KONSEP DASAR BUNGA BANK (1)

KONSEP DASAR BUNGA BANK
Makalah ini dibuat guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Muamalah
Kontemporer
Dosen Pengampu : Imam Mustofa, SHI., M.S.I.

Disusun Oleh
Kelompok I
Kelas B

NAMA

NPM

WAHID NUR HIDAYAT

(14125059)

Jurusan Hukum Ekonomi Syariah (HESy)

FAKULTAS SYARIAH


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
METRO
T.A. 1438 H/2017 M

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di dalam perekonomian Indonesia sudah menjadi suatu pengetahuan
yang umum mengenai system ekonomi yang digunakan untuk mencapai
tujuan untuk mensejahterakan masayarakat. Ada yang menggunakan system
ekonomi barat dan ada pula yang menggunakan system ekonomi yang
berbasis syariah. Seperti halnya lembaga keuangan yang ada diindonesia ada
bank konvensional dan bank syariah.
Akan tetapi setelah semakin berkembangnya lembaga keuangan
banyak persolan-persoalan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat umum,
khususnya umat muslim dimana Indonesia sendiri merupakan Negara muslim
terbesar dunia. Persoalan yang terjadi disini seperti halnya mengenai bunga

yang diterapkan oleh bank konvensional sebagai tambahan atas pinjaman.
Permasalahannya ada sebagian masyarakat ataupun cendikiawan
muslim yang menyatakan bahwa bunga itu haram karna sama halnya dengan
riba. Adapula yang mengatakan bahwa bunga bank itu tidak haram dalam arti
diperbolehkan karna jika tidak menggunakan bunga suatu bank atau lembaga
akan mengalami kerugian.
Hal diatas merupakan problema yang perlu dikaji lebih detail lagi
tentang bagaimana

posisi bunga bank dalam pandangan hukum islam.

Sehingga dengan adanya penjelasan tersebut kita sebagai umat muslim dapat
membedakan mana yang menggandung unsur halal ataupun haram, sehingga
kita mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat.

2

BAB II
PEMBAHASAN


A. Konsep Dasar Bunga Bank
1. Pengertian Bunga Bank
Bank adalah suatu lembaga bisnis, dan sistem bunga adalah satu
mekanisme bank untuk pengelolaan peredaran dana masyarakat. Anggota
masyarakat yang memiliki dana, dapat – bahkan diimbau untuk menitipkan dana mereka yang tidak digunkan pada bank untuk jangka
waktu tertentu. Kemudian bank meminjamkan dana itu kepada anggota
masyarakat lain yang membutuhkan dana untuk usaha dalam jangka
waktu tertentu pula. Anggota masyarakat yang meminjam dana dari bank
pada umumnya untuk dipergunakan sebagai modal usaha, bukan untuk
memenuhi kebutuhan konsumtif. Dan dia akan mendapat keuntungan
dari usahanya yang dimodali oleh bank tersebut.1
Pengertian bank menurut Undang-undang No.7 Tahun 1992
tentang perbankan ialah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sedangkan bunga bank
adalah kelebihan jasa yang harus dibayarkan kepada bank dari pihak
peminjam atau pihak yang berhutang.2
Pada umumnya dalam ilmu ekonomi, bunga itu timbul dari
sejumlah uang pokoknya, yang lazim disebut dengan istilah “kapital”
atau “modal” berupa uang. Dan bunga itu juga dapat disebut dengan

istilah “rente” juga dikenal dengan “interest”.3 Menurut Goedhart bunga

1

Munawir Sjadzali, MA, Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1997, Hlm. 14.
Ahmad Sarjono, Buku Ajar Fiqh, Solo: 2008, hlm. 50.
3
Syahirin Harahap, Bunga Uang dan Riba dalam Hukum Islam, Jakarta: Pustaka alHusna, 1993, Hlm. 18.
2

