwung Kangin, kota Denpasar. Kajian ini menghasilkan suatu informasi
awal tentang adaptasi spasial yang dilakukan warga Bali terhadap rumah yang ditempati, namun bukan
dalam konteks kajian masyarakat urban. Demikian pula Sueca (1997) telah melakukan suatu studi perubahan
pola spasial pada rumah tradisional di Desa Kesiman Kota Denpasar. Kajian awal ini menghasilkan suatu
informasi dasar tentang bagaimana dan mengapa masyarakat Bali melakukan transformasi pada rumah
FD36;E;A@3> ?7D7=3 +G753 3=G=3@ =3; ;:3D3B=3@43:I33=3@63B3F6;;67@F;V=3E;BA>3BA>33=F;H;F3E63@=7DG3@93@?3EK3D3=3FBA>3
spasial rumah masyarakat di daerah urban, serta unsur-unsur yang tetap dan berubah.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini akan dilakukan di daerah perkotaan di Bali dengan mengambil kasus wilayah Kota
Denpasar. Pemilihan Denpasar sebagai kasus didasarkan pada beberapa pertimbangan, yakni Denpasar kota
B3>;@9?A67D@6;637D3:;@;3=E7EB7@7>;F;E753D397A9D3VI3=FG63@3=E7E;@8AD?3E;B3>;@9?7?G63:=3@
untuk melakukan penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif mengingat
aspek kultur yang sangat kental dalam tata ruang hunian di Bali (lihat Lincoln & Guba, 1985; Moeleong,
1994; Muhadjir, 1992; Mulyana, 2008; Sugiyono, 2009a, 2009b; Bungin, 2009). Kasus penelitian dipilih
menggunakan pendekatan snowball dimana data dikumpulkan menggunakan berbagai teknik seperti
observasi, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi.
3F3 BD;?7D ?7@K3@9=GF 63F363F3 F7D=3;F 67@93@ 63F3 B7@9:G@; 63F3 VE;= DG?3: 43;= DG?3:
tinggal tradisional maupun rumah tinggal kekinian. Aspek-aspek yang akan dikaji antara lain adalah pola
aktivitas (domestik, sosial, kultural), fungsi rumah (hunian, ekonomi, sosial, kultural, simbolik), jenis
ruang, nilai ruang, orientasi ruang, sistem nilai yang dianut penghuni, pola pemanfaatan ruang, ukuran dan
luasan ruang serta ukuran dan luasan rumah, jumlah ruang, jenis pemanfaatan ruang, dsb. Data dianalisis
terutama menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik ini digunakan untuk menganalisis pola-pola, maknamakna keruangan yang terjadi serta perubahan atau transformasi yang terjadi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Transformasi Hunian Tradisional Di Daerah Perkotaan
Hunian tradisional Bali telah lama menjadi daya tarik para peneliti arsitektur terutama terkait
dengan perubahan yang terjadi, baik akibat internal ataupun eksternal. Namun penelitian tentang fenomena
hunian tradisional di daerah perkotaan masih relatif sedikit. Meskipun ada beberapa, itu pun masih pada
tingkat eksplorasi. Seperti telah ditulis banyak orang, masyarakat Bali yang sangat kental unsur budayanya
memiliki hunian yang mengandung makna-makna mendalam. Dari segi teknis tidak terlalu banyak yang
spesial karena unit-unit ruang serta bangunannya relatif kecil dan sederhana. Namun tatanan nilai yang
terkandung didalamnya sangatlah khas.
Masyarakat perkotaan memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan masyarakat di
637D3:B7D67E33@ +753D3VE;=>;@9=G@93@B7D=AF33@57@67DG@9?7?;>;=;=7B363F3@B7@6G6G=>74;:F;@99;
Demikian pula dalam hal kepadatan bangunannya. Harga lahan di daerah perkotaan jauh lebih mahal
dibandingkan dengan di daerah perdesaan. Karena lebih padat, baik penduduk maupun bangunannya,
daerah perkotaan umumnya relatif lebih panas akibat daerah penghijauan yang kurang sedangkan daerah
perkerasan yang lebih banyak. Secara sosiologis, masyarakat perkotaan bersifat lebih individual, solidaritas
komunal berkurang. Nilai-nilai ekonomi lebih tinggi dibandingkan dengan daerah perdesaan.
Seperti telah diperkirakan, bahwa ruang konservasi lingkungan pada rumah tradisional umumnya
F7>3:?7@9:;>3@9F7DGF3?3=3D7@3=74GFG:3@DG3@9K3@9?7@;@9=3F43;==3D7@3B7D=7?43@93@67?A9D3V
keluarga maupun karena alasan lainnya. Pada hampir setiap rumah tradisional ditemukan adanya area
belakang rumah berupa teba atau kebun/ladang yang memiliki banyak fungsi. Sejak beberapa dekade lalu
kebun ini telah beralih fungsi menjadi ruang untuk melakukan kegiatan, baik domestik, ekonomi, sosial
maupun kegiatan lainnya sesuai dengan kebutuhan dan keinginan penghuni.
2064 | Kuta, 29-30 Oktober 2015
SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015
Secara prinsip rumah tradisional masyarakat Bali perkotaan telah mengalami perubahan mendasar,
baik dari segi fungsi, tatanan spasial, bentuk, ornamentasi, dan nilai yang melekat pada rumah. Fungsi rumah
kini bukan sekedar tempat melaksanakan kegiatan sosial dan budaya serta reproduksi semata melainkan
telah berkembang sebagai tempat produksi dan memiliki nilai komoditi. Rumah kini menjadi sumber
pendapatan keluarga, baik sebagai pendapatan utama maupun pendapatan sampingan. Akibat pergeseran
ini, rumah mengalami berbagai transformasi yang sangat mendasar seperti misalnya lunturnya sikap sing
bani ngeluanin, menggusur letak sanggah/merajan, hilangnya teba dan telajakan bahkan menyempitnya
natah. Hal ini juga berdampak sosial yang cukup serius pada beberapa keluarga terutama terkait dengan
pembagian waris. Dapat dikatakan bahwa rumah kini memiliki fungsi yang semakin kompleks.
3.2
Pola-Pola Aktivitas Dan Keruangan Hunian
Seperti telah disinggung sebelumnya, fungsi rumah kini telah berkembang dan demikian pula
dengan aktivitas yang muncul di dalamnya. Secara umum ditemukan beberapa kategori kegiatan di rumah
masyarakat perkotaan di Bali antara lain adalah aktivitas domestik, aktivitas ritual, aktivitas ekonomi, dan
aktivitas sosial.
a.
Aktivitas domestik
Pada umumnya aktivitas domestik di dalam rumah bagi masyarakat perkotaan dan perdesaan tidak
terlalu banyak berbeda. Perbedaan yang ada adalah pada jenis, intensitas, proporsi kegiatan. Aktivitas
domestik seperti: memasak, beristirahat, mencuci, bekerja, belajar, bersenda gurau, membersihkan rumah,
berkebun, menerima tamu, berekreasi, menyimpan, mandi dan membersihkan diri, dan berbagai kegiatan
sejenis lainnya. Pergeseran antara kegiatan masyarakat tradisional dengan masyarakat kini sangat menyolok
terutama terkait dengan gaya hidup. Rumah kini menyediakan hampir semua fasilitas yang dulu disediakan
oleh lingkungan. Masyarakat tradisional dulu melakukan kegiatan mandi, mencuci, bersosialisasi, berjualan,
berkebun di luar rumah sementara kini semuanya dilakukan di dalam rumah.
b.
Aktivitas ritual
Secara umum, aktivitas ritual tidak terlalu banyak mengalami perubahan dan tidak pula berpengaruh
penting terhadap tatanan spasial rumah. Hal ini telah menjadi temuan umum bahwa hal-hal yang terkait
dengan nilai religiusitas dan kegiatan keagamaan paling sedikit mengalami perubahan dibandingkan
dengan unsur-unsur kebudayaan lainnya. Kegiatan ini meliputi aktivitas menghaturkan sodan (ritual harian
setelah selesai memasak), melaksanakan panca yadnya seperti sembahyang setiap hari, pada saat hari-hari
tertentu (purnama, tilem, tanggalan kliwon, dll.), melaksanakan butha yadnya seperti halnya (mecaru),
melaksanakan manusa yadnya (upacara pernikahan, potong gigi, tiga bulanan, 42 hari, menek kelih,
ngaben), dan berbagai aktivitas ritual lainnya.
Akan tetapi yang menarik adalah terjadi perubahan terkait dengan tempat menyelenggarakan
kegiatan-kegiatan ritual tersebut. Khususnya kegiatan-kegiatan ritual keagamaan yang besar seperti potong
gigi, pernikahan, ngaben umumnya dilakukan pada rumah tua, namun ada juga yang melakukannya bukan
di rumah tua. Jika dilakukan bukan di rumah tua, maka ruang yang digunakan untuk melakukan kegiatan
ritual ini sangat bervariasi. Jika memungkinkan, maka bale adalah pilihan ideal. Akan tetapi jika tidak maka
ruang yang ada dapat digunakan seperti ruang tamu, ruang keluarga, ruang tidur, ataupun beranda. Selain
itu, aktivitas ritual juga dapat dilakukan di dalam ruang suci. Ruang-ruang seperti ini banyak bermunculan
mungkin karena kini masyarakat memerlukan privasi yang lebih untuk memperoleh kekhusukan didalam
melakukan kegiatan seperti meditasi, tapa, yoga, dsb.
c.
