Kronologi Raja-Raja Bali Abad XIII-XIV Sejak Penaklukan Gajah Mada.
1
Kronologi Raja-Raja Bali Abad XII-XIV
Sejak Penaklukan Gajah Mada
Ida Bagus Sapta Jaya
Program Studi Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Udayana
Abastrak
Raja Ast asura Rat na Bumi Bant en tahun 1337-1343 M asehi dan dit akulukan oleh Gajah
M ada t ahun 1343 M asehi. Selanjutnya digant ikan oleh Cri Kresna Kepakisan yang
dinobat kan m enjadi raja di Bali dan berkedudukan di Samprangan yang m em erint ah t ahun
1350-1380 M asehi, dan digantikan oleh adiknya I Dew a Ket ut Ngulesir dan berkedudukan di
Gelgel, yang mem erint ah t ahun 1380-1460. Pada t ahun 1384 M asehi raja W engker yang
bernama Cri Wijayarajasa dapat m enyelesaikan sengket a desa Pem ut eran dengan desa
Abang.
Kata Kunci : Kronologi, Penaklukan Gajahmada, Hubungan raja W engker
Ast asura Raja Rat na Eart h Bant en years 1337-1343 AD and dit akulukan by Gajah M ada in
1343 AD. Subsequently replaced by Cri crow ned Krishna Kepakisan the king in Bali and
domiciled in Samprangan who ruled in 1350-1380 BC, and was replaced by his brother I
Dew a Ket ut Ngulesir and domiciled in Gelgel, w ho ruled in 1380-1460. In the year 1384 AD
Wengker king nam ed Cri Wijayarajasa can reso lve disput es w it h the village Pemut eran
villageAbang.
Keyw ords: Chronology, Conquest Gajahmada, king Relations Wengker
1.Pendahuluan
Sebelum penelitian ini, belum ditemukan penulisan sejarah yang meliputi kurun
waktu sejak ekspedisi Gajah Mada ke Bali pada 1343 sampai akhir abad XIV (1389 Masehi).
Memang, ditemukan beberapa artikel mengenai hal itu, tetapi belum dapat dikatakan
menyeluruh dan masih ditulis secara terpisah-pisah. Padahal, berdasarkan penelitian
ditemukan data yang menunjukan bahwa keadaan pemerintah di pulau Bali pada masa itu,
telah berada di bawah kekuasaan Majapahit dan telah mengalami perubahan baik dalam
bidang pemerintahan maupun sosial budaya. Perubahan yang dimaksud, antara lain
perubahan masa pemerintahan, Abiseka nama raja, hubungan kekeluargaan, pemerintahan,
struktur masyarakat, agama dan kepercayaan, dan kesenian dan kesusastraan pasca
2
pendudukan raja-raja Bali dari Majapahit. Keadaan ini kemudian menimbulkan pertanyaan
1)Bagaimanakah kronologi raja-raja Bali pasca penundukan oleh kerajaan Majapahit pada
tahun 1343 sampai dengan tahun 1398 Masehi? 2) Bagaimana hubungan kerajan Bali dengan
kerajaan Majapahit dan hubungan kerajaan Majapahit dengan kerajaan Wengker sejak tahun
1343 sampai dengan tahun 1398 Masehi?
Dengan demikian tujuan penulisan ini adalah 1) Untuk mengetahui kronologi
pemerintahan raja-raja di Bali sejak penaklukan Gajah Mada tahun 1343 sampai dengan
tahun 1398 Masehi. (Abad XIII-XIV). 2) Untuk mengetahui bagaimana hubungan kerajan
Bali dengan kerajaan Majapahit dan hubungan kerajaan Majapahit dengan kerajaan Wengker
sejak tahun 1343 sampai dengan tahun 1398 Masehi.
1.1.Metode Penyusunan
Dalam menyusun kronologi kerajaan Bali abad XIV sejak penaklukan Gajah Mada ini
dipergunakan metode riset di perpustakaan (Library research) yaitu mencari dan
mengumpulkan bahan-bahan pustaka yang ada kaitanya dengan masalah tersebut di atas. Di
Samping itu dalam tahap pengumpulan data juga diadakan riset lapangan, yaitu mengadakan
peninjauan langsung ke obyek bersangkutan yaitu ke pura Gunung Panulisan. Data trankripsi
koleksi Ketut Ginarsa. Untuk mendapatkan informasi-informasi seperlunya maka dalam
kaitan ini dipergunakan metode interviu. Dalam pengolahan data dipergunakan metode
deskriptif yaitu disalin sesuai dengan yang disebutkan dalam sumber-sumber dan setelah data
terkumpul kemudian dikomparasikan. Dari penggunaan metode Komparatif selanjutnya data
yag terlengkaplah yang dipakai yang dikaji dalam penelitian ini.
3
1.2.Sumber Penyusunan
Sumber yang dipergunakan dalam penyusunan penelitian ini berupa empat buah prasasti
yaitu prasasti nomor 810 Gunung Panulisan E, nomor 811 Langgahan, nomor 901 Batur, Pura
Abang C dan Nomor 902 Gobleg, Pura Batur C. Prasasti nomor 810 telah direvisi oleh Goris
menjadi nomor 903b = D 67, sedangkan prasasti nomor 811 Langggahan direvisi menjadi
nomor 814 = D 63. Prasasti nomor 901 Batur, Pura Abang C direvisi menjadi nomor 901a
Abang, Pura Batur C = D 65 dan prasasti nomor 902 tetap tidak mengalami perubahan yakni
nomor 902 Gobleg, Pura Batur C = D 66. (Goris, 1967 : 68-69). Sumber lain adalah berupa
Pamancangah dan Babad-Babad.
I.3.Penelitian Sebelumnya
Penelitian terhadap masalah yang telah disebutkan di atas sebenarnya telah dimulai
sejak masa lalu oleh beberapa orang sarjana baik sarjana luar negeri maupun dalam negeri.
Pada tahun 1926 telah terbit hasil penelitian sarjana Belanda yang bernama Van Stein
Callenfels dengan judul “Epigraphia Balica I” yang memuat ada 24 sampai 28 transkripsi
prasasti huruf Latin dan salah satu diantaranya adalah prasasti nomor 902 Gobleg, Pura Batur
C. (Callenfels, 1926 : 13). Pada 1927-1928, Residen Caren menyuruh juru potret Cina untuk
membuat foto-foto prasasti Bali, hasilnya dikumpulkan menjadi koleksi Caren yang diberi
kode CA. Oudhedenkundige Dienst (Dinas Purbakala) juga membuat dikumentasi prasasti di
Bali lalu hasilnya diberi kode OD. Dari sekian banyak foto prasasti baik koleksi Caron
maupun koleksi Dinas Purbakala telah diteliti oleh Goris dan di antaranya terdapat dua buah
prasasti yang memuat tentang kerajaan Bali menjelang diserang oleh Majapahit yaitu prasasti
nomor 810 Gunung Panulisan E dan nomor 811 Langgahan. Kedua prasasti ini telah diteliti
oleh Stuterheim dan Damais. (Stutterheim, 1929 : 17,18 ; Damais, 1952 : 96-97 ; Goris, 1954
: 44). Dalam prasasti disebutkan nama raja Cri Astasura Ratna Bumi Banten. Setelah
4
penaklukan Gajah Mada tahun 1343 sampai dengan tahun 1398 Masehi, sampai saat ini baru
ditemukan dua buah prasasti, yaitu prasasti nomor 901 Batur, Pura Abang C dan nomor 902
tersebut. Kedua prasasti yang disebut belakangan ini menyebutkan nama raja Wijayarajasa
dari Negara Wengker. (Goris, 1965 : 47).
Pada 1929 hasil terbitan Berg dengan judul “Kidung Pamancangah”. Pamancangah ini
menyebutkan antara lain nama raja Cri Kresna Kepakisan yang berissthana di Samprangan.
(Berg, 1929 : 9). Pada 1931 hasil karya Krom diterbitkan kembali yang merupakan edisi
kedua dengan judul “Hindoe Javaansehe Geschiedenis”. Di dalamnya disebutkan bahwa
setelah penaklukan Gajah Mada dikirimlah Kresna Kepakisan menjadi raja di pulau Bali.
Kemudian pada 1384 raja Wijayarajasa dari Negara Wengker menetapkan prasasti nomor
901 Batur, Pura Abang C, sedangkan pada tahun 1398 Masehi dikatakan bahwa Wijayarajasa
telah moksa di Wisnubhawana. Wijayarajasa adalah paman raja Hayam Wuruk. (Krom, 1931
: 384-410). Pada 1948 terbit hasil penelitian Goris dengan judul “Sejarah Bali Kuna”. Di
dalamnya antara lain disebutkan bahwa sebelum penaklukan Gajah Mada pada 1343 Masehi
yang menjadi raja di Bali adalah Cri Astasura Ratna Bumi Banten.(Goris, 1948 : 13). Pada
1952 terbit hasil karya Damais yang memuat daftar prasasti yang terpenting di Indonesia
yang memakai tanggal dan angka tahun. Dalam daftar tersebut Damais mendaftar prasasti di
Bali dengan kode D1 – D 67. Untuk prasasti nomor 810 dan 811 diberi kode D 67 dan 63.
Sedangkan untuk prasasti nomor 901 dan 902 diberi kode D 65 dan D 66. (Goris, 1967 : 68).
Sampai tahun 1954 di Bali makin banyak ditemukan prasasti baru. Goris bertugas di
Bali sejak bulan September 1928 mendapat tugas rangkap, pertama menerbitkan piagampiagam di Bali dalam bahasa Jawa Kuna (OJ) dan kedua untuk mengadakan penyelidikan
tentang agama dan kepercayaan orang Bali. Namun, mulai 1932 tugas ini berubah, dengan
mendapat kebebasan untuk mengadakan koleksi dan terjemahan-terjemahan terhadap
piagam-piagam yang ada di Bali. Maka mulai saat itu Goris menjelajah pelosok-pelosok desa
5
di Bali ini, teristimewa daerah-daerah di sekitar bukit Kintamani. Setelah bekerja keras dalam
waktu lebih dari 22 tahun barulah bisa diterbitkan hasil penelitiannya dengan judul “Prasasti
Bali I da II” (1954). Buku ini selain membuat ikhtisar tentang semua piagam-piagam yang
ada di Bali (yang dibagi ke dalam 10 group) juga khusus membicarakan periode raja Anak
Wungsu. (Puger, 1964 : 4-5).
Selanjunya pada 1965 Goris mengadakan revisi terhadap beberapa nomor prasasti di
antaranya beberapa prasasti yang berasal dari sebelum dan sesudah penaklukan Gajah Mada
sampai dengan akhir abad XIV. Disebutkan pula bahwa pada 1384 Masehi raja Wijayarajasa
dari Negara Wengker mengeluarkan ketetapan-ketetapan antara desa Pemuteran dengan desa
Abang. Selanjutnya dikatakan dalam prasasti nomor 902 adalah untuk pertama kalinya
dikenal dengan istilah Arya. (Goris, 1967 : 49). Pada 1968 seorang putra Bali yang bernama
Ginarsa telah mengadakan penelitian terhadap lontar Rajapurana yang isinya menceritakan
tentang keadaan di pulau sebelum diserang oleh Gajah Mada sampai akhirnya Cri Kresna
Kepakisan dikirim menjadi raja di Bali yang istananya di Samprangan.(Ginarsa, 1968 : 1-47).
Tujuh tahun kemudian tepatnya tahun 1975 kembali Ginarsa mengadakan penelitian
terhadap lontar “Bancangah Ksatria Pungakan Dalem” di desa Pujangan yang isinya
menceritakan tentang kerajaan di Bali setelah pemerintahan Cri Kresna Kepakisan. Raja
Kresna Kepakisan digantikan pertama oleh I Dewa Agra Samprangan (Dalem IIe), kemudian
digantikan oleh adiknya yaitu I Dewa Ketut Ngulesir (Cri Asmara Kapakisan) yang
memindahkan pusat kerajaan Samprangan ke Gelgel pada tahun 1398 Masehi. (Salinan
“Bancangah Ksatria Pangakan Dalem” Koleksi Ketut Ginarsa, hal 42, ; Salinan Babad
Mengwi, 1974 : 5). Tahun 1975 itu, telah terbit hasil penelitian Noordaya tentang raja-raja
Timur Majapahit yang diberi catatan oleh Brian E Callese. Dikatakan bahwa Wijayarajasa
adalah raja timur yang diidentifikasikan sebagai putra mahkota yang negaranya di Wengker
dan pemerintahannya berada di bawah kekuasaan Majapahit. (Noordaya, 1975 : 479-789).
6
Khusus mengenai prasasti nomor 901 Batur, pura Abang C telah diteliti kembali oleh
Budiastra beserta rombongan pada tanggal 7 Januari 1980. Prasasti ini sekarang disimpan di
pura Tuluk Biyu di sebelah selatan pura Ulun Danu Batur.
2.Pembahasan
2.1 Kronologi Raja-Raja Bali Abad XIII-XIV
Uraian selanjutnya akan dibagi dua bagian, yaitu : 1) Kronologi raja-raja Bali atau
urutan nama raja-raja Bali dari tahun 1300 sampai dengan tahun 1398 Masehi (Abad XIIIXIV). 2. Ekspedisi Gajah Mada ke Bali. Mengenai bagian dua ini sebenarnya telah tercakup
dalam bagian satu, yaitu dalam masa pemerintahan raja Cri Astasura Ratna Bhumi Banten.
Namun, kiranya dirasakan perlu memisahkan bagian ini dengan tujuan untuk memberikian
gambaran secara singkat tentang kerajaan Bali sejak diserang oleh Majapahit. Disamping itu
untuk mengetahui bagaimana taktik dan strategi perjuangan Gajah Mada sampai akhirnya
kerajaan Bali dapat ditundukan pada tahun 1343 Masehi.
1. Kronologi raja-raja Bali abad XIII-XIV
a) Raja Patih Kebo Parud (Caka 1218-1222)
Berdasarkan prasasti nomor 801b Pangotan E (nomor lama 801) = D.59 bertahun
1218 Caka dan prasasti nomor 802a Sukawana D (nomor lama 802) bertahun 1222 Caka
dapatlah diketahui bahwa raja yang memerintah di pulau Bali saat itu adalah Ki Kebo Parud.
Baginda diberi gelar Raja Patih. Dengan disebutkan nama baginda pada kedua prasasti di atas
sangatlah kuat kemungkinannya bahwa pemerintahan baginda di Bali sangat erat kaitannya
dengan penaklukan raja Kertanegara pada tahun 1206 Caka. Hal ini didasarkan atas
pangkatpangkat atau jabatan-jabatan tinggi kerajaan yang tersebut dalam prasasti itu jelas
menunjukan corak Jawa. (Semadi Astra, 1977 : 28).
7
Pada masa pemerintahan Kebo Parud di Bali banyak lowongan jabatan yang belum
terisi misalnya seperti Senapati Dinganga, Senapati menyirikan dan Senapati Baladyaksa.
