Prevalensi Diabetes Mellitus Dan Hipertensi Pada Gagal Ginjal Kronik Stage 5 Yang Menjalani Hemodialisis Di Klinik Rasyida Medan Tahun 2011
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Prevalensi
Prevalensi adalah bagian dari studi epidemiologi yang membawa
pengertian jumlah orang dalam populasi yang mengalami penyakit, gangguan atau
kondisi tertentu pada suatu tempoh waktu dihubungkan dengan besar populasi
dari mana kasus itu berasal. Prevalensi sepadan dengan insidensi dan tanpa
insidensi penyakit maka tidak akan ada prevalensi penyakit. Insidensi merupakan
jumlah kasus baru suatu penyakit yang muncul dalam satu periode waktu
dibandingkan dengan unit populasi tertentu dalam periode tertentu. Insidensi
memberitahukan tentang kejadian kasus baru. Prevalensi memberitahukan tentang
derajat penyakit yang berlangsung dalam populasi pada satu titik waktu
(Timmereck, 2001). Dalam hal ini prevalensi setara dengan insidensi dikalikan
dengan rata-rata durasi kasus (Lilienfeld dan Lilienfeld, 2001 dalam Timmereck,
2001).
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prevalensi. Faktor-faktor
tersebut adalah:
a) Kasus baru yang dijumpai pada populasi sehingga angka insidensi
meningkat.
b) Durasi penyakit.
c) Intervensi dan perlakuan yang mempunyai efek pada prevalensi.
d) Jumlah populasi yang sehat.
2.2 Diabetes Melitus
2.2.1 Definisi
Diabetes melitus ditandai oleh kadar glukosa yang meningkat secara
kronis. Kadar glukosa darah puasa pada berbagai keadaan adalah sebagai berikut:
diabetes ≥ 7,0 mmol/L, toleransi glukosa terganggu (impaired glucose tolerance)
6-7 mmol/L, normal < 6 mmol/L; kadar glukosa 2 jam setelah pemberian 75 g
Universitas Sumatera Utara
glukosa ke dalam plasma adalah: diabetes
≥ 11,1 mmol/L, toleransi glukosa
terganggu 7.8-11,1 mmol/L; normal < 7,8 mmol/L. (Davey, 2005)
World Health Organization (WHO) telah mengumumkan bahwa
prevalensi diabetes melitus (DM) akan meningkat di seluruh dunia pada milenium
ketiga ini, termasuk negara di Asia Tenggara, di antaranya di Indonesia. Sebagian
besar dan penyakit ini adalab DM tipe 2. Sekitar 40% dan pasien DM terdapat
keterlibatan ginjal, sehingga dapat dipahami bahwa masalah penyakit ginjal
diabetik (PGD) juga akan mengalami peningkatan di era awal abad 21 ini. Pada
dekade ini juga, di banyak negara maju PGD tercatat sebagai komponen terbanyak
dan pasien baru yang menjalani terapi pengganti ginjal. Keadaan yang sama sudah
mulai juga kelihatan Indonesia. (Suwitra, 2006).
2.2.2 Klasifikasi
Klasifikasi DM oleh American Diabetes Association (ADA).
Klasifikasi Etiologis DM (ADA 2006):
1.
DM tipe 1 (destruksi sel beta, biasanya menjurus ke defisiensi insulin
absolut):
2.
-
Autoimun (immune mediated)
-
Idiopatik
DM tipe 2 (biasanya berawal dan resistensi insulin yang predominan
dengan defisiensi insulin relatif menuju ke defek sekresi insulin yang
predominan dengan resistensi insulin)
3.
Diabetes Melitus Gestasional (DMG). (Tjokroprawiro, 2007)
2.2.3 Patogenesis
Kelebihan gula darah memasuki sel glomerulus melalui fasilitasi glucose
transporter (GLUT), terutama GLUT 1, yang mengakibatkan aktivasi beberapa
mekanisme seperti poloy pathway, hexoamine pathway, Protein Kinase C (PKC)
pathway, dan penumpukan zat yang disebut sebagai advanced glycation endproducts (AGEs). Beberapa zat biologis aktif ternyata dapat dijumpai pada
berbagai percobaan, baik in vitro maupun in vivo, yang dapat berperan penting
dalam pertumbuhan sel, diferensiasi sel, dan sintesis bahan matriks ekstraselular.