3

atau rente itu adalah perbedaan nilai, tergantung pada perbedaan waktu
yang berdasarkan atas perhitungan ekonomi.4
Bunga bank dapat diartikan sebagai balas jasa yang diberikan
oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang
membeli atau menjual produknya. Bunga juga dapat diartikan sebagai
harga kepada deposan (yang memiliki simpanan) dan kreditur (nasabah
yang memperoleh pinjaman) yang harus dibayar kepada bank. Institusi
bunga bank yang dalam hal ini adalah bunga yang bukan termasuk riba

atau dapat dikatakan dengan bagi hasil menurut syari’at Islam
(perbankkan syari’ah) telah menjadi bagian penting dari sistem
perekonomian bangsa Arab seperti halnya sistem ekonomi di
negaranegara lain (non muslim).
Sesungguhnya, bunga telah dianggap penting demi keberhasilan
pengoperasian sistem ekonomi yang ada bagi masyarakat. Tetapi Islam
mempertimbangkan bunga itu sebagai kejahatan yang menyebarkan
kesengsaraan dalam kehidupan.5 Al-Qur'an mengakui bahwa meminumminuman keras itu bukan tidak ada manfaatnya sama sekali, tetapi Islam
mengharamkannya karena akibat-akibat buruk yang diakibatkan oleh
minuman-minuman keras itu jauh lebih besar daripada manfaatnya. Kita
mengakui bahwa sistem bunga dalam bank itu dalam pelaksanaanya tidak
selalu baik, dan dapat mencelakakan nasabah yang meminjam uang dari
bank, tetapi jumlah yang merasa tertolong oleh sistem bunga yang
diperlakukan oleh bank-bank konvensional itu jauh lebih banyak dari
pada mereka yang dirugikan. Maka analog dengan hukumnya minumminuman keras, sistem bunga dalam bank konvensional itu tidak haram.6
Bunga bank dapat diartikan sebagai balas jasa yang diberikan
oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang
membeli atau menjual produknya. Bunga bagi bank juga dapat diartikan
4


Ibid, Hlm. 19.
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid III, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima
Yasa, cet. II, 2002, Hlm. 76.
6
Munawir Sjadzali, MA, Ijtihad Kemanusiaan..., Hlm. 65.
5

4

sebagai harga yang harus dibayar kepada nasabah (yang memiliki
simpanan) dan harga yang harus dibayar oleh nasabah kepada bank
(nasabah yang memperoleh pinjaman).
2. Pendapat Ulama Tentang Bunga Bank
Banyak pendapat dan tanggapan di kalangan para ulama dan ahli
fiqh baik klasik maupun kontemporer tentang apakah bunga bank sama
dengan riba atau tidak.
Keputusan Lembaga Islam Nasional. Antara lain:
a. Nahdhatul ‘Ulama’, pada bahsul masa’il, munas Bandar Lampung,
1992, memutuskan bahwa:
1). Sebagian ulama mengatakan bunga sama dengan riba, sebagian

lain mengatakan tidak sama, dan sebagian lain mengatakan syubhat.
Rekomendasi: agar PBNU mendirikan bank Islam NU dengan sistem
tanpa bunga.
Muhammadiya, pada Lajnah Tarjih Sidoarjo, 1968. Memutuskan
bahwa: bunga yang diebrikan oelh bank-bank milik negara
kepada nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku,
termasuk perkara “mustasyabihat”.
2). Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan
terwujudnya konsepsi sistem perekonomian, khususnya lembaga
perbankan yangs esuai kaidah Islam.
b. Majelis Ulama Indonesia pada Lokakarya Alim Ulama, Cisarua 1991,
memutuskan bahwa:
1). Bunga bank sama dengan riba;
2). Bunga bank tidak sama dengan riba; dan
3). Bunga bank tergolong syubhat. MUI harus mendirikan bank
alternatif.
c. Lajnah Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia, Majelis Ulama Indonesia,
pada Silaknas MUI, 16 Desember 2003, memutuskan bahwa “Bunga
bank sama dengan riba”.


5

d. PP Muhammadiyah, fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah No. 8 Juni
Tahun 2006. Diumumkan pada RAKERNAS dan Business Gathering
Majelis Ekonomi Muhammadiyah, 19-21 Agustus 2006, Jakarta,
memutuskan bahwa “Bunga bank haram”.7

7

Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, hlm. 14-16.