Aktivitas ekonomi
Aktivitas ekonomi nampak merupakan perubahan mendasar pada seting tradisional rumah orang
Bali, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan. Akan tetapi, penampakan kegiatan ekonomi di daerah
perkotaan lebih dominan dibandingkan dengan di daerah perdesaan. Umumnya, kegiatan ekonomi
Kuta, 29-30 Oktober 2015 | 2065
SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015
?7?B7D>;:3F=3@B7DG43:3@B363F3?B;>3@VE;=DG?3:FD36;E;A@3>K3@9?7@99G@3=3@3D73F7>33?;FD3@E8AD?3E;K3@9E;9@;V=3@ 3>;@;F7D>;:3F@K3F3B363=AD;6AD=AD;6ADGF3?3=AF3
dan fenomena ini semakin menggejala sampai pelosok-pelosok daerah perdesaan. Mungkin ini dapat
menjelaskan proporsi masyarakat perkotaan yang memiliki profesi lebih banyak diluar petani karena
mayoritas masyarakat kota adalah bukan bergerak dibidang pertanian. Akan tetapi, area yang lebih dalam
dari rumah tradisional juga bertransformasi menjadi tempat atau ruang untuk melaksanakan kegiatan
ekonomi. Disamping terdapat bale yang diubah bentuk dan fungsinya menjadi tempat produksi, ruangruang juga diciptakan untuk kepentingan ekonomi.
3.3
a.
Pola Spasial Rumah Masyarakat Di Daerah Urban
Depan Dan Belakang Rumah
Dalam literatur, tatanan spasial rumah tradisional lebih banyak dipengaruhi oleh nilai sakral profan
Kini, berbagai fenomena muncul sebagai bagian dari perubahan terus menerus yang terjadi.
Fenomena ini antara lain adalah: depan belakang; bersih kotor, atas bawah, publik privat, disamping
tatanan tradisional tetap bertahan seperti hulu teben, sakral dan profane. Fenomena depan dan belakang
dapat dikenali dari berbagai indikator seperti: penempatan ruang dengan berbagai fungsi; jenis dan sifat
kegiatan yang dilakukan serta distribusinya dalam rumah; peralatan dan perlengkapan yang digunakan
serta ditata dalam masing-masing ruangan
Umumnya yang ditaruh di depan adalah yang bersifat: “bersih”, bernilai, suci, utama, sedangkan
yang ada di bagian belakang adalah yang kotor, kurang bernilai, Yang kotor: gudang tempat menaruh
berbagai benda, pengaturannya bisa berantakan, kurang tertata/kurang rapi/jelek, secara visual memberi
kesan buruk, barang bekas pakai, barang tidak terpakai lagi, hendak dibuang, sisa-sisa. Kamar mandi/WC
tepat melakukan kegiatan mandi, buang air yang dianggap kotor diletakkan di belakang, atau tersembunyi,
jauh dari pandangan publik. Demikian pula tempat jemuran, pakaian kotor, barang bekas dan alat-alat
rumah tangga umumnya diletakkan di bagian belakang rumah.
b.
Hulu dan teben
Kekuatan nilai-nilai tradisi terlihat masih tersisa dalam banyak hal khususnya nilai hulu teben.
Penempatan ruang-ruang suci untuk tempat bersembahyang keluarga sepertinya merupakan harga mati
yang sulit ditawar. Tetap ada patokan kemana arah yang dianggap suci yakni ke arah matahari terbit (timur/
kangin) dan ke arah ketinggian/gunung (kaja). Penempatan tempat suci, arah tidur masih tetap berpatokan
pada sumbu ritual dan sumbu bumi (sumbu kosmos).
c.
Sakral dan profan
Ruang bagi masayrakat tradisional tidak bersifat netral melainkan memiliki nilai yang sangat
terkait erat dengan nilai-nilai kepercayaan dan keyakinan. Masyarakat tradisional di Bali secara mayoritas
berkeyakinan Hindu. Ajaran dan kepercayaan keHinduan sangat berperan dalam menentukan bagaimana
masyarakat mempersepsi ruang. Seperti ditulis banyak peneliti, ruang memiliki nilai sakral profan. Bagi
kebanyakan masyarakat di daerah perkotaan, arah kiblat masih tetap dipertahankan terutama ke arah luan
dan teben.
d.
Bersih dan kotor
Fenomena ini sepertinya selaras dengan fenomena depan belakang. Depan berarti bersih dan
belakang identik dengan kotor. Namun demikian, tidak jarang dijumpai bahwa dibagian depan rumah
terdapat indikator-indokator kekotoran seperti jemuran, garasi, gudang, tempat sampah. Akan tetapi
umumnya hal ini terjadi terutama pada lahan-lahan sempit dimana arah depan memberikan keleluasaan
untuk mendapatkan sinar matahari untuk mengeringkan pakaian yang dicuci. Tiada pilihan lain karena
2066 | Kuta, 29-30 Oktober 2015
SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015
lahan penuh terbangun dimanfaatkan untuk mendapatkan ruang bangunan yang tertutup. Umumnya ruang
terbuka atau natah tersisa di bagian depan rumah
e.
Atas dan bawah
Vertikalitas telah menjadi fenomena penting dalam era kota di jaman modern seperti sekarang. Tanah
menjadi mahal, langka dan semakin terbatas. berbanding terbalik dengan jumlah manusia penghuninya.
Pengembangan tanah ke samping sangat tidak mungkin, oleh karena itu, kekurangan atas tempat dilakukan
ke arah atas, vertical. Dengan demikian muncul paradigma baru dalam membangun ke arah vertikal yang
memunculkan multi interpretasi.
f.
Single to multi family house
Jaman dulu, setiap keluarga tinggal dalam satu petak pekarangan rumah yang terdiri dari beberapa unit
bangunan atau bale dengan fungsinya masing-masing. Kini, di tengah keterbatasan lahan dan kompleksitas
fungsi serta nilai yang berkembang seiring dengan kemajuan masyarakat, cara bermukim juga mengalami
perubahan. Rumah dapat terdiri dari satu atau lebih keluarga inti yang kemudian menjadi keluarga besar
(extended family).
Bangunan ada yang masih berupa bale dengan fungsi khusus seperti bale dangin atau bale daja,
jineng/kelumpu, dsb. Kini juga bale atau bangunan dapat terdiri dari beberapa ruangan dengan berbagai
fungsi yang diwadahi. Rumah kini dapat terdiri dari beberapa bale atau bangunan, dengan satu atau banyak
ruangan, dengan satu atau beberapa fungsi yang diwadahi, dihuni oleh satu atau lebih keluarga
g.
Publik dan privat
Rumah sebagai area privat pada kenyataannya seringkali berubah fungsi menjadi area publik dimana
setiap orang memiliki akses untuk menggunakannya. Demikian pula rumah di Bali. Tetapi kenyataannya
bahwa kebutuhan privasi bagi masyarakat kini di daerah perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
kenyataan pada rumah tradisional. Fenomena ini merupakan fenomena yang berkembang pada masyarakat
Bali modern terutama di daerah perkotaan. Kebutuhan perivasi ini umumnya berbanding lurus dengan
status sosial masyarakat. Semakin tinggi status sosial seseorang maka kebutuhan privasinya meningkat.
Demikian pula sebaliknya.
h.
Nilai komoditas
Rumah dulu memiliki nilai sakral yang tidak dapat diperjualbelikan. Kini, tanah dan rumah yang
ada didalamnya merupakan barang dagangan yang dapat diperjualbelikan, memiliki nilai ekonomi. Ada
sebagian masyarakat yang menganggap bahwa tanah yang mereka tempati adalah tanah ulayat milik
desa yang sewaktu-waktu karena keadaan tertentu dapat diambil kembali atau dikembalikan kepada desa
sebagai pemilik.
i.
Seting sosial kultural menjadi tempat produksi
Jika pada jaman tradisional sawah dan ladang merupakan lahan pokok untuk berproduksi terutama
hasil-hasil pertanian pada jaman masyarakat agraris. Dulu rumah merupakan seting sosial dan kultural
dimana masyarakat melakukan kegiatan-kegiatan domestik, kegiatan sosial dan kegiatan-kegiatan yang
terkait dengan upacara keagamaan semata. Kini ketika masyarakat memiliki profesi yang beragam dan
ganda, sawah dan ladang bukan lagi sebagai tempat utama untuk berproduksi.
Rumah sebagai tempat produksi dapat berupa berbagai macam seperti halnya sungguh-sungguh
menjadi tempat dihasilkannya barang-barang yang bernilai ekonomi yang dapat menghasilkan uang
Disamping itu, rumah juga dapat disewakan, dikontrakkan, digadaikan, Bagian-bagian yang
dapat dijadikan tempat produksi dapat saja bagian depan rumah, belakang rumah, atau bagian tengah
(inti) rumah. Akan tetapi ada bagian penting rumah yang tidak pernah dijadikan tempat produksi yakni
tempat suci (sanggah/merajan). Sedangkan bale-bale beberapa dijadikan sebagai tempat produksi apakah
Kuta, 29-30 Oktober 2015 | 2067
SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015
sebagai tempat untuk melakukan kegiatan yang menghasilkan barang-barang atau sekedar sebagai gudang
sementara hasil produksi, atau keduanya
j.
Esensi natah
Ruang sebagai pusat orientasi di dalam rumah tradisional yang disebut dengan natah sampai saat ini
masih dianggap sebagai ruang yang sangat esensial, baik yang bermakna spiritual maupun profan. Ruang
ini masih memiliki fungsi terutama dalam kaitannya untuk mewadahi kegiatan-kegiatan ritual keagamaan.
Hal ini menjadi fakta, baik pada rumah tradisional yang sudah berkembang maupun pada rumah baru di
perkotaan.
4.
KESIMPULAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa telah banyak terjadi perubahan yang sangat mendasar dalam pola
tata ruang hunian masyarakat Bali di daerah perkotaan dan mungkin perubahan ini akan terus berlanjut
seiring dengan perkembangan dinamikan kehidupan masyarakat Bali pada umumnya. Rumah kini bukan
lagi semata merupakan seting kultural dan tempat reproduksi melainkan juga merupakan tempat produksi
yang memiliki nilai komoditas. Hasil penelitian ini juga cukup mengejutkan dimana hal-hal terkait dengan
unsur relegi dalam kebudayaan yang umumnya sukar berubah ternyata dalam fenomena hunian masyarakat
Bali perkotaan telah mengalami pergeseran (Koentjaraningrat, 1987). Terdapat keragaman penafsiran
terhadap apa yang dianggap benar dan apa yang dianggap cocok bagi masyarakat Bali terutama yang
beragama Hindu. Hal ini terkait dengan orientasi sakral profan yang memunculkan berbagai variasi tata
ruang hunian modern sekarang ini. Apabila dalam masyarakat tradisional orientasi adalah kearah gunung
dan kearah matahari terbit maka kini juga muncul orientasi depan belakang, bersih kotor, publik privat,
atas bawah. Keberagaman interpretasi terhadap nilai baru ini merupakan satu bentuk ekspresi hilangnya
otoritas arsitek tradisional, tumbuhnya otoritas pemilik yang lebih dominan didalam merancang hunian
yang mereka inginkan.
Ucapan Terimakasih
Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan untuk melakukan
penelitian ini melalui pendanaan yang diberikan sehingga penelitian ini dapat dilakukan. Tanpa ini tidak
mungkin penelitian ini dilaksanakan. Terima kasih juga kami sampaikan kepada seluruh mahasiswa PS
Arsitektur FT Unud yang telah sangat membantu didalam pengumpulan serta pengolahan data. Tanpa
bantuan mereka mustahil penelitian ini dapat diselesaikan. Terakhir ucapan terima kasih harus kami tujukan
kepada seluruh responden dan masyarakat Bali umumnya yang dengan rela rumahnya dijadikan kasus
dalam penelitian ini. Kontribusi mereka tidak kalah pentingnya untuk penelitian ini. Kepada semua rekan
juga disampaikan terima kasih atas sumbang saran, kritik serta dukungan moralnya selama penelitian ini
dilaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA
Budihardjo, R. (1994) ‘Perubahan Fungsi dan Tata Ruang Puti-Puti di Bali: suatu kajian sejarah sosial’.
Tesis S2. Bandung: ITB
Bungin, B. (2009) Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana.
Koentjaraningrat. (1987) Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.
Lincoln, Y. S. & Guba, E. G. (1985) Naturalistic Inquiry. Beverly Hills: Sage Publications.
Meganada, I W. (1990) ‘Pola Tata Ruang Arsitektur Tradisional Dalam Perumahan KPR/BTN di Bali: suatu
evaluasi arsitektur
MODEL TATA SPASIAL HUNIAN MASYARAKAT
BALI PERKOTAAN
Ngakan Putu Sueca
PROGRAM STUDI ARSITKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS UDAYANA
29-30 Oktober 2015
Perkembangan proporsi penduduk
perdesaan dan perkotaan di
Indonesia
2025
2007
Pdd desa
Desa
Pdd kota
Kota
manusia:
homo urbanus
Kota kini menjadi MESIN KEHIDUPAN
• Semakin banyak orang mengandalkan hidup pada kota
• Kota menjadi sumber kemakmuran
• Kota pusat produksi
• Kota pusat pelayanan terbaik
• Kota pusat peradaban millennium ketiga
MASA DEPAN TERGANTUNG PADA BAGAIMANA
KITA MERANCANG DAN MENGELOLA KOTA KITA
Kehidupan kota memiliki ciri atau karakteristik
yang sangat berbeda dengan kehidupan perdesaan
jaman dulu
Rumah: sangat penting bagi siapa pun
Tempat
berlindung
Membesarkan
dan mengasuh anak
Mengembangkan
Membina
kehidupan sosial
Menjalankan
kegiatan ekonomi
Melaksanakan
kegiatan adat istiadat
Mempertahankan
FUNGSI
budaya
tradisi
KOMPLEKS
Telah terjadi TRANSFORMASI KULTURAL
pada masyarakat Bali pada umumnya,
dari budaya agraris ke budaya industri
dan jasa; dari budaya desa ke budaya
kota
Akibatnya terjadi fenomena:
Transformasi
Perombakan
pada rumah tradisional
pada perumahan masal
Oleh karena itu: tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui:
1. Transformasi hunian tradisional yang terjadi di daerah perkotaan
2. Pola-pola aktivitas dan keruangan hunian masyarakat di daerah perkotaan
3. Pola spasial rumah masyarakat di daerah perkotaan
4. Unsur-unsur atau pola/nilai tradisi lama yang masih bertahan dalam hunian saat ini
5. Pola-pola spasial baru yang muncul
Dengan pemahaman ini maka diharapkan akan
konsep keruangan hunian
modern masyarakat perkotaan
sebagai dasar pengembangan rumah
yang berwawasan budaya Bali, baik oleh
dapat ditemukan
para arsitek, pengembang perumahan, pemerintah,
dan para pemangku kepentingan lainnya sehingga
efisiensi pembangunan dapat dicapai
HASIL DAN BAHASAN
KONTEKS KEKOTAAN:
Karakteristik masyarakat perkotaan
masyarakat di daerah perdesaan
Profesi: non
berbeda dengan
pertanian
Kepadatan penduduk lebih tinggi, juga kepadatan
bangunannya
Harga lahan jauh lebih mahal
Relatif lebih panas akibat daerah penghijauan yang kurang
Secara sosiologis, lebih individual, solidaritas komunal
berkurang.
Nilai-nilai ekonomi lebih tinggi
HASIL DAN BAHASAN
POLA-POLA AKTIVITAS DAN KERUANGAN HUNIAN
AKTIVITAS DOMESTIK:
Aktivitas domestik masyarakat perkotaan dan perdesaan tidak terlalu banyak
Perbedaan yang ada adalah pada jenis, intensitas,
proporsi kegiatan
berbeda.
Aktivitas
domestik
seperti: memasak, beristirahat, mencuci, bekerja,
belajar, bersenda gurau, membersihkan rumah, berkebun, menerima tamu,
berekreasi, menyimpan, mandi dan membersihkan diri, dan berbagai kegiatan
sejenis lainnya
Rumah
menyediakan ruang bagi aktivitas yang dulu disediakan
lingkungan tradisional
HASIL DAN BAHASAN
POLA-POLA AKTIVITAS DAN KERUANGAN HUNIAN
AKTIVITAS RITUAL:
Secara umum, aktivitas ritual tidak terlalu banyak
mengalami perubahan dan tidak pula berpengaruh penting terhadap
tatanan spasial rumah. Hal ini telah menjadi temuan umum bahwa hal-hal yang
terkait dengan nilai religiusitas dan kegiatan keagamaan paling sedikit mengalami
perubahan dibandingkan dengan unsur-unsur kebudayaan lainnya.
Menghaturkan sodan (ritual harian setelah selesai memasak)
Melaksanakan panca yadnya seperti sembahyang setiap hari, pada saat
hari-hari tertentu (purnama, tilem, tanggalan kliwon, dll.)
Melaksanakan butha yadnya seperti halnya (mecaru)
Melaksanakan manusa yadnya (upacara pernikahan, potong gigi, tiga bulanan, 42
hari, menek kelih, ngaben)
HASIL DAN BAHASAN
POLA-POLA AKTIVITAS DAN KERUANGAN HUNIAN
AKTIVITAS EKONOMI:
Perubahan
Lebih
mendasar pada seting tradisional
dominan
Menggunakan
dibandingkan dengan di daerah perdesaan.
area telajakan
atau area yang berorientasi ke
jalan raya. Akses terhadap promosi dan pelanggan menjadi alasan mengapa area ini
mengalami transformasi yang signifikan.
Juga
area yang lebih dalam
dari rumah tradisional juga
bertransformasi menjadi tempat atau ruang untuk melaksanakan kegiatan ekonomi
HASIL DAN BAHASAN
POLA SPASIAL RUMAH MASYARAKAT DI DAERAH URBAN
SETING SOSIAL KULTURAL MENJADI TEMPAT PRODUKSI
Dulu sawah dan ladang merupakan lahan untuk berproduksi
Dulu rumah merupakan seting sosial dan kultural
KINI
Ketika masyarakat memiliki profesi yang beragam dan ganda, sawah dan ladang bukan lagi
sebagai tempat utama untuk berproduksi.
Rumah juga merupakan tempat
produksi
Kini rumah sebagai
tempat bereproduksi dan produksi
Bagian-bagian yang dapat dijadikan tempat produksi dapat saja bagian depan rumah, belakang
rumah, atau bagian tengah (inti) rumah.
HASIL DAN BAHASAN
HILANGNYA TEBA/KEBUN BELAKANG RUMAH
Teba
Teba
atau kebun/ladang yang memiliki banyak fungsi pada rumah tradisional .
menghilang terutama karena kebutuhan ruang yang meningkat
baik karena perkembangan demografi keluarga maupun karena alasan lainnya.
Beralih
fungsi menjadi ruang untuk melakukan kegiatan, baik domestik,
ekonomi, sosial maupun kegiatan lainnya sesuai dengan kebutuhan dan keinginan
penghuni
HASIL DAN BAHASAN
DEPAN DAN BELAKANG RUMAH
Tatanan spasial tradisional:
Fenomena
nilai sakral profan
baru
antara lain adalah: depan belakang; bersih kotor, atas
bawah, publik privat, disamping tatanan tradisional tetap bertahan seperti hulu
teben, sakral dan profan
indikator seperti: penempatan ruang; jenis
dan sifat kegiatan; peralatan dan
perlengkapan
Berbagai
depan adalah yang bersifat: “bersih”, bernilai, suci, utama
belakang adalah yang kotor, kurang bernilai
HASIL DAN BAHASAN
HULU DAN TEBEN/SAKRAL DAN PROFAN
Ruang
tidak netral terkait dengan nilai-nilai kepercayaan dan
Kiblat
masih tetap dipertahankan
keyakinan
tersisa: hulu teben.
