Keanekaragaman Makrozoobentos dan Kualitas Perairan di Kawasan Mangrove Desa Lubuk Kertang Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

5

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Mangrove
Hutan Mangrove merupakan ekosistem yang unik dan berfungsi ganda
dalam lingkungan hidup. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh lautan dan
daratan, sehingga terjadi interaksi kompleks antara sifat fisika, sifat kimia dan
sifat biologi. Hutan mangrove tergolong salah satu sumberdaya alam yang dapat
diperbaharui dan terdapat hampir di seluruh perairan Indonesia yang berpantai
landai. Meskipun demikian hutan mangrove merupakan ekosistem yang mudah
rusak jika terjadi perubahan pada salah satu unsur pembentuknya sehingga dikenal
sebagai fragile ecosystem (Arief, 2003).
Kondisi fisik yang tampak jelas di daerah mangrove adalah gerakan air
yang minim sehingga mengakibatkan partikel-partikel sedimen yang halus sampai
di daerah mangrove cenderung mengendap dan mengumpul di dasar berupa
lumpur halus yang menjadi dasar (substrat) hutan. Sirkulasi air dalam dasar
(substrat) yang sangat minimal, ditambah dengan banyaknya bahan organik dan
bakteri penyebab kandungan oksigen di dalam dasar sangat minim, bahkan
mungkin tidak terdapat oksigen sama sekali di dalam substrat (Kusmana, 1997).
Vegetasi mangrove mempunyai morfologi dan anatomi tertentu sebagai

respons fisiogenetik terhadap habitatnya. Vegetasi mangrove yang bersifat
halopitik menyukai tanah-tanah yang bergaram, misalnya Avicennia sp.,
Bruguiera sp., Lumnitzera sp., Rhizophora sp. dan Xylocarpus sp. Vegetasi
tersebut menentukan ciri lahan mangrove berdasarkan sebaran dan sangat terikat

6

pada habitat mangrove. Vegetasi yang tidak terikat dengan habitat mangrove
antara lain adalah Acanthus sp., Baringtonia sp., Callophyllum sp., Calotropis sp.,
Cerbera sp., Clerodendron sp., Derris sp., Finlaysonia sp., Hibiscus sp., Ipomoea
sp., Pandanus sp., Pongamia sp., Scaevola sp., Sesuvium sp., Spinifex sp.,
Stachytarpheta sp., Terminalia catappa, Thespesia sp. dan Vitex sp.
(Gunarto, 2004).

Makrozoobentos
Makrozoobentos adalah organisme yang mendiami dasar perairan atau
tinggal dalam sedimen dasar perairan. Organisme bentos mencakup organisme
nabati yang disebut fitobentos dan organisme hewani yang disebut zoobentos
(Odum, 1993). Selanjutnya menurut Arief (2003) beberapa makrozoobentos yang
umum ditemukan di kawasan mangrove Indonesia adalah makrozoobentos dari

kelas Gastropoda, Bivalvia, Crustaceae, dan Polychaeta.
Dalam siklus hidupnya, terdapat beberapa makrozoobentos yang hidupnya
hanya sebagian saja sebagai bentos, misalnya pada stadia muda saja atau
sebaliknya. Pada umumnya cacing dan bivalvia hidup sebagai bentos pada stadia
dewasa, sedangkan ikan demersal hidup sebagai bentos pada stadia larva.
Zoobentos umumnya bersifat relatif tidak aktif dengan ciri khusus seperti:
tubuhnya dilindungi cangkang, memiliki bagian tubuh yang dapat dijulurkan,
berkembangnya bagian tubuh tambahan seperti rambut, bulu-bulu keras serta
tersusun atas otot-otot yang memudahkan pergerakannya di atas maupun di dalam
sedimen (Nyabakken, 1992).

7

Klasifikasi Bentos
Berdasarkan ukurannya, Lind (1979) mengklasifikasikan zoobentos
menjadi dua kelompok besar yaitu mikrozoobentos dan makrozoobentos. Sejalan
dengan ukurannya, Hutabarat dan Evans (1985) juga mengklasifikasikan
zoobentos ke dalam tiga kelompok berdasarkan ukurannya, yaitu :
1. Mikrofauna adalah hewan-hewan dengan ukuran lebih kecil dari 0,1 mm yang
digolongkan ke dalam protozoa dan bakteri.

