ANALISIS TEMA PEREBUTAN KEKUASAAN DALAM NOVEL GAJAH MADA: TAHTA DAN ANGKARA KARYA LANGIT KRESNA HARIADI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA

(1)

TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA

INDONESIA DI SMA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh:

Adinda Putri Nursyahrifah 109013000091

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

IhIDOIYESIA DI SMA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (S. Pd)

Oleh

ADINDA PUTRI NURSYARIF'AII

NIM. 109013000091

Di bawahbimbingan

Dosen Pembimbing,

JURUSA]\ PEIYDIDIKAII BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

F'AKTJLTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF' HII}AYATULLAH JAKARTA t2 t99703 2 001


(3)

SURAT

PERNYATAAN

KARYA SENDIRI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

. Adinda Putri Nursyarif'ah

Tangerang/ 19 Novernber 1991 109013000091

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Refleksi Tema Perebutan Kekuasaan dalam Novel Gajali

Mada: Tahta dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA

Dosen Pembimbing :

l.

Dra. Mahmudah Fitriyah ZA,M.Pd 2. ...

dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri dansayabertanggung jawab se€ara akademis atas apa yang saya tulis.

Pemyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.

Adinda Putri Nursyarifah NrM. 109013000091

Nama

Tempat/Tgl.Lahir NIM

Jurusan / Prodi Judul Slaipsi

Iakarta, I 2 Oktober 201 5 Mahasiswa Ybs.


(4)

Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah padatanggal 25 November 2015 di hadapan dewan penguji. Oleh

karena itu, peneliti berhak memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd) dalam bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Jakarta 25 November 2015 Panitia Ujian Munaqasah

Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Prodi) Tanggal

'%,tN

Tanda Tangan

W

1n

r0E

Makyun Subuki.

M.IIU+

NrP. 19800305 200901

I

015

Sekretaris Panitia (Sekretaris Jurusan/Prodi)

Donna Aii Putra. M. A. NIP. 19840409201101

I

015 Penguji I

Ilindun. M.Pd

NIP. 19701215 2009122 001

Penguji II

Achmad Bahtiar. M. Hum 197601 18 200912 I 001

tl/,

r:otL

I{engetahui


(5)

i

Adinda Putri Nursyahrifah (109013000091). Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul Skripsi, “Refleksi Tema Perebutan Kekuasaan dalam Novel Gajah Mada:

Tahta dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi dan Implikasinya Terhadap

Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”. Pembimbing: Dra. Mahmudah Fitriyah, ZA., M.Pd

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tema perebutan kekuasaan dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan metode analisis isi. Metode analisis isi digunakan untuk menelaah isi dari novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi. Penelitian ini mendiskripsikan apa yang menjadi masalah, kemudian menganalisis dan menafsirkan data yang ada. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik pustaka, pencatatan data, dan analisis.

Hasil penelitian ini menguraikan masalah perebutan kekuasaan antara pihak keluarga suami Sekar Kedaton Sri Gitarja dengan keluarga suami Dyah Wiyat. Hasil dalam penelitian ini dapat ditemukan bahwa dalam perebutan kekuasaan itu disebabkan sistem monarki turun-temurun yang dalam kasus ini pewaris tahtanya adalah perempuan yang terikat oleh aturan keterpatuhan dengan suami walaupun derajatnya lebih rendah dan di balik para suami terdapat pihak-pihak yang hendak mengambil keuntungan pribadi dari tahta tersebut sehingga melakukan cara-cara seperti sabotase, pembunuhan, percobaan pembunuhan, penculikan, sampai kudeta untuk mendapatkan kekuasaan. Tema perebutan kekuasaan dalam novel Gajah

Mada: Tahta dan Angkara ini, dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran Bahasa

dan Sastra Indonesia di sekolah, dalam aspek meneliti. Dalam pembelajaran ini, kompetensi yang harus dicapai peserta didik ialah menganalisis teks novel baik secara lisan maupun tulisan, dengan menjelaskan unsur-unsur intrinsik dalam novel serta menemukan tema yang terkandung dalam novel.


(6)

ii

Department, Faculty of Tarbiya' and Teachers' Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Paper’s Title, “Refleksi Tema Perebutan Kekuasaan dalam Novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”. Supervisor: Dra. Mahmudah Fitriyah, ZA., M.Pd

The goal of this research is to describe the theme of the struggle for power in novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.

The metode that writer used in this research is qualitative descriptive study with content analysis method. This content analysis methode is used for exam the content from novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara by Langit Kresna Hariadi. This research describe what become the problem, than analyze and interpret existing data. Data collection technique in this study is use technique library, data writer, and anlysis.

This result of this research is to deciper the problem of the strugle of power

between the family of Sekar Kedaton Sri Gitarja husband’s with the family of Dyah Wiyat husband’s. Result from this research can found that the strugle of power is cause by the downhill monarky system that in this case heir to the throne is women that bound by the rules compliance with her husband altough his level is lower and behind the husband there is a side that take advantage personal from the throne so do the bad thing, such as sabotage, murder, attempted murder, kidnaping, until a coup to get the throne. The theme of power struggle in novel Gajah Mada: Tahta dan

Angkara ini, can implicated againts the learning of Language and Indonesia lecture in

school, in aspect of research. In this study the competence that must achieved by learnes is analyze the text in novel orally or written, to explain the instrinsic elements in this novel and faind a theme that contained in the novel.

Keyword: thematic, Gajah Mada: Tahta dan Agkara, Langit Kresna Hariadi


(7)

iii

Terimakasih ya Allah ya Rabbal aalamin, atas karunia, syafaat dan kasih sayang-Mu untuk peneliti. Terima kasih ya Rasulullah atas suri tauladan-mu, salawat dan salam tak lupa peneliti haturkan kepada-mu, keluarga-mu, sahabat-sahabat-mu, serta umat-mu.

Alhamdulillah, syarat terakhir untuk memperoleh gelar sarjana pada

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta telah rampung terselesaikan. Adapun skripsi ini peneliti beri judul: Refleksi Tema Perebutan

Kekuasaan dalam Novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara Karya Langit Kresna

Hariadi dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.

Dalam penelitan ini, awalnya peneliti dihinggapi perasaan ragu-ragu untuk melakukan penelitian. Keraguan tersebut sering kali melahirkan sikap pesimis dan acuh tak acuh mengingat keterbatasan peneliti dalam menganalisis novel serta keterbatasan sumber data bacaan. Akhirnya keraguan tersebut hilang berkat dukungan dan doa dari berbagai pihak yang sangat bermanfaat bagi peneliti. Oleh karena itu, peneliti menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Makyun Subuki, M. Hum. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia yang selalu mengerti akan keadaan mahasiswanya, serta memberikan motivasi dan doa.

3. Dona Aji Putra, M.A. selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang selalu memberikan senyuman terhadap mahasiswanya.

4. Dra. Mahmudah Fitriyah Z.A., M.Pd. selaku Penasihat Akademik dan Dosen Pembimbing yang selalu memberikan keceriaan, kesabaran, dan kelembutan dalam mengajarnya, serta motivasinya.


(8)

iv

6. Keluarga peneliti, Ayahanda terhormat (alm) R. H. Moch Sjah Marzuki dan Ibunda tercinta Hj. Nurwati, S.Pd yang tak pernah putus mendoakan dan membimbing peneliti. Ucapan terima kasih tak akan pernah cukup untuk menebus setiap tetes keringatnya, derai air matanya, nasihat-nasihat yang selalu terngiang di telinga agar peneliti mendapatkan apa yang ingin dicapai; Kedua kakakku tersayang: R. Fabriansjah Marzuki yang dengan ikhlas berusaha sekuat tenaga menjadi kepala rumah tangga, mejaga mama dan kedua adiknya dalam usia yang sangat muda; R. Ilham Zulhelmisjah Marzuki, yang kalau dekat bertengkar kalau jauh dirindukan. Kakak iparku yang cantik, Niar Daniar, yang telah bersedia menerima peneliti menjadi adik iparnya. Dan untuk jagoan kecil peneliti, keponakan bibi tersayang, Alarik Arkananta Marzuki, perwujudan nyata keindahan Allah dimuka bumi.

7. Keluarga besar (alm) R.H. Oemar Marzuki bin Marzuki, terima kasih telah mewarisi darah Marzuki kepada peneliti. Darah yang kuat dan menggebu-gebu. Keluarga besar (alm) H. Niman bin Sabin: (alm) kakek, nenekku semata wayang, uwa Sumi, Uwa Acung, Bibi Yanah yang telah menyumbangkan waktunya untuk merawat peneliti di waktu kecil, Om Jaya si tangan besi pelindung para perempuan di keluarga, Bibi Ibeh yang telah membawa keceriaan di dalam keluarga dengan keceplas-ceplosannya, Mami Nana yang ikut merawat peneliti saat kecil dan sebagai teman bercerita yang baik, Bibi Enong yang suka bagi-bagi info fashion online.

8. Al Mukarom Muhammad Ahmad Ram, guru peneliti yang dengan sabar memberikan arahan kepada peneliti untuk menjadi hamba Allah swt yang baik.


(9)

v

10.Teman seperjuangan masa kuliah PBSI kelas C; terutama Lenjee: Sasya, Reni, Uci, Agnis yang telah menjadi teman suka duka di dalam dan di luar kampus sampai sekarang. Serta tak lupa semua teman-teman PBSI angkatan 2009.

11.Teman-teman Big Friends: Tarra, Ratih, Anggi, Mbayu, Nurina, Adit. Yang sejak SMA sampai sekarang terus menjaga silahturahmi, berkumpul bersama dengan peneliti.

12.Pimpinan dan karyawan perpustakaan FITK dan UIN Jakarta, yang telah memberikan kemudahan bagi peneliti dalam memperoleh bahan ataupun informasi.

13.Pimpinan dan karyawan perpustakaan Universitas dan non-Universitas lain yang telah membantu peneliti mendapatkan bahan referensi untuk penelitian.

14.Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis menyelesaikan skripsi ini, semoga mendapatkan balasan dari Allah SWT. Peneliti menyadari bahwa dalam penyelasaian skripsi ini, masih terdapat banyak kekurangan sehingga jauh dari kesempurnaan, karena peneliti hanyalah manusia biasa. Serta tersirat sekelumit harapan, kehadiran skripsi ini dapat menyumbangkan sesuatu yang bermakna bagi dunia kesusastraan.

