Kajian Karakteristik Tanah Typic Hapludults Pada Berbagai Generasi Tanam Kelapa Sawit Pt Socfin Indonesia Di Kebun Aek Loba Kabupaten Asahan

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kelapa sawit di Indonesia pertama kali diusahakan sebagai tanaman
perkebunan komersial pada tahun 1911 yang didirikan di Sumatera, oleh Adrien
Hallet yang berkebangsaan Belgia (Murdoch, 2009). Di wilayah kabupaten
Asahan, Sumatera Utara, pembukaan perkebunan kelapa sawit diawali dengan
pembukaan kebun Pulo Raja pada tahun 1911 (PASPI, 2016), disusul dengan
perkebunan lainnya seperti perusahaan Socfin SA yang membuka Perkebunan
Padang Pulo di tahun 1923 dan Perkebunan Aek Loba tahun 1924 (Socfin Medan
SA, 1948). Pada tahun 1938, di Sumatera diperkirakan sudah ada 90 ribu hektar
perkebunan kelapa sawit. Peningkatan jumlah perkebunan cukup pesat, dari hanya
10 perkebunan pada tahun 1925 menjadi 64 perkebunan pada tahun 1940 (Pahan,
2006). Luas areal kebun kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2015 diperkirakan
sudah mencapai 11.444.808 Ha (BPS, 2014).
Perkembangan luas areal kelapa sawit di Indonesia yang meningkat pesat
dari tahun 1990 hingga 2010 (dari 1.126.677 Ha menjadi 8.548.828 Ha) atau
meningkat hampir 7 kali lipat, sering dituduh sebagai penyebab kerusakan hutan
atau alih fungsi hutan. Gunarso et al (2013) yang telah meneliti perubahan status
lahan perkebunan kelapa sawit dari tahun 1990 hingga tahun 2010, melaporkan
bahwa perkebunan kelapa sawit mayoritas berasal dari: ex. ladang (kebun

campuran), eks. HTI, karet, dan kebun campuran = 34,1 %; dari areal ex. padang

Universitas Sumatera Utara

rumput, semak dan lahan marginal = 32,3% , sekitar 27,4% berasal dari hutan
sekunder dan sisanya sekitar 6,2% berasal dari ex. hutan primer. Tutupan lahan
dianalisa dengan cara remote sensing menggunakan citra satelit landsat 7 ETM
dan Landsat 5 TM multi year pada periode 1990 - 2000, 2000 - 2005 dan 2005 2010.
Perkebunan Aek Loba yang sebagian besar merupakan eks ladang rakyat
dan eks hutan sekunder. Luas Kebun Aek Loba tahun 2016 = 8.611,35 Ha yang
sudah mengalami beberapa kali peremajaan tanaman (replanting) dengan luas
areal Generasi tanam pertama (G1) = 52,43 Ha (0,6%); Generasi Tanam II (G2) =
4.540,48 Ha (52,7%); Generasi Tanam III (G3) = 2.581,30 Ha dan Generasi
Tanam IV (G4) = 1.437,04 (Socfindo, 2016).
Menurut Oldeman (1994) ada lima faktor penyebab degradasi lahan akibat
campur tangan manusia secara langsung, yaitu: deforestasi, overgrazing (padang
penggembalaan), aktivitas pertanian, eksploitasi berlebihan, dan aktivitas industri
/ bio industri. Selanjutnya, Lal (1986) juga mengemukakan hal yang sama di mana
faktor penyebab degradasi tanah dan rendahnya produktivitas lahan, antara lain:
deforestasi, mekanisasi dalam usahatani, kebakaran, penggunaan bahan kimia

pertanian dan penanaman secara monokultur.
Utami dkk (2013) mengungkapkan bahwa alih fungsi hutan menjadi
tanaman karet dan kelapa sawit mengakibatkan terjadinya degradasi sifat fisik dan
kimia tanah. Bobot isi tanah pada lahan karet dan kelapa sawit lebih tinggi
dibandingkan dengan lahan hutan, terutama pada lapisan atas. Hal ini karena
kandungan bahan organik yang relatif lebih rendah pada lahan karet dan kelapa

Universitas Sumatera Utara

sawit. Kadar air volumetrik hutan ternyata lebih rendah dibandingkan dengan
kebun karet, dan kelapa sawit. Kondisi ini menunjukkan bahwa laju pergerakan
air di lahan hutan lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan lain baik
karena diserap akar, evapotranspirasi, maupun perkolasi. Hutan mempunyai pori
makro yang paling tinggi namun ketersediaan air paling rendah dibandingkan
dengan 3 penggunaan lahan yang lain. Pada lahan sawit dan karet memiliki pH
tanah yang lebih masam dibandingkan dengan hutan.
Menurut Kallarackal et al. (2004) perkebunan kelapa sawit sangat
mengganggu persediaan air tanah untuk tanaman lain di luar kebun kelapa sawit.
Pengurasan air tanah per batang pohon kelapa sawit dilaporkan memerlukan 20
sampai 40 liter air dalam sehari dan dapat menyerap air sampai kedalaman 5,2

meter.
Perkebunan Aek Loba yang 47% arealnya sudah mengalami lebih dari 2
kali peremajaan (3 - 4 generasi tanam), diduga telah menyebabkan perubahan
karakteristik tanah yang berdampak pada degradasi tanah atau penurunan kualitas
tanah. Menurunnya kualitas tanah akan berpengaruh pada kesuburan tanah dan
pada efektifitas pemupukan sehingga berdampak pada penurunan produktivitas
tanaman jika tidak ada upaya-upaya lain yang dilakukan.
Di sisi lain, perkebunan kelapa sawit PT Socfindo di kebun Aek Loba
yang sudah ditanam kelapa sawit lebih dari 92 tahun (hingga saat ini sudah 4
generasi tanam), tetap menghasilkan produktivitas yang tinggi pada setiap
generasi tanam (rata-rata > 25 ton TBS/ ha/ tahun).

