Analisis Penjatuhan Putusan Bebas (Vrijspraak) Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Narkotika Dalam Kaitannya Dengan Sistem Peradilan Pidana Terpadu

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum, seperti yang tertuang di
dalam Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 1 ayat (3). Dalam penjelasan dari
UUD 1945 tersebut dengan tegas disebutkan bahwa Indonesia adalah negara
hukum (rechstaat) bukan negara kekuasaan (machstaat). 1 Jadi jelas bahwa citacita Negara hukum (rule of law) yang tekandung dalam UUD 1945 bukanlah
sekedar Negara yang berlandaskan sembarang hukum.
Agar hukum yang ada tidak menjadi sewenang-wenang dan dapat
menciptakan suatu keadilan perlu dilakukan melalui suatu penegakan hukum.
Pada dasarnya penegakan hukum di Indonesia mempunyai faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga
dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor itu tersebut. Faktorfaktor tersebut adalah sebagai berikut 2:
1. Faktor hukumnya sendiri
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum

1


Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechstaat), PT Refika Aditama, Bandung,
2009, Halaman 179
2
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, Halaman 8-9

Universitas Sumatera Utara

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan
5. Faktor kebudayaan
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada
efektivitas penegakan hukum.
Hukum yang diciptakan untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam
bentuk ketentuan-ketentuan yang juga dinamakan kaidah-kaidah atau normanorma. Norma yang bernama hukum ini memiliki ciri khas yaitu memiliki daya
memaksa untuk ditaati dan dipatuhi. Daya memaksa itulah yang disebut sebagai
sanksi. 3
Salah satu permasalahan kompleks yang ada di Indonesia adalah masalah
Narkotika. Narkotika sebagai masalah pada masyarakat majemuk dan berkait

dengan dunia internasional jelas memerlukan perangkat-perangkat hukum dalam
bentuk undang-undang tertulis. 4
Kejahatan narkotika saat ini sudah sangat marak di kalangan masyarakat.
Tindak kejahatan narkotika saat ini tidak lagi secara sembunyi-sembunyi, tetapi
sudah terang-terangan yang dilakukan oleh pemakai dan pengedar dalam
menjalankan operasi barang berbahaya tersebut. 5

3

Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 1987,
Halaman 1
4
Ibid. Halaman 2
5
Moh. Taufik Makarao dkk, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003,
Halaman 1

Universitas Sumatera Utara

Kenyataan obyektif inilah yang mengharuskan pemerintah memikirkan

bagaimana cara menanggulangi masalah narkotika ini. Usaha tersebut akhirnya
melahirkan ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai Narkotika,
yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 yang kemudian digantikan oleh
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997, yang diganti lagi dengan UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009. 6
Dalam pasal 4 UU Narkotika disebutkan bahwa salah satu tujuan
dibentuknya Undang-Undang Narkotika adalah mencegah, melindungi, dan
menyelamatkan

bangsa

Indonesia

dari

penyalahgunaan

Narkotika

serta


memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Untuk
mencapai tujuan tersebut, perlu dilakukan suatu upaya penegakan hukum.
Penegakan hukum khususnya penegakan hukum pidana dalam negara
modern telah digambarkan dengan ciri-ciri birokratis, yang kelihatan terpisah dari
fungsi polisi sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut umum, hakim sebagai pihak
yang mengadili, dan lembaga pemasyarakatan yang membina pelaku agar dapat
kembali menjadi masyarakat seutuhnya. Keempat subsistem ini merupakan suatu
ikatan dalam 1 (satu) sistem penegakan hukum yang dikenal dengan criminal
justice system (sistem peradilan pidana).
Keempat komponen Sistem Peradilan Pidana (Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) diharapkan dapat bekerja sama dan
dapat membentuk suatu Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal
Justice System).

6

Ibid. Halaman 6

Universitas Sumatera Utara


Berkaitan dengan komponen Pengadilan, diatur dalam Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 24 yang berbunyi “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan” 7 dan sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 yang menegaskan “kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan

berdasarkan

Pancasila

dan

Undang-Undang

Dasar,

demi


terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia” 8. Penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman tersebut di atas diserahkan kepada badan-badan peradilan
khususnya Hakim dengan tugas pokoknya, yakni: menerima, memeriksa dan
mengadili, serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
Produk yang dihasilkan dalam proses peradilan khususnya peradilan
pidana tersebut adalah putusan hakim. Dalam Pasal 1 butir 11 Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa “Putusan pengadilan adalah
pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat
berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal
serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini”.
Bagaimana apabila kesalahan terdakwa tidak terbukti? Menurut Pasal 191
ayat (1) dan (2) KUHAP 9:
(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa hasil dari pemeriksaan di sidang,
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.