Jakarta, 12 Oktober 2015


(10)

vi LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH

ABSTRAK ...i

ABSTRACT ...ii

KATA PENGANTAR ...iii

DAFTAR ISI ...vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan Masalah………5

D. Rumusan Masalah ... 5

E. Tujuan Penelitian ... 6

F. Manfaat Penelitian ... 6

G. Metode Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN TEORI ... 12

A. Hakikat Novel ... 12

B. Hakikat Pendekatan Objektif ... ... 13

C. Hakikat Unsur-unsur Intrinsik ... ... 15

1. Pengertian Unsur-unsur Intrinsik ... 15

2. Tema ... 16

3. Plot ... 16

4. Perwatakan ... 18

5. Latar ... 18

6. Sudut Pandang ... 19

7. Gaya Penceritaan ... 20


(11)

vii

1. Pengertian Negara Monarki ... 25

2. Jenis-jenis Pemerintahan Monarki ... 27

F. Hakikat Kekuasaan ... 28

1. Pengertian Kekuasaan ... 28

2. Dimensi-dimensi Kekuasaan ... 29

3. Sumber Kekuasaan ... 31

G. Pengajaran Sastra di Sekolah ...33

H. Penelitian yang Relevan ... 34

BAB III TINJAUAN NOVEL GAJAH MADA: TAHTA DAN ANGKARA ... 36

A. Sinopsis ... 36

B. Biografi Pengarang ... 39

C. Pandangan Hidup ... 43

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN ... 45

A. Kajian Unsur Intrinsik Novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi ... 45

1. Tema ... 45

2. Plot ... ...46

3. Perwatakan...55

4. Latar ... 73

5. Sudut Pandang ...77

6. Gaya Bahasa ...78

B. Analisis Tema Perebutan Kekuasaan dalam Novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi... ... ... 82 C. Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran


(12)

viii

B. Saran ... 98

DAFTAR PUSTAKA ………...99

LAMPIRAN-LAMPIRAN LEMBAR UJI REFERENSI DAFTAR RIWAYAT HIDUP


(13)

1 A. Latar Belakang

Karya sastra merupakan refleksi kebudayaan masyarakat, yang sastrawan tuangkan dalam bentuk tulisan. Kita tidak bisa memungkiri bagaimana sebuah karya sastra bisa begitu menyentuh sisi sensitif pembaca, karena karya sastra bisa menjadi refleksi dari pengalaman yang pembaca alami. Kita bisa mengetahui bagaimana fenomena hidup di sekeliling kita yang sebelumnya tidak kita tahu atau sadari dengan karya sastra. Sebagai refleksi sosial budaya yang dimatangkan oleh ideologi pengarang, para kritikus sastra mulai menganalisis segala hal di balik karya sastra tersebut.

Salah satu bentuk karya sastra, novel, merupakan prosa yang mampu memberikan penggambaran keseluruhan cerita secara lebih detail daripada cerpen, sehingga analisisnya dapat dilakukan lebih mendalam. Gambaran detail novel memberikan paparan mengenai gagasan dan ide pengarang mengenai perkembangan suatu kebudayaan masyarakat pada periode dan wilayah tertentu. Dengan begitu, pembaca lebih mengetahui dan memahami kebudayaan yang diceritakan di dalam novel. Novel memiliki tema, seperti halnya cerpen, namun di dalam novel bisa terdapat beberapa tema, baik itu tema dominan atau tema pendamping, sehingga pembaca tidak terpaku dalam ide cerita yang monoton. Selain itu, novel juga memiliki plot yang lebih kompleks, pembaca dapat mengikuti cerita dari awal hingga akhir. Penggambaran watak di dalam novel juga lebih detail dibandingkan cerpen, sehingga pembaca dapat lebih mengenal karakter tokoh dalam cerita tersebut. Dibandingkan dengan cerpen, novel berlatar belakang lebih banyak daripada cerpen karena didukung plot yang kompleks.


(14)

Era modern ini generasi muda telah lebih mudah menikmati karya sastra khususnya novel memungkinkan penggunaan novel sebagai sarana penunjang belajar. Wacana mengenai pendidikan karakter yang dicanangkan pemerintah membuka lebar peluang novel masuk sebagai sarana belajar yang mengasah perkembangan afektif peserta didik. Novel dapat dijadikan penghubung pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia dengan berbagai mata pelajaran yang lain, seperti sejarah, agama, sosiologi, fisika, dan sebagainya karena teks yang diceritakan di dalam novel dapat membuka pikiran dan menggugah perasaan peserta didik sehingga memberi kesan yang berbeda dalam pembelajaran.

Untuk dapat digunakannya novel sebagai penunjang pembelajaran, kita harus mengerti dan memahami apa yang ada dibalik novel itu sendiri. Dalam menganalisis teks di dalam novel, kita menggunakan pendekatan objektif yakni menganalisis unsur-unsur intrinsik. Unsur-unsur intrinsik terdiri atas tema, plot, perwatakan, latar, sudut pandang, dan gaya penceritaan. Tema adalah ide, makna, atau gagasan dalam sebuah cerita. Tema mendasari berkembangnya jalan cerita di dalam novel. Tanpa tema tokoh tidak dapat memiliki karakter, plot tidak dapat mengalir, latar tidak dapat ditentukan. Tokoh, plot, latar merupakan alat pendistribusian tema ke seluruh bagian cerita. Oleh karena itu, penentuan tema tidak bisa dilakukan dari salah satu unsur saja melainkan hubungan dari seluruh unsur karena tema adalah ide keseluruhan dari cerita di dalam novel. Sebagai contoh, para peserta didik dapat mengkaji tema dari novel Gajah

Mada: Tahta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi.

Langit Kresna Hariadi lahir di Banyuwangi tahun 1959, merupakan anak bungsu dan satu-satunya yang memilih profesi sebagai penulis di antara kakak-kakanya yang berprofesi sebagai tentara. Berdasarkan karya-karyanya, dapat kita lihat bahwa latar belakang itulah yang menyebabkan adanya unsur politik dan militer.


(15)

Novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara berkisah tentang peristiwa setelah mangkatnya Sri Jayanegara, yakni menentukan siapa yang mengisi dampar selanjutnya menjadi tema yang panas di kalangan istana. Sri Gitarja sebagai kakak tentu saja lebih berhak, namun Dyah Wiyat-lah yang memiliki aura seorang pemimpin. Tapi bukan hal ini yang membuat Gajah Mada kesulitan untuk membantu para permaisuri menentukan siapa ratu selanjutnya, melainkan para suami dan orang-orang di belakang para sekar kedaton. Air mata belum kering menemani kepergian Sri Jayanegara, pembunuhan dan teror menghantui istana Majapahit. Tak hanya itu, isu kudeta menyeruak menyebarkan bau busuk membuat Gajah Mada menyiagakan pasukan khususnya, Bhayangkara, untuk menyelidiki hal tersebut. Cakradara, suami Sri Gitarja menjadi tertuduh pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di istana. Kudamerta telah memiliki istri ketika menjadi suami Dyah Wiyat. Gajah Mada terus menguak identitas dan kejadian-kejadian yang melibatkan kedua pengeran tersebut. Berkat Gajah Mada dan pasukan Bhayangkara, akhirnya dapat diketahui bahwa Panji Wiradapa, tangan kanan pangeran Kudamerta yang dikabarkan dibunuh, merupakan dalang dari pembunuhan yang terjadi di dalam istana dan rencana kudeta terhadap Kerajaan Majapahit. Ratu Gayatri akhirnya

memutuskan bahwa Majapahit selanjutnya akan diperintah oleh “Ratu Kembar”.

Kejadian yang terjadi di dalam novel memberikan banyak informasi kepada para pembacanya. Walaupun dibumbui oleh fiktif, namun sedikit demi sedikit kita mengetahui apa yang terjadi pada zaman Kerajaan Majapahit. Semua kejadian yang ada di dalam novel merupakan jembatan para pembaca untuk menuju tema dari novel ini. Alur yang tidak terlalu cepat, karakter yang kuat, latar yang detil merupakan beberapa kelebihan Langit Kresna Hariadi membuai para pembacanya.

Pengkajian novel di sekolah memiliki tantangan tersendiri. Untuk peserta didik SMA, membaca novel yang berbobot sama beratnya dengan


(16)

membaca buku pelajaran. Padahal banyak sekali hal-hal yang dapat dipelajari dari novel yang berbobot. Novel juga dapat menghubungkan beberapa pengaplikasian pembelajaran seperti Bahasa Indonesia dengan Sejarah, PKn, dan Fisika. Seperti tema perebutan kekuasaan dalam novel

Gajah Mada: Tahta dan Angkara. Para peserta didik dapat lebih

memahami mengenai pemerintahan, politik, dan sejarah Indonesia. Para peserta didik juga bisa mengaplikasikannya dalam menganalisis peristiwa sejarah yang terjadi di Indonesia, seperti peristiwa G30S. Peserta didik juga dapat mengamati jalannya pemerintahan yang sedang berlangsung di Indonesia maupun di luar negeri sehingga peserta didik dapat lebih berperan aktif sebagai warga negara yang baik.

Alasan penulis memilih novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara

karya Langit Kresna Hariadi dikarenakan novel ini termasuk novel baru yang memiliki informasi tidak hanya untuk pelajaran Bahasa Indonesia namun juga untuk pelajaran yang lain. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sebenarnya telah memberikan kesempatan penelaahan novel sebagai bahan ajar. Peserta didik yang dituntut lebih aktif, sehingga novel dapat dikaji dengan lebih mendalam dan dapat dijadikan tambahan informasi bagi pelajaran yang lain. Novel ini dianalisis menggunakan teori struktural dan pendekatan teori dasar politik. Teori struktural digunakan untuk menganalisis unsur intrinsik diantaranya, tema, alur, penokohan, gaya bahasa, sudut pandang, dan amanat dengan memusatkan analisisnya pada tema, sedangkan teori politik digunakan untuk menganalisis peristiwa perebutan kekuasaan dan peristiwa konspirasi yang membumbuinya.


(17)

B. Identifikasi Masalah

Permasalahan yang berkaitan dengan penelitian ini melalui pendekatan struktural dan teori dasar politik adalah sebagai berikut:

1. Rendahnya pemahaman peserta didik dalam menganalisis unsur-unsur intrinsik yang meliputi tema, alur, tokoh, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah.

2. Kesulitan guru mengatasi hambatan pemahaman peserta didik dalam menganalisis tema karya sastra novel Gajah Mada: Tahta dan

Angkara pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.

C. Pembatasan Masalah

1. Unsur intrinsik novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara.

2. Tema perebutan kekuasaan dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara.

3. Implikasinya dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.

D. Rumusan Masalah

Dari penjabaran latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan yang akan diangkat:

 Bagaimanakah deskripsi unsur intrinsik novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara.

 Bagaimanakah tema perebutan kekuasaan dalam novel Gajah Mada:

Tahta dan Angkara?

 Bagaimanakah implikasi novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara


(18)

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

 Mendeskripsikan unsur intrinsik yang membangun novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara.

 Memahami tema perebutan kekuasaan dalam novel Gajah Mada:

Tahta dan Angkara.