Demikian pula para pendeta Ciwa dan Budha, telah ditentukan, namun mereka itu belum
dilantik. Peraturan-peraturan dengan nama terdahulu. Saat itu yang menjadi raja di Jawa
adalah Kertarajasa Jayawardana atau Raden Wijaya. Hal ini terjadi karena kerajaan Singosari
dapat ditaklukan oleh Kadiri (Daha) tahun 1292 Masehi yang mengakibatkan Bali kembali
menjadi pengawasan Kediri. Pada tahun 1293 Masehi Kediri ditaklukan oleh Majapahit
sehingga pulau Bali secara Otomatis berada di bawah kekuasaan Majapahit. (Ginarsa, 1968 :
5). Hasil-hasil kesusastraan yang berhasil dibawa ke Bali waktu itu adalah Kakawin Arjunawiwaha, Kresnayana, Sumanasantaka, Asmaradahana, Bharatayudha, Wretasancaya, dan
lain-lainnya.
b) Bhatara Cri Mahaguru, Caka 1246-1247
Pemerintahan Raja Patih Kebo Parud di pulau Bali hanya bersifat sementara. Karena
beberapa tahun kemudian pulau Bali ini keadaannya sudah pulih kembali maka tepatnya pada
tahun 1324 Masehi oleh Jayanegara (Raja Majapahit yang menggantikan Raden Wijaya)
pemerintahan di Bali dikembalikan ke tangan seorang keturunan Warmadewa, yaitu Cri
Dharma Uttunggadewa-warmadewa yang kemudian bergelar Cri Paduka Maharaja Bhatara
Mahaguru Dahrmotungga Warmadewa. Berdasarkan prasasti nomor 803 Hyang Putih = D.
60 baginda memerintah bersama-sama dengan cucunda yang bernama Cri Trunajaya sampai
tahun 1274 Caka. (Goris, 1967 : 45 ; Callenfels, 1926 : 50-52).
Paduka Bhatara Cri Walajaya Krttaningrat bersama-sama dengan ibunda janda raja
Cri Mahaguru (Caka 1250). Dalam prasasti nomor 807 Selumbang = D.62 yang bertahun
1250 Caka terbaca nama raja yang memerintah di Pulau Bali adalah Walajaya Krttaningrat
bersama-sama dengan ibunda janda Cri Mahaguru (…..cri walajaya krttaningrat kalih ibunira
8
sira paduka tara cri mahaguru…) ini berarti bahwa raja Cri Mahaguru telah wafat sebelum
tahun 1250 Caka. (Goris, 1967 : 45 ; Callenfels : 68-70).
c) Cri Astasura Ratna Bhumi Banten (Caka 1259)
Gelar raja ini terbaca dalam prasasti nomor 814 (nomor lama 811) Langgahan = D. 63
yang bertahun 1259 Caka dan dalam prasasti nomor 810 Gunung Panulisan E = D.67. Pada
jaman pemerintahan baginda juga dibuat undang-undang yang ditatah diatas perunggu yang
isinya disesuaikan dengan isi prasasti-prasasti yang telah ada. Semua keputusan-keputusan
biasanya diputuskan di dalam sidang yang didasarkan atas permusyawaratan biasanya
dilakukan di balai pendapa yang ada di istana. Para pendeta Ciwa, Budha dan Resi
Mahabrahmana serta pemuka-pemuka yang ada di desa sangat dihargai oleh baginda di
samping pejabat-pejabat resmi di pusat. Pemerintahan Cri Astasura Ratna Bumi Banten
sangat bijaksana dan sangat taat melakukan adat-adat upacara di pura. Namun suatu
keterangan yang sangat berbeda kita dapatkan di dalam kitab Negarakertagama sargah 49.4 di
mana antara lain disebutkan bahwa “ikang bali nathanya duccila niccaha” artinya raja pulau
Bali sangat jahat dan hina. (Pigeaud, 1960 : 36).
Ginarsa meneliti lebih jauh siapa sebenarnya yang dimaksud oleh Prapanca bahwa
pulau Bali rajanya jahat dan hina, yang memerintah tahun 1265 Caka. Dikatakan bahwa yang
dimaksud oleh Prapanca raja pulau Bali jahat dan hina tidak lain dari raja Cri Astasura Ratna
Bumi Banten sebagai raja Bedahulu. (Ginarsa, 1956 : 26-28). Berg berpendapat bahwa pada
jaman itu, terjadi suatu peperangan yang terjadi antara tahun 1331 dan tahun 1343 Masehi,
yaitu peperangan terhadap kerajaan di pulau Bali yang dikenal dengan sebutan “Perang
Sadeng”. Pendapat Berg ini ditanggapi oleh Krom antara lain dikatakan bahwa perang
Sadeng itu adalah pemberontakan yang terjadi di timur pulau Jawa terhadap kerajaan
Majapahit yang terjadi di timur pulau Jawa terhadap kerajaan Majapahit pada 1331 Masehi.
9
Sedangkan perang terhadap kerajaan di pulau Bali diselesaikan oleh kerajaan Majapahit pada
1343 Masehi. (Utrecht, 1962 : 81-89).
Kalau dibandingkan antara pendapat Berg dan Krom serta dikaitkan dengan
keterangan dalam prasasti Langgahan (tahun 1259 Caka) dan Rajapurana, maka dapat
dikemukakan di sini bahwa raja Astasura Ratna Bumi Bantenlah yang dapat ditaklukan oleh
Majapahit pada 1265 Caka. (Semadi Astra, 1977 : 29). Karena Cri Astasura Ratna Bumi
Banten merupakan raja Bali yang terakhir, maka Goris menduga bahwa raja ini mungkin
dapat disamakan dengan raja Bedaulu (Bedulu) yang bernama Mayadanawa seperti tersebut
pada lontar Usana Bali.(Sartono, 1977 : 160). Selain disamakan dengan Mayadenawa peneliti
juga memperkirakan Raja Asta Sura Ratna Bumi Banten sama dengan Cri Tapolung atau
lebih dikenal dengan raja Bedahulu. Hal itu diketahui dari Rajapurana raja Bali sebelum
diserang Gajah Mada bernama Cri Tapolung. Dijelaskan dalam Rajapurana Pupuh I.8-17
disebutkan bahwa yang menjadi raja di pulau Bali sebelum serangan Gajah Mada tahun 1343
Masehi bernama Cri Tapolung. Dalam Rajapurana disebutkan bahwa sebelum kedatangan
Ekspedisi Gajah Mada yang menjadi raja di pulau Bali bernama Cri Tapolung putra raja
Masula-Masuli. Mengenai nama Cri Tapolung ini dapat diuraikan yaitu Cri berarti bahagia;
keindahan; Tapolung terdiri dua kata yaitu tapa dan ulung; tapa (bahasa Sanskerta) berarti
„tapa, pertapa dan pendeta.( Pigeaud, 1960 : 419 ; Wojowasito, 1973 : 325). dan ulung (sakti)
berarti sakti. Dengan demikian maka Cri Tapolung mengandung pengertian yaitu gelar
seorang raja pertapa yang sakti dan ada hubungannya dengan pertapaan.
Kalau dikaitkan dengan sumber pasasti Langgahan dan Raja Purana di atas, dimana
dalam prasasti Langgahan disebutkan bahwa raja Cri Astasura Ratna Bhumi Banten
menetapkan pertapaan Langgaran dengan segala peraturannya dan di dalam raja purana
disebutkan bahwa seorang raja yang ada hubungannya dengan pertapaan (pertapa). Lebih
10
lanjut dapat dikatakan bahwa raja Cri Astasura Ratna Bhumi Banten sama dengan Cri
Tapolung.
Dalam Rajapurana juga disebutkan bahwa setelah raja pulau Bali berbeda dengan
pusat (Majapahit) raja bergelar Cri Beda Muka, Cri Beda Murdi atau Dalem Bedaulu.
Mengenai nama (gelar) raja ini dapat diuraikan yaitu Cri Beda Muka, Cri berarti bahagia,
keindahan, dan kebesaran, Beda berarti berbeda. Muka berarti muka, kepala, (Wojowasito,
1973 : 226). Cri Beda Murdi, Cri dan Beda sama artinya seperti disebutkan diatas, sedang
murdi (berasal dari bahasa Sanskerta mardda) berarti kepala. (Wojowasito, 1973 : 227).
Dalem Bedahulu berasala dari dua kata, yaitu Dalem berarti istana, gelar seorang raja.
(Pigeaud, 1969 : 58). Bedahulu berarti berbeda kepala. Dengan demikian ketiga gelar raja
yang disebutkan di muka, yakni beda muka, beda murdi dan Bedahulu adalah mengandung
pengertian yang sama, yakni seorang raja atau gelar seorang raja yang berbeda kepala dengan
pengertian bahwa raja berbeda dengan kepala (pusat), yaitu (Majapahit). Dapat ditambahkan
bahwa Raja Asta Sura Ratna Bumi Banten bergelar raja Cri Beda Muka, Beda Murdi atau
Dalem Bedahulu dan Cri Tapolung. Secara arkeologis peninggalan Arca Perwujudan Raja
Asta Sura Ratna Bhumi banten ditempatkan di Pura Kebo Edan di daerah Bedulu Gianyar
(Lihat lampiran Foto 1).
d) Cri Kresna Kapakisan (Caka, 1272-1302)
Setelah pulau Bali ditundukkan pada tahun 1265 Caka berselang beberapa tahun
kemudian, kira-kira tahun 1272 Caka di Majapahit diadakan persidangan yang dipimpin oleh
Gajah Mada dengan dihadiri oleh para menteri dan arya. Tujuannya untuk membicarakan
tentang kekosongan pemerintahan di pulau Bali. Dalam persidangan itu, dimintakan pula
pertimbangan kepada Ki Pasung Gerigis yang saat itu berada di Majapahit yang desa-desa
mana yang patut ditempati oleh para Arya dan pengiringnya. Berdasarkan musyawarah dalam
11
persidangan itu, ditetapkan desa-desa yang menjadi kedudukan para Arya dan pengiringnya.
Pemberian (hadiah) kedudukan kepada para Arya itu adalah merupakan imbalan dari jasajasa mereka pada waktu peperangan dahulu. Sedangkan yang ditunjuk oleh Gajah Mada
menjadi raja di pulau Bali adalah Cri Kresna Kapakisan dan setelah tiba di Bali
berkedudukan di Samprangan sedangkan Mapatihnya bernama Arya Kapakisan. (Sartono,
1977:160).
Mengenai Arya Kapakisan ini muncul secara tiba-tiba seperti tersebut dalam
Rajapurana Pupuh VIII, 34a, 34b, 56-64, Arya Kapakisan bersama-sama dengan Arya
Tumenggung mengadakan penyerangan di desa Celukanbawang, Banjar Aseman, Patemon
dan lain-lainnya yang akhirnya desa-desa itu dapat ditundukan. (Berg, 1929 : 9). Karena pada
waktu para Arya kembali ke Majapahit nama Arya Kapakisan tidak ada disebutkan,
kemungkinan Arya Kapakisan itu tetap tinggal di Pulau Bali.
Pembicaraan kita kembali pada raja di muka (Cri Kresna Kapakisan) dalam
Pamancangah antara lain disebutkan bahwa pada jaman Gajah Mada di Jawa tinggal seorang
suci dan sakti yang bernama Mpu Kapakisan dan berkat kesaktiannya telah menciptakan
seorang putra dari sebuah batu yang kemudian dikawinkan dengan bidadari. Dari perkawinan
ini lahir empat orang anak yaitu tiga laki-laki dan seorang putri. Waktu itu Gajah Mada
mengajukan permintaan kehadapan Mpu Kapakisan supaya anak-anak itu diserahkan
kepadanya, dan permintaan itu dikabulkan. Putra yang tertua dijadikan raja di Belambangan,
yang kedua dijadikan raja di Pasuruan, yang ketiga (putri) dikawinkan dengan raja Sumbawa
dan yang keempat dijadikan raja di Bali. Mungkin yang dimaksud dalam Pamancangah
dengan putra yang keempat adalah raja Cri Kresna Kapakisan. Pada waktu baginda
memerintah masih ada desa-desa Baliaga yang ingin memberontak terhadap kekuasaan
Baginda misalnya desa Campaga, Songan, Kedisan, Abang, Pingan, Munti, Benoh,
Tarebayan, Serahi (Serai), Sukawana, Panrajon, Kintamani, Pludu, kawan, Manikalyu
12
(manikliu), di sebelah timur seperti desa Culik, Tista, Margatiga, Mantig, Got, Garbhawana,
Lokasana, Juntal, Garinten, Sekulkuning, Puhan, Wulakan, Simbatan, Asti, Watuwayang,
Kadampal, Paselatan, Bantas, Datah,Watudawa, dan katabayan. (Berg, 1929 : 10). Dengan
adanya desa-desa yang belum mau tunduk kehadapan Cri Baginda, baginda merencanakan
untuk pulang ke Jawa (Majapahit). Akhirnya kepada Cri Baginda dihadiahkan sebilah pedang
yang bernama Si Pancajanya beserta seperangkat pakaiannya yang dikenakan pada waktu
dahulu, agar baginda lebih mudah mencapai kemenangan.15. Sejak saat itu kekuasaan
baginda makin meningkat pertahanannya.
Suatu hal yang sangat penting terjadi pada jaman ini seperti yang dituturkan oleh
Pamancangah Pupuh I-27 (Berg, 1929 : 10) adalah :
“….kunang cri kapakisan, brahmangca mulanyang (ng) ani dadi ksatria dene
rakryan apatih…”
Artinya :
“…..Adapun Cri Kresna Kapakisan asalnya dari (kasta) Brahmana dahulu
dijadikan (kasta) Ksatria oleh Rakryan Patih (Gajah Mada)…”
Keputusan Gajah Mada mempercayakan Cri Kresna Kapakisan untuk memelihara
ketentraman dan perdamaian di pulau Bali kalau ditinjau dari sudut politik memang
merupakan suatu kebijaksanaan yang tepat untuk mengembalikan citra orang Bali agar
berpacu pada Kediri. Waktu itu yang menjadi raja di Majapahit adalah Hayam Wuruk yang
bergelar Rajasanegara. Pada jaman ini yakni tahun 1357 Masehi Ki Pasung Gerigis diutus
oleh Gajah Mada untuk memerangi raja Sumbawa yang bernama Dedela Natu dan dikatakan
keduanya gugur dalam peperangan. 29. Pada tahun 1284 Caka (caka pat-ulo-ra-tunggal) yang
berarti tahun 1362 Masehi di Majapahit diadakan upacara Cradha yaitu membuat upacara ibu
Hayam Wuruk yakni Rajapatni (Tribuana tunggadewi). (Berg, 1929 : 9).
13
Raja Bali yang bernama Cri Kresna Kapakisan juga I Dewa Agra Samprangan (Caka
1302). Setelah raja Cri Kresna Kapakisan wafat, maka pemerintahan di Bali digantikan oleh
putranya yang tertua yang bernama I Dewa Agra Samprangan atau Dalem IIa. Raja ini tidak
begitu memperhatikan keadaan pemerintahan karena suka berhias dan lamban di dalam
melakukan segala pekerjaan sehingga raja ini kurang mendapat dukungan rakyat. Karena
baginda kurang mendapat simpati rakyat lalu banyak menteri yang kecewa. Pada suatu hari
Bendesa Gelgel yang bernama Ngurah Abyan Tubuh (Kubon Kelapa) hendak menghadap
raja. Namun, setelah ditunggu-tunggu raja belum juga keluar. Ketika itu raja tetap asyik
berhias dan memperbaiki pakaiannya di muka kaca. Sampai bosan ia menunggu lebih lama
lagi akhirnya kubon kelapa pergi meninggalkan keraton. Dengan demikian sia-sialah ia mau
menghadap raja. Sepeninggalan dari keratonnya dalam pikiran telah terlintas maksud untuk
menghubungi adik baginda yang bernama Ketut Ngulesir. (Berg, 1975 : 145-156).
e).I Dewa Ketut Ngulesir (Caka 1302-1382)
Berselang beberapa lama mulailah Kubon Kelapa mencari baginda I Dewa Ketut
Ngulesir yang saat berada di desa Pandak. Kubon Kelapa datang menghormat dan
menyampaikan maksudnya, yaitu mengangkat dan menobatkan baginda menjadi raja. Dia
sanggup menyediakan rumahnya di Gelgel dijadikan istana. Baginda lama pula berpikir,
namun karena permohonan Bendesa Gelgel amat kerasnya akhirnya baginda bersedia
menjadi raja dan berani menanggung segala akibatnya. (Berg, 1929 : 8 ; Pitono, 1965 : 53).
