Bagi umat Islam

(1)

Bagi umat Islam, Nabi Muhammad saw. adalah suri teladan dalam segala bidang kehidupan. Tidak hanya dalam masalah-masalah agama yang terkait dengan hubungan dengan Allah, Sang Khalik, tetapi juga dalam persoalan-persoalan yang terkait dengan hubungan dengan sesama makhluk.

Muhammad adalah pribadi yang komplit. Ia adalah seorang Nabi, juru dakwah yang berhasil mengubah bangsa Arab yang polyteis menjadi penganut agama Islam yang mentauhidkan Allah. Ia juga adalah seorang panglima perang yang rela terjung langsung ke medan perang memimpin pasukan muslim menghadapi musuh. Di sisi lain, ia juga adalah seorang politikus yang mampu mempersatukan bangsa Arab dari berbagai suku dan klan dalam satu komunitas baru, kaum muslimin. Sebuah prestasi yang belum pernah dicapai oleh pemimpin Arab sebelumnya.

Keberhasilan Muhammad itu tidak diraih dengan mudah, tetapi melalui perjuangan yang sangat keras dan dilakukan secara bertahap dan sistematis. Dari catatan sejarah yang dapat ditelusuri, perjuangan Muhammad ditempuh dalam dua periode, Mekah dan Madinah. Jika pada periode Mekah, peran Muhammad lebih ditekankan pada bagaimana mengajak orang-orang musyrik Mekah untuk mengenal Allah dan mentauhidkannya, serta membentuk fondasi bagi terbentuknya komunitas baru, maka pada periode Madinah, peran Nabi lebih pada bagaimana menata

masyarakat yang baru, yaitu masyarakat Madinah yang heterogen dan plural, baik dari segi suku, asal-usul, maupun agama.

Seruan dakwah Muhammad saat di Mekah tidak langsung membuahkan hasil positif. Sebaliknya respons yang muncul dari masyarakat justru sangat menyakitkan. Kebanyakan warga dari

masyarakat Quraisy saat itu membalas ajakan Rasulullah dengan intimadasi, sabotase, isolasi, dan kekerasan untuk menghalang-halangi meluasnya ajaran Islam. Namun Nabi tidak frustrasi, justru terpicu untuk berpikir keras agar mencari alternatif lain dalam mendakwahkan Islam. Hingga sampai pada keputusan untuk memindahkan objek dakwah Islam kepada masyarakat di luar Makkah.

Oleh karena itulah Nabi bersama para sahabatnya melakukan Hijrah dari Mekah ke Madinah. Hijrah merupakan babak awal kebangkitan Islam. Hijrah menandai lahirnya sebuah negara baru, negara Madinah di mana Muhammad menjadi pemimpinnya. Dari sini kemudian Islam berhasil dipancarkan ke seantero jagad. Karena itu, model negara Madinah menjadi inspirasi dan ilham untuk mencari bentuk pengelolaan kehidupan modern sekarang ini, tidak saja bagi umat Islam, tetapi juga umat-umat lainnya.


(2)

Dalam penataan masyarakat baik di Mekah maupun di Madinah itu tentu saja terdapat dimensi wahyu dan ra’yu (ijtihad politik yang beliau lakukan). Dalam konteks tasyri’i (penetapan undang-undang Islam), Rasulullah saw. berucap dan bertindak berdasarkan wahyu semata, sehingga beliau tidak berijtihad sedikitpun, karena seorang mujtahid itu bisa saja benar dan salah. Hal demikian (benar & salah) tidak layak ada pada diri Rasul (yang maksum) yang berkata dan bertindak berdasarkan wahyu. Namun dalam konteks strategi tatbiqi (aplikasi penetapan syariat), dan juga dakwah kepada syariat itu sendiri beliau bertindak sesuai pandangan dan ijtihadnya. Demikian itu demi mewujudkan kemaslahatan di dalam kehidupan kaum muslimin.

Sehubungan dengan itu, Imam al-Qurafi melihat bahwa ucapan dan tindakan Nabi Saw. dalam kapasitasnya sebagai Rasul (penyampai wahyu) dan mufti (pemberi fatwa), keduanya bagian dari agama yang disyariatkan (beliau tidak berijtihad, namun hanya menyampaikan wahyu yang diterima). Sementara itu, dalam kapasitasnya sebagai hakim dan imam (pemimpin negara), keduanya bukanlah bagian mendasar agama yang absolut pelaksanaannya, seperti shalat dan puasa. Tetapi, keduanya merupakan ijtihad yang memperhatikan objek ijtihad yang kondisional, yang tidak lepas dari pengaruh waktu dan situasi yang senantiasa berubah. Di sini, Rasulullah Saw sebagai Imam (pemimpin negara) punya peran yang cukup luas, berperan sebagai hakim dan mufti. Olehnya itu, ia berhak melakukan sesuatu dengan mengatasnamakan dirinya hakim dan imam, seperti: menata strategi perang dan menyiapkan bala tentara, membagi hasil perang (ganimah), menyepakati dan menandatangani perjanjian damai, mengatur keuangan negara, menata perangkat-perangkat negara dengan memberi jabatan tertentu kepada yang layak menyandangnya dari sebagian sahabat, seperti: panglima perang, wali (gubernur di bahasa penulis), hakim, dan buruh kerja (Lihat, Al-Qarafi, Abu al-Abbas Ahmad bin Idris, al-Ihkâm fi Tamyiz al-Fatâwa anil Ahkâm wa Tasharrufât al-Qâdi wal Imâm, hlm. 4)

Dalam kapasitas ini, kita mendapatkan beberapa mekanisme pengambilan kebijakan yang

digunakan oleh Rasulullah saw.. ketika hendak menetapkan suatu masalah. Dalam banyak kasus, beliau bermusyawarah dengan para sahabat, namun terkadang dalam kasus tertentu beliau menggunakan hak prerogative yang dimiliki beliau sebagai pemimpin.

Karena itu dapat kita maklumi, bila kita menjumpai sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw. dari sebagian tindakannya: “Apakah ini wahyu samawi yang tidak mengenal tawar-menawar, ataukah ini ijtihad Anda wahai Rasulullah Saw?” Seperti yang dilontarkan Hubab bin al-Mundzir al-Anshari yang menyarankan Rasulullah Saw menyusun strategi perang di bawah sumur yang ada di bukit Badr. (Riwayat Al-Hakim dalam al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, III: 482, Hadis No. 5801)


(3)

Di sini, Rasululullah Saw. mengikuti pendapat Hubab bin al-Mundzir yang menyarankan umat memilih dan menyusun strategi perang di bawah sumur yang ada di bukit Badr. Sumur itu dilubangi sehingga airnya habis ditampung oleh bala tentara Islam di kawasan strategi mereka, sehinga mereka minum dan kaum Quraisy tidak minum. Mengapa Rasululullah Saw. mengikuti pendapat Hubab? Tiada lain karena pada usulan Hubab terdapat siasat yang ashlah (lebih maslahat) bagi kaum muslimin dibanding pendapat pendapat beliau sendiri.

Di kisah yang sama, setelah kaum Quraisy kalah di perang Badr tersebut, umat Islam berhasil menawan dari mereka 70 pemuka kaum. Di sini, Rasulullah Saw. punya dua pilihan, apakah beliau mengambil tebusan kemudian melepaskan mereka, atau membunuh mereka semua. Yang pertama saran Abu Bakar, dan yang kedua saran Umar setelah Rasulullah Saw meminta

musyawarah mereka. Sementara itu, Rasulullah Saw tidak diperhadapkan dua opsi, kecuali ia mengambil yang paling mudah selagi itu bukan dosa yang menyalahi syariat. Olehnya itu, Rasul Saw berijtihad mengambil tebusan dan membebaskan mereka. Yang demikian itu karena uang tebusan itu dapat menguatkan stabilitas keamanan, sosial, dan keuangan negara Islam. Dan bagi yang tidak punya uang tebusan, mereka diminta untuk mengajar anak-anak sahabat membaca dan menulis hingga mereka benar-benar menguasainya.