Universitas Sumatera Utara

Perumusan Masalah
Semenjak Indonesia menjadi produsen utama kelapa sawit (CPO) dunia di
tahun 2006 yang lalu, permintaan produk olahan kelapa sawit Indonesia terus
meningkat. Menanggapi permintaan pasar CPO yang sangat besar memunculkan
kampanye negatif yang menuduh bahwa kelapa sawit adalah biang keladi
terjadinya perubahan iklim, menurunkan kualitas tanah, merusak lingkungan,

menyerap banyak air, merusak hutan, penyebab pemanasan global dan juga
merusak lahan gambut serta minyaknya yang tinggi mengandung lemak jenuh.
Perubahan kualitas tanah ini seharusnya dilihat secara cermat dan bijak.
Produksi perkebunan Aek Loba, PT Socfindo di Kabupaten Asahan Sumatera
Utara, pada 4 generasi tanam yang berbeda ternyata menunjukkan tingkat
produktivitas tinggi dan tidak berbeda nyata. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian tentang perubahan karakteristik tanah pada lahan yang telah
dibudidayakan kelapa sawit selama 4 generasi tanam secara terus menerus.
Penelitian ini dilakukan pada tanaman Generasi I (G1), Generasi II (G2),
Generasi III (G3), dan Generasi IV (G4) yang dibandingkan dengan areal tanah
yang sama sekali tidak ditanam kelapa sawit di desa Aek Korsik (G0). Adapun
rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut:
1. Apakah telah terjadi perubahan karakteristik tanah yaitu perubahan sifat
fisika, kimia tanah dan biologi tanah yang signifikan setelah dilakukan
peremajaan kelapa sawit pada beberapa generasi ?

Universitas Sumatera Utara

2. Apakah sistem manajemen perkebunan yang saat ini diterapkan oleh PT
Socfindo di Perkebunan Aek Loba terbukti mampu mempertahankan

kualitas tanah di lahan tersebut?

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini untuk mengevaluasi pengaruh beberapa generasi
tanam Kelapa Sawit (Generasi 1 s.d 4) terhadap perubahan karakteristik tanah
pada jenis tanah Typic hapludults di Perkebunan Aek Loba, Kabupaten Asahan.

Hipotesa Penelitian
Budidaya kelapa sawit pada beberapa generasi tanam di Perkebunan Aek
Loba, PT.Socfindo pada jenis tanah Typic hapludults secara terus menerus
menyebabkan perubahan karakteristik tanah secara tidak signifikan.

Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memperoleh bukti bahwa
budidaya

kelapa

sawit


yang

dilakukan

secara

berkelanjutan

mampu

mempertahankan karakteristik tanah Typic hapludults, dan tetap dapat
meningkatkan produktivitas tanaman kelapa sawit.

Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi Tanaman Kelapa Sawit
Divisi


: Tracheophyita

Sub Divisi

: Pteropsida

Kelas

: Angiospermae

Sub Kelas

: Monocotyledoneae

Ordo

: Cocoideae

Famili


: Palmae

Sub Famili : Cocoideae
Genus

: Elaeis

Spesies

: Elaeis guineensis Jacq. Sumber : Lubis (2008)

Kata Elaeis berasal dari kata Elaion (Yunani) yang berarti ‘minyak’. Kata
guineensis berasal dari kata Guinea (Pantai Barat Afrika), sedangkan ‘Jacq’
adalah seorang botanis Amerika yang memberi nama kelapa sawit tersebut yang
umum dikenal sampai sekarang (Mangoensoekarjo, 2007). Genus Elaeis terdiri
atas dua species yaitu E. guineensis Jacq. yang dikenal sebagai kelapa sawit dari
Afrika dan E. oleifera Cortez. yang dikenal juga dengan kelapa sawit asal
Amerika Latin (Hartley, 1988; Rival et al, 1998; Pamin, 1998).
Kelapa sawit termasuk tanaman tahunan (perennial). Batangnya tumbuh
lurus dan umumnya tidak bercabang dan tidak berkambium. Tanaman monokotil

ini berumah satu (monoecious). Bunga kelapa sawit dapat menyerbuk sendiri atau
silang (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Ekofisiologi Kelapa Sawit
Pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman
kelapa sawit terjadi melalui proses fisiologi. Pada kondisi ketersediaan air yang
cukup tanaman kelapa sawit dapat tumbuh dan berproduksi dengan optimal,
namun hal tersebut dapat terganggu jika tanaman berada pada kondisi tercekam
atau ketersediaan air tidak mencukupi untuk menjalankan proses metabolismenya.
Habitat asli kelapa sawit adalah daerah semak belukar. Sawit dapat
tumbuh baik di daerah tropis (4° LU - 4° LS), ketinggian 0-500 m dari permukaan
laut dengan kelembaban 80-90%. Sawit memerlukan iklim dengan distribusi
curah hujan merata sepanjang tahun dengan total 2000 - 3000 mm per tahun,
yakni daerah yang tidak tergenang air pada waktu hujan serta tak kekeringan
waktu kemarau. Pola curah hujan tahunan dapat mengubah tingkah laku
pembungaan serta produksi buah sawit (Mangoensoekarjo, 2007).
Tanaman kelapa sawit tergolong ke dalam tanaman xerophyte yang dapat
beradaptasi dengan kondisi air yang kurang, walaupun demikian tanaman tetap

