Karakterisasi Mikrokapsul Sinbiotik Bakteri Asam Laktat Isolat PG7 yang Dienkapsulasi dengan Alginat, Susu Skim dan Inulin

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Probiotik Akuakultur
Probiotik didefinisikan sebagai sel mikroba hidup yang jika dikonsumsi dalam
jumlah yang cukup akan memberikan manfaat kesehatan (FAO, 2002). Istilah
probiotik pertama kali didefinisikan oleh Parker pada tahun 1974 sebagai
organisme atau substansi yang berkontribusi terhadap keseimbangan saluran
pencernaan. Sedangkan Fuller (1992), mengembangkan definisi ini menjadi
suplemen yang tersusun oleh mikroba hidup

yang memberi manfaat dengan

meningkatkan keseimbangan mikroba saluran usus hewan inang. Adapun
Gatesoupe (1999), mendefinisikan probiotik sebagai sel mikroba yang masuk ke
saluran pencernaan dan masih tetap hidup untuk memberikan dampak kesehatan.
Selain meningkatkan keseimbangkan mikroba dalam saluran pencernaan,
probiotik juga telah dilaporkan berperan dalam memodulasi

imunitas,


menurunkan kadar kolestrol, membantu penguraian laktosa dan mencegah kanker
(Kaisalapathy, 2002).
Studi mengenai probiotik awalnya hanya berpusat pada organisme
teresterial. Namun kemudian berkembang pada tingkat akuatik. Banyak peneliti
yang telah menginvestigasi hubungan mikroba saluran pencernaan dengan habitat
akuatik. Berbeda dengan organisme darat, dalam lingkungan akuatik inang dan
mikroba berada pada lingkungan yang sama. Hewan akuatik hidup dalam
lingkungan yang juga mendukung pertumbuhan patogen secara bebas hingga
patogen dapat mencapai kepadatan yang tinggi di sekitar inang. Interaksi mikroba
dengan inangnya tidak hanya terbatas pada saluran pencernaan, namun juga pada
kulit, insang dan lingkungannya. Dalam lingkungan akuatik, probiotik tidak hanya
berperan dalam meyeimbangkan mikroba dalam saluran pencernaan tetapi juga
dapat meningkatkan efisiensi dan nilai nutrisi pakan, meningkatkan respon inang
terhadap patogen, menstimulasi sistem imun inang atau dengan memperbaiki
kualitas lingkungan akuatik. Sehingga bisa dikatakan bahwa probiotik adalah

Universitas Sumatera Utara

5


mikroba yang ditambahkan untuk memberi manfaat pada saluran pencernaan,
pada struktur permukaan dan pada lingkungan hidup inang (Verschuere et al.
2000).
Keamanan dan kemanjuran probiotik sangat ditentukan oleh karakter dan
jumlah bakteri yang digunakan. Oleh karena itu, dalam menilai keamanan dan
kemanjuran suatu produk probiotik beberapa faktor harus diperhatikan
diantaranya sifat-sifat bakteri yang akan digunakan seperti kemampuan bakteri
untuk terus hidup (viability) selama proses produksi, ketika bakteri berada dalam
produk (carrier), ketika berada dalam saluran pencernaan dan ketika dalam
penyimpanan. Bakteri mudah mengalami degradasi oleh panas, cahaya,
kelembapan, dan oksigen. Produk probiotik biasanya harus disimpan di pendingin
untuk dijaga agar bakteri tetap hidup dan aktif. Sifat bakteri probiotik lainnya
yang harus diperhatikan adalah ketahanannya terhadap antibiotik dan tidak
memiliki sifat virulen (dapat menyebabkan penyakit) (Corona-Hernandez, 2013).
Mikroba yang umum digunakan sebagai probiotik adalah bakteri asam
laktat (BAL) karena kemampuannya mengkonversi laktosa menjadi asam laktat.
Beberapa BAL probiotik yang digunakan pada budi daya akuakultur antara lain
Bacillus, Carnobacterium divergens, Alteromonas, Lactobacillus helveticus, L.
lactis, L. casei, L. rhamnosus, L.acidophilus, Streptococcus thermophilus,
Streptomyces,


Enterococcus

faecium,

Micrococcus

luteus,

Pseudomonas

fluorescens, Tetraselmis suecica, Pediococcus acidilactici,dan Shewanella
putrefaciens (Cruz et al. 2012).