Contoh lain, pada perang Uhud. Sahabat yang lebih tua yang notabene lebih sedikit

menyarankan strategi defensif dengan tetap bertahan di madinah dan menunggu pasukan Quraisy datang menyerang. Rasulullah pun setuju. Namun sahabat yang jauh lebih muda menyarankan kepada Rasulullah saw. untuk opensif, dengan menyongsong musuh. Karena jumlah suara yang menyarankan pergi keluar lebih banyak, dan di sana terdapat kemaslahan yang lebih, maka Rasulullah kembali ke rumah dan memakai pakaian perangnya. Para sahabat merasa tidak enak hati karena telah memaksa Rasulullah, namun beliau menyikapinya dengan bersabda:

لتاقي ىتح اهعضي نأ هتمل سبل اذإ يبنل يغبني ام

”jika seorang nabi telah memakai baju perangnya, maka tidak patut baginya untuk

melepaskannya sebelum ia berperang.” Kemudian Rasulullah berangkat menuju Bukit Uhud bersama 1.000 prajurit. (Lihat, Asy-Syuraa fii asy-Syari’ah al-Islamiyyah: 152-153)

Contoh lain, dalam kebijakan distribusi ghanimah. Pada perang Hunain. Nabi saw.

memberikan ganimah (harta hasil berperang) hanya kepada sebagian kalangan kaum muslim, dan tidak memberikan kepada yang lainnya, dengan memperhatikan hal ini saja, syara’ telah

menyerahkan ketentuan pembelanjaan harta milik negara tersebut kepada Kepala Negara. Sedangkan untuk perkara yang lainnya, tidak berlaku ketentuan tadi, misalya distribusi zakat, karena pos mustahiq zakat telah diatur secara syariat hanya untuk delapan golongan saja.


(4)

Contoh lain, dalam kebijakan pengaturan administrasi lembaga negara, sebagaimana ketika Rasul saw. mengangkat seseorang menjadi Wali (Gubernur) atau Qadhi (Hakim). Maka hal ini tidak bisa dikatakan bahwa orang yang menjadi Wali tersebut, kekuasaannya sempurna karena wahyu, tapi itu sebenarnya adalah masalah pengaturan (administratif) urusan negara, dalam rangka pemilihan para Wali, dan yang semisalnya, sesuai Ijtihad Nabi saw.—dalam kapasitas beliau sebagai Kepala Negara—demi mewujudkan kemaslahatan seluruh kaum muslim.

Contoh lain, dalam kebijakan moneter, yaitu penggunaan dinar dan dirham.

Mata uang yang digunakan masyarakat Arab pra Islam adalah emas dan perak. Dari kedua logam mulia tersebut kemudian dicetak Dinar (koin emas) dan Dirham (koin perak). Sebenarnya mata uang Dinar dibentuk dan dicetak oleh Kekaisaran Romawi, berukiran gambar raja dan

bertuliskan huruf Romawi. Sehubungan dengan itu Ibnu Abdil Barr menjelaskan, “Kata Dinar adalah arabisasi dari kata Denarius. Dinar adalah mata uang romawi kuno, dan masih berlaku disebagian Negara Eropa. Dalam injil disebutkan nama dinar berkali-kali. Dinar ditimbang dalam satuan mistqal. Satu mistqal sama dengan 72 biji gandum yang sedang. Tidak ada perubahan pada masa jahiliyah dan pada masa permulaan Islam.” (Lihat, At-Tamhid, XXII:170)

Orang-orang Arab Quraisy (penduduk Makkah) sering melaksanakan perdagangan ke berbagai pelosok wilayah, baik ke wilayah Romawi di negeri Syam (yang sekarang meliputi Palestina, Yordania, Syiria, dan Libanon) ataupun ke wilayah Persia di Irak dan sekitarnya. Ketika mereka kembali dari Syam, mereka biasanya membawa Dinar. Begitu juga ketika mereka kembali dari Irak, mereka membawa Dirham. Dari gambaran keadaan di atas tampak jelas bahwa mata uang emas dan perak sudah digunakan oleh bangsa Romawi (emas) dan Persia (perak) yang notabene jauh sebelum Islam datang.

Mata uang Dinar dan Dirham yang mereka bawa tidak dipakai untuk melakukan transaksi, akan tetapi mereka menggunakan kedua mata uang tersebut untuk timbangan saja. Maksudnya untuk menghindari penipuan (mata uang yang semakin banyak beredar di kalangan mereka), mereka bersandar pada timbangan. Dan mereka masih belum berpikir ke arah taraf pencetakan uang (atau menjadikan uang Dinar dan Dirham untuk transaksi). Adapun timbangan yang biasa mereka gunakan adalah: rithl, uqiyah, nasy, nuwat, mitsqal, dirham, daniq, qirath, dan habbah.

Demikianlah seterusnya sampai Islam datang, dan sepanjang kehidupan Nabi Muhmmad saw., beliau tidak merekomendasikan perubahan apapun terhadap kedua mata uang itu. Artinya Nabi membenarkan praktek ini. Hal itu ditetapkan oleh beliau dalam kapasitas sebagai pemimpin


(5)

karena terdapat kemaslahatan di dalamnya, meskipun kedua mata uang itu produk kaum kafir: Nasrani dan Majusi.

Contoh lain, Kebijakan koalisi dan kompromi politik (at-Tahaluf).

Secara bahasa Arab (lughah), at-Tahaluf (kompromi) berasal dari kata al-Hilfu yang artinya perjanjian untuk saling menolong, ia berasal dari kata halafa-yahlifu-hilfan. Dalam bentuk kalimat dikatakan hilfuhu fulan fayakunu halifuhu (Fulan berjanji dengan fulan maka ia menjadi sahabatnya). (Lihat, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Ahmad bin Fariz bin Zakaria, Bab ha, lam, fa; juz 2, hal 97-98)

Secara syara’ maknanya pun sama, dalam hadis Nabi saw.disebutkan dari Ashim ra:

م

م للسس لسم ا يفم فل لسحم لل لل اقل ملللسل ول هميسللعل ههلللا ىللصل يل بمنللا نل أل كل غلللبلأل ههنسعل ههلللا يل ضم رل كك لمامل نم بس سم نللمل ته لسقه

يرمادل يفم رماصل نسلسل اول شك يسرلقه نل يسبل مل للسل ول هميسللعل ههلللا ىللصل يي بمنللا فل للاحل دسقل لل اقلفل

“Aku berkata kepada Anas bin Malik : Apakah telah sampai kepadamu bahwa Nabi

saw.bersabda: “Tidak ada hilfu dalam Islam.” Maka jawab Anas ra: “Bahkan Nabi saw.telah mengambil sumpah suku Quraisy dan Anshar dirumahku.” (HR. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, II: 803, Hadis No. 2172)

Berikut ini dapat dikemukakan beberapa contoh kompromi politik pada masa awal kenabian yang dilakukan Nabi saw. dengan kaum musyrikin, baik perorangan maupun kelompok

1. Perlindungan Abu Thalib pada Nabi saw.

Ketika turun Al Qur’an surat Asy-Syu’araa (26) ayat 214, maka Nabi saw. memanggil Bani Hasyim, Bani Muthalib bin Abdi Manaf, dan berkata, “Segala puji bagi Allah, aku memuji dan dan memohon pertolongan kepada-Nya, beriman dan bertawakkal kepada-Nya, aku bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya. Sesungguhnya

pemandu jalan tidak akan menyesatkan orang yang dipandu. Demi Allah yang tiada Ilah kecuali Dia, Dia Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya, bahwa aku adalah utusan Allah bagi kalian secara khusus serta untuk semua manusia secara umum. Demi Allah bahwa kalian akan meninggal


(6)

dunia sebagaimana kalian tidur dan akan dihidupkan kembali sebagaimana kalian bangun, lalu kalian akan diminta pertanggungjawaban dari apa yang telah kalian lakukan. Sesungguhnya surga dan neraka adalah abadi.”

