BERSATU UNTUK UMAT ISLAM

BERSATU UNTUK UMAT ISLAM
Setiap perhelatan politik seperti Pemilu, baik untuk pemilihan anggota DPR/DPRD
dan DPD maupun pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, sebagaimana berlangsung selalu
ada kecenderungan ramainya politisasi kepentingan umat Islam. Artinya umat Islam dijadikan
isu untuk kepentingan politik. Bahkan ajaran dan simbol-simbol Islam pun melalui lagu,
ceramah, bahkan kegiatan ibadah seperti umrah dan lain-lain dimanfaatkan untuk
menunjukkan keislaman atau apresiasi Islam yang kental. Umat Islam didekati, bahkan
seperti dimanjakan terutama pada masa kampanye dan diperlukan dukungan suaranya.
Alhamdulillah, sebagai penduduk dan pemilih mayoritas tentu umat Islam akan selalu
menjadi rujukan kepentingan politik kekuatan mana pun, kecuali yang memang yang secara
nyata-nyata tidak bertautan dengan umat Islam. Bagi yang tidak bertautan secara politik atau
ideologis pun akan selalu memperhitungkan posisi dan peran umat Islam. Namun, kita tentu
perlu kritis pula, sesungguhnya kepentingan-kepentingan manakah yang sungguh-sungguh
dijadikan rujukan kepentingan politik para politisi, kekuatan politik, dan para calon Presiden
dan Wakil Presiden itu? Apa mereka sungguh-sungguh memperjuangkan aspirasi umat Islam
dan apakah aspirasi tersebut termasuk hal-hal yang penting dan strategis? Atau sekadar isu
atau aspirasi pinggiran?
Umat Islam dan kekuatan-kekuatan yang ada di belakangnya baik partai politik
maupun organisasi kemasyarakatan dan para tokohnya sering berhadapan dengan kenyataan
politik yang tidak mudah. Karena tidak menjadi kekuatan yang bersatu, umat Islam kalau
tidak mendukung atau jadi pendamping kekuatan-kekuatan lain yang memiliki dukungan

politik kuat dari rakyat, tidak jarang jadi objek politik yang empuk. Akibatnya, aspirasinya
sangat tergantung kekuatan politik dominan yang didukung mayoritas rakyat, yang
sebenarnya secara sosiologis mayoritas beragama Islam tetapi praktik politik dan ideologi
politiknya tidak berada dalam arus utama Islam. Umat Islam secara politik akhirnya sekadar
jadi kekuatan kecil atau pinggiran, sedangkan mayoritas di tingkat massa jadi objek politik
semata. Akhirnya aspirasi-aspirasi penting dan strategis yang menyangkut hajat hidup umat
Islam tidaklah masuk dalam agenda-agenda politik nasional, kendati umat Islam mayoritas di
negeri ini.
Ke depan kiranya perlu menjadi perhatian penting para tokoh dan kekuatan-kekuatan
politik umat. Apakah aspirasi Islam dan umat Islam di negeri berpenduduk mayoritas muslim
ini sekadar jadi isu atau aspirasi titipan bagi kekuatan-kekuatan nasional yang sebenarnya
tidak adaptif terhadap kepentingan umat Islam? Atau ingin jadi kekuatan penentu yang secara
kuantitatif sekaligus kualitatif diperhitungkan serta bersifat mandiri dan pada akhirnya
memiliki mandat politik rakyat yang besar dalam menentukan hitam-putihnya negeri ini?
Para tokoh dan kekuatan umat Islam layak untuk bermuhasabah diri dan tidak jalan sendirisendiri seperti selama ini. Kenapa tidak memulai untuk menyatukan semangat dan visi dalam
merancang dan manjalankan agenda politik nasional secara bersama-sama? Jangan biarkan
umat Islam jadi objek jualan politik pihak lain atau kekuatan-kekuatan umat yang sekadar
jadi broker politik. Apa sulitnya para tokoh dan kekuatan umat Islam bersatu demi kejayaan
Islam di masa depan di Republik ini? (HNs)
Sumber:

Suara Muhammadiyah
Edisi 17 2004