akan mengalami gejala stres air pada saat musim kemarau yang berkepanjangan
(Mahamooth et al, 2008). Kebutuhan air pada tanaman kelapa sawit pada
dasarnya berbeda dalam setiap fase pertumbuhannya (Turner dan Gillbanks,
2003). Tanaman kelapa sawit bukanlah tanaman yang rakus air seperti yang sering
dikampanyekan secara negatif oleh beberapa pihak. Doonrebos dan Pruitt (1977)
melaporkan kebutuhan air tanaman kelapa sawit yang dibandingkan dengan
tanaman perkebunan lain.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 1. Kebutuhan air pada beberapa tanaman
Kebutuhan Air

Tanaman

mm/hari

mm/bulan

mm/tahun


Kelapa sawit

4,10-4,65

123-139,5

1476-1674

Kakao

2,22-3,33

66,6-99,9

800-1200

Kopi

2,22-3,33

66,6-99,9

800-1200

Deciduous trees

1,94-2,91

58,2-87,3

700-1050

Tebu

2,77-4,16

83,1-124,8

1000-1500

Alfalfa

1,66-4,16

49,8-124,8

600-1500

Alpukat

1,80-2,77

54-83,1

650-1000

Pisang

1,94-4,72

58,2-141,6

700-1700

Padi

4,16-7,91

124-237,3

1500-2850*

Jagung

3,33-6,25

99,9-188,7

1200-2250*

Kedelai

3,75-6,87

112,5-206,1

1350-2475*

Sumber : diolah dari Doonrebos and Pruitt (1977) *) dalam tiga musim tanam
Pada kondisi air yang kurang, rasio akar-batang (root/shoot) cenderung
menjadi

lebih

besar.

Pertambahan

tinggi

cenderung

berkurang

namun

perkembangan akar makin tinggi seperti yang dikemukakan oleh Sun et al. (2011)
bahwa stress air mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap rasio akar-batang
dibanding stres yang diakibatkan oleh nutrisi. Menurut Kirkham (1990) dalam
Thoruan-Mathius et al. (2001) pengaruh fisiologis cekaman kekeringan pada
tanaman adalah terjadinya perubahan potensial air, potensial osmotik dan
potensial turgor sel yang dapat mempengaruhi perilaku stomata. Perubahan ini
mempengaruhi absorpsi dan translokasi hara mineral, transpirasi, fotosintesis dan
translokasi fotosintesis. Akibat lanjut yang ditimbulkan adalah menurunnya laju
fotosintesis

dan

organ

fotosintesis

mengalami

penuaan

dini

sehingga

menyebabkan penurunan akumulasi fotosintat. Hal ini senada dengan yang

Universitas Sumatera Utara

diungkapkan oleh Cha-um (2010) bahwa kandungan klorofil di daun akan
mengalami penurunan secara drastis ketika tanaman mengalami stress air, Cha-um
(2010) menyimpulkan bahwa potensi osmotik pada bibit tanaman kelapa sawit
yang mengalami defisit air menurun pada jaringan daun maupun pada jaringan
akar, sehingga memacu kerusakan pigmen fotosintesis (klorofil) dan memperkecil
kemampuan fotosintesis dan menghambat pertumbuhan tanaman.
Pengaruh cekaman air terhadap produksi ditandai dengan terjadinya aborsi
infloresensi betina (tandan buah) dan menurunnya seks rasio sehingga
menyebabkan produksi bunga betina menurun dan berdampak pada penurunan
produksi TBS secara bertahap seiring dengan makin tingginya tingkat defisit air.
Penurunan produksi tertinggi mencapai lebih dari 40% terjadi pada kondisi
cekaman air akibat defisit air antara 400-500 mm/tahun.
Bahan organik tanah merupakan salah satu bahan pembentuk agregat
tanah, yang mempunyai peran sebagai bahan perekat antar partikel tanah untuk
bersatu menjadi agregat tanah, sehingga bahan organik penting dalam
pembentukan struktur tanah. Pengaruh pemberian bahan organik terhadap struktur
tanah sangat berkaitan dengan tekstur tanah yang diperlakukan. Pada tanah
lempung yang berat, terjadi perubahan struktur gumpal kasar dan kuat menjadi
struktur yang lebih halus tidak kasar, dengan derajat struktur sedang hingga kuat,
sehingga lebih mudah untuk diolah. Komponen organik seperti asam humat dan
asam fulvat dalam hal ini berperan sebagai sementasi pertikel lempung dengan
membentuk komplek lempung-logam-humus (Stevenson, 1982). Pada tanah
pasiran bahan organik dapat diharapkan mengubah struktur tanah dari berbutir