Maka Abu Thalib berkata, “Alangkah senangnya aku dapat menolongmu, menerima segala nasihatmu, dan menjadi orang yang paling percaya akan tutur katamu, mereka yang berkumpul ini adalah keturunan nenek moyangmu, dan aku adalah salah satu dari mereka, hanya saja aku adalah orang yang paling dulu senang dengan apa yang kau senangi, maka laksanakan apa yang telah diperintahkan Tuhan kepadamu. Demi ALLAH aku akan selalu bersamamu dan

menjagamu, akan tetapi aku tidak mampu meninggalkan agama Abdul Muthalib.” Maka Abu Lahab berkata, “Demi Allah ini adalah malapetaka! Cegah dia sebelum

mempengaruhi yang lain!” Maka jawab Abu Thalib, “Demi Allah! Aku akan selalu menjaganya selama aku masih hidup!”( Lihat, Sirah Nabawiyyah, Ibnu Hisyam, juz I, hal 265)

2. Perlindungan Syi’ib Bani Hasyim

Diriwayatkan oleh Musa bin Uqbah dari Ibnu Syihab az-Zuhri, “Orang-orang kafir berkumpul untuk merencanakan pembunuhan pada Nabi saw, yang akan dilakukan secara terang-terangan, ketika kabar itu didengar oleh Abu Thalib, maka ia mengumpulkan bani Hasyim dan bani Muthalib untuk melindungi Nabi saw., di antara mereka ada yang melakukannya berdasarkan keyakinan pada kebenaran Islam dan ada pula yang ingin melindunginya karena hubungan kekeluargaan (ta’ashub; kesukuan) saja. (Lihat, Sirah Nabawiyyah, Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab, hal. 93)

3. Perlindungan Muth’im bin ‘Adi

Ketika Nabi saw. pulang dari Tha’if untuk kembali ke Mekah, maka beliau mengutus seseorang dari suku Khuza’ah untuk menemui Muth’im bin Adi dan berkata, “Apakah engkau bersedia menjadi pelindung Muhammad?” Muth’im menjawab, “Ya.” Lalu ia menyiapkan pedangnya dan berkata pada kaumnya, “Hunuskan senjata kalian dan berdirilah di setiap pojok Ka’bah,

sesungguhnya aku telah melindungi Muhammad!” Muth’im lalu mengutus orang untuk

mempersilakan Muhammad saw. masuk ke Mekah, maka Nabi saw.dan Zaid bin Haritsah ra pun memasuki Mekah. Sesampainya di Ka’bah, maka Muth’im bin Adi duduk di atas ontanya sambil berkata, “Hai orang-orang Quraisy! Sesungguhnya aku telah melindungi Muhammad, maka jangan ada yang berani mengganggunya!”


(7)

Maka Nabi saw. pun menyelesaikan thawaf, mencium hajar aswad, melakukan shalat 2 raka’at dan kembali ke rumahnya. Sedangkan Muth’im dan anak-anaknya terus menjaga Nabi saw., sampai ia masuk ke rumahnya. (Lihat, ar-Rahiq al-Makhtum, al-Mubarakafuri, riwayat Zuhr dari Musa bin Uqbah; al-Bidayah wa Nihayah, Ibnu Katsir, juz III, hal. 150)

Semua peristiwa tersebut menunjukkan bagaimana Nabi saw. menjalin koalisi dengan orang-orang kafir dengan tiada satupun dari ayat Al-Qur’an yang memerintahkan maupun yang melarangnya.

Fiqh siyasah yang bisa diambil dalam hal ini adalah bahwa pada fase dakwah tertentu dimana ketika kondisi gerakan Islam masih kecil dan bargaining-positionnya pun masih lemah, maka Islam mentolerir untuk melakukan koalisi, baik terhadap personal (kasus perlindungan Abu Thalib, Muth’im bin ‘Adiy) maupun terhadap kelompok (kasus perlindungan Syi’ib Bani Hasyim dan tawaran Nabi saw.terhadap kabilah-kabilah Arab)

Dan masih banyak lagi contoh-contoh kasus ijtihad politik Nabi saw. yang menunjukkan kepiawaian dan ketajaman analisa politik beliau dalam menangani masalah-masalah social dan kenegaraan demi kemaslahatan kaum muslimin, yang tentu saja menuntut ketepatan dan ketangkasan khusus.

Dimensi ra’yu (ijtihad politik) yang beliau lakukan dalam kapasitas sebagai pemimpin dapat ditelaah melalui metode fiqh siyasah—sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya—sehingga kebijakan Nabi dalam penataan masyarakat saat itu dapat ditiru, meski tidak sepenuhnya, sesuai dengan konteks social-politik pada masa sekarang.

Aspek lain yang tidak kalah penting untuk ditiru, bahwa ijtihad yang mendasari kebijakan politik beliau senantiasa tidak menimbulkan “kegaduhan internal”, apalagi merugikan kaum muslimin. Hal itu tiada lain karena mereka yang terlibat atau dilibatkan sudah terdidik: memiliki


(8)

CTRL + Q to Enable/Disable GoPhoto.it

https://m.facebook.com/notes/amin-saefullah-muchtar/fiqh-siyasah-ala-manhaj-nubuwwah-bagian-iii/688057314558983/

Larangan Meminta Jabatan

Minggu, 10 Mei 2015 23:04:38 WIB Kategori : Al-Masaa'il : Politik

Terhormat dan disegani adalah keinginan banyak orang. Keduanya sangat identik dengan penguasa. Mungkin karena faktor ini, sehingga banyak orang berlomba dan melakukan berbagai macam cara untuk meraih kekuasaan, tanpa peduli dengan banyaknya pengorbanan materi yang harus dikeluarkan bahkan ada yang nekat melanggar norma agama, dengan melakukan ritual tertentu di kuburan atau tempat-tempat yang dianggap keramat. Terjebak dalam perbuatan bid'ah atau syirik, demi meraih kursi jabatan. Tidakkah mereka khawatir akan beban berat yang akan mereka pikul di dunia ini? Yang lebih berat lagi adalah pertanggungjawaban di hadapan Allah Azza wa Jalla ! Terlebih meminta jabatan itu sendiri adalah hal terlarang dalam Islam. Jika meminta suatu jabatan saja sudah terlarang, lalu bagaimana dengan orang-orang yang berusaha meraih suatu jabatan dengan cara-cara yang melanggar norma-norma agama.

Kekuasaan Milik Allâh Dan Berasal Dari-Nya

Sabtu, 18 April 2015 07:19:26 WIB

Kategori : Al-Masaa'il : Politik

Sesungguhnya manusia akan diperlakukan dengan lembut dalam perkara ini sesuai dengan komitmennya terhadap agama Allâh Azza wa Jalla. Barangsiapa telah menjadi baik dan melakukan perbaikan, maka Allâh Azza wa Jalla akan memperbaiki kekuasaan yang ia kendalikan. Dan barangsiapa rusak dan melakukan kerusakan, maka kekuasaannya akan mengalami kerusakan, meskipun ia seorang penguasa berstatus politikus ulung dan memiliki pengikut yang paling banyak. Masing-masing akan menuai apa yang ditanam dan memakan dari kelakuan pribadinya. Dan Allâh Maha Meliputi seluruh makhluk-Nya. Hal ini perlu diulas kembali untuk menegaskan bahwa perubahan itu berada di tangan Allâh Azza wa Jalla


(9)

. Dialah yang mengangkat seorang hamba menjadi pemimpin sesuai dengan kehendak-Nya di atas orang-orang yang dikehendaki-Nya pula.