Diantara zat ini adalah mitogen activated protein kinases (MAPKs), PKC-13
Universitas Sumatera Utara
isoform dan extracellular regulated protein kinase (ERK). Ditemukannya zat yang
mampu menghambat aktivitas zat zat tersebut telah terbukti mengurangi akibat
yang timbul, seperti mencegah peningkatan derajat albuminuria dan derajat
kerusakan struktural berupa penumpukan matriks mesangial. Kemungkinan besar
perubahan ini diakibatkan penurunan ekspresi transforming growth factor-f3
(TGF-) dan penurunan extra-cellular matrix (ECM). Peran TGF- dalam
perkembangan nefropati diabetik ini telah ditunjukkan pula oleh berbagai peneliti,
bahwa kadar zat ini meningkat pada ginjal pasien diabetes. Berbagai proses di atas
dipercaya bukan saja berperan dalam terbentuknya nefropati pada pasien DM
akan tetapi juga dalam progresifitasnya menuju tahap lanjutan. (Suwitra, 2006).
2.2.4 Diagnosis dan Gejala Klinis
Gejala klinis DM yang kiasik: mula-mula polifagi, polidipsi, poliuri, dan
berat badan naik (Fase Kompensasi). Apabila keadaan ini tidak segera diobati,
maka akan timbul gejala Fase Dekompensasi (“Dekompensasi Pankreas”), yang
disebut gejala klasik DM, yaitu poliuria, polidipsi, dan berat badan turun. Ketiga
gejala kiasik tersebut di atas disebut pula “TRIAS STNDROM DIABETES
AKUT” (poliuri, polidipsi, berat badan menurun) bahkan apabila tidak segera
diobati dapat disusul dengan mual-muntah dan Ketoasidosis Diabetik.
(Tjokroprawiro, 2007)
Langkah-langkah diagnostik DM dan TGT Pemeriksaan penyaring perlu
dilakukan pada kelompok tersebut di bawah ini (Committee Report ADA-2 006):
(Tjokroprawiro, 2007)
1.
Kelompok usia dewasa tua (> 45 tahun)
2.
Obesitas BB (kg) > 110% BB ideal atau IMT > 25 (kg/rn2).
3.
Tekanan darah tinggi (> 140/90 mmHg)
4.
Riwayat DM dalam garis keturunan
5.
Riwayat keharnilan dengan: BB lahir bayi> 4000 gram atau abortus
berulang
6.
Riwayat DM pada kehamilan
7.
Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau Trigliserida> 250 mg/dl)
Universitas Sumatera Utara
8.
Pernah TGT (toleransi glukosa terganggu) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT)
2.2.5 Terapi dan Pencegahan
Tanda klinik bagi setiap tahap terutama adalah hiperglikemia, hipertensi,
dan selalu dijumpai hiperlipidemia. Keseluruhan tanda klinik ini sekaligus
merupakan faktor risiko untuk progresivitas ke tahap berikutnya sampai ke tahap
akhir. Faktor risiko lainnya adalah konsumsi rokok. Dengan demikian maka terapi
di tiap tahapan pada umumnya sama dan adalah juga merupakan tindakan
pencegahan untuk memperlambat progresivitas dimaksud. Terapi dasar adalah
kendali kadar gula darah, kendali tekanan darah dan kendali lemak darah. Di
samping itu perlu pula dilakukan upaya mengubah gaya hidup seperti pengaturan
diet, menurunkan berat badan bila berlebih, latihan fisik, menghentikan kebiasaan
merokok, dll, juga tindakan preventif terhadap penyakit kardiovaskular. (Suwitra,
2006).
