Penerapan Diversi dalam Penyelesaian Tindak Pidana Anak Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam (Analisis Kasus Putusan Perkara Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Tng)

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Sebagai Salah SatuSyaratMemperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)

Oleh :

MUHAMMAD IQBAL FARHAN

NIM : 1111043200017

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2016M / 1437 H


(2)

i Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum

Sebagai Salah SatuSyarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)

Oleh:

Muhammad Iqbal Farhan NIM: 1111043200017 Di bawahBimbingan:

DosenPembimbing I DosenPembimbing II

Dr.H.AsrorunNi’am, Lc.,MA. Hj. Ummu Hana Yusuf Saumin,MA. NIP: 19760531200003 1 001 NIP: 19610820 199603 2 001

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2016 M / 1437 H


(3)

ii

Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 11 Oktober 2016. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata satu, yaitu Sarjana Hukum Islam (S.H) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum dengan Konsentrasi Perbandingan Hukum.

Jakarta, 11Oktober 2016 Mengesahkan,

DekanFakultasSyariahdanHukum

Dr. AsepSaepudinJahar, MA NIP. 196912161996031001

PANITIA UJIAN

Ketua : Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si (...) NIP. 197412132003121002

Sekretaris : Hj. Siti Hanna, S.Ag.,Lc, MA (...) NIP. 197402162008012013

Pembimbing I : Dr. H. AsrorunNi’am, Lc.,MA (...) NIP. 19760531 200003 1 001

Pembimbing II : HJ. Ummu Hana Yusuf Saumin (...) NIP. 19610820 199603 2 001

Penguji I : Dr. H. Nahrowi, SH, MH (...) NIP.19730215 199903 1 002

Penguji II : DewiSukarti, MA (...) NIP. 19720817 200112 1 001


(4)

iii Dengan ini saya menyatakan :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 03 Oktober 2016


(5)

iv

Perbandingan Hukum, Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta. Di bawah bimbingan Dr.H. Asrurun Ni’am, Lc.,MA dan

Hj.Ummu Hana Yusuf Saumin.MA.

Fenomena kenakalan remaja dan tindak pidana yang dilakukan anak setiap tahun semakin meningkat. Upaya pencegahan dan penanggulangan yang telah dilakukan pemerintah Indonesia adalah dengan membentuk undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menerapkan restorative justice, termasuk diversi sebagai alternatif penyelesaian. Meski pada kenyataannya, sebagian masyarakat dan aparat penegak hukum cenderung selalu ingin menghukum anak yang berhadapan dengan hukum, sehingga banyak anak yang pada akhirnya dimasukkan ke dalam penjara. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis putusan Nomor:15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG menurut hukum positif dan hukum Islam. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Penulis menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan sekunder.

Hasil penelitian ini bahwa pertama putusan yang dijatuhkan oleh hakim cukup adil bagi anak yaitu 8 bulan penjara sebagai upaya terakhir dalam penyelesaian permasalahan ini. Yang kedua, menurut hukum Islam pencurian yang dilakukan anak termasuk pencurian kecil. Putusan yang diberikan kepada anak adalah hukuman ta’zir berupa

penjara 8 bulan. Hukuman tersebut diberikan sebagai ta’dib agar anak menyesali

perbuatannya dan diharapkan anak masih bisa membangun masa depan yang lebih baik.

Kata kunci: Anak, Diversi, Putusan Nomor:15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG Pembimbing : Dr. H. Asrorun Ni’am, Lc.,MA.

HJ. Ummu Hana Yusuf Saumin,MA. Daftar Pustaka : Tahun 1971 s/d 2014


(6)

taufik serta hidayahnya. Sholawat serta salam tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya. Kemudahan dan pertolongan Allah SWT serta atas izin-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Penerapan Diversi Dalam

Penyelesaian Tindak Pidana Anak Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam (Analisis Kasus Putusan Perkara Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG).” Karya ini tidaklah dapat terselesaikan tanpa adanya dukungan dari pihak-pihak terkait serta teman-teman seperjuangan dalam memberikan ide dan wawasan serta waktu untuk berdiskusi. Oleh karena itu tidaklah berlebihan bila penulis mengucapkan terimakasih sebagai bentuk penghargaan kepada:

1. Bapak Asep Saepudin Jahar, MA selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si selaku Ketua Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag, Lc.,MA selaku Sekretaris Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak Dr. H. Asrorun Ni’am, Lc.,MA selaku dosen Pembimbing I yang telah


(7)

5. Ibu Hj. Ummu Hana Yusuf Saumin, MA selaku dosen Pembimbing II yang telah berkenan meluangkan waktu dan mencurahkan segala perhatiannya serta kesabarannya dalam memberikan pengarahan dan perbaikan yang baik sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Ketua dan seluruh Staff Pengadilan Negeri Tangerang yang telah membantu memberikan informasi dan data yang diperlukan dalam proses penyusunan skripsi ini.

7. Pimpinan dan Staff Karyawan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta Pimpinan dan Staff Karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah banyak membantu penulis dalam mencari buku dan referansi yang diperlukan.

8. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak mencurahkan ilmu pengetahuan kepada penulis selama menjalani pendidikan berlangsung.

9. Ayahanda tercinta Bapak Muhamad dan Ibunda tercinta Musenah yang telah banyak mendoakan dan memotivasi yang tak henti-hentinya kepada penulis sehingga skripsi ini selesai.


(8)

semangat dan kenangan dalam menjalani masa pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga kita bisa sukses untuk kedepannya. Aamiin ya robb.

Mudah-mudahan bantuan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis mendapat imbalan dari Allah SWT. Akhirnya penulis berharap skripsi ini ada manfaatnya.Aamiin ya robb.

Jakarta, 03 Oktober 2016


(9)

vi

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING……… i

LEMBAR PENGESAHAN……… ii

LEMBAR PERNYATAAN……… iii

ABSTRAK………... iv

KATA PENGANTAR………. v

DAFTAR ISI……… vi

BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakangMasalah……… 1

B. IdentifikasiMasalah……….. 7

C. BatasandanRumusanMasalah………. 7

D. TujuandanManfaatPenelitian……….. 9

E. Tinjauan (Review) KajianTerdahulu……… 10

F. MetodePenelitian………. 11

G. SistematikaPenulisan……… 14

BAB II TINJAUAN TENTANG DIVERSI MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM A. PengertianAnak……… 16

B. PengertianTindakPidana………. 28

C. PengertianDiversi………. 41


(10)

vi

BAB IV ANALISIS PANDANGAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN NOMOR 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG

A. Analisis Pandangan Hukum Positif Terhadap Putusan Nomor

15/Pid.Sus-Anak/PN.TNG………...……… 69

B. Analisis Pandangan Hukum Islam Terhadap Putusan Nomor

15/Pid.Sus-Anak/PN.TNG………..………. 75

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………. 79

B. Saran……… 80

DAFTAR USTAKA……….. 82


(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang didalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak sebagai tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Oleh karena itu, agar setiap anak kelak mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahtraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.1

Akhir-akhir ini harapan tersebut seperti dikandaskan oleh berbagai berita di media massa yang memuat tentang kenakalan remaja dan tindak pidana yang telah dilakukan oleh anak semakin meningkat. Apabila dicermati perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas maupun modus operandi yang dilakukan oleh anak dirasakan telah meresahkan semua pihak khususnya orang tua. Fenomena meningkatnya perilaku tindak kekerasan yang dilakukan anak tidak sebanding lurus dengan usia pelaku.

1

M Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Anak (UU-SPPA), (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm 8.


(12)

Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan dengan hukum, yaitu:

1. Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap kejahatan, seperti; tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah.

2. Juvenile Deliquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.2

Berdasarkan hasil pemantauan KPAI anak berhadapan dengan hukum hingga april 2015 tercatat 6006 kasus.3 Kemudian catatan Komnas Perlindungan Anak, di tahun 2013, sekitar 5000 anak mendekam dipenjara dan ada yang sudah divonis melakukan tindak pidana.4 Sedangkan dari data statistik Polda Metro Jaya antara bulan Januari-Maret 2015 tercatat 14.918 kasus kenakalan remaja.5 Kemudian catatan yang disampaikan oleh Direktur Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak Ditjen Pemasyarakatan Priyadi dalam konferensi pers di Aula Lapas Anak, Jalan Arcamanik, Selasa (4/8/2015), Priyadi mengatakan bahwa catatan kriminalitas di Indonesia pada tahun 2015, anak-anak yang berada di lingkungan rutan dan lapas jumlahnya 3.812 orang. Anak-anak yang dilakukan diversi sebanyak 5.229 orang, dan total ada sekitar 10 ribu termasuk mereka yang

2

M Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Anak (UU-SPPA), hlm 33.