Universitas Sumatera Utara

tunggal menjadi bentuk gumpal, sehingga meningkatkan derajat struktur dan
ukuran agregat atau meningkatkan kelas struktur dari halus menjadi sedang atau
kasar (Scholes et al., 1994). Bahkan bahan organik dapat mengubah tanah yang
semula tidak berstruktur (pejal) dapat membentuk struktur yang baik atau remah,
dengan derajat struktur yang sedang hingga kuat.
Mekanisme pembentukan agregat tanah oleh adanya peran bahan organik
ini dapat digolongan dalam empat bentuk: (1) Penambahan bahan organik dapat
meningkatkan populasi mikroorganisme tanah baik jamur dan actinomycetes.
Melalui pengikatan secara fisik butir-bitir primer oleh miselia jamur dan
actinomycetes, maka akan terbentuk agregat walaupun tanpa adanya fraksi
lempung; (2) Pengikatan secara kimia butir-butir lempung melalui ikatan antara
bagian–bagian positip dalam butir lempung dengan gugus negatif (karboksil)
senyawa organik yang berantai panjang (polimer); (3) Pengikatan secara kimia
butir-butir lempung melalui ikatan antara bagianbagian negatif dalam lempung
dengan gugusan negatif (karboksil) senyawa organic berantai panjang dengan
perantaraan basa-basa Ca, Mg, Fe dan ikatan hidrogen; (4) Pengikatan secara
kimia butir-butir lempung melalui ikatan antara bagian-bagian negative dalam
lempung dengan gugus positif (gugus amina, amida, dan amino) senyawa organik
berantai panjang (polimer) (Seta, 1987). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
asam humat lebih bertanggung jawab pada pembentukkan agregat di regosol, yang
ditunjukkan oleh meningkatnya kemantapan agregat tanah (Partoyo, 1999).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2. Parameter kuantitatif dari jenis akar yang berbeda di kelapa sawit
(dewasa) tahap budidaya lapangan
Fase
budidaya di
lapangan
(Dewasa)
Rata-rata
Pertumbuhan
(cm hari-1 )
Panjang
maksimal
(cm)
Diameter
(Ø) (cm)
Jumlah
vaskular
Jarak ratarata Antara
Akar Lateral
(cm)

RI VD

RI H

RII VU

RII VD

RII H

sRIII

dRIII

RIV

0,3

0,3

0.20

0.20

0.20

0.08

0.08

-

±0.11

±0,04

±0,04

±0,04

±0,04

±0,04

±0.11
600

2500

200

600

20

20

10

1.5

0,41 8.0
>20
> 70
> 60

Sumber : Hardjowigeno, S. 1995.

Kejenuhan basa
Kejenuhan basa menunjukan perbandingan antara jumlah kation-kation
basa dengan jumlah semua kation (kation basa dan kation asam) yang terdapat
dalam kompleks jerapan tanah. Jumlah maksimum kation yang dapat dijerap tanah
menunjukan besamya nilai kapasitas tukar kation tanah tersebut.
Damanik, dkk (2010) menyatakan kejenuhan basa merupakan salah satu
ciri tanah yang cukup penting. Kejenuhan basa adalah perbandingan antara kation
basa (Ca, Mg, K dan Na) dengan nilai tukar total (KTK) dan dinyatakan persen,
dapat pula dituliskan dengan rumus berikut:

Universitas Sumatera Utara

Kation-kation basa umumnya merupakan hara yang diperlukan tanaman.
Di samping itu basa-basa umumnya mudah tercuci sehingga dengan kejenuhan
basa tinggi menunjukan bahwa tanah tersebut belum banyak mengalami
pencucian dan merupakan tanah yang subur (Hardjowigeno, 1993).
Terdapat korelasi positif antara persen kejenuhan basa dan pH tanah.
Umumnya, terlihat bahwa kejenuhan basa tinggi jika pH tanah tinggi. Oleh karena
itu, tanah-tanah daerah iklim kering (arid) biasanya mempunyai kejenuhan basa
yang lebih tinggi daripada tanah-tanah di daerah iklim basah. Kejenuhan basa
yang rendah berarti terdapat banyak ion H+ (Tan, 1998). Hanafiah (2005)
menyatakan bahwa pengapuran karbonat (CaCO3) menghasilkan ion-ion hidroksil
yang mengikat kation-kation asam (H dan Al) pada koloid tanah menjadi inaktif,
sehingga pH naik. Situs muatan negatif koloid digantikan oleh kation basa (Ca),
sehingga kejenuhan basa meningkat pula.

C-Organik
Kandungan C organik dalam tanah dapat ditentukan dengan metoda
pembakaran kering atau pembakaran basah. Pembakaran kering dilakukan dengan
membakar contoh tanah, kemudian mengukur CO 2 yang dilepaskan. Hasilnya
secara kuantitatif lebih tepat daripada pembakaran basah. Pembakaran basah
dilakukan dengan mengoksidasi dengan asam khromat dengan jumlah berlebihan,
kemudian dilakukan titrasi terhadap kelebihan oxidant tersebut (metode Walkley-

