Dakwaan Batal Demi Hukum Setelah Pemeriksaan Pokok Perkara Dalam Sidang Pengadilan (Studi Putusan Nomor 19 Pid.Sus 2015 PN.Sim)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Putusan batal demi hukum adalah suatu putusan yang memiliki akibat hukum
yaitu dianggap tidak pernah ada (never existed) dari sejak semula, atau putusan itu
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sejak semula putusan itu dijatuhkan sama
sekali tidak memiliki daya eksekusi atau tidak dapat dilaksanakan. 1 Masalahnya
adalah dapatkah surat dakwaan diputuskan oleh majelis hakim batal demi hukum
dalam putusan akhir atau setelah pemeriksaan pokok perkara?
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mendefenisikan
tentang dakwaan, tetapi dakwaan adalah sebagai dasar dari hukum acara pidana dan
berdasarkan dakwaan itu pemeriksaan persidangan dapat dilakukan. 2 Surat dakwaan
dibuat oleh Penuntut Umum (JPU) berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
pendahuluan yang dilakukan oleh penyidik. Semua informasi mengenai fakta-fakta
delik terhimpun di dalam berkas perkara (case dosier) tersebut. 3 Hakim pada
prinsipnya tidak dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa jika perbuatan tersebut
tidak didakwakan oleh JPU dalam surat dakwaannya sebagaimana ketentuan di dalam
1

http://yusril.ihzamahendra.com/2012/05/17/pendapat-hukum-terhadap-putusan-batal-demihukum/, diakses tanggal 8 Agustus 2015, Artikel yang ditulis oleh Yusril Ihza Mahendra, judul

“Pendapat Hukum Terhadap Putusan Batal Demi Hukum”, dipublikasikan di website
yusril.ihzamahendra,com, tanggal 15 Mei 2012.
2
Lilik Mulyadi (I), Hukum Acara Pidana, Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan,
Eksepsi dan Putusan Peradilan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 39.
3
M.L. Hc. Hulsman disadur oleh Soedjono Dirdjosisworo, Sistem Peradilan Pidana Dalam
Perspektif Perbandingan Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1984), hal. 149-150.

Universitas Sumatera Utara

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 321 K/Pid/1983 Tanggal 26
Mei 1984. 4
Permasalahan ini menjadi sangat menarik karena dalam praktik biasa terjadi
dimana hakim memutus suatu dakwaan menjadi batal demi hukum baik sebelum
maupun sesudah dilakukan pemeriksaan pokok perkara atau setelah dilakukan
pemeriksaan alat-alat bukti dan pembacaan tuntutan oleh penuntut umum. 5 Hakim
yang membatalkan dakwaan pada pemeriksaan pendahuluan sudah diatur di dalam
Pasal 143 ayat (1), (2), (3), dan Pasal 156 ayat (1) KUHAP 6, sedangkan untuk
pembatalan dakwaan oleh hakim setelah pemeriksaan pokok perkara belum diatur

dengan jelas dan tegas di dalam KUHAP melainkan masih kelihatan samar-samar.
Gambaran masalahnya sebagaimana diketahui terkait prosedur hukum acara
setelah dakwaan dibacakan, dimana hakim kemudian menanyakan kepada
terdakwa/penasehat hukumnya mengenai dakwaan tersebut (vide: Pasal 155 ayat (2)
huruf b KUHAP), kemudian terdakwa/penasehat hukumnya dapat mengajukan
keberatan atas dakwaan dalam bentuk “pengadilan tidak berwenang mengadili” atau
“dakwaan tidak dapat diterima” atau “surat dakwaan harus dibatalkan” 7 (vide: Pasal
156 ayat (1) KUHAP), artinya keberatan-keberatan itu harus diajukan oleh terdakwa
di sidang pengadilan setelah dakwaan dibacakan. Ketiga macam keberatan tersebut,

4

Lilik Mulyadi (I), Loc. cit.
Matteus A. Rogahang, “Suatu Study Tentang Akibat Hukum Dari Surat Dakwaan Kabur
Dalam Perkara Pidana”, Jurnal Lex Crimen Vol.I/No.4/Okt-Des/2012, hal. 111.
6
M. Yahya Harahap (I), Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal.
358.
7

Lilik Mulyadi (I), Op. cit., hal. 93.
5

Universitas Sumatera Utara

baik terdakwa maupun penasehat hukumnya, dapat mengajukan salah satunya atau
ketiga macam keberatan tersebut sekaligus, asalkan ada relevansi dan dasar
hukumnya terhadap surat dakwaan. 8
Kemudian setelah mendengar pendapat dari penuntut umum, hakim
seharusnya mempertimbangkan keberatan itu untuk selanjutnya mengambil
“keputusan” (vide: redaksional Pasal 156 ayat (1) KUHAP) dan keputusan atas
keberatan tersebut dapat berakibat perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, jika
keberatan “diterima”, atau sidang dilanjutkan jika keberatan “tidak diterima” atau
hakim berpendapat “hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan”
(vide: Pasal 156 ayat (2) KUHAP).
Ketentuan yang diatur dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP tersebut adalah
tentang “pengadilan tidak berwenang mengadili” atau “dakwaan tidak dapat diterima”
atau “surat dakwaan harus dibatalkan”. Alur proses penanganan perkara seperti yang
digambarkan di atas adalah hal yang lazim dan biasa terjadi, akan tetapi lain halnya
ketika muncul bentuk penyelesaian perkara bila terdakwa tidak mengajukan

eksepsi/keberatan atas dakwaan, saat/setelah memeriksa alat bukti, hakim
menemukan ketidakberesan dakwaan yang dapat membatalkan dakwaan, masalahnya
bisakah hakim membuat putusan pembatalan atas dakwaan setelah pemeriksaan
pokok perkara dilakukan?
Masalah ketidakwenangan mengadili menjadi hal yang mudah dijawab karena
sudah jelas ditentukan dalam KUHAP terkait ketidakberesan dakwaan dalam bentuk
8

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

“ketidakwenangan hakim pengadilan”. Sesuai Pasal 156 ayat (7) KUHAP, hakim
ketua sidang karena jabatannya walaupun tidak ada perlawanan, setelah mendengar
pendapat dari JPU dan terdakwa dengan surat penetapan yang memuat alasannya
dapat

menyatakan

pengadilan


tidak

berwenang.