3

http://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelaku-kekerasan-terhadap-anak-tiap-tahun-meningkat/. Diakses pada 16 Oktober 2016.

4

http://Metro.sindonews.com/read/910410/31/5-000-anak-mendekam-di-penjara-1412957017. diakses pada 21 Agustus 2015.

5


(13)

sedang asimilasi, pembebasan bersyarat, dan cuti jelang bebas. Kebanyakan dari mereka terlibat dalam kasus narkoba, kesusilaan, dan pencurian.6

Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan yang melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua, telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak.7

Dewasa ini, upaya pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak telah dilakukan oleh pemerintah. Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Right of the Child) yang mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap anak, berkewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.8 Salah satu bentuk perlindungan anak oleh negara diwujudkan melalui sistem peradilan pidana khusus anak yang berhadapan dengan hukum. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.

6

http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2015/08/04/337054/sepuluh-ribu-anak-kini-berhadapan-dengan-hukum. diakses pada 21 September 2015.

7

Lihat Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan Tentang Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak.

8


(14)

Sistem pengadilan anak yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 telah diperbaharui melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak karena sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan Khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Terdapat perubahan yang fundamental dalam Undang-Undang tersebut, antara lain digunakannya pendekatan restorative justice melalui sistem diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigma negatif terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan si anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.

Restorative Justice adalah penyelesian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga korban/pelaku, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesain yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Sedangkan diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana.9 Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, diversi bertujuan mencapai perdamain antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan, menghindarkan anak dari

9


(15)

perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.10

Dalam Pasal 7 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan bahwa:

Ayat (1) “Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib di upayakan diversi”.

Ayat (2) “Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:

1. Diancam dengan pidana penjara dibawah 7(tujuh) tahun; dan 2. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana”.11

Oleh karena itu penerapan diversi merupakan suatu kewajiban, maka menjadi penting bagi pejabat penegak hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan untuk benar-benar memahami bagaimana mekanisme penerapan diversi tersebut.

Atas dasar itu, kemudian Mahkamah Agung merespon UU Sistem Peradilan Pidana Anak dengan menerbitkan PERMA No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. PERMA ini memuat tata cara pelaksanaan diversi yang menjadi pegangan hakim dalam penyelesaian pidana anak mengingat belum ada regulasi yang memuat hukum acara khusus diversi Sistem Peradilan Pidana Anak.

Dalam hukum Islam, dikenal adanya proses penyelesaian sengketa melalui perdamaian yang disebut dengan al-sulh. Secara bahasa, al-sulh berarti menyelesaikan perkara atau pertengkaran. Sayyid Sabiq memberikan pengertian

10

Lihat Pasal 6 undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

11


(16)

al-sulh dengan akad yang mengakhiri persengketaan antara dua pihak.12Islam menganjurkan pihak yang bersengketa menempuh jalur damai, baik didepan pengadilan maupun diluar pengadilan. Al-sulh memberikan kesempatan para pihak untuk memikirkan jalan terbaik dalam penyelesaikan sengketa.

Meskipun UU SPPA telah diberlakukan per 1 Agustus 2014, keinginan besar untuk selalu menghukum pelaku kejahatan dengan hukuman penjara bukan saja membuat penjara penuh, tetapi juga menghambat penerapan restorative justice. Seperti kasus pencurian sepeda motor yang dilakukan anak dibawah umur yaitu Mohammad Abdul Faisal Bin Sarmaya 17 (tujuh belas) tahun yang terjadi di Kp. Bolang RT 004/001 Ds. Sukasari Kec, Rajeg Kab. Tangerang. Bahwa sebelum sampai ke persidangan korban dan anak telah ada perdamaian, namun dalam putusannya, hakim memvonis terdakwa anak dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dengan dakwaan pencurian dengan pemberatan dan membawa senjata tanpa ijin dari yang berwenang.

Prof. M Taufik Makarao, mengatakan kultur sebagian masyarakat Indonesia yang cenderung selalu ingin menghukum justru belum mendukung penerapan restorative justice, termasuk diversi. Padahal, menghukum pelaku anak dibawah umur apalagi mengirimnya ke penjara dalam waktu lama tak akan menyelesaikan sepenuhnya masalah yang dihadapi.13

12

Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah juz 2 (Kairo: Dar al Fath,1990), hlm 201. 13

http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt522ec06e6e632/kultur-menghukum--hambatan-penerapan-diversi. diakses pada 21 Agustus 2015.


(17)

Berdasarkan uraian permasalahan diatas, menjadi dorongan penulis untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul:

“Penerapan Diversi Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Anak Menurut Hukum

Positif dan Hukum Islam (Analisis Kasus Putusan Perkara Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG).”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka masalah dari penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang diversi?

2. Bagaimana pandangan Hukum Positif terhadap putusan perkara Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG?

3. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap putusan perkara Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG?

4. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat penerapan diversi dalam penyelesaian tindak pidana anak di Pengadilan Negeri Tangerang?

5. Apa dampak positifnya terhadap anak yang menyelesaikan tindak pidana dengan sistem diversi?

C. Batasan Masalah dan Rumusan Masalah

Diversi merupakan wewenang dari aparat penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana khususnya yang dilakukan oleh anak untuk mengambil tindakan meneruskan perkara atau menghentikan perkara, mengambil


(18)

tindakan tertentu sesuai dengan kebijakan yang dimilikinya. Berdasarkan latar belakang tersebut, tema yang dibahas akan sangat luas apabila dipaparkan secara keseluruhan di dalam skripsi ini. Maka dari itu penulis membatasi pembahasan dalam skripsi ini, sebagai berikut:

1. Kajian: dalam skripsi ini penulis akan menjelaskan yang berkaitan dengan diversi, yaitu:

a. Anak: di dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Anak disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana dan anak menurut hukum Islam.

b. Tindak pidana: di dalam penulisan ini penulis akan menjelaskan apa itu tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana, dan tindak pidana dalam hukum Islam.

c. Diversi: di dalam penulisan ini penulis akan menjelaskan apa itu diversi, bagaimana penerapannya dan seperti apa pandangan hukum Islam tentang diversi.

2. Lokasi penelitian skripsi ini adalah Pengadilan Negeri Tangerang berdasarkan Surat Putusan Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG. 3. Data yang diteliti dalam skripsi ini adalah UU SPPA yang mulai

diberlakukan pada tahun 2014, PERMA No 4 Tahun 2014, Putusan Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG yang dikeluarkan pada tahun 2014.


(19)

Untuk meneliti seluruh identifikasi masalah diatas memerlukan suatu usaha dari peneliti. Dengan keterbatasan kemampuan maka penelitian ini hanya akan dibatasi pada:

1. Bagaimana pandangan Hukum Positif terhadap putusan perkara Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG?

2. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap putusan perkara Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: a. Untuk menjelaskan pandangan Hukum Positif terhadap putusan

perkara Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG.

b. Untuk menjelaskan pandangan Hukum Islam terhadap putusan perkara Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG.

2. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini penulis mengharapkan dapat memberikan manfaat diantaranya:

a. Bagi Ilmu Pengetahuan

Dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap kemajuan perkembangan ilmu hukum yang menyangkut proses diversi dalam penyelesaian perkara pidana anak di Pengadilan Negeri.


(20)

b. Bagi Masyarakat

Dapat memberikan wawasan dan pemahaman kepada masyarakat luas tentang proses diversi dalam penyelesaian perkara pidana anak di Pengadilan Negeri.

E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Dalam penelitian ini, penulis melakukan kajian terdahulu, beberapa hasil kajian yang kiranya berkaitan dengan judul dan tema yang penulis angkat untuk dijadikan penelitian. Dari beberapa hasil penelitian yang telah penulis baca maka ada beberapa yang penulis anggap bisa dijadikan review (kajian) antara lain:

1. Skripsi yang berjudul “Islam dan Keadilan Restoratif Pada Anak

Yang Berhadapan Dengan Hukum” yang ditulis oleh Ifah Latifah

Fitriani.14 Skripsi ini menjelaskan adanya penerapan penyelesaian alternatif kasus anak melalui restorative justice, mengkaji restorative justice dalam persfektif hukum Islam, urgensi dan sisi-sisi maslahah keadilan restoratif dalam penyelesaian kasus pidana anak.