Universitas Sumatera Utara

Black). Hasilnya lebih bersifat semi-kuantitatif, tetapi dapat dilakukan lebih cepat
dan sederhana (Hardjowigeno, 1993).
Kandungan hara
Tanaman mengabsorpsi unsur hara dalam bentuk ion yang terdapat di
sekitar daerah perakaran. Unsur-unsur ini harus berada dalam bentuk tersedia dan
dalam konsentrasi optimum bagi pertumbuhan. Selanjutnya unsur-unsur tersebut
harus berada dalam suatu keseimbangan. Hingga sekarang telah dikenal 16
macam unsur hara esensial bagi tanaman. Suatu unsur hara dikatakan esensial bila
kekurangan unsur tersebut dapat menghambat dan mengganggu pertumbuhan baik
vegetatif maupun generatif, kekurangan unsur tersebut tidak dapat diganti oleh
unsur lain dan unsur tesebut harus secara lansung terlibat dalam hara tanaman.
Berdasarkan kebutuhannya bagi tanaman maka ke enam belas unsur hara
esensial tersebut dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok unsur hara
makro dan kelompok unsur hara mikro. Unsur hara makro relatif lebih banyak
digunakan/ dibutuhkan bahkan dapat mencapai lebih dari 100 kg untuk setiap
hektar. Sedangkan unsur hara mikro dibutuhkan dalam jumlah lebih sedikit
(Hakim, dkk, 1986).
Tanaman kelapa sawit tidak memerlukan tanah dengan sifat kimia yang
istimewa sebab kekurangan suatu unsur hara dapat diatasi dengan pemupukan.
Pemupukan dengan dosis yang tepat sesuai kebutuhan tanaman sangat membantu
pertumbuhan tanaman kelapa sawit sehingga akan meningkatkan produksinya.
Walaupun begitu, tanah yang mengandung faktor hara dalam jumlah besar sangat
baik untuk pertumbuhan vegetatif, sedangkan kemasaman tanah menentukan

Universitas Sumatera Utara

ketersediaan dan keseimbangan faktor unsur hara didalam tanah. Kelapa sawit
dapat tumbuh pada pH antara 4.0 - 6.5, sedangkan pH optimum adalah 5.0 - 5.5
menurut Setyamidjaja (1992) atau 5 - 6 menurut Hardjowigeno, et al (2001).
Kejenuhan Al
Al dalam bentuk dapat ditukarkan (Al-dd) umumnya terdapat pada tanahtanah yang bersifat masam dengan pH < 5,0. Aluminium ini sangat aktif karena
berbentuk Al3+ monomer yang sangat merugikan dengan meracuni tanaman atau
mengikat fosfor. Oleh karena itu untuk mengukur sejauh mana pengaruh Al ini
perlu ditetapkan kejenuhannya. Semakin tinggi kejenuhan aluminium, akan
semakin besar bahaya meracun terhadap tanaman.
Kandungan aluminium dapat tukar (Al3+) mempengaruhi jumlah bahan
kapur yang diperlukan untuk meningkatkan kemasaman tanah dan produktivitas
tanah. Kadar aluminium sangat berhubungan dengan pH tanah. Semakin rendah
pH tanah, maka semakin tinggi aluminium yang dapat dipertukarkan dan
sebaliknya. Disamping kadar aluminium yang dapat dipertukarkan, pengaruh jelek
aluminium diukur dengan derajat penjenuhan aluminium yang dinyatakan dengan:

Bila kejenuhan aluminium > 60%, tanah tersebut sering dikatakan tidak
layak untuk tanah pertanian sebelum direklamasi atau ameliorasi terlebih dahulu.
Oleh karena kejenuhan aluminium dipengaruhi oleh KTK dan juga dipengaruhi
oleh tekstur, maka semakin kasar tekstur tingkat kebahayaan aluminium semakin
tinggi (Rosmarkam dan Yuwono, 2002). Hakim, dkk (1986) menyatakan bahwa

Universitas Sumatera Utara

keracunan aluminium menghambat perpanjangan dan pertumbuhan akar primer,
serta menghalangi pembentukan akar lateral dan bulu akar. Apabila pertumbuhan
akar terganggu, serapan hara dan pembentukan senyawa organik tersebut akan
terganggu. Sistem perakaran yang terganggu akan mengakibatkan tidak efisiennya
akar menyerap unsur hara.
Jenis Tanah Typic Hapludult
Typic hapludult merupakan sub grup pada ordo ultisol. Tanah ultisol
mempunyai sebaran yang sangat luas, meliputi hampir 25% dari total daratan
Indonesia. Penampang tanah yang dalam dan kapasitas tukar kation yang
tergolong sedang hingga tinggi menjadikan tanah ini mempunyai peranan yang
penting dalam pengembangan pertanian lahan kering di Indonesia Hampir semua
jenis tanaman dapat tumbuh dan dikembangkan pada tanah ini, kecuali terkendala
oleh iklim dan relief. Kesuburan alami tanah Ultisol umumnya terdapat pada
horizon A yang tipis dengan kandungan bahan organik yang rendah. Unsur hara
makro seperti fosfor dan kalium yang sering kahat, reaksi tanah masam hingga
sangat masam, serta kejenuhan Al yang tinggi merupakan sifat tanah Ultisol yang
sering menghambat pertumbuhan tanaman. Selain itu terdapat horizon argilik
yang mempengaruhi sifat fisik tanah, seperti berkurangnya pori mikro dan makro
serta bertambahnya aliran permukaan yang pada akhirnya dapat mendorong
terjadinya erosi tanah (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Menurut laporan soil
survey perkebunan Aek Loba (Paramananthan, 2004) lokasi penelitan berada pada
seri tanah Ala2 dan Ksk2 Series dengan hierarki sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