Jika

hakim

menemukan

ketidakbenaran dakwaan yang berakibat tidak berwenangnya pengadilan maka hakim
tersebut dapat memutuskannya.
Contoh pada saat dakwaan dibacakan tidak ada eksepsi/keberatan dari
terdakwa/penasehat hukumnya mengenai locus delicti tindak pidananya, akan tetapi
setelah memeriksa alat bukti: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan
keterangan terdakwa 9, ternyata locus delicti-nya terjadi di luar yuridiksi pengadilan
yang memeriksa, maka dengan demikian hakim tersebut dapat menyatakan tidak
berwenang


mengadili

perkara

tersebut

meskipun

tidak

ada

eksepsi

dari

terdakwa/penasehat hukumnya. 10
Ketidakwenangan mengadili harus diputuskan/ditetapkan sebelum pengajuan
tuntutan untuk mencegah terdakwa dituntut dua kali untuk perkara yang sama, lagi
pula telah diatur dasar hukumnya di dalam Pasal 156 ayat (2) jo Pasal 182 ayat (1)

huruf 1 a KUHAP. Pasal 156 ayat (2) KUHAP menentukan: “Jika hakim menyatakan
keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, sebaliknya
dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus

9

Pasal 184 ayat (1) KUHAP.
http://guseprayudi.blogspot.com/2014/09/dapatkah-putusan-akhir-berisi.html,
diakses
tanggal 6 Agustus 2015, artikel yang ditulis oleh Guse Prayudi berjudul “Dapatkah putusan akhir berisi
pembatalan dakwaan?”, dipublikasikan di blogspot.com, tanggal 3 September 2014.
10

Universitas Sumatera Utara

setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan”. Pasal 182 ayat (1) huruf 1 a
KUHAP menentukan: “Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum
mengajukan tuntutan pidana”.
Bagaimana jika hakim setelah memeriksa alat bukti ternyata menemukan
bahwa dakwaan tersebut harus dibatalkan, apa langkah yang bisa diambil oleh hakim

tersebut? Apakah bisa memutuskannya dalam putusan akhir? Bukankah KUHAP
mengatur putusan akhir itu hanya dalam bentuk putusan pemidanaan (dihukum) dan
putusan bukan pemidanaan (bebas atau lepas dari tuntutan hukum) 11 sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 angka 11 KUHAP, Pasal 191 ayat (1) dan (2) KUHAP, Pasal
194 ayat (1) KUHAP, Pasal 197 ayat (1) KUHAP, Pasal 199 ayat (1) huruf b
KUHAP, dan Pasal 222 ayat (1) KUHAP.
KUHAP telah mengatur mengenai suatu putusan akhir dinyatakan batal demi
hukum 12, namun untuk pembatalan surat dakwaan setelah pemeriksaan pokok perkara
tidak diatur dalam KUHAP. KUHAP tidak mengatur secara tegas mengenai
pembatalan dakwaan setelah pemeriksaan pokok perkara atau setelah tuntutan
dibacakan, akan tetapi jika membaca redaksional Pasal 156 ayat (2) KUHAP yakni
“Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa
11

Pasal 191 ayat (1) dan (2) KUHAP. Lihat juga: P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum
Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 2011), hal. 184-185. Apabila dalam suatu pasal secara
nyata terdapat unsur melawan hukum, maka penuntut umum harus membuktikan unsur tersebut, jika
unsur tersebut tidak terbukti maka putusannya vrijspraak atau putusan bebas. Sedangkan, jika unsur
melawan hukum tidak secara tegas merupakan unsur dari suatu tindak pidana maka tidak terbuktinya
unsur tersebut menyebabkan putusannya lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van

rechtverfolging).
12
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt500d17ccd58cb/menguji-putusan-batal-demihukum, diakses tanggal 6 Agustus 2015, Artikel berudul “Menguji Putusan Batal Demi Hukum”,
dipublikasikan di website hukumonline.com, tanggal 23 Juli 2012.

Universitas Sumatera Utara

lebih lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut
baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan”. Penekanan
redaksional itu tepatnya dalam hal “…baru dapat diputus setelah selesai
pemeriksaan…”. Dari ketentuan ini berarti KUHAP memberikan sarana yuridis bagi
hakim untuk memutuskan batal demi hukum atau tidak batalnya suatu dakwaan
setelah pemeriksaan pokok perkara selesai, hal yang sama juga berlaku jika dakwaan
tidak dapat diterima.
Menurut M. Yahya Harahap, majelis hakim lebih baik memeriksa dulu
perkaranya secara keseluruhan untuk menjaga cara penilaian yang lebih objektif,13
sehingga dengan adanya pemeriksaan itu hakim akan lebih objektif menilai, apakah
dakwaan itu terang atau tidak, sehingga dapat dibatalkan atau tidak 14, karena suatu
dakwaan harus memiliki patokan agar tidak merugikan hak-hak terdakwa dan
terdakwa dapat mempersiapkan pembelaannya sebelum perkara tersebut diputuskan

dalam putusan akhir.
Pertanyaannya lagi adalah kapan suatu pemeriksaan pendahuluan dinyatakan
selesai? Bila membaca aturan Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP yang menegaskan:
“Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan
pidana”. Berarti selesainya pemeriksaan pendahuluan adalah setelah proses
pemeriksaan alat bukti, dan sebelum pengajuan tuntutan pidana. Sedangkan jika telah
ada pengajuan tuntutan, pembelaan dan jawaban atas pembelaan, KUHAP
13

M. Yahya Harahap (II), Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan
dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 394.
14
Matteus A. Rogahang, Op. cit., hal. 121.