2. Skripsi yang berjudul “Konsep Diversi Dalam Sistem Peradilan

Anak Perfektif Hukum Islam (Studi Atas UU RI No. 11 tahun 2012

Tentang Sitem Peradilan Pidana Anak)”.15

Dalam skripsi ini membahas tentang diversi dalam UU SPPA, diversi dalam hukum

14 Ifah Latifah Fitriani, “Islam dan Keadilan Restoratif Pada Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum”, skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta (2012).

15Mufidatul Mujubah, “Konsep Diversi Dalam Sistem Peradilan Anak Persfektif Hukum Islam (Studi Atas UU RI No. 11 Tahun 2012 Tentang Sitem Peradilan Pidana Anak)”, skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta (2013).


(21)

Islam dan teori perdamain (al-sulh) sebagai perbandingannya. Yang membedakan dari skripsi yang akan penulis kaji adalah bagaimana penerapan diversi di pengadilan dengan adanya studi kasus putusan pengadilan. Selain menggunakan UU SPPA penulis juga menggunakan PERMA No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. PERMA ini memuat tata cara pelaksanaan diversi yang menjadi pegangan hakim dalam penyelesaian pidana anak mengingat belum ada regulasi yang memuat hukum acara khusus diversi Sistem Peradilan Pidana Anak.

3. Skripsi yang berjudul “Analisis Kasus Putusan (Perkara Nomor

225/PID.B/2010/PN-BKL) Dalam Perspektif Restorative Justice”.16 Skripsi ini membahas bagaimana penerapan dan alasan apa saja restorative justice dapat diterapkan pada tindak pidan ringan menurut hukum positif dan hukum Islam.

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum. Penelitian hukum adalah menemukan kebenaran kohesi yaitu

16 Rani Putri Larasati, “Analisis Kasus Putusan (Perkara Nomor 225/PID.B/2010/PN -BKL) Dalam Perspektif Restorative Justice”, skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta (2014).


(22)

adakah aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah norma yang berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hokum, serta apakah tindakan seseorang sesuai dengan norma hukum atau prinsip hokum.17

2. Pendekata Penelitian

Keterkaitannya dengan penelitian normatif, pendekatan yang digunakan dalam penulisan hukum menurut Peter Mahmud Marzuki adalah sebagai berikut: a) pendekatan kasus, b) pendekatan perundang-undangan, c) pendekatan historis, d) pendekatan perbandingan, dan e) pendekatan konseptual.18

Adapun pendekatan yang digunakan penulis dari beberapa pendekatan diatas adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan yang digunakan dengan menelaah undang-undang yang berkaitan dengan isu hokum yang ditangani. Pendekatan kasus adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

3. Sumber-sumber Penelitian a. Data Primer

Merupakan bahan utama yang dijadikan pedoman dalam penelitian, terdiri dari:

17

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group: 2014), hlm. 47.

18


(23)

a) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

b) PERMA Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak c) Putusan Pengadilan Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG b. Data Sekunder

Kajian-kajian yang membahas tentang diversi yang terkait dengan pokok masalah diatas, juga didukung dengan data pelangkap seperti:

a) Buku-buku b) Makalah Hukum c) Jurnal

d) Artikel Ilmiah

e) Arsip-arsip yang mendukung f) Publikasi dari lembaga terkait. 4. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan: a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan yaitu pengumpulan data dengan mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat atau penemuan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan. Kepustakaan berupa peraturan perundang-undangan, karya ilmiah para sarjana, dan laporan lembaga terkait.


(24)

b. Studi Dokumentasi adalah berupa putusan pengadilan Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG yang diambil langsung di pengadilan Negeri Tangerang.

5. Metode Analisis

Penelitian ini menggunakan analisis deduktif, yaitu menjelaskan suatu hal yang bersifat umum kemudian menariknya menjadi kesimpulan yang bersifat khusus.

Analisis dilakukan dengan melakukan telaah terhadap isu yang dihadapi dari putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap kemudian mengidentifikasi peraturan perundang-undangan, kemudian ditarik kesimpulan dari hasil analisis tersebut.

G. Sistematika Penulisan

Agar penelitian ini dapat tersusun secara teratur dan berurutan sesuai apa yang hendak dituju dan dimaksud dengan judul diatas, maka dalam sub bab ini penulis akan membuat sistematika sebagai berikut:

BAB I : Merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, kerangka teori dan konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Tinjauan tentang diversi menurut hukum positif dan hukum Islam yang memuat pengertian anak, tindak pidana dan diversi.


(25)

BAB III : Putusan Hakim Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG

a) Duduk Perkara, dan b) Amar Putusan

BAB IV : Analisis Pandangan Hukum Positif dan Hukum Islam Terhadap Putusan Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG


(26)

BAB II

TINJAUAN TENTANG DIVERSI DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA ANAK

A.Pengertian Anak

1. Anak menurut Undang-Undang di Indonesia

Anak ditempatkan pada posisi yang mulia sebagai amanah Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki peran yang sangat startegis dalam menjamin eksistensi negara.1 Ditinjau dari aspek yuridis pengertian anak dimata hukum Positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa, orang yang dibawah umur atau keadaan dibawah umur atau kerap juga disebut anak yang dibawah pengawasan wali.2

Pengertian anak dapat dikaji dari perspektif sosiologis, psikologis dan yuridis. Pengertian dari perspektif sosiologis diartikan kriteria dapat dikategorikan sebagai anak, bukan semata-mata didasarkan pada batas usia yang dimiliki seseorang, melainkan dipandang dari segi mampu tidaknya seseorang untuk hidup mandiri menurut pandangan social kemasyarakatan dimana ia berada. Perspektif psikologis, berarti pertumbuhan manusia mengalami fase-fase perkembangan kejiwaan yang masing-masing ditandai dengan cirri-ciri tertentu. Untuk menentukan kriteria seorang anak, disamping ditentukan atas batas usia, juga dapat dilihat dari pertumbuhan dan perkembangan jiwa yang dialaminya. Perspektif yuridis berarti kedudukan seorang anak menimbulkan akibat hukum, dalam lapangan hukum keperdataan, akibat hukum terhadap kedudukan seorang anak menyangkut kepada persoalan hak dan kewajiban, seperti masalah kekuasaan orang tua, pengakuan sahnya anak, perwalian, pendewasaan, serta masalah pengankatan anak

1

M Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Anak (UU-SPPA), (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm 9.

2

Dr. Lilik Mulyadi, Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2014), hlm. 1-2.


(27)

dan lain-lain.3 Dasar itulah yang dapat menentukan mengenai klasifikasi seorang anak, karena Indonesia sebagai negara hukum maka perlindungan terhadap anak harus dalam bentuk peraturan perundang-undangan.

Anak dalam pasal 1 butir 1 Undang-undang Perlindungan Anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.4 Dasar pertimbangan penentuan batas usia dalam UU ini mengacu kepada ketentuan dalam Konvensi Hak Anak (KHA) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990. Dalam definisi tersebut disebutkan bahwa anak juga termasuk mereka yang masih dalam kandungan. Hal ini dimaksud bahwa anak yang masih dalam kandungan dianggap telah lahir apabila kepentingan anak memerlukan untuk itu, sebaliknya dianggap tidak pernah ada apabila anak meninggal pada waktu dilahirkan.

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dimaksud dengan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dalam hukum perdata, ketentuan belum dewasa adalah belum berumur 21 tahun dan belum pernah kawin5. Kemudian dalam Undang-undang Sistem Perlindungan Anak, batasan usia pertanggungjawaban pidana ditentukan antara usia 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Hal tersebut

3

Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan Anak Serta Penerapannya, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hlm. 1- 4.

4

UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

5

KUHPerdata Bab XV Pasal 330 dinyatakan “Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya. Bila perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa. Menurut konsep hukum Perdata, Pendewasaan ada 2 macam,yaitu pendewasan penuh dan pendewasaan untuk beberapa perbuatan hukum tertentu (terbatas). Keduanya harus memenuhi syarat yang ditetapkan undang-undang.Untuk pendewasaan penuh syaratnya telah berumur 20 tahun penuh. Sedangkan untuk pendewasaan terbatas syaratnya ialah sudah berumur 18 tahun penuh (pasal 421 dan 426 KUHPerdata).


(28)

ditegaskan dalam The Beijing Rules, di dalam Rules 4 dinyatakan, bahwa: Pada sistem-sistem hukum yang mengakui konsep usia pertanggungjawaban pidana bagi anak-anak, awal usia itu tidak dapat ditetapkan pada tingkat usia yang lebih rendah, mengingat kenyataan kedewasaan emosional, mental dan intelektual.6Artinya jika pertanggungjawaban pidana ditetapkan terlalu rendah, maka pengertian tanggung jawab tidak memiliki arti.