Variasi nilai muncul: perbedaan persepsi dan cara pandang
Penempatan ruang-ruang suci untuk tempat bersembahyang
Nilai tradisi masih
keluarga sepertinya merupakan harga mati yang sulit ditawar. Tetap ada patokan
kemana arah yang dianggap suci yakni ke arah matahari terbit (timur/kangin) dan
ke arah ketinggian/gunung (kaja).
HASIL DAN BAHASAN
BERSIH DAN KOTOR
Selaras
dengan fenomena depan belakang. Depan
berarti bersih dan belakang identik dengan kotor. Namun demikian, tidak
jarang dijumpai bahwa dibagian depan rumah terdapat indikatorindokator kekotoran seperti jemuran, garasi, gudang, tempat sampah,
Umumnya pada lahan-lahan sempit dimana arah depan memberikan
keleluasaan untuk mendapatkan sinar matahari untuk mengeringkan
pakaian yang dicuci. Tiada pilihan lain karena lahan penuh terbangun
dimanfaatkan untuk mendapatkan ruang bangunan yang tertutup
Umumnya ruang terbuka atau natah tersisa di bagian depan rumah
HASIL DAN BAHASAN
ATAS DAN BAWAH
Vertikalitas telah menjadi fenomena penting dalam era kota
Tanah
mahal, langka dan makin terbatas
Berbanding terbalik dengan jumlah manusia penghuninya
Pengembangan tanah ke samping sangat tidak mungkin, oleh karena itu,
kekurangan atas tempat dilakukan ke arah atas, vertikal
Dengan demikian muncul paradigma baru dalam membangun ke arah
vertikal yang memunculkan
multi interpretasi
HASIL DAN BAHASAN
POLA SPASIAL RUMAH MASYARAKAT DI DAERAH URBAN
PUBLIK DAN PRIVAT
Rumah
sebagai area privat seringkali menjadi
area publik dimana setiap orang memiliki akses untuk
menggunakannya.
Kebutuhan
privasi
bagi masyarakat kini di daerah perkotaan
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kenyataan pada rumah tradisional.
Berbanding
lurus dengan status sosial
HASIL DAN BAHASAN
POLA SPASIAL RUMAH MASYARAKAT DI DAERAH URBAN
NILAI KOMODITAS
Rumah
dulu sakral
Kini, tanah dan rumah yang ada didalamnya merupakan
dagangan
tidak dapat diperjualbelikan
barang
yang dapat diperjualbelikan, memiliki nilai ekonomi
Ada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa tanah yang mereka
tempati adalah tanah ulayat milik desa yang sewaktu-waktu karena
keadaan tertentu dapat diambil kembali atau dikembalikan kepada desa
sebagai pemilik.
HASIL DAN BAHASAN
POLA SPASIAL RUMAH MASYARAKAT DI DAERAH URBAN
NATAH
natah sampai saat ini masih sebagai
ruang yang sangat
esensial, baik yang bermakna spiritual maupun profan.
Ruang ini masih memiliki fungsi terutama dalam kaitannya untuk
mewadahi kegiatan-kegiatan ritual keagamaan.
Hal ini menjadi fakta, baik pada rumah tradisional yang sudah
berkembang maupun pada rumah baru di perkotaan.
HASIL DAN BAHASAN
SINGLE TO MULTI FAMILY HOUSE
Dulu, setiap
Kini, cara
Rumah: lebih dari satu keluarga inti (extended
Bangunan ada yang masih berupa bale dengan fungsi khusus seperti bale
dangin atau bale daja, jineng/kelumpu, dsb.
keluarga
tinggal dalam satu petak pekarangan
bermukim berubah
family)
Kini juga bale atau bangunan dapat terdiri dari beberapa ruangan dengan
berbagai fungsi yang diwadahi
Rumah kini dapat terdiri dari beberapa bale atau bangunan, dengan satu atau
banyak ruangan, dengan satu atau beberapa fungsi yang diwadahi, dihuni oleh
satu atau lebih keluarga
Kesimpulan
Budaya bermukim berubah dan akan terus
berkembang
Rumah dari seting kultural dan tempat reproduksi
menjadi tempat produksi
Nilai komoditas melekat pada rumah di kota
Terjadi densifikasi dan efisiensi penggunaan lahan
Keragaman penafsiran terhadap apa yang benar
dan baik
Orientasi dan hirarkhi ruang baru
Suksma, terima kasih
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015
SEMINAR NASIONAL
DAN TEKNOLOGI
Kuta, 29 - 30 Oktober 2015
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN
KEPADA MASYARAKAT
UNIVERSITAS UDAYANA
UDAYANA UNIVERSITY PRESS
2015
Kuta, 29-30 Oktober 2015 | iii
SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015
SEMINAR NASIONAL SAINS
DAN TEKNOLOGI 2015
Kuta, 29 - 30 Oktober 2015
Ni Made Ary Esta Dewi Wirastuti, S.T., MSc. PhD
Prof. Dr. Drs. IB Putra Yadnya, M.A.
Prof. Dr. Ir. I Gede Mahardika, M.S.
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH., MHum., LLM.
Prof. Dr. drh. I Nyoman Suarsana, M.Si
Prof. Dr. Ir. I Gede Rai Maya Temaja, M.P.
Ir. Ida Ayu Astarini, M.Sc., Ph.D
Prof. Dr. Ir. Nyoman Gde Antara, M.Eng
Dra. Ni Luh Watiniasih, MSc, Ph.D
Prof. Dr. drh. Ni Ketut Suwiti, M.Kes.
Prof. Dr. Ir. I Made Alit Karyawan Salain, DEA.
Ir. I Nengah Sujaya, M.Agr.Sc., Ph.D.
Ir. Ida Bagus Wayan Gunam, MP, Ph.D
dr. Ni Nengah Dwi Fatmawati, SpMK, Ph.D
Dr. Agoes Ganesha Rahyuda, S.E., M.T.
Putu Alit Suthanaya, S.T., M.Eng.Sc, Ph.D.
I Putu Sudiarta, SP., M.Si., Ph.D.
Dr. Ir. Yohanes Setiyo, M.P.
Dr. P. Andreas Noak, SH, M.Si
I Wayan Gede Astawa Karang, SSi, MSi, PhD.
Dr. Drh. I Nyoman Suarta, M.Si
l
Udayana University Press,
Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Kepada Masyarakat Universitas Udayana
2015, xli + 2191 hal, 21 x 29,7
iv | Kuta, 29-30 Oktober 2015
SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015
Kuta, 29-30 Oktober 2015 | v
SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015
KATA PENGANTAR
S
eminar Nasional Sains dan Teknologi (SENASTEK), merupakan agenda tahunan Lembaga
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Udayana, dan tahun 2015 merupakan
penyelenggaraan SENASTEK yang ke II dalam upaya menyebarluaskan hasil-hasil penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat. Seminar ini merupakan sarana komunikasi bagi para peneliti dan pengabdi
dari perguruan tinggi, institusi pendidikan, lembaga penelitian maupun industri guna mempercepat
pengembangan sains dan teknologi.
Berbeda dengan Senastek sebelumnya, Senastek II tahun ini selain mendesiminasikan hasil
penelitian, juga mendesiminasikan hasil Pengabdian Kepada Masyarakat. Pengabdian kepada masyarakat
merupakan kegiatan sivitas akademika dalam mengamalkan dan membudayakan sains dan teknologi untuk
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, yang mana hasil-hasilnya nyata
dapat dirasakan oleh masyarakat dan menjadi tolok ukur sejauh mana hasil-hasil penelitian dapat diabdikan
untuk memaslahatan masyarakat banyak.
Senastek II, tahun 2015 diselenggarakan dalam kaitan dengan ulang tahun ke 53 Universitas Udayana
dan dalam rangka desiminasi hasil-hasil penelitian peneliti dari berbagai Perguruan Tinggi termasuk
Unud, Lembaga Penelitian, dll. Tema Senastek II adalah “Inovasi Humaniora, Sains dan Teknologi untuk
Pembangunan Berkelanjutan” dengan tujuan penyebarluasan informasi hasil penelitian dan pengabdian,
Ajang pertemuan ilmiah para peneliti dan pengabdi yang bergerak di bidang sains dan teknologi, dan
Sarana tukar informasi bagi para peneliti dan pengabdi dalam rangka pengembangan sains dan teknologi
ke depan. Topik Makalah meliputi: Bidang Humaniora, Ketahanan PanganKesehatan dan Obat-obatan,
Energi baru dan terbarukan Transportasi dan manufaktur, Informasi dan Komunikasi Pertahanan dan
keamanan, ketertiban dan kebencanaan, Biodiversitas, lingkungan dan , sumberdaya alam
Kegiatan Seminar ini diharapkan dapat mendorong terjadinya pertukaran informasi, pengetahuan,
dan pengalaman dalam penerapan sains dan teknologi untuk pemecahan permasalahan di masyarakat, serta
kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan publikasi hasil penelitian dan pengabdian; dan kerjasama
antar peneliti; antar Perguruan Tinggi dan Lembaga-lembaga penelitian di Indonesia.