Sebelum meninggalkan desa Pandak baginda berjanji seandainya nanti baginda menjadi raja
maka mereka (orang pandak) akan dijadikan juru kuwuk (tukang pelihara ayam aduan?) di
istana. Namun, kenyataan setelah baginda menjadi raja, desa Ayunglah yang bertugas sebagai
tukang pelihara ayam aduan. Kemungkinan raja mangkir dengan janjinya dan apa sebabnya
raja tidak jadi memberikan kepada desa Pandak sebagai juru kuwuk, hal ini belum jelas
selanjutnya dengan mempergunakan rumahnya Kubon Kelapa maka berdirilah kerajaan
14
Gelgel yang juga bernama Linggarsapura atau Suweccapura. Setelah raja dinobatkan
kemudian bergelar Cri Asmara (Semara) Kapakisan. Berdasarkan uraian di muka kita bisa
mengacu kepada suatu pertanyaan yaitu kapankan kerajaan Gelgel itu berdiri? Untuk
menjawab ini agak sukar bagi kita menentukan secara pasti, karena sampai saat terakhir
penelitian ini belum juga didapatkan angka yang pasti mengenai kerajaan Gelgel tersebut.
Dalam Babad Mengwi (Salinan, Babad Dalem Samprangan, hal 1) kita temukan satu
keterangan angka tahun yang memakai candrasangkala yang berbunyi:
“…..Kunang ri kalaning angalih kadatwan ring sweccalinggarsapura, I saka
lwang ing mata agni tanggal….”
Artinya :
“…..Adapun pada waktu berpindah kerajaan di Suwecalinggarsapura (Gelgel)
pada tahun 1320 Caka….” .
Dengan adanya keterangan di atas yang menyebutkan kerajaan (Samprangan)
berpindah ke Gelgel pada tahun 1320 Caka atau tahun 1398 Masehi, kiranya menimbulkan
dua kemungkinan yang saling menunjang. Dikatakan demikian karena di satu pihak ada yang
menyebutkan bahwa kerajaan Samprangan tidak lama bertahan setelah wafatnya Cri Kresna
Kapakisan kemudian digantikan oleh putranya yang bernama I Dewa Agra Samprangan,
namun baginda kurang mendapat dukungan rakyat. Ini berarti bahwa kerajaan Samprangan
mengalami kepudaran (masa suram) pada tahun 1380 Masehi. Di lain pihak bila dikaitkan
dengan keterangan dalam Babad Mengwi maka akan berarti kerajaan Samprangan berpindah
(beralih) ke kerajaan Gelgel tahun 1398 Masehi. Berdasarkan uraian di atas maka lebih lanjut
dapat dikatakan sebagai berikut.
1. Kerajaan Samprangan mungkin mengalami kepudaran mulai tahun 1380 Masehi dan
pemerintahan masih bisa bertahan sampai tahun 1398 Masehi.
15
2. Kerajaan Gelgel berdiri kira-kira tahun 1302 Caka (1380 Masehi namun secara resmi
seluruh pemerintahan di Bali berada di bawah kekuasaan raja Gelgel baru terjadi pad
tahun 1398 Masehi dengan rajanya Cri Asmara Kapakisan. Baginda merupakan raja
Gelgel yang pertama yang memerintah dari tahun 13801460 Masehi. (Berg, 1929 : 18-19).
f.Cri Wijayarajasa
Pada masa pemerintahan Cri Asmara Kapakisan di pulau Bali ada seorang raja Jawa
dari Negara Wengker yang bernama Cri Wijayarajasa telah mengeluarkan dua buah prasasti
yaitu prasasti nomor 901 Abang, Pura Batur C dan nomor 902 Gobleg, Pura Batur C. Dalam
prasasti Abang, Pura Batur C disebutkan bahwa raja Wijayarajasa telah menyelesaikan
sengketa diantara desa Pemuteran dan desa Abang dengan mengeluarkan beberapa ketetapan
yang isinya disesuaikan dengan isi prasasti yang terdahulu, dengan mengirimkan seorang
patih dari Kediri (Daha) yang bernama Cancu (Raden) Pikul. Dari prasasti Gobleg kita dapat
mengetahui bahwa raja Wijayarajasa telah wafat tahun 1398 Masehi. Bagaimanakah halnya
sampai bisa terjadi pada masa ini (waktu pemerintahan Cri Asmara Kapakisan) seorang raja
Jawa dari Negara Wengker mengeluarkan prasasti atas namanya sendiri di pulau Bali?
Selanjutnya, bagaimana pula hubungan raja Wijayarajasa dengan kerajaan Majapahit dan
kerajaan Majapahit dengan kerajaan di pulau Bali? Untuk menjawab pertanyaan ini baiklah
akan ditinjau lebih dahulu yaitu pertanyaan yang disebutkan belakangan yakni tentang
hubungan antara Wijayarajasa dengan kerajaan Majapahit. Celless berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan Wa-yuan-lan-wang-chieh dalam berita Cina dari dinasti Ming (Ming Shih
buku 324) adalah tidak lain dari Bhre Wengker. Bhre Wengker sebagai raja timur tahun 1377
Masehi dapat diidentifikasikan sebagai orang yang bergelar Wengker yaitu Wijayarajasa
paman dari Hayam Wuruk. Identifikasi ini akan menjelaskan posisi khusus Wijayarajasa
dalam pemerintahan Hayam Wuruk. Sebagai bukti menunjukan bahwa pemerintahannya
tidak hanya di Wengker, tetapi juga di luar daerah kecil itu, dapat dibaca pada kitab
16
Negarakertagama (4-2-4) tentang tanah-tanah petani dan (79-2-1) tentang daerah-daerah
kerajaan dan (88-2-4) bahwa minatnya ingin berkuasa meliputi selulur kerajaan
Jawa.(Celless, 1974). Prasasti-prasasti di Biluluk tahun 1366, 1393 dan 1395 Masehi, dan di
Katiden 1395 Masehi yang kesemuanya atas nama putra mahkota Wengker adalah mungkin
sebagai partisipasinya dalam pemerintahan pusat. Pigeaud mengatakan bahwa posisi
Wengker begitu pentingnya sehingga dia bisa mengeluarkan piagam tidak atas nama raja.
Sebagai bukti wewenang putra mahkota Wengker sangat besar adalah terlihat dalam
piagamnya yang menyangkut pulau Bali pada tahun 1384 Masehi yang seolah-olah sebagai
wakil raja (Majapahit) di Bali, dimana secara jelas Wijayarajasa memakai gelar Sri Maharaja
raja Parameswara (Ib. 3-4). Terutama dalam bagian terakhir dari gelarnya “Raja yang
dipertuan besar” mungkin dapat membuktikan posisinya yang sangat tinggi. Namun dia
sebagai putra mahkota Wengker masih tetap mengakui sebagai bawahan Negara Majapahit.
Dengan diberikannnya kekuasaan yang penuh terhadap raja Wijayarajasa ini menunjukan
kepada kita bahwa belas kasihan dari raja Hayam Wuruk adalah posisi yang sama dengan
raja. (Noordaya, 1975 : 479-489). Mengenai hubungan kerajaan Majapahit dengan kerajaan
di Bali kiranya tidak usah dijelaskan lagi karena sejak penaklukannya pada tahun 1343
Masehi pulau Bali berada di bawah lindungan kerajaan Majapahit.
3.Simpulan dan Saran
3.1.Simpulan
Raja Cri Astasura Ratna Bumi Banten bertahta dari tahun 1337-1343 Masehi dengan
kesimpulan bahwa raja Cri Astasura Ratna Bumi Bantenlah yang ditaklukan oleh Gajah
Mada tahun 1343 Masehi. Raja Cri Astasura Ratna Bumi Banten nama Abhisekanya adalah
Cri Beda Muka/Cri Beda Murdi/Cri Topolung. Tujuh tahun kemudian Cri Kresna Kapakisan
dinobatkan menjadi raja di Bali dan berkedudukan di Samprangan yang memerintah dari
17
tahun 1350-1380 Masehi. Pada tahun 1380 Masehi, raja Cri Kresna Kapakisan wafat, lalu
digantikan oleh adiknya yang bernama I Dewa Ketut Ngulesir dan berkedudukan di Gelgel
yang memerintah dari tahun 1380-1460 Masehi. Raja I Dewa Ketut Ngulesirlah yang
memindahkan kerajaan (Samprangan?) secara resmi ke Gelgel tahun 1398 Masehi. Pada
waktu pemerintahan baginda tahun 1384 Masehi raja Wengker yang bernama Cri
Wijayarajasa dapat menyelesaikan persengketaan desa Pemuteran dengan desa Abang dengan
segala ketetapannya. Selanjutnya Gajah Mada datang ke Bali sebagai duta dan melakukan
hubungan kerjasama agar kerajaan Bali bersatu dan bekerjasama dengan kerajaan Majapahit.
Namun, siasat taktik Gajah Mada ini ternyata berlainan dengan janji persatuan dan kerjasama
dengan kerajaan Bali namun ingin menundukan kerajaan Bali dengan memperdaya wakil
kerajaan Bali yaitu Kebo Iwa yang dibunuh di daerah Jawa dengan tipu muslihatnya Ki Kebo
Iwa disuruh untuk membuat kolam pemandian tetapi setelah membuat kolam dan langsung
ditimbun batu sehingga meninggal. Inilah taktik untuk melemahkan kerajaan Bali dengan
melenyapkan orang sakti Ki Kebo Iwa, dan raja Asta Sura menjadi sedih dan sakit-sakitan
dan meninggal. Setelah itu yang menjadi raja adalah Ki Pasung Gerigis yang juga mengalami
kekalahan dan kerajaan Bedaulu telah jatuh yang selanjutnya tidak diketahui.
Analisis penempatan raja yang bukan dari dinasti/Icana di suatu wilayah kerajaan
tentunya menjadi kajian pemikiran terdapatnya suatu penekanan ataupun peperangan dari
pihak Majapahit yang dipimpin oleh patih Gajah Mada untuk menaklukan kerajaan Bali dan
terdapatnya raja-raja Jawa (Majapahit) setelahnya kekalahan raja Asta Sura Ratna Bumi
Banten.
18
DAFTAR PUSTAKA
Berg, C.C. 1929. “Kidung Pamancangah”, Santpoort.
________. 1975. “Penulisan Sejarah Jawa”, Jakarta : Bhratara, (Seri Terjemahan). Judul
asli Javaansch Geschiedschrijving dalam Geschiedenis van Nederlands Indie, dibawah
redaksi Dr. F.W. Stapel, Jilid II, Amsterdam, Joe van Vendel, 1938.
terjemahan S. Gunawan, Jakarta, Bharata.
Budiastra, Putu, “Prasasti Pura Tuluk Biyu”, Denpasar, (Museum Bali, belum terbit).
Ginarsa, Ketut, 1979. “Bhuwana Tatwa Maha Rsi Markandeya”, Singaraja, Balai
Penelitian Bahasa.
___________, “Bundel Prasasti Nomor 901 – 902”.
___________, 1968. Ekspedisi Gajah Mada ke Bali, Denpasar Walmiki.
___________, 1956. Raja Siapakah yang dimaksud Prapanca, ikang Bali nathanya
duccila nica” dalam Majalah Bahasa dan Budaya, Tahun IV, No. 5, Juni 1956, Jakarta,
Lembaga Bahasa da Budaya Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Goris, R, 1954. Prasasti Bali I & II”, Sumur Bandung.
______ , 1967. “Ancient History of Bali”, Denpasar, Faculty of Letters.
______, 1958. “Raja-raja Bali sejak Kerajaan Anak Wungsu sampai Kemenangan Gajah
Mada” dalam Majalah Bahasa dan Budaya, No. 4, Th. VI, Jakarta.
______, 1948. “Sejarah Bali Kuna” Singaraja.
Hardowardojo, R.Pitono, 1965. “Pararaton”, Jakarta, Bharata.
Kaler, Ketut, 1980. “Arombat-asuun” dalam Bali Pest No. 231 Tahun ke XXXI.
Kern, 1913. “The Brhat-Samhita or Complete system of natural astrology of
Varahamihira dalam Verspreide Geschriften, Jilid I, Gravenhage, Martinus Nijhoff.
1913.
Krom, 1931. “Hindoe-Javaansch Geschiedenis”, Gravenhage, Martinus Nijheff, pp. 384-410.
Needaya, J, 1975. “The king in Majapahit with an appendix by Brian E. Celless” dalam
Bijdragen tet de Taal Land en Velkenkunde, Deell 31, 4e aflevering, Gravenhage,
Martinus Nijheff, pp. 479-489.
Pigeaud, Th. G.Th. “Java in the Fourteenth-century”. The Hague, Martinus Nijheff, pp.
19
82-83.
Sapta Jaya, Ida Bagus, 2008. Pemerintahan Keluarga Warmadewa di Bali Serta
Hubungannya Dengan Jawa Timur. Dalam Buku Pusaka Budaya Dan Nilai-nilai
Religiusitas, Editor : I Ketut Setiawan, Seri Penerbitan Ilmiah Jurusan Arkeologi Fakultas
Sastra Universitas Udayana Denpasar, Hal 138-161.
Stein Callenfels, van, 1926. “Epigraphia Balicia I”, dalam Verhandelingen van het
Koninklik Bataviasch Geneetschan van kunsten en Wetenschappen, Deel LVI, Derde
atuk, Batavia.
Salinan Lontar
Salinan, “Babab Arya Gajah Para” Koleksi Ketut Ginarsa.
______, “Babad Arya Tabanan”, Denpasar, Parisada Hindu Dharma Kabupaten Badung,
1974 (Gedong Kirtya No. Val 792/13).
______, Babad Catur Brahmana”, Denpasar, Parisada Hindu Dharma Kabupaten Badung,
1974 (Gedong Kirta, No. Va. 273/4).
______, “Babad Dalem Turun ke Bali”, Gedong Kirtya, N0. Va/732/4).
______, “Babad Dalem Samprangan”, Gedong Kirtya, Va. 1045/8.
______, “Babad Gajah Mada”, Koleksi Ketut Ginarsa.
______, Babad Mengwi”, Denpasar, Parisada Hindu Dharma Kabupaten Badung, 1974
(Gedong Kirtya, No. Va.1340/12).
20
21
22
PERKEMBANGAN ARCA DWARAPALA DI BALI
(Buku Ajar Sejarah Seni Rupa Indonesia)
Oleh :
Ida Bagus Sapta Jaya, S.S.M.Si
NIP.19741004200212100
JURUSAN ARKEOLOGI
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS UDAYANA
2015
Kata Pengantar
23
Berkat Rahmat Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dan didorong
oleh keinginan yang tinggi, maka penulis dapat menyusun makalah dengan judul “ Kajian
Konsepsi, Makna dalam Pelestarian Peninggalan Arkeologi”. Adapun maksud serta tujuan
dari penulisan ini adalah sebagai salah satu syarat untuk arsip naik pangkat ke IIId, di
Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Makalah dengan judul “Perkembangan Arca Dwarapala Di Bali dikaji dengan tujuan
sebagai bahan ajar mata kuliah Sejarah Seni Rupa Indonesia di Jurusan Arkeologi Fakultas
Sastra Universitas Udayana. Mata kuliah ini menekankan pemahahaman mahasziswa Jurusan
Arkeologi terhadap peninggalan arkeologi secara totalitas seperti misalnya pengamatan arca
dwarapala akan dikaji konsepsi bentuk-bentuk dwarapala, konsepsi arca dwarapala dan
filosofis arca dwarapala. Dengan pemahaman secara mendalam maka seni rupa yang
dipelajarai dapat dimengerti secara seksama.