 Mengetahui implikasi novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara

dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat dari segi teoretis dan praktis.

a. Manfaat teoretis

Penelitian ini diharapkan menambah pengetahuan tentang unsur-unsur intrinsik dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara dan sebagai sarana pemahaman peristiwa politik pada masa Kerajaan Majapahit.

b. Manfaat praktis

Penelitian ini dapat mempertajam dan menambah wawasan mengenai karya sastra khususnya novel sejarah. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan menambah wawasan mengenai karya sastra. Sedangkan bagi peneliti sastra diharapkan penelitian ini sebagai referensi penelitian sastra selanjutnya. Adapun untuk peserta didik, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana penunjang pembelajaran, baik mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, Sejarah, dan Pendidikan Kewarganegaraan.


(19)

G. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Dalam suatu penelitian, pengolahan data dilakukan dengan pendekatan penelitian. Penelitian dalam bidang sastra biasanya menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya.

Ciri-ciri terpenting metode kualitatif sebagai berikut.

a. Memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan hakikat objek, yaitu sebagai studi kultural.

b. Lebih mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian sehingga makna selalu berubah.

c. Tidak ada jarak antara subjek peneliti dengan objek penelitian, subjek peneliti sebagai instrument utama, sehingga terjadi interaksi langsung di antaranya.

d. Desain dengan kerangka penelitian bersifat sementara sebab penelitian bersifat terbuka.

e. Penelitian bersifat alamiah, terjadi dalam konteks sosial budayanya masing-masing1.

Metode kualitatif mengutamakan bahan yang sukar dapat diukur dengan angka-angka atau dengan ukuran-ukuran lain yang eksak,2 meskipun bahan yang didapat terdapat dalam struktur masyarakat secara nyata. Untuk karya sastra yang proses kreatifnya berdasarkan pada fenomena yang terjadi di dalam masyarakat, namun untuk menelitinya sulit menggunakan tolok ukur karena faktor subjektivitas.

Penggunaan metode kualitatif ini ditujukan untuk menganalisis struktur-struktur yang ada di dalam novel secara lebih mendalam. Struktur-struktur tersebut dianalisis kemudian diklasifikasikan sesuai

1

Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm., 47-48.

2

Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Depok: UI-Press, 1981), cetakan ketujuh, hlm., 29.


(20)

dengan fungsinya masing-masing. Metode ini memungkinkan terhubungnya data-data dengan konteks keberadaannya. Metode ini juga menyebabkan penjabaran-penjabaran hasil penelitian ke dalam bentuk deskriptif.

Untuk metode deskriptif, penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik. Metode deskriptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta dan kemudian disusul dengan analisis.3 Seperti yang telah disinggung di atas, data-data yang diambil melalui analisis struktur diklasifikasi kemudian dijabarkan secara mendetil yang merupakan hasil proses pengkajian mendalam.

Menurut Vredenbregt, penataan dan deskriptif sistematis dari sejumlah gejala di dalam suatu universum merupakan ciri-ciri khas dari penelitian deskriptif. Yang menjadi masalah dalam suatu penelitian deskriptif adalah menata dan mengklasifikasikan gejala-gejala yang hendak dilukiskan oleh peneliti, di mana sebanyak mungkin diusahakan untuk mencapai kesempurnaan atas dasar suatu permasalahan tertentu.4

2. Objek penelitian

Objek penelitian adalah unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam novel yang di dalamnya tersirat gambar besar mengenai peristiwa yang ada dalam novel tersebut. Objek penelitian dalam penelitian ini adalah Refleksi Tema Perebutan Kekuasaan dalam Novel Gajah Mada: Tahta

dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi dan Implikasinya terhadap

Pembelajaran Sastra Indonesia di SMA.

3

Nyoman Kutha Ratna, op.cit., hlm., 53.

4

Jacob Vredenbregt, Pengantar Metodologi Untuk Ilmu-Ilmu Empiris, (Jakarta:Gramedia, 1985) hal: 52.


(21)

3. Sumber Data

Sumber data primer dari penelitian ini adalah teks dari novel Gajah

Mada: Tahta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi yang

diterbitkan oleh penerbit Tiga Serangkai dan merupakan jilid kedua dari pentalogi Gajah Mada.

Data sekunder yang diambil dari peneliti sebagai penunjang data primer yang digunakan dalam penelitian berupa artikel-artikel internet yang berhubungan dengan novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini adalah teknik pustaka. Teknik pustaka adalah teknik yang mengumpulkan data-data dari sumber tertulis. Teks-teks yang merupakan penunjang penelitian dicermati oleh peneliti yang kemudian digunakan sebagai alat untuk menganalisis data primer.

5. Teknik Analisis Data

Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik kualitatif. Seperti yang telah dijabarkan di atas kualitatif adalah teknik yang tidak menggunakan angka sebagai penjabaran hasil penelitian yang dilakukan melainkan menggunakan deskripsi data-data. Untuk menganalisis suatu data berupa teks sastra, maka penjabaran data-data saja tidak akan cukup melaikan diperlukannya pemahaman. Pemahaman dalam penelitian karya sastra biasa digunakan dengan teknik hermeneutika.

Secara etimologis hermeneutika berasal dari kata hermeneuien, bahasa Yunani, yang berarti menafsirkan atau mengintrerpretasikan.5 Karena fungsinya sebagai pemahaman akan suatu bahasa, pada awalnya teknik hemeneutika ini digunakan untuk menafsirkan kitab suci yang berisi bahasa dari Tuhan. Karena media yang digunakan dalam sastra

5


(22)

adalah bahasa, maka teknik hermeneutika dianggap tepat digunakan sebagai teknik dalam penelitian sastra.

Penelitian ini berawal dari mengklasifikasikan teks di dalam novel sesuai dengan unsur-unsur intrinsiknya yaitu tema, plot, tokoh, dan latar. Setelah itu dilakukan teknik hermeneutika yaitu pembacaan teks novel berulang-ulang sehingga dapat dipahami gejala sosial-politik tentang perebutan kekuasaan di dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara.

6. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang dilakukan peneliti dapat diuraikan sebagai berikut.

a) Pembacaan Data

Untuk memperoleh data yang akan dianalisis, peneliti membaca data atau dokumen yang akan dianalisis dalam hal ini cerpen karya Langit Kresna Hariadi, Gajah Mada: Tahta dan Angkara. Sebagai pemerolehan data pertama kali, peneliti membaca keseluruhan novel.

b) Reduksi data

Setelah pembacaan keseluruhan data atau dokumen, peneliti membaca ulang dokumen tersebut dengan lebih teliti agar dapat menganalisis dokumen tersebut dengan baik. Setelah mereduksi data, permasalahan yang akan dianalisis dari data tersebut diidentifikasi. Kemudian, jika terdapat beberapa data yang ditemukan, kemudian diklasifikasikan, mana data primer untuk dianalisis. Teori-teori yang didapat oleh peneliti digunakan untuk menganalisis data tersebut. Kemudian peneliti mengungkapkan pendapat tentang hasil analisis data, berdasarkan teori-teori yang didapat. Setelah melakukan analisis terhadap data atau dokumen, peneliti menyimpulkan hasil penelitiannya tentang refleksi


(23)

perebutan kekuasaan dalam novel Gajah Mada: Tahta dan


(24)

12 A. Hakikat Novel

1. Pengertian Novel

Karya sastra merupakan hasil dari ideologi dan perasaan pengarang. Dalam menuangkan ide dan perasaannya, pengarang maupun penyair memiliki pertimbangan dalam memilih genre seperti apa yang mewakili diri pengarang dan penyair tersebut.

Menurut perkembangannya, jenis sastra dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: jenis sastra lama dan modern.1 Karya sastra terbagi menjadi puisi, prosa, dan drama. Ketiga genre ini bisa terlihat perbedaannya baik dari segi bentuk dan penulisannya, khususnya prosa. Bentuk prosa rekaan modern bisa dibedakan atas roman, novel, novelette, dan cerpen.2 Penelitian ini akan memusatkan pembahasannya pada genre novel.

Novel berasal dari bahasa latin novellus yang kemudian diturunkan menjadi noveis yang berarti baru. Perkataan baru ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa novel merupakan jenis cerita fiksi yang muncul belakangan dibandingkan cerita pendek dan roman3. Walaupun dikatakan lebih baru dari roman, namun banyak pula yang berpendapat bahwa kata novel memiliki pengertian yang sama dengan roman.

Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia novel adalah karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat tiap pelaku. Penjabaran unsur-unsur intrinsik pada

1

Nyoman Kutha Ratna, Estetika Sastra dan Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm., 173.

2

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm., 140.

3

Herman J. Waluyo, Pengkajian Cerita Fiksi, cetakan kedua, (Surakarta: 1994), hlm., 37.


(25)

novel tidak sekompleks roman. Biasanya novel hanya menceritakan suatu peristiwa tertentu.

B. Hakikat Pendekatan Objektif

Pendekatan objektif, yaitu kritik sastra yang sasarannya hanya karya sastra semata tanpa menghubungkannya dengan dimensi-dimensi lain seperti pengarang, pembaca, keadaan masyarakat, dan lain-lain.4

Pendekatan objektif merupakan salah satu dari sekian banyak pendekatan yang dilakukan dalam penelitian sastra. Pendekatan ini justru merupakan pendekatan yang terpenting sekaligus memiliki kaitan yang paling erat dengan teori sastra modern, khususnya teori-teori yang menggunakan konsep dasar struktur5.

Kritik sastra dengan pendekatan objektif, memusatkan telaahnya pada segi intrinsik, struktur dalam karya itu saja.6 Menurut Junus, pendekatan objektif adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya pada karya sastra7. Karena pendekatan ini memusatkan kajiannya pada struktur karya sastra itu sendiri, maka pendekatan ini mengabaikan aspek-aspek ekstrinsik. Oleh karena itulah, pendekatan objektif juga disebut analisis otonomi, analisis egocentric, pembacaan mikroskopi. Pemahaman dipusatkan pada analisis terhadap unsur-unsur dalam dengan mempertimbangkan keterjalinan antarunsur di satu pihak, dan unsur-unsur dengan totalitas di pihak yang lain.8

Pendekatan struktural, sama dengan pada linguistik, adalah salah satu pendekatan kajian kesusastraan yang menitikberatkan pada hubungan antarunsur pembangun karya sastra.9 Teori struktural, teori yang bertolak

4

Atmazaki, Ilmu Sastra: Teori dan Terapan, ( : Angkasa Raya, ), hlm., 12.

5

Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm., 72.

6

Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: UPI PRESS, 2006), hlm., 22.

7

Wahyudi Siswanto, op.cit., hlm.,183.