Denpasar, Desember 2015
Panitia
Kuta, 29-30 Oktober 2015 | vii
SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................................................. vii
SAMBUTAN KETUA PANITIA............................................................................................................ ix
SAMBUTAN KETUA LPPM UNIVERSITAS UDAYANA ................................................................ xi
HUMANIORA
NILAI LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN
DAN PENGEMBANGAN HUKUM
Fenty U. Puluhulawa, Nirwan Yunus ..........................................................................................................3
KEBIJAKAN LOKAL DAN ETNISITAS MENUJU
INTEGRASI KELOMPOK ETNIS
DI KABUPATEN POHUWATO
Wantu Sastro ...............................................................................................................................................8
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEBERHASILAN IMPLEMENTASI EKONOMI
HIJAU DALAM RESTORASI DAN KONSERVASI TERUMBU KARANG DI PEMUTERAN BALI
SEBAGAI DAYA TARIK EKOWISATA
I Ketut Surya Diarta, I Gede Setiawan Adi Putra ....................................................................................13
KEMAMPUAN BAHASA BALI GENERASI MUDA BALI DI UBUD GIANYAR BALI
Ni Luh Nyoman Seri Malini, Luh Putu Laksminy, I Ketut Ngurah Sulibra .............................................21
INTENSITAS KAPITAL INDUSTRI DAN DINAMISME KEUNGGULAN
KOMPARATIF PRODUK EKSPOR INDONESIA
Ni Putu Wiwin Setyari ..............................................................................................................................29
MODEL ESTIMASI KINERJA KEUANGAN BERDASARKAN FAKTOR-FAKTOR
INTERNAL UKM DI KABUPATEN BANDUNG
Rivan Sutrisno, Mardha Tri Meilani ..........................................................................................................38
KAMUS PRIMITIVA SEMANTIK BALI-INDONESIA-INGGRIS BIDANG ADAT DAN AGAMA
Dr. I Made Netra, S.S., M.Hum, Drs. I Nyoman Udayana, M.Litt., Ph.D,
Dr. Drs. I wayan Suardiana, M.Hum, Drs. I Ketut Ngurah Sulibra, M.Hum.,
Dr. Drs. Frans I Made Brata, M.Hum .......................................................................................................46
MODEL KONFIGURASI MAKNA TEKS CERITA RAKYAT TENTANG PRAKTIK-PRAKTIK
BUDAYA RANAH AGAMA DAN ADAT
UNTUK MEMPERKOKOH JATI DIRI MASYARAKAT BALI
Dr. Dra. Ni Ketut Ratna Erawati, M.Hum, Dr. I Made Netra, S.S., M.Hum,
Dr. Frans I Made Brata, M.Hum, Prof. Dr. I Made Suastika, S.U ............................................................ 54
Kuta, 29-30 Oktober 2015 | xiii
SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015
MODEL KEKUTAN KERJA SAMA PEMERINTAH-MASYARAKAT
PADA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR PARIWISATA DI BALI
Ida Bagus Putu Adnyana ...................................................................................................................... 1868
PENGUJIAN PEMANFAATAN MIKROKONTROLER SEBAGAI
PENGENDALI PENGAMAN MOTOR INDUKSI TIGA FASA
TERHADAP OVERLOAD
I Gst. Agung Putu Raka Agung , I Gst Agung K. Diafari Djuni H ....................................................... 1876
PENATARAN PEKERJA ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI
DI DESA PAKRAMAN BEDHA KABUPATEN TABANAN
A.
A. Ayu Oka Saraswati , I Wayan Kastawan Widiastuti Evert Edward Moniaga ........................1882
EVALUASI PENENTUAN KAPASITAS CB (CIRCUIT BREAKER) BERKAITAN
DENGAN AKAN DIOPERASIKANNYA SUTET 500 KV (2.450 MW)
(JAWA BALI CROSSING) SEGARARUPEK – GILIMANUK - NEWANTOSARI
PADA SISTEM KELISTRIKAN 150 KV BALI TAHUN 2017
Y P Sudarmojo, A I Weking ..................................................................................................................1889
DAMPAK ELECTRONIC WORD OF MOUTH:
ADOPSI OPINI ONLINE PADA KOMUNITAS ONLINE KONSUMEN
A.A.G Agung Artha Kusuma, Ni Made Wulandari Kusumadewi ........................................................1896
BIODIVERSITY LINGKUNGAN,
SUMBERDAYA ALAM
PENGARUH KONSENTRASI LOGAM KROM (Cr)
PADA PROSES FITOREMEDIASI TANAMAN AKAR WANGI
Achmad Zubair1), Mary Selintung2), Lawalenna Samang3), Hanapi Usman .........................................1907
KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN DI LAHAN REHABILITASI BEKAS TAMBANG
BATUBARA DI PT SINGLURUS PRATAMA
Ishak Yassir, Burhanuddin Adman, Syamsu Eka Rinaldi .....................................................................1915
PERBANYAKAN VEGETATIF ANGGREK DENDROBIUM ‘SONIA’
MENGGUNAKAN BATANG DEWASA PADA MEDIA YANG BERBEDA
Ida Ayu Astarini1),
.....................................................................................................1923
SINTESIS DAN KARAKTERISASI ION IMPRINTED POLYMERS (IIPs)
1)
1) Deana Wahyuningrum .........................................................1929
SINTESIS DAN KARAKTERISASI KARBON AKTIF
TERMODIFIKASI ERIOCHROME BLUE BLACK DARI BIJI PEPAYA
Widya Wigati1)
1) Henry Setiyanto ................................................................1933
xxxviii | Kuta, 29-30 Oktober 2015
SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA AKTIF EKSTRAK DAUN KAYU MANIS
(CINNAMOMUM BURMANNI BLUME) DAN UJI EFEKTIVITASNYA DALAM MENGENDALIKAN
JAMUR FUSARIUM OXYSPORUM FORMA SPECIALIS LYCOPERSICI PENYEBAB PENYAKIT
LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN TOMAT SECARA IN VITRO
Anak Agung Ketut Darmadi .................................................................................................................2025
GASIFIKASI BIOMASA DAN LIMBAH PADAT SISTEM SIRKULASI FLUIDIZED BED
I Nyoman Suprapta Winaya, Rukmi Sari Hartati, I Wayan Gede Ariastina .........................................2033
STRATEGI PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN
MELALUI ZONING MAP DAN ZONING TEKS
Indayati Lanya , N.Netera. Subadiyasa, Ketut Sardiana, dan G.P. Ratna Adi .....................................2039
PENINGKATAN PRODUKSI, MUTU, DAN PENDAPATAN USAHATANI
TANAMAN BUNGA GUMITIR MELALUI PEMUPUKAN MINERAL
N. Netera Subadiyasa, dan Indayati Lanya .......................................................................................2047
KEMAMPUAN DEGRADASI LIGNOSELULOSA DARI KONSORSIUM
BAKTERI RUMEN SAPI BALI DAN RAYAP
IB. G. Partama, I M. Mudita, I G. L. O. Cakra, I W. Wirawan .............................................................2055
MODEL TATA SPASIAL HUNIAN MASYARAKAT BALI PERKOTAAN
Ngakan Putu Sueca ...............................................................................................................................2062
PENGEMBANGAN GELLING AGENT ALAMI DARI DAUN GALING-GALING (CAYRATIA
TRIFOLIA L.) YANG MEMENUHI UJI KARAKTERISTIK FARMASETIS
I G.N.A. Dewantara Putra, I G.N. Jemmy A. Prasetia ..........................................................................2070
HIDROLISA DENGAN ASAM DAN ENZIM DALAM PROSES KONVERSI ULVA LACTUCA
MENJADI ETANOL
Tri Poespowati1, Ali Mahmudi Rini Kartika Dewi ...............................................................................2077
EVALUASI PENGGUNAAN TEMPAT PEMELIHARAAN
(KONTAINER PLASTIK DAN JARING) UNTUK PENELTIAN RESPON
FEEDING ABALON TERHADAP PAKAN SEGAR ALGA MAKRO.
Deny S. Yusup .......................................................................................................................................2085
PROPAGASI CENDAWAN ENDOMIKORIZA GLOMUS, GIGASPORA DAN ACAULOSPORA
PADA JENIS TANAH YANG BERBEDA
Meitini W. Proborini .............................................................................................................................2089
VARIASI JENIS DIATOM DI DANAU TAMBLINGAN UNTUK KEPENTINGAN FORENSIK
SEBAGAI INDIKATOR KEMATIAN AKIBAT TENGGELAM
Ni Made Suartini, I Ketut Junitha, Pararya Suryadipura, Ni Luh Watiniasihj ......................................2094
PERUBAHAN LUAS AREAL MANGROVE DI TAHURA
NGURAH RAI DARI DATA LANDSAT
I.W.Gede Astawa Karang, Abd. Rahman As-syakur, Elok Faiqoh dan I. G. B. Sila Dharma ..............2100
xl | Kuta, 29-30 Oktober 2015
SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015
Kuta, 29-30 Oktober 2015 | 1905
SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015
MODEL TATA SPASIAL HUNIAN MASYARAKAT BALI PERKOTAAN
Ngakan Putu Sueca 1)
1
Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran Bali
Telp/Fax : 0361 703384, E-mail : ngakansueca@yahoo.co.uk
ABSTRAK
Rumah merupakan satu dari kebutuhan dasar manusia sebagai tempat mengasuh keluarga, mengembangkan diri
dan berpartisipasi menuju peningkatan kehidupan dan peradaban. Tetapi banyak masyarakat yang belum memiliki
rumah yang sesuai dengan budayanya. Dan konsep hunian daerah perkotaan di Bali jarang mendapat perhatian
peneliti. Padahal, lebih dari separuh masyarakat Bali kini hidup di daerah perkotaan. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mendapatkan potret transformasi budaya hunian dari konsep hunian tradisional ke konsep hunian
modern sekarang ini, khususnya masalah keruangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan yang dilakukan di dalam rumah bukan hanya kegiatan yang bersifat
domestik melainkan kegiatan produksi. Fungsi rumah telah berkembang menjadi aset untuk melaksanakan kegiatan
ekonomi sebagai sumber pendapatan keluarga. Fungsi domestik juga berkembang terutama terkait dengan
perkembangan teknologi. Sedangkan fungsi sosial dan ritual hampir semuanya tetap bertahan.