Sedangkan batasan anak menurut Diana Kusumasari tertera dalam table berikut:7

Dasar Hukum Pasal

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Pasal 45

Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan:.... dstnya

Namun R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 61)

menjelaskan bahwa yang dimaksudkan “belum dewasa” ialah mereka yang belum berumur 21 tahun

dan belum kawin. Jika orang kawin dan bercerai sebelum umur 21 tahun, ia tetap dipandang dengan dewasa.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Pasal 47

Anak yang dimaksud dalam UU Perkawinan adalah

yang belum mencapai 18 tahun.

Undang-Undang No.

13 Tahun 2003

tentang

Ketenagakerjaan

Pasal 1 angka 26

Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun

Undang-Undang No.

12 Tahun 1995

tentang

Pemasyarakatan

Pasal 1 angka 8

Anak didik pemasyarakatan adalah:

a. Anak pidana, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan

6

Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan Anak Serta Penerapannya, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hlm 16.

7

http://m.hukumonline.com/klinik/detail/l4eec5db1d36b7/perbedaan-batasan-usia-cakap-hukum-dalam-peraturan-perundang-undangan. diunduh pada Kamis, 9 Mei 2016.


(29)

belas) tahun;

b. Anak negara, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan

belas) tahun;

c. Anak sipil, yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

Undang-Undang No.

11 Tahun 2012

tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak

Pasal 1 angka 3, angka 4, dan angka 5

 Anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah

anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan

belas) tahun yang diduga melakukan tindak

pidana.

a. Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana

adalah anak yang belum berumur 18

(delapan belas) tahun yang mengalami

penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.  Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana adalah

anak yang belum berumur 18 (delapan

belas) tahun yang dapat memberikan

keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri. Undang-Undang No.

39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia

Pasal 1 angka 5

Anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah

18 (delapan belas) tahun dan belum menikah,

termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

Undang-Undang No.

23 Tahun 2002

tentang Perlindungan

Anak sebagaimana

terakhir diubah

dengan

Undang-Undang No. 35 Tahun 2014

Pasal 1 angka 1

Anak adalah seseorang yang belum berumur 18

(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih

dalam kandungan.

Undang-Undang No.

44 Tahun 2008

tentang Pornografi

Pasal 1 angka 4

Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun.

Kompilasi Hukum Islam Pasal 98 ayat (1)


(30)

dewasa adalah 21 tahun Undang-Undang No.

12 Tahun 2006

tentang

Kewarganegaraan Republik Indonesia

Pasal 4 huruf h

Warga Negara Indonesia adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berumur 18

(delapan belas) tahun atau belum kawin.

Undang-Undang No.

21 Tahun 2007

tentang

Pemberantasan

Tindak Pidana

Perdagangan Orang

Pasal 1 angka 5

Anak adalah seseorang yang belum berumur 18

(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih

dalam kandungan.

Batas usia anak jika dilihat dari usia perkawinan,maka dibedakan dalam 2 kategori, yaitu:

a. Usia kuantitatif,penentuan usia kuantitatif beraneka macam. Dalam UU Kepemudaan, mereka yang sudah 16 tahun disebut pemuda, sudah tidak disebut anak. Dalam UU Pemilu, mereka yang berusia 17 tahun sudah dianggap dewasa dan bisa mengikuti pemilu. Berbeda pula dalam usia kecapakan kerja, UU Ketenagakerjaan menyebutkan usia 13-15 tahun masuk kategori dimungkinkan bekerja ringan.8

b. Usia Kualitatif, yaitu usia pernikahan dengan mengedepankan kemampuan atau kompetensi anak. Pernikahan dimaknai sebagi akad berarti membutuhkan edukasi yang mendalam bagi kedua pihak. Kesiapan menanggung akibat hukum pascaakad harus diperhatikan. Di sinilah pentingnya edukasi pernikahan, menuju pendewasaan usia, dalam arti kualitatif yang merujuk pada kompetensi. Secara terminologi, pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita

8

Asrorun Ni’am Sholeh, Usia Kualitatif Pernikahan, http://m.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/15/05/11/no6bg710-usia-kualitatif-pernikahan. diakses pada 9 juni 2016


(31)

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu hak yang harus dipenuhi pada anak adalah hak beragama sesuai yang dianut.Dengan demikian, usia pernikahan hendaknya merujuk pada kualitas individu yang terkait erat dengan kematangan dan kesiapan fisik maupun mental untuk merealisasi tujuan perkawinan. Batasan 19 tahun dan 16 tahun hanya dibaca sebagai usia "minimalis", itu pun tetap dengan syarat ketat, syarat izin orang tua, syarat tetap terpenuhi hak dasar kesehatan, pendidikan, dan sosial, serta terlindungi dari kekerasan dan eksploitasi9.

2. Anak menurut Hukum Islam

Anak dalam syari’at Islam didefinisikan sebagai seseorang yang belum mencapai umur baligh. Baligh dalam Islam dimaknai sebagai batasan umur seseorang yang sudah dapat dipertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukannya secara hukum. Baligh dapat ditentukan dengan tanda-tanda alami atau dengan umur.Nabi saw bersabda :

َمِلَتََْ َََح َِِِصلا ِنَع : ٍةَثَاَث ْنَع ُمَلَقْلا َعِفُر

.

Artinya:"Tuntutan untuk mengamalkan syari'at tidak diberlakukan bagi tiga orang : (salah satunya) bagi anak kecil sampai dia keluar sperma " (HR. Abu Daud dan Al-Baihaqi)10.

Atas dasar hadis tersebut, di dalam banyakpembahasan fiqh Islam disebutkan ciri-ciri balighnya seseorang dapat ditandai dengan datangnya haid pertama pada perempuan dan keluar sperma bagi laki-laki atau mimpi jima’ (ihtilam)11.Sedangkan fakta empiris membuktikan bahwa terjadinya haid pertama pada perempuan juga

9

Asrorun Ni’am Sholeh, Usia Kualitatif Pernikahan. 10

Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, t.t), hlm 177.

11

Muhammad Djafar, Pedoman Ibadah Muslim dalam Empat Madzhab Sunni dan dalil-dalilnya, (Surabaya : GBI (Anggota IKAPI), 1993), Cet-1, hlm 6.


(32)

keluarnya sperma bagi laki-laki terjadi pada rata-rata usia anak di bawah 15 tahun. Dalam Psikologi Perkembangan dijelaskan bahwa pada usia sekitar 10-14 tahun, individu mengalami "bermimpi" (pollusio)12.

Ada beberapa perbedaan pendapat ulama tentang tanda-tanda alami seseorang mencapai baligh,13 diantaranya:

Menurut mazhab Hanafiyah seorang anak dikatakan mencapai dewasa (baligh) jika mengalami ihtilam bagi laki-laki, sedangkan perempuan dikatakan dewasa jika sudah mengalami haid. Batas umur dikatakan dewasa menurut Hanafiyah adalah 12 tahun bagi laki-laki dan 9 tahun bagi perempuan.

Menurut mazhab Malikiyah, tanda alami seorang anak mencapai dewasa adalah haid dan hamil bagi perempuan, sedangkan keluarnya air mani, tumbuhnya rambut disekitar kemaluan, berubahnya bau badan dan pecahnya suara adalah tanda alami bagi laki-laki.

Menurut mazhab Syafi’iyah, seorang anak dikatakan dewasa apabila sudah

mencapai umur 15 tahun.14Dalam Islam seorang anak pada dasarnya tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukannya.Hal ini disebabkan anak belum dibebani dengan tanggung jawab dan tidak dibebani hukum karena belum dewasa.

Dalam hukum pidana Islam, yang membahas tentang hukum pidana anak di bawah umur, yaitu mengenai batasan umur, dan kedewasaan seseorang, maka tidak lepas dari dua

12

Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan, (Jakarta : Balai Penerbitan &Perpustakaan Islam Yayasan Ihya Ulumuddin Indonesia, Jilid 1, 1971), hlm 68.

13

Chindy Pratisti Puspa Devi, Restorative Justice Pada Hukum Pidana Anak Indonesia Dalam Persfektif Hukum Islam, (Depok: Indie Publishing, 2014), hlm 25.