Universitas Sumatera Utara

menamakannya dengan “pemeriksaan dinyatakan ditutup” (vide: Pasal 182 ayat (2)
KUHAP) berarti pemeriksaan pokok perkara telah selesai.
Berdasarkan uraian tersebut di atas pandangan ini menyatakan bahwa setelah
pemeriksaan pendahuluan dinyatakan selesai, hakim masih dapat memutus suatu

dakwaan batal demi hukum, akan tetapi Pasal 156 ayat (2) jo Pasal 182 ayat (2)
KUHAP mensyaratkannya dengan tegas harus dilakukan sebelum pengajuan
tuntutan, bukan setelah tuntutan dibacakan sebagaimana yang terdapat di dalam
Putusan Pengadilan Negeri Simalungun Nomor: 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim.
Ruang lingkup Pasal 156 KUHAP terkait dengan keberatan/eksepsi dari
terdakwa dapat dilakukan jika sebelumnya ada keberatan/eksepsi dari terdakwa.
Bagaimana penyelesaiannya jika sebelumnya tidak ada keberatan/eksepsi dari
terdakwa mengenai hal tersebut sebagaimana yang terdapat dalam Putusan
Pengadilan Negeri Simalungun Nomor: 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim?
Penyelesaian ini berpulang kepada penafsiran hakim, mau menganalogikan
ketentuan Pasal 156 ayat (2) KUHAP berlaku meskipun tidak ada keberatan
sebelumnya dari terdakwa atau tidak. Perlu diingat bahwa hakim hanya diberikan
kewenangan memutus secara ex officio (meskipun tanpa ada keberatan dari terdakwa)
hanya dalam hal menyatakan pengadilan tidak berwenang (vide: Pasal 156 ayat 7
KUHAP).
Bila memperhatikan praktek peradilan tentang aturan hukum acara, contoh
tentang berwenangnya JPU mengajukan Peninjauan Kembali (PK) padahal menurut
Pasal 263 ayat (1) KUHAP tegas mengatur yang dapat mengajukan PK hanya

Universitas Sumatera Utara

terpidana atau ahli warisnya, menunjukkan aturan hukum acara bukanlah sesuatu
yang statis (kaku), dihubungkan pula dengan asas keadilan dan kemanfaatan, terasa
sungguh tidak adil dan tidak bermanfaat jika hakim ”terbelenggu” untuk tidak bisa
berbuat apa-apa jika saat/setelah memeriksa alat bukti menemukan indikasi dakwaan
harus dibatalkan demi hukum atau dakwaan harus tidak dapat diterima.
Ada atau tidaknya keberatan/eksepsi sebelumnya dari terdakwa, bukanlah
merupakan suatu belenggu bagi hakim untuk berbuat ketika menemukan
“ketidakberesan suatu dakwaan” (batal demi hukum/tidak dapat diterima) setelah
pemeriksaan alat bukti dan pokok perkara. Sebelum memutuskan dakwaan batal demi
hukum/tidak dapat diterima sebaiknya harus mengikuti prosedur berikut ini: 15
1. Langkah pertama: jika pada saat atau setelah melakukan pemeriksaan alat
bukti (sebelum pengajuan tuntutan) ditemukan indikasi dakwaan seharusnya
batal demi hukum maka hakim harus menyatakannya di persidangan.
2. Langkah kedua: atas pernyataan hakim tersebut, kemudian JPU memberikan
pendapatnya atau keberatan/eksepsi yang dilanjutkan dengan pendapat dari
terdakwa.
3. Langkah ketiga: jika setelah mendengar keberatan/eksepsi tersebut, hakim
tetap memandang dakwaan batal demi hukum maka hakim juga dapat
membuat putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum.
Konstruksi hukum yang pertama adalah Pasal 156 ayat (7) jo Pasal 182 ayat
(1) huruf a KUHAP menjadi dasar argumentasi dalam hal tidak ada keberatan/eksepsi
dari terdakwa tetapi selama proses persidangan hakim menganggap tidak berwenang
untuk mengadili perkara tersebut (absolut/relatif) maka hakim harus menyatakan
tidak berwenang mengadili dan harus dilakukan sebelum adanya pengajuan tuntutan.
15

http://guseprayudi.blogspot.com/2014/09/dapatkah-putusan-akhir-berisi.html,
diakses
tanggal 6 Agustus 2015, artikel yang ditulis oleh Guse Prayudi berjudul “Dapatkah putusan akhir berisi
pembatalan dakwaan?”, dipublikasikan di blogspot.com, tanggal 3 September 2014.

Universitas Sumatera Utara

Konstruksi kedua adalah Pasal 156 ayat (2), jo Pasal 182 ayat (1) huruf a
KUHAP jika ada keberatan maupun tidak ada keberatan sebelumnya, hakim dapat
memutus dakwaan batal demi hukum setelah pemeriksaan pokok perkara dinyatakan
selesai/sebelum tuntutan pidana diajukan.

Sebaiknya sebelum

memutuskan

berdasarkan kedua konstruksi hukum di atas, maka hakim harus mendengar pendapat
dari JPU dan terdakwa/penasehat hukumnya.
Intinya putusan dakwaan batal demi hukum dapat dijatuhkan oleh hakim,
bukan dalam bentuk penetapan. 16 Putusan dakwaan batal demi hukum dapat
dijatuhkan hakim pada 2 (dua) kemungkinan yaitu pada waktu sebelum pemeriksaan
alat bukti dan setelah pemeriksaan alat bukti selesai (sebelum dan setelah
pemeriksaan pokok perkara). Konstruksi hukum yang kedua di atas masih
menimbulkan pertanyaan dan perdebatan dalam praktik dalam hal jika telah ada
tuntutan pidana (pemeriksaan telah ditutup), bagaimana prosedurnya? Ada yang
mengatakan itu merupakan kelalaian hakim itu sendiri dalam menerapkan hukum
acara, dan ada pula yang berpendapat masih dimungkinkan bagi hakim diberikan
ruang untuk membatalkan dakwaan menjadi batal demi hukum.
Menurut M. Yahya Harahap, suatu dakwaan dapat batal demi hukum apabila
dakwaan tersebut tidak merumuskan semua unsur dalil yang didakwakan, atau tidak
merinci secara jelas peran dan perbuatan terdakwa dalam dakwaan, suatu dakwaan
batal demi hukum juga karena dakwaan tersebut kabur (obscuur libel) tidak
16

Wilhelmus Taliak, “Akibat Hukum Surat Dakwaan Batal Dan Surat Dakwaan Dinyatakan
Tidak Dapat Diterima Dalam Perkara Pidana”, Jurnal Lex Crimen Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015, hal.
82.