Untaian Nasihat Sebelum Pemilu Presiden 2014

Jumat, 6 Juni 2014 10:33:24 WIB

Kategori : Al-Masaa'il : Politik

Namun karena di kebanyakan negeri Islam saat ini –termasuk Indonesia- menggunakan sistem demokrasi yang kepemimpinan negeri ditentukan melalui pemilu, maka dalam kondisi seperti ini apakah kita ikut coblos ataukah tidak? Masalah ini diperselisihkan para ulama yang mu’tabar tentang boleh tidaknya, karena mempertimbangkan kaidah maslahat dan mafsadat. Sebagian ulama berpendapat tidak boleh berpartisipasi secara mutlak seperti pendapat mayoritas ulama Yaman karena tidak ada maslahatnya bahkan ada madharatnya. Dan sebagian ulama lainnya berpendapat boleh untuk menempuh madharat yang lebih ringan seperti pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Ibnu Utsaimin dan lain-lain, karena “Apa yang tidak bisa didapatkan seluruhnya maka jangan ditinggalkan sebagiannya” dan “rabun itu lebih baik daripada buta”. Maka seyogyanya bagi kita semua untuk bersikap arif dan bijaksana serta berlapang dada dalam menyikapinya. Marilah kita menjaga ukhuwwah islamiyyah (persaudaraan sesama Islam) dan menghindari segala perpecahan, perselisihan serta percekcokan karena masalah ijtihadiyyah seperti ini.

Wahai Salafi, Inginkah Engkau Masuk Kubangan Politik ???!!!

Jumat, 30 Mei 2014 15:20:46 WIB

Kategori : Al-Masaa'il : Politik

Pada hari-hari seperti ini kita mendapati pembahasan seputar pemilu 2014 sebagai pembahasan terhangat diberbagai media massa dan media elektronik. Berbagai elemen masyarakat banyak disibukkan dengannya, mulai dari pakar politik hingga orang awam. Pembahasan tersebut seolah menjadi menu dan bahan obrolan yang sangat amat mengasyikkan hingga menyita banyak waktu, tenaga, pikiran bahkan harta mereka. Tapi ini tidak asing bagi mereka dan di dalam dunia mereka. Namun yang sangat disayangkan, penyakit di atas menular pula ke dalam diri orang-orang yang mengatasnamakan dirinya sebagai pengikut Dakwah Salafiyah yang murni dari kotoran politik ini atau mungkin ada juga yang sebagai penyusup ke dalamnya tanpa disadari. Kita lihat sebagian mereka berdebat kusir tentangnya di majlis-majlis obrolan, FB,WA dan internet. Sebagian lagi bahkan melakukan apa yang diistilahkan dengan kampanye hitam untuk mendukung salah satu capres dan menjatuhkan yang lainnya.


(10)

Bagaimana Rakyat Menyikapi Pemerintah Zhalim?

Senin, 31 Maret 2014 05:19:41 WIB

Kategori : Al-Masaa'il : Politik

Bersikap tulus kepada rakyatnya : Pertama, dalam perkara-perkara agama, kedua, dalam perkara-perkara dunia. Dengan cara menyebarkan aqidah (yang benar) dan Sunnah (ajaran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ), lewat ta’lim (pengajaran), hukum, dakwah menuju agama Allâh Azza wa Jalla berdasarkan ilmu, dan melarang bid’ah-bid’ah. Yang terbesar (dari bid’ah yang harus dilarang) adalah membangun masjid-masjid di dekat kuburan-kuburan yang disembah, tempat-tempat (yang dianggap keramat atau

membawa berkah), masyâhid (tempat-tempat yang dianggap peninggalan orang-orang shalih, dan semacamnya), dan tempat yang diziarahi. Dan bid’ah-bid’ah selainnya yang berupa tempat-tempat terpencil (untuk semedi dan semacamnya) dan semua bid’ah-bid’ah di dalam ibadah. Rakyat juga memiliki hak-hak (lain) yang menjadi kewajiban bagi penguasa, (yaitu) hak-hak untuk mendapatkan perlakuan baik dan perhatian. Penguasa tidak memberikan beban yang tidak mampu mereka lakukan. Penguasa memenuhi pelayanan-pelayanan yang berkaitan dengan kehidupan sesuai dengan

kemampuannya. Dan agar penguasa menjadi teladan yang baik di dalam perkara agama dan dunia.

Pemimpin Ideal

Kamis, 17 Juni 2010 16:24:32 WIB Kategori : Al-Masaa'il : Politik

Al-Walid bin Hisyam berkata,"Sesungguhnya rakyat akan rusak karena rusaknya pemimpin, dan akan menjadi baik karena baiknya pemimpin." Sufyan ats-Tsauri berkata kepada Abu Ja'far al-Manshur: "Aku tahu, ada seorang lelaki yang bila ia baik, maka umat akan baik; dan jika ia rusak, maka rusaklah umat." Abu Ja'far al-Manshur (ia adalah pemimpin) bertanya: "Siapa dia?" Sufyan menjawab: "Engkau!" Pemimpin yang paling baik ialah pemimpin yang ikut berbagi bersama rakyatnya. Rakyat mendapat bagian keadilan yang sama, tidak ada yang diistimewakan. Sehingga pihak yang merasa kuat tidak memiliki keinginan melakukan kezhalimannya. Adapun pihak yang lemah tidak merasa putus asa mendapatkan keadilan. Dalam sebuah kata-kata hikmah disebutkan: Pemimpin yang baik, ialah pemimpin yang orang-orang tak bersalah merasa aman dan orang-orang yang bersalah merasa takut. Pemimpin yang buruk, ialah pemimpin yang orang-orang tak bersalah merasa takut dan orang-orang yang bersalah merasa aman." Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata kepada al-Mughirah ketika mengangkatnya menjadi gubernur Kufah: "Hai Mughirah, hendaklah orang-orang baik merasa aman denganmu dan orang-orang jahat merasa takut terhadapmu".


(11)

Percikan Pemikiran Politik Aswaja

Januari 11, 2013 at 6:49 am2 komentar

Marwan Ja’far ; Anggota DPR dari Fraksi PKB, Ketua Dewan Pembina Laskar Ahlussnnah Wal Jama’ah

Sehubungan dengan Tahun Baru Islam yang jatuh esok hari, alangkah baiknya jika kita menggali sejarah masuknya Islam dan perkembangannya di negeri ini.

Agama Islam masuk ke wilayah Nusantara tak lepas dari peran para ulama terdahulu hingga dapat mencapai puncak keberhasilan penyebarannya, terutama di Pulau Jawa oleh para Wali Songo atau Wali Sembilan. Para wali inilah secara terus menerus mewariskan ajaran Islam ala ahlusunah waljamaah (aswaja) kepada ulama salaf (ulama tradisional) dan dilanjutkan oleh ulama nahdliyin (ulama Nahdlatul Ulama) hingga saat ini.

Kajian mengenai ahlusunah waljamaah (aswaja) sebagai bagian dari kajian keislaman telah banyak dilakukan oleh banyak pihak. Hal ini keharusan bagi semua generasi agar ajaran tersebut selalu hidup dan aktual.Di samping itu juga untuk memberi makna secara proporsional dan sekaligus memberi kontribusi konkret atas permasalahan yang dihadapi umat, baik

sosial-budaya, ekonomi, maupun politik. Dari sinilah akan diketahui secara jelas akar, alur, dan konteks sebuah ajaran itu tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat.