8

Nyoman Kutha Ratna, op.cit., hlm., 73

9


(26)

dari asumsi bahwa karya sastra tersusun dari berbagai unsur yang jalin-menjalin, terstruktur, sehingga tidak ada satu unsur pun yang tidak fungsional dalam keseluruhannya. Maka itu nilai karya sastra ditentukan oleh koherentidaknya unsur-unsur karya tersebut.10

Analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini fiksi, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik fiksi yang bersangkutan.11 Oleh karena itu, dalam pengkajian struktural tidak cukup hanya mengidentifikasi dan menganalisis unsur-unsur intrinsik secara terpisah, namun juga bagaimana masing-masing unsur itu memiliki keterkaitan dan hubungan satu sama lain sehingga membentuk pemaknaan karya sastra yang maksimal. Analisis struktural mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur sebagai kesatuan struktural.12 Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semenditel dan mendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh.13

C. Hakikat Unsur-unsur Intrinsik 1. Pengertian Unsur-unsur Intrinsik

Intrinsik ialah unsur-unsur rohaniah, yang harus diangkat dari isi karya sastra itu mengenai tema dan arti yang tersirat di dalamnya.14 Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri.15 Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Kepaduan antarberbagai unsur intrinsik inilah yang membuat novel berwujud. Atau sebaliknya, jika dilihat dari sudut kita pembaca, unsur-unsur

10

Atmazaki, op.cit., hlm., 10.

11

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005), hlm., 37.

12

Maman S. Mahayana, Bermain dengan Cerpen, (Jakarta: Gramedia, 2006), hlm., 244.

13

A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), hlm., 135.

1414

P. Suparman Natawidjaja, Apresiasi Sastra dan Budaya, (Jakarta: Intermasa, 1982), hlm., 102.

15


(27)

(cerita) inilah yang akan dijumpai jika kita membaca sebuah novel.16 Kajian intrinsik membatasi diri pada karya sastra itu sendiri, tanpa menghubungkan karya sastra dengan dunia di luar karya sastra itu.17

Pembagian unsur intrinsik struktur karya sastra yang tergolong tradisional, adalah pembagian berdasarkan bentuk dan isi—sebuah pembagian dikhotomis yang sebenarnya diterima orang dengan agak keberatan.18 Menurut Burhan walaupaun agak kasar namun pembagian ini tidak mudah dilakukan. Karena tidak memungkinkan untuk mengkaji satu unsur intrinsik tanpa melibatkan unsur-unsur yang lain. Untuk mengkaji unsur tema yang merupakan salah satu unsur isi, tidak akan lepas masalah pemplotan yang merupakan unsur bentuk, dan juga unsur-unsur yang lain.

2. Tema

Tema adalah makna yang dapat merangkum semua elemen dalam cerita dengan cara yang paling sederhana.19 Tema sering juga disebut ide atau gagasan yang menduduki tempat utama dalam pikiran pengarang dan sekaligus menduduki tempat utama dalam cerita.20

Setiap aspek cerita turut mendukung kehadiran tema. Oleh karena itu, pengamatan harus dilakukan pada semua hal seperti peristiwa-peristiwa, karakter-karakter, atau bahkan objek-objek yang sekilas tampak tidak relevan dengan alur utama.

3. Plot

Plot atau alur, kadang-kadang disebut juga jalan cerita, ialah struktur rangkaian kejadian dalam cerita.21 Alur atau plot adalah

16

Ibid.

17

Budi Darma, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2004), hlm., 23

18

Burhan Nurgiyantoro, op.cit., hlm., 24.

19

Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm., 41

20

Widjojoko dan Endang Hidayat, op.cit., hlm., 46.

21


(28)

struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interrelasi fingsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi.22 Bisa dikatakan bahwa secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuh cerita.23

Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama, yang menggerakkan jalan cerita melalui rumitan kea rah

klimaks dan selesaikan.24 Menurut Abrams alur ialah rangkaian cerita

yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.25 Plot dibangun oleh beberapa peristiwa yang biasa disebut alur. Unsur-unsur alur ialah:

a. Perkenalan; b. Pertikaian; c. Perumitan; d. Klimaks/puncak; e. Peleraian;

f. Akhir.26

Sedangkan menurut Aminuddin tahapan-tahapan dalam alur dibagi menjadi pengenalan, konflik, komplikasi, klimaks, peleraian, dan penyelesaian.

Susunan alur di dalam novel tidak selalu seperti di atas. Beberapa novel banyak di awali oleh alur peleraian dan ada pula cerita yang dimulai dari perumitan. Karena itulah ada laur yang disebut alur maju, alur mundur, dan alur campuran.

Berdasarkan kualitas hubungan tiap unsur, maka ada alur longgar dan alur erat. Yang dimaksud dengan alur longgar adalah jika sebagian peristiwanya kita lepaskan (tidak dibaca) tidak mengganggu keutuhan

22

M. Atar Semi, Anatomi Sastra, (___: Angkasa Raya, __), hlm., 43

23

Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm., 26

24

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm., 159.

25

Ibid

26


(29)

ceritanya. Sedangkan alur erat, bila sebagian ceritanya kita tinggalkan akan mengganggu keutuhan cerita.27 Pendapat tersebut juga didukung oleh Sudjiman. Sudjiman juga membagi alur atas alur erat (ketat) dan alur longgar. Alur erat adalah jalinan peristiwa yang sangat padu di dalam suatu karya sastra; kalau salah satu peristiwa ditiadakan, keutuhan cerita akan terganggu. Alur longgar adalah jalinan peristiwa yang tidak padu di dalam suatu karya sastra, meniadakan salah satu peristiwa tidak akan mengganggu jalan cerita.28

Sudjiman membagi alur atas alur utama dan alur bawahan. Alur utama merupakan rangkaian peristiwa utama yang menggerakkan jalan cerita. Alur bawahan adalah alur kedua atau tambahan yang disusupkan ke sela-sela bagian-bagian alur utama sebagai variasi.29

4. Perwatakan

Perwatakan atau karakter biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita. Konteks kedua, karakter merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tesebut30

Cerita prosa Indonesia memperlihatkan tiga cara penokohan, yaitu: a. Cara analitik;

b. Cara dramatik; c. Cara campuran;

Cara analitik adalah cara pengarang menjelaskan atau mengisahkan tokohnya secara langsung. Menurut Atar Semi pengarang langsung memparkan tetang watak atau karakter tokoh. 31 Cara dramatik cara pengarang tidak mengisahkan apa dan siapa tokoh ceritanya secara

27

Ibid, hlm., 47.

28

Wahyudi Siswanto, op.cit., hlm., 161.

29

Ibid., hlm., 160.

30

Robert Stanton, op.cit., hlm., 33

31


(30)

langsung, tetapi menggunakan hal-hal lain yaitu: a. gambaran tentang tempat atau lingkungan sang tokoh; b. percakapan tokoh itu dengan tokoh yang lain, atau cakapan tokoh lain tentang dia; c. pikiran sang tokoh atau pendapat tokoh-tokoh lain tentang dia; d. perbuatan sang tokoh.32

5. Latar

Setting/latar adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi. Termasuk di dalam latar ini ialah tempat atau ruang yang dapat diamati. Termasuk di dalam unsur ini adalah waktu, hari, bulan tahun, musim, atau periode sejarah.33 Stanton juga berpendapat sama bahwa latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung.34

6. Sudut Pandang

Sudut pandang atau pusat pengisahan adalah posisi dan penempatan diri pengarang dalam ceritanya, atau dari mana ia melihat peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam ceritanya itu.35 Terdapat beberapa jenis sudut pandang:36

a) Pengarang sebagai tokoh cerita, tokoh cerita bercerita tentang keseluruhan kejadian atau peristiwa terutama yang menyangkut diri tokoh.

b) Pengarang sebagai tokoh sampingan, orang yang bercerita dalam hal ini adalah seorang tokoh sampingan yang menceritakan peristiwa yang bertalian, terutama dengan tokoh utama cerita.

32

Widjojoko dan Endang Hidayat, op.cit., hlm., 47

33

Ibid., hlm., 47

34

Robert Stanton, op.cit., hlm., 35

35

M. Atar Semi, op.cit., hlm., 57

36


(31)

c) Pengarang sebagai tokoh ketiga, berada di luar cerita bertindak sebagai pengamat sekaligus sebagai narrator yang menjelaskan peristiwa yang berlangsung serta suasana perasaan dan pikiran para pelaku cerita.

d) Pengarang sebagai pemain dan narrator, pemain yang bertindak sebagai pelaku utama cerita, dan sekaligus sebagai narrator yang menceritakan tentang orang lain di samping tentang dirinya.

Sudut pandang, antara lain, dapat berfungsi: menentukan tokoh-mayor (utama dan minor (bawahan), memahami perwatakan para tokoh yang dianalisis, memperlihatkan motivasi, menentukan alur dan latar bila dianggap perlu untuk mendukung perwatakan atau tema, dan menentukan tema karya sastra tersebut.37 Jadi, sudut pandang cerita merupakan salah satu cara untuk mengetahui tema cerita tersebut.

Pencerita dapat dibedakan menjadi pencerita “akuan” sertaan dan “akuan” tak sertaan; selain itu ada pula “diaan terbatas” dan “diaan” mahatahu. Pencerita “akuan” digunakan bila pencerita merupakan

salah satu tokoh dalam cerita yang dalam menyampaikan cerita

mengacu kepada dirinya sendiri dan menggunakan kata “aku”.

Penceritaan “diaan” mahatahu adalah pencerita yang sangat mengetahui berbagai perasaan, pikiran, angan-angan, keinginan, niat,

dan sebagainya dari si tokoh yang diceritakan. Pencerita “diaan”

terbatas adalah pencerita yang hanya memaparkan segalanya yang diamatinya dari luar dan tokohnya pun kadang kala terbatas.38

7. Gaya Penceritaan

Gaya penceritaan yang dimaksud di sini adalah tingkah laku pengarang dalam menggunakan bahasa.39 Tingkah laku ini dianggap

37

Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm., 92

38

Ibid, hlm., 94-95.

39


(32)

sangat penting karena menentukan penghantaran cerita kepada pembaca. Karena itu pengarang terus melakukan upaya supaya cerita dapat menggugah pembaca dan larut ke dalam cerita tersebut. Tindakan tersebut adalah: 1) pemilihan materi bahasa, pengarang diharuskan memiliki pembendaharaan bahasa yang mumpuni agar dapat memilih pemakaian kata yang tepat yang bersifat informatif dan komunikatif kepada pembacanya; 2) pemakaian ulasan, untuk menopang gagasan pengarang memberikan ulasan, contoh-contoh dan perbandingan yang kualitas dan kuantitasnya disesuaikan dengan keinginan; 3) pemanfaatan gaya bertutur, menjadi unik karena gaya bertutur setiap individu berbeda.

D. Hakikat Tema 1. Pengertian Tema

Tema adalah masalah hakiki manusia40. Pengarang biasanya mengambil tema berdasarkan permasalahan yang terjadi di dunia nyata. Menurut Aminuddin tema adalah ide yang mendasari sautu cerita. Tema berperanan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya41.

Theme in fiction is what the author is able to make of the total

experience rendered.42 Tema adalah … a ‘central idea’ and those

which view it more as a ‘recurrent argument, claim, doctrine, or

issue’.43 Jika tema adalah permasalahan, ide, ataupun makna yang ada

di dalam suatu novel, maka yang manakah dari permasalahan, ide, dan makna yang menjadi tema di dalam novel itu?