2.2.Bakteri Asam Laktat
Bakteri asam laktat (BAL) adalah kelompok bakteri gram positif
berbentuk kokus atau batang, tidak membentuk spora, pada umumnya tidak motil,
katalase negatif dan oksidase positif, dengan asam laktat sebagai produk utama
fermentasi karbohidrat. Sifat-sifat khusus bakteri asam laktat adalah mampu
tumbuh pada kadar gula, alkohol, mampu memfermentasikan monosakarida dan

disakarida. Sebagian besar BAL dapat tumbuh sama baiknya di lingkungan yang
memiliki dan tidak memiliki O2, sehingga termasuk anaerob aerotoleran. Hampir
semua BAL hanya memperoleh energi dari metabolisme gula sehingga habitat

Universitas Sumatera Utara

6

pertumbuhannya hanya terbatas pada lingkungan yang menyediakan cukup gula
atau bisa disebut dengan lingkungan yang kaya nutrisi. Kemampuan mereka untuk
mengasilkan senyawa (biosintesis) juga terbatas dan kebutuhan nutrisi kompleks
BAL meliputiasam amino,vitamin, purin, dan pirimidin (Syahrurahman, 1994).

2.3. Prebiotik
Prebiotik didefinisikan sebagai suatu bahan makanan yang tidak dapat dicerna
namun memberikan manfaat positif bagi tubuh karena secara selektif menstimulir
pertumbuhan dan aktivitas bakteri baik dalam usus besar (Gibson dan Roberfroid,
1995). Prebiotik pada umumnya merupakan karbohidrat seperti fruktooligo
sakarida (FOS), galaktooligosakarida (GOS), transgalaktooligosakarida (TOS),
dan laktulosa. Fruktooligosakarida (FOS) adalah nama umum dari jenis

oligosakarida yang mengandung fruktosa, yang termasuk didalamnya adalah
inulin dan oligofruktosa (Yousefian & Amiri, 2009).
Inulin merupakan salah satu jenis fruktan atau polimer fruktosa yang
mengandung sekitar 35 unit fruktosa yang dihubungkan dengan ikatan ß-2,1
glikosidik. Inulin banyak terdapat dalam umbi tanaman seperti akar dahlia,
artichoke, chicory, dan bawang (Kuar & Gupta, 2002). Aplikasi prebiotik inulin
sebagai pakan pada sistem akuakultur telah memberikan manfaat yang signifikan.
Refstie et al. (2006), melaporkan bahwa suplementasi pakan ikan dengan inulin
mampu meningkatkan efisiensi dan absorpsi pakan pada ikan salmon. Olsen et al.
(2001), melaporkan bahwa inulin yang ditambahkan pada pakan secara signifikan
meningkatkan populasi mikroflora pada saluran pencernaan ikan.
Prebiotik juga digunakan sebagai bahan enkapsulan, karena sifatnya yang
nondigestible. Penggunaannya sering dikombinasikan dengan bahan karbohidrat
maupun protein. Kombinasi susu skim-inulin ataupun oligosakarida dalam
enkapsulasi menghasilkan perlindungan yang tinggi bagi Bifidobacterium BB-12
pada kondisi simulasi saluran pencernaan dan proses pemanasan (Fritzen-Freire et
al. 2013).
Kombinasi pre dan probiotik disebut sebagai sinbiotik yang menyiratkan
adanya sinergisme. Prebiotik yang dipakai harus sesuai untuk probiotik agar
mampu meningkatkan kesehatan inang. Keuntungan dari sinbiotik adalah


Universitas Sumatera Utara

7

meningkatkan daya tahan hidup bakteri probiotik oleh karena substrat yang
spesifik telah tersedia untuk aktivitasnya sehingga inang mendapat manfaat yang
lebih sempurna dari kombinasi ini (Gourbeyre et al. 2011; Jirillo et al. 2012).

2.4. Enkapsulasi
Enkapsulasi didefinisikan sebagai proses menyalut suatu substansi dalam bahan
pelindung. Substansi yang dilindungi dapat disebut inti (core), pengisi (filler)
ataupun muatan internal. Subtansi tersebut dapat berupa molekul bioaktif (seperti
antioksidan, mineral, vitamin, fitosterol, lutein, asam lemak, lycopen dan sel
hidup (seperti probiotik). Sedangkan bahan pelindung disebut mantel (coating),
membran, kapsul, material pembawa (carrier) ataupun matriks (Nedovic et al.
2011).
Enkapsulasi membantu memisahkan material inti dengan lingkungannya
hingga material tersebut terlepas (release) ke lingkungan (Kailasapathy, 2002).
Dalam hal ini, kapsul berperan sebagai membran yang membatasi material inti