Pada aspek ruang, ditemukan adanya tata ruang yang cukup bervariasi. Jika pada masyarakat tradisional, tata ruang
lebih banyak terkait dengan kepercayaan dan keyakinan yang didasari ajaran Hindu. Namun nilai-nilai kekinian
banyak dipengaruhi nilai modernitas, situasi dan kondisi serta pragmatisme. Nilai sakral profan merupakan rujukan
utama masyarakat tradisional. Namun kini muncul tata nilai ruang baru seperti depan belakang, bersih kotor, publik
privat, atas bawah. Secara prinsipil, tatanan sakral profan tetap dipertahankan sebagai nilai utama untuk menata
ruang didalam rumah namun disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada pada tiap-tiap rumah dan keluarga.
ABSTRACT
House is one of the essential human needs as place for upbringing family, self development and participate towards
life and civilization enhancement. Unfortunately, many people have no house which suitable for their culture.
Furthermore, dwelling concept for urban areas in Bali is being less researcher’s concern. On the other hand, more
than a half of Balinese currently living in urban areas. Goals of this study is to explain cultural transformation of
traditional dwelling concept into modern dwelling concept focusing on spatial issues.
Research results show that activities being hold in the house are not only domestic activities but also production
activities. Function of the house is becoming as asset for doing economic activities for getting family income. Domectic
funtcion is also evolving especially related to technology development. Furthermore social and ritual functions are
almost constant.
On the aspect of spatial, it is found variety of spatial orders. In the traditional society, spatial order is merely related
D? D85 B5 1>4 25 9>4E 4?3DB9>5 ?G5F5B 3EBB5>D >?B=C 1B5 =5B5NE5>354 2I
modernity, situation, context and pragmatism. Sacred profane norm is essential traditional community reference. But
today there is new spatial order such as front back, clean dirty, public private, up down. Principally, sacred profane
continuum is still conserved as an essential norms to arrange space in the house but it is adjusted to situation and
existing context of each house and family.
Kata kunci: spasial, rumah, perkotaan, transformasi
PENDAHULUAN
Rumah menjadi satu dari kebutuhan dasar manusia untuk dapat hidup sesuai dengan harkat
dan martabatnya. Rumah menjadi unit terkecil yang diperlukan keluarga didalam mengasuh keluarga,
mengembangkan diri dan berpartisipasi didalam membangun masyarakat dan bangsa menuju pada
peningkatan hidup, kehidupan dan peradaban manusia. Dengan hunian yang baik yang sesuai dengan
kebutuhan fungsi, sosial dan kultural, manusia dapat secara optimal melakukan tugas-tugas individual dan
kemasyarakatan. Oleh karena itu, rumah merupakan sesuatu yang amat penting bagi manusia, baik yang
tinggal di daerah perdesaan maupun di perkotaan. Akan tetapi banyak masyarakat yang belum memiliki
rumah yang sesuai dengan tuntutan budayanya. Bahkan, masih banyak yang belum memiliki rumah
terutama masyarakat di daerah perkotaan.
2062 | Kuta, 29-30 Oktober 2015
SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015
Kota saat ini telah menjadi ruang bagi kehidupan mayoritas penduduk di seluruh dunia dimana
lebih dari 50% penduduk tinggal di daerah perkotaan, termasuk di Bali. Akan tetapi, kota belum mampu
menyediakan ruang hidup yang ideal bagi warganya, salah satu masalah adalah belum tersedianya ruang
hunian yang sesuai dengan akar budaya penghuni. Hal ini antara lain disebabkan telah terjadinya transformasi
budaya pada masyarakat di satu sisi. Pada sisi yang lain, hunian tradisional tidak dapat mewadahi tuntutantuntutan modern warga. Demikian pula hunian-hunian yang dibangun oleh pengembang telah banyak
6;?A6;V=3E; 6;4A@9=3D 43:=3@ 6;DG4G:=3@ A>7: B7?;>;=@K3 =3D7@3 6;3@993B =GD3@9 3F3G F;63= E7EG3;
dengan kebutuhan dan nilai-nilai yang diyakininya. Jika pembongkaran-pembongkaran, perbaikanperbaikan ini dihitung dengan uang, sesungguhnya terlalu besar investasi sia-sia yang dihamburkan untuk
itu. Ratusa milyar rupiah setiap tahun mungkin habis sia-sia hanya untuk membongkar rumah yang telah
dibangun untuk menyesuaikan kebutuhan pemilik. Padahal, jika rumah-rumah itu dibangun sesuai dengan
kebutuhan pemilik maka pemborosan itu dapat dihindari.
Biaya untuk pembongkaran, perbaikan, perubahan itu sesungguhnya dapat dialokasikan untuk
kebutuhan lain yang amat bermanfaat bagi warga. Oleh karena itu, memahami konsep keruangan hunian
modern masyarakat perkotaan di Bali sangatlah penting, baik secara sosial, kultural, fungsional, dan
ekonomi. Dengan demikian diharapkan bahwa temuan dari penelitian ini akan dapat dijadikan dasar oleh
para arsitek, pengembang perumahan dan pengambil kebijakan dibidang perumahan perkotaan untuk
merancang tempat hunian yang berlandaskan budaya masyarakat. Hal ini akan dapat menghindarkan
masyarakat terhadap pemborosan yang tidak perlu didalam mewujudkan harapan untuk memiliki tempat
hunian yang diinginkan.
Disamping itu, terdapat suatu kesenjangan informasi ataupun teori/konsep tentang arsitektur Bali,
khususnya antara informasi yang tersedia tentang arsitektur tradisional Bali (ATB) dengan arsitektur
modern khususnya untuk daerah perkotaan. Para peneliti selama ini terlalu banyak memfokuskan pada
kajian arsitektur tradisional di daerah perdesaan (lihat Gelebet, 1978; Salija, 1975; Fakultas Teknik Unud,
1981; 1982; Runa, 1993; 2004; Paturusi, 1988; Acwin, 2008a; 2008b) dan masih banyak kajian lain yang
mungkin ditemui, baik kajian dari perspektif ilmu arsitektur maupun disiplin ilmu lain. Informasi tentang
kebudayaan (tradisional) di Bali sangat berlimpah. Hal ini sangat kontras dengan kajian tentang arsitektur
rumah perkotaan yang dilakukan para peneliti. Dapat dikatakan bahwa kajian ini masih sangat minim,
padahal permasalahan krusial saat ini maupun di masa mendatang adalah pada daerah urban/perkotaan,
baik menyangkut masalah lingkungan, sosial, budaya, politik, transportasi, kriminalitas, perumahan, dan
sebagainya. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan dalam berbagai publikasinya bahwa umat
manusia menuju pada suatu dunia yang semakin mengkota (urbanizing world) (lihat UNCHS 1996; 2001;
UN Habitat 2008; Sueca 2009).
Sesungguhnya ada beberapa kajian yang telah dilakukan tetapi masih bersifat sangat parsial, baik
menyangkut substansi, lokasi mapupun perspektif kajian. Meganada (1990) misalnya melakukan kajian
terhadap perumahan KPR/BTN di Suwung Kangin, kota Denpasar. Kajian ini menghasilkan suatu informasi
awal tentang adaptasi spasial yang dilakukan warga Bali terhadap rumah yang ditempati, namun bukan
dalam konteks kajian masyarakat urban. Demikian pula Sueca (1997) telah melakukan suatu studi perubahan
pola spasial pada rumah tradisional di Desa Kesiman Kota Denpasar. Kajian awal ini menghasilkan suatu
informasi dasar tentang bagaimana dan mengapa masyarakat Bali melakukan transformasi pada rumah
FD36;E;A@3> ?7D7=3 +G753 3=G=3@ =3; ;:3D3B=3@43:I33=3@63B3F6;;67@F;V=3E;BA>3BA>33=F;H;F3E63@=7DG3@93@?3EK3D3=3FBA>3
spasial rumah masyarakat di daerah urban, serta unsur-unsur yang tetap dan berubah.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini akan dilakukan di daerah perkotaan di Bali dengan mengambil kasus wilayah Kota
Denpasar. Pemilihan Denpasar sebagai kasus didasarkan pada beberapa pertimbangan, yakni Denpasar kota
B3>;@9?A67D@6;637D3:;@;3=E7EB7@7>;F;E753D397A9D3VI3=FG63@3=E7E;@8AD?3E;B3>;@9?7?G63:=3@
untuk melakukan penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif mengingat
aspek kultur yang sangat kental dalam tata ruang hunian di Bali (lihat Lincoln & Guba, 1985; Moeleong,
1994; Muhadjir, 1992; Mulyana, 2008; Sugiyono, 2009a, 2009b; Bungin, 2009). Kasus penelitian dipilih
menggunakan pendekatan snowball dimana data dikumpulkan menggunakan berbagai teknik seperti
observasi, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi.
3F3 BD;?7D ?7@K3@9=GF 63F363F3 F7D=3;F 67@93@ 63F3 B7@9:G@; 63F3 VE;= DG?3: 43;= DG?3:
tinggal tradisional maupun rumah tinggal kekinian. Aspek-aspek yang akan dikaji antara lain adalah pola
aktivitas (domestik, sosial, kultural), fungsi rumah (hunian, ekonomi, sosial, kultural, simbolik), jenis
ruang, nilai ruang, orientasi ruang, sistem nilai yang dianut penghuni, pola pemanfaatan ruang, ukuran dan
luasan ruang serta ukuran dan luasan rumah, jumlah ruang, jenis pemanfaatan ruang, dsb. Data dianalisis
terutama menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik ini digunakan untuk menganalisis pola-pola, maknamakna keruangan yang terjadi serta perubahan atau transformasi yang terjadi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Transformasi Hunian Tradisional Di Daerah Perkotaan
Hunian tradisional Bali telah lama menjadi daya tarik para peneliti arsitektur terutama terkait
dengan perubahan yang terjadi, baik akibat internal ataupun eksternal. Namun penelitian tentang fenomena
hunian tradisional di daerah perkotaan masih relatif sedikit. Meskipun ada beberapa, itu pun masih pada
tingkat eksplorasi. Seperti telah ditulis banyak orang, masyarakat Bali yang sangat kental unsur budayanya
memiliki hunian yang mengandung makna-makna mendalam. Dari segi teknis tidak terlalu banyak yang
spesial karena unit-unit ruang serta bangunannya relatif kecil dan sederhana. Namun tatanan nilai yang
terkandung didalamnya sangatlah khas.