14

Dalil atau bukti yang menyatakan bahwa batasan umur anak mencapai umur 15 tahun adalah khabar Ibn Umar, “Ibnu Umar menyatakan bahwa Rasulullah tidak mengizinkan dirinya menyertai dalam perang Uhud, pada ketika itu, Ibn Umar berusia 14 tahun. Tetapi ketika perang Khandaq, ketika berusia 15 tahun, Nabi mengizinkan Ibn Umar ikut dalamperang tersebut. Lihat di buku Chindy Pratisti Puspa Devi, Restorative Justice Pada Hukum Pidana Anak Indonesia Dalam Persfektif Hukum Islam, hlm 26.


(33)

perkara, yaitu kekuatan berfikir (idrak) dan pilihan (ikhtiar). Dengan demikian setiap manusia pasti melalui beberapa masa berbeda, dalam menjalani hidupnya mulai dari dia lahir sampai dia dewasa dan cakap dalam hukum15. Pengertian anak dari segi bahasa adalah keturunan kedua sebagai hasil dari hubungan antara pria dan wanita. Di dalam bahasa Arab terdapat berbagai macam kata yang digunakan untuk arti anak, sekalipun terdapat perbedaan di dalam pemakaiannya. Kata-kata sinonim ini tidak sepenuhnya sama artinya. Sebagai contoh“walad” artinya secara umum anak, tetapi dipakai untuk anak yang dilahirkan oleh

manusia dan binatang yang bersangkutan16.

Dalam konsep fiqih Islam dijelaskan tentang sifat-sifat seseorang yang dijadikan

sebagai tolok ukur syara’ yang disebut ahliyyah.Ahliyyah adalahsifat yang

menunjukanseseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh

tindakannya dapat dinilai oleh syara’. Apabilah seseorang telah mempunyai sifat ini,

maka ia dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik kepada orang lain, atau transaksi yang bersifat menerima hak dari orang lain.

Melalui defenisi diatas ini dipahami bahwa ahliyyah merupakan sifat yang mengindikasikan seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya sehingga semua perbuatannya dapat dikenai taklif(pembebanan hukum).

1. Pembagian ahliyyah

Kemampuan atau kecakapan untuk bertindak hukum dan dikenai taklif sejalan dengan perkembangan jasmani dam akalnya. Sehubungan dengan ini, para ahli usul fiqh

15

Fuad, M. Fachruddin, Masalah Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991), hlm 24.

16


(34)

membagi ahliyyah kepada bentuk, yaitu ahliyyah al-ada’ (

ءاداا ةيلها

) dan ahliyyah al-wujub(

وجولا ةيلها

)

a. Ahliyyah al-ada’

adalah kecakapan yang telah dimiliki seseorang sehingga setiap perbuatan dan

perkataannya telah diperhitungkan secara syara’. Orang yang memiliki sifat ini

dipandang telah sempurna untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. dengan kecakapan ini seseorang dianggap sebagai mukallaf, dimana semua perbuatannya diperhitungkan oleh hukum Islam, baik yang berbentuk positif maupun yang negatif.

Seseorang dipandang sebagai ahliyyah al-ada’ atau memiliki kecerdasan secara sempurana apabilah telah baliqh, berakal dan bebas dari semua yang menjadi penghalang dari kecakapan ini, seperti keadaan tidur ,gila, lupa, terpaksa dan lain-lain. Khusus berkaitan dengan harta, kewenangan dan kecakapan seseorang dipandang sah selain baliqh, berakal, juga harus cerdas (rusyd). Rusyd adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan hartanya. Seperti firman Allah surat an-Nisa’.4

ىَماَتَيلا ْاوُلَ تْ باَو

ْمََُاَوْمَأ ْمِهْيَلِإ ْاوُعَ فْداَف ًادْشُر ْمُهْ نِم مُتْسَنآ ْنِإَف َحاَكِنلا ْاوُغَلَ ب اَذِإ ََََح

artinya : “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian

menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya17".

Kecakapan berbuat hukum atau ahliyyah al-ada’ terdiri dari tiga tingkat. Setiap tingkat ini dikaitkan kepada batas umur seorang manusia. Ketiga tingkat itu adalah

17


(35)

1. Adim al-ahliyyah (

ةيلهاا ميدع

) atau tidak cakap sama sekali, yaitu manusia semenjak lahir sampai berumur tamyiz sekitar umur 7 tahun.Dalam batas umur ini,seorang anak belum sempurna akalnya atau belum berakal. Sedangkan taklif itu dikaitkan kepada sifat berakal. Karena itu anak seumur ini belum disebut mukalaf atau belum dituntut melaksanakan hukum. Ucapan-ucapan pembebasan dan ucapan lain yang diucapkannya tidak mempunyai akibat hukum atau tidak sah. Semua tindakan pelanggaran atau kejahatan yang dilakukannya tidak dapat dituntut secara badani. Untuk menutupi kerugian pihak lain yang menjadi korban kejahatannya yang dibebankan kepada hartanya atau harta orang tuanya.

2. Ahliyyah al-ada’ naqishah (

ةصق ن ءاداا ةيلها

) atau cakap berbuat hukum secara lemah, yaitu manusia yang telah mencapai umur tamyiz (kira-kira 7 tahun) sampai batas dewasa. Penamaan naqishah (lemah) dalam bentuk ini oleh karena akalnya masih lemah dan belum sempurna. Manusia dalam batas umur ini dalam hubungannya dengan hukum, sebagian tindakannya telah dikenanai hukum dan sebagian lainnya tidak dikenai hukum. Dalam hal ini tindakan manusia, ucapan atau perbuatannya, terbagi kepada 3 tingkat; dan setiap tingkat memiliki akibat hukum tersendiri, yaitu:

a) Tindakan yang semata-mata menguntungkan kepadanya; umpamanya menerima pemberian (hibah) atau wasiat. Semua tindakan dalam bentuk ini, baik dalam ucapan maupun perbuatan adalah sah dan terlaksana tampa persetujuan dari walinya.

b) Tindakan yang semata-mata merugikanya atau mengurangi hak-hak yang ada padanya; umpamanya pemberian yang dilakukannya, dalam bentuk hibah atau sadaqah, pembebasan utang; jual beli dengan harga yang tidak


(36)

pantas. Segala tindakannya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan yang dilakukan oleh mumayyiz dalam bentuk itu tidak sah dan tidak berikat hukum atau batal yang tidak memungkinkan untuk disetujui oleh walinya. c) Tindakan yang mengandung keuntungan dan kerugian. Umpamanya jual

beli, sewa menyewa, upah mengupah dan lainnya yang disatu pihak mengurangi haknya dan dipihak lain menambah hak yang ada padanya. Tindakan yang dilakukannya dalam bentuk ini tidak batal secara mutlak tetapi kesahannya tergantung pada persetujuan yang diberikan oleh walinya sesudah tindakan itu dilakukan.

3. Ahliyyah al-ada’ kamilah (

ةلم ك ءاداا ةيلها

) atau cakap berbuat hukum secara sempurna, yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa.Usia dewasa dalam kitab-kitab fiqh ditentukan dengan tanda-tanda yang bersifat jasmani; yaitu bagi wanita telah haid atau mens dan para laki-laki dengan mimpi bersetubuh. Pembatasan berdasarkan jasmani ini didasarkan pada petunjuk al-Qur’an, yaitu sampai usia perkawinan atau umur yang pada waktu itu telah mungkin melakukan perkawinan.

b. Ahliyyah al-wujub

Ahliyyah al-wujub adalah kepantasan seorang manusia untuk menerima hak-hak dan dikenai kewajiban. Kecakapan dalam bentuk ini berlaku bagi tiap manusia ditinjau dari segi ia adalah manusia, semenjak ia dilahirkan sampai menghembuskan nafas terakhir dalam segala sifat, kondisi dan keadaannya. Para ahli ushul membagi ahliyah al-wujub itu kepada dua tingkatan.


(37)

1. Ahliyah al-wujub naqish (

ةصق ن وجولا ةيلها

) atau kecakapan dikenai hukum secara lemah, yaitu ketika seorang masih berada di dalam kandungan ibunya (janin). Janin dianggap memiliki ahliyyah Al-Wujub yang belum sempurna, karena hak-hak yang harus ia terima belum dapat dimilikinya, sebelum ia lahir kedunia dengan selamat walau sesaat. Apabila ia telah lahir maka hak-hak yang ia terima menjadi miliknya. Ada empat hak janin yang masih dalam kandungan ibunya, yaitu:

a. Hak keturunan dari ayahnya b. Hak waris dari ahli warisnya c. Wasiat yang ditujukan kepadanya

d. Harta wakaf yang ditujukan kepadanya.18

2. Ahliyah al-wujub kamilah (

ةيلهاةلم ك وجولا

) atau kecakapan di kenai hukum secara sempurna, yaitu kecakapan seseorang untuk dikenai kewajiban dan juga menerima hak. Kecakapan ini berlaku semenjak ia lahir sampai ia sekarat selama ia masih bernafas.Contoh anak yang baru lahir, disamping ia berhak secara pasti menerima warisan dari orang tua atau kerabatnaya, ia juga dikenahi kewajiban seperti zakat fitrah atau zakat harta menurut sebagian pendapat ulama yang pelaksanaannya dilakukan oleh orang tua atau walinya.