2. Meiofauna adalah hewan-hewan dengan ukuran 0,1 hingga 1,0 mm.
Digolongkan ke dalam beberapa kelas protozoa berukuran besar dan kelas
crustacea yang sangat kecil serta cacing dan larva invertebrata.
3. Makrofauna adalah hewan-hewan dengan ukuran lebih besar dari 1,0 mm.
Digolongkan ke dalam hewan moluska, echinodermata, crustacea dan beberapa
filum annelida.
Berdasarkan tempat hidupnya, zoobentos dibagi atas dua kelompok, yaitu :
epifauna yaitu organisme bentik yang hidup dan berasosiasi dengan permukaan
substrat dan infauna yaitu organisme bentik yang hidup di dalam sedimen
(substrat) dengan cara menggali lubang (Nyabkken 1992).
Menurut Odum (1993) mengklasifikasikan zoobentos berdasarkan
kebiasaan makannya ke dalam dua kelompok yaitu :
a. Filter-feeder yaitu hewan yang menyaring partikel-partikel detritus yang
melayang-layang dalam perairan misalnya Balanus (Crustacea), Chaetopterus
(Polyhaeta) dan Crepudia (Gastropoda).

8

b. Deposit-feeder yaitu hewan bentos yang memakan partikel-partikel detritus
yang telah mengendap di dasar perairan misalnya Terebella dan Amphitrile

(Polychaeta), Tellina dan Arba (Bivalvia).
Sejalan dengan kebiasaan makannya, Knox (1986) membagi ke dalam
lima kelompok yaitu : hewan pemangsa, hewan penggali, hewan pemakan detritus
yang mengendap di permukaan, hewan yang menelan makanan pada dasar dan
hewan yang sumber makanannya dari atas permukaan.

Makrozoobentos sebagai Indikator Kualitas Lingkungan Perairan
Menurut Ayu (2009) dalam mengkaji kondisi perairan, selain ikan,
penggunaan struktur komunitas avertebrata seperti makrozoobentos untuk
menggambarkan kondisi ekosistem akuatik yang terintegrasi sudah mulai
berkembang. Untuk dapat menduga kualitas perairan secara tepat melalui
penggunaan komunitas biota perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Keberadaan atau ketiadaan organisme harus lebih merupakan fungsi kualitas
air daripada faktor ekologis.
2. Metode yang digunakan harus diyakini dapat menduga kualitas air sehingga
dapat diperbandingkan.
3. Pendugaan harus terkait dengan kualitas air untuk jangka waktu yang cukup
lama, bukan hanya pada saat sampling.
4. Perlu diperhatikan bahwa pendugaan harus lebih dikaitkan dengan tujuan
sampling.

5. Sampling, penyortiran, identifikasi dan pengolahan data harus dilakukan secara
baik dan benar.

9

Distribusi bentos dalam ekonomi perairan alam mempunyai peranan
penting dari segi aspek kualitatif dan kuantitatif. Untuk distribusi kualitatif,
keadaan jenis dasar berbeda terdapat aksi gelombang dan modifikasi lain yang
membawa keanekaragaman fauna pada zona litoral. Zona litoral mendukung
banyak jumlah keanekaragaman fauna yang lebih besar daripada zona sublitoral
dan profundal. Populasi litoral dan sublitoral, khususnya bentuk mikroskopik.
Terdapat banyak serangga dan moluska, dua kelompok ini biasanya sebanyak
70% atau lebih dari jumlah komponen spesies yang ada. Dengan peningkatan
kedalaman yang melebihi zona litoral, jumlah spesies bentik biasanya berkurang.
Pengaruh perbedaan jenis substrat dasar dimodifikasi oleh massa alga filamen
yang menutupi luas area. Substrat dasar lumpur sering digambarkan sebagai
pendukung jumlah spesies (Welch, 1952).
Menurut Mason (1981) beberapa alasan makrozoobentos sering digunakan
sebagai bioindikator pencemaran di suatu lingkungan perairan adalah sebagai
berikut:

a. Prosedur samplingnya relatif sudah berkembang dimana telah tersedia kunci
identifikasi untuk sebagian besar kelompok biota.
b. Hidup menetap (sesil) dan mobilitasnya rendah sehingga dapat digunakan
untuk menduga kualitas suatu perairan dimana komunitas organisme tersebut
berada.
c. Organisme ini mudah ditangkap dan dianalisis.
Pada dasarnya, jika limbah organik dibuang ke suatu badan perairan, maka
akan timbul serangkaian peristiwa seiring dengan berjalannya waktu. Hal ini

10

menciptakan kondisi lingkungan yang berbeda dan menghasilkan komunitas
akuatik yang berubah secara suksesif di perairan tersebut. Struktur komunitas
makrozoobentos dalam kondisi perairan tertentu disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Struktur Komunitas Makrozoobentos dalam Kondisi Perairan Tertentu
(Wilhm, 1975)
Kondisi Perairan
Tidak Tercemar

Tercemar Sedang

Tercemar

Tercemar Berat

Penggunaan

Penjelasan
Komunitas makrozoobentos yang seimbang dengan beberapa
spesies intoleran hidup dengan diselingi populasi fakultatif,
tidak ada 1 spesies yang mendominasi.
Penghilangan sejumlah jenis intoleran dan beberapa
fakultatif, serta 1 atau 2 spesies toleran mulai mendominasi.
Komunitas makrozoobentos dengan jumlah yang terbatas
yang diikuti oleh penghilangan dari kelompok intoleran dan
fakultatif. Kelompok toleran mulai berlimpah merupakan
tanda perairan tercemar bahan organik.
Penghilangan hampir seluruh hewan makroinvertebrata,
kemudian diganti oleh cacing Oligochaeta dan organisme
yang mampu bernapas ke udara.


makrozoobentos

sebagai

indikator

kualitas

perairan

dinyatakan dalam bentuk indeks biologi. Kemudian oleh para ahli biologi
perairan, pengetahuan ini dikembangkan, sehingga perubahan struktur dan
komposisi organisme perairan karena berubahnya kondisi habitat dapat dijadikan
indikator kualitas perairan (Rosenberg dan Resh, 1993).

Asosiasi Makrozoobentos pada Hutan Mangrove
Invertebrata yang hidup di ekosistem mangrove diwakili beberapa filum,
termasuk

Moluska,


Arthropoda,

Sipuncula,

Nematoda,

Nemertean,

Platyhelminthes, dan Annelida. Crustacea yang paling berlimpah dan beragam
adalah Brachyura atau kepiting sejati dan di antara jenis Brachyura mangrove
yang dominan adalah famili Grapsidae dan Ocypodidae (Hogarth, 2007).

11

Golongan

invertebrata

merupakan


komponen

penting

ekosistem

mangrove, menyediakan berbagai sumber makanan bagi hewan lain yang lebih
tinggi tingkat trofiknya. Fungsi ekologis invertebrata bentos dapat dilihat dari
produksi berjuta larva invertebrata dalam bentuk meroplankton (hidup sebagai
plankton hanya pada stadium larva), larva ini merupakan sumber makanan bagi
populasi ikan. Di samping itu, invertebrata bentos juga menjaga keseimbangan
ekosistem dengan membuat lubang pada substrat, sehingga air dan udara dapat
masuk ke dalam substrat karena itu dapat menambah oksigen dan unsur hara ke
dalam substrat (Chaudhuri dan Choudhury, 1994).
Kelompok fauna perairan/akuatik yang berkoeksistensi di ekosistem hutan
mangrove terdiri atas dua tipe yaitu; biota yang hidup di kolam air, terutama
berbagai jenis ikan dan udang; dan yang menempati substrat baik keras (akar dan
batang mangrove) maupun lunak (lumpur) terutama kepiting, kerang dan berbagai
jenis invertebrata lainnya. Beberapa jenis invertebrata makrobentik yang bisa

dijumpai di habitat mangrove antara lain dari jenis crustacea seperti lobster
lumpur (Thalassina sp.), kepiting bakau serta beberapa jenis dari gastropoda,
polychaeta, brachyurans dan sipunculida. Masing-masing dari invertebrata
makrobentik tersebut ada yang hidup sebagai epifauna (hidup di atas permukaan
substrat) maupun infauna (hidup di dalam substrat) (Irwanto, 2006).
Menurut Snedaker et al. (1984), ekosistem mangrove memiliki keunikan
tersendiri karena merupakan penggabuungan empat anasir dasar yang saling
berinteraksi, yaitu tumbuhan, hewan, tanah dan air yang menempati daerah ekoton