Karakteristik

Dalam konteks ini tidak berlebihan jika dikatakan ajaran aswaja selalu aktual dan diterima oleh mayoritas masyarakat sejak generasi awal hingga dewasa ini. Ajaran aswaja telah terbukti selalu sesuai dengan kondisi dan kultur masyarakat kita yang majemuk, baik secara agama, budaya, maupun etnis. Hal ini membuktikan bahwa nilai-nilai aswaja yang diwariskan dari generasi ulama terdahulu hingga ulama seperti Khadzratussyaikh Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, Kiai Bisri Syansuri,

dan para pendiri NU telah mengalami proses dialektika yang luar biasa di tengah kemajemukan tata nilai, keyakinan, dan agama yang dianut bangsa ini. Terkait dengan hal inilah, Achmad Muhibbin Zuhri dalam buku Pemikiran KH Hasyim Asy’ari tentang Ahl Sunnah wa Al-Jamaah (2010) mengungkapkan bahwa Hasyim Asy’ari telah berhasil melakukan dialektika antara Islam dan dinamika keagamaan di Indonesia, khususnya modernistradisionalis pada abad ke-20 sehingga melahirkan rumusan prinsip dasar dan karakteristik aswaja di Tanah Air hingga dewasa ini.

Karakteristik ahlusunah waljamaah ini sekaligus menjadi dasar nilai, spirit, dan sekaligus manhaj dalam berbagai bidang kehidupan individu dan kolektif bagi penganutnya. Dalam konteks kehidupan negara-bangsa terutama politik, ahlusunah waljamaah telah mengambil prinsip syuro atau sistem demokrasi. Sebuah sistem pemerintahan yang bertumpu dan berorientasi pada kedaulatan rakyat.


(12)

Meski kedaulatanditanganrakyat, rakyat tidak boleh mengambil sikap dan perilaku yang bertentangan dengan prinsip syuro dalam menyelesaikan berbagai masalah pemerintahan. Karakteristik seperti ini diharapkan dapat melahirkan tatanan kehidupan yang harmoni dan antidominasi. Karakteristik masyarakat yang dilandasi atas prinsip keluwesan dan moderat inilah yang mampu membawa aswaja bisa diterima oleh setiap generasi dan orde pemerintahan.

Sejak awal ahlusunah waljamaah telah mengusung konsep Islam yang mengedepankan nilai-nilai kedamaian,harmoni, dan humanis. Dengan tata nilai moderasi dan toleransi ini, penganut

ahlusunah waljamaah mampu beradaptasi dengan arus peradaban umat manusia yang berbeda aliran, paham, bahkan agama sekalipun. Saat ini memang ada kesan bahwa wacana politik di kalangan tertentu tampaknya mulai mengalami penurunan selera walaupun realitas praktis perpolitikan di negeri ini masih tetap hangat.

Muncul asumsi negatif tentang kontestasi politik di Indonesia yang telah mengendap dan terpatri dalam memori masyarakat. Ada anggapan di kalangan tertentu bahwa politik adalah sesuatu yang kotor yang hanya berorientasi pada perebutan kekuasaan, intrik-mengintrik, dan menghalalkan segala cara. Terkait dengan anggapan tersebut, patutlah kita menilik kembali pada

weltanschauung ahlusunah waljamaah mengenai politik.

Hal ini penting untuk tidak sekadar sebagai wacana, tapi bisa menjadi nilai, spirit, dan ”panduan” dalam perilaku politik yang secara ideal sering dikatakan sebagai politik yang beradab. Prinsip dasar tersebut adalah: 1) Tawazun (seimbang). Artinya keseimbangan antara kepentingan yang bersifat duniawi dan ukhrawi. 2) Tawassuth (jalan tengah).

Artinya dalam mengambil keputusan harus menggunakan berbagai pertimbangan dan tidak memihak sebelah. 3) Tasamuh (toleransi). Ini berarti sikap saling menghormati, tidak

memaksakan kehendak dan menghargai perbedaan. 4) I’tidal (lurus), selalu berjalan lurus dengan berpedoman pada kaidah-kaidah agama. 5) Amar ma’ruf nahi mungkar, mengajak pada

kebenaran dan mencegah pada keburukan dengan cara yang baik. 6) al-Qiyam bil Qadimish Shalih wal Akhdzu bil Jadidil Ashlah (mempertahankan nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik).

Dengan prinsip ini, politik ahlusunah waljamaah selalu mengambil sikap akomodatif, toleran, dan menghindari sikap ekstrem ketika berhadapan dengan spektrum sosial politik mana pun.Hal yang disebutkan terakhir inilah sisi moderat yang terus dikembangkan dan diperjuangkan. Tak heran, moderasi ini menjadi hal yang sangat didambakan oleh semua warga bangsa dalam menyelesaikan semua perbedaan cara pandang dan konflik kepentingan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hal ini sekaligus merupakan manifestasi dari prinsip tasamuh dan tawazun dari aswaja sebagai manhaj dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku. Pengejawantahan yang lebih jauh dari manhaj tersebut tentu akan berdampak positif dalam berbagai aspek kehidupan, baik pada wilayah pribadi maupun sosial.Ini penting karena seringkali setiap ada sikap atau tindakan yang diambil terkait dengan interaksi duniawi tak luput dari tendensi dan kepentingan pragmatis sesaat demi keuntungan sesaat pula.


(13)

Kedaulatan Rakyat

Prinsip tawassuth atau moderat dalam arti tidak ekstrem kiri (liberalisme) atau kanan

(fundamentalisme) dalam memandang sebuah konsep negara. Suatu negara boleh saja didirikan atas dasar teokrasi, aristokrasi, demokrasi, atau lainnya asal mampu memenuhi kriteria maupun persyaratan pendirian negara. Persyaratan yang dimaksud meliputi sejumlah aspek seperti syuro (musyawarah), al-’adl (keadilan), al-musawah (kesetaraan derajat), dan alhurriyyah (kebebasan). Prinsip syuro artinya negara harus mengedepankan jalan musyawarah dalam mengambil segala keputusan, kebijakan, atau peraturan. Al-’adl maksudnya negara wajib memberi rasa keadilan kepada masyarakat, tanpa terkecuali. Sementara prinsip al-musawahdapat diartikan sebagai kesamaan status semua warga di hadapan negara, hukum, ataupun aturan perundang-undangan baik dalam konteks kewajiban dan hak-hak mereka. Sedangkan prinsip alhurriyyah yang berarti negara wajib menciptakan dan menjaga kebebasan bagi warganya, dirumuskan dalam konsep Al-Ushulul Khamsah(LimaPrinsip Asasi Manusia).

Lima prinsip asasitersebut mencakup: hifdzun nafs (menjaga jiwa), hifdzuddin (menjaga agama), hifdzul mal (menjaga harta benda), hifdzunnasl (menjaga identitas asal-usul atau keturunan), dan hifdzul ’irdh (jaminan terhadap harga diri dan kehormatan). Bila lima syarat tersebut tidak terpenuhi, gugurlah otoritas pemimpin sebuah negara. Karena itu, konsep pendirian negara (imamah),bagi ahlusunah waljamaah tidaklah termasuk salah satu pilar (rukun) keimanan sebagaimana yang diyakini oleh Syiah.

Hal ini juga berbeda dari Khawarij yang membolehkan komunitas umat Islam tanpa seorang imam apabila umat itu sudah bisa mengatur dirinya sendiri. Dari beberapa syarat tersebut tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa sesungguhnya sistem pemerintahan yang mendekati kriteria aswaja adalah sistem demokrasi di mana sistem pemerintahan yang bertumpu pada kedaulatan rakyat sekaligus sebagai manifestasi dari amanah dan khalifah Allah di muka bumi.

https://cdsindonesia.wordpress.com/2013/01/11/percikan-pemikiran-politik-aswaja/ AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH

SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR I. PENGANTAR

Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) merupakan bagian integral dari sistem keorganisasian PMII. Dalam NDP (Nilai Dasar Pergerakan) disebutkan bahwa Aswaja merupakan metode pemahaman dan pengamalan keyakinan Tauhid. Lebih dari itu, disadari atau tidak Aswaja merupakan bagian kehidupan sehari-hari setiap anggota/kader organisasi kita. Akarnya tertananam dalam pada pemahaman dan perilaku penghayatan kita masing-masing dalam menjalankan Islam. Selama ini proses reformulasi Ahlussunnah wal Jama’ah telah berjalan, bahkan masih berlangsung hingga saat ini. Tahun 1994, dimotori oleh KH Said Agil Siraj muncul gugatan terhadap Aswaja yang sampai saat itu diperlakukan sebagai sebuah madzhab. Padahal di dalam Aswaja terdapat berbagai madzhab, khususnya dalam bidang fiqh. Selain itu, gugatan muncul melihat perkembangan zaman yang sangat cepat dan membutuhkan respon yang kontekstual dan


(14)

cepat pula. Dari latar belakang tersebut dan dari penelusuran terhadap bangunan isi Aswaja sebagaimana selama ini digunakan, lahirlah gagasan ahlussunnah wal-jama’ah sebagai manhaj al-fikr (metode berpikir).