Ketentuan ini juga penting untuk mencegah adanya tindakan dari orang yang tidak bertanggung jawab terhadap usaha penghilangan janin yang dikandung seseorang. Dalam penjelasan buku Perlindungan Anak disebutkan bahwa adanya ketentuan untuk memberikan perlindungan kepada anak secara utuh tanpa adanya diskriminasi antara yang sudah kawin dengan yang pernah kawin dimana persyaratan tersebut menekankan

18


(38)

pada segi legalistiknya, sedangkan dalam perlindungan anak penentuan batas usia anak lebih dititikberatkan pada aspek untuk melindungi anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan harkat dan martabatnya.19

Untuk menentukan batasan usia anak secara pasti tergolong agak sulit karena perkembangan seseorang baik fisik maupun psikis sangat variatif satu dan yang lainnya, walaupun seseorang itu sudah dewasa namun tingkah lakunya masih memperlihatkan tanda-tanda belum dewasa dan demikian pula sebaliknya. Bertitik tolak dari uraian diatas maka untuk pendefinisian anak yang dapat dijadikan acuan oleh penulis yaitu merujuk pada pengertian anak menurut Undang-Undang no 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dimana yang dimaksud dengan anak adalah “Seseorang yang belum

berusia 18 (Delapan belas tahun), termasuk anak yang didalam kandungan”.

B. PengertianTindak Pidana

1. Tindak Pidana Menurut Hukum Positif.

Tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “Strafbaar feit” atau

Delict”, atau “Crime” dalam bahasa Inggris. Namun, dalam beberapa literature dan perundang-undangan hukum pidana, terdapat istilah lain yang dipakai oleh para sarjana untuk menerjemahkan Strafbaar feit, seperti perbuatan pidana, peristiwa pidana, pelanggaran pidana, perbuatan yang dapat dihukum, perbuatan yang boleh dihukum, dan lain-lain.20

19

Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Perlindungan Anak berdasarkan UU No. 23 tahun 2002, hlm 8.

20

Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan Anak Serta Penerapannya, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hlm 9.


(39)

Pada dasarnya, istilah Strafbaar feit dijabarkan secara harfiah terdiri dari tiga kata. Straf yang diterjemahkan dengan pidana dan hukum.Kata baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh.Kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.Jadi, secara singkat bisa diartikan perbuatan yang dapat dihukum.21Selanjutnya menurut Pompe perkataan “Strafbaar feit” itu secara teoritis

dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum)

yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”.22

Menurut Vos memberikan definisi yang singkat, bahwa strafbaar feit ialah kelakuan atau tingkah laku manusia, yang oleh peraturan perundang-undangan diberikan pidana. Pidana yang dimaksud disini adalah hukuman, menurut R. Soesilo yang

dimaksud dengan hukuman ialah “suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan

oleh hakim dengan ponis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana”.23

Sudarto, menggunakan istilah tindak pidana dengan alasan bahwa istilah tindak pidana sudah sering dipakai oleh pembentuk undang-undang dan sudah diterima oleh masyarakat. Menurut Sudarto,24 yang dimaksud tindak pidana adalah “Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu, yang dilakukan oleh orang yang memungkinkan

pemberian pidana”.D. Simons berpendapat bahwa tindak pidana adalah tindakan

melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja

21

M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: AMZAH, 2012), hlm 25. 22

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hlm 23.

23

R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, (Bogor: Politea, 1995), hlm 56.

24


(40)

oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.25

Moeljatno, dengan memberikan alasan yang sangat luas lebih senang menggunakan istilah perbuatan pidana.Dalam definisinya, Moeljatno membedakan secara tegas antara perbuatan dan pertanggungjawaban pidana.Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan tersebut disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.Dengan demikian, terhadap seseorang yang disangka melakukan tindak pidana, pertama-tama harus dibuktikan dahulu mengenai perbuatan yang telah dilakukannya apakah telah memenuhi rumusan undang-undang atau tidak.Walaupun perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana ditentukan dalam undang-undang, namun tidak secara otomatis orang tersebut harus dihukum, karena dilihat pula mengenai kemampuan bertanggung jawabnya.Apabila dianggap tidak mampu bertanggung jawab, maka orang tersebut lepas dari segala tuntutan hukum.26

Apabila dihubungkan dengan masalah tindak pidana anak, maka terhadap anak yang telah melakukan Criminal act selain perlu dikaji sifat dari perbuatannya, patut diuji pula masalah kemampuan bertanggung jawab.Dengan demikian, diperlukan adanya kecermatan bagi hakim dalam menangani anak yang disangka telah melakukan suatu tindak pidana, untuk menentukan masalah pertanggungjawaban pidananya.

25

Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, (Malang: UMM Press, 2009), hlm 8.

26

Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan Anak Serta Penerapannya, hlm 11.


(41)

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Unsur-unsur tindak pidana terdiri atas unsur objektif dan unsur subjektif.Dalam masalah ini, Satochid Kartanegara menjelaskan unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang terdapat diluar diri manusia, yaitu berupa suatu tindak-tanduk, jadi suatu tindakan, suatu akibat tertentu dan berupa keadaan yang semuanya dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.27Adapun unsur subjektif adalah unsur yang terdapat pada diri pembuat.Unsur-unsur subjektif ini berupa hal yang dapat dipertanggungjawabkan seseorang terhadap perbuatan yang telah dilakukan (toerekeningsvat baarheid)dan kesalahan seseorang (schuld).28

Seseorang dapat dikatakan toerekeningsvat baarheidapabila orang tersebut memenuhi tiga syarat, yaitu keadaan jiwa orang tersebut dapat mengerti akan nilai dan akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya,29Orang tersebut dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang dilakukan,30Orang tersebut harus sadar bahwa perbuatan yang telah dilakukannya itu adalah perbuatan yang terlarang, baik dilihat dari segi hukum, dari sudut kemasyarakatan, ataupun darisegi ketatasusilaan.

Kemudian kesalahan seseorang atau schuldmerupakan unsur subjektif kedua dari tindak pidana bisa berupa dolus atau dalam Bahasa Belanda disebut opzet yang berarti kesengajaan dan culpa atau ketidaksengajaan atau kealpaan.Indikasi adanya opzet pada diri pelaku tindak pidana, KUHP menggunakan beberapa istilah. Yaitu dengan sengaja,

27

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian satu, (Ttp: Balai Lektur Mahasiswa, t.th), hlm 73.

28

M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, hlm 27.

29

Dalam hukum Islam, masalah ini biasanya dihubungkan dengan kondisi orang yang bersangkutan haruslah sudah baligh, dewasa, dan berakal sehat serta tidak dalamkondisi dipaksa oleh pihak lain.

30

Dalam konsep-konsep fiqih klasik, syarat yang kedua ini berkaitan dengan status sosial subjek hukum.Dalam hal ini, statusnya disyaratkan harus hurriyyah (merdeka) dan mandiri.


(42)

seperti dalam pasal 333 dan 338 KUHP, yang diketahuinya, seperti dalam pasal 280 dan 286 KUHP, dengan maksud seperti dalam pasal 362 dan 368 KUHP.31

Wirjono Projodikoro menjelaskan arti culpa adalah kesalahan pada umumnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak berat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak sengaja terjadi.32Tindak pidana akibat culpa ini dalam rumusan undang-undang ada dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tetapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidakhati-hatian itu sendiri.33

Sedangkan menurut Simon salah satu yang berpandangan monistis, unsur-unsur tindak pidana adalah:

a) Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat) b) Diancam dengan pidana

c) Melawan hukum

d) Dilakukan dengan kesalahan

e) Oleh orang yang mampu bertanggungjawab.

Sedangkan menurut Pompe yang berpandangan dualistik, walaupun menurut teori tindak pidana terdiri dari unsur-unsur: a. Perbuatan, b. Bersifat melawan hukum, c. Dilakukan dengan kesalahan, d. Diancam pidana. Namun dalam hukum positif, sifat

31

Tongat, Hukum Pidana Materiil, (Malang: UMM Press, 2006), cet ke-3, hlm 8-10, lihat juga P.A.F. Lamintang dan Djisman Samosir, Delik-delik Khusus Kejahatan yang Ditujukan terhadap Harta Milik dan Lain-Lain Hak yang Timbul dari Hak Milik, (Bandung: Tarsito, 1997), hlm 62.