7

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 24 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 1 angka 1
9

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 191
ayat (1) dan (2)
8

Universitas Sumatera Utara

(2) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada
terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak
pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum;
Berkaitan dengan Pasal 191 ayat (1) dan (2) KUHAP di atas, yang menjadi
permasalahan adalah apabila dalam suatu kasus seorang terdakwa diputus bebas
oleh hakim. Putusan seorang hakim adalah hasil dari proses penegakan hukum
yang merupakan puncak dari suatu proses persidangan. Biasanya putusan seorang
hakim selalu menjadi sorotan publik, khususnya dalam hal putusan bebas.
Putusan bebas khususnya dalam kasus narkotika selalu menjadi hal yang
kontroversial dalam masyarakat, karena seorang pelaku dalam tindak pidana
narkotika merupakan seseorang yang dipandang tercela. Bahkan dalam UndangUndang Narkotika sanksi pidana terberat yang dapat dijatuhkan kepada pelaku
tindak pidana narkotika adalah pidana mati. Hal ini menunjukkan bahwa
perbuatan tindak pidana narkotika sudah tergolong kejahatan yang luar biasa di
mata masyarakat Indonesia, karena tindak pidana narkotika merupakan suatu

tindak pidana yang sangat rawan karena berkaitan dengan masa depan generasi
penerus bangsa. Untuk itu, Hakim sebagai tonggak keadilan dalam proses
penegakan hukum harus teliti dan cermat dalam menjatuhkan suatu putusan.
Dalam menjatuhkan putusan dalam tindak pidana narkotika, selain
dibutuhkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, Hakim harus
memperhatikan keyakinannya seperti yang tertuang dalam Pasal 183 KUHAP.
Hal ini menjelaskan bahwa pembuktian harus didasarkan kepada alat bukti yang
sah, seperti yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan

Universitas Sumatera Utara

hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. 10 Penjelasan Pasal 183 KUHAP
mengatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran,
keadilan dan kepastian hukum bagi seorang. 11
Putusan (vonis) Hakim tidak harus sesuai menurut tuntutan (requisitoir)
Jaksa Penuntut Umum. Yang pasti Pengadilan bukanlah suatu “algojo” atau
tempat yang “angker”, akan tetapi untuk mencari kebenaran dan keadilan
hukum. 12 Hal ini lah yang terjadi pada putusan bebas, yang mana Hakim dalam
memeriksa suatu perkara tidak boleh hanya berpegang pada tuntutan dari Jaksa
Penuntut Umum, namun harus berpegang pada keyakinan Hakim dan rasa

keadilan di dalam masyarakat.
Ketika seorang Hakim menjatuhkan putusan bebas, khususnya terhadap
seorang terdakwa tindak pidana narkotika, pastilah akan menimbulkan pertanyaan
dalam masyarakat. Apa yang menjadi alasan pertimbangan Hakim sehingga
menjatuhkan putusan bebas terhadap seorang terdakwa tindak pidana narkotika,
apakah ada permainan di dalam koordinasi sistem peradilan pidana atau yang
biasa disebut sistem peradilan pidana terpadu, mulai dari lembaga kepolisian,
lembaga kejaksaan hingga sampai ke lembaga peradilan.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas menjadi alasan penulis
untuk mengkaji bagaimana analisis petimbangan Hakim dalam menjatuhkan
putusan bebas dan judul yang diangkat dalam penulisan skripsi adalah “Analisis

10

Andi Hamzah (Buku I), Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia,
Jakarta Timur, 1985, Halaman 233
11
Ibid, Halaman 235
12
Binsar Gultom, Pandangan Kritis Sorang Hakim (Jilid II), Pustaka Bangsa Press,

Medan,2008, Halaman 3

Universitas Sumatera Utara

Penjatuhan Putusan Bebas (Vrijspraak) Terhadap Terdakwa Tindak Pidana
Narkotika Dalam Kaitannya Dengan Sistem Peradilan Pidana Terpadu”

1.2 Rumusan Masalah
Sebagaimana uraian latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas
maka dapatlah dirumuskan apa yang menjadi permasalahan dalam penulis skripsi
ini, yaitu sebagai berikut:
a. Bagaimanakah pengaturan hukum mengenai tindak pidana narkotika?
b. Bagaimanakah faktor penyebab terjadinya penjatuhan putusan bebas
terhadap tindak pidana narkotika?
c. Bagaimana kebijakan hukum terhadap terdakwa yang telah dibebaskan
melalui penjatuhan putusan bebas dalam perkara tindak pidana narkotika?