PMII melihat bahwa gagasan tersebut sangat relevan dengan perkembangan zaman, selain karena alasan muatan doktrinal Aswaja selama ini yang terkesan terlalu kaku. Sebagai manhaj, Aswaja menjadi lebih fleksibel dan memungkinkan bagi pengamalnya untuk menciptakan ruang

kreatifitas dan menelorkan ikhtiar-ikhtiar baru untuk menjawab perkembangan zaman. Bagi PMII Aswaja juga menjadi ruang untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna bagi setiap tempat dan zaman. Islam tidak diturunkan untuk sebuah masa dan tempat tertentu. Kehadirannya dibutuhkan sepanjang masa dan akan selalu relevan. Namun relevansi dan makna tersebut sangat tergantung kepada kita, pemeluk dan penganutnya, memperlakukan dan mengamalkan Islam. Di sini, PMII sekali lagi melihat bahwa Aswaja merupakan pilihan paling tepat di tengah kenyataan masyarakat kepulauan Indonesia yang beragam dalam etnis, budaya dan agama.

II. SKETSA SEJARAH

Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) lahir dari pergulatan intens antara doktrin dengan sejarah. Di wilayah doktrin, debat meliputi soal kalam mengenai status Al-Qur’an apakah ia makhluk atau bukan, kemudian debat antara Sifat-Sifat Allah antara ulama Salafiyyun dengan golongan Mu’tazilah, dan seterusnya.

Di wilayah sejarah, proses pembentukan Aswaja terentang hingga zaman al-khulafa’ ar-rasyidun, yakni dimulai sejak terjadi Perang Shiffin yang melibatkan Khalifah Ali bin Abi Thalib RA dengan Muawiyah. Bersama kekalahan Khalifah ke-empat tersebut, setelah dikelabui melalui taktik arbitrase (tahkim) oleh kubu Muawiyah, ummat Islam makin terpecah kedalam berbagai golongan. Di antara mereka terdapat Syi’ah yang secara umum dinisbatkan kepada pengikut Khalifah Ali bin Abi Thalib, golongan Khawarij yakni pendukung Ali yang membelot karena tidak setuju dengan tahkim, dan ada pula kelompok Jabariyah yang melegitimasi kepemimpinan Muawiyah.

Selain tiga golongan tersebut masih ada Murjiah dan Qadariah, faham bahwa segala sesuatu yang terjadi karena perbuatan manusia dan Allah tidak turut campur (af’al al-ibad min al-ibad) – berlawanan dengan faham Jabariyah.

Di antara kelompok-kelompok itu, adalah sebuah komunitas yang dipelopori oleh Imam Abu Sa’id Hasan ibn Hasan Yasar al-Bashri (21-110 H/639-728 M), lebih dikenal dengan nama Imam Hasan al-Bashri, yang cenderung mengembangkan aktivitas keagamaan yang bersifat kultural (tsaqafiyah), ilmiah dan berusaha mencari jalan kebenaran secara jernih. Komunitas ini

menghindari pertikaian politik antara berbagai faksi politik (firqah) yang berkembang ketika itu. Sebaliknya mereka mengembangkan sistem keberagamaan dan pemikiran yang sejuk, moderat dan tidak ekstrim. Dengan sistem keberagamaan semacam itu, mereka tidak mudah untuk mengkafirkan golongan atau kelompok lain yang terlibat dalam pertikaian politik ketika itu. Seirama waktu, sikap dan pandangan tersebut diteruskan ke generasi-generasi Ulama setelah beliau, di antaranya Imam Abu Hanifah Al-Nu’man (w. 150 H), Imam Malik Ibn Anas (w. 179 H), Imam Syafi’i (w. 204 H), Ibn Kullab (w. 204 H), Ahmad Ibn Hanbal (w. 241 H), hingg tiba pada generasi Abu Hasan Al-Asy’ari (w 324 H) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H). Kepada dua ulama terakhir inilah permulaan faham Aswaja sering dinisbatkan; meskipun bila ditelusuri secara teliti benih-benihnya telah tumbuh sejak dua abad sebelumnya.


(15)

Jama’ah terbesar di dunia. Mayoritas pemeluk Islam di kepulauan ini adalah penganut madzhab Syafi’i, dan sebagian terbesarnya tergabung – baik tergabung secara sadar maupun tidak – dalam jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama, yang sejak awal berdiri menegaskan sebagai pengamal Islam ala Ahlussunnah wal-Jama’ah.

III. PENGERTIAN

Secara semantik arti Ahlussunnah wal jama’ah adalah sebagai berikut. Ahl berarti pemeluk, jika dikaitkan dengan aliran atau madzhab maka artinya adalah pengikut aliran atau pengikut

madzhab (ashab al-madzhab).

Al-Sunnah mempunyai arti jalan, di samping memiliki arti al-Hadist. Disambungkan dengan ahl keduanya bermakna pengikut jalan Nabi, para Shahabat dan tabi’in. Al-Jamaah berarti

sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Bila dimaknai secara kebahasaan, Ahlusunnah wal Jama’ah berarti segolongan orang yang mengikuti jalan Nabi, Para Shahabat dan tabi’in.

Nahdlatul ‘Ulama merupakan ormas Islam pertama di Indonesia yang menegaskan diri berfaham Aswaja. Dalam Qanun Asasi (konstitusi dasar) yang dirumuskan oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari juga tidak disebutkan definisi Aswaja. Namun tertulis di dalam Qanun tersebut bahwa Aswaja merupakan sebuah faham keagamaan dimana dalam bidang akidah menganut pendapat Abu Hasan Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, dalam bidang fiqh menganut pendapat dari salah satu madzhab empat (madzahibul arba’ah – Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali), dan dalam bidang tasawuf/akhlak menganut Imam Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid Al-Ghazali.

Selama kurun waktu berdirinya (1926) hingga sekitar tahun 1994, pengertian Aswaja tersebut bertahan di tubuh Nahdlatul Ulama. Baru pada sekitar pertengahan dekade 1990 tersebut, muncul gugatan yang mempertanyakan, tepatkah Aswaja dianut sebagai madzhab, atau lebih tepat dipergunakan dengan cara lain?

Aswaja sebagai madzhab artinya seluruh penganut Ahlussunnah wal Jama’ah menggunakan produk hukum atau pandangan para Ulama dimaksud. Pengertian ini dipandang sudah tidak lagi relevan lagi dengan perkembangan zaman mengingat perkembangan situasi yang berjalan dengan sangat cepat dan membutuhkan inovasi baru untuk menghadapinya. Selain itu,

pertanyaan epistimologis terhadap pengertian itu adalah, bagaimana mungkin terdapat madzhab di dalam madzhab?

