B1J010099 10.

II. TELAAH PUSTAKA
Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang
surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna dan muara sungai yang tergenang
pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas
tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Hutan Mangrove terutama tumbuh pada
tanah lumpur alluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang
surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan khusus untuk beradaptasi
dengan kondisi lingkungan yang ekstrim, seperti kondisi tanah yang tergenang, kadar
garam yang tinggi serta kondisi tanah yang kurang stabil (Odum, 1993).
Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung
oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di
Indonesia, daerah yang paling dekat dengan laut atau zona depan, dengan substrat
agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia sp. pada zona ini biasa berasosiasi
Sonneratia sp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik;
lebih ke arah darat atau zona tengah, hutan mangrove umumnya didominasi oleh
Rhizophora sp. di zona ini juga dijumpai Bruguier asp. dan Xylocarpus sp.; zona
berikutnya didominasi oleh Bruguiera sp.; zona transisi antara hutan mangrove
dengan hutan dataran rendah atau zona belakang biasa ditumbuhi oleh Nypa
fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.
Bukti berupa polen atau spora yang telah terendapkan berupa fosil,
merupakan suatu bukti sangat penting dalam palinologi guna mengungkap sejarah

hutan mangrove di suatu lokasi. Dalam tiap lapisan sedimen yang terendapkan akan
tersimpan polen yang hidup saat itu sehingga perbedaan komposisinya akan
mencerminkan kondisi lingkungan pada saat terendapkan (Suedy, 2006).
Polen dan spora merupakan sumber data

yang dapat diterapkan, karena

terdapat melimpah dan dapat terawetkan dalam sedimen serta jumlahnya dapat

bio.unsoed.ac.id

dihitung sehingga menghasilkan suatu spektrum; resisten terhadap kerusakan baik
oleh asam, kadar garam, temperatur dan tekanan lain sehingga dapat tereservasi pada
berbagai keadaan; dapat diidentifikasi dengan mikroskop sehingga secara taksonomi
dapat diketahui; berukuran kecil dan melimpah sehingga hanya diperlukan sedikit
sedimen sebagai sampel yang memadai; berasal dari tumbuhan yang membentuk
vegetasi suatu area sehingga polen dan spora dapat digunakan untuk merekonstruksi

4


vegetasi baik lokal maupun regional yang berada disekeliling lingkungan
pengendapannya (Moore & Webb, 1978).
Penentuan perubahan muka laut suatu wilayah dapat ditafsirkan dengan
kumpulan polen arboreal dan non arboreal. Arboreal pollen (AP) yaitu polen yang
berasal dari tumbuhan yang rindang (pembentuk hutan) sedangkan non arboreal
polen ( NAP) yaitu polen yang berasal dari tumbuhan tumbuhan yang ukuranya kecil
(bukan pembentuk hutan), kedua jenis tersebut dapat menjadi penciri suatu
lingkungan yang kering atau lembab. Arboreal pollen dapat memberi gambaran
lingkungan yang teduh dan penuh dengan pohon yang rindang sehingga memberikan
gambaran lingkungan yang cenderung lembab. Sedangkan non arboreal pollen dapat
memberikan gambaran sebuah lingkungan terbuka yang membiarkan sinar matahari
masuk sehingga mencerminkan lingkungan yang cenderung kering (Morley, 1990).
Penerapan