1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:

a. Untuk mengetahui pengaturan hukum mengenai tindak pidana narkotika.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya
penjatuhan bebas terhadap tindak pidana narkotika

Universitas Sumatera Utara

c. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan hukum terhadap terdakwa yang
telah dibebaskan melalui penjatuhan putusan bebas dalam perkara tindak
pidana narkotika.

1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan
secara praktis, yaitu:
1.4.1

Manfaat Teoritis

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum, khususnya hukum pidana.
Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian terhadap
ilmu pengetahuan serta menambah wawasan khususnya mengenai
penjatuhan putusan bebas terhadap tindak pidana narkotika.
1.4.2

Manfaat Praktis

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum bagi pemerintah, khususnya
aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana seperti kepolisian,
kejaksaan, dan kehakiman khususnya yang berkaitan dengan masalah
penjatuhan putusan bebas terhadap tindak pidana narkotika.

1.5 Keaslian Penulisan
Penulisan Skripsi yang berjudul “Analisis Penjatuhan Putusan Bebas
(Vrijspraak) Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Narkotika Dalam Kaitannya

Universitas Sumatera Utara

Dengan Sistem Peradilan Pidana Terpadu” adalah hasil pemikiran penulis sendiri.
Skripsi ini menurut sepengetahuan penulis belum pernah ada yang membuat.

1.6 Tinjauan Pustaka
1.6.1

Pengaturan Hukum Mengenai Tindak Pidana Narkotika
Dalam sistem hukum pidana, bahwa hukuman atau pidana yang dijatuhkan

adalah meyangkut tentang perbuatan-perbuatan apa yang diancam pidana,
haruslah terlebih dahulu telah tercantum dalam undang-undang pidana, artinya
jika tidak ada undang-undang yang mengatur, maka pidana tidak dapat
dijatuhkan 13.
Dalam Bab I Pasal 1 ayat (1) KUHP ada asas yang disebut”nullum
delictum nulla poena sine praevia lege poenale”, yang pada intinya menyatakan
bahwa tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali sudah ada ketentuan
undang-undang yang mengatur sebelumnya. Jadi disinilah letak perbedaan istilah
hukum dan pidana. Artinya adalah bahwa pidana harus berdasarkan ketentuan
undang-undang, sedangkan hukuman lebih luas pengertiannya 14.
Pengertian tindak pidana menurut Moeljatno 15 setelah memilih “perbuatan
pidana” sebagai terjemahan dari “Strafbaar feit”, beliau memberi perumusan
sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana bagi barangsiapa
yang melanggar larangan tersebut, dan perbuatan itu harus pula betul-betul

13

Moh. Taufik Makaro, opcit. Halaman 35
Ibid. Halaman 35-36
15
Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1984, Halaman 56
14

Universitas Sumatera Utara

dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau menghambat
akan tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh
masyarakat itu. Menurut Moeljatno, perbuatan pidana hanya mencakup perbuatan
saja, sebagaimana dikatakannya bahwa, “perbuatan pidana hanya menunjuk
kepada sifatnya perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman dengan
pidana kalau dilanggar”.
Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam buku E.Y. Kanter yang berjudul
“Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya” merumuskan tindak
pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.
Dan pelaku itu dapat dikatakan merupakan “subject” tindak pidana. 16
Terhadap perbuatan tindak pidana dapat dibedakan menjadi dua bentuk,
yaitu kejahatan dan pelanggaran, sesuai menurut buku “Kitab Undang-Undang
ukum Pidana”/KUHP. Yaitu yang terdapat pada buku II dan buku III yang
memuat perincian berbagai jenis tindak pidana. Tujuannya adalah guna
melindungi kepentingan hukum yang dilanggar.
Dalam sistematika KUHP perlu diperjelas tentang perbedaan antara
kejahatan (misdrijven) Pasal 104 KUHP s.d. Pasal 488 KUHP dengan pelanggaran
(overtredingen) Pasal 498 KUHP s.d. Pasal 569 KUHP. “Kejahatan menunjuk
pada suatu perbuatan, yang menurut nilai-nilai kemasyarakatan dianggap sebagai
perbuatan tercela, meskipun tidak diatur secara tertulis dalam ketentuan undangundang. Oleh karenanya disebut dengan Rechtsdelicten. Sedangkan pelanggaran
16

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, Penerbit Storia Grafika, Jakarta, Cetakan Ketiga, 2012, Halaman 209