32

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2003), cet pertama, hlm 72.

33


(43)

melawan hukum dan kesalahan bukan sifat mutlak untuk adanya tindak pidana. Oleh karena itu, ia memisahkan antara tindak pidana dari orang yang dapat dipidana.34

Pernyataan tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Moeljatno yang berpendapat bahwa unsur-unsur perbuatan pidana meliputi:

a. Perbuatan (manusia)

b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang c. Bersifat melawan hukum

Adapun kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab dari sipembuat tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana, karena hal tersebut melekat pada orang yang berbuat.

Apabila dilihat dari aspek yuridis-normatif, mengkaji suatu tindakpidana termasuk di dalamnya masalah kejahatan, maka arah pandangannya hanya fokus pada maslah lahiriyah, dalam arti hanya menitik-beratkan pada perbuatan nyata (actus-reus).Walaupun jangkauan secara luas dari hukum pidana mencakup pula pada persoalan batin (mens-rea) khususnya menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana.Namun, menyangkut persoalan tindak pidana, persoalan pokok lebih menitik-beratkan pada masalah moral/etika yang erat hubungannya dengan masalah kepribadian/kejiwaan (psikologis).Terkait dengan persoalan tindak pidana anak, maka persoalan pokok lebih menitik-beratkan pada masalah tingkah laku yang erat dengan masalah kejiwaan.

3. Tindak Pidana Menurut Hukum Islam

Dalam hukum Islam, istilah hukum pidana disebut dengan fiqh jinayah. Fiqih jinayah

adalah ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang

34

Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan Anak Serta Penerapannya, hlm 11-12.


(44)

(jarimah) dan hukumannya (uqubah), yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.35 Dalam penjelasan lain, Fiqih Jinayah adalah ilmu yang membicarakan tentang jenis-jenis hukum yang diperintah dan dilarang al-Qur’an dan hadis Nabi SAW, serta hukuman yang akan dikenakan kepada orang yang melanggar baik perintah maupun larangan tersebut (tindakan kriminal). Yang dimaksud tindakan kriminal adalah perbuatan kejahatan yang mengganggu ketertiban umum serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan.36 Hukum Pidana Islam merupakan Syari’at Allah yang mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun akhirat.37

Menurut Abdul Qadir Audah, Jinayah berarti “perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik

perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, maupun lainnya”.38

a. Macam-Macam Jarimah

Ulama fiqh membagi jarimah dilihat dari berat ringannya hukuman ada tiga jenis, yaitu: 1) Jarimah Hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had. Menurut

Abdul Qadir Audah, “hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara’ dan merupakan hak Allah”.

Jarimah hudud yang terdiri atas: a) Jarimah zina,

b) Jarimah qadzaf (menuduh muslim baik-baik berbuat zina), c) Jarimah syrub al-khamr (meminum minuman keras), d) Jarimah al-bagyu (pemberontakan),

e) Jarimah al-riddah (murtad),

35

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,2005), cet ke-1, hlm 1.

36

Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlaelawati, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis Kajian Perundang-undangan, Fikih dan Hukum Internasional (Jakarta: KENCANA, 2013), Cet-1, hlm 111.

37

Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar grafika, 2007), hlm, 1.

38

Abd Qadir Audah, al-Tasyri’ al-Jina’iy al-Islamiy, Juz 1 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Araby, t.t.), hlm 67.


(45)

f) Jarimah al-sariqah (pencurian), g) Jarimah al-hirabah (perampokan).39

2) Jarimah Qishash adalah menjatuhkan sanksi hukum kepada pelaku tindak pidana sama persis dengan tindak pidana yang dilakukan, nyawa dengan nyawa dan anggota tubuh dibalas dengan anggota tubuh.

Dalam fiqh jinayah sanksi qishash ada dua macam, yaitu: a) Qishash karena melakukan jarimah pembunuhan. b) Qishash karena melakukan jarimah penganiayaan.40

3) Jarimah Ta’zir adalah hukuman yang bersifat mendidik yang tidak

mengharuskan pelakunya dikenakan sanksi hukuman had dan tidak pula membayar kaffarah atau diyat. Dalam hukum Islam jenis hukuman yang

berkaitan dengan hukuman ta’zir diserahkan semuanya kepada kesepakatan

manusia.41

Ditinjau dari unsur-unsur jarimah atau tindak pidana, objek utama kajian fiqh jinayah dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Al-rukn al-syar’i atau unsur formil ialah unsur yang menyatakan bahwa seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku jarimah jika ada undang-undang yang secara tegas melarang dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindak pidana. 2. Al-rukn al-madi atau unsur materiil ialah unsur yang menyatakan bahwa

seseorang dapat dijatuhkan pidana jika ia benar-benar terbukti melakukan sebuah jarimah,

39

M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm 3.

40

M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, hlm 4-5.

41


(46)

3. Al-rukn al-adabi atau unsure moril ialah unsur yang menyatakan bahwa seseorang dapat dipersalahkan jika ia bukan orang gila, anak dibawah umur, atau sedang dibawah ancaman.42

Jika kita berbicara tentang hukum, secara sederhana segera terlintas dalam pikiran kita peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Bentuknya mungkin berupa hukum yang tidak tertulis seperti hukum adat, mungkin juga berupa hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan seperti hukum Barat. Hukum Barat melalui asas konkordansi, sejak pertengahan abad ke-19 (1855) berlaku di Indonesia. Hukum dalam konsepsi seperti hukum Barat adalah hukum yang sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur kepentingan manusia itu sendiri dalam masyarakat tertentu. Dalam konsepsi hukum perundang-undangan (Barat), yang diatur oleh hukum hanyalah hubungan manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat.

Di samping itu, ada konsepsi hukum lain, di antaranya adalah konsepsi Hukum Islam. Dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah, tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan-hubungan lainnya, karena manusia yang hidup dalam masyarakat itu mempunyai berbagai hubungan. Seperti hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dan manusia dengan benda dalam masyarakat serta alam sekitarnya.43

42

M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, hlm 2-3. 43

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hlm, 42.


(47)

Sedangkan untuk tujuan hukum Islam disebut dengan maqasid al-syari’ah. Secara umum tujuan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individu dan sosial. Dengan kata lain, untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil (segala) yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat, yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan. Abu Ishaq al Shatibi merumuskan maqasid al-syari’ah menjadi lima bidang, yakni (1) untuk memelihara agama (hifdz al-din), (2) memelihara jiwa (hifdz al-nafs), (3) memelihara akal (hifd al-aql), (4) memelihara keturunan (hifdz al-nasl), dan (5) memelihara harta (hifdz al-mal).44

Berdasarkan uraian tersebut, jelas bahwa tujuan hukum Islam termasuk juga hukum pidana, tidak hanya melindungi kepentingan individu, tetapi juga kepentingan masyarakat dan Negara, bahkan lebih dalam lagi adalah kepentingan yang berhubungan dengan keyakinan agama, jiwa, akal atau potensi berpikir, keturunan, maupun harta kekayaan. Jadi wilayah yang menjadi tujuan perlindungan dari hukum pidana Islam ini jelas luas sekali karena menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia, kaitannya dengan sesame manusia maupun dengan Sang Pencipta.

1) Asas-Asas dalam Hukum Islam

Secara terminologi asas merupakan landasan berpikir yang sangat mendasar. Jika dihubungkan dengan hokum, asas adalah kebenaran yang digunakan sebagai tumpuan berpikir dan alas an berpendapat, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hokum. Asas hukum berfungsi sebagai rujukan untuk mengembalikan segala masalah yang berkenaan dengan hukum.

44

Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlaelawati, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis Kajian Perundang-undangan, Fikih dan Hukum Internasional, hlm 119.


(48)

Asas Hukum Islam berasal dari sumber Hukum Islam terutama al-Qur’an dan Hadist yang dikembangkan oleh akal pikiran orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Asas-asas umum Hukum Islam adalah asas-asas hukum yang meliputi semua bidang dan lapangan Hukum Islam, yaitu meliputi:

a) Asas Keadilan

Asas keadilan merupakan yang paling penting dan substantif, serta mencakup semua asas dalam bidang hukum Islam. Sejatinya hukum adalah menjunjung tinggi keadilan karena keadilan adalah tujuan akhir dari pada sebuah hukum. Allah SWT

menyebutkan kata “keadilan” sebanyak lebih dari 1000 kali dalam al-Qur’an. Hal

tersebut mengingatkan kepada kita betapa pentingnya menegakkan keadilan diatas segalanya, terutama dalam menegakkan hukum.45 Salah satu ayat al-Qur’an yang memerintahkan manusia berlaku adil dan menegakkan keadilan di antaranya firman Allah SWT QS. Al-Shad ayat 26.







































































Artinya: “Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”.46

45

http://www.islamcendikia.com/2014/01/asas-asas-umum-dalam-hukum-islam.html?m=1. Diakses pada 24 Juni 2016.