6

B. Riba
1. Pengertian Riba
Secara etimologis riba berasal dari Bahasa Arab, yaitu dari kata
raba-yarbu-rabwan yang berarti az-ziyadah (tambahan) atau al-fadl

(kelebihan),


berkembang (an-numuww), meningkat

(al-irfa’) dan

membesar (al-‘uluw). Dengan kata lain riba adalah penambahan,
perkembangan peningkatan dan pembesaran atas pinjaman pokok yang
diterima pemberi pinjaman dari peminjam sebagai imbalan karena
menangguhkan atau berpisah dari sebagian modalnya selama periode
waktu tertentu.
Riba juga dapat diartikan sebagai pengambilan tambahan, baik
dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil yang
bertentangan dengan prinsip muamalat dalam islam.8
Menurut syari’ah riba yaitu merujuk pada “premi” yang harus
dibayarkan oleh peminjam kepada yang memberikan pinjaman bersama
dengan jumlah pokok utang sebagai syarat pinjaman atau untuk
perpanjangan waktu pinjaman.9
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fikih Sunnah
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan riba adalah tambahan atas
modal baik penambahan itu sedikit ataupun banyak. Demikian juga,
menurut Ibn Hajar Asqalani, riba adalah kelebihan baik dalam bentuk

barang maupun uang. Sedangkan menurut Muhammad al-Hasan Taunki,
riba adalah kelebihan atau pertambahan dan jika dalam suatu kontrak
penukaran barang lebih dari satu barang yang diminta sebagai penukaran
barang yang sama.10
Selanjutnya menurut M. Umer Chapra, riba secara harfiah berarti
adanya

8
9

peningkatan,

pertambahan,

perluasan,

atau

pertumbuhan.


Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta; Sinar Grafika, 2008)
Zamir Iqbal, DKK. Pengantar Keuangan Islam Teori dan Praktik, (Jakarta: Kencana,

2008)
10

Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta: Ekonisia, 2004)

hlm. 10.

7

Menurutnya, tidak semua pertumbuhan terkarang dalam Islam. Akan
tetapi, keuntungan juga merupakan peningkatan atas jumlah harga pokok
tetapi tidak dilarang dalam Islam.11
Istilah lain yang dibuat para ulama yang menunjuk kata riba
adalah bunga kredit yang harus diberikan oleh orang yang berutang
(debitur) kepada orang yang berpiutang (kreditur), sebagai imbalan untuk
menggunakan sejumlah uang milik kreditur dalam jangka waktu yang
telah ditetapkan. Abdul Mannan mengemukakan pengertian riba secara
lughawi bahwa penggunaan kata sandang al di depan riba dalam al-

Qur’an menunjukkan kenyataan bahwa al-riba mengacu pada perbuatan
mengambil sejumlah uang berasal dari seseorang yang berutang, secara
berlebihan.12
Kemudian,

Menurut

Prof.

Dr.

Rachmat

Syafe’i,

M.A.

Diharamkannya riba karena dua hal yakni, pertama, adanya kedzaliman;
kedua, adanya eksploitasi dalam kebutuhan pokok atau adanya garar,

ketidakpastian dan spekulasi yang tinggi, oleh karena itu tidak
diharamkan selama tidak bertentangan dengan dua hal di atas.13
Dari berbagai perbedaan definisi di atas mengenai riba. Salah satu
sebabnya adalah perbedaan yang dipengaruhi penafsiran atas pengalaman
dari masing-masing ulama dalam memahmi riba di dalam konteks
hidupnya. Walaupun demikian terdapat perbedaan defininya, substansinya
adalah sama. Secara umum para ekonom muslim tetap menegaskan
bahwa riba adalah penambahan yang dibayarkan, baik dalam transaksi
jual beli maupun pinjam meminjam yang sangat bertentangan dengan
prinsip syari’ah.

11

Wirdyaningsih, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm.

25-29.
12

M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima
Yasa, 1997), hlm. 118.
13
Rachmat Syafe’i. Fiqh Muamalah Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, dan Umum, (Bandung:
Pustaka Setia, 2004), hlm. 276.