Dua gugatan tersebut dan banyak lagi yang lain, baik dari tinjauan sejarah, doktrin maupun metodologi, yang menghasilkan kesimpulan bahwa Aswaja tidak lagi dapat diikuti sebagai madzhab. Lebih dari itu, Aswaja harus diperlakukan sebagai manhaj al-fikr atau metode berpikir. IV. ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR

Kurang lebih sejak 1995/1997, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia meletakkan Aswaja sebagai manhaj al-fikr. Tahun 1997 diterbitkan sebuah buku saku tulisan Sahabat Chatibul Umam Wiranu berjudul Membaca Ulang Aswaja (PB PMII, 1997). Buku tersebut merupakan rangkuman hasil Simposium Aswaja di Tulungagung. Konsep dasar yang dibawa dalam Aswaja sebagai manhaj al-fikr tidak dapat dilepas dari gagasan KH Said Agil Siraj yang mengundang kontroversi, mengenai perlunya Aswaja ditafsir ulang dengan memberikan kebebasan lebih bagi para intelektual dan ulama untuk merujuk langsung kepada ulama dan pemikir utama yang tersebut dalam pengertian Aswaja.


(16)

berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan dengan berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleran. Aswaja bukan sebuah madzhab melainkan sebuah metode dan prinsip berpikir dalam menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial-kemasyarakatan; inilah makna Aswaja sebagai manhaj al-fikr.

Sebagai manhaj al-fikr, PMII berpegang pada prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tawazun (netral), ta’adul (keseimbangan), dan tasamuh (toleran). Moderat tercermin dalam pengambilan hukum (istinbath) yaitu memperhatikan posisi akal di samping memperhatikan nash. Aswaja memberi titik porsi yang seimbang antara rujukan nash (Al-Qur’an dan al-Hadist) dengan

penggunaan akal. Prinsip ini merujuk pada debat awal-awal Masehi antara golongan yang sangat menekankan akal (mu’tazilah) dan golongan fatalis.

Sikap netral (tawazun) berkaitan sikap dalam politik. Aswaja memandang kehidupan sosial-politik atau kepemerintahan dari kriteria dan pra-syarat yang dapat dipenuhi oleh sebuah rezim. Oleh sebab itu, dalam sikap tawazun, pandangan Aswaja tidak terkotak dalam kubu mendukung atau menolak sebuah rezim. Aswaja, oleh karena itu PMII tidak membenarkan kelompok ekstrim yang hendak merongrong kewibawaan sebuah pemerintahan yang disepakati bersama, namun tidak juga berarti mendukung sebuah pemerintahan. Apa yang dikandung dalam sikap tawazun tersebut adalah memperhatikan bagaimana sebuah kehidupan sosial-politik berjalan, apakah memenuhi kaidah atau tidak.

Keseimbangan (ta’adul) dan toleran (tasamuh) terefleksikan dalam kehidupan sosial, cara bergaul dalam kondisi sosial budaya mereka. Keseimbangan dan toleransi mengacu pada cara bergaul PMII sebagai Muslim dengan golongan Muslim atau pemeluk agama yang lain. Realitas masyarakat Indonesia yang plural, dalam budaya, etnis, ideologi politik dan agama, PMII pandang bukan semata-mata realitas sosiologis, melainkan juga realitas teologis. Artinya bahwa Allah SWT memang dengan sengaja menciptakan manusia berbeda-beda dalam berbagai sisinya. Oleh sebab itu, tidak ada pilihan sikap yang lebih tepat kecuali ta’adul dan tasamuh.

V. PRINSIP ASWAJA SEBAGAI MANHAJ

Berikut ini adalah prinsip-prinsip Aswaja dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip-prinsip tersebut meliputi Aqidah, pengambilan hukum, tasawuf/akhlak dan bidang sosial-politik.

1. AQIDAH

Dalam bidang Aqidah, pilar-pilar yang menjadi penyangga aqidah Ahlussunnah wal-Jama’ah diantaranya yang pertama adalah aqidah Uluhiyyah (Ketuhanan), berkait dengan ikhwal eksistensi Allah SWT.

Pada tiga abad pertama Hijriyah, terjadi banyak perdebatan mengenai Esksitensi sifat dan asma Allah SWT. Dimana terjadi diskursus terkait masalah apakah Asma Allah tergolong dzat atau bukan. Abu Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H) secara filosofis berpendapat bahwa nama (ism) bukanlan yang dinamai (musamma), Sifat bukanlah yang disifati (mausuf), sifat bukanlah dzat. Sifat-sifat Allah adalah nama-nama (Asma’) Nya. Tetapi nama-nama itu bukanlah Allah dan bukan pula selain-Nya.

Aswaja menekankan bahwa pilar utama ke-Imanan manusia adalah Tauhid; sebuah keyakinan yang teguh dan murni yang ada dalam hati setiap Muslim bahwa Allah-lah yang Menciptakan, Memelihara dan Mematikan kehidupan semesta alam. Ia Esa, tidak terbilang dan tidak memiliki sekutu.

Pilar yang kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan meyakini bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada para Nabi dan Rosul sebagai utusannya. Sebuah wahyu yang dijadikan sebagai


(17)

petunjuk dan juga acuan ummat manusia dalam menjalani kehidupan menuju jalan kebahagiaan dunia dan akhirat, serta jalan yang diridhai oleh Allah SWT. Dalam doktrin Nubuwwat ini, ummat manusia harus meyakini dengan sepebuhnya bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT, yang membawa risalah (wahyu) untuk umat manusia. Dia adalah Rasul terakhir, yang harus diikuti oleh setiap manusia.

Pilar yang ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah keyakinan bahwa nantinya manusia akan

dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat dan setiap manusia akan mendapat imbalan sesuai amal dan perbuatannya (yaumul jaza’). Dan mereka semua akan dihitung (hisab) seluruh amal perbuatan mereka selama hidup di dunia. Mereka yang banyak beramal baik akan masuk surga dan mereka yang banyak beramal buruk akan masuk neraka.

2. BIDANG SOSIAL POLITIK

Berbeda dengan golongan Syi’ah yang memiliki sebuah konsep negara dan mewajibkan berdirinya negara (imamah), Ahlussunnah wal-jama’ah dan golongan sunni umumnya

memandang negara sebagai kewajiban fakultatif (fardhu kifayah). Pandangan Syi’ah tersebut juga berbeda dengan golongan Khawarij yang membolehkan komunitas berdiri tanpa imamah apabila dia telah mampu mengatur dirinya sendiri. Bagi ahlussunnah wal jama’ah, negara merupakan alat untuk mengayomi kehidupan manusia untuk menciptakan dan menjaga kemashlahatan bersama (mashlahah musytarakah).

Ahlussunnah wal-Jama’ah tidak memiliki konsep bentuk negara yang baku. Sebuah negara boleh berdiri atas dasar teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau negara-modern/demokrasi, asal mampu memenuhi syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah negara. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka gugurlah otoritas (wewenang) pemimpin negara tersebut. Syarat-syarat itu adalah:

a. Prinsip Syura (musyawarah)

Negara harus mengedepankan musyawarah dalam mengambil segala keputusan dan setiap keputusan, kebijakan dan peraturan. Salah satu ayat yang menegaskan musyawarah adalah sebagai berikut:

“Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Dan ( bagi) orang-orang yang apabila mereka

diperlakukan dengan zalim mereka membela diri. (QS Al-Syura, 42: 36-39) b. Prinsip Al-‘Adl (Keadilan)

Keadilan adalah salah satu Perintah yang paling banyak ditemukan dalam Al-Qur’an. Prinsip ini tidak boleh dilanggar oleh sebuah pemerintahan, apapun bentuk pemerintahan itu. Berikut ini adalah salah satu ayat yang memerintahkan keadilan. “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS An-Nisa, 4: 58)


(18)

c. Prinsip Al-Hurriyyah (kebebasan)

Negara wajib menciptakan dan menjaga kebebasan bagi warganya. Kebebasan tersebut wajib hukumnya karena merupakan kodrat asasi setiap manusia. Prinsip kebebasan manusia dalam Syari’ah dikenal dengan Al-Ushulul-Khams (prinsip yang lima), yaitu:

• Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa); adalah kewajiban setiap kepemimpinan (negara) untuk menjamin kehidupan setiap warga negara; bahwa setiap warga negara berhak dan bebas untuk hidup dan berkembang dalam wilayahnya.