Penulis menyadari akan terbatasnya pengetahuan dan kemampuan yang ada pada diri
penulis, karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk
melengkapi tulisan ini. Tanpa mengurangi jasa manapun yang telah rela dan ikhlas membantu
penulis, melalui tulisan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
pihak-pihak sebagai berikut :
1. Bapak Prof Dr I Wayan Cika, M.S. Dekan Fakultas Sastra Universitas Udayana
yang telah membantu menyediakan fasilitas pendidikan dan kesempatan membantu
tulisan ini.
2. Bapak Drs I Wayan Srijaya, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Arkeologi Fakultas
Sastra Universitas Udayana.
3. Kepada Lembaga Perpustakaan Kampus Bukit Jimbaran Universitas Udayana yang
menyediakan fasilitas untuk mempublikasikan karya ilmiah ini.
4. Kepada Bapak Dr. I Wayan Redig, selaku team teaching mata kuliah Sejarah Seni
Rupa Indonesia yang telah banyak memberikan sumbangan pemikiran maupun
literature untuk penyusunan buku ajar ini diucapkan terima kasih.
5. Bapak/Ibu Dosen Jurusan Arkeologi atas sumbangan pemikirannya dan mahasiswa
Arkeologi yang senantiasa bersama-sama mengunjungi situs purbakala, diucapkan
terimakasih.
24
Mudah-mudahan atas semua jasanya yang telah diberikan kepada penulis, semoga Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan Rahmat-Nya sesuai dengan amal
perbuatannya.
Akhirnya semoga karya tulis yang sangat sederhana ini dapat diambil manfaatnya oleh
pembaca sebagai sumbangan kecil dalam dunia Ilmu pengetahuan pada umumnya dan
disiplin Arkeologi pada khususnya.
Penulis, Denpasar 2 Mei 2014
Ida Bagus Sapta Jaya, S.S.M.Si
NIP.19741004200212100
Daftar Isi
HALAMAN
JUDUL…………………………………………………………………………………………
…………………I
KATA
PENGANTAR…………………………………………………………………………………
……………………….II
25
BAB I PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG DAN
PERMASALAHAN..………………………………………………………………………1
BAB II PEMBAHASAN
2.1.Bentuk-bentuk Arca Dwarapala di
Bali…………………………………………………………………………….3
2.2.Latar Belakang Konsepsi Arca
Dwarapala..………………………………………………………………………..7
2.3. Latar Belakang Filosofis dan Fungsi
Arca…….……………………………………………………………………11
2.4. Kesimpulan dan
Saran……………………………………………………………………………………………
…………13
ABSTRAK
26
latar belakang filosofis arca dwarapala dapat dihubungkan dengan mithologi yaksa di India,
karena dwarapala pada mulanya merupakan yaksa. Yaksa (Sanskerta) adalah mahluk yang
termasuk golongan gaib yang tinggal di hutan dan dianggap sebagai sumber kehidupan,
karena pertanian dan perladangan subur berkat perlindungan. Aspek ini menyebabkan yaksa
mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat, akhirnya timbulah pemujaan
setempat yang dilakukan oleh penduduk yang berkepentingan. Sampai saat ini dwarapala
yang dikonsepsi dengan Kala, Yaksa, umumnya ditempatkan di pintu masuk pura maupun
tempat-tempat pemukiman masyarakat dengan tujuan sebagai arca penjaga, dan penolak bala
dan perlindungan.
Kata Kunci : Filosofis, Konsepsi, Arca Dwarapala
PENDAHULUAN
Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan manusia masa lampau dengan
berbagai aspeknya melalui benda-benda yang di tinggalkan, yang dijadikan panduan untuk
27
mempelajari kehidupan yang akan dating. Mengungkapkan kebudayaan masa lampau
tidaklah mudah, kita dituntut untuk memiliki keahlian dan ketelitian dari cara menemukan
kembali, menyelamatkan, mencatat, sampai dengan cara mengadakan analisis untuk
menerangkan arti artefak-artefak yang ditinggalkan sebagai warisan didalam suatu kerangka
budaya.
Titik berat arkeologi adalah kebudayaan dan tidak lepas dari faktor manusianya, sebab
kebudayaan adalah suatu gejala yang khas dari manusia, sehingga manusia dan kebudayaan
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu dari yang lainnya (Soediman, 1982 : 41).
Dengan demikian setiap hasil budaya manusia pada masa lampau baik yang berupa seni
bangunan, seni arca, seni sastra dan lain-lainnya mengandung arti, fungsi, dan nilai tertentu
bagi manusia pendukungnya (Ki Purba, 1980 : 32).
Pulau Bali sangat kaya dengan peninggalan arkeologi yang berasal dari beberapa
periode yang masing-masing menunjukan cirri-ciri kahs zamannya. Salah satu diantara
peninggalan tersebut adalah seni arca, yang merupakan salah satu hasil budaya yang dapat
memberikan gambaran tentang kebudayaan masa lampau.
Peninggalan seni arca yang ada di Bali hanya beberapa yang mendapat perhatian dan
perawatan secara memadai, padahal semakin lama peninggalan tersebut semakin aus yang
disebabkan oleh faktor cuaca dan iklim. Untuk itu sangat perlu diadakan penelitian secara
bertahap karena mengungkapkan lebih banyak hasil budaya masa lampau akan memberikan
sumbangan yang sangat besar dalm menunjang program pariwisata budaya yang
dikembangkan di daerah Bali.
Latar belakang tersebut di atas, maka aka dicoba diuraikan peninggalan arca
dwarapala yang tedapat di Bali sebagai bahan ajar bagi mahasiswa Jurusan Arkeologi
Falultas Sastra Universitas Udayana, khususnya mata kuliah Sejarah Seni Rupa Indonesia.
Dipilihnya arca dwarapala sebagai data penelitian dikarenakan arca dwarapala memiliki
keunikan dan kekhasan yaitu dengan bentuk yang bervariasi yang ditemukan di berbagai situs
arkeologi di Bali. Bentuk-bntuk arca dwarapala sebagai arca penjaga umumnya bentuknya
menyeramkam dengan mata melotot, bertaring, badan besar, membawa senjata, wajah
berbentuk raksasa dan sebagainya. Tetapi di tempat lain ditemukan arca dwarapala dengan
karakteristik yang berbeda dengan dwarapala pada umumnya seperti misalnya dengan
menggunakan seragam tentara, bertopi dan menggunakan senapan dan wajah menyerupai
28
manusia pada umumnya. Paradigma perkembangan arca dwarapala ini maka dilakukan
penelitian dengan judul “Perkembangan arca dwarapala di Bali”.
Adapun beberapa permasalahan yang ingin ditelusuri berkenaan arca-arca dwarapala
yang terdapat di Bali adalah :
1. Bagaimanakah perkembangan bentuk-bentuk arca dwarapala yang terdapat
di Bali?
2. Apa Latar belakang konsepsi arca dwarapala yang terdapat di beberapa situs
di Bali?
3. Bagaimana latar belakang filosofis arca dwarapala?
PEMBAHASAN
Bentuk-bentuk arca dwarapala di Bali
Sebelum membicarakan bentuk-bentuk arca dwarapala, terlebih dahulu perlu
diketahui pengertian dwarapala. Dwarapala berasal dari bahasa Jawa Kuno yaitu dwara dan
pala. Dwara berarti pintu dan pala berarti penjaga. Jadi dwarapala berarti penjaga pintu
(Wojowasito, 1972 : 153 ; Ayatrohaedi, 1978 : 52).
Arca dwarapala yang ditemukan di beberapa tempat seperti di Sumatra, Jawa dan
Bali. Arca-arca tersebut kebanyakan berbentuk raksasa atau bhuta. Pada umumnya arca
dwarapala diwujudkan dengan wajah yang serem, garang, angker, memperlihatkan taring,
dan mata melotot. Beberapa diantaranya memakai mahkota, subang, kalung, gelang, dan ikat
pinggang dengan hiasan tengkorak. Tangan membawa senjata seperti gada, pedang, dan pisau
(Linus, 1985 : 17).
Di Sumatra yaitu di Padang Lawas terdapat arca dwarapala ini memegang gada di
tangan kanannya. Memakai kain ditarik sampai ke atas paha, yang merupakan celana ketat
menutupi bagian bawah badan arca (Rumbi Mulia, 1982 : 148).
Bentuk-bentuk arca dwarapala di Jawa antara lain : arca dwarapala berbentuk raksasa
terdapat pada candi Kalasan. Ciri-cirinya membawa ular, keris, dan roman mukanya tidak
menakutkan. Arca ini sekarang berada yaitu di Museum Sasana Budaya Yogyakarta.
29
Arca berbentuk raksasa di kompleks candi Sewu (Jawa Tengah) berjumlah empat
buah dengan tinggi 250 cm. Arca ini diletakan di kiri kanan pintu masuk candi. Bahwa arca
ini tidak begitu menakutkan dan berfungsi untuk mengusir roh-roh yang jahat. Bentuk arca
dwarapala yang menyeramkan juga terdapat di Jawa Timur dan Bali. Bentuk yang
menyeramkan misalnya mata melotot, mulut terbuka, dan lain-lainnya akan memberikan
kesan lebih tenang pada saat melakukan upacara (Kempers, 1959 : 54).
Arca penjaga yang terdapat di Candi Borobudur, yang berada di sebelah barat pintu
masuk berbentuk singa (Kempers, 1976 : 14). Adapun cirri-ciri arca tersebut adalah mata
bundar, rambut panjang kriting sampai pada bahu, kumis lebat, dan cara duduknya
menyerupai arca dwarapala dari khmer dan arca dwarapala dar Campa, yang menggambarkan
gerak satu kaki di tekuk ke depan, tetapi mengikuti gerak badan, ciri-ciri demikian sudah
berkembang abad ke-7-14 di Khmer (Rumbi Mulia, 1982 : 148).
Di Alun-alun Singhasari (Jawa Timur) terdapat arca dwarapala berbentuk raksasa
yang besar dan tegak dengan tinggi 370 cm. Tipe raksasa ini menyerupai tabiat atau sifat
yang damai. Arca penjaga ini diperkirakan berfungsi sebagai penjaga komplek taman yang
sangat luas. EKspresi arca penjaga itu dimaksudkan agar menakutkan, alisnya melengkum
besar, mata membelalak, ujung-ujung bibirnya diangkat ke atas sehingga kelihatan giginya
keluar (Kempers, 1959 : 80).
Di Bali arca dwarapala ditemukan pada pintu masuk halaman halaman candi kurung
Pura Bantas, Pejeng Gianyar. Di sana terdapat dua buah arca dwarapala yang memperlihatkan
badan agak gemuk, dengan hiasan berupa rambut ikal terurai kebelakang. Kedua arca tersebut
masing-masing tangannya membawa gada (Pawana,1986 : 56).
Arca dwarapala yang ditemukan di Pura Ratu Mas Jarak Mangalup. Arca tersebut
berjumlah dua buah yang masing-masing tangan kirinya membawa tameng, sedangkan kedua
arca tangan itu tidak diketahui senjata apa yang dibawa atau dipegang, karena dalam keadaan
patah. Kedua arca ini mempunyai hiasan tengkorak yaitu pada kepala, telinga, kalung,
lengan, dan kaki. Ekspresi arca ini menampakan muka yang garang, dan memperlihatkan
taring.
Arca-arca dwarapala yang ditemukan di Bali mempunyai bentuk yang bervariasi.
Seperti arca dwarapala yang diketemukan di Pura Batan Klecung (Pejeng) mempunyai
ukuran 61 cm, sikap duduk jongkok, dengan kaki disilangkan, serta tangan dipangku di atas
30
lutut. Arca ini memperlihatkan bentuk badan yang kekaku-kakuan, rambut ikal yang terurai
kebelakang sampai di bahu, mulut bulat, dahi lebar, muka mirip raksasa, serta dalam keadaan
telanjang sehingga kemaluannya menonjol.
Selanjutnya bentuk arca dwarapala yang terdapat di Pura Pusering Jagat, Pejeng
dengan cirri-cirinya adalah sebagai berikut. Bentuk muka lonjong, alis tebal, mata bulat
melotot, hidung besar, kelopak mata tebal, mulut terbuka sehingga giginya kelihatan dengan
taringnya yang tajam. Kepala dalam ukuran yang besar, dengan hiasan berupa rambut rambut
ikal yang terurai kebelakang, dengan ujung rambut sampai di bahu.
Arca-arca dwarapala bukan hanya berbentuk raksasa, namun dalam perkembangan
belakangan banyak juga berbentuk lain. Di Bali arca-arca seperti itu terdapat di depan candi
kurung Pura Sekar Sari, Banjar Pagan Kelod, Denpasar. Arca itu berwujud Subali-Sugriwa.
Arca berwujud Anoman dapat dilihat di depan Candi Kurung Pura Puseh Batubulan, Gianyar.
Arca dwarapala dalam bentuk Anila dan Anggada dapat dilihat di depan candi bentar Pura
Penataran Banjar Gunung Rata, Desa Getakan, Kecamatan Banjar Angkan, Kabupaten
Klungkung. Arca dwarapala dalam bentuk Resi dapat dilihat di depan candi kurung Pura
Pusering Tasik. Desa Bambang, kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli. Arca dwarapala
dalam bentuk Ganeca dapat ditemukan di depan candi bentar Pura Uluwatu. Arca dwarapala
dalam bentuk binatang lembu dapat dilihat pada pucak sari, Desa Batukaang, Kecamatan
Kintamani Kabupaten Bangli. Arca dwarapala dalam bentuk binatang Kambing dan lembu
dapat di lihat Canggi, Desa Sakah, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Arca
dwarapala berwujud Gajah ditemukan di depan candi bentar Pura Yeh Gangga, Desa Perean,
Kabupaten Tabanan. Masih banyak lagi bentuk-bentukyang lain dari arca penjaga
(dwarapala) yang dijumpai pada pura-pura di Bali. Oleh karena itu kemungkinan juga arca
dwarapala di Indonesia terutama di Bali diwujudkan dengan berbagai macam bentuk adalah
sesuai dengan bentuk musuh yang dihadapinya, hal ini sesuai dengan mithologi yaksa di
India.
Mithologi arca dwarapala di Indonesia dapat disamakan dapat disamakan dengan
mithologi di India. Yaksa dikatakan mahluk yang setingkat lebih rendah dari dewa-dewa
yaitu tergolong mahluk gaib, yang merupakan pendamping dewa-dewa berbentuk raksasa,
berwajah ganas, dengan rambut kriting kebelakang hingga menyentuh pundak. Di samping
berwujud raksasa di India yaksa juga diwujudkan sebagai mahluk yang berkepala binatang
31
seperti berkepala singa, harimau, kuda, dan lain sebagainya. Menurut mithologi India yaksa
dapat berganti kepala sesuai dengan keadaan yang dihadapi (Rumbi Mulia, 1982 : 2-3).
Di Bali khususnya, arca-arca dwarapala diwujudkan dalam berbagai macam bentuk
sesuai dengan musuh yang dihadapi. Hal demikian berlanjut terus sampai sekarang, dapat
dilihat pada pura-pura di Bali. Biasanya dikanan kiri pintu masuk terdapat arca dwarapala
dengan berbagai macam bentuk sebagai penjaga.