12

yang secara periodik terkena pasang surut air laut, sehingga organisme yang hidup
di dalamnya menunjukan pemintakatan.
Makrobentos adalah salah satu komponen dalam ekosistem hutan
mangrove yang memberikan pengaruh cukup besar terhadap kelestarian hutan
mangrove karena perannya dalam proses dekomposisi awal bahan organik. Peran
makrobentos sebagai dekomposer awal mampu memproses 50% dari total
produksi serasah, sehingga menjadi penyumbang penting dalam siklus hara dan
aliran energi pada ekosistem mangrove (Allongi, 2009).
Serasah mangrove akan mengalami dekomposisi oleh mikroorganisme
untuk menghasilkan detritus dan mineral bagi kesuburan tanah, serta menjadi
sumber nutrisi bagi produsen primer dalam tingkat tropik. Kemudian zooplankton,
benthos dan ikan akan memanfaatkan sebagai sumber energi dalam kedudukannya
sebagai konsumen primer. Hubungan jaring makanan ini terus terpelihara dengan
baik dan meningkat dengan bertambahnya jumlah masing-masing komponen yang
bersiklus tadi, karena kunci kesuburan perairan kawasan mangrove terletak pada
stabilitas setiap komponen ekosistemnya (Nybakken, 1993).

Parameter Kualitas Air
1. pH
Untuk menyatakan tingkat keasaman suatu larutan digunakan pengertian
derajat keasaman ang disebut pH. Kimiawan Sorensen mendefinisikan pH sebagai
logaritma negatif konsentrasi ion hidrogen (bilangan dasar 10). Nilai pH (p

13

berasal dari kata potenz, yang berarti pangkat dan H adalah lambang atom
hidrogen) (Sumardjo, 2008).
pH tanah di kawasan mangrove sangat berpengaruh terhadap keberadaan
makrozoobentos. Tanah akan sangat peka terhadap proses biologi seperti
dekomposisi bahan organik oleh makrozoobentos jika keasaman tanah berlebih.
Proses dekomposisi bahan organik pada umumnya akan mengurangi suasana
asam, sehingga makrozoobentos akan tetap aktif melakukan aktivitasnya
(Arief, 2003).
Air normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan mempunyai pH
berkisar antara 6,5-7,5. Air limbah dan bahan buangan dari berbagai kegiatan
manusia yang dibuang ke suatu badan perairan akan mengubah pH air yang pada
akhirnya dapat mengganggu kehidupan organisme di dalamnya. Bagi hewan
bentos pH berpengaruh terhadap menurunnya daya stress (Wardhana, 1994).
Pengaruh nilai pH terhadap komunitas biologi perairan ditunjukkan dalam
Tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan (Effendi, 2003)
Nilai pH
6,0 - 6,5

5,5 - 6,0

5,0 - 5,5
4,5 - 5,0

Pengaruh Umum
Keanekaragaman bentos sedikit menurun.
Kelimpahan total, biomassa, dan produktifitas tidak mengalami
perubahan.
Penurunan nilai keanekaragaman bentos semakin tampak.
Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas masih belum mengalami
perubahan yang berarti.
Penurunan keanekaragaman dan komposi jenis bentos semakin besar.
Terjadi penurunan kelimpahan total dan biomassa bentos.
Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis bentos semakin besar.
Penurunan kelimpahan total dan biomassa bentos.