46


(49)

Dari ayat diatas, Allah dengan sangat jelas memerintahkan penguasa, penegak hukum sebagai khalifah di bumi untuk menyelenggarakan hokum sebaik-baiknya, seadil-adilnya tanpa memandang stratifikasi sosial, baik kedudukan atau jabatan, asal-usul, termasuk mengenai keyakinan pencari keadilan. Semuanya harus ditegakkan berdasrkan keadilan.

b) Asas Kepastian Hukum

Asas kepastian hukum adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada satu perbuatan yang dapat dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan peraturan yang ada dan berlaku pada perbuatan itu. Asas ini berdasarkan firman Allah SWT QS.

Al-Israa’ ayat 15.















































Artinya:“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka

Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul”.47

Dari ayat tersebut dapat disimpulkan asas kepastian hukum yang menyatakan bahwa tidak ada suatu perbuatan pun dapat dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku untuk perbuatan itu48.

47

Departemen Agama RI, Al-Akhyar Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm 283. 48

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam diIndonesia, hlm 129.


(1)

2. Di dalam hukum Islam pencurian yang dilakukan terdakwa anak adalah pencurian ringan. Di dalam kasus ini terdakwa anak masih berusia 17 tahun. Dalam hukum yang berlaku di Indonesai, terdakwa anak masuk kedalam kategori peradilan anak. Oleh karena itu, hukuman yang diberikan terdakwa adalah hukuman ta’zir. Hukuman ta’zir merupakan salah satu bentuk restorative justice dalam penyelesaian tindak pidana anak. Hukuman ta’zir yang berupa pidana penjara selama 8 bulan tersebut diberikan sebagai ta’dib terhadap terdakwa anak agar tidak mengulangi kembali perbuatannya dan diharapkan kedepannya anak bisa menata kembali kehidupannya menjadi lebih baik lagi di masa depan.

B. Saran

Setelah penelitian Skripsi ini selesai, maka kiranya penulis perlu memberikan catatan-catatan yang perlu direnungkan. Di antara saran-saran tersebut sebagai berikut: 1. Bagi kepentingan pengambil kebijakan, skripsi ini sebagai masukan atau pertimbangan pembaharuan kebijakan formulasi sistem peradilan pidana anak di Indonesia mendatang agar batasan diversi terhadap kategori tindak pidana oleh anak bisa dihapuskan dari Undang-Undang., dan bagi penegak hukum skripsi ini dapat sebagai petunjuk dalam praktik sistem peradilan pidana anak. 2. Aparat penegak hukum, dan lapisan masyarakat khususnya orang tua mampu


(2)

ajaran-ajaran agama, akhlak dan moral disekolah-sekolah sebagai benteng pertahan diri setiap anak serta memperhatikan setiap pergaulan para anaknya agar tidak terjerumus kedalam hal-halyang negatif. Akan tetapi jika ada permasalahan diharapkan menggunakan sistem yang baik yang bertujuan untuk kesejahteraan anak, agar anak-anak Indonesia tetap tersenyum bahagia menikmati masa kecilnya.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Referensi

Audah, Abdul Qadir. al-Tasyri’ al-Jina’iy al-Islamiy Juz 1. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Araby, t.t. Al-Asqalani, Ibn Hajar. Bulughul Marammin Adillatil Ahkam. Bandung: Penerbit Jabal, 2011. Ali, Mahrus dan Syarif Nurhidayat. Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat In Court System &

Out System. Jakarta: Gratama Publishing, 2011.

Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009.

Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Al-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Beirut: Dar Al-Fikr,1997. Departemen Agama RI. Al-Akhyar Al-Qur’an dan Terjemahnya.

Devi, Chindy Pratisti Puspa. Restorative Justice Pada Hukum Pidana Anak Indonesia Dalam Persfektif Hukum Islam. Depok: Indie Publishing, 2014.

Djafar, Muhammad. Pedoman Ibadah Muslim dalam Empat Madzhab Sunni dan dalil-dalilnya. Surabaya : GBI (Anggota IKAPI), 1993.

Djamil, M. Nasir, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Anak (UU-SPPA). Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

Fuad, M. Fachruddin, Masalah Anak dalam Hukum Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991.

Hakim, Rahmat. Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah). Bandung: Pustaka Setia, t.t. Hatta, Ahmad. Tafsir Qur’an Perkat. Jakarta: Maghfiroh Pustaka, 2010.

Hosen, Ibrahim. Fiqh Perbandingan, Jakarta : Balai Penerbitan & Perpustakaan Islam Yayasan Ihya Ulumuddin Indonesia, Jilid 1, 1971.


(4)

Irfan, M. Nurul dan Masyrofah. Fiqh Jinayah. Jakarta: Amzah, 2013.

Jahar, Asep Saepudin dan Euis Nurlaelawati, dkk. Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis Kajian Perundang-undangan, Fikih dan Hukum Internasional. Jakarta: KENCANA, 2013.

Jumantoro, Totok, dkk. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: PT.Amzah, 2005.

Kartanegara, Satochid. Hukum Pidana Bagian satu. Ttp: Balai Lektur Mahasiswa, t.th.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Perlindungan Anak berdasarkan UU No. 23 tahun 2002.

Lamintang, P.A.F. dan Djisman Samosir. Delik-delik Khusus Kejahatan yang Ditujukan terhadap Harta Milik dan Lain-Lain Hak yang Timbul dari Hak Milik. Bandung: Tarsito, 1997.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014.

Marlina. Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Jurnal Equality, Vol. 13 No. 1 Februari 2008. Marlina. Pengantar Konsep Diversi dan Restroative Justice Dalam Hukum Pidana. Medan:

USU Press, 2010.

Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Universitas Diponegoro, 1995. Mulyadi, Lilik. Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia. Bandung: P.T.

Alumni, 2014.

Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika,2005.

P.A.F. Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997.

Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama, 2003.

R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal. Bogor: Politea, 1995.


(5)

Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah 5. Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009

Sambas, Nandang. Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan Anak Serta Penerapannya. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.

Solehuddin. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003

Sudarsono. Kenakalan Remaja. Jakarta: Rineka Cipta, 1991. Sudarto. Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto, 1990.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2008.

Tongat. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan. Malang: UMM Press, 2009.

Tongat. Hukum Pidana Materiil. Malang: UMM Press, 2006.

Wahyudi, Setya. Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing, 2011.

B. Skripsi dan Tesis

Fitriani, Ifah Latifah. Islam dan Keadilan Restoratif Pada Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta (2012). Mujubah, Mufidatul. Konsep Diversi Dalam Sistem Peradilan Anak Persfektif Hukum Islam (Studi Atas UU RI No. 11 Tahun 2012 Tentang Sitem Peradilan Pidana Anak). Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta 2013. Larasati, Rani Putri. Analisis Kasus Putusan (Perkara Nomor

225/PID.B/2010/PN-BKL) Dalam Perspektif Restorative Justice. Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta 2014.

Ramzy, Ahmad. Perdamaian Dalam Hukum Pidana Islam dan Penerapan Restorative Justice Dikaitkan Dengan Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. Tesis. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012.


(6)

C. Peraturan Perundang-undangan

Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan Tentang Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak.

Undang-Undang No 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-Undang RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

PERMA No 4 Tahun 2014

D. Internet

http://reskrimun.metro.polri.go.id/site/statistik.

http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2015/08/04/337054/sepuluh-ribu-anak-kini-berhadapan-dengan-hukum.

http://Metro.sindonews.com/read/910410/31/5-000-anak-mendekam-di-penjara-1412957017.

http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt522ec06e6e632/kultur-menghukum--hambatan-penerapan-diversi.

http://m.hukumonline.com/klinik/detail/l4eec5db1d36b7/perbedaan-batasan-usia-cakap-hukum-dalam-peraturan-perundang-undangan.

http://www.islamcendikia.com/2014/01/asas-asas-umum-dalam-hukum-islam.html?m=1.

http://m.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/15/05/11/no6bg710-usia-kualitatif-pernikahan.