Universitas Sumatera Utara

menunjuk pada perbuatan yang oleh masyarakat bukan sebagai perbuatan tercela.
Diangkatnya sebagai perbuatan pidana karena ditentukan oleh undang-undang.
Oleh karenanya disebut dengan Wetsdelicten 17.
Secara umum yang dimaksud dengan narkotika adalah sejenis zat yang
dapat

menimbulkan

pengaruh-pengaruh

tertentu

bagi

orang-orang

yang

menggunakannya, yaitu dengan cara memasukkan ke dalam tubuh. Istilah
narkotika yang diperguankan disini bukanlah “narcotics” pada farmacologie
(farmasi), melainkan sama artinya dengan “drug”, yaitu sejenis zat yang apabila
dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh si
pemakai, yaitu 18:
a. Mempengaruhi kesadaran;
b. Memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia
c. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa:
1) Penenang;
2) Perangsang;
3) Menimbulkan halusinasi (pemakainya tidak mampu membedakan
antara khayalan dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan
tempat)
Tindak pidana narkotika dapat diartikan dengan suatu perbuatan yang
melanggar ketentuan-ketentuan hukum narkotika, dalam hal ini adalah Undang-

17

Chaerudin, Materi Pokok Asas-Asas Hukum Pidana, Fakultas Hukum UniversitasIslam
As-syafi’iyah, sebagaimana termuat dalam Moh. Taufik Makaro, opcit. Halaman 41-42
18
Ibid. Halaman 16-17

Universitas Sumatera Utara

undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan ketentuan-ketentuan lain
yang termasuk dan atau tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut. 19
Pengaturan mengenai tindak pidana narkotika sebelumnya diatur dalam
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang kemudian
digantikan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997, yang diganti lagi dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang berlaku sampai saat ini.

1.6.2

Faktor Penyebab Terjadinya Penjatuhan Putusan Bebas Terhadap
Tindak Pidana Narkotika
Dalam setiap perkara pidana, selalu didahului oleh rangkaian proses mulai

dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang Pengadilan
bahkan sampai ke tahap eksekusi. Pada asasnya sistem peradilan pidana di
Indonesia khususnya pada Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan Negeri mengacu
pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 (LNRI 1981-76;TLNRI 3209) yang disahkan dan
diundangkan pada tanggal 31 Desember 1981. 20
Eksistensi putusan hakim atau lazim disebut istilah “putusan pengadilan”
sangat diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan adanya “putusan
hakim” ini diharapkan para pihak dalam perkara pidama khususnya bagi terdakwa
dapat memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus dapat

19

Moh. Taufik Makaro, opcit. Halaman 41
Lilik Mulyadi (Buku I), Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoretis Dan
Praktik Peradilan, Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, 2010, hal.55
20

Universitas Sumatera Utara

mempersiapkan langkah berikutnya antara lain yang berupa: menerima putusan,
melakukan upaya hukum banding/kasasi, melakukan grasi dan sebagainya. 21
Apabila ditinjau dari optik hakim yang mengadili perkara pidana tersebut,
maka putusan hakim merupakan “mahkota” sekaligus “puncak” pencerminan
nilai-nilai keadilan, kebenaran, hakiki, hak asasi, penguasaan hukum atau fakta,
secara mapan dan faktual serta visualisasi etika beserta moral dari hakim yang
bersangkutan. 22
Pengertian putusan dalam KUHAP diatur dalam Pasal 1 angka 11 yang
menyatakan “Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam
sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas
dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.” 23
Lilik Mulyadi dalam bukunya yang berjudul “Kompilasi Hukum Pidana
Dalam Perspektif Teoretis dan Praktik Peradilan” memberikan pengertian Putusan
Pengadilan adalah sebagai berikut: “Putusan yang diucapkan oleh hakim karena
jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah
melakukan proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan
amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat
dalam bentuk tertulis dengan tujuan penyelesaian perkaranya.” 24

21

Ibid, Halaman 92
Ibid,
23
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 1
angka 1
24
Lilik Mulyadi (Buku I), opcit, Halaman 93
22

Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya Lilik Mulyadi dalam bukunya yang berjudul “Seraut Wajah
Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia” mengklasifikasikan
putusan Hakim menurut perumusan KUHAP ke dalam dua jenis, yaitu 25:
a. Putusan Akhir
Dalam praktik “putusan akhir” lazim disebut dengan istilah “putusan” atau
“eind vonnis” dan merupakan jenis putusan bersifat materiil. Pada
hakikatnya putusan ini dapat terjadi setelah Majelis Hakim memeriksa
terdakwa yang hadir di persidangan sampai dengan “pokok perkara”
selesai diperiksa (Pasal 182 ayat (3) dan (8), Pasal 197, dan Pasal 199
KUHAP). Pada hakikatnya, secara teoretis dan praktik “putusan akhir” ini
dapat berupa putusan bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP), putusan
pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2)
KUHAP), dan putusan pemidanaan (Pasal 193 ayat (1) KUHAP).
b. Putusan yang Bukan Putusan Akhir
Pada praktik peradilan bentuk dari putusan yang bukan putusan akhir dapat
berupa “penetapan” atau “putusan sela” atau “sering pula disebut dengan
istilah Bahasa Belanda “tussen-vonnis”. Putusan jenis ini mengacu pada
ketentuan Pasal 148, Pasal 156 ayat (1) KUHAP, yakni dalam hal setelah
pelimpahan perkara dan apabila terdakwa dan atau penasihat hukumnya
mengajukan “keberatan/eksepsi” terhadap surat dakwaan jaksa/penuntut
umum. Pada hakikatnya putusan yang bukan putusan akhir dapat berupa,
antara lain:
25