a. Pengendalian Kadar Gula Darah
Berbagai penelitian klinik jangka panjang (5-7 tahun), dengan melibatkan
ribuan pasien telah menunjukkan bahwa pengendalian kadar gula darah secara
intensif akan mencegah progresivitas dan mencegah timbulnya penyulit
kardiovaskular, baik pada pasien DM Tipe 1 maupun DM Tipe 2. Oleh karena itu
perlu sekali diupayakan agar terapi ini dilaksanakan sesegera mungkin. Yang
dimaksud dengan pengendalian secara intensif adalah pencapaian kadar HbAIc
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Prevalensi
Prevalensi adalah bagian dari studi epidemiologi yang membawa
pengertian jumlah orang dalam populasi yang mengalami penyakit, gangguan atau
kondisi tertentu pada suatu tempoh waktu dihubungkan dengan besar populasi
dari mana kasus itu berasal. Prevalensi sepadan dengan insidensi dan tanpa
insidensi penyakit maka tidak akan ada prevalensi penyakit. Insidensi merupakan
jumlah kasus baru suatu penyakit yang muncul dalam satu periode waktu
dibandingkan dengan unit populasi tertentu dalam periode tertentu. Insidensi
memberitahukan tentang kejadian kasus baru. Prevalensi memberitahukan tentang
derajat penyakit yang berlangsung dalam populasi pada satu titik waktu
(Timmereck, 2001). Dalam hal ini prevalensi setara dengan insidensi dikalikan
dengan rata-rata durasi kasus (Lilienfeld dan Lilienfeld, 2001 dalam Timmereck,
2001).
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prevalensi. Faktor-faktor
tersebut adalah:
a) Kasus baru yang dijumpai pada populasi sehingga angka insidensi
meningkat.
b) Durasi penyakit.
c) Intervensi dan perlakuan yang mempunyai efek pada prevalensi.
d) Jumlah populasi yang sehat.
2.2 Diabetes Melitus
2.2.1 Definisi
Diabetes melitus ditandai oleh kadar glukosa yang meningkat secara
kronis. Kadar glukosa darah puasa pada berbagai keadaan adalah sebagai berikut:
diabetes ≥ 7,0 mmol/L, toleransi glukosa terganggu (impaired glucose tolerance)
6-7 mmol/L, normal < 6 mmol/L; kadar glukosa 2 jam setelah pemberian 75 g
Universitas Sumatera Utara
glukosa ke dalam plasma adalah: diabetes
≥ 11,1 mmol/L, toleransi glukosa
terganggu 7.8-11,1 mmol/L; normal < 7,8 mmol/L. (Davey, 2005)
World Health Organization (WHO) telah mengumumkan bahwa
prevalensi diabetes melitus (DM) akan meningkat di seluruh dunia pada milenium
ketiga ini, termasuk negara di Asia Tenggara, di antaranya di Indonesia. Sebagian
besar dan penyakit ini adalab DM tipe 2. Sekitar 40% dan pasien DM terdapat
keterlibatan ginjal, sehingga dapat dipahami bahwa masalah penyakit ginjal
diabetik (PGD) juga akan mengalami peningkatan di era awal abad 21 ini. Pada
dekade ini juga, di banyak negara maju PGD tercatat sebagai komponen terbanyak
dan pasien baru yang menjalani terapi pengganti ginjal. Keadaan yang sama sudah
mulai juga kelihatan Indonesia. (Suwitra, 2006).
2.2.2 Klasifikasi
Klasifikasi DM oleh American Diabetes Association (ADA).
Klasifikasi Etiologis DM (ADA 2006):
1.
DM tipe 1 (destruksi sel beta, biasanya menjurus ke defisiensi insulin
absolut):
2.
-
Autoimun (immune mediated)
-
Idiopatik
DM tipe 2 (biasanya berawal dan resistensi insulin yang predominan
dengan defisiensi insulin relatif menuju ke defek sekresi insulin yang
predominan dengan resistensi insulin)
3.
Diabetes Melitus Gestasional (DMG). (Tjokroprawiro, 2007)
2.2.3 Patogenesis
Kelebihan gula darah memasuki sel glomerulus melalui fasilitasi glucose
transporter (GLUT), terutama GLUT 1, yang mengakibatkan aktivasi beberapa
mekanisme seperti poloy pathway, hexoamine pathway, Protein Kinase C (PKC)
pathway, dan penumpukan zat yang disebut sebagai advanced glycation endproducts (AGEs). Beberapa zat biologis aktif ternyata dapat dijumpai pada
berbagai percobaan, baik in vitro maupun in vivo, yang dapat berperan penting
dalam pertumbuhan sel, diferensiasi sel, dan sintesis bahan matriks ekstraselular.