2.1. Latar belakang konsepsi arca dwarapala
Sebagaimana diketahui sebelum datangnya pengaruh kebudayaan Hindu di Indonesia,
yaitu pada zaman Neolitik
Kronologi Raja-Raja Bali Abad XII-XIV
Sejak Penaklukan Gajah Mada
Ida Bagus Sapta Jaya
Program Studi Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Udayana
Abastrak
Raja Ast asura Rat na Bumi Bant en tahun 1337-1343 M asehi dan dit akulukan oleh Gajah
M ada t ahun 1343 M asehi. Selanjutnya digant ikan oleh Cri Kresna Kepakisan yang
dinobat kan m enjadi raja di Bali dan berkedudukan di Samprangan yang m em erint ah t ahun
1350-1380 M asehi, dan digantikan oleh adiknya I Dew a Ket ut Ngulesir dan berkedudukan di
Gelgel, yang mem erint ah t ahun 1380-1460. Pada t ahun 1384 M asehi raja W engker yang
bernama Cri Wijayarajasa dapat m enyelesaikan sengket a desa Pem ut eran dengan desa
Abang.
Kata Kunci : Kronologi, Penaklukan Gajahmada, Hubungan raja W engker
Ast asura Raja Rat na Eart h Bant en years 1337-1343 AD and dit akulukan by Gajah M ada in
1343 AD. Subsequently replaced by Cri crow ned Krishna Kepakisan the king in Bali and
domiciled in Samprangan who ruled in 1350-1380 BC, and was replaced by his brother I
Dew a Ket ut Ngulesir and domiciled in Gelgel, w ho ruled in 1380-1460. In the year 1384 AD
Wengker king nam ed Cri Wijayarajasa can reso lve disput es w it h the village Pemut eran
villageAbang.
Keyw ords: Chronology, Conquest Gajahmada, king Relations Wengker
1.Pendahuluan
Sebelum penelitian ini, belum ditemukan penulisan sejarah yang meliputi kurun
waktu sejak ekspedisi Gajah Mada ke Bali pada 1343 sampai akhir abad XIV (1389 Masehi).
Memang, ditemukan beberapa artikel mengenai hal itu, tetapi belum dapat dikatakan
menyeluruh dan masih ditulis secara terpisah-pisah. Padahal, berdasarkan penelitian
ditemukan data yang menunjukan bahwa keadaan pemerintah di pulau Bali pada masa itu,
telah berada di bawah kekuasaan Majapahit dan telah mengalami perubahan baik dalam
bidang pemerintahan maupun sosial budaya. Perubahan yang dimaksud, antara lain
perubahan masa pemerintahan, Abiseka nama raja, hubungan kekeluargaan, pemerintahan,
struktur masyarakat, agama dan kepercayaan, dan kesenian dan kesusastraan pasca
2
pendudukan raja-raja Bali dari Majapahit. Keadaan ini kemudian menimbulkan pertanyaan
1)Bagaimanakah kronologi raja-raja Bali pasca penundukan oleh kerajaan Majapahit pada
tahun 1343 sampai dengan tahun 1398 Masehi? 2) Bagaimana hubungan kerajan Bali dengan
kerajaan Majapahit dan hubungan kerajaan Majapahit dengan kerajaan Wengker sejak tahun
1343 sampai dengan tahun 1398 Masehi?
Dengan demikian tujuan penulisan ini adalah 1) Untuk mengetahui kronologi
pemerintahan raja-raja di Bali sejak penaklukan Gajah Mada tahun 1343 sampai dengan
tahun 1398 Masehi. (Abad XIII-XIV). 2) Untuk mengetahui bagaimana hubungan kerajan
Bali dengan kerajaan Majapahit dan hubungan kerajaan Majapahit dengan kerajaan Wengker
sejak tahun 1343 sampai dengan tahun 1398 Masehi.
1.1.Metode Penyusunan
Dalam menyusun kronologi kerajaan Bali abad XIV sejak penaklukan Gajah Mada ini
dipergunakan metode riset di perpustakaan (Library research) yaitu mencari dan
mengumpulkan bahan-bahan pustaka yang ada kaitanya dengan masalah tersebut di atas. Di
Samping itu dalam tahap pengumpulan data juga diadakan riset lapangan, yaitu mengadakan
peninjauan langsung ke obyek bersangkutan yaitu ke pura Gunung Panulisan. Data trankripsi
koleksi Ketut Ginarsa. Untuk mendapatkan informasi-informasi seperlunya maka dalam
kaitan ini dipergunakan metode interviu. Dalam pengolahan data dipergunakan metode
deskriptif yaitu disalin sesuai dengan yang disebutkan dalam sumber-sumber dan setelah data
terkumpul kemudian dikomparasikan. Dari penggunaan metode Komparatif selanjutnya data
yag terlengkaplah yang dipakai yang dikaji dalam penelitian ini.
3
1.2.Sumber Penyusunan
Sumber yang dipergunakan dalam penyusunan penelitian ini berupa empat buah prasasti
yaitu prasasti nomor 810 Gunung Panulisan E, nomor 811 Langgahan, nomor 901 Batur, Pura
Abang C dan Nomor 902 Gobleg, Pura Batur C. Prasasti nomor 810 telah direvisi oleh Goris
menjadi nomor 903b = D 67, sedangkan prasasti nomor 811 Langggahan direvisi menjadi
nomor 814 = D 63. Prasasti nomor 901 Batur, Pura Abang C direvisi menjadi nomor 901a
Abang, Pura Batur C = D 65 dan prasasti nomor 902 tetap tidak mengalami perubahan yakni
nomor 902 Gobleg, Pura Batur C = D 66. (Goris, 1967 : 68-69). Sumber lain adalah berupa
Pamancangah dan Babad-Babad.
I.3.Penelitian Sebelumnya
Penelitian terhadap masalah yang telah disebutkan di atas sebenarnya telah dimulai
sejak masa lalu oleh beberapa orang sarjana baik sarjana luar negeri maupun dalam negeri.
Pada tahun 1926 telah terbit hasil penelitian sarjana Belanda yang bernama Van Stein
Callenfels dengan judul “Epigraphia Balica I” yang memuat ada 24 sampai 28 transkripsi
prasasti huruf Latin dan salah satu diantaranya adalah prasasti nomor 902 Gobleg, Pura Batur
C. (Callenfels, 1926 : 13). Pada 1927-1928, Residen Caren menyuruh juru potret Cina untuk
membuat foto-foto prasasti Bali, hasilnya dikumpulkan menjadi koleksi Caren yang diberi
kode CA. Oudhedenkundige Dienst (Dinas Purbakala) juga membuat dikumentasi prasasti di
Bali lalu hasilnya diberi kode OD. Dari sekian banyak foto prasasti baik koleksi Caron
maupun koleksi Dinas Purbakala telah diteliti oleh Goris dan di antaranya terdapat dua buah
prasasti yang memuat tentang kerajaan Bali menjelang diserang oleh Majapahit yaitu prasasti
nomor 810 Gunung Panulisan E dan nomor 811 Langgahan. Kedua prasasti ini telah diteliti
oleh Stuterheim dan Damais. (Stutterheim, 1929 : 17,18 ; Damais, 1952 : 96-97 ; Goris, 1954
: 44). Dalam prasasti disebutkan nama raja Cri Astasura Ratna Bumi Banten. Setelah
4
penaklukan Gajah Mada tahun 1343 sampai dengan tahun 1398 Masehi, sampai saat ini baru
ditemukan dua buah prasasti, yaitu prasasti nomor 901 Batur, Pura Abang C dan nomor 902
tersebut. Kedua prasasti yang disebut belakangan ini menyebutkan nama raja Wijayarajasa
dari Negara Wengker. (Goris, 1965 : 47).
Pada 1929 hasil terbitan Berg dengan judul “Kidung Pamancangah”. Pamancangah ini
menyebutkan antara lain nama raja Cri Kresna Kepakisan yang berissthana di Samprangan.
(Berg, 1929 : 9). Pada 1931 hasil karya Krom diterbitkan kembali yang merupakan edisi
kedua dengan judul “Hindoe Javaansehe Geschiedenis”. Di dalamnya disebutkan bahwa
setelah penaklukan Gajah Mada dikirimlah Kresna Kepakisan menjadi raja di pulau Bali.
Kemudian pada 1384 raja Wijayarajasa dari Negara Wengker menetapkan prasasti nomor
901 Batur, Pura Abang C, sedangkan pada tahun 1398 Masehi dikatakan bahwa Wijayarajasa
telah moksa di Wisnubhawana. Wijayarajasa adalah paman raja Hayam Wuruk. (Krom, 1931
: 384-410). Pada 1948 terbit hasil penelitian Goris dengan judul “Sejarah Bali Kuna”. Di
dalamnya antara lain disebutkan bahwa sebelum penaklukan Gajah Mada pada 1343 Masehi
yang menjadi raja di Bali adalah Cri Astasura Ratna Bumi Banten.(Goris, 1948 : 13). Pada
1952 terbit hasil karya Damais yang memuat daftar prasasti yang terpenting di Indonesia
yang memakai tanggal dan angka tahun. Dalam daftar tersebut Damais mendaftar prasasti di
Bali dengan kode D1 – D 67. Untuk prasasti nomor 810 dan 811 diberi kode D 67 dan 63.
Sedangkan untuk prasasti nomor 901 dan 902 diberi kode D 65 dan D 66. (Goris, 1967 : 68).
Sampai tahun 1954 di Bali makin banyak ditemukan prasasti baru. Goris bertugas di
Bali sejak bulan September 1928 mendapat tugas rangkap, pertama menerbitkan piagampiagam di Bali dalam bahasa Jawa Kuna (OJ) dan kedua untuk mengadakan penyelidikan
tentang agama dan kepercayaan orang Bali. Namun, mulai 1932 tugas ini berubah, dengan
mendapat kebebasan untuk mengadakan koleksi dan terjemahan-terjemahan terhadap
piagam-piagam yang ada di Bali. Maka mulai saat itu Goris menjelajah pelosok-pelosok desa
5
di Bali ini, teristimewa daerah-daerah di sekitar bukit Kintamani. Setelah bekerja keras dalam
waktu lebih dari 22 tahun barulah bisa diterbitkan hasil penelitiannya dengan judul “Prasasti
Bali I da II” (1954). Buku ini selain membuat ikhtisar tentang semua piagam-piagam yang
ada di Bali (yang dibagi ke dalam 10 group) juga khusus membicarakan periode raja Anak
Wungsu. (Puger, 1964 : 4-5).
Selanjunya pada 1965 Goris mengadakan revisi terhadap beberapa nomor prasasti di
antaranya beberapa prasasti yang berasal dari sebelum dan sesudah penaklukan Gajah Mada
sampai dengan akhir abad XIV. Disebutkan pula bahwa pada 1384 Masehi raja Wijayarajasa
dari Negara Wengker mengeluarkan ketetapan-ketetapan antara desa Pemuteran dengan desa
Abang. Selanjutnya dikatakan dalam prasasti nomor 902 adalah untuk pertama kalinya
dikenal dengan istilah Arya. (Goris, 1967 : 49). Pada 1968 seorang putra Bali yang bernama
Ginarsa telah mengadakan penelitian terhadap lontar Rajapurana yang isinya menceritakan
tentang keadaan di pulau sebelum diserang oleh Gajah Mada sampai akhirnya Cri Kresna
Kepakisan dikirim menjadi raja di Bali yang istananya di Samprangan.(Ginarsa, 1968 : 1-47).
Tujuh tahun kemudian tepatnya tahun 1975 kembali Ginarsa mengadakan penelitian
terhadap lontar “Bancangah Ksatria Pungakan Dalem” di desa Pujangan yang isinya
menceritakan tentang kerajaan di Bali setelah pemerintahan Cri Kresna Kepakisan. Raja
Kresna Kepakisan digantikan pertama oleh I Dewa Agra Samprangan (Dalem IIe), kemudian
digantikan oleh adiknya yaitu I Dewa Ketut Ngulesir (Cri Asmara Kapakisan) yang
memindahkan pusat kerajaan Samprangan ke Gelgel pada tahun 1398 Masehi. (Salinan
“Bancangah Ksatria Pangakan Dalem” Koleksi Ketut Ginarsa, hal 42, ; Salinan Babad
Mengwi, 1974 : 5). Tahun 1975 itu, telah terbit hasil penelitian Noordaya tentang raja-raja
Timur Majapahit yang diberi catatan oleh Brian E Callese. Dikatakan bahwa Wijayarajasa
adalah raja timur yang diidentifikasikan sebagai putra mahkota yang negaranya di Wengker
dan pemerintahannya berada di bawah kekuasaan Majapahit. (Noordaya, 1975 : 479-789).
6
Khusus mengenai prasasti nomor 901 Batur, pura Abang C telah diteliti kembali oleh
Budiastra beserta rombongan pada tanggal 7 Januari 1980. Prasasti ini sekarang disimpan di
pura Tuluk Biyu di sebelah selatan pura Ulun Danu Batur.
2.Pembahasan
2.1 Kronologi Raja-Raja Bali Abad XIII-XIV
Uraian selanjutnya akan dibagi dua bagian, yaitu : 1) Kronologi raja-raja Bali atau
urutan nama raja-raja Bali dari tahun 1300 sampai dengan tahun 1398 Masehi (Abad XIIIXIV). 2. Ekspedisi Gajah Mada ke Bali. Mengenai bagian dua ini sebenarnya telah tercakup
dalam bagian satu, yaitu dalam masa pemerintahan raja Cri Astasura Ratna Bhumi Banten.
Namun, kiranya dirasakan perlu memisahkan bagian ini dengan tujuan untuk memberikian
gambaran secara singkat tentang kerajaan Bali sejak diserang oleh Majapahit. Disamping itu
untuk mengetahui bagaimana taktik dan strategi perjuangan Gajah Mada sampai akhirnya
kerajaan Bali dapat ditundukan pada tahun 1343 Masehi.
1. Kronologi raja-raja Bali abad XIII-XIV
a) Raja Patih Kebo Parud (Caka 1218-1222)
Berdasarkan prasasti nomor 801b Pangotan E (nomor lama 801) = D.59 bertahun
1218 Caka dan prasasti nomor 802a Sukawana D (nomor lama 802) bertahun 1222 Caka
dapatlah diketahui bahwa raja yang memerintah di pulau Bali saat itu adalah Ki Kebo Parud.
Baginda diberi gelar Raja Patih. Dengan disebutkan nama baginda pada kedua prasasti di atas
sangatlah kuat kemungkinannya bahwa pemerintahan baginda di Bali sangat erat kaitannya
dengan penaklukan raja Kertanegara pada tahun 1206 Caka. Hal ini didasarkan atas
pangkatpangkat atau jabatan-jabatan tinggi kerajaan yang tersebut dalam prasasti itu jelas
menunjukan corak Jawa. (Semadi Astra, 1977 : 28).
7
Pada masa pemerintahan Kebo Parud di Bali banyak lowongan jabatan yang belum
terisi misalnya seperti Senapati Dinganga, Senapati menyirikan dan Senapati Baladyaksa.