Universitas Sumatera Utara

dijelaskan cara bagaimana kejahatan/tindak pidana itu dilakukan, tetapi hal ini tidak
diputuskan pada putusan akhir, melainkan dalam putusan sela. 17
Oleh karena itulah Putusan Hakim Pengadilan Negeri Simalungun Nomor:
19/Pid.Sus/2015/PN.Sim dijadikan sebagai studi analisis untuk memberikan
argumentasi hukum (legal reasoning) tentang dakwaan JPU yang dibatalkan hakim
oleh karena ditemukannya perbedaan jumlah uang antara yang diterangkan oleh
terdakwa dan yang disebutkan JPU dalam surat dakwaan. Terdakwa menerangkan
Rikal menyuruhnya membeli sabu-sabu dengan uang patungan masing-masing
Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah) bertentangan dengan uraian dalam dakwaan JPU
yang menyatakan terdakwa disuruh oleh Rikal membeli narkotika jenis sabu-sabu
dengan memberikan uang Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah). Selain itu Rikal juga
tidak dihadirkan di persidangan setelah diperintahkan oleh majelis hakim.
Menurut pendapat M. Yahya Harahap bahwa jika sama sekali tidak ada
keberatan/eksepsi dari terdakwa/penasehat hukumnya atau dari jaksa maka berlaku
prinsip kekuasaan kehakiman. 18 Salah satu upaya untuk menemukan ruang bagi
hakim adalah dengan melihat konsekuensi yuridis dari dakwaan itu sendiri sehingga
suatu dakwaan dapat dibatalkan demi hukum atau tidak dapat diterima dikaitkan
dengan memperhatikan prinsip-prinsip dalam teori sistem hukum.
Hal itu menjadi menarik bila ketentuan KUHAP yang mengatur mengenai
dakwaan batal demi hukum dikaitkan dengan putusan majelis hakim dalam Putusan

17
18

M. Yahya Harahap (I), Op. cit, hal. 359.
Ibid., hal. 392.

Universitas Sumatera Utara

Pengadilan Negeri Simalungun Nomor: 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim terhadap terdakwa
(Ikhsan Fauzi Rangkuti) yang didakwa oleh JPU melakukan penyalahgunaan
narkotika jenis sabu-sabu dengan tuntutan melanggar Pasal 112 ayat (1) UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Menariknya kasus ini karena majelis hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri
Simalungun Nomor: 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim tersebut menjatuhkan putusan akhir
dengan dakwaan batal demi hukum artinya putusan hakim tersebut berisi pembatalan
dakwaan setelah pemeriksaan pokok perkara, padahal bila berpedoman pada Pasal
143 ayat (1), (2), dan (3), serta Pasal 156 ayat (1) KUHAP dakwaan menjadi batal
demi hukum dapat dijatuhkan oleh majelis hakim seharusnya sebelum pemeriksaan
pokok perkara atau saat diajukan eksepsi oleh terdakwa/penasehat hukumnya tentang
dakwaan kabur (obscuur libel) atau berkaitan dengan kewenangan hakim mengadili.
Majelis hakim dalam Putusan Nomor: 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim menafsirkan
ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP dengan berprinsip pada hukum
progresif yang memandang hukum acara tidak mesti dilaksanakan secara kaku
(statis). Hakim dalam perkara ini tidak kaku mempertimbangkan Pasal 143 ayat (2)
huruf b KUHAP dalam membatalkan dakwaan menjadi batal demi hukum sekalipun
tidak ada keberatan/eksepsi dari terdakwa/penasehat hukumnya dan juga tidak
mengenai masalah kewenangan hakim mengadili.
Uraian dalam dakwaan menurut Andi Hamzah sesuai Pasal 143 KUHAP
harus diuraikan secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai delik yang didakwakan

Universitas Sumatera Utara

dengan menyebut waktu dan tempat delik itu dilakukan. 19 Cara menguraikan isi
dalam dakwaan itu menurutnya masih lebih banyak bergantung pada yurisprudensi 20
dan doktrin. Menurut Jonkers yang harus dimuat selain daripada perbuatannya juga
dimuat unsur-unsur tindak pidananya. 21
Dakwaan yang tidak jelas dan tidak cermat serta terkesan menambah sesuatu
yang tidak jelas itu membuka ruang bagi hakim secara lebih luas memberikan
penafsiran, sehingga majelis hakim berpeluang membatalkan dakwaan tersebut.22
Untuk dapat memenuhi syarat formil dan syarat materiil suatu dakwaan, maka
seharusnya terhadap dakwaan harus dilakukan eksaminasi, yaitu penelitian dan
pemeriksaan berkas perkara di semua tingkat penanganan perkara oleh pimpinan
untuk menilai kecakapan dan kemampuan teknis Jaksa/JPU dalam melaksanakan
tugas atau penyelesaian suatu perkara dari sudut teknis yuridis maupun administrasi
negara. 23
Pembatalan dakwaan menjadi batal demi hukum oleh hakim setelah
pemeriksaan pokok perkara ini diputuskan oleh majelis hakim hanya karena atas
nama Rikal yang disebut-sebut dalam dakwaan tersebut adalah orang yang menyuruh
membeli dan memberikan uang sebesar Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) kepada
19

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996), hal. 172.
Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 47/K/Kr/1956 Tanggal 28 Maret 1957.
21
Andi Hamzah (1996), Op. cit. hal. 174
22
Ibid. hal. 177.
23
Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor:
Per-036/A/JA/09/2011 tenggal 21 September 2011 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP)
Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum, (Jakarta: Kejagung RI, 2011), hal. 4 dan hal. 32-33. Pasal
1 angka 11 jo Pasal 49, Pasal 50 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Per036/A/JA/09/2011 tenggal 21 September 2011 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP)
Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum.
20

Universitas Sumatera Utara

terdakwa (Ikhsan Fauzi Rangkuti) tidak dijadikan tersangka/terdakwa ataupun
dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) atau tidak dihadirkan sebagai saksi
dalam persidangan. Tidak dimasukkannya Rikal ke dalam berkas perkara aquo
sedangkan Rikal dalam surat dakwaan disebutkan sebagai orang yang menyuruh
membeli narkotika jenis sabu-sabu bahkan memberikan uang sebesar Rp.100.000,(seratus ribu rupiah) kepada terdakwa sesuai fakta-fakta hukum menurut majelis
hakim telah bertentangan dengan rasa keadilan yang merupakan tujuan dari
penegakan hukum itu sendiri. 24
Pasal 143 ayat (3) KUHAP menentukan, “….Surat dakwaan yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b
KUHAP adalah batal demi hukum”. Sekalipun Rikal bukan lah orang yang didakwa
dalam Dakwaan JPU Nomor Register Perkara: PDM-06/Siant/N.2.24/Ep.3/01.2015
Tertanggal 19 Januari 2015 melainkan adalah terdakwa Ikhsan Fauzi Rangkuti saja,
tetapi majelis hakim memutuskan terhadap dakwaan menjadi batal demi hukum
setelah dilakukan pemeriksaan pokok perkara.
Pasal 143 KUHAP menentukan:
1. Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan
permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat
dakwaan.
2. Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan
ditandatangani serta berisi:
a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka.