Masyarakat perkotaan memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan masyarakat di
637D3:B7D67E33@ +753D3VE;=>;@9=G@93@B7D=AF33@57@67DG@9?7?;>;=;=7B363F3@B7@6G6G=>74;:F;@99;
Demikian pula dalam hal kepadatan bangunannya. Harga lahan di daerah perkotaan jauh lebih mahal
dibandingkan dengan di daerah perdesaan. Karena lebih padat, baik penduduk maupun bangunannya,
daerah perkotaan umumnya relatif lebih panas akibat daerah penghijauan yang kurang sedangkan daerah
perkerasan yang lebih banyak. Secara sosiologis, masyarakat perkotaan bersifat lebih individual, solidaritas
komunal berkurang. Nilai-nilai ekonomi lebih tinggi dibandingkan dengan daerah perdesaan.
Seperti telah diperkirakan, bahwa ruang konservasi lingkungan pada rumah tradisional umumnya
F7>3:?7@9:;>3@9F7DGF3?3=3D7@3=74GFG:3@DG3@9K3@9?7@;@9=3F43;==3D7@3B7D=7?43@93@67?A9D3V
keluarga maupun karena alasan lainnya. Pada hampir setiap rumah tradisional ditemukan adanya area
belakang rumah berupa teba atau kebun/ladang yang memiliki banyak fungsi. Sejak beberapa dekade lalu
kebun ini telah beralih fungsi menjadi ruang untuk melakukan kegiatan, baik domestik, ekonomi, sosial
maupun kegiatan lainnya sesuai dengan kebutuhan dan keinginan penghuni.
2064 | Kuta, 29-30 Oktober 2015
SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015
Secara prinsip rumah tradisional masyarakat Bali perkotaan telah mengalami perubahan mendasar,
baik dari segi fungsi, tatanan spasial, bentuk, ornamentasi, dan nilai yang melekat pada rumah. Fungsi rumah
kini bukan sekedar tempat melaksanakan kegiatan sosial dan budaya serta reproduksi semata melainkan
telah berkembang sebagai tempat produksi dan memiliki nilai komoditi. Rumah kini menjadi sumber
pendapatan keluarga, baik sebagai pendapatan utama maupun pendapatan sampingan. Akibat pergeseran
ini, rumah mengalami berbagai transformasi yang sangat mendasar seperti misalnya lunturnya sikap sing
bani ngeluanin, menggusur letak sanggah/merajan, hilangnya teba dan telajakan bahkan menyempitnya
natah. Hal ini juga berdampak sosial yang cukup serius pada beberapa keluarga terutama terkait dengan
pembagian waris. Dapat dikatakan bahwa rumah kini memiliki fungsi yang semakin kompleks.
3.2
Pola-Pola Aktivitas Dan Keruangan Hunian
Seperti telah disinggung sebelumnya, fungsi rumah kini telah berkembang dan demikian pula
dengan aktivitas yang muncul di dalamnya. Secara umum ditemukan beberapa kategori kegiatan di rumah
masyarakat perkotaan di Bali antara lain adalah aktivitas domestik, aktivitas ritual, aktivitas ekonomi, dan
aktivitas sosial.
a.
Aktivitas domestik
Pada umumnya aktivitas domestik di dalam rumah bagi masyarakat perkotaan dan perdesaan tidak
terlalu banyak berbeda. Perbedaan yang ada adalah pada jenis, intensitas, proporsi kegiatan. Aktivitas
domestik seperti: memasak, beristirahat, mencuci, bekerja, belajar, bersenda gurau, membersihkan rumah,
berkebun, menerima tamu, berekreasi, menyimpan, mandi dan membersihkan diri, dan berbagai kegiatan
sejenis lainnya. Pergeseran antara kegiatan masyarakat tradisional dengan masyarakat kini sangat menyolok
terutama terkait dengan gaya hidup. Rumah kini menyediakan hampir semua fasilitas yang dulu disediakan
oleh lingkungan. Masyarakat tradisional dulu melakukan kegiatan mandi, mencuci, bersosialisasi, berjualan,
berkebun di luar rumah sementara kini semuanya dilakukan di dalam rumah.
b.
Aktivitas ritual
Secara umum, aktivitas ritual tidak terlalu banyak mengalami perubahan dan tidak pula berpengaruh
penting terhadap tatanan spasial rumah. Hal ini telah menjadi temuan umum bahwa hal-hal yang terkait
dengan nilai religiusitas dan kegiatan keagamaan paling sedikit mengalami perubahan dibandingkan
dengan unsur-unsur kebudayaan lainnya. Kegiatan ini meliputi aktivitas menghaturkan sodan (ritual harian
setelah selesai memasak), melaksanakan panca yadnya seperti sembahyang setiap hari, pada saat hari-hari
tertentu (purnama, tilem, tanggalan kliwon, dll.), melaksanakan butha yadnya seperti halnya (mecaru),
melaksanakan manusa yadnya (upacara pernikahan, potong gigi, tiga bulanan, 42 hari, menek kelih,
ngaben), dan berbagai aktivitas ritual lainnya.
Akan tetapi yang menarik adalah terjadi perubahan terkait dengan tempat menyelenggarakan
kegiatan-kegiatan ritual tersebut. Khususnya kegiatan-kegiatan ritual keagamaan yang besar seperti potong
gigi, pernikahan, ngaben umumnya dilakukan pada rumah tua, namun ada juga yang melakukannya bukan
di rumah tua. Jika dilakukan bukan di rumah tua, maka ruang yang digunakan untuk melakukan kegiatan
ritual ini sangat bervariasi. Jika memungkinkan, maka bale adalah pilihan ideal. Akan tetapi jika tidak maka
ruang yang ada dapat digunakan seperti ruang tamu, ruang keluarga, ruang tidur, ataupun beranda. Selain
itu, aktivitas ritual juga dapat dilakukan di dalam ruang suci. Ruang-ruang seperti ini banyak bermunculan
mungkin karena kini masyarakat memerlukan privasi yang lebih untuk memperoleh kekhusukan didalam
melakukan kegiatan seperti meditasi, tapa, yoga, dsb.
c.
Aktivitas ekonomi
Aktivitas ekonomi nampak merupakan perubahan mendasar pada seting tradisional rumah orang
Bali, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan. Akan tetapi, penampakan kegiatan ekonomi di daerah
perkotaan lebih dominan dibandingkan dengan di daerah perdesaan. Umumnya, kegiatan ekonomi
Kuta, 29-30 Oktober 2015 | 2065
SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015
?7?B7D>;:3F=3@B7DG43:3@B363F3?B;>3@VE;=DG?3:FD36;E;A@3>K3@9?7@99G@3=3@3D73F7>33?;FD3@E8AD?3E;K3@9E;9@;V=3@ 3>;@;F7D>;:3F@K3F3B363=AD;6AD=AD;6ADGF3?3=AF3
dan fenomena ini semakin menggejala sampai pelosok-pelosok daerah perdesaan. Mungkin ini dapat
menjelaskan proporsi masyarakat perkotaan yang memiliki profesi lebih banyak diluar petani karena
mayoritas masyarakat kota adalah bukan bergerak dibidang pertanian. Akan tetapi, area yang lebih dalam
dari rumah tradisional juga bertransformasi menjadi tempat atau ruang untuk melaksanakan kegiatan
ekonomi. Disamping terdapat bale yang diubah bentuk dan fungsinya menjadi tempat produksi, ruangruang juga diciptakan untuk kepentingan ekonomi.
3.3
a.
Pola Spasial Rumah Masyarakat Di Daerah Urban
Depan Dan Belakang Rumah
Dalam literatur, tatanan spasial rumah tradisional lebih banyak dipengaruhi oleh nilai sakral profan
Kini, berbagai fenomena muncul sebagai bagian dari perubahan terus menerus yang terjadi.
Fenomena ini antara lain adalah: depan belakang; bersih kotor, atas bawah, publik privat, disamping
tatanan tradisional tetap bertahan seperti hulu teben, sakral dan profane. Fenomena depan dan belakang
dapat dikenali dari berbagai indikator seperti: penempatan ruang dengan berbagai fungsi; jenis dan sifat
kegiatan yang dilakukan serta distribusinya dalam rumah; peralatan dan perlengkapan yang digunakan
serta ditata dalam masing-masing ruangan
Umumnya yang ditaruh di depan adalah yang bersifat: “bersih”, bernilai, suci, utama, sedangkan
yang ada di bagian belakang adalah yang kotor, kurang bernilai, Yang kotor: gudang tempat menaruh
berbagai benda, pengaturannya bisa berantakan, kurang tertata/kurang rapi/jelek, secara visual memberi
kesan buruk, barang bekas pakai, barang tidak terpakai lagi, hendak dibuang, sisa-sisa. Kamar mandi/WC
tepat melakukan kegiatan mandi, buang air yang dianggap kotor diletakkan di belakang, atau tersembunyi,
jauh dari pandangan publik. Demikian pula tempat jemuran, pakaian kotor, barang bekas dan alat-alat
rumah tangga umumnya diletakkan di bagian belakang rumah.
b.