40

Herman J. Waluyo, op.cit., hlm., 141-142.

41

Wahyudi Siswanto, op.cit., hlm., 161.

42

William Kenney, How to Analyze Fiction, (New York: Monarch Press, 1966) hal: 91

43


(33)

Dalam sebuah cerita rekaan terdapat banyak tema. Karena itu, Marjorie Boulton menyebutkan adanya tema dominan. Yang dapat kita rangkum dalam sebuah cerita rekaan hanyalah adanya tema dominan (sentral) dengan tema (tema-tema) lainnya.44

Menurut Hartoko dan Rahmanto, tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantik dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan.45. untuk itu dalam menentukan tema kita harus merunutkan motif-motif yang membentuk peristiwa dalam cerita, kemudian menghubungkannya dengan unsur-unsur intrinsik yang lain. Hal ini disebabkan karena cakupan tema jauh lebih luas daripada unsur-unsur intrinsik yang lain.

Karena itu penentuan tema dalam suatu novel bisa dilakukan jika novel telah dibaca seluruhnya karena tema juga merupakan makna yang ada di dalam novel. Namun, bukan berarti tema merupakan makna tersirat yang ada di dalam cerita. Tema merupakan makna keseluruhan dari cerita karena itu dalam menentukannya harus membaca keseluruhan cerita. Hal ini juga dikarenakan tema sangat bergantung dengan unsur-unsur intrinsic yang lain.

Pengarang menggunakan dialog-dialog tokoh-tokohnya, jalan pikirannya, perasaannya, kejadian-kejadian, setting cerita untuk mempertegas atau menyarankan isi temanya. Seluruh unsur cerita menjadi mempunyai satu arti saja, satu tujuan. Dan yang mempersatukan segalanya itu adalah tema.46

Di pihak lain, unsur-unsur tokoh (dan penokohan), plot (dan pemplotan), latar (dan pelataran), dan cerita, dimungkinkan padu dan bermakna jika diikat oleh sebuah tema47. Keempat unsure ini

44

Herman J. Waluyo, op.cit., hlm., 144.

45

Burhan Nurgiyantoro, op.cit., hlm., 68.

46

Jakob Sumardjo dan Saini K.M., Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia, 1988) hal: 57.

47


(34)

mengemban tugas membawa tema kepada seluruh cerita. Begitu juga dengan jalan cerita itu sendiri. Karena tema tersebar di dalam seluruh cerita, bukan berarti cerita itu sendiri adalah tema. Tema merupakan dasar (umum) cerita, dan cerita disusun dan dikembangkan

berdasarkan tema. Tema “mengikat” pengembangan cerita. Atau sebaliknya, cerita yang dikisahkan haruslah mendukung penyampaian tema.48.

2. Penggolongan Tema

Menurut Nurgiyantoro, tema dapat digolongkan berdasarkan penggolongan dikhotomis yang bersifat tradisional dan nontradisional, penggolongan menurut Shipley, dan penggolongan dari tingkat keutamaannya.

a) Tema Tradisional dan NonTradisional

Tema tradisional dimaksudkan untuk tema yang biasa digunakan sejak cerita lama. Menurut Meredith dan Fritzgerald, tema-tema tradisional, walau banyak variasi-variasinya, boleh dikatakan, selalu ada kaitannya dengan masalah kebenaran dan kejahatan49. tema seperti ini tidak hanya berlaku di kesusastraan Indonesia saja melainkan di seluruh dunia, karena tema tradisional disukai oleh masyarakat golongan apapun dan kebudayaan manapun. Misalnya tema-tema yang diangkat adalah kebenaran dan keadilan mengalahkan kejahatan, cinta sejati menuntut pengorbanan, dan lain-lain. Novel-novel awal kebangkitan sastra Indonesia modern banyak yang menggunakan tema tradisional, contohnya adalah Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya, dan Salah Pilih.

Berbeda dengan tema tradisional, tema nontradisional mengangkat tema-tema yang tidak lazim. Karena sifatnya yang

48

Ibid., hlm., 76.

49


(35)

nontradisional, tema yang demikian mungkin tidak sesuai dengan harapan pembaca, bersifat melawan arus, mengejutkan, bahkan boleh jadi mengesalkan, mengecewakan, atau berbagai reaksi afektif yang lain.50 Misalnya tema dengan sifat melawan arus adalah kejujuran yang membawa kehancuran. Contoh novel yang memiliki tema yang melawan arus adalah Kemelut Hidup karya Ramadhan K.H.

b) Tingkatan Tema Menurut Shipley

Shipley dalam Dictionary of World Literature mengartikan tema sebagai subjek wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan ke dalam cerita51. Shipley membagi tema karya sastra ke dalam tingkatan-tingkatan.

Pertama, tema tingkat fisik, manusia sebagai molekul, man

as molecul. Pada tingkatan ini, tema yang diangkat berkisar tentang

aktivitas fisik daripada aktivitas psikologis. Untuk tingkatan ini, unsur intriksik yang menonjol adalah unsur latar. Contoh karya fiksi yang mengangkat tema ini adalah Around the World in Eighty

Days karya Julius Verne.

Kedua, tema tingkat organik, manusia sebagai protoplasma, man as protoplasm. Untuk tingkatan ini tema yang diangkat berkisar maslah seksualitas. Biasanya masalah seksualitas yang menyimpang lebih menonjol misalnya mengenai perselingkuhan. Contoh karya sastra yang mengangkat tema ini adalah Senja di Jakarta, Tanah Gersang karya Mochtar Lubis.

Ketiga, tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial, man as socious. Untuk tahapan ini, tema yang diangkat bukan lagi sebatas masalah individu melainkan fenomena yang terjadi di masyarakat. Bagaimana manusia berinteraksi dengan sesama manusia, begitu juga hubungan antara manusia dengan

50

ibid. hlm., 79.

51


(36)

alam sekitarnya. Contoh karya sastra yang mengangkat tema ini adalah Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari

Keempat, tema tingkat egonik, manusia sebagai individu,

man as individualism. Pada tahap ini tema yang diangkat

merupakan tema tentang reaksi individu dengan fenomena yang ada di sekitarnya. Umumnya tingkatan tema ini lebih bersifat batin dan dirasakan oleh individu yang mengalami. Contoh novel yang mengangkat tema ini adalah Atheis karya Achdiat K. Miharja.

Kelima, tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi. Maksud dari makhluk tingkat tinggi ini adalah kedudukan manusia sebagi ciptaan Tuhan yang paling tinggi. Karena itu sifat dari tingkatan ini religiusitas. Contoh novel yang mengangkat tema ini adalah Kemarau karya AA Navis.

Menurut Sudjiman tema terbagi atas yang disebutnya tema sampingan, topik, dan tema sentral. Tema sentral adalah gagasan yang dominan atau utama, di mana cerita berpusat. Sedangkan tema sampingan adalah gagasan yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita. Topik adalah penjabaran dari tema sentral, yang sifatnya lebih konkrit.52

Berdasarkan sumbernya, tema digolongkan menjadi beberapa.53

1. Tema berasal dari kejiwaan manusia, yang secara tidak langsung menggambarkan keadaan atau proses atau kejiwaan manusia.

2. Pengalaman pengarang merupakan dunia tersendiri yang menjadi sumber tema cerita.

3. Masalah hidup dan kehidupan manusia.

52

Nani Tuloli, Teori Fiksi, (Gorontalo: BMT”Nurul Jannah”, 2000), hal: 47. 53


(37)

4. Sejarah. Tema sejarah bukan berarti hanya catatan peristiwa sejarah masa lampau, tetapi mengandung berbagai pemahaman tentang manusia.

5. Filsafat. 6. Pendidikan.

E. Hakikat Negara Monarki 1. Pengertian Negara Monarki

Monarki merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani monos

yang berarti tunggal dan arkien yang berarti memerintah. Jadi dapat dikatakan bahwa negara Monarki adalah bentuk negara yang dalam pemerintahannya hanya dikuasai dan diperintah (yang berhak memerintah) oleh satu orang saja.54

Bentuk-bentuk negara bukanlah persoalan utama yang hendak diketengahkan Machivelli di dalam Il Principe, namun kendati hanya sepintas, ia pun menyinggung soal bentuk-bentuk negara itu. Menurut Machiavelli, ada dua bentuk negara yang paling penting, yaitu:

republik dan monarki. Ia mengatakan:

Seluruh negara dan dominion yang menguasai atau yang telah menguasai umat manusia berbentuk republik atau monarki.55

Machiavelli mengatakan bahwa ada dua jenis monarki, yaitu:

monarki warisan (yang telah lama ada), dan monarki baru. Monarki

baru terdiri dari yang sama sekali baru dibentuk dan ada pula yang merupakan suatu penggabungan dari kerajaan yang sama sekali baru atau yang telah ada kepada suatu kerajaan yang telah lama ada. Machiavelli mengatakan:

Monarki dapat berupa warisan yang para penguasanya selama bertahun-tahun adalah keturunan dari keluarga yang sama, tetapi

54

Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): dmeokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Jakarta, 2003), hlm., 58

55

J.H. Rapar, Filsafat Politik: Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm., 412.


(38)

dapat pula yang baru saja dibentuk. Sedangkan monarki baru dapat berupa monarki yang sama sekali baru... atau merupakan anggota baru yang diokulasikan ke monarki warisan milik sang penguasa yang mencaplok mereka...56

Menurut Jellinek, apabila cara terjadinya pembentukan kemauan negara itu semata-mata secara psikologis atau secara ilmiah, yang terjadi dalam jiwa/badan seseorang dan nampak sebagai kemauan seseorang/individu, maka bentuk negaranya adalah monarchi.57 Sedangkan menurut Mac Iver, monarki ialah pemerintahan oleh satu orang dengan kekuasaan yang sangat luas atau absolut. Pada bentuk monarki ini dikenal dengan sistem pergantian yang bersifat turun-temurun. Di samping itu kita dapati dalam sistem ini suatu tanda bahwa raja dan kerabatnya merupakan suatu lapisan masyarakat yang terpisah dari lainnya, oleh karena raja dan kerabat di sekitarnya mempunyai dan dilengkapi dengan berbagai macam hak yang istimewa (hak preogatif) yang melekat pada diri mereka.58

2. Jenis-jenis Pemerintahan Monarki

Pemerintahan monarki terbagi menjadi dua: a) Turun-temurun dan elektif

Monarki mungkin saja diklasifikasikan sebagai tahta turun-temurun dan elektif. Monarki secara turun-turun-temurun adalah tipe yang normal. Kebanyakan monarki dahulunya dikenal dengan istilah turun-temurun. Dan kehidupan monarki turun-temurun ini memiliki banyak karakter. Monarki ala turun-temurun mewariskan tahta sesuai dengan peraturan rangkaian pergantian tertentu. Ahli waris laki-laki yang tertua biasanya menjadi raja, menggantikan

56

Ibid. hal: 414-415

57

Azhary, Ilmu Negara: Pembahasan Buku Prof. Mr. R. Kranenburg, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm., 49-50.