dengan lingkungan juga mengatur pelepasannya ketika mencapai lingkungan
target. Sehingga, ukuran dan bahan kapsul harus disesuaikan agar material inti
mudah berdifusi keluar kapsul (Vidhyalakshmi et al. 2009). Kapsul terbuat dari
bahan semipermeabel, tipis, berbentuk bulat dan kuat sehingga material inti dapat
tertahan dalam kapsul. Ukuran dari kapsul umumnya bervariasi dari beberapa
mikrometer hingga milimeter (Anal & Singh, 2007).
Enkapsulasi secara alami dapat terjadi ketika sel bakteri tumbuh dan
menghasilkan ekso-polisakarida. Sel mikroba terperangkap dalam sekret yang
dihasilkannya sebagai struktur pelindung atau kapsul sehingga mikroba tidak
langsung terpapar dengan faktor lingkungan. Banyak bakteri asam laktat yang
mampu mensintesis ekso-polisakarida tetapi dalam kondisi yang tidak mencukupi
untuk menyalut sel mikroba tersebut secara keseluruhan (Shah, 2000).
Keberhasilan teknik enkapsulasi sangat bergantung pada pemilihan metode
enkapsulasi dan jenis bahan pengkapsul yang digunakan. Beberapa parameter
kualitatif dapat digunakan untuk mengevaluasi keefektifan dari bahan dan teknik
enkapsulasi yang digunakan untuk menghasilkan probiotik terenkapsulasi,
diantaranya sifat mikrogeometri mikrokapsul (bentuk dan ukuran), viabilitas sel

Universitas Sumatera Utara


8

probiotik selama proses enkapsulasi dan pengeringan, pembuatan produk dan
penyimpanan, ketahanannya dalam kondisi saluran pencernaan, seta kemampuan
sel untuk release ke lingkungan target (Krasaekoopt et al. 2003; Mortazavian et
al. 2007).

2.5. Teknik Ekstruksi
Metode yang paling umum dalam enkapsulasi

bakteri probiotik adalah

penyalutan dalam bentuk matriks gel dengan teknik ekstrusi atau emulsi
(menggunakan mekanisme pembentukan gel ionotrofik), spray drying, spray
chilling dan freeze drying (Nag, 2011). Metode lainnya adalah koaservasi,
liposom, molekuler inklusi, fluidized bed coating, sentrifugal suspension
separation, liofilisasi, ko-kristalisasi (Champagne & Futsier, 2007; Poshadri &
Kuna, 2010).
Teknik ekstrusi merupakan salah satu teknik paling umum untuk
memproduksi kapsul hidrokoloid. Metode ini juga dikenal sebagai metode tetesan

(droplet method) dan mampu mempertahankan viabilitas probiotik hingga 95%
(Feucht & Kwak, 2013). Teknik ekstrusi dilakukan dengan cara menambahkan
mikroorganisme probiotik ke dalam larutan hidrokoloid natrium alginat,
kemudian diteteskan ke dalam larutan pengeras (CaCl2) menggunakan syringe
sehingga terbentuk beads (Krasaekoopt et al. 2003). Diameter beads yang
dihasilkan berkisar 0,3-3 mm. Ukuran dan bentuk beads bergantung pada
diameter jarum dan jarak tetes jarum dengan larutan CaCl2 serta konsentrasi
hidrokoloid dan larutan pengeras yang digunakan (Anal & Singh, 2007). Metode
ini lebih populer karena kemudahannya, sederhana, biaya yang dibutuhkan lebih
rendah dan mampu menjaga viabilitas sel (Krasaekoopt et al. 2003; Mortazavian
et al. 2007). Selain itu, melalui teknik ekstrusi dapat dihasilkan bentuk beads yang
lebih seragam bila dibandingkan dengan teknik emulsi (Nazzaro et al. 2012).
Beads yang dihasilkan dengan teknik ekstrusi masih berbentuk jel dan
diperlukan proses pengeringan lanjutan untuk mendapatkan bentuk kering. Pada
tahap pengeringan, untuk mendapatkan sel terenkapsulasi berbentuk serbuk atau
granul dapat dilakukan dengan beberapa teknik, yaitu pengering beku (freeze
drying) (Sultana et al. 2000, Capela et al. 2006) dan pengering semprot (spray

Universitas Sumatera Utara


9

drying) (Lian et al. 2003, Picot & Lacroix, 2004). Namun, penggunaan teknik
freeze drying relatif mahal dan sangat sulit diaplikasikan pada skala industri
(Mortazavian et al. 2007), sedangkan penggunaan teknik spray drying
membutuhkan suhu operasi yang tinggi sehingga kurang cocok diaplikasikan
untuk

enkapsulasi

probiotik

(Kailasapathy,

2002).