Demikian pula para pendeta Ciwa dan Budha, telah ditentukan, namun mereka itu belum
dilantik. Peraturan-peraturan dengan nama terdahulu. Saat itu yang menjadi raja di Jawa
adalah Kertarajasa Jayawardana atau Raden Wijaya. Hal ini terjadi karena kerajaan Singosari
dapat ditaklukan oleh Kadiri (Daha) tahun 1292 Masehi yang mengakibatkan Bali kembali
menjadi pengawasan Kediri. Pada tahun 1293 Masehi Kediri ditaklukan oleh Majapahit
sehingga pulau Bali secara Otomatis berada di bawah kekuasaan Majapahit. (Ginarsa, 1968 :
5). Hasil-hasil kesusastraan yang berhasil dibawa ke Bali waktu itu adalah Kakawin Arjunawiwaha, Kresnayana, Sumanasantaka, Asmaradahana, Bharatayudha, Wretasancaya, dan
lain-lainnya.
b) Bhatara Cri Mahaguru, Caka 1246-1247
Pemerintahan Raja Patih Kebo Parud di pulau Bali hanya bersifat sementara. Karena
beberapa tahun kemudian pulau Bali ini keadaannya sudah pulih kembali maka tepatnya pada
tahun 1324 Masehi oleh Jayanegara (Raja Majapahit yang menggantikan Raden Wijaya)
pemerintahan di Bali dikembalikan ke tangan seorang keturunan Warmadewa, yaitu Cri
Dharma Uttunggadewa-warmadewa yang kemudian bergelar Cri Paduka Maharaja Bhatara
Mahaguru Dahrmotungga Warmadewa. Berdasarkan prasasti nomor 803 Hyang Putih = D.
60 baginda memerintah bersama-sama dengan cucunda yang bernama Cri Trunajaya sampai
tahun 1274 Caka. (Goris, 1967 : 45 ; Callenfels, 1926 : 50-52).
Paduka Bhatara Cri Walajaya Krttaningrat bersama-sama dengan ibunda janda raja
Cri Mahaguru (Caka 1250). Dalam prasasti nomor 807 Selumbang = D.62 yang bertahun
1250 Caka terbaca nama raja yang memerintah di Pulau Bali adalah Walajaya Krttaningrat
bersama-sama dengan ibunda janda Cri Mahaguru (…..cri walajaya krttaningrat kalih ibunira
8
sira paduka tara cri mahaguru…) ini berarti bahwa raja Cri Mahaguru telah wafat sebelum
tahun 1250 Caka. (Goris, 1967 : 45 ; Callenfels : 68-70).
c) Cri Astasura Ratna Bhumi Banten (Caka 1259)
Gelar raja ini terbaca dalam prasasti nomor 814 (nomor lama 811) Langgahan = D. 63
yang bertahun 1259 Caka dan dalam prasasti nomor 810 Gunung Panulisan E = D.67. Pada
jaman pemerintahan baginda juga dibuat undang-undang yang ditatah diatas perunggu yang
isinya disesuaikan dengan isi prasasti-prasasti yang telah ada. Semua keputusan-keputusan
biasanya diputuskan di dalam sidang yang didasarkan atas permusyawaratan biasanya
dilakukan di balai pendapa yang ada di istana. Para pendeta Ciwa, Budha dan Resi
Mahabrahmana serta pemuka-pemuka yang ada di desa sangat dihargai oleh baginda di
samping pejabat-pejabat resmi di pusat. Pemerintahan Cri Astasura Ratna Bumi Banten
sangat bijaksana dan sangat taat melakukan adat-adat upacara di pura. Namun suatu
keterangan yang sangat berbeda kita dapatkan di dalam kitab Negarakertagama sargah 49.4 di
mana antara lain disebutkan bahwa “ikang bali nathanya duccila niccaha” artinya raja pulau
Bali sangat jahat dan hina. (Pigeaud, 1960 : 36).
Ginarsa meneliti lebih jauh siapa sebenarnya yang dimaksud oleh Prapanca bahwa
pulau Bali rajanya jahat dan hina, yang memerintah tahun 1265 Caka. Dikatakan bahwa yang
dimaksud oleh Prapanca raja pulau Bali jahat dan hina tidak lain dari raja Cri Astasura Ratna
Bumi Banten sebagai raja Bedahulu. (Ginarsa, 1956 : 26-28). Berg berpendapat bahwa pada
jaman itu, terjadi suatu peperangan yang terjadi antara tahun 1331 dan tahun 1343 Masehi,
yaitu peperangan terhadap kerajaan di pulau Bali yang dikenal dengan sebutan “Perang
Sadeng”. Pendapat Berg ini ditanggapi oleh Krom antara lain dikatakan bahwa perang
Sadeng itu adalah pemberontakan yang terjadi di timur pulau Jawa terhadap kerajaan
Majapahit yang terjadi di timur pulau Jawa terhadap kerajaan Majapahit pada 1331 Masehi.
9
Sedangkan perang terhadap kerajaan di pulau Bali diselesaikan oleh kerajaan Majapahit pada
1343 Masehi. (Utrecht, 1962 : 81-89).
Kalau dibandingkan antara pendapat Berg dan Krom serta dikaitkan dengan
keterangan dalam prasasti Langgahan (tahun 1259 Caka) dan Rajapurana, maka dapat
dikemukakan di sini bahwa raja Astasura Ratna Bumi Bantenlah yang dapat ditaklukan oleh
Majapahit pada 1265 Caka. (Semadi Astra, 1977 : 29). Karena Cri Astasura Ratna Bumi
Banten merupakan raja Bali yang terakhir, maka Goris menduga bahwa raja ini mungkin
dapat disamakan dengan raja Bedaulu (Bedulu) yang bernama Mayadanawa seperti tersebut
pada lontar Usana Bali.(Sartono, 1977 : 160). Selain disamakan dengan Mayadenawa peneliti
juga memperkirakan Raja Asta Sura Ratna Bumi Banten sama dengan Cri Tapolung atau
lebih dikenal dengan raja Bedahulu. Hal itu diketahui dari Rajapurana raja Bali sebelum
diserang Gajah Mada bernama Cri Tapolung. Dijelaskan dalam Rajapurana Pupuh I.8-17
disebutkan bahwa yang menjadi raja di pulau Bali sebelum serangan Gajah Mada tahun 1343
Masehi bernama Cri Tapolung. Dalam Rajapurana disebutkan bahwa sebelum kedatangan
Ekspedisi Gajah Mada yang menjadi raja di pulau Bali bernama Cri Tapolung putra raja
Masula-Masuli. Mengenai nama Cri Tapolung ini dapat diuraikan yaitu Cri berarti bahagia;
keindahan; Tapolung terdiri dua kata yaitu tapa dan ulung; tapa (bahasa Sanskerta) berarti
„tapa, pertapa dan pendeta.( Pigeaud, 1960 : 419 ; Wojowasito, 1973 : 325). dan ulung (sakti)
berarti sakti. Dengan demikian maka Cri Tapolung mengandung pengertian yaitu gelar
seorang raja pertapa yang sakti dan ada hubungannya dengan pertapaan.
Kalau dikaitkan dengan sumber pasasti Langgahan dan Raja Purana di atas, dimana
dalam prasasti Langgahan disebutkan bahwa raja Cri Astasura Ratna Bhumi Banten
menetapkan pertapaan Langgaran dengan segala peraturannya dan di dalam raja purana
disebutkan bahwa seorang raja yang ada hubungannya dengan pertapaan (pertapa). Lebih
10
lanjut dapat dikatakan bahwa raja Cri Astasura Ratna Bhumi Banten sama dengan Cri
Tapolung.
Dalam Rajapurana juga disebutkan bahwa setelah raja pulau Bali berbeda dengan
pusat (Majapahit) raja bergelar Cri Beda Muka, Cri Beda Murdi atau Dalem Bedaulu.
Mengenai nama (gelar) raja ini dapat diuraikan yaitu Cri Beda Muka, Cri berarti bahagia,
keindahan, dan kebesaran, Beda berarti berbeda. Muka berarti muka, kepala, (Wojowasito,
1973 : 226). Cri Beda Murdi, Cri dan Beda sama artinya seperti disebutkan diatas, sedang
murdi (berasal dari bahasa Sanskerta mardda) berarti kepala. (Wojowasito, 1973 : 227).
Dalem Bedahulu berasala dari dua kata, yaitu Dalem berarti istana, gelar seorang raja.
(Pigeaud, 1969 : 58). Bedahulu berarti berbeda kepala. Dengan demikian ketiga gelar raja
yang disebutkan di muka, yakni beda muka, beda murdi dan Bedahulu adalah mengandung
pengertian yang sama, yakni seorang raja atau gelar seorang raja yang berbeda kepala dengan
pengertian bahwa raja berbeda dengan kepala (pusat), yaitu (Majapahit). Dapat ditambahkan
bahwa Raja Asta Sura Ratna Bumi Banten bergelar raja Cri Beda Muka, Beda Murdi atau
Dalem Bedahulu dan Cri Tapolung. Secara arkeologis peninggalan Arca Perwujudan Raja
Asta Sura Ratna Bhumi banten ditempatkan di Pura Kebo Edan di daerah Bedulu Gianyar
(Lihat lampiran Foto 1).
d) Cri Kresna Kapakisan (Caka, 1272-1302)
Setelah pulau Bali ditundukkan pada tahun 1265 Caka berselang beberapa tahun
kemudian, kira-kira tahun 1272 Caka di Majapahit diadakan persidangan yang dipimpin oleh
Gajah Mada dengan dihadiri oleh para menteri dan arya. Tujuannya untuk membicarakan
tentang kekosongan pemerintahan di pulau Bali. Dalam persidangan itu, dimintakan pula
pertimbangan kepada Ki Pasung Gerigis yang saat itu berada di Majapahit yang desa-desa
mana yang patut ditempati oleh para Arya dan pengiringnya. Berdasarkan musyawarah dalam
11
persidangan itu, ditetapkan desa-desa yang menjadi kedudukan para Arya dan pengiringnya.
Pemberian (hadiah) kedudukan kepada para Arya itu adalah merupakan imbalan dari jasajasa mereka pada waktu peperangan dahulu. Sedangkan yang ditunjuk oleh Gajah Mada
menjadi raja di pulau Bali adalah Cri Kresna Kapakisan dan setelah tiba di Bali
berkedudukan di Samprangan sedangkan Mapatihnya bernama Arya Kapakisan. (Sartono,
1977:160).
Mengenai Arya Kapakisan ini muncul secara tiba-tiba seperti tersebut dalam
Rajapurana Pupuh VIII, 34a, 34b, 56-64, Arya Kapakisan bersama-sama dengan Arya
Tumenggung mengadakan penyerangan di desa Celukanbawang, Banjar Aseman, Patemon
dan lain-lainnya yang akhirnya desa-desa itu dapat ditundukan. (Berg, 1929 : 9). Karena pada
waktu para Arya kembali ke Majapahit nama Arya Kapakisan tidak ada disebutkan,
kemungkinan Arya Kapakisan itu tetap tinggal di Pulau Bali.
Pembicaraan kita kembali pada raja di muka (Cri Kresna Kapakisan) dalam
Pamancangah antara lain disebutkan bahwa pada jaman Gajah Mada di Jawa tinggal seorang
suci dan sakti yang bernama Mpu Kapakisan dan berkat kesaktiannya telah menciptakan
seorang putra dari sebuah batu yang kemudian dikawinkan dengan bidadari. Dari perkawinan
ini lahir empat orang anak yaitu tiga laki-laki dan seorang putri. Waktu itu Gajah Mada
mengajukan permintaan kehadapan Mpu Kapakisan supaya anak-anak itu diserahkan
kepadanya, dan permintaan itu dikabulkan. Putra yang tertua dijadikan raja di Belambangan,
yang kedua dijadikan raja di Pasuruan, yang ketiga (putri) dikawinkan dengan raja Sumbawa
dan yang keempat dijadikan raja di Bali. Mungkin yang dimaksud dalam Pamancangah
dengan putra yang keempat adalah raja Cri Kresna Kapakisan. Pada waktu baginda
memerintah masih ada desa-desa Baliaga yang ingin memberontak terhadap kekuasaan
Baginda misalnya desa Campaga, Songan, Kedisan, Abang, Pingan, Munti, Benoh,
Tarebayan, Serahi (Serai), Sukawana, Panrajon, Kintamani, Pludu, kawan, Manikalyu
12
(manikliu), di sebelah timur seperti desa Culik, Tista, Margatiga, Mantig, Got, Garbhawana,
Lokasana, Juntal, Garinten, Sekulkuning, Puhan, Wulakan, Simbatan, Asti, Watuwayang,
Kadampal, Paselatan, Bantas, Datah,Watudawa, dan katabayan. (Berg, 1929 : 10). Dengan
adanya desa-desa yang belum mau tunduk kehadapan Cri Baginda, baginda merencanakan
untuk pulang ke Jawa (Majapahit). Akhirnya kepada Cri Baginda dihadiahkan sebilah pedang
yang bernama Si Pancajanya beserta seperangkat pakaiannya yang dikenakan pada waktu
dahulu, agar baginda lebih mudah mencapai kemenangan.15. Sejak saat itu kekuasaan
baginda makin meningkat pertahanannya.
Suatu hal yang sangat penting terjadi pada jaman ini seperti yang dituturkan oleh
Pamancangah Pupuh I-27 (Berg, 1929 : 10) adalah :
“….kunang cri kapakisan, brahmangca mulanyang (ng) ani dadi ksatria dene
rakryan apatih…”
Artinya :
“…..Adapun Cri Kresna Kapakisan asalnya dari (kasta) Brahmana dahulu
dijadikan (kasta) Ksatria oleh Rakryan Patih (Gajah Mada)…”
Keputusan Gajah Mada mempercayakan Cri Kresna Kapakisan untuk memelihara
ketentraman dan perdamaian di pulau Bali kalau ditinjau dari sudut politik memang
merupakan suatu kebijaksanaan yang tepat untuk mengembalikan citra orang Bali agar
berpacu pada Kediri. Waktu itu yang menjadi raja di Majapahit adalah Hayam Wuruk yang
bergelar Rajasanegara. Pada jaman ini yakni tahun 1357 Masehi Ki Pasung Gerigis diutus
oleh Gajah Mada untuk memerangi raja Sumbawa yang bernama Dedela Natu dan dikatakan
keduanya gugur dalam peperangan. 29. Pada tahun 1284 Caka (caka pat-ulo-ra-tunggal) yang
berarti tahun 1362 Masehi di Majapahit diadakan upacara Cradha yaitu membuat upacara ibu
Hayam Wuruk yakni Rajapatni (Tribuana tunggadewi). (Berg, 1929 : 9).
13
Raja Bali yang bernama Cri Kresna Kapakisan juga I Dewa Agra Samprangan (Caka
1302). Setelah raja Cri Kresna Kapakisan wafat, maka pemerintahan di Bali digantikan oleh
putranya yang tertua yang bernama I Dewa Agra Samprangan atau Dalem IIa. Raja ini tidak
begitu memperhatikan keadaan pemerintahan karena suka berhias dan lamban di dalam
melakukan segala pekerjaan sehingga raja ini kurang mendapat dukungan rakyat. Karena
baginda kurang mendapat simpati rakyat lalu banyak menteri yang kecewa. Pada suatu hari
Bendesa Gelgel yang bernama Ngurah Abyan Tubuh (Kubon Kelapa) hendak menghadap
raja. Namun, setelah ditunggu-tunggu raja belum juga keluar. Ketika itu raja tetap asyik
berhias dan memperbaiki pakaiannya di muka kaca. Sampai bosan ia menunggu lebih lama
lagi akhirnya kubon kelapa pergi meninggalkan keraton. Dengan demikian sia-sialah ia mau
menghadap raja. Sepeninggalan dari keratonnya dalam pikiran telah terlintas maksud untuk
menghubungi adik baginda yang bernama Ketut Ngulesir. (Berg, 1975 : 145-156).
e).I Dewa Ketut Ngulesir (Caka 1302-1382)
Berselang beberapa lama mulailah Kubon Kelapa mencari baginda I Dewa Ketut
Ngulesir yang saat berada di desa Pandak. Kubon Kelapa datang menghormat dan
menyampaikan maksudnya, yaitu mengangkat dan menobatkan baginda menjadi raja. Dia
sanggup menyediakan rumahnya di Gelgel dijadikan istana. Baginda lama pula berpikir,
namun karena permohonan Bendesa Gelgel amat kerasnya akhirnya baginda bersedia
menjadi raja dan berani menanggung segala akibatnya. (Berg, 1929 : 8 ; Pitono, 1965 : 53).