58

Soelistyani Ismali Gani, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: Ghalia Indonesia, ---), hlm., 134


(39)

posisi raja atau ayahnya sendiri.59 Kerajaan Majapahit menganut sistem pemerintahan monarki turun-temurun yang biasanya pewaris laki-laki yang mewarisi tahta. Namun, setelah Sri Jayanegara meninggal tanpa memiliki keturunan, maka tahta diwariskan kepada adiknya. Pewarisan tahta ini menjadi konflik ketika pewaris seorang putri bukan pangeran yang suatu saat akan menikah dan patuh terhadap suaminya. Hal ini dikhawatirkan dapat berdampak

pada “kemurnian” pemerintahan kerajaan.

Rangkaian pergantian juga bisa ditentukan dengan konstitusi atau melalui sebuah aksi legislature.60 Namun bukan hal yang luar biasa jika dari masa ke masa monarki elektif berubah menjadi monarki turun-temurun.

b) Monarki Mutlak dan Tebatas

Mpnarki juga bisa diklasifikasikan sebagai mutlak dan terbatas. Garner menyatakan monarki mutlak adalah monarki yang benar-benar raja. Kehendaknya adalah hukum dalam merespek segala perkara yang ada. Dia tidak dijilid atau dibatasi oleh apapun kecuali kemauannya sendiri. Di bawah sistem ini negara dan pemerintahan tampak identik.61

Monarki terbatas memiliki kekuatan yang dibatasi oleh konstitusi yang tertulis atau dengan prinsip fundamental yang tak tertulis.62 Jadi, raja hanya sekadar simbol, sedangkan jalannya pemerintahan dipimpin yang lainnya.

59

Jefry Hutagalung, Bentuk Pemerintahan Monarki/Kerajaan (Mei 2009), diakses dari https://jefryhutagalung.wordpress.com/2009/05/04/bentuk-pemerintahan-monarkikerajaan/

60

Ibid

61

Ibid

62


(40)

F. Hakikat Kekuasaan 1. Pengertian Kekuasaan

Kekuasaan adalah suatu fenomena misterius yang tidak dapat diukur, ditimbang, ataupun dilihat dengan panca indera.63 Kekuasaan merupakan suatu model komunikasi yang khas, yang berbentuk tanda yang berarti merupakan acuan situasi tertentu para pelakunya, baik pengirim maupun penerima tanda-tanda atau arus informasi tersebut.64

Michel Foucault melihat politik kekuasaan tidak bisa dilepaskan dari tubuh manusia karena akhirnya kepentingannya adalah mendapatkan kepatuhan.65 Kekuasaan adalah kemampuan atau wewenang untuk menguasai orang lain, memaksa dan mengendalikan mereka sampai mareka patuh, mencampuri kebebasannya dan memaksakan tindakan-tindakan dengan cara-cara yang khusus.66 Budiardjo juga berpendapat bahwa kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk memengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku.67 Oleh karena itu, sejak periode kerajaan seperti Majapahit sampai era pemerintahan modern kekuasaan merupakan hal yang selalu diperebutkan karena sebagai alat mengontrol suatu pemerintahan.

Kekuasaan tentu saja tidak dapat dipisahkan dari politik. Politik dipandang sebagai kegiatan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Oleh karena itu ilmu politik dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari hakikat, kedudukan dan penggunaan kekuasaan di manapun kekuasaan itu berada. Kekuasaan menurut pandangan ini adalah kemampuan (kapabilitas) untuk mempengaruhi

63

Orloc, Kekuasaan, (Jakarta: Erlangga, 1987), hlm., 1.

64

Roderick Martin, Sosiologi Kekuasaan, (Jakarta: Rajawali, 1990), hlm., 77.

65

Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, (Jakarta:Kompas, 2003) hlm., 216.

66

I. Marsana Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johan Galtung, (Yogyakarta:Kanisius, 1992), hlm., 32.

67


(41)

orang lain atau pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang memengaruhinya.68

2. Dimensi-dimensi Kekuasaan a) Dimensi Potensial dan Aktual

Seseorang yang dipandang mempunyai kekuasaan potensial apabila dia mempunyai atau memiliki sumber-sumber kekuasaan, seperti kekayaan, tanah, senjata, pengetahuan dan informasi, popularitas, status sosial yang tinggi, massa yang teroganisir, dan jabatan.69 Jika seseorang menggunakan sumber-sumber yang dimilikinya ke dalam kegiatan-kegiatan politik secara efektif maka orang tersebut memiliki kekuasaan aktual.

b) Dimensi Konsensus dan Paksaan

Aspek paksaan dari kekuasaan cenderung memandang politik sebagai perjuangan, pertarungan, dominasi, dan konflik. Tujuan yang hendak dicapai bukan mengenai kepentingan secara umum namun menyangkut kepentingan kelompok kecil masyarakat. Selain itu alasan untuk menaati kekuasaan adalah rasa takut, takut akan paksaan fisik dan paksaan non fisik. Kekuasaan berdasarkan paksaan merupakan cara paling efektif untuk mendapatkan ketaatan dari pihak lain. Namun, selain pelanggaran etik, penggunaan paksaan menimbulkan kediktatoran ketika sarana paksaan fisik sebagai penentu tidak ada. Sarana kekuasaan yang dipergunakan untuk mendapatkan ketaatan dnegan kekuasaan paksaan berjumlah tiga macam, yakni sarana paksaan fisik, sarana ekonomi, dan sarana psikologis.

Sedangkan aspek konsensus dari kekuasaan akan cenderung melihat elit politik sebagai orang yang tengah berusaha menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuan masyarakat secara

68

P. Anthonius Sitepu, Teori-teori Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hlm., 10

69


(42)

keseluruhan.70 Alasan untuk menaati kekuasaan konsensus pada umumnya berupa persetujuan sacara sadar dari pihak yang dipengaruhi. Kekuasaan konsensus menggunakan sarana-sarana seperti nilai-nilai kebaikan bersama, moralitas dan ajaran-ajaran agama, keahlian dan popularitas pribadi terkenal untuk mendapatkan ketaatan. Tindakan orang lain untuk menaati kekuasaan tidak tergantung kepada kehadiran pemegang kekuasaan yang bersangkutan akan tetapi bergantung pada kesadaran, pengertian, dan persetujuan yang dipengaruhi sendiri.

c) Dimensi Positif dan Negatif

Kekuasaan positif adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mencapai tujuan yang dianggap penting dan diharuskan. Sedangkan kekuasaan negatif adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mencegah orang lain mencapai tujuannya yang tidak hanya dipandang tidak perlu akan tetapi juga merugikan pihaknya.

d) Dimensi Jabatan dan Pribadi

Dalam masyarakat yang sudah maju dan mapan, penggunaan kekuasaan yang terkandung dalam jabatan tersebut secara efektif tergantung sekali pada kualitas pribadi yang dimiliki dan ditampilkan oleh setiap pribadi yang memegang jabatan. 71 Pada masyarakat yang masih sederhana, struktur kekuasaan dalam masyarakat seperti itu didasarkan atas realitas pribadi lebih menonjol daripada kekuasaan yang terkandung dalam jabatan itu sendiri.

e) Dimensi Implisit dan Eksplisit

Kekuasaan implisit adalah kekuasaan yang tidak dilihat dnegan kasat mata akan tetapi dapat dirasakan. Sedangkan

70

Sitepu, op.cit., hlm., 53.

71


(43)

kekuatan eksplisit adalah pengaruh yang jelas terlihat dan dapat dirasakan.72

f) Dimensi Langsung dan Tidak Langsung

Kekuasaan langsung adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan politik dengan melakukan hubungan secara langsung tanpa menjadi perantara. Sedangkan kekuasaan tidak langsung adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan politik dengan melalui perantara pihak lain yang diperkirakan mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap pembuat dan pelaksana keputusan politik.73

3. Sumber Kekuasaan a) Coercive Power

Coercive Power adalah kekuasaan yang diperoleh karena

sering menunjukkan kekerasan baik dalam kepemimpinannya maupun dalam berbagai kepengurusan, unsur-unsur yang harus dipenuhi adalah sering membentak, menggunakan senjata, sering marah, oleh karena itu diperlukan suara yang keras, badan yang tegap dan besar, tetapi beresiko ketika seseorang yang sedang berkuasa itu seketika sakit dan melemah kekuasaannya.74

b) Legitimate Power

Legitimate Power adalah kekuasaan yang diperoleh karena

mendapat surat keputusan, mendapat ijazah, mendapat pengangkatan sehingga absah untuk memimpin, dan absah untuk memerintah dan menundukkan orang lain, resikonya adalah tidak menutup kemungkinan setelah memegang surat keputusan, ijazah,

72

Sitepu, op.cit 73

Ibid.

74


(44)

dan pengangkatan malahan tidak mampu memanfaatkan kekuasaaan itu.75

c) Expert Power

Expert Power adalah kekuasaan yang diperoleh karena

seseorang tersebut memiliki keahlian tertentu sehingga orang lain membutuhkan keahliannya, kecerdasan, keterampilan, baik dalam mengajar, atau pun tempat bertanya, bahkan tidak menutup kemungkinan orang lain membayarnya, dengan demikian yang bersangkutan menjadi mampu memerintah, dan menyuruh sebagai awal kekuasaan.76

d) Reward Power

Reward Power adalah kekuasaan yang diperoleh karena

seseorang tersebut sering memberi kepada pihak lain sehingga resikonya orang yang diberi berhutang budi dan bersedia diatur dan disuruh oleh orang yang membayar, jadi bukan berarti kekuasaan yang diberikan dari seseorang kepada seseorang tetapi kekuasaan yang diperoleh dengan sendirinya karena banyaknya pemberian dari sang penguasa.77

e) Reverent Power

Kekuasaan ini muncul dengan didasarkan atas pemahaman secara kultural dari orang-orang dengan berstatus sebagai pemimpin. Masyarakat menjadikan pemimpin itu sebagai panutan simbol dari perilaku mereka. Aspek kultural yang biasanya muncul dari pemahaman religiolitas direfleksikan pada kharisma pribadi, keberanian, sifat simpatik dan sifat-sifat lain yang tidak ada pada kebanyakan orang. Hal itu menjadikan orang lain tunduk pada kekuasaannya.78

f) Connection Power

75

Syafiie, op.cit 76

Ibid

77

Ibid

78


(45)

Connection Power adalah kekuasaan yang diperoleh karena seseorang mempunyai hubungan silahturahmi yang luas dengan orang lain, hal ini disebut juga saat ini koneksi nepotisme, namun bagaimanapun kekuasaan seseorang itu muncul karena banyaknya sahabat, relasi, keluarga, almamater, teman, persengkongkolan dengan pihak lain.79

g) Information Power

Information Power adalah kekuasaan yang diperoleh karena

seseorang mempunyai data, informasi, fakta, dan lain lain sehingga pihak lain membutuhkan dirinya, itulah sebabnya wartawan baik dari media elektronik, maupun media cetak apalagi internet sangat memiliki kekuasaan saat ini karena menghimpun data dengan sangat sempurna.80

G. Pengajaran Sastra di Sekolah

Manurut Jakob Sumardjo fungsi sastra dan pengjarannya di Indonesia belum begitu berhasil, karena itu ia megemukakan beberapa hal yang dapat diakukan. Pertama, memperbaiki pegajaran sastra di sekolah-sekolah. Kalau faktor guru dan sistem memang bisa segera diatasi bisa digalakkan pengadaan buku-buku penuntun yang memadai, buku-buku antalogi dan semacamnya. Kedua, memanfaatkan kehadiran sastra populer untuk pengajaran sastra serius.81 Ketiga, kalau sastra popler yang baik boleh masuk sekolah, maka sebaliknya karya-kayasastra yang baik harus bisa masuk ke dalam wilayah penerbitan populer.82

Karya sastra merupakan refleksi dari fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat. Fenomena tersebut juga tidak lepas dari bidang pendidikan, seperti yang tergambar di dalam novel Laskar Pelangi karya

79

Syafiie, op.cit., hlm., 90

80

Ibid.