24

Putusan Pengadilan Negeri Simalungun Nomor: 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim Tertanggal 23
April 2015, hal. 14.

Universitas Sumatera Utara

b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang
didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu
dilakukan.
3. Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) huruf b batal demi hukum.
4. Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada
tersangka atau kuasanya atau penasehat hukumnya dan penyidik, pada saat
bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke
pengadilan negeri.
Terhadap ketentuan syarat dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP menurut
Lilik Mulyadi adalah merupakan syarat formil sedangkan syarat dalam Pasal 143 ayat
(2) huruf b KUHAP merupakan syarat materiil. 25 Kekurangan syarat formil surat
dakwaan tidak menyebabkan surat dakwaan tersebut batal demi hukum 26, sedangkan
kekurangan syarat materiil surat dakwaan misalnya surat dakwaan tidak jelas dan
terang 27 atau karena surat dakwaan tersebut bertentangan antara satu dengan yang
lainnya mengakibatkan surat dakwaan batal demi hukum (van rechtswege nietig/null
end void). 28 Tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 143 ayat (2)
huruf b KUHAP tentang syarat materiil adalah batal demi hukum. 29
Berdasarkan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP (syarat materiil) tersebut di
atas jelas ditafsirkan oleh majelis hakim berdasarkan konsep kekuasaan kehakiman
secara merdeka, bebas untuk menafsirkan hukum, 30 dan hakim wajib menggali,
mengikuti, serta memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

25

Lilik Mulyadi (I), Op. cit, hal. 41.
Ibid., hal. 42. Lihat juga: Matteus A. Rogahang, Op. cit., hal. 114.
27
Ibid., hal. 44.
28
Ibid., hal. 46.
29
Wilhelmus Taliak, Loc. Cit.
30
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
26

Universitas Sumatera Utara

masyarakat. 31 Majelis hakim dalam perkara aquo mengatakan “Suatu dakwaan batal
demi hukum jika tidak memenuhi syarat materiil surat dakwaan yaitu: dakwaan kabur
(obscuur libel) karena unsur-unsur tindak pidana tidak diuraikan atau terjadi
pencampuran unsur tindak pidana, berisi pertentangan antara satu dengan yang
lainnya. 32 Atas dasar pertimbangan inilah hakim tersebut dikatakan telah menafsirkan
Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP secara bebas dan merdeka sesuai konsep hukum
progresif.
Dikatakan bahwa hakim dalam putusan ini menafsirkan Pasal 143 ayat (2)
huruf b KUHAP secara tidak kaku karena dalam pertimbangannya disebutkan karena
adanya unsur-unsur tindak pidana yang tidak diuraikan atau terjadi pencampuran
unsur tindak pidana, berisi pertentangan antara satu dengan yang lainnya yaitu antara
terdakwa Ikhsan Fauzi Rangkuti dan Rikal.
Terdakwa menerangkan bahwa Rikal menyuruhnya membeli sabu-sabu
dengan uang patungan masing-masing Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah)
bertentangan dengan uraian dalam dakwaan JPU yang menyatakan terdakwa disuruh
oleh Rikal membeli narkotika jenis sabu-sabu dengan memberikan uang Rp.100.000,(seratus ribu rupiah). Dalam hal ini JPU tidak cermat dan jelas membuat surat
dakwaannya.
Cermat adalah ketelitian JPU dalam mempersiapkan surat dakwaan yang
didasarkan kepada undang-undang yang berlaku bagi terdakwa, serta tidak terdapat
31

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Putusan Pengadilan Negeri Simalungun Nomor: 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim Tertanggal 23
April 2015, hal. 13.
32

Universitas Sumatera Utara

kekurangan dan atau kekeliruan yang dapat mengakibatkan batalnya surat dakwaan.
Jelas adalah JPU harus mampu merumuskan unsur-unsur delik yang didakwakan
sekaligus mempadukan dengan uraian perbuatan materiil (fakta) yang di lakukan oleh
terdakwa dalam surat dakwaan. 33 Substansi dakwaan yang tidak jelas dan tidak
cermat mengenai pencantuman pasal juga bisa mengakibatkan dakwaan batal demi
hukum. 34
Meskipun hakim telah memerintahkan kepada JPU untuk menghadirkan orang
yang bernama Rikal ke persidangan untuk didengarkan keterangannya sebagai saksi
dalam perkara aquo agar perkara tersebut menjadi terang benderang untuk menuju
pada kebenaran materiil, namun JPU tidak menghadirkan orang yang bernama Rikal
yang telah diperintahkan oleh majelis hakim tersebut hingga perkara ini diputuskan
majelis hakim menjadi batal demi hukum. Berdasarkan uraian tersebut di atas
menjadi menarik dilakukan penelitian ini dengan menetapkan “Dakwaan Batal Demi
Hukum Setelah Pemeriksaan Pokok Perkara Dalam Sidang Pengadilan (Studi Putusan
Nomor 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim)” sebagai judul tesis dalam penelitian ini.
33

Matteus A. Rogahang, Op. cit., hal. 114.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt531db4b93eefc/hakim-ad-hoc-nyatakandakwaan-susi-batal-demi-hukum, diakses tanggal 7 Agustus 2015, Artikel berjudul “Hakim Ad Hoc
Nyatakan Dakwaan Susi Batal Demi Hukum”, dipublikasikan di website hukumonline.com tanggal 10
Maret 2014. Seperti yang terjadi dalam kasus yang menjerat Susi Tur Andayani dengan Pasal 12 huruf
c UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP karena menerima suap bersama-sama M. Akil Mochtar
dalam penanganan sengketa Pilkada Lebak dan Lampung Selatan. Padahal, peran Susi Tur Andayani
selaku advokat dalam tindak pidana tersebut lebih kepada mewakili kepentingan para pihak yang
berperkara di MK. Peran Susi sebagai medepleger (turut serta) lebih kepada bersama-sama Tubagus
Chaeri Wardana Chasan, Ratu Atut Chosiyah, dan pihak-pihal lain yang memberikan sesuatu atau janji
kepada M. Akil Mochtar selaku hakim MK. Menurut hakim Sofialdi berpendapat, pasal Pasal 12 huruf
c UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tidak dapat diberlakukan untuk Susi yang berkapasitas
sebagai advokat yang mewakili kepentingan para pemberi. Sofialdi menilai, Susi Tur Andayani justru
lebih tepat didakwa dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Tipikor. Dengan demikian dakwaan terhadap
Susi Tur Andayani menjadi batal demi hukum yang diputuskan dalam putusan sela.
34

Universitas Sumatera Utara

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:
1. Mengapa hakim menjatuhkan putusan yang menyatakan surat dakwaan batal
demi hukum setelah pemeriksaan pokok perkara dan pembacaan tuntutan
dikaitkan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku?
2. Apakah dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum dalam Putusan Nomor
19/Pid.Sus/2015/PN.Sim, dapat diajukan kembali bilamana dikaitkan dengan
asas nebis in idem?