Sebelum meninggalkan desa Pandak baginda berjanji seandainya nanti baginda menjadi raja
maka mereka (orang pandak) akan dijadikan juru kuwuk (tukang pelihara ayam aduan?) di
istana. Namun, kenyataan setelah baginda menjadi raja, desa Ayunglah yang bertugas sebagai
tukang pelihara ayam aduan. Kemungkinan raja mangkir dengan janjinya dan apa sebabnya
raja tidak jadi memberikan kepada desa Pandak sebagai juru kuwuk, hal ini belum jelas
selanjutnya dengan mempergunakan rumahnya Kubon Kelapa maka berdirilah kerajaan
14
Gelgel yang juga bernama Linggarsapura atau Suweccapura. Setelah raja dinobatkan
kemudian bergelar Cri Asmara (Semara) Kapakisan. Berdasarkan uraian di muka kita bisa
mengacu kepada suatu pertanyaan yaitu kapankan kerajaan Gelgel itu berdiri? Untuk
menjawab ini agak sukar bagi kita menentukan secara pasti, karena sampai saat terakhir
penelitian ini belum juga didapatkan angka yang pasti mengenai kerajaan Gelgel tersebut.
Dalam Babad Mengwi (Salinan, Babad Dalem Samprangan, hal 1) kita temukan satu
keterangan angka tahun yang memakai candrasangkala yang berbunyi:
“…..Kunang ri kalaning angalih kadatwan ring sweccalinggarsapura, I saka
lwang ing mata agni tanggal….”
Artinya :
“…..Adapun pada waktu berpindah kerajaan di Suwecalinggarsapura (Gelgel)
pada tahun 1320 Caka….” .
Dengan adanya keterangan di atas yang menyebutkan kerajaan (Samprangan)
berpindah ke Gelgel pada tahun 1320 Caka atau tahun 1398 Masehi, kiranya menimbulkan
dua kemungkinan yang saling menunjang. Dikatakan demikian karena di satu pihak ada yang
menyebutkan bahwa kerajaan Samprangan tidak lama bertahan setelah wafatnya Cri Kresna
Kapakisan kemudian digantikan oleh putranya yang bernama I Dewa Agra Samprangan,
namun baginda kurang mendapat dukungan rakyat. Ini berarti bahwa kerajaan Samprangan
mengalami kepudaran (masa suram) pada tahun 1380 Masehi. Di lain pihak bila dikaitkan
dengan keterangan dalam Babad Mengwi maka akan berarti kerajaan Samprangan berpindah
(beralih) ke kerajaan Gelgel tahun 1398 Masehi. Berdasarkan uraian di atas maka lebih lanjut
dapat dikatakan sebagai berikut.
1. Kerajaan Samprangan mungkin mengalami kepudaran mulai tahun 1380 Masehi dan
pemerintahan masih bisa bertahan sampai tahun 1398 Masehi.
15
2. Kerajaan Gelgel berdiri kira-kira tahun 1302 Caka (1380 Masehi namun secara resmi
seluruh pemerintahan di Bali berada di bawah kekuasaan raja Gelgel baru terjadi pad
tahun 1398 Masehi dengan rajanya Cri Asmara Kapakisan. Baginda merupakan raja
Gelgel yang pertama yang memerintah dari tahun 13801460 Masehi. (Berg, 1929 : 18-19).
f.Cri Wijayarajasa
Pada masa pemerintahan Cri Asmara Kapakisan di pulau Bali ada seorang raja Jawa
dari Negara Wengker yang bernama Cri Wijayarajasa telah mengeluarkan dua buah prasasti
yaitu prasasti nomor 901 Abang, Pura Batur C dan nomor 902 Gobleg, Pura Batur C. Dalam
prasasti Abang, Pura Batur C disebutkan bahwa raja Wijayarajasa telah menyelesaikan
sengketa diantara desa Pemuteran dan desa Abang dengan mengeluarkan beberapa ketetapan
yang isinya disesuaikan dengan isi prasasti yang terdahulu, dengan mengirimkan seorang
patih dari Kediri (Daha) yang bernama Cancu (Raden) Pikul. Dari prasasti Gobleg kita dapat
mengetahui bahwa raja Wijayarajasa telah wafat tahun 1398 Masehi. Bagaimanakah halnya
sampai bisa terjadi pada masa ini (waktu pemerintahan Cri Asmara Kapakisan) seorang raja
Jawa dari Negara Wengker mengeluarkan prasasti atas namanya sendiri di pulau Bali?
Selanjutnya, bagaimana pula hubungan raja Wijayarajasa dengan kerajaan Majapahit dan
kerajaan Majapahit dengan kerajaan di pulau Bali? Untuk menjawab pertanyaan ini baiklah
akan ditinjau lebih dahulu yaitu pertanyaan yang disebutkan belakangan yakni tentang
hubungan antara Wijayarajasa dengan kerajaan Majapahit. Celless berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan Wa-yuan-lan-wang-chieh dalam berita Cina dari dinasti Ming (Ming Shih
buku 324) adalah tidak lain dari Bhre Wengker. Bhre Wengker sebagai raja timur tahun 1377
Masehi dapat diidentifikasikan sebagai orang yang bergelar Wengker yaitu Wijayarajasa
paman dari Hayam Wuruk. Identifikasi ini akan menjelaskan posisi khusus Wijayarajasa
dalam pemerintahan Hayam Wuruk. Sebagai bukti menunjukan bahwa pemerintahannya
tidak hanya di Wengker, tetapi juga di luar daerah kecil itu, dapat dibaca pada kitab
16
Negarakertagama (4-2-4) tentang tanah-tanah petani dan (79-2-1) tentang daerah-daerah
kerajaan dan (88-2-4) bahwa minatnya ingin berkuasa meliputi selulur kerajaan
Jawa.(Celless, 1974). Prasasti-prasasti di Biluluk tahun 1366, 1393 dan 1395 Masehi, dan di
Katiden 1395 Masehi yang kesemuanya atas nama putra mahkota Wengker adalah mungkin
sebagai partisipasinya dalam pemerintahan pusat. Pigeaud mengatakan bahwa posisi
Wengker begitu pentingnya sehingga dia bisa mengeluarkan piagam tidak atas nama raja.
Sebagai bukti wewenang putra mahkota Wengker sangat besar adalah terlihat dalam
piagamnya yang menyangkut pulau Bali pada tahun 1384 Masehi yang seolah-olah sebagai
wakil raja (Majapahit) di Bali, dimana secara jelas Wijayarajasa memakai gelar Sri Maharaja
raja Parameswara (Ib. 3-4). Terutama dalam bagian terakhir dari gelarnya “Raja yang
dipertuan besar” mungkin dapat membuktikan posisinya yang sangat tinggi. Namun dia
sebagai putra mahkota Wengker masih tetap mengakui sebagai bawahan Negara Majapahit.
Dengan diberikannnya kekuasaan yang penuh terhadap raja Wijayarajasa ini menunjukan
kepada kita bahwa belas kasihan dari raja Hayam Wuruk adalah posisi yang sama dengan
raja. (Noordaya, 1975 : 479-489). Mengenai hubungan kerajaan Majapahit dengan kerajaan
di Bali kiranya tidak usah dijelaskan lagi karena sejak penaklukannya pada tahun 1343
Masehi pulau Bali berada di bawah lindungan kerajaan Majapahit.
3.Simpulan dan Saran
3.1.Simpulan
Raja Cri Astasura Ratna Bumi Banten bertahta dari tahun 1337-1343 Masehi dengan
kesimpulan bahwa raja Cri Astasura Ratna Bumi Bantenlah yang ditaklukan oleh Gajah
Mada tahun 1343 Masehi. Raja Cri Astasura Ratna Bumi Banten nama Abhisekanya adalah
Cri Beda Muka/Cri Beda Murdi/Cri Topolung. Tujuh tahun kemudian Cri Kresna Kapakisan
dinobatkan menjadi raja di Bali dan berkedudukan di Samprangan yang memerintah dari
17
tahun 1350-1380 Masehi. Pada tahun 1380 Masehi, raja Cri Kresna Kapakisan wafat, lalu
digantikan oleh adiknya yang bernama I Dewa Ketut Ngulesir dan berkedudukan di Gelgel
yang memerintah dari tahun 1380-1460 Masehi. Raja I Dewa Ketut Ngulesirlah yang
memindahkan kerajaan (Samprangan?) secara resmi ke Gelgel tahun 1398 Masehi. Pada
waktu pemerintahan baginda tahun 1384 Masehi raja Wengker yang bernama Cri
Wijayarajasa dapat menyelesaikan persengketaan desa Pemuteran dengan desa Abang dengan
segala ketetapannya. Selanjutnya Gajah Mada datang ke Bali sebagai duta dan melakukan
hubungan kerjasama agar kerajaan Bali bersatu dan bekerjasama dengan kerajaan Majapahit.
Namun, siasat taktik Gajah Mada ini ternyata berlainan dengan janji persatuan dan kerjasama
dengan kerajaan Bali namun ingin menundukan kerajaan Bali dengan memperdaya wakil
kerajaan Bali yaitu Kebo Iwa yang dibunuh di daerah Jawa dengan tipu muslihatnya Ki Kebo
Iwa disuruh untuk membuat kolam pemandian tetapi setelah membuat kolam dan langsung
ditimbun batu sehingga meninggal. Inilah taktik untuk melemahkan kerajaan Bali dengan
melenyapkan orang sakti Ki Kebo Iwa, dan raja Asta Sura menjadi sedih dan sakit-sakitan
dan meninggal. Setelah itu yang menjadi raja adalah Ki Pasung Gerigis yang juga mengalami
kekalahan dan kerajaan Bedaulu telah jatuh yang selanjutnya tidak diketahui.
Analisis penempatan raja yang bukan dari dinasti/Icana di suatu wilayah kerajaan
tentunya menjadi kajian pemikiran terdapatnya suatu penekanan ataupun peperangan dari
pihak Majapahit yang dipimpin oleh patih Gajah Mada untuk menaklukan kerajaan Bali dan
terdapatnya raja-raja Jawa (Majapahit) setelahnya kekalahan raja Asta Sura Ratna Bumi
Banten.
18
DAFTAR PUSTAKA
Berg, C.C. 1929. “Kidung Pamancangah”, Santpoort.
________. 1975. “Penulisan Sejarah Jawa”, Jakarta : Bhratara, (Seri Terjemahan). Judul
asli Javaansch Geschiedschrijving dalam Geschiedenis van Nederlands Indie, dibawah
redaksi Dr. F.W. Stapel, Jilid II, Amsterdam, Joe van Vendel, 1938.
terjemahan S. Gunawan, Jakarta, Bharata.
Budiastra, Putu, “Prasasti Pura Tuluk Biyu”, Denpasar, (Museum Bali, belum terbit).
Ginarsa, Ketut, 1979. “Bhuwana Tatwa Maha Rsi Markandeya”, Singaraja, Balai
Penelitian Bahasa.
___________, “Bundel Prasasti Nomor 901 – 902”.
___________, 1968. Ekspedisi Gajah Mada ke Bali, Denpasar Walmiki.
___________, 1956. Raja Siapakah yang dimaksud Prapanca, ikang Bali nathanya
duccila nica” dalam Majalah Bahasa dan Budaya, Tahun IV, No. 5, Juni 1956, Jakarta,
Lembaga Bahasa da Budaya Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Goris, R, 1954. Prasasti Bali I & II”, Sumur Bandung.
______ , 1967. “Ancient History of Bali”, Denpasar, Faculty of Letters.
______, 1958. “Raja-raja Bali sejak Kerajaan Anak Wungsu sampai Kemenangan Gajah
Mada” dalam Majalah Bahasa dan Budaya, No. 4, Th. VI, Jakarta.
______, 1948. “Sejarah Bali Kuna” Singaraja.
Hardowardojo, R.Pitono, 1965. “Pararaton”, Jakarta, Bharata.
Kaler, Ketut, 1980. “Arombat-asuun” dalam Bali Pest No. 231 Tahun ke XXXI.
Kern, 1913. “The Brhat-Samhita or Complete system of natural astrology of
Varahamihira dalam Verspreide Geschriften, Jilid I, Gravenhage, Martinus Nijhoff.
1913.
Krom, 1931. “Hindoe-Javaansch Geschiedenis”, Gravenhage, Martinus Nijheff, pp. 384-410.
Needaya, J, 1975. “The king in Majapahit with an appendix by Brian E. Celless” dalam
Bijdragen tet de Taal Land en Velkenkunde, Deell 31, 4e aflevering, Gravenhage,
Martinus Nijheff, pp. 479-489.
Pigeaud, Th. G.Th. “Java in the Fourteenth-century”. The Hague, Martinus Nijheff, pp.
19
82-83.
Sapta Jaya, Ida Bagus, 2008. Pemerintahan Keluarga Warmadewa di Bali Serta
Hubungannya Dengan Jawa Timur. Dalam Buku Pusaka Budaya Dan Nilai-nilai
Religiusitas, Editor : I Ketut Setiawan, Seri Penerbitan Ilmiah Jurusan Arkeologi Fakultas
Sastra Universitas Udayana Denpasar, Hal 138-161.
Stein Callenfels, van, 1926. “Epigraphia Balicia I”, dalam Verhandelingen van het
Koninklik Bataviasch Geneetschan van kunsten en Wetenschappen, Deel LVI, Derde
atuk, Batavia.
Salinan Lontar
Salinan, “Babab Arya Gajah Para” Koleksi Ketut Ginarsa.
______, “Babad Arya Tabanan”, Denpasar, Parisada Hindu Dharma Kabupaten Badung,
1974 (Gedong Kirtya No. Val 792/13).
______, Babad Catur Brahmana”, Denpasar, Parisada Hindu Dharma Kabupaten Badung,
1974 (Gedong Kirta, No. Va. 273/4).
______, “Babad Dalem Turun ke Bali”, Gedong Kirtya, N0. Va/732/4).
______, “Babad Dalem Samprangan”, Gedong Kirtya, Va. 1045/8.
______, “Babad Gajah Mada”, Koleksi Ketut Ginarsa.
______, Babad Mengwi”, Denpasar, Parisada Hindu Dharma Kabupaten Badung, 1974
(Gedong Kirtya, No. Va.1340/12).
20
21
22
PERKEMBANGAN ARCA DWARAPALA DI BALI
(Buku Ajar Sejarah Seni Rupa Indonesia)
Oleh :
Ida Bagus Sapta Jaya, S.S.M.Si
NIP.19741004200212100
JURUSAN ARKEOLOGI
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS UDAYANA
2015
Kata Pengantar
23
Berkat Rahmat Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dan didorong
oleh keinginan yang tinggi, maka penulis dapat menyusun makalah dengan judul “ Kajian
Konsepsi, Makna dalam Pelestarian Peninggalan Arkeologi”. Adapun maksud serta tujuan
dari penulisan ini adalah sebagai salah satu syarat untuk arsip naik pangkat ke IIId, di
Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Makalah dengan judul “Perkembangan Arca Dwarapala Di Bali dikaji dengan tujuan
sebagai bahan ajar mata kuliah Sejarah Seni Rupa Indonesia di Jurusan Arkeologi Fakultas
Sastra Universitas Udayana. Mata kuliah ini menekankan pemahahaman mahasziswa Jurusan
Arkeologi terhadap peninggalan arkeologi secara totalitas seperti misalnya pengamatan arca
dwarapala akan dikaji konsepsi bentuk-bentuk dwarapala, konsepsi arca dwarapala dan
filosofis arca dwarapala. Dengan pemahaman secara mendalam maka seni rupa yang
dipelajarai dapat dimengerti secara seksama.