14

2. Suhu
Suhu air permukaan diperairan nusantara kita umumnya berkisar antara
28-31°C, dan suhu air didekat pantai biasanya sedikit lebih tinggi dari pada
dilepas pantai. Selanjutnya dikatakan bahwa hewan laut hidup batas suhu tertentu,
ada yang mempunyai toleransi besar terhadap perubahan suhu, disebut bersifat
euriterm, sebaliknya ada pula toleransinya sangat kecil disebut bersifat stenoterm.
Hewan yang hidup pada zona pasang surut dan sering mengalami kekeringan
mempunyai daya tahan yang besar terhadap perubahan suhu (Nontji, 1987).
Kemudian Nybakken (1992) menambahkan bahwa umumnya suhu di atas 30̊ C
dapat menekan pertumbuhan populasi hewan bentos.
Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai bagi
pertumbuhannya. Aktivitas mikroorganisme memerlukan suhu optimum yang
berbeda-beda. Setiap peningkatan suhu sebesar 10̊ C akan meningkatkan proses
dekomposisi dan konsumsi oksigen menjadi 2-3 kali lipat. Namun, peningkatan
suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga keberadaan
oksigen sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme
akuatik untuk melakukan metabolisme dan respirasi. Dengan kata lain, makin
tinggi kenaikan suhu air, makin sedikit oksigen yang terkandung di dalamnya
(Effendi, 2003).

3. Salinitas
Salinitas dapat mempengaruhi penyebaran organisme bentos baik secara
horizintal, maupun vertikal. Secara tidak langsung mengakibatkan adanya

15

perubahan komposisi organisme dalam suatu ekosistem (Odum, 1993).
Brotowidjoyo, dkk (1995) juga menambahkan bahwa salinitas berpengaruh
terhadap reproduksi, distribusi, osmoregulasi. Perubahan salinitas tidak langsung
berpengaruh terhadap perilaku biota tetapi berpengaruh terhadap perubahan sifat
kimia air.
Salinitas air tanah dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti genangan
pasang, topografi, curah hujan, masukan air tawar dan sungai, run-off daratan dan
evaporasi (Annas, 2004). Menurut Mudjiman (1981), kisaran salinitas yang
dianggap layak bagi kehidupan makrozoobentos berkisar 15-45‰, karena pada
perairan yang bersalinitas rendah maupun tinggi dapat ditemukan makrozoobentos
seperti siput, cacing (Annelida) dan kerang-kerangan.

4. Substrat
Jenis substrat berkaitan dengan kandungan oksigen dan ketersediaan
nutrien dalam sedimen. Pada substrat berpasir, kandungan oksigen relatif lebih
besar dibandingkan dengan substrat yang halus, karena pada substrat berpasir
terdapat pori udara yang memungkinkan terjadinya percampuran yang lebih
intensif dengan air di atasnya. Namun demikian, nutrien tidak banyak terdapat
pada substrat berpasir. Sebaliknya, pada substrat yang halus, oksigen tidak begitu
banyak tetapi biasanya nutrien tersedia dalam jumlah yang cukup besar
(Bengen, 2004).
Makrozoobentos (terutama Moluska) terdapat dalam jumlah yang sedikit
pada tipe tanah liat. Hal ini dikarena substrat liat dapat menekan perkembangan

16

dan kehidupan makrozoobentos, karena partikel-partikel liat sulit ditembus oleh
makrozoobentos untuk melakukan aktivitas kehidupannya. Selain itu, tanah liat
juga mempunyai kandungan unsur hara yang sedikit (Arief, 2003).

5. Kecerahan
Kecerahan air merupakan ukuran kejernihan suatu perairan, semakin tinggi
suatu kecerahan perairan semakin dalam cahaya menembus ke dalam air.
Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan merupakan
ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan
secchi disk. Nilai kecerahan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu
pengukuran, padatan tersuspensi dan kekeruhan serta ketelitian orang yang
melakukan pengukuran. Tingkat kecerahan air dinyatakan dalam suatu nilai yang
dikenal dengan kecerahan secchi disk (Effendi, 2003).

6. Kedalaman
Kedalaman perairan berhubungan dengan intensitas cahaya yang masuk ke
dalam kolom perairan. Intensitas cahaya yang masuk ke dalam kolom air semakin
berkurang dengan bertambahnya kedalaman perairan (Effendi, 2003). Pada
umumnya beberapa jenis makrozoobentos dapat ditemukan pada kedalaman yang
berbeda (Odum, 1993).