C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan memahami dasar hakim menjatuhkan putusan yang
menyatakan surat dakwaan batal demi hukum setelah pemeriksaan pokok
perkara dan pembacaan tuntutan dikaitkan dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis dakwaan yang dinyatakan batal demi
hukum dalam Putusan Nomor 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim., dalam kaitannya
dengan asas nebis in idem.

Universitas Sumatera Utara

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan manfaat, secara teoritis maupun manfaat
praktis, manfaat tersebut adalah:
1. Secara teoritis penelitian ini bermanfaat membuka paradigma berfikir
akademis dalam memahami permasalahan tentang boleh atau tidaknya suatu
dakwaan batal demi hukum dan kriteria suatu dakwaan dapat menjadi batal
demi hukum dikaitkan dengan putusan hakim yang membatalkan dakwaan di
dalam Putusan Nomor 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim.
2. Secara praktis penelitian ini bermanfaat bagi para aparat penegak hukum,
jaksa, advokat, hakim-hakim pengadilan, khususnya bagi JPU dan hakim yang
memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana. Manfaatnya bagi JPU
adalah sebagai masukan agar dapat memperbaiki kesalahannya dalam
membuat dan menyusun rumusan delik dalam dakwaan. Manfaatnya bagi
advokat/penasehat hukum adalah sebagai masukan agar dapat mempersiapkan
diri dalam pembelaan hak-hak kliennya bila suatu dakwaan tidak memenuhi
syarat formil dan materiil. Manfaatnya bagi hakim adalah sebagai masukan
agar tidak menggunakan kewenangan yudisian independen secara bebas tanpa
batas sehingga melanggar prinsip atika dan moral. Bermanfaat pula bagi
masyarakat yaitu agar dapat mengetahui dan memahami persoalan di dalam
hukum acara termasuk kelemahan KUHAP dalam mengatur tentang
pembatalan surat dakwaan.

Universitas Sumatera Utara

E. Keaslian Penelitian
Sebelum penelitian ini dilakukan, terlebih dahulu telah dilakukan penelusuran
terhadap karya-karya ilmiah maupun tesis milik orang lain (mahasiswa) di
perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan di perpustakaan Pascasarjana Ilmu
Hukum Universitas Sumatera Utara. Tujuannya adalah untuk menghindari perbuatan
menduplikasi (plagiat) terhadap karya ilmiah (tesis) milik orang lain. Namun dari
hasil dari penelusuran tersebut tidak menemukan judul maupun permasalahan tesis
yang sama dengan judul dan permasalahan yang ada di dalam penelitian ini.
Penelitian ini menunjukkan originalisasi (keaslian) karena berdasarkan hasil
penelusuran, tidak ditemukan judul maupun permasahalan dari penelitian-penelitian
terdahulu yang mengandung kesamaan (identik) dengan judul dan permasalahan
tentang dakwaan batal demi hukum setelah pemeriksaan pokok perkara dalam sidang
pengadilan (sesuai Studi Putusan Nomor 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim). Baik judul
maupun rumusan masalah dalam penelitian ini sama tidak memiliki kemiripan
dengan judul dan permasalahan penelitian sebelumnya, sehingga penelitian ini adalah
asli dan jauh dari unsur plagiat terhadap karya tulis milik orang lain, serta dapat
dipertanggungjawabkan.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan di dalam penelitian
ini adalah teori sistim hukum. Kata “sistem” (systema) diadopsi dari bahasa Yunani

Universitas Sumatera Utara

yang diartikan “sebagai keseluruhan yang terdiri dari bermacam-macam bagian”.35
Kehidupan akan menjadi tertata dan kepastian dalam masyarakat akan tercipta
dengan adanya sistem hukum. 36 Kondisi penegakan hukum dapat digambarkan dalam
suatu sistem peradilan pidana berada dalam sistim besar yaitu teori sistim hukum
(legal system theory). Sistem hukum dalam teori JH. Merryman merupakan suatu
seperangkat operasional yang meliputi institusi, prosedur, dan aturan hukum (legal
system is an operating set of legal institutions, procedures, and rules). 37 Sistem
hukum menurut Lawrence Milton Friedman meliputi struktur hukum, substansi
hukum, dan budaya hukum. 38
Jika membicarakan teori sistim hukum, maka di dalamnya senantiasa terdapat
tiga komponen yang dilibatkan, sebagaimana menurut Lawrence Milton Friedman,
masing-masing yaitu struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Struktur
hukum mencakup keseluruhan institusi-institusi hukum baik lembaga-lembaga
pemerintahan maupun aparat penegak hukum seperti: Kepolisian, Kejaksaan,
Kehakiman, Lembaga Pemasyarakatan, dan Advokat. 39
Substansi hukum mencakup keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan
asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan
35

Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2004), hal. 4.
36
Salim, HS., Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), hal.
71.
37
Ade Maman Suherman, Loc. cit.
38
Lawrence M. Friedman diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah
Pengantar, (Jakarta: Tatanusa, 2001), hal. 9.
39
Lawrence M. Friedman dalam Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan
Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta:
Kencana, 2009), hal. 204.