Lilik Mulyadi (Buku II), Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana
Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, Halaman 136

Universitas Sumatera Utara

1) Penetapan yang menentukan “tidak berwenangnya pengadilan untuk
mengadili suatu perkara” (verklaring van onbevoegheid) karena
merupakan

kewenangan

relatif

pengadilan

negeri

sebagaimana

ketentuan limitatif Pasal 148 ayat (1), Pasal 156 ayat (1) KUHAP;
2) Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan jaksa/penuntut umum batal
demi hukum (nietig van rechtswege/null and void). Hal ini diatur oleh
ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP di mana surat dakwaan telah
melanggar ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP dan
dinyatakan batal demi hukum menurut ketentuan Pasal 143 ayat (3)
KUHAP; dan
3) Putusan yang berisikan bahwa dakwaan jaksa/penuntut umum tidak
dapat diterima (niet onvankelijk verklaard) sebagaimana ketentuan
Pasal 156 ayat (1) KUHAP disebabkan materi perkara tersebut telah
kadaluwarsa, materi perkara seharusnya merupakan materi hukum
perdata, perkara disebabkan telah nebis in idem, dan sebagainya.
Sesuai dengan penjelasan mengenai putusan pengadilan diatas, ada
berbagai bentuk putusan pengadilan yang terdiri dari: putusan bebas, putusan
lepas dari segala tuntutan hukum dan putusan pemidanaan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 191 ayat (1), putusan yang mengandung
pembebasan akan dijatuhkan pengadilan, bila pengadilan berpendapat bahwa dari
hasil pemeriksaan sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan

Universitas Sumatera Utara

kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. 26 Dari ketentuan Pasal
ini jelaslah bahwa terdakwa tidak dipidana atau tidak menjalani hukuman karena
hasil pemeriksaan di persidangan yang didakwakan jaksa penuntut umum dalam
surat dakwaan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.
Apabila pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan
kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak
pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat
(2)). 27 Karena perbuatan tersebut merupakan ruang lingkup hukum perdata, adat,
dagang, atau adanya alasan pemaaf (strafuitsluitingsgronden/felt de ‘axcuse) dan
alasan pembenar (rechtsvaardigings-grond) sebagaimana ketentuan Pasal 44 ayat
(1) KUHP; Pasal 48, 49, 50, dan 51 KUHP. 28
Bentuk putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 KUHAP. Pemidanaan
berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan
dalam Pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa.
Pasal 193 ayat (1) menyatakan bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa
terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka
pengadilan menjatuhkan pidana. 29 Sesuai dengan Pasal 193 ayat (1), penjatuhan
putusan pemidanaan terhadap terdakwa didasarkan pada penilaian pengadilan.
Jika pengadilan berpendapat dan menilai terdakwa terbukti bersalah melakukan

26

Harun M. Husein, Kasasi Sebagai Upaya Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, Halaman

23
27

Ibid, Halaman 24
Lilik Mulyadi (Buku II), opcit Halaman 134
29
Harun M. Husein, opcit, Halaman 24
28

Universitas Sumatera Utara

perbuatan yang didakwakan kepadanya, pengadilan menjatuhkan hukuman pidana
terhadap terdakwa. Atau dengan penjelasan lain, apabila menurut pendapat dan
penilaian pengadilan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan
melakukan kesalahan tindak pidana yang didakwakan kepadanya sesuai dengan
sistem pembuktian dan asas batas minimum pembuktian yang ditentukan dalam
Pasal 183, kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah yang memberi keyakinan kepada hakim, terdakwalah
pelaku tindak pidananya. 30
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan Hakim menjatuhkan putusan
bebas adalah:
a. Tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif
Pembuktian yang diperoleh di persidangan tidak cukup membuktikan
terdakwa dan sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu,
tidak diyakini oleh Hakim. 31
b. Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian
Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu
alat bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup
membuktikan kesalahan seorang terdakwa, harus dibuktikan dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.