Proses

pengeringan


lainnyadapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu menggunakan hot air
oven, vaccum dryer, atau microwave. Diantara metode tersebut, hot air oven
merupakan metode yang sederhana dan mudah untuk diaplikasikan.

2.6. Bahan Enkapsulan
Salah satu tahapan tepenting dalam teknik enkapsulasi adalah pemilihan bahan
pengkapsul (enkapsulan) yang tepat, yang dapat membentuk lapisan (film) yang
tipis sehingga mampu melepaskan (release) material inti dalam lingkungan target
dan melindungi material inti dari kerusakan. Material tersebut juga harus stabil
selama melewati saluran pencernaan inang, masa pemprosesan, dan penyimpanan
(Kailasapathy, 2002; Mortazavian et al. 2007).
Bahan enkapsulan dapat dipilih dari berbagai polimer alami ataupun
sintetis. Polimer yang biasa digunakan dalam proses enkapsulasi bakteri probiotik
adalah polisakarida yang diekstrak dari rumput laut (karagenaan dan alginat),
tumbuhan (pati dan turunannya, gum arab), bakteri (gellan dan xanthan), protein
hewan (kasein, whey, skim, gelatin) dan kitosan (Shah, 2000; Chavarri et al.
2010). Penggunaan bahan untuk enkapsulasi perlu dipertimbangkan, karena
masing-masing bahan mempunyai karakter yang berbeda dan belum tentu cocok
dengan bahan inti yang akan dienkapsulasi (Desmond et al. 2002).

2.6.1. Alginat
Alginat adalah heteropolisakarida yang diekstrak dari berbagai jenis alga, dengan
dua unit struktural terdiri dari asam D-mannuronat dan L-guloronat (Sheu &
Marshall, 1993). Alginat yang tersedia secara komersial adalah dalam bentuk
garamnya yaitu natrium alginat. Pada teknik enkaspulasi, gel kalsium alginat
(beads) terbentuk setelah larutan natrium alginat diteteskan ke dalam larutan

Universitas Sumatera Utara

10

CaCl2, karena ikatan silang yang terbentuk antara anion karboksilat (COO-) dari
monomer alginat dan kation divalen (Ca2+) (McNeely & Pettit, 1973).
Kalsium alginat telah banyak digunakan dalam teknik enkapsulasi bakteri
probiotik, umumnya pada konsentrasi berkisar 0,5-4%. Keuntungan penggunaan
alginat sebagai bahan pengkapsul adalah mampu membentuk matriks gel dan
menjerat bakteri dengan mudah, non-toksik, murah, mudah digunakan dan dapat
melepaskan (releasing) bakteri (Mortazavian et al. 2007; Kailasapathy, 2002).

2.6.2. Susu Skim
Susu skim adalah susu tanpa lemak yang dibuat dengan menghilangkan sebagian
besar air dan lemak yang terdapat dalam susu. Susu skim diperoleh dari
pemisahan susu menjadi skim dan krim. Susu skim mengandung semua
komponen gizi dalam susu yang tidak dipisahkan, kecuali lemak dan vitaminvitamin yang larut dalam lemak (Buckle et al. 1987).
Susu skim telah terbukti menjadi bahan pelindung yang kuat untuk
menjaga viabilitas sel selama proses pengeringan (Hsio et al. 2004; Fu & Chen,
2011). Beberapa studi menunjukkan bahwa efisiensi dari matriks berbahan produk
susu dalam menjaga viabilitas sel selama proses pengeringan berhubungan dengan
komponen yang tersedia dalam susu seperti laktosa. Selama proses pengurangan
kadar air, laktosa berinteraksi dengan gugus polar dari fosfolipid dan protein dari
membran sel, sehingga meminimalisir kerusakan membran sel selama proses
pengeringan dan memperpanjang masa simpan (Crowe et al. 2002; Ananta et al.
2005). Penggunaan bahan pengkapsul berbasis protein susu dikarenakan sifatnya
yang dapat membentuk gel (protein hidrogel). Protein susu merupakan penyusun
terbesar pada susu skim. Protein susu dapat digolongkan menjadi dua bagian,
yaitu kasein dan whey, yang stabil pada suhu tinggi. Keuntungan dari penggunaan
protein susu sebagai hidrogel untuk bahan enkapsulasi adalah mampu melindungi
bakteri terhadap panas (thermoprotectan) (Maciel et al. 2014).

Universitas Sumatera Utara