Order (Ultisols)
Suborder (Udults)
Great Group (Hapludults)
Subgroup (Typic Hapludults)
Family (Clayey, Kaolinitic)
Series (Ala2 dan Ksk2 Series)
Typic Hapludults adalah Sub Grup Typic dari Hapludults, yakni ditetapkan
pada tanah kering angin yang cukup dalam atau lebih dalam untuk hard rock,
memiliki epipedon okrik yang tidak tebal dan tidak berpasir (bukan pasir atau liat
berpasir), berbentuk liat atau lempung ukuran partikel kelas di argillic horizon,
tetapi tidak memiliki celah-celah dalam di tahun normal. Air tanah pada
kedalaman sedang, depletions redoks dengan chroma rendah pada kedalaman
dangkal dan tingkat berfluktuasi air tanah di zona besi habis yang sifat berbagi
dengan Aquults dan menentukan Oxyaquic dan Aquic sub kelompok. Lapisan
pasir yang tebal, mulai dari permukaan tanah mineral, mendefinisikan Arsenik
dan Grossart sub kelompok. Kontak litik dangkal mendefinisikan sub kelompok
litik. Sebuah berwarna, relatif tebal epipedon ochric gelap atau epipedon umbrik
dianggap abnormal dan menunjukkan intergrade untuk Humults. Sebuah
cakrawala argilik sangat tipis juga dianggap abnormal dan digunakan untuk
menentukan sub kelompok Inceptic. Sebuah partikel ukuran kelas berpasir dan
lamellae di ufuk argilik menunjukkan perkembangan yang lebih lemah dari
normal dan menentukan Psammentic dan Lamellic sub kelompok. Sebuah partikel
ukuran kelas liat, retak dalam, dan COLE tinggi sifat bersama dengan Vertisols

Universitas Sumatera Utara

dan menentukan sub kelompok Vertic. Typic Hapludults adalah dari batas yang
sangat besar di Timur dan Tenggara Amerika Serikat. Vegetasi alami terdiri atas
tanaman hutan. Lereng berkisar dari tingkat hampir curam. Dimana lereng cocok,
banyak dari tanah ini digunakan sebagai lahan pertanian. Banyak dari tanah,
terutama mereka yang curam, digunakan sebagai hutan. Beberapa digunakan
sebagai padang rumput atau homesites (Soil Survey Staff, 2014). Typic Hapludults
adalah Hapludults lain, dimana:
1.

Tidak memiliki, di subhorizon apapun dalam 60 cm atas horison argilik,
redoks depletions dengan nilai warna, lembab, 4 atau lebih dan chroma dari 2
atau kurang, disertai dengan konsentrasi redoks dan dengan kondisi aquic;

2.

Dalam tahun normal tidak jenuh dengan air di setiap lapisan dalam 100 cm
dari permukaan tanah mineral untuk salah satu atau kedua:
a. Sebuah. 20 hari atau lebih berturut-turut; atau
b. 30 hari atau lebih kumulatif;

3.

Tidak memiliki berpasir atau pasir-skeletal partikel-ukuran kelas di seluruh
lapisan memanjang dari permukaan tanah mineral ke atas cakrawala argilik
pada kedalaman 50 cm atau lebih;

4.

Punya horizon argilik tebal lebih dari 25 cm;

5.

Memiliki nilai warna, lembab, 4 atau lebih atau nilai, kering, dari 6 atau lebih,
bila diremas dan merapikan, dalam Ap cakrawala 18 cm atau lebih tebal dan
di setiap lapisan permukaan setelah pencampuran dari 18 cm atas ;

6.

Tidak memiliki kontak litik dalam 50 cm dari permukaan tanah mineral di
beberapa atau semua bagian dari setiap pedon;

Universitas Sumatera Utara

7.

Punya horizon argilik yang lebih halus daripada berpasir partikel-ukuran
kelas di beberapa bagian dari 75 cm atas jika horizon argilik tebal lebih dari
75 cm atau sebagian saja jika horizon argilik tebal kurang dari 75 cm;

8.

Tidak memiliki baik:
a. Celah dalam 125 cm dari permukaan tanah mineral yang 5 mm atau lebih
luas melalui ketebalan 30 cm atau lebih untuk beberapa waktu di tahun
normal, dan slickensides atau agregat berbentuk baji di lapisan 15 cm
atau lebih tebal yang memiliki nya atas batas dalam 125 cm dari
permukaan tanah mineral; atau
b. Sebuah diperpanjang linear dari 6,0 cm atau lebih antara permukaan
tanah mineral dan baik kedalaman 100 cm atau densic, litik, atau kontak
paralithic, mana yang dangkal;

9.

Punya horizon argilik yang memenuhi satu pun dari hal-hal berikut:
a. Seluruhnya terdiri atas lamellae; atau
b. Adalah kombinasi dari dua atau lebih lamellae dan satu atau lebih
subhorizons dengan ketebalan 7,5 sampai 20 cm, setiap lapisan dengan
horizon eluvial atasnya; atau
c. Terdiri atas satu atau lebih sub horizon yang lebih dari 20 cm tebal,
masing-masing dengan horizon eluvial atasnya, dan di atas cakrawala ini
ada baik:
i. Dua atau lebih lamellae dengan ketebalan gabungan dari 5 cm atau
lebih (yang mungkin atau mungkin tidak menjadi bagian dari horizon
argilik); atau

Universitas Sumatera Utara

ii. Kombinasi lamellae (yang mungkin atau mungkin tidak menjadi
bagian dari horizon argilik) dan satu atau lebih bagian dari cakrawala
argilik tebal 7,5-20 cm, masing-masing dengan horizon eluvial
atasnya; dan
10. Memiliki sifat-sifat tanah fragic:
a. Dalam waktu kurang dari 30 persen dari volume semua lapisan 15 cm
atau lebih tebal yang memiliki batas atas dalam 100 cm dari permukaan
tanah mineral; dan
b. Dalam waktu kurang dari 60 persen dari volume semua lapisan 15 cm
atau lebih tebal.