bukti

menginterprestasikan

palinologi


masalah

yang

dapat

dijadikan

berkaitan

dengan

standar

nilai

stratigrafi,

dalam
migrasi,


paleoekologi maupun arkeologi (Morley, 1990). Analisis polen atau spora yang
terendapkan pada suatu sedimen dapat mengungkapkan latar belakang perubahan
flora dan vegetasi pada periode tertentu. Analisis polen dan spora secara vertikal
terhadap urutan lapisan sedimen merupakan cara untuk menelusuri sejarah flora dan
vegetasi serta perubahan yang terjadi selama proses sedimentasi berlangsung (Faegri
& Iversen, 1989; Moore & Webb,1978).
Butir polen adalah mikrospora tumbuhan berbiji yang mengandung
mikrogametofit masak atau belum masak. Serbuk sari atau polen adalah alat
reproduksi jantan yang terdapat pada tumbuhan dan mempunyai fungsi yang sama
dengan sperma pada alat reproduksi jantan pada hewan. Serbuk sari berada pada
dalam kepala sari (antera) tepatnya dalam kantung yang disebut ruang serbuk sari
(theca) setiap antera rata rata memiliki dua ruang serbuk sari yang berukuran relatif
besar (Erdtman, 1952).

bio.unsoed.ac.id

Perkembangan butir polen dimulai dari pembelahan sel sel sporogen primer
secara mitosis dalam bidang yang berbeda, bersama sama dengan perkembangan
dinding kantung polen. Derivat derivat pembelahan ini membentuk sel sel induk

polen, yang juga dikenal sebagai mikrosporosit. Setiap sel induk mengalami
pembelahan meiosis untuk membentuk tetrad butir polen, yakni empat mikrospora
haploid. Pada prinsipnya dinding polen tersusun dari dua lapis yaitu eksin dan intin,
eksin merupakan lapisan luar dinding serbuk sari. Struktur eksin merupakan dua
5

lapisan yaitu yang terdalam endeksin dan lapisan terluar ekteksin. Komponen utama
ekteksin adalah sporopolenin, suatu subtansi keras yang memberikan daya tahan
yang hebat kepada dinding butir polen. Butir polen yang masak dikelilingi oleh
dinding pektoselulosa yang tipis, yakni intin. (Fahn, 1991).
Polen

dihasilkan

oleh tumbuhan

gymnospermae

dan


angiospermae

(Tjitrosoepomo, 1993). Polen terbentuk dari hasil mikrosporogenesis yang
berlangsung di dalam kepala sari melalui pembelahan meiosis yang menghasilkan
empat sel haploid yang kemudian membentuk tetrad dan disebut mikrospora
(Hidayat, 1995). Menurut Fahn, (1991) mikrospora merupakan awal perkembangan
gametofit jantan. Mikrospora yang telah dewasa (masak) setelah lepas dari tetrad
mikrospora dikenal dengan nama butir polen (serbuk sari). Selama proses
perkembangan gametofit jantan (mikrogametogenesis), inti mikrospora membelah
menghasilkan dua inti yang tidak sama besar, yaitu inti vegetatif dan inti generatif.
Inti generatif yang berukuran lebih kecil akan membelah secara mitosis
menghasilkan dua inti sperma. Inti generatif letaknya berdekatan dengan dinding sel.
Pembelahan inti generatif membentuk dua inti sperma dapat terjadi baik di dalam
serbuk sari maupun di dalam buluh serbuk sari. Inti vegetatif mempunyai peranan
yang penting terhadap perkembangan serbuk sari di samping itu menentukan arah
dari buluh serbuk sari selama penyerbukan. (Gambar 2.1).

bio.unsoed.ac.id

Gambar 2.1 Pembentukan gametofit jantan (Sumber Fahn, 1991)