Diantara zat ini adalah mitogen activated protein kinases (MAPKs), PKC-13
Universitas Sumatera Utara
isoform dan extracellular regulated protein kinase (ERK). Ditemukannya zat yang
mampu menghambat aktivitas zat zat tersebut telah terbukti mengurangi akibat
yang timbul, seperti mencegah peningkatan derajat albuminuria dan derajat
kerusakan struktural berupa penumpukan matriks mesangial. Kemungkinan besar
perubahan ini diakibatkan penurunan ekspresi transforming growth factor-f3
(TGF-) dan penurunan extra-cellular matrix (ECM). Peran TGF- dalam
perkembangan nefropati diabetik ini telah ditunjukkan pula oleh berbagai peneliti,
bahwa kadar zat ini meningkat pada ginjal pasien diabetes. Berbagai proses di atas
dipercaya bukan saja berperan dalam terbentuknya nefropati pada pasien DM
akan tetapi juga dalam progresifitasnya menuju tahap lanjutan. (Suwitra, 2006).
2.2.4 Diagnosis dan Gejala Klinis
Gejala klinis DM yang kiasik: mula-mula polifagi, polidipsi, poliuri, dan
berat badan naik (Fase Kompensasi). Apabila keadaan ini tidak segera diobati,
maka akan timbul gejala Fase Dekompensasi (“Dekompensasi Pankreas”), yang
disebut gejala klasik DM, yaitu poliuria, polidipsi, dan berat badan turun. Ketiga
gejala kiasik tersebut di atas disebut pula “TRIAS STNDROM DIABETES
AKUT” (poliuri, polidipsi, berat badan menurun) bahkan apabila tidak segera
diobati dapat disusul dengan mual-muntah dan Ketoasidosis Diabetik.
(Tjokroprawiro, 2007)
Langkah-langkah diagnostik DM dan TGT Pemeriksaan penyaring perlu
dilakukan pada kelompok tersebut di bawah ini (Committee Report ADA-2 006):
(Tjokroprawiro, 2007)
1.
Kelompok usia dewasa tua (> 45 tahun)
2.
Obesitas BB (kg) > 110% BB ideal atau IMT > 25 (kg/rn2).
3.
Tekanan darah tinggi (> 140/90 mmHg)
4.
Riwayat DM dalam garis keturunan
5.
Riwayat keharnilan dengan: BB lahir bayi> 4000 gram atau abortus
berulang
6.
Riwayat DM pada kehamilan
7.
Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau Trigliserida> 250 mg/dl)
Universitas Sumatera Utara
8.
Pernah TGT (toleransi glukosa terganggu) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT)
2.2.5 Terapi dan Pencegahan
Tanda klinik bagi setiap tahap terutama adalah hiperglikemia, hipertensi,
dan selalu dijumpai hiperlipidemia. Keseluruhan tanda klinik ini sekaligus
merupakan faktor risiko untuk progresivitas ke tahap berikutnya sampai ke tahap
akhir. Faktor risiko lainnya adalah konsumsi rokok. Dengan demikian maka terapi
di tiap tahapan pada umumnya sama dan adalah juga merupakan tindakan
pencegahan untuk memperlambat progresivitas dimaksud. Terapi dasar adalah
kendali kadar gula darah, kendali tekanan darah dan kendali lemak darah. Di
samping itu perlu pula dilakukan upaya mengubah gaya hidup seperti pengaturan
diet, menurunkan berat badan bila berlebih, latihan fisik, menghentikan kebiasaan
merokok, dll, juga tindakan preventif terhadap penyakit kardiovaskular. (Suwitra,
2006).
a. Pengendalian Kadar Gula Darah
Berbagai penelitian klinik jangka panjang (5-7 tahun), dengan melibatkan
ribuan pasien telah menunjukkan bahwa pengendalian kadar gula darah secara
intensif akan mencegah progresivitas dan mencegah timbulnya penyulit
kardiovaskular, baik pada pasien DM Tipe 1 maupun DM Tipe 2. Oleh karena itu
perlu sekali diupayakan agar terapi ini dilaksanakan sesegera mungkin. Yang
dimaksud dengan pengendalian secara intensif adalah pencapaian kadar HbAIc