Total mikrobia tanah
Pengamatan dan perhitungan mikrobia dapat dilakukan secara individual
maupun secara kelompok dalam bentuk koloni. Bila mikrobia yang ditumbuhkan
dalam medium yang tidak cair, maka akan terjadi suatu kelompok yang
dinamakan koloni. Bentuk koloni berbeda-beda untuk setiap spesies, dan bentuk
tersebut merupakan cirri khas bagi suatu spesies tertentu. Prinsip dari metode
hitungan cawan adalah menumbuhkan sel mikrobia yang masih hidup pada media
agar, sehingga sel mikrobia tersebut akan berkembang biak dan membentuk
koloni yang dapat dilihat langsung dengan mata tanpa menggunakan mikroskop
(Waluyo, 2007).
Dalam perhitungan jumlah mikroorganisme ini seringkali digunakan
pengenceran. Pada pengenceran dengan menggunakan botol cairan terlebih dahulu
dikocok dengan baik sehingga kelompok sel dapat terpisah. Pengenceran sel dapat

Universitas Sumatera Utara

membantu untuk memperoleh perhitungan jumlah mikrobia tanah yang benar.
Namun pengenceran yang terlalu tinggi akan menghasilkan lempengan agar
dengan jumlah koloni yang umumnya relatif rendah (Hadioetomo, 1990).
Pengenceran dilakukan agar setelah inkubasi, koloni mikrobia yang
terbentuk pada cawan tersebut dalam jumlah yang dapat dihitung. Dimana jumlah
terbaik adalah antara 30 sampai 300 sel mikrobia per ml, per gr, atau per cm
permukaan (Fardiaz, 1992). Prinsip pengenceran adalah menurunkan jumlah
koloni mikrobia, sehingga makin banyak jumlah pengenceran yang dilakukan,
makin sedikit jumlah koloni mikrobia yang dihitung (Waluyo, 2007). Untuk
perhitungan jumlah total populasi mikrobia tanah digunakan satuan CFU (Colony
Forming Unit).
CFU = jumlah koloni x faktor pengenceran.
Jumlah total mikrobia yang terdapat di dalam tanah digunakan sebagai
indeks kesuburan tanah tanpa mempertimbangkan hal-hal lain. Tanah yang subur
mengandung banyak mikrobia tanah karena populasi yang tinggi menggambarkan
adanya suplai makanan dan energy yang cukup, serta kondisi ekologi lain yang
mendukung perkembangan mikroorganisme tanah tersebut. Dengan kata lain,
untuk mengetahui tingkat kesuburan tanah dapat dilakukan dengan melihat jumlah
populasi mikrobia tanah yang ada.

Bahan Induk Tanah
Bahan induk adalah bahan pemula tanah, yang tersusun dari bahan organik
dan atau mineral. Bahan induk dapat berasal dari bahan tanah yang diendapkan

Universitas Sumatera Utara

dari tempat lain sebagai akibat proses transportasi oleh angin dan air. Menurut
Jenny (1994) bahan induk adalah keadaan tanah pada waktu nol (time zero) dari
proses pembentukan tanah. Melalui proses pelapukan, batuan berubah menjadi
bahan induk, dan dengan adanya proses pelapukan lebih lanjut serta proses-proses
pembentukan tanah lain, bahan induk berubah menjadi tanah dalam waktu yang
lama.
Bahan induk merupakan bahan geologi yang mendasari (umumnya batuan
dasar atau deposito atau drift dangkal) di mana tanah cakrawala bentuk. Tanah
biasanya mewarisi banyak struktur dan mineral dari bahan induk mereka, dan,
dengan demikian, seringkali digolongkan berdasarkan isi bahan mineral
konsolidasi atau tidak dikonsolidasi yang telah mengalami tingkat pelapukan fisik
atau kimia dan mode dimana bahan yang paling baru diangkut.
Pengaruh bahan induk terhadap pembentukan tanah ditentukan oleh:
a. Sifat kristalin (beku, sedimen, malihan)
b. Tekstur (kasar, sedang, halus)
c. Komposisi mineral
d. Tingkat kemantapan

Dalam proses pembentukan tanah terdapat bahan induk yang menyusun
pembentukan tanah. Jenis-jenis bahan induk tersebut adalah sebagai berikut:


Batuan

Batuan dapat didefinisikan sebagai bahan padat yang terjadi didalam
membentuk kerak bumi, batuan pada umumnya tersusun atas dua mineral

Universitas Sumatera Utara

atau lebih. Berdasarkan cara terbentuknya batuan dapat dibedakan menjadi 3
jenis batuan, yaitu beku, batuan endapan dan batuan malihan.