Universitas Sumatera Utara

pengadilan yang bersifat mengikat dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Kultur hukum mencakup pola, tata cara berfikir dan bertindak, baik atas karena
kebiasaan-kebiasaan maupun karena perintah undang-undang, baik dari perilaku
aparat penegak hukum dan pelayanan dari instansi pemerintah maupun dari perilaku
warga masyarakat dalam menerjemahkan hukum melalui perilakunya, dan lain-lain. 40
Bagian penting yang dibicarakan dalam penelitian ini dalam kaitannya dengan
sistem hukum adalah masalah prosedur hukum dan substansi hukum. Alasan
memfokuskan analisis ini pada prosedur dan substansi hukum karena prosedur hukum
acara dan substansi hukum terkait dengan batalnya dakwaan tidak tegas diatur dalam
KUHAP dan juga tidak dijelaskan apakah hakim boleh membatalkan dakwaan setelah
dilakukan pemeriksaan pokok perkara, dan setelah pembacaan tuntutan, sedangkan
dalam praktik bisa terjadi dimana hakim membatalkan dakwaan setelah pemeriksaan
pokok perkara atau setelah dakwaan dan tuntutan dibacakan.
Terkait dengan struktur hukum dalam hal ini ditujukan kepada para aparat
penegak hukum khususnya hakim Pengadilan Negeri Simalungun yang memeriksa
dan mengadili perkara dalam Putusan Nomor 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim yang
menjatuhkan putusan menyatakan surat dakwaan batal demi hukum setelah
pemeriksaan pokok perkara karena dakwaan tidak cermat, tidak jelas, dan tidak
lengkap menguraikan syarat materiil dakwaan dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b
KUHAP.

40

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Terkait dengan struktur hukum dalam hal ini juga ditujukan kepada jaksa
penuntut umum yang tidak menguraikan secara cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap
tentang syarat materiil dakwaan. Kelemahan dakwaan penuntut umum yang tidak
mencantumkan Pasal 55 KUHP tentang delik penyertaan (deelneming) karena para
pelaku dalam perkara a quo bukan tunggal, melainkan banyak (lebih dari satu).
Kelemahan dakwaan penuntut umum tersebut sebagai faktor keberhasilan dalam
penegakan hukum termasuk bagi hakim yang tidak mencantumkan putusannya pada
salah satu putusan akhir, putusan pemidanaan, atau bebas, atau lepas dari segala
tuntutan, melainkan membatalkan dakwaan setelah pemeriksaan pokok perkara.
Harkristuti Harkrisnowo mengatakan bahwa dalam ranah penegakan hukum,
perlu diperhatikan komponen-komponen dalam sistem hukum itu yaitu: struktur,
substansi dan kultur. 41 Bila suatu kondisi penegakan hukum yang tidak sesuai dengan
tujuan-tujuan

hukum

itu

sendiri

untuk

menciptakan

keadilan,

ketertiban,

kemanfaatan, dana kesejahteraan masyarakat, maka perlu kiranya komponen dalam
sistim hukum itu dikoreksi guna efektifitas penegak hukum itu sendiri.
Struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum merupakan elemenelemen penting dalam penegakan hukum, jika salah satu elemen dari tiga kompenen
saja tidak bekerja dengan baik maka akan mengganggu elemen lainnya hingga pada
gilirannya mengakibatkan penegakan hukum yang tidak diinginkan atau terjadi
kepincangan hukum. Ketiga elemen ini merupakan bagian dan faktor-faktor

41

Harkristuti Harkrisnowo, “Reformasi Hukum: Menuju Upaya Sinergistik Untuk Mencapai
Supremasi Hukum yang Berkeadilan”, Jurnal Keadilan Vol. 3, Nomor 6 Tahun 2003/2004.

Universitas Sumatera Utara

penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena bila diabaikan akan
menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan. 42
Sebagai suatu sistem, peradilan pidana merupakan hasil interaksi antara
peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku
sosial termasuk aparatur penegak hukum. 43 Kepolisian berperan dalam melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap semua kasus-kasus tindak pidana. Kejaksaan
berperan melakukan fungsinya di bidang penuntutan terhadap perkara yang
dilimpahkan penyidik kepadanya. Sementara hakim pengadilan berperan penting
dalam memeriksa, mengadili dan menjatuhkan pidana kepada pelaku. Substansi
hukum

(perundang-undangan)

khususnya

KUHAP

juga

harus

mampu

mengakomodasi dan mengatur dengan jelas dan tegas mengenai prosedural hukum
acara dalam penegakan hukum.
Akan tetapi sejatinya pengadilan itu bukan hanya berfungsi sebagai tempat
untuk memeriksa dan mengadili, tetapi jauh lebih luas daripada itu bahwa sejatinya
pengadilan sudah merupakan suatu masyarakat tersendiri dan didalamnya
berlangsung berbagai proses interaksi dari para aktor dalam melaksanakan litigasi,
berperan menegakkan hukum, dan bertemunya kepentingan-kepentingan yang
berbenturan. 44

42

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta,
Rajawali, 1983), hal. 5.
43
Remington dan Ohlin dalam Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perspektif
Eksistensialisme dan Abolisionisme, (Jakarta: Binacipta, 1996), hal. 14.
44
Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2006), hal. 212.

Universitas Sumatera Utara

Sistim hukum harus lebih luas dari hukum acara pidana (hukum
prosedural/formal) karena cakupan hukum acara pidana terbatas pada aspek
substansi KUHAP saja. Sementara itu sistem meliputi juga selain substansi dan
struktur juga budaya hukum, artinya hukum dilihat tidak saja yang diatur secara law
in the books tetapi juga law in actions. 45 Proses peradilan tanpa hukum materiil
akan lumpuh, sebaliknya tanpa hukum formil maka liar dan bertindak semaunya
dan dapat mengarah apa yang ditakutkan orang sebagai judicial tyrany. 46
Sistem hukum secara terpadu diletakkan di atas landasan prinsip diferensiasi
fungsional di antara para penegak hukum yang sesuai dengan tahap proses
kewenangan masing-masing yang diberikan undang-undang. Aktivitas pelaksanaan
sistim peradilan pidana merupakan fungsi gabungan dari legislator, polisi, jaksa,
pengadilan dan dan lain-lain baik yang ada di lingkungan pemerintahan maupun
diluarnya, tujuan dari gabungan fungsi dalam kerangka sistim hukum itu adalah
untuk menegakkan dan melaksanakan hukum. 47
2. Konsepsi
Tujuan menggunakan landasan konsepsional ini adalah untuk menghindari
penafsiran dan pemahaman yang berbeda-beda dalam memahami istilah-istilah yang
digunakan dalam penelitian ini. Istilah-istilah tersebut adalah:

45

Luhut M.P Pangaribuan, Lay Judges dan Hakim Adhoc; Suatu Studi Teoritis Mengenai
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, (Jakarta: fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), hal. 46.
46
Ibid.
47
M. Yahya Harahap (III), Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan
dan Penuntutan, cet. ke-9, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 90.