30

M. Yahya Harahap (Buku I), Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAPPemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika,
Jakarta, 2008, Halaman 354
31
M. Yahya Harahap (Buku I), opcit, Halaman 348

Universitas Sumatera Utara

1.6.3

Kebijakan Hukum Terhadap Terdakwa Yang Telah Dibebaskan
Melalui Penjatuhan Putusan Bebas Dalam Perkara Tindak Pidana
Narkotika
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terdakwa berasal dari kata dakwa

yang berarti tuduhan yang mendapatkan imbuhan ter- sehingga mengarah kepada
subjek. Terdakwa adalah orang yg didakwa (dituntut, dituduh). Namun sering kali
orang-orang terutama orang yang awam hukum menyalahgunakan penggunaan
terdakwa dengan tersangka.
Pengertian tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau
keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak
pidana (Pasal 1 angka 14 KUHAP), sedangkan terdakwa adalah seorang tersangka
yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan (Pasal 1 angka 15
KUHAP).
Pengaturan mengenai tersangka dan terdakwa diatur dalam Bab VI
KUHAP yang terdiri dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 68. Dari penjelasan di
atas, baik tersangka maupun terdakwa adalah orang yang diduga melakukan
tindak pidana sesuai dengan bukti dan keadaan yang nyata atau fakta. Oleh karena
itu orang tersebut 32:
a. Harus diselidiki, disidik, dan diperiksa oleh penyidik,
b. Harus dituntut dan diperiksa di muka sidang pengadilan oleh penuntut
umum dan hakim,

32

M. Yahya Harahap (Buku II), Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP –
Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika. Jakarta, 2009, Halaman 330

Universitas Sumatera Utara

c. Jika perlu terhadap tersangka atau terdakwa dapat dilakukan tindakan
upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan
penyitaan benda sesuai dengan cara yang ditentukan oleh undang-undang.
Asas “presumption of innocence” atau asas “praduga tak bersalah”
merupakan asas fundamental yang dimiliki tiap tersangka ataupun terdakwa,
dimana seseorang wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan
hukum yang tetap. Jika ia kemudian dinyatakan dengan putusan Hakim, bahwa
kesalahannya tidak terbukti di dalam suatu pemeriksaan persidangan yang terbuka
untuk umum dan diputus dengan amar putusan yang berbunyi “membebaskan atau
melepaskan terdakwa dari segala tuntutan”, maka ia berhak untuk menjalankan
proses tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi. 33
Asas ganti rugi dan rehabilitasi telah diletakkan pada Pasal 9 UU No. 48
tahun 2009 yang berbunyi sebagai berikut 34:
(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili
tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak
menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.
(2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

33

Martiman Prodjohamidjojo, Ganti Rugi dan Rehabilitasi, Ghalia Indonesia, Jakarta,
Cetakan Kedua 1986, Halaman 5
34
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 9

Universitas Sumatera Utara

(3) Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian,
rehabilitasi, dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam
undang-undang.

Selanjutnya dalam Penjelasan Umum Poin 3 huruf d Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) menyatakan 35:
“Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun
diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau
karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak
tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum, yang
dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas
hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan
hukuman administrasi.”
Pengertian ganti kerugian diatur dalam Pasal 1 angka 22 KUHAP: “Ganti
kerugian adalah hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang
berupa imbalan atas sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun
diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini”.
Memperhatikan bunyi Pasal tersebut, dapat dilihat beberapa penegasan
berkenaan dengan tuntutan ganti kerugian 36:
a. Ganti kerugian merupakan hak tersangka atau terdakwa,
b. Hak itu pemenuhan berupa “imbalan sejumlah uang”,

35

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Penjelasan Umum Poin 3 huruf d
36
M. Yahya Harahap (Buku II), opcit, Halaman 33

Universitas Sumatera Utara

c. Hak atas imbalan sejumlah uang tersebut diberikan kepada terangka atau
terdakwa atas dasar:
(1) Karena terhadapnya dilakukan penangkapan, penahanan, penuntutan,
atau peradilan tanpa alasan berdasarkan undang-undang, atau
(2) Karena tindakan lain tanpa alasan berdasarkan undang-undang, atau
(3) Karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan.
Pengertian rehabilitasi diatur dalam Pasal 1 angka 23 KUHAP, yang
berbunyi: “Rehabilitasi adalah hak seseorang yang mendapat pemulihan haknya
dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada
tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut
atau diadili tanpa alasan yang berdasar undang-undang atau karena alasan
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan”.
Memperhatikan bunyi Pasal tersebut, rehabilitasi adalah 37:
a. Hak seorang tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan pemulihan:
(1) Atas hak kemampuan, dan
(2) Atas hak kedudukan dan harkat martabatnya,
b. Serta hak pemulihan tersebut dapat diberikan dalam semua tingkat
pemeriksaan mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan atau pengadilan.
Berdasarkan pengertian-pengertian singkat di atas, dengan demikian bagi
terdakwa yang dinyatakan tidak bersalah dan diputus bebas dapat mengajukan
permohonan ganti kerugian dan rehabilitasi.