8

2. Macam-macam Riba
Pendapat Ulama fiqh, sebagaimana dijelaskan oleh Abu Sura’i
Abdul Hadi (1993) membagi riba membagi dua macam, yaitu riba fadl
dan riba an-nasi’ah. Riba fadl adalah riba yang berlaku dalam jual beli
yang didefinisikan oleh para ulama fiqh dengan “kelebihan pada salah
satu harta sejenis yang diperjualbelikan dengan ukuran syara’”, yang
dimaksud ukuran syara’ adlah timbangan atau ukuran tertentu. Misalnya,
satu kilogram beras dijual dengan seperempat kilogram. Kelebihan
seperempat kg tersebut disebut riba fadl. Jual beli semacam ini disebut
barter.
Sedangkan riba an-nasi’ah adalah kelebihan atas piutang yang
diberikan orang berutang kepada pemilik modal ketika waktu yang
disepakati jatuh tempo. Apabila waktu tempo telah tiba, ternyata orang
yang berutang tidak sanggup membayar hutang dan kelebihannya, maka
waktu bisa diperpanjang dan utangnya pun bertambah.
Hakikat larangan tersebut tegas, mutlak dan tidak mengandung
perdebatan. Tidak ada ruang untuk mengatakan bahwa riba mengacu
sekedar pinjaman dan bukan bunga, karena Nabi melarang mengambil,
meskipun kecil, pemberian jasa atau kebaikan sebagai syarat pinjaman,
sebagai

tambahan

dari

uang

pokok.

Meskipun

demikian,

jika

pengembalian pinjaman poko dapat bersifat positif atau negatif tergantung
pada hasil akhir suatu bisnis, yang tidak diketahui terlebih dahulu. Ini
diperbolehkan asal ditanggung bersama menurut prinsip-prinsip keadilan
yang ditetapkan dalam syari’ah.14
Dua jenis riba di atas jelas diharamkan karena merupakan suatu
pendapatan

yang diperoleh secara tidak adil.

Rasulullah Saw.

Menyamakan riba dengan menipu orang bodoh agar membeli barangnya
dan menerangkan sistem ijon secara sia-sia dengan bantuan agen. Hal ini

Muhammad, Bank Syari’ah Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman,
(Yogyakarta: Ekonisia, 2003), hlm. 29-32.
14

9

mengandung arti bahwa tambahan uang yang diperoleh dengan cara
eksploitasi dan penipuan adalah suatu keharaman.
3. Dasar Hukum Larangan Riba Dalam al-Qur’an dan Hadis
a. Riba Dalam al-Qur’an
Ada sejumlah ayat al-Qur’an dan beberpa hadis Nabi Saw.
yang membicarakan tentang riba. Akan tetapi, ayat al-Qur’an tersebut
hanya menyinggung riba yang berhubungan dengan hutang-piutang.
Sementara riba yang berhubungan dengan perdagangan dibahas dalam
sunnah Nabi Saw. dalam hal ini Abu Zahrah mengklasifikasi sunnah
Nabi yang membicarakan tentang riba menjadi dua. Pertama, sunnah
yang berfungsi sebagai tafsiran pada ayat al-Qur’an yang membahas
tentang riba dan Kedua, sunnah Nabi yang menggambarkan jenis lain
riba.15
Di dalam al-Qur’an kata riba beserta bentuk derivasinya
disebut sebanyak dua belas kali, delapan diantaranya berbentuk kata
riba itu sendiri. Quraisy Shihab menyebut kata riba termaktub dalam
al-Qur’an sebanyak delapan kali dalam empat surat yaitu al-Baqarah,
Ali Imran, an-Nisa’ dan ar-Ruu. Tiga surat pertama adalah
madaniyah, sedangkan ar-Ruum adalah Makkiyah.16 Ini berarti ayat
pertama yang berbicara tentang riba adalah ar-Rum ayat 39.
Ayat-ayat al-Qur’an yang pada umumnya dicatat oleh para
ulama dan fuqaha ketika berbicara tentang riba adalah surat alBaqarah ayat 275-279. Ali Imran ayat 130-131, an-Nisa’ ayat 160161, dan ar-Ruum ayat 39.

15

Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami (Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad
Abduh), (Yogyakarta: Pustaka Fajar, 1996) hlm. 41.
16
M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 259.

10

          

        

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba
dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan. Dan peliharalah dirimu dari api
neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (QS. Ali

Imran: 130-131)

         

           
        

“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan
atas

(memakan

makanan)

yang

baik-baik

(yang

dahulunya)

Dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi
(manusia) dari jalan Allah, Dan disebabkan mereka memakan riba,
Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan
karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil.
Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara
mereka itu siksa yang pedih.” (An-Nisa’: 160-161)

             
         

11

“dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia
bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada
sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat
demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”