Batuan Beku
Batuan beku atau batuan vulkanik terbentuk oleh magma yang berasal
dari letusan gunung berapi, batuan beku atau batuan vulkanik terdiri
atas mineral yang tinggi dan banyak mengandung unsur hara tanaman.
Di Indonesia batuan vulkanik memegang peranan yang lebih penting,
hal ini di sebabkan karena gunung berapi tersebar dimana-mana, dan
karena letusan gunung berapi yang menghasilkan batuan vulkanik
yang menyebabkan kesuburan tanah. Selain atas dasar terjadinya
batuan vulkanik juga dapat dibagi atas dasar kandungan kadar
SiO 2 nya menjadi tiga golongan, yaitu, batuan asam yang berkadar
SiO 2 lebih dari 65%, batuan intermedier yang kadar SiO 2 antar 52% 65% dan batuan basis yang berkadar SiO 2 < 52%.



Batuan Sedimen
Batuan endapan terjadi karena proses pengendapan bahan yang
diangkut oleh air atau udara dalam waktu yang lama. Ciri untuk
membedakan batuan endapan dan batuan lainnya yaitu, batuan
endapan biasanya berlapis, mengandung jasad (fosil) atau bekasbekasnya dan adanya keseragaman yangnyata dari bagian-bagian
berbentuk bulat yang menyusun.

Universitas Sumatera Utara



Batuan Malihan
Batuan malihan terbentuk dari batuan beku atau batuan endapan atau
juga dapat terbentuk dari batuan malihan lainnya yang mengalami
proses perubahan susunan dan bentuknya yang akibatkan oleh
pengaruh panas, tekanan atau gaya kimia. Batuan malihan adalah
batuan yang memiliki sifat-sifat akibat telah malihnya batuan semula
baik batuan beku maupun endapan. Yang dinamakan proses malihan
adalah jumlah proses yang bekerja dalam zone pelapukan dan
menyebabkan pengkristalan kembali bahan induk.

Toba Tuff (Tufa Toba)
Chesner (1998) melakukan studi mendalam perihal bahan induk Tufa Toba
sebagai kelanjutan dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Van
Bemmelen (1949), dan Aldiss dan Ghazali (1984). Disebutkan dalam Chesner
(1998) bahwa wilayah Kaldera terdapat 4 kali erupsi tufa sejak 1.2 juta tahun yang
lalu, dimana yang termuda disebut young toba tuffs (YTT).

Gambar 2. Peta sebaran tufa toba muda (Aldiss dan Ghazali, 1984)

Universitas Sumatera Utara

Tabel 6. Karakteristik empat tufa toba
Unit/
Age Thick- Volu MagneCompoMineralogy
caldera (Ma) ness
me
tic position
(m)
(km3)
larity
YTT/ 0-074 140
60
N
Rhyolite Qz + PI + Sa +
Northern
Bi + Am +
Toba
Opx + Mg + ll
+ AI + Fa + Zi
OTT/ 0-84 >300
500
R
Andesite- Qz + PI + Sa +
Porsea
rhyolite Bi + Am -+
Caldera
Mg + ll + AI +
Zi + Opx
H DT/
1-2

Dokumen yang terkait

Pengaruh Proses Pengepresan (Screw Press) Terhadap Persentase Kehilangan Minyak Kelapa Sawit Yang Terdapat Pada Ampas Press Di PT. Socfin Indonesia Kebun Aek Loba

15 72 43

Pengaruh Air Yang Digunakan Dalam Proses Pengepresan (Screw Press) Terhadap Presentase Kehilangan Minyak Kelapa Sawit Pada Ampas Press PT.Socfin Indonesia Kebun Aek Loba

4 17 45

Kajian Karakteristik Tanah Typic Hapludults Pada Berbagai Generasi Tanam Kelapa Sawit Pt Socfin Indonesia Di Kebun Aek Loba Kabupaten Asahan

0 0 18

Kajian Karakteristik Tanah Typic Hapludults Pada Berbagai Generasi Tanam Kelapa Sawit Pt Socfin Indonesia Di Kebun Aek Loba Kabupaten Asahan

0 0 38

Kajian Karakteristik Tanah Typic Hapludults Pada Berbagai Generasi Tanam Kelapa Sawit Pt Socfin Indonesia Di Kebun Aek Loba Kabupaten Asahan

0 0 13

Kajian Karakteristik Fisik Tanah Di Lahan Perkebunan Kelapa Sawit (Elaeis guinensis Jacq.) Kebun Adolina PTPN IV Pada Beberapa Generasi Tanam

0 0 11

Kajian Karakteristik Fisik Tanah Di Lahan Perkebunan Kelapa Sawit (Elaeis guinensis Jacq.) Kebun Adolina PTPN IV Pada Beberapa Generasi Tanam

0 0 2

Kajian Karakteristik Fisik Tanah Di Lahan Perkebunan Kelapa Sawit (Elaeis guinensis Jacq.) Kebun Adolina PTPN IV Pada Beberapa Generasi Tanam

0 0 14

Kajian Karakteristik Tanah Typic Hapludults Pada Berbagai Generasi Tanam Kelapa Sawit Pt Socfin Indonesia Di Kebun Aek Loba Kabupaten Asahan

0 0 5

Kajian Karakteristik Tanah Typic Hapludults Pada Berbagai Generasi Tanam Kelapa Sawit Pt Socfin Indonesia Di Kebun Aek Loba Kabupaten Asahan

0 0 60