37

Ibid. Halaman 64

Universitas Sumatera Utara

1.7 Metode Penelitian Hukum
1.7.1

Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Penelitian Yuridis Normatif. Penelitian yuridis normatif membahas doktrindoktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum. 38 Jika peneliti menggunakan penelitian
hukum normatif atau Doktriner yang juga disebut sebagai penelitian perpustakaan
atau studi dokumen, karena lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat
sekunder yang ada di perpustakaan. Penelitian yuridis normatif mencakup 39:
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum
b. Penelitian terhadap sistematika hukum.
c. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum.
d. Penelitian terhadap sejarah hukum.
e. Penelitian terhadap perbandingan hukum.
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif yaitu suatu penelitian yang secara deduktif dimulai dengan analisa
terhadap pasal–pasal dan peraturan perundang – undangan yang mengatur
permasalahan dalam skripsi. Bersifat normatif maksudnya adalah penelitian
hukum yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan normatif tentang
hubungan antara satu peraturan dengan peraturan lain dan penerapan dalam
pratiknya (studi putusan).

38

39

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, Halaman 24
Ediwarman, Monograf Metodologi Penelitian Hukum : Panduan Penulisan Skripsi, Tesis

dan Disertasi, PT. Sofmedia, Medan, 2015. Halaman 97

Universitas Sumatera Utara

1.7.2

Metode Pendekatan
Metode pendekatan adalah metode yang akan diterapkan dalam

penelitian hukum yang akan dilakukan oleh peneliti. Dapat memakai metode
pendekatan Normatif (Legal Research) antara lain pendekatan pendekatan
Undang-undang (Statute Approach), metode pendekatan kasus (Case Approach),
pendekatan Historis (Historical Approach), pendekatan komparatif (Comparative
Approach), pendekatan konseptual (Conseptual Approach) atau mempergunakan
metode Empiris (Yuridis sosiologis) dan dapat juga menggunakan gabungan
antara kedua metode pendekatan tersebut. 40
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan pendekatan normatif. Jika metode pendekatan yang dipergunakan
dalam penelitian adalah metode pendekatan normatif, yang secara deduktif,
dimulai analisis terhadap pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang menjadi
permasalahan di atas, metode pendekatan ini digunakan dengan mengingat
permasalahan yang diteliti berdasarkan pada peraturan-peraturan perundangundangan yaitu hubungan peraturan satu dengan peraturan lain serta kaitannya
dengan penerapannya dalam praktek. 41

1.7.3

Lokasi Penelitian, Populasi dan Sampel
Lokasi Penelitian penulis dalam melakukan penelitian ini adalah di

Pengadilan Negeri Medan.
40
41

Ediwarman, opcit, Halaman 99
Ibid, Halaman 99-100

Universitas Sumatera Utara

1.7.4

Alat Pengumpul Data
Pada umumnya para peneliti mempergunakan alat pengumpul data

berupa 42:
a. Studi kepustakaan/studi dokumen (Documentary Study)
b. Wawancara (Interview)
c. Daftar pertanyaan (Kuesioner angket)
d. Pengamatan (Observasi)
Alat pengumpul data yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan
studi dokumen atau bahan pustaka yang disusun secara ilmiah (metodologi) guna
memperoleh data-data yang diperlukan dalam penyusunan sesuai dengan yang
telah direncanakan semula yaitu menjawab permasalahan yang telah diuraikan
sebelumnya. Selain itu untuk melengkapi penelitian ini juga dilakukan
wawancara. Alat pengumpul data dalam wawancara yang dilakukan adalah
sejumlah pertanyaan yang telah disusun secara sistematis.
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer
dan data sekunder. Data primer/data dasar adalah data yang didapat langsung dari
masyarakat sebagai sumber pertama dengan melakukan penelitian lapangan.
Perolehan data primer dari penelitian lapangan dapat dilakukan baik melalui
pengamatan (observasi), wawancara ataupun penyebaran kuesioner. 43 Sedangkan
42

43

Ediwarman, opcit, hal.113
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1991

Halaman 16

Universitas Sumatera Utara

data sekunder yaitu data yang dapat dicari dan diperoleh dari kepustakaan dengan
menggunakan instrumen-instrumen studi dokumen. 44
Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar
yang dalam (ilmu) penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder
tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat
pribadi, buku-buku harian, buku-buku, sampai pada dokumen-dokumen resmi
yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Data sekunder dibagi dalam:
a.