(Ar-Rum: 39)
Dengan memperhatikan ayat-ayat tersebut diatas, ada ayat
yang memang secara eksplisit tegas mengharamkan riba, ada juga
yang tegas melarangnya, akan tetapi masih berupa gambaran umum
dan kurang komprehensif. Dilihat dari periodesasinya ke semua ayat
tersebut mempunyai masa berbeda, baik itu tempat maupun waktunya.
Ada satu ayat yang turun di Makkah di masa awal perjuangan Islam
(sebelum Nabi hijrah) dimana ajarannya masih berkutat mengenai
keimanan dan ketauhidan. Sedangkan tiga ayat lainnya turun di
Madinah, dimana ajaran sosial kemasyarakatannya lebih luas dan
banyak.
Dari perpektif di atas maka pelarangannya mengalami tahap
demi tahap sebagaimana keharaman minuman keras (khamr). Hal ini
dimaksudkan untuk membimbing manusia secara perlahan dan mudah
dalam mengalihkan kebiasaan orang Arab yang telah berakar dari
nenek moyangnya. Pertama-tama diadakan secara temporal, kemudian
diadakan secara tuntas.

b. Riba Dalam Hadis
Pelarangan riba dalm Islam tidak hanya merujuk pada alQur’an melainkan juga terdapat dalam al-Hadis.

12

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Bank adalah lembaga bisnis, sedangkan bunga bank adalah
penambahan dari pinjaman pokok yang harus dibayarkan. Dan bunga bank
menurut mayoritas ulama adalah termasuk riba. Dan riba adalah sesuatu yang
tidak ada dalam ketentuan syara’. Sehingga keberadaannya diharamkan.
riba membagi dua macam, yaitu riba fadl dan riba an-nasi’ah. Riba
fadl adalah riba yang berlaku dalam jual beli yang didefinisikan oleh para

ulama fiqh dengan “kelebihan pada salah satu harta sejenis yang
diperjualbelikan dengan ukuran syara’”, yang dimaksud ukuran syara’ adlah
timbangan atau ukuran tertentu. Sedangkan riba an-nasi’ah adalah kelebihan
atas piutang yang diberikan orang berutang kepada pemilik modal ketika
waktu yang disepakati jatuh tempo. Apabila waktu tempo telah tiba, ternyata
orang yang berutang tidak sanggup membayar hutang dan kelebihannya,
maka waktu bisa diperpanjang dan utangnya pun bertambah.
B. Saran
Dengan diselesaikannya makalah ini, tentu berharap dapat menjadi
pemahaman bersama tentang Konsep Dasar Bunga Bank. Makalah ini
amatlah jauh dari kesempurnaan, karena tiada kesempurnaan di dunia ini
kecuali atas izin Allah semata. Kiranya demi kebaikan bersama, yaitu
kebaikan dunia dan akhirat kami selaku penyusun makalah ini menyarankan
kritikan yang bersifat membangun. Baik untuk perbaikan makalah ini atau
dalam penyusunan makalah selanjutnya pada pertemuan yang Allah Ridhoi.

13

DAFTAR PUSTAKA

Sjadzali, Munawir. 1997, Ijtihad Kemanusiaan, Paramadina, Jakarta.

Harahap, Syahirin. 1993, Bunga Uang dan Riba dalam Hukum Islam, Pustaka alHusna, Jakarta.
Rahman, Afzalur. 2002, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid III, PT. Dana Bhakti Prima
Yasa, cet. II, Yogyakarta.
Sudarsono, Heri. 2004, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Ekonisia,
Yogyakarta.

Wirdyaningsih, 2005, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta
M. Abdul Mannan, 1997, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Dana Bhakti Prima
Yasa, Yogyakarta.
Syafe’i, Rachmat. 2004, Fiqh Muamalah Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, dan Umum,
Pustaka Setia, Bandung.
Muhammad, 2003, Bank Syari’ah Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan
Ancaman, Ekonisia, Yogyakarta.

Nasution, Khoiruddin. 1996, Riba dan Poligami (Sebuah Studi atas Pemikiran
Muhammad Abduh), Pustaka Fajar, Yogyakarta.

M. Quraisy Shihab, 1992, Membumikan al-Qur’an, Mizan, Bandung.
Sarjono, Ahmad. : 2008. Buku Ajar Fiqh, Solo.

14

Zamir Iqbal, DKK. 2008. Pengantar Keuangan Islam Teori dan Praktik,
Kencana, Jakarta.
Zainuddin Ali, 2008. Hukum Perbankan Syariah, Sinar Grafika, Jakarta.

15