Hulu dan teben
Kekuatan nilai-nilai tradisi terlihat masih tersisa dalam banyak hal khususnya nilai hulu teben.
Penempatan ruang-ruang suci untuk tempat bersembahyang keluarga sepertinya merupakan harga mati
yang sulit ditawar. Tetap ada patokan kemana arah yang dianggap suci yakni ke arah matahari terbit (timur/
kangin) dan ke arah ketinggian/gunung (kaja). Penempatan tempat suci, arah tidur masih tetap berpatokan
pada sumbu ritual dan sumbu bumi (sumbu kosmos).
c.
Sakral dan profan
Ruang bagi masayrakat tradisional tidak bersifat netral melainkan memiliki nilai yang sangat
terkait erat dengan nilai-nilai kepercayaan dan keyakinan. Masyarakat tradisional di Bali secara mayoritas
berkeyakinan Hindu. Ajaran dan kepercayaan keHinduan sangat berperan dalam menentukan bagaimana
masyarakat mempersepsi ruang. Seperti ditulis banyak peneliti, ruang memiliki nilai sakral profan. Bagi
kebanyakan masyarakat di daerah perkotaan, arah kiblat masih tetap dipertahankan terutama ke arah luan
dan teben.
d.
Bersih dan kotor
Fenomena ini sepertinya selaras dengan fenomena depan belakang. Depan berarti bersih dan
belakang identik dengan kotor. Namun demikian, tidak jarang dijumpai bahwa dibagian depan rumah
terdapat indikator-indokator kekotoran seperti jemuran, garasi, gudang, tempat sampah. Akan tetapi
umumnya hal ini terjadi terutama pada lahan-lahan sempit dimana arah depan memberikan keleluasaan
untuk mendapatkan sinar matahari untuk mengeringkan pakaian yang dicuci. Tiada pilihan lain karena
2066 | Kuta, 29-30 Oktober 2015
SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015
lahan penuh terbangun dimanfaatkan untuk mendapatkan ruang bangunan yang tertutup. Umumnya ruang
terbuka atau natah tersisa di bagian depan rumah
e.
Atas dan bawah
Vertikalitas telah menjadi fenomena penting dalam era kota di jaman modern seperti sekarang. Tanah
menjadi mahal, langka dan semakin terbatas. berbanding terbalik dengan jumlah manusia penghuninya.
Pengembangan tanah ke samping sangat tidak mungkin, oleh karena itu, kekurangan atas tempat dilakukan
ke arah atas, vertical. Dengan demikian muncul paradigma baru dalam membangun ke arah vertikal yang
memunculkan multi interpretasi.
f.
Single to multi family house
Jaman dulu, setiap keluarga tinggal dalam satu petak pekarangan rumah yang terdiri dari beberapa unit
bangunan atau bale dengan fungsinya masing-masing. Kini, di tengah keterbatasan lahan dan kompleksitas
fungsi serta nilai yang berkembang seiring dengan kemajuan masyarakat, cara bermukim juga mengalami
perubahan. Rumah dapat terdiri dari satu atau lebih keluarga inti yang kemudian menjadi keluarga besar
(extended family).
Bangunan ada yang masih berupa bale dengan fungsi khusus seperti bale dangin atau bale daja,
jineng/kelumpu, dsb. Kini juga bale atau bangunan dapat terdiri dari beberapa ruangan dengan berbagai
fungsi yang diwadahi. Rumah kini dapat terdiri dari beberapa bale atau bangunan, dengan satu atau banyak
ruangan, dengan satu atau beberapa fungsi yang diwadahi, dihuni oleh satu atau lebih keluarga
g.
Publik dan privat
Rumah sebagai area privat pada kenyataannya seringkali berubah fungsi menjadi area publik dimana
setiap orang memiliki akses untuk menggunakannya. Demikian pula rumah di Bali. Tetapi kenyataannya
bahwa kebutuhan privasi bagi masyarakat kini di daerah perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
kenyataan pada rumah tradisional. Fenomena ini merupakan fenomena yang berkembang pada masyarakat
Bali modern terutama di daerah perkotaan. Kebutuhan perivasi ini umumnya berbanding lurus dengan
status sosial masyarakat. Semakin tinggi status sosial seseorang maka kebutuhan privasinya meningkat.
Demikian pula sebaliknya.
h.
Nilai komoditas
Rumah dulu memiliki nilai sakral yang tidak dapat diperjualbelikan. Kini, tanah dan rumah yang
ada didalamnya merupakan barang dagangan yang dapat diperjualbelikan, memiliki nilai ekonomi. Ada
sebagian masyarakat yang menganggap bahwa tanah yang mereka tempati adalah tanah ulayat milik
desa yang sewaktu-waktu karena keadaan tertentu dapat diambil kembali atau dikembalikan kepada desa
sebagai pemilik.
i.
Seting sosial kultural menjadi tempat produksi
Jika pada jaman tradisional sawah dan ladang merupakan lahan pokok untuk berproduksi terutama
hasil-hasil pertanian pada jaman masyarakat agraris. Dulu rumah merupakan seting sosial dan kultural
dimana masyarakat melakukan kegiatan-kegiatan domestik, kegiatan sosial dan kegiatan-kegiatan yang
terkait dengan upacara keagamaan semata. Kini ketika masyarakat memiliki profesi yang beragam dan
ganda, sawah dan ladang bukan lagi sebagai tempat utama untuk berproduksi.
Rumah sebagai tempat produksi dapat berupa berbagai macam seperti halnya sungguh-sungguh
menjadi tempat dihasilkannya barang-barang yang bernilai ekonomi yang dapat menghasilkan uang
Disamping itu, rumah juga dapat disewakan, dikontrakkan, digadaikan, Bagian-bagian yang
dapat dijadikan tempat produksi dapat saja bagian depan rumah, belakang rumah, atau bagian tengah
(inti) rumah. Akan tetapi ada bagian penting rumah yang tidak pernah dijadikan tempat produksi yakni
tempat suci (sanggah/merajan). Sedangkan bale-bale beberapa dijadikan sebagai tempat produksi apakah
Kuta, 29-30 Oktober 2015 | 2067
SEMINAR NASIONAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2015
sebagai tempat untuk melakukan kegiatan yang menghasilkan barang-barang atau sekedar sebagai gudang
sementara hasil produksi, atau keduanya
j.
Esensi natah
Ruang sebagai pusat orientasi di dalam rumah tradisional yang disebut dengan natah sampai saat ini
masih dianggap sebagai ruang yang sangat esensial, baik yang bermakna spiritual maupun profan. Ruang
ini masih memiliki fungsi terutama dalam kaitannya untuk mewadahi kegiatan-kegiatan ritual keagamaan.
Hal ini menjadi fakta, baik pada rumah tradisional yang sudah berkembang maupun pada rumah baru di
perkotaan.
4.
KESIMPULAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa telah banyak terjadi perubahan yang sangat mendasar dalam pola
tata ruang hunian masyarakat Bali di daerah perkotaan dan mungkin perubahan ini akan terus berlanjut
seiring dengan perkembangan dinamikan kehidupan masyarakat Bali pada umumnya. Rumah kini bukan
lagi semata merupakan seting kultural dan tempat reproduksi melainkan juga merupakan tempat produksi
yang memiliki nilai komoditas. Hasil penelitian ini juga cukup mengejutkan dimana hal-hal terkait dengan
unsur relegi dalam kebudayaan yang umumnya sukar berubah ternyata dalam fenomena hunian masyarakat
Bali perkotaan telah mengalami pergeseran (Koentjaraningrat, 1987). Terdapat keragaman penafsiran
terhadap apa yang dianggap benar dan apa yang dianggap cocok bagi masyarakat Bali terutama yang
beragama Hindu. Hal ini terkait dengan orientasi sakral profan yang memunculkan berbagai variasi tata
ruang hunian modern sekarang ini. Apabila dalam masyarakat tradisional orientasi adalah kearah gunung
dan kearah matahari terbit maka kini juga muncul orientasi depan belakang, bersih kotor, publik privat,
atas bawah. Keberagaman interpretasi terhadap nilai baru ini merupakan satu bentuk ekspresi hilangnya
otoritas arsitek tradisional, tumbuhnya otoritas pemilik yang lebih dominan didalam merancang hunian
yang mereka inginkan.
Ucapan Terimakasih
Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan untuk melakukan
penelitian ini melalui pendanaan yang diberikan sehingga penelitian ini dapat dilakukan. Tanpa ini tidak
mungkin penelitian ini dilaksanakan. Terima kasih juga kami sampaikan kepada seluruh mahasiswa PS
Arsitektur FT Unud yang telah sangat membantu didalam pengumpulan serta pengolahan data. Tanpa
bantuan mereka mustahil penelitian ini dapat diselesaikan. Terakhir ucapan terima kasih harus kami tujukan
kepada seluruh responden dan masyarakat Bali umumnya yang dengan rela rumahnya dijadikan kasus
dalam penelitian ini. Kontribusi mereka tidak kalah pentingnya untuk penelitian ini. Kepada semua rekan
juga disampaikan terima kasih atas sumbang saran, kritik serta dukungan moralnya selama penelitian ini
dilaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA
Budihardjo, R. (1994) ‘Perubahan Fungsi dan Tata Ruang Puti-Puti di Bali: suatu kajian sejarah sosial’.
Tesis S2. Bandung: ITB
Bungin, B. (2009) Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana.
Koentjaraningrat. (1987) Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.
Lincoln, Y. S. & Guba, E. G. (1985) Naturalistic Inquiry. Beverly Hills: Sage Publications.
Meganada, I W. (1990) ‘Pola Tata Ruang Arsitektur Tradisional Dalam Perumahan KPR/BTN di Bali: suatu
evaluasi arsitektur