Bahan Hukum Primer, yaitu norma atau kaidah dasar seperti Pembukaan
UUD 1945, peraturan dasar seperti ketentuan-ketentuan dalam batang
tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR, peraturan perundang-undangan seperti
UU, Perpu, PP, Keppres dan lain-lain, bahan hukum yang tidak
dikodifikasi seperti ketentuan hukum adat, yurisprudensi, traktat dan bahan
hukum dari zaman penjajahan yang masih berlaku

b.

Bahan Hukum Sekunder yaitu Rancangan Undang-Undang, hasil
penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan lain-lainnya yang
memberi penjelasan tentang bahan hukum primer.

c.

Bahan Hukum Tersier yaitu kamus, ensiklopedi dan lain-lain bahan hukum
yang memberi penjelasan tentang bahan hukum primer dan sekunder. 45
Dalam penelitian ini sumber data primernya adalah Bapak Dr. Berlian

Napitupulu selaku Hakim di Pengadilan Negeri Medan, sedangkan sumber data
44

Tampil Anshari Siregar, Metodologi Penelitian Hukum Penulisan Skripsi, Pustaka
Bangsa Press, Medan, 2005, Halaman 75
45
Ibid,

Universitas Sumatera Utara

sekundernya adalah berupa buku-buku, literatur, peraturan perundang-undangan,
jurnal serta dokumen yang ada hubungannya dengan permasalahan yang
dikemukakan.

1.7.5

Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam Penulisan skripsi ini menggunakan

Library Research (penelitian kepustakaan), yaitu dengan melakukan penelitian
terhadap berbagai sumber bacaan, yakni buku-buku, pendapat sarjana, artikel,
surat kabar/koran, internet dan media massa yang berhubungan dengan masalah
yang dibahas. Selain itu penulis juga menggunakan Field Research (penelitian
kelapangan) yaitu dengan melakukan wawancara dengan seorang Hakim di
Pengadilan Negeri Medan.

1.7.6

Analisis Data
Analisis data dalam penelitian hukum mempergunakan metode pendekatan

kualitatif bukan kuantitatif, karena tanpa menggunakan rumusan statistik,
sedangkan penggunaan angka-angka hanya sebatas angka persentase sehingga
diperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh mengenai masalah yang diteliti. 46
Analisis data yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan
cara kualitatif, yaitu dengan menganalisis melalui data lalu diorganisasikan dalam
46

Ediwarman, opcit, hal 99-100

Universitas Sumatera Utara

pendapat atau tanggapan dan data-data sekunder yang diperoleh dari pustaka
kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan
dalam skripsi ini.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

ANALISIS YURIDIS PENJATUHAN PUTUSAN BEBAS TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI

0 5 15

ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN BEBAS (Vrijspraak) TERHADAP TERDAKWA TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Putusan Mahkamah Agung No.1614K/PID.SUS/2012)

1 17 94

Analisis Yuridis Putusan Bebas (Vrijspraak) Dalam Tindak Pidana Narkotika (Putusan Nomor 279/PID.B/2011/PN.PLG)

1 10 9

ANALISIS PENJATUHAN PUTUSAN BEBAS (VRIJSPRAAK) TERHADAP TERDAKWA MARTHEN RENOUW DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG BIDANG KEHUTANAN OLEH HAKIM PENGADILAN NEGERI JAYAPURA

0 26 108

Analisis Penjatuhan Putusan Bebas (Vrijspraak) Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Narkotika Dalam Kaitannya Dengan Sistem Peradilan Pidana Terpadu

1 42 171

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN BEBAS (VRIJSPRAAK) DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Bebas (Vrijspraak) dalam Perkara Tindak Pidana Pembunuhan.

0 3 19

Analisis Penjatuhan Putusan Bebas (Vrijspraak) Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Narkotika Dalam Kaitannya Dengan Sistem Peradilan Pidana Terpadu

0 0 10

Analisis Penjatuhan Putusan Bebas (Vrijspraak) Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Narkotika Dalam Kaitannya Dengan Sistem Peradilan Pidana Terpadu

0 0 1

Analisis Penjatuhan Putusan Bebas (Vrijspraak) Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Narkotika Dalam Kaitannya Dengan Sistem Peradilan Pidana Terpadu

0 0 22

Analisis Penjatuhan Putusan Bebas (Vrijspraak) Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Narkotika Dalam Kaitannya Dengan Sistem Peradilan Pidana Terpadu

0 0 5