6

Menurut Faegri dan Iversen (1989) studi tentang polen merupakan objek
yang penting karena umumnya polen resisten bahan organik maupun asetolisis,
kecuali oleh kondisi oksidasi. Sifat resisten polen karena adanya sporopolenin pada
lapisan eksin. Eksin memberikan keistimewaan dalam palinologi yang dapat
digunakan sebagai identifikasi tumbuhan. Keistimewaan tersebut meliputi struktur
dan ornamentasi. Polen mempunyai dua lapis dinding sel yaitu lapisan dalam (intin)
dan lapisan luar (eksin), ornamentasi eksin merupakan struktur luar yang berkaitan
dengan struktur dalam eksin. Ukuran polen bervariasi antara 5 µm sampai lebih dari
200 µm, sebagian besar polen berukuran antara 20-50 µm. Ornamentasi eksin dan
bentuk butir polen merupakan sifat ciri yang dapat digunakan dalan taksonomi.
Apertura adalah suatu penipisan atau modifikasi dinding spora atau polen yang
berfungsi sebagai jalan keluarnya isi spora atau polen. Apertura dapat berupa alur
atau pori, dimana susunan dan jumlah pori serta alur merupakan kriteria penting
dalam klasifikasi. Menurut Kapp (1969) berdasarkan tipe aperturanya, butir polen
dklasifikasikan sebagai berikut yaitu inapertura, monoporate, diporate, triporate.
Menurut Abbas (2000), dengan menggunakan ciri-ciri morfologi dan struktur
morfologi butir polen dan spora akan mempermudah identifikasi suatu polen dan

spora baik fosil maupun modern sehinga dapat diketahui tumbuhan penghasilnya.
Ornamentasi eksin sangat baik untuk pemisahan marga dan jenis yang sulit
dibedakan menurut bentuk makromorfologinya.
Sifat penting dalam mempelajari polen yaitu unit polen, polaritas polen,
simetri polen, bentuk polen, tipe dan jenis apertura serta ornamentasinya (Erdtman,
1952). Sebagian besar tanaman memiliki bentuk unit polen monad. beberapa genus
ada yang tetrad, dyad dan polyad (Faegri & Iversen, 1989). Menurut Kapp (1969)
bentuk polen ditentukan berdasarkan perbandingan panjang aksis polar (P) dan
diameter equator (E).
Spora adalah alat perkembangbiakan tumbuhan tingkat rendah (alga, lumut,

bio.unsoed.ac.id

jamur dan paku pakuan). Spora yang sering ditemukan dalam jumlah banyak dan
dapat menunjukan kondisi kelembaban suatu tempat adalah spora tumbuhan paku
(Pteridophyta). Tumbuhan yang termasuk pteridophyta hidup tersebar luas dari
daerah tropis yang lembab hingga daerah arktik, dijumpai di hutan hujan tropis,
daerah beriklim sedang, padang rumput yang lembab serta sepanjang tepi jalan dan
sungai (Tjitrosoepomo, 1993).


7

Fosil polen dan spora telah digunakan oleh beberapa peneliti, seperti Ricklefs
(1990), untuk menggambarkan iklim di Jawa selama Pliosen yang lebih sejuk dan
kering dengan savana yang tersebar serta hutan bakau banyak terdapat di bagian
tengah. Fosil polen juga digunakan untuk mengetahui sejarah flora dan vegetasi
daerah Bumiayu kala Plistosen(Setijadi et al., 2005); perubahan lingkungan masa
Holocene daerah Rawa Danau-Jawa Barat (Yulianto et al., 2005); untuk meramalkan
perubahan iklim di bagian selatan Eropa (Finsinger et al., 2007); merekonstruksi
dinamika vegetasi dan biodiversitas dibagian selatan Brazilia pada kala Kuarter
Akhir (Behling & Pilar, 2007); prediksi dinamika vegetasi, perubahan muka air laut
serta perubahan iklim pada daerah pesisir (Ellison, 2008).
Hasil penelitian terdahulu bermanfaat untuk memberikan keterangan
mengenai perubahan muka laut pada masa lampau dan bersama dengan bukti yang
benar benar bersifat geologi, dapat membantu menentukan keadaan iklim serta faktor
fisik lainnya yang terjadi pada saat itu. Saat ini perkembangan dari radio aktif dating
dan alat alat geologi lainnya telah sangat meningkatkan kemampuan kita untuk
menentukan dengan tepat saat golongan fosil itu hidup sehingga penentuan umurnya
dapat diketahui (Odum, 1993)


bio.unsoed.ac.id

8