81

Jakob Sumardjo, Sastra Populer dan Pengajaran Sastra dalam buku Budaya Sastra, (Jakarta: Rajawali, 1984), hlm., 61.

82


(46)

Andrea Hirata. Selain itu banyak juga novel-novel yang dapat dikaitkan dengan disiplin ilmu yang lain.

Melalui karya sastra, kita diajak untuk melihat fenomena-fenomena yang terjadi di dalam msyarakat dengan kacamata yang berbeda, yaitu sastra. Sebuah karya sastra yang baik bukan hanya dapat menghibur, tapi juga dapat membuka pikiran kita kan kemungkinan-kemungkinan lain dalam menjalani hidup. Asahan emosi dan logika bisa kita dapatkan melalui karya sastra khususnya novel.

Sastra dalam pengajaran dapat membantu pengajaran kebahasaan karena sastra dapat meningkatkan keterampilan berbahasa. Sastra dapat membantu pendidikan secara utuh karena sastra dapat meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta, rasa dan karsa, menunjang pembentukan watak, mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, pengetahuan-pengetahuan lain dan teknologi83.

H. Penelitian yang Relevan

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan novel Gajah Mada:

Bergelut dalam Kemelut Tahta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi.

Penelitian ini menggunakan teori politik mengenai perebutan kekuasaan. Penelitian ini sebenarnya sangat menarik untuk dikaji. Namun, penelitian karya Langit Kresna Hariadi terdahulu belum ada yang mengangkat segi ini. Penelitian yang relevan tersebut diantaranya adalah:

Skripsi karya Handoyo (UNS, 2009) dengan judul Analisis

Struktural Novel Gajah Mada: Bergelut dalam Kemelut Tahta dan

Angkara dan Perang Bubat Karya Langit Kresna Hariadi. Hasil dari

penelitian ini adalah persamaan dan perbedaan unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik dari kedua novel tersebut. Permasalahan yang dibahas adalah pertama, unsur intrinsik dari novel Bergelut dalam Kemelut Tahta dan

Angkara dan Perang Bubat. Kedua, unsur ekstrinsik kedua novel tersebut

83

Kinayati Djojosuroto, Analisis Teks Sastra dan Pengajarannya,( Yogyakarta: Penerbit Pustaka, 2006), hlm., 85.


(47)

yaitu aspek sosial budaya pengarang dan sosial budaya yang ada dalam kedua novel tersebut. Teori struktural digunakan untuk membahas permasalahan pertama, sedangkan teori sosiologi sastra digunakan untuk membahas permasalahan kedua.84

Selanjutnya skripsi karya Rizki Adistya Zubaida (UNS, 2012) dengan judul penelitian Analisis Tokoh dan Nilai Pendidikan dalan Novel

Gajah Mada Karya Langit Kresna Hariadi (Tinjauan Psikologi Sastra).

Analisis dalam penelitian ini membahas mengenai: pertama, unsur intrinsik novel Gajah Mada; kedua, konflik batin tokoh; ketiga nilai pendidikan yang terkandung di dalam novel Gajah Mada karya Langit Kresna Hariadi. Nilai-nilai pendidikan yang diangkat penelitian ini adalah nilai sosial, nilai moral/etika, nilai religius/keagamaaan, nilai kepahlawanan/patriotisme, dan nilai estetika.85

84

Handoyo. Analisis Struktural Novel Gajah Mada:Bergelut dalam Kemelut Tahta dan Angkara dan Perang Bubat Karya Langit Kresna Hariadi, skripsi mahasiswa Universitaas Sebelas Maret, 2009. Dalam http://perpustakaan.uns.ac.id.

85

Rizki Adistya Zubaida. Analisis Tokoh dan Nilai Pendidikan dalan Novel Gajah Mada Karya Langit Kresna Hariadi (Tinjauan Psikologi Sastra), skripsi mahasiswi Universitas Sebelas Maret, 2012, Dalam http://perpustakaan.uns.ac.id.


(48)

36

Siapa yang tidak mengenal Gajah Mada? Tokoh fenomenal yang merupakan contoh sempurna seorang patriot sejati. Mengerahkan segala pikiran, jiwa, dan raganya demi keutuhan dan kejayaan Kerajaan Majapahit. Tangan besi dan hati batu, itulah Gajah Mada.

Negeri yang damai dan tentram semasa pemerintahan Sri Jayanegara terusik oleh ulah Dharmaputra Winehsuka yang melakukan makar dan memaksa Sri Jayanegara angkat kaki dari dampar. Gajah Mada, yang saat itu masih berpangkat bekel, memimpin pasukan kecilnya, Bhayangkara,namun berkemampuan keprajuritan paling tinggi dibanding pasukan kerajaan yang lain, berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan Sri Jayanegara kembali ketahtanya. Usaha itu pun tercapai. Dharmaputra Winehsuka dihukum mati atas perbuatannya dan Majapahit pun memulai mengobati luka-luka makar tersebut. Tapi perebutan kekuasaan tetap berlanjut.

Sembilan tahun setelah makar Dharmaputra Winehsuka, Majapahit kembali dirundung masalah perebutan kekuasaan. Semua ini berawal dari terbunuhnya Sri Jayanegara akibat diracun oleh tabib kerajaan kepercayaannya, satu-satunya Dharmaputra yang menyerah, Ra Tanca. Setelah meracuni Sri Jayanegara, Ra Tanca pun tewas oleh keris beracun milik Gajah Mada yang telah berpangkat patih.

Sesuai dengan hukum monarki, tahta raja seharusnya jatuh kepada saudara satu darah. Namun, kedua saudara Sri Jayanegara bukan laki-laki melainkan sekar kedaton. Yang lebih berhak atas tahta tentu saja yang tertua, Sri Gitarja, namun sikapnya yang sangat lembut membuat Gajah Mada khawatir. Sedangkan sifat-sifat kepemiminan lebih dimiliki oleh adiknya, Dyah Wiyat. Tapi bukan para sekar kedaton yang membuat Gajah


(49)

Mada memikirkan ulang mengenai pewaris tahta, namun para suami sekar kedaton atau yang lebih tepat, orang-orang di balik mereka.

Raden Cakradara, suami Sri Gitarja, memiliki Pakering Suramurda di belakangnya. Celakanya justru Suramurda yang paling berhasrat menjadikan Cakradara raja dengan mengawini Gitarja. Recana sedemikian rupa pun disusun oleh Suamurda untuk menghalangipihak lainnyamenguasai dampar, dengan cara apapun.

Rencana yang sama juga disusun pendukung Raden Kudamerta, Panji Wiradapa. Hanya saja motivasi Wiradapa yang menginginan jabatan Mahapatih apabila Kudamerta menjadi raja dibumbui dendam lama kepada raja terdahulu, Raden Wijaya. Untuk mempertahankan kendalinya atas Kudamerta, Wiradapa menyandra orang-orang yang paling dicintai Kudamerta, istri dan bayi laki-lakinya.

Mengetahui Kudamerta telah beristri bahkan memiliki anak dan menjadikan Dyah Wiyat sebagai istri kedua, Gajah Mada tentu saja tidak bisa bertindak diam. Hal ini semakin genting karena Ratu Gaytri, yang memegang tahta sementara sekaligus ibu kandung kedua sekar kedaton, mengetahui hal ini, demikan juga Dyah Wiyat. Mengetahui ia dijadikan istri kedua dan ditambah bahwa ia tidak mencintai Kudamerta membuat Wiyat sangat membenci suaminya. Namun, beban moral bahwa ia seorang sekar kedaton yang merupakan panutan rakyatnya membuat ia tidak bisa meminta cerai, apalagi laki-laki yang ia cintai malah membunuh saudara laki-lakinya. Selain itu Gajah Mada deengan dibantu pasukan khusus Bhayangkara juga harus menyelidiki keberadaan istri pertama Kudamerta, Dyah Menur, serta bayinya. Gajah Mada merasa bahwa keberadaan bayi ini akan mengancam peralihan kekuasaan Majapahit di masa depan.

Di sisi lain, hal-hal ganjil terjadi di lingkungan istana dan membawa nama Cakradara dan Suramurda kepada kasus pembunuhan. Gitarja yang mengetahui hal itu tidak bisa menyembunyikan hatinya yang hancur. Benarkah suami yang sangat dicintainya tega membunuh? Gitarja merasa ia tidak pantas mengemban jabatan seorang ratu jika kedaan


(50)

suaminya seperti itu dan akhirnya memutuskan menyerahkannya kepada Dyah Wiyat namun ditolak.

Ternyata bahaya perebutan kekuasaan tidak hanya datang dari dalam istana. Informasi yang didapat oleh pasukan khusus Bhayangkara bahwa telah dibangun pasukan di wilayah terpencil di dalam hutan, membuat Gajah Mada waspada akan bahaya makar. Segala daya dan upaya telik sandi dilakukan untuk mendapatkan informasi sedetil mungkin tentang pasukan ini. Akhirnya diketahuilah nama pemimpinnya yaitu Raden Panji Rukmamurti dan tangan kanannya, Mandrawa.

Ancaman pasukan misterius ini terhadap pihak istana semakin menjadi dengan pencobaan pembunuhan terhadap Dyah Wiyat oleh Rukmamurti. Sebelumnya pesan-pesan kematian berupa mayat-mayat yang dikirim ke lingkungan istana dan pencobaan pembunuhan terhadap Kudamerta, telah membuat Gajah Mada terus meningkatkan kewaspadaannya. Dan hal ini diperparah dengan cederanya pemimpin pasukan Bhayangkara, Senopati Gajah Enggon. Karena ancaman pembunuhan ditujukan kepada pihak Dyah Wiyat dan Raden Kudamerta, tentu saja kecurigaan akan terlibatnya Raden Cakradara semakin memuncak. Namun, hal yang tak terduga terjadi. Suramurda mati terbunuh. Hal ini membuat Gajah Mada harus mengerahkan setiap sel-sel otaknya untuk mengungkapkan peristiwa sebenarnya yang terjadi.