Universitas Sumatera Utara

a. Surat dakwaan adalah surat tuduhan yang dibuat atau disiapkan oleh JPU
yang dilampirkan pada waktu melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan
yang memuat nama dan identitas pelaku perbuatan pidana, kapan dan di mana
perbuatan dilakukan serta uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai
perbuatan tersebut yang didakwakan telah dilakukan oleh terdakwa yang
memenuhi unsur-unsur pasal-pasal tertentu dari undang-undang yang tertentu
pula yang nantinya menjadi dasar dan titik tolak pemeriksaan terdakwa di
sidang Pengadilan untuk dibuktikan apakah benar perbuatan yang didakwakan
itu betul dilakukan dan apakah betul terdakwa adalah pelakunya yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk perbuatan tersebut. 48
b. Batal demi hukum adalah tidak memiliki daya mengikat secara hukum.
c. Dakwaan batal demi hukum adalah dakwaan JPU yang tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat karena secara hukum dianggap tidak pernah ada
(never existed) dari sejak semula dakwaan itu dibuat oleh JPU.
d. Pemeriksaan pokok perkara adalah pemeriksaan perkara oleh majelis hakim
dalam sidang pengadilan terkait dengan pokok perkara termasuk dalam hal
pembuktian dan pemeriksaan saksi-saksi.

48

A. Soetomo, Pedoman Dasar Pembuatan Surat Dakwaan dan Suplemen, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1989), hal. 4.

Universitas Sumatera Utara

e. Jaksa Penuntut Umum (JPU) adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik
Indonesia untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. 49
f. Hakim adalah semua hakim pengadilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung baik dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan
tersebut 50, khususnya hakim pengadilan yang menjatuhkan putusan terhadap
pembatalan surat dakwaan.
g. Pengadilan adalah semua pengadilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
baik dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan. 51
h. Kriteria adalah ciri-ciri atau syarat-syarat yang terdapat/terkandung di dalam
suatu dakwaan yang dapat dibatalkan oleh majelis hakim.
i. Hukum acara adalah hukum formil yang mengatur pelaksanaan hukum
materiil sebagaimana hukum formil yang diatur dalam KUHAP.

49

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik

Indonesia.
50
51

Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasan Kehakiman.
Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasan Kehakiman.

Universitas Sumatera Utara

G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang
mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundangundangan, 52 menggunakan teori-teori yang berkaitan dengan masalah yang sedang
diteliti,53 meneliti terhadap kaedah-kaedah dan asas-asas hukum, 54 selain mengacu
pada teori-teori juga mengacu pada doktrin-doktrin, norma-norma, dan asas-asas serta
kaidah-kaidah hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan maupun di
dalam putusan pengadilan. 55
Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu menggambarkan dan
menguraikan permasalahan di dalam praktik sekaligus menganalisis permasalahan
tersebut melalui pendekatan peraturan perundang-undangan, 56 teori-teori, normanorma, kaidah-kaidah, asas-asas/prinsip-prinsip hukum yang relevan. Fakta-fakta
tersebut adalah fakta terkait dengan pembatalan suatu dakwaan menjadi batal demi
hukum oleh hakim setelah hakim memeriksa pokok perkaranya.
2. Sumber Data
Sebagai data dalam penelitian ini yang digunakan adalah data sekunder,

52

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: IU Press, 1996), hal. 51.
C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-2,
(Bandung: Alumni, 1994), hal. 12.
54
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), hal. 13.
55
Johny Ibrahim, Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayumedia,
2008), hal. 282.
56
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2005), hal. 96.
53

Universitas Sumatera Utara

meliputi:
a. Bahan hukum primer yaitu: KUHAP, KUHP, Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dan Putusan Hakim
Pengadilan Negeri Simalungun Nomor: 19/Pid.Sus/2015/PN.Simalungun.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan dan ulasanulasan terhadap bahan hukum primer, antara lain: buku-buku, makalah,
majalah, jurnal ilmiah, artikel, surat kabar, bahkan dokumen pribadi atau
pendapat dari para pakar hukum yang relevan dengan permasalahan ini.
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum penunjang yang dapat memberi
petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, antara lain berupa Kamus Umum Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa
Hukum, dan Kamus Bahasa Inggris.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. 57 Baik terhadap
bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier, diperoleh melalui membaca
referensi, melihat, mendengar melalui seminar, pertemuan-pertemuan ilmiah,
mendownload data melalui internet. Semua data yang diperoleh akan dipilah-pilah
dan diurutkan guna memperoleh data yang sesuai dengan permasalahan dalam hal
pembatalan dakwaan JPU oleh hakim pengadilan setelah pemeriksaan pokok perkara.

57

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 160.

Universitas Sumatera Utara

4. Analisis Data
Semua data terkait dengan pembatalan dakwaan JPU oleh hakim pengadilan
setelah pemeriksaan pokok perkara akan dianalisis secara kualitatif, bukan secara
kuantitatif. 58 Analisis secara kualitatif memfokuskan pada analisis menggunakan
teori-teori, doktrin-doktrin, asas dan prinsip, serta kaidah-kaidah hukum yang relevan
dengan pembatalan surat dakwaan menjadi batal demi hukum oleh hakim pengadilan
setelah pemeriksaan pokok perkara.
Fokus analisis mengenai pembatalan dakwaan oleh hakim pengadilan setelah
pemeriksaan pokok perkara, untuk menganalisis dakwaan batal demi hukum yang
diputuskan oleh majelis hakim dalam putusan akhir sebagaimana Putusan Hakim PN
Nomor: 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim sesuai atau tidak dengan ketentuan hukum acara
yang diatur dalam KUHAP.
Menganalisis permasalahan dalam penelitian ini sekaligus memberikan legal
reasoning yang dikemukakan secara deduktif, 59 diungkapkan secara sistematis
dengan menjelaskan hubungan antar data, memberikan penilaian benar atau salah
atau bagaimana semestinya menurut teori tentang batalnya suatu dakwaan setelah
pemeriksaan pokok perkara, dan juga berdasarkan para doktrin yang ada, asas, norma,
dan ketentuan di dalam KUHAP sehingga permasalahan tersebut dapat dijawab. 60

58

Ibid., hal. 161.
Deduktif adalah penalaran logika dari umum ke khusus.
60
Ibid., hal. 192.
59

Universitas Sumatera Utara