Penulis menyadari akan terbatasnya pengetahuan dan kemampuan yang ada pada diri
penulis, karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk
melengkapi tulisan ini. Tanpa mengurangi jasa manapun yang telah rela dan ikhlas membantu
penulis, melalui tulisan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
pihak-pihak sebagai berikut :
1. Bapak Prof Dr I Wayan Cika, M.S. Dekan Fakultas Sastra Universitas Udayana
yang telah membantu menyediakan fasilitas pendidikan dan kesempatan membantu
tulisan ini.
2. Bapak Drs I Wayan Srijaya, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Arkeologi Fakultas
Sastra Universitas Udayana.
3. Kepada Lembaga Perpustakaan Kampus Bukit Jimbaran Universitas Udayana yang
menyediakan fasilitas untuk mempublikasikan karya ilmiah ini.
4. Kepada Bapak Dr. I Wayan Redig, selaku team teaching mata kuliah Sejarah Seni
Rupa Indonesia yang telah banyak memberikan sumbangan pemikiran maupun
literature untuk penyusunan buku ajar ini diucapkan terima kasih.
5. Bapak/Ibu Dosen Jurusan Arkeologi atas sumbangan pemikirannya dan mahasiswa
Arkeologi yang senantiasa bersama-sama mengunjungi situs purbakala, diucapkan
terimakasih.
24
Mudah-mudahan atas semua jasanya yang telah diberikan kepada penulis, semoga Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan Rahmat-Nya sesuai dengan amal
perbuatannya.
Akhirnya semoga karya tulis yang sangat sederhana ini dapat diambil manfaatnya oleh
pembaca sebagai sumbangan kecil dalam dunia Ilmu pengetahuan pada umumnya dan
disiplin Arkeologi pada khususnya.
Penulis, Denpasar 2 Mei 2014
Ida Bagus Sapta Jaya, S.S.M.Si
NIP.19741004200212100
Daftar Isi
HALAMAN
JUDUL…………………………………………………………………………………………
…………………I
KATA
PENGANTAR…………………………………………………………………………………
……………………….II
25
BAB I PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG DAN
PERMASALAHAN..………………………………………………………………………1
BAB II PEMBAHASAN
2.1.Bentuk-bentuk Arca Dwarapala di
Bali…………………………………………………………………………….3
2.2.Latar Belakang Konsepsi Arca
Dwarapala..………………………………………………………………………..7
2.3. Latar Belakang Filosofis dan Fungsi
Arca…….……………………………………………………………………11
2.4. Kesimpulan dan
Saran……………………………………………………………………………………………
…………13
ABSTRAK
26
latar belakang filosofis arca dwarapala dapat dihubungkan dengan mithologi yaksa di India,
karena dwarapala pada mulanya merupakan yaksa. Yaksa (Sanskerta) adalah mahluk yang
termasuk golongan gaib yang tinggal di hutan dan dianggap sebagai sumber kehidupan,
karena pertanian dan perladangan subur berkat perlindungan. Aspek ini menyebabkan yaksa
mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat, akhirnya timbulah pemujaan
setempat yang dilakukan oleh penduduk yang berkepentingan. Sampai saat ini dwarapala
yang dikonsepsi dengan Kala, Yaksa, umumnya ditempatkan di pintu masuk pura maupun
tempat-tempat pemukiman masyarakat dengan tujuan sebagai arca penjaga, dan penolak bala
dan perlindungan.
Kata Kunci : Filosofis, Konsepsi, Arca Dwarapala
PENDAHULUAN
Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan manusia masa lampau dengan
berbagai aspeknya melalui benda-benda yang di tinggalkan, yang dijadikan panduan untuk
27
mempelajari kehidupan yang akan dating. Mengungkapkan kebudayaan masa lampau
tidaklah mudah, kita dituntut untuk memiliki keahlian dan ketelitian dari cara menemukan
kembali, menyelamatkan, mencatat, sampai dengan cara mengadakan analisis untuk
menerangkan arti artefak-artefak yang ditinggalkan sebagai warisan didalam suatu kerangka
budaya.
Titik berat arkeologi adalah kebudayaan dan tidak lepas dari faktor manusianya, sebab
kebudayaan adalah suatu gejala yang khas dari manusia, sehingga manusia dan kebudayaan
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu dari yang lainnya (Soediman, 1982 : 41).
Dengan demikian setiap hasil budaya manusia pada masa lampau baik yang berupa seni
bangunan, seni arca, seni sastra dan lain-lainnya mengandung arti, fungsi, dan nilai tertentu
bagi manusia pendukungnya (Ki Purba, 1980 : 32).
Pulau Bali sangat kaya dengan peninggalan arkeologi yang berasal dari beberapa
periode yang masing-masing menunjukan cirri-ciri kahs zamannya. Salah satu diantara
peninggalan tersebut adalah seni arca, yang merupakan salah satu hasil budaya yang dapat
memberikan gambaran tentang kebudayaan masa lampau.
Peninggalan seni arca yang ada di Bali hanya beberapa yang mendapat perhatian dan
perawatan secara memadai, padahal semakin lama peninggalan tersebut semakin aus yang
disebabkan oleh faktor cuaca dan iklim. Untuk itu sangat perlu diadakan penelitian secara
bertahap karena mengungkapkan lebih banyak hasil budaya masa lampau akan memberikan
sumbangan yang sangat besar dalm menunjang program pariwisata budaya yang
dikembangkan di daerah Bali.
Latar belakang tersebut di atas, maka aka dicoba diuraikan peninggalan arca
dwarapala yang tedapat di Bali sebagai bahan ajar bagi mahasiswa Jurusan Arkeologi
Falultas Sastra Universitas Udayana, khususnya mata kuliah Sejarah Seni Rupa Indonesia.
Dipilihnya arca dwarapala sebagai data penelitian dikarenakan arca dwarapala memiliki
keunikan dan kekhasan yaitu dengan bentuk yang bervariasi yang ditemukan di berbagai situs
arkeologi di Bali. Bentuk-bntuk arca dwarapala sebagai arca penjaga umumnya bentuknya
menyeramkam dengan mata melotot, bertaring, badan besar, membawa senjata, wajah
berbentuk raksasa dan sebagainya. Tetapi di tempat lain ditemukan arca dwarapala dengan
karakteristik yang berbeda dengan dwarapala pada umumnya seperti misalnya dengan
menggunakan seragam tentara, bertopi dan menggunakan senapan dan wajah menyerupai
28
manusia pada umumnya. Paradigma perkembangan arca dwarapala ini maka dilakukan
penelitian dengan judul “Perkembangan arca dwarapala di Bali”.
Adapun beberapa permasalahan yang ingin ditelusuri berkenaan arca-arca dwarapala
yang terdapat di Bali adalah :
1. Bagaimanakah perkembangan bentuk-bentuk arca dwarapala yang terdapat
di Bali?
2. Apa Latar belakang konsepsi arca dwarapala yang terdapat di beberapa situs
di Bali?
3. Bagaimana latar belakang filosofis arca dwarapala?
PEMBAHASAN
Bentuk-bentuk arca dwarapala di Bali
Sebelum membicarakan bentuk-bentuk arca dwarapala, terlebih dahulu perlu
diketahui pengertian dwarapala. Dwarapala berasal dari bahasa Jawa Kuno yaitu dwara dan
pala. Dwara berarti pintu dan pala berarti penjaga. Jadi dwarapala berarti penjaga pintu
(Wojowasito, 1972 : 153 ; Ayatrohaedi, 1978 : 52).
Arca dwarapala yang ditemukan di beberapa tempat seperti di Sumatra, Jawa dan
Bali. Arca-arca tersebut kebanyakan berbentuk raksasa atau bhuta. Pada umumnya arca
dwarapala diwujudkan dengan wajah yang serem, garang, angker, memperlihatkan taring,
dan mata melotot. Beberapa diantaranya memakai mahkota, subang, kalung, gelang, dan ikat
pinggang dengan hiasan tengkorak. Tangan membawa senjata seperti gada, pedang, dan pisau
(Linus, 1985 : 17).
Di Sumatra yaitu di Padang Lawas terdapat arca dwarapala ini memegang gada di
tangan kanannya. Memakai kain ditarik sampai ke atas paha, yang merupakan celana ketat
menutupi bagian bawah badan arca (Rumbi Mulia, 1982 : 148).
Bentuk-bentuk arca dwarapala di Jawa antara lain : arca dwarapala berbentuk raksasa
terdapat pada candi Kalasan. Ciri-cirinya membawa ular, keris, dan roman mukanya tidak
menakutkan. Arca ini sekarang berada yaitu di Museum Sasana Budaya Yogyakarta.
29
Arca berbentuk raksasa di kompleks candi Sewu (Jawa Tengah) berjumlah empat
buah dengan tinggi 250 cm. Arca ini diletakan di kiri kanan pintu masuk candi. Bahwa arca
ini tidak begitu menakutkan dan berfungsi untuk mengusir roh-roh yang jahat. Bentuk arca
dwarapala yang menyeramkan juga terdapat di Jawa Timur dan Bali. Bentuk yang
menyeramkan misalnya mata melotot, mulut terbuka, dan lain-lainnya akan memberikan
kesan lebih tenang pada saat melakukan upacara (Kempers, 1959 : 54).
Arca penjaga yang terdapat di Candi Borobudur, yang berada di sebelah barat pintu
masuk berbentuk singa (Kempers, 1976 : 14). Adapun cirri-ciri arca tersebut adalah mata
bundar, rambut panjang kriting sampai pada bahu, kumis lebat, dan cara duduknya
menyerupai arca dwarapala dari khmer dan arca dwarapala dar Campa, yang menggambarkan
gerak satu kaki di tekuk ke depan, tetapi mengikuti gerak badan, ciri-ciri demikian sudah
berkembang abad ke-7-14 di Khmer (Rumbi Mulia, 1982 : 148).
Di Alun-alun Singhasari (Jawa Timur) terdapat arca dwarapala berbentuk raksasa
yang besar dan tegak dengan tinggi 370 cm. Tipe raksasa ini menyerupai tabiat atau sifat
yang damai. Arca penjaga ini diperkirakan berfungsi sebagai penjaga komplek taman yang
sangat luas. EKspresi arca penjaga itu dimaksudkan agar menakutkan, alisnya melengkum
besar, mata membelalak, ujung-ujung bibirnya diangkat ke atas sehingga kelihatan giginya
keluar (Kempers, 1959 : 80).
Di Bali arca dwarapala ditemukan pada pintu masuk halaman halaman candi kurung
Pura Bantas, Pejeng Gianyar. Di sana terdapat dua buah arca dwarapala yang memperlihatkan
badan agak gemuk, dengan hiasan berupa rambut ikal terurai kebelakang. Kedua arca tersebut
masing-masing tangannya membawa gada (Pawana,1986 : 56).
Arca dwarapala yang ditemukan di Pura Ratu Mas Jarak Mangalup. Arca tersebut
berjumlah dua buah yang masing-masing tangan kirinya membawa tameng, sedangkan kedua
arca tangan itu tidak diketahui senjata apa yang dibawa atau dipegang, karena dalam keadaan
patah. Kedua arca ini mempunyai hiasan tengkorak yaitu pada kepala, telinga, kalung,
lengan, dan kaki. Ekspresi arca ini menampakan muka yang garang, dan memperlihatkan
taring.
Arca-arca dwarapala yang ditemukan di Bali mempunyai bentuk yang bervariasi.
Seperti arca dwarapala yang diketemukan di Pura Batan Klecung (Pejeng) mempunyai
ukuran 61 cm, sikap duduk jongkok, dengan kaki disilangkan, serta tangan dipangku di atas
30
lutut. Arca ini memperlihatkan bentuk badan yang kekaku-kakuan, rambut ikal yang terurai
kebelakang sampai di bahu, mulut bulat, dahi lebar, muka mirip raksasa, serta dalam keadaan
telanjang sehingga kemaluannya menonjol.
Selanjutnya bentuk arca dwarapala yang terdapat di Pura Pusering Jagat, Pejeng
dengan cirri-cirinya adalah sebagai berikut. Bentuk muka lonjong, alis tebal, mata bulat
melotot, hidung besar, kelopak mata tebal, mulut terbuka sehingga giginya kelihatan dengan
taringnya yang tajam. Kepala dalam ukuran yang besar, dengan hiasan berupa rambut rambut
ikal yang terurai kebelakang, dengan ujung rambut sampai di bahu.
Arca-arca dwarapala bukan hanya berbentuk raksasa, namun dalam perkembangan
belakangan banyak juga berbentuk lain. Di Bali arca-arca seperti itu terdapat di depan candi
kurung Pura Sekar Sari, Banjar Pagan Kelod, Denpasar. Arca itu berwujud Subali-Sugriwa.
Arca berwujud Anoman dapat dilihat di depan Candi Kurung Pura Puseh Batubulan, Gianyar.
Arca dwarapala dalam bentuk Anila dan Anggada dapat dilihat di depan candi bentar Pura
Penataran Banjar Gunung Rata, Desa Getakan, Kecamatan Banjar Angkan, Kabupaten
Klungkung. Arca dwarapala dalam bentuk Resi dapat dilihat di depan candi kurung Pura
Pusering Tasik. Desa Bambang, kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli. Arca dwarapala
dalam bentuk Ganeca dapat ditemukan di depan candi bentar Pura Uluwatu. Arca dwarapala
dalam bentuk binatang lembu dapat dilihat pada pucak sari, Desa Batukaang, Kecamatan
Kintamani Kabupaten Bangli. Arca dwarapala dalam bentuk binatang Kambing dan lembu
dapat di lihat Canggi, Desa Sakah, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Arca
dwarapala berwujud Gajah ditemukan di depan candi bentar Pura Yeh Gangga, Desa Perean,
Kabupaten Tabanan. Masih banyak lagi bentuk-bentukyang lain dari arca penjaga
(dwarapala) yang dijumpai pada pura-pura di Bali. Oleh karena itu kemungkinan juga arca
dwarapala di Indonesia terutama di Bali diwujudkan dengan berbagai macam bentuk adalah
sesuai dengan bentuk musuh yang dihadapinya, hal ini sesuai dengan mithologi yaksa di
India.
Mithologi arca dwarapala di Indonesia dapat disamakan dapat disamakan dengan
mithologi di India. Yaksa dikatakan mahluk yang setingkat lebih rendah dari dewa-dewa
yaitu tergolong mahluk gaib, yang merupakan pendamping dewa-dewa berbentuk raksasa,
berwajah ganas, dengan rambut kriting kebelakang hingga menyentuh pundak. Di samping
berwujud raksasa di India yaksa juga diwujudkan sebagai mahluk yang berkepala binatang
31
seperti berkepala singa, harimau, kuda, dan lain sebagainya. Menurut mithologi India yaksa
dapat berganti kepala sesuai dengan keadaan yang dihadapi (Rumbi Mulia, 1982 : 2-3).
Di Bali khususnya, arca-arca dwarapala diwujudkan dalam berbagai macam bentuk
sesuai dengan musuh yang dihadapi. Hal demikian berlanjut terus sampai sekarang, dapat
dilihat pada pura-pura di Bali. Biasanya dikanan kiri pintu masuk terdapat arca dwarapala
dengan berbagai macam bentuk sebagai penjaga.
2.1. Latar belakang konsepsi arca dwarapala
Sebagaimana diketahui sebelum datangnya pengaruh kebudayaan Hindu di Indonesia,
yaitu pada zaman Neolitik