Di lain pihak Dyah Menur yang terancam dibunuh berhasil diselamatkan oleh mantan anggota Bhayangkara, Pradhabasu. Pradhabasu yang merasa kasihan akan keadaan Menur menyembunyikannya dari Gajah Mada karena ia mengetahui apa yang akan dilakukan Gajah Mada terhadap Dyah Menur dan bayinya. Pradhabasu berusaha menolong Dyah Menur yang sangat ingin bertemu dengan suaminya dengan menyelundupkannya menjadi abdi dalem istana kiri, istana Dyah Wiyat. Menur yang menyamar menjadi Sekar Tanjung tiba-tiba menjadi dayang kesayangan Wiyat. Tentu saja hal ini menjadi beban yang sangat berat untuk Kudamerta.


(1)

100

Semi , M. Atar. Anatomi Sastra, ___: Angkasa Raya. . __

Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo. 2008 Sitepu, P. Anthonius. Teori-teori Politiki. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2012

Sumardjo, Jakob. Sastra Populer dan Pengajaran Sastra dalam buku Budaya Sastra, Jakarta: Rajawali. 1984

Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. Apresiasi Kesusastraan, Jakarta: Gramedia. 1988

Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar. cetakan ketujuh. Depok: UI-Press. 1981

Stanton, Robert. Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007 Syafiie, Inu Kencana. Ilmu Politik. Jakarta: Rineke Cipta. 2010.

Teeuw, A. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. 1984

Tim ICCE UIN Jakarta. Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Jakarta. 2003

Tuloli, Nani. Kajian Sastra. Gorontalo: BMT “Nurul Jannah” . 2000

Vredenbregt, Jacob. Pengantar Metodologi Untuk Ilmu-Ilmu Empiris. Jakarta: Gramedia. 1985

Waluyo, Herman J.. Pengkajian Cerita Fiksi. cetakan kedua. Surakarta: Sebelas Maret University Press. 1994

Widjojoko dan Endang Hidayat. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: UPI PRESS. 2006.

Windhu, I. Marsana. Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johan Galtung. Yogyakarta:Kanisius. 1992

Zubaida, Rizki Adistya. Analisis Tokoh dan Nilai Pendidikan dalam Novel Gajah Mada Karya Langit Kresna Hariadi (Tinjauan Psikologi Sastra). Skripsi mahasiswi Universitas Sebelas Maret. Yogyakarta. 2012.


(2)

NIM

Jurusan/Prodi

Fakultas

Judul Skripsi

LEMBAR UJI REFERENSI

Adinda Putri Nursyarifah 109013000091

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

"Refleksi Tema Perebutan Kekuasaan dalam Novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di SMA"

NO REFERENSI PARAF

PEMBIMBING 1 Ratnq Nyoman Kutha. Teori, Metode, dnn Telvtik

P enelitian Sas,trq. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007

2 Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantm. cetakan ketujuh. Depok: UI-Press. 1981

J Vredenbregt, Jacob. Pengantar Metodologi Untuk Ilmu-Ilmu Empiris. Jakarta: Gramedia 1985 4 Siswanto, Wahyudi. Pengontm Teori Sastra. Jakarta:

Grasindo.2008

5 Waluyo, Herman 1.. Pengkajian Cerita Fiksi. cetakan kedua. Surakarta: Sebelas Maret University Press. 1994


(3)

6 Atmazaki. Ilmu Sostra: Teori dan Terapan. _ Angkasa Raya

7 Widjojoko dan Endang Hidayat. Teori don Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: UPI PRESS. 2006. 8 Tuloli, Nani. Kajian Sastro. Gorontalo: BMT 'Tlurul

Jannah" .2000

9 Nurgiyantoro,

Burhan.

Teori

Penglmjian Fil$i. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 2005

10 Mahayana, Maman

S.

Bermain dengan Cerpen. Jakarta: Gramedia 2006

11 Teeuw,

A.

Sustra don llmu Sostra. Jakwta: Pustaka Jaya 1984

t2 Natawidjaja, P. Suparmat. Apresiasi Sastra dan Budaya- Jakarta: Intermasa. 1982

13 Darma, Budi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Batrasa.2004

r4 Stanton, Robert.

Teori

Fil$i

Robert

Stanton. Yogyakarta: Pustaka P elalar. 2007

15

t6 Minderop, Albertine. Metode Karakteri s as i Tel aah

Fiksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2005 t7 Kenney, William. How to Anolyze Fiction. New York:

Monarch Press. 1966


(4)

18 Hawthorn, Jeremy. Studying the Novel. Great Britain:

Edward Arnold. 1985

l9

Sumardjo,

Jakob

dan Saini K.M.

Apresiasi Kesus astraan, Jakartz: Gramedia. I 98 8

20 Tim ICCE UIN Jakarta. Pendidikan Kewargaan (Civic

Education): Demoltqsi, Hak Asasi Manusia,

dan Masyarakat Mqdani. Jakarta: ICCE UIN Jakarta.2003

2t Rapar, J.H. Filsafat Politik: Plqto, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli. Jakarta: Raya

Grafindo Persada. 2001

22 Azhary. Ilmu Negara: Pembahasan Bulru Prof, Mr. R. Kranenbarg. Jakarta: Ghalia Indonesia. I 986 Z) Gani, Soelistyani Ismali. Pengantar

llmu

Politik.

J akarta: Ghalia Indonesia.

t/

24 Hutagalung, Jefry. Bentuk P emerintahan

Mo nar ki/ Ke r aj aan. Diakses dari

25 Orloc. Kekuasaan Jakarta: Erlangga. 1987

26 Martin, Roderick. Sosiologi Kekuasaan Jakarta:

Rajawali. 1990

27 Haryahnoko.

Etiltn Politik dan

Kekuasaan. Jakarta:Kompas, 2003

28 Windhu"

I.

Marsana. Kekuasaan

dan

Kekerasan

menurut Johan Galtung. Yogyakarta:Kanisius.

1992


(5)

29 Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar llmu Politik. Jakarta:

Gramedia.2008

30 Sitepu, P. Anthonius. Teori-teori Politiki. Yogyakarta: Graha l1mu.20l2

/

31 Syafiie, Inu Kencana. Ilmu Politik. Jakarta: Rineke

Cipta.2010.

32 Sumardjo, Jakob. Sastra Populer dan Pengajaran

Sastra dalam

bttkt

Budaya Sastra, Jakarta:

Rajawali. 1984

(-/

JJ Djojosuroto, Kinayati. Analisis Telcs Sastra dnn

P e n g aj ar anny a, Y o gy akarta: Penerbit Pustaka. 2 0 0 6

34 Handoyo. Analisis Struhural Novel Gajah Madq:

Bergelut dalam Kemelut Tahta dan Angkara

dan

Perang

Bubat Karya Langit

Kyesna

Hariadi.

Skripsi

mahasiswa Universitas

Sebelas Maret. Yogyakarta. 2A09,

35 ZttbudU

Rizki

Adistya. Analisis Tolah dan Nilai Pendidikan dalam Novel Gajah Mada Karya

Langit Kresna

Hariadi

(Iinjauan Psikologi

Sastra). Skripsi mahasiswi Universitas Sebelas

Maret. Yogyakarta . 2012.


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

ADINDA PUTRI NURSYARIFAH, atau biasa dipanggil Dinda. Dia adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, lahir di Tangerang, 19 November 1991 dari pasangan (alm) Bapak R. H. Moch Sjah Marzuki dan Ibu Hj. Nurwati S.Pd. kakaknya yang tertua bernama R. Wahyu Fabriansjah Marzuki dan kakak kedua bernama R. Ilham Zul Helmisjah Marzuki. Dia menuntaskan pendidikan dasarnya di MI Madrasah Pembangunan UIN Jakarta. Lalu melanjutkan sekolahnya di SMP Negeri 87 Jakarta. Kemudian melanjutkan ke SMA Negeri 87 Jakarta. Setelah itu melanjutkan jenjang pendidikan S1 di salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia yaitu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2009.

Perempuan yang mempunyai minat menekuni makeup artis ini, memiliki tujuan hidup “mengejar ridho Illahi”. Tapi jangan menyamakan tujuan hidupnya dengan kata-kata yang ada di belakang truk. Dalam hidup ini jika kita hanya melakukan doa, usaha, dan lain-lain tapi tidak mengharap keridhoan Allah, maka semua itu sia-sia. Pengalaman Organisasi: Sekretaris MPK SMAN 87 Jakarta tahun 2006-2007, Sekretaris OSIS SMAN 87 Jakarta tahun 2007-2008, ketua ekskul tari Glipang SMAN 87 Jakarta tahun 2007-2008, staff akademik LBB ORBIT 2012-2014. Aktif dalam proyek pertunjukan teater, “parade teater IX” dengan judul Centeng, tahun 2013, sebagai sutradara dan penulis naskah, dan sekarang aktif sebagai guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP PGRI 1 Ciputat.


Dokumen yang terkait

Citra Kuasa Wanita Jawa: Telaah Feminisme Kekuasaan dalam Novel Perang Paregrek Karya Langit Kresna Hariadi

0 6 20

Nilai Sosial dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra di SMA

45 364 133

Sarana retorika pada alur utama dan alur bawahan dalam Novel Gajah Mada: takhta dan angkara karya Langit Kresna Hariadi Indonesia Kelas XII

20 401 231

Kebudayaan Tionghoa dalam Novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

0 17 158

Karakter Ayah dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere-Liye dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

1 19 113

Kebudayaan Tionghoa dalam novel dimsum terakhir karya Clarang dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia Di SMA

0 7 158

ANALISIS GAYA BAHASA DALAM NOVEL RATU KECANTIKAN KARYA LANGIT KRESNA HARIADI EDISI 2010 Analisis Gaya Bahasa dalam Novel Ratu Kecantikan Karya Langit Kresna Hariadi Edisi 2010.

0 1 12

BAB 1 PENDAHULUAN Analisis Gaya Bahasa dalam Novel Ratu Kecantikan Karya Langit Kresna Hariadi Edisi 2010.

0 2 5

NOVEL KIAMAT PARA DUKUN KARYA LANGIT KRESNA HARIADI; KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA, NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DAN RELEVANSINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA.

0 0 15

ASPEK SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL MENAK JINGGO SEKAR KEDATON KARYA LANGIT KRESNA HARIADI (Kajian Sosiologi Sastra, Nilai Pendidikan Karakter, dan Relevansinya dengan Pembelajaran Sastra di SMA).

0 0 19