7. Dissolved Oxygen (DO)

17

DO menunjukkan banyaknya oksigen terlarut yang terdapat di dalam air
yang dinyatakan dalam ppm. Oksigen di perairan berasal dari proses fotosintesis
dari fitoplankton atau jenis tumbuhan air dan melalui proses difusi dari udara.
Senyawa oksigen di air terdapat dalam dua bentuk; yaitu terikat dengan unsur lain
(NO3-, NO2-, PO4-, CO2 dan CO3-) dan dalam bentuk senyawa bebas (O2). Kadar
oksigen terlarut dalam perairan alami tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi
air dan tekanan atmosfer (Effendi, 2003).
Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian (diurnal) dan
musiman tergantung pada pencampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence)
masa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah (effluent) yang masuk ke
dalam badan air. Penurunan DO di air dapat terjadi karena suhu yang tinggi,
proses respirasi, masukan bahan organik, proses dekomposisi serta tingginya
salinitas. Penurunan oksigen terlarut dalam air dapat disebabkan karena suhu yang
tinggi, proses respirasi, masukan bahan organik, proses dekomposisi serta
tingginya salinitas. Kelarutan oksigen dan gas-gas lainnya juga berkurang dengan
meningkatnya salinitas sehingga kadar oksigen di laut cenderung lebih rendah dari
pada kadar oksigen di perairan tawar (Effendi, 2003).
Oksigen sangat penting bagi hampir seluruh kehidupan organisme,
sehingga keberadaannya sangat membatasi distribusi dari berbagai jenis tumbuhan
dan hewan. Berkurangnya kadar oksigen di perairan disebabkan oleh beberapa hal
yaitu pertama, proses respirasi dari jenis tumbuhan, hewan dan bakteri di
semuakolom perairan. Kedua, perpindahan oksigen dari permukaan air yang kadar

18

oksigennya lewat jenuh (supersaturasi) ke atmosfer. Ketiga, reaksi kimia yang
terjadi dalam air (Royce, 1973).

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrozoobentos dan Kualitas Perairan di Kawasan Mangrove Desa Lubuk Kertang Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

0 0 5

Keanekaragaman Makrozoobentos dan Kualitas Perairan di Kawasan Mangrove Desa Lubuk Kertang Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

0 1 3

Keanekaragaman Makrozoobentos dan Kualitas Perairan di Kawasan Mangrove Desa Lubuk Kertang Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

0 0 4

Keanekaragaman Makrozoobentos dan Kualitas Perairan di Kawasan Mangrove Desa Lubuk Kertang Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

0 0 2

Keanekaragaman Makrozoobentos dan Kualitas Perairan di Kawasan Mangrove Desa Lubuk Kertang Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

0 0 15

Analisis Vegetasi Mangrove dan Keanekaragaman Jenis Ikandi Kawasan Mangrove Desa Lubuk Kertang Kecamatan Pangkalan Brandan Barat Kabupaten Langkat Sumatera Utara

0 1 18

Analisis Vegetasi Mangrove dan Keanekaragaman Jenis Ikandi Kawasan Mangrove Desa Lubuk Kertang Kecamatan Pangkalan Brandan Barat Kabupaten Langkat Sumatera Utara

0 5 3

Analisis Vegetasi Mangrove dan Keanekaragaman Jenis Ikandi Kawasan Mangrove Desa Lubuk Kertang Kecamatan Pangkalan Brandan Barat Kabupaten Langkat Sumatera Utara

0 0 8

Analisis Vegetasi Mangrove dan Keanekaragaman Jenis Ikandi Kawasan Mangrove Desa Lubuk Kertang Kecamatan Pangkalan Brandan Barat Kabupaten Langkat Sumatera Utara

0 0 5

Analisis Vegetasi Mangrove dan Keanekaragaman Jenis Ikandi Kawasan Mangrove Desa Lubuk Kertang Kecamatan Pangkalan Brandan Barat Kabupaten Langkat Sumatera Utara

0 0 2