• Hifzhu al-Din (menjaga agama); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin kebebasan setiap orang memeluk, meyakini dan menjalankan Agama dan Kepercayaannya. Negara tidak berhak memaksakan atau melarang sebuah agama atau kepercayaan kepada warga negara.

• Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin keamanan harta benda yang dimiliki oleh warga negaranya. Negara wajib memberikan jaminan keamanan dan menjamin rakyatnya hidup sesuai dengan martabat rakyat sebagai manusia. • Hifzhu al-Nasl; bahwa negara wajib memberikan jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara. Negara harus menjaga kekayaan budaya (etnis), tidak boleh mangunggulkan dan memprioritaskan sebuah etnis tertentu. Hifzhu al-Nasl berarti negara harus memperlakukan sama setiap etnis yang hidup di wilayah negaranya.

• Hifzh al-‘Irdh; jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara. Negara tidak boleh merendahkan warga negaranya karena profesi dan pekerjaannya. Negara justru harus menjunjung tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi setiap warga negara.

Al-Ushulul Khams identik dengan konsep Hak Azazi Manusia yang lebih dikenal dalam dunia modern – bahkan mungkin di kalangan ahlussunnah wal-jama’ah. Lima pokok atau prinsip di atas menjadi ukuran baku bagi legitimasi sebuah kepemerintahan sekaligus menjadi acuan bagi setiap orang yang menjadi pemimpin di kelak kemudian hari.

d. Prinsip Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)

Bahwa manusia diciptakan sama oleh Allah SWT. Antara satu manusia dengan mausia lain, bangsa dengan bangsa yang lain tidak ada pembeda yang menjadikan satu manusia atau bangsa lebih tinggi dari yang lain. Manusia diciptakan berbeda-beda adalah untuk mengenal antara satu dengan yang lain. Sehingga tidak dibenarkan satu manusia dan sebuah bangsa menindas manusia dan bangsa yang lain. Dalam surat Al-Hujuraat disebutkan:

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujuraat, 49: 13)

Perbedaan bukanlah semata-mata fakta sosiologis, yakni fakta yang timbul akibat dari relasi dan proses sosial. Perbedaan merupakan keniscayaan teologis yang Dikehendaki oleh Allah SWT. Demikian disebutkan dalam surat Al-Ma’idah.

Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada


(19)

Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (Al-Maidah; 5: 48)

Dalam sebuah negara kedudukan warga negara adalah sama. Orang-orang yang menjabat di tubuh pemerintahan memiliki kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mereka memiliki jabatan semata-mata adalah untuk mengayomi, melayani dan menjamin kemashlahatan bersama, dan tidak ada privilege (keistimewaan) khususnya di mata hukum. Negara justru harus mampu mewujudkan kesetaraan derajat antar manusia di dalam wilayahnya, yang biasanya terlanggar oleh perbedaan status sosial, kelas ekonomi dan jabatan politik.

Dengan prinsip-prinsip di atas, maka tidak ada doktrin Negara Islam, Formalisasi Syari’at Islam dan Khilafah Islamiyah bagi Ahlussunnah wal-Jama’ah. Sebagaimana pun tidak didapati perintah dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas untuk mendirikan salah satu di antara ketiganya. Islam hanya diharuskan untuk menjamin agar sebuah pemerintahan – baik negara maupun kerajaan – harus mampu memenuhi 4 (empat) kriteria di atas.

3. BIDANG ISTINBATH AL-HUKM (Pengambilan Hukum Syari’ah) Hampir seluruh kalangan Sunni menggunakan empat sumber hukum yaitu: 1. Al-Qur’an

2. As-Sunnah 3. Ijma’ 4. Qiyas

Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam pengambilan hukum (istinbath al-hukm) tidak dibantah oleh semua madzhab fiqh. Sebagai sumber hukum naqli posisinya tidak diragukan. Al-Qur’an merupakan sumber hukum tertinggi dalam Islam.

Sementara As-Sunnah meliputi al-Hadist dan segala tindak dan perilaku Rasul SAW,

sebagaimana diriwayatkan oleh para Shabat dan Tabi’in. Penempatannya ialah setelah proses istinbath al-hukm tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, atau digunakan sebagai komplemen (pelengkap) dari apa yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an.

As-Sunnah sendiri mempunyai tingkat kekuatan yang bervariasi. Ada yang terus-menerus (mutawatir), terkenal (masyhur) ataupun terisolir (ahad). Penentuan tingkat As-Sunnah tersebut dilakukan oleh Ijma’ Shahabah.

Menurut Abu Hasan Ali Ibn Ali Ibn Muhammad Al-Amidi, Ijma’ adalah Kesepakatan kelompok legislatif (ahl al-halli wa al-aqdi) dan ummat Muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus. Atau kesepakatan orang-orang mukallaf dari ummat Muhammada pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus.

Dalam Al-Qur’an dasar Ijma’ terdapat dalam QS An-Nisa’, 4: 115 “Dan barang siapa menentang rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” Dan “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia..” QS Al-Baqarah, 2: 143.


(20)

mempertemukan sesuatu yang tak ada nash hukumnya dengan hal lain yang ada nash hukumnya karena ada persamaan ‘illat hukum. Qiyas sangat dianjurkan untuk digunakan oleh Imam Syafi’i. 5. TASAWUF

Imam Al-Junaid bin Muhammad Al-Baghdadi menjelaskan "Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu dengan-Nya; Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah SWT tanpa keterikatan apa pun."Imam Abu Hamid Tusi Al-Ghazali menjelaskan “Tasawuf adalah menyucikan hati dari apa saja selain Allah… Aku simpulkan bahwa kaum sufi adalah para pencari di Jalan Allah, dan perilaku mereka adalah perilaku yang terbaik, jalan mereka adalah jalan yang terbaik, dan pola hidup mereka adalah pola hidup yang paling tersucikan. Mereka telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah dan menjadikannya sebagai saluran tempat mengalirnya sungai-sungai yang membawa ilmu-ilmu dari Allah.” “berada semata-mata bersama Allah SWT tanpa keterikatan apapun” kata Imam Al-Junaid, lalu “menyucikan hati dari apa saja selain Allah.... Mereka (kaum Sufi) telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah..,” kata Imam Al-Ghazali. Seorang sufi adalah mereka yang mampu membersihkan hatinya dari keterikatan selain kepada-Nya.

Ketidakterikatan kepada apapun selain Allah SWT adalah proses batin dan perilaku yang harus dilatih bersama keterlibatan kita di dalam urusan sehari-hari yang bersifat duniawi. Zuhud harus dimaknai sebagai ikhtiar batin untuk melepaskan diri dari keterikatan selain kepada-Nya tanpa meninggalkan urusan duniawi. Mengapa? karena justru di tengah-tengah kenyataan duniawi posisi manusia sebagai Hamba dan fungsinya sebagai Khalifah harus diwujudkan.

Banyak contoh sufi atau ahli tasawuf yang telah zuhud namun juga sukses dalam ukuran duniawi. Kita lihat saja Imam Al-Junaid adalah adalah pengusaha botol yang sukses, Al-Hallaj sukses sebagai pengusaha tenun, Umar Ibn Abd Aziz adalah seorang sufi yang sukses sebagai pemimpin negara, Abu Sa’id Al Kharraj sukses sebagai pengusaha konveksi, Abu Hasan al-Syadzily sukses sebagai petani, dan Fariduddin al-Atthar sukses sebagai pengusaha parfum. Mereka adalah sufi yang pada maqomnya tidak lagi terikat dengan urusan duniawi tanpa meninggalkan urusan duniawi.

Urusan duniawi yang mendasar bagi manusia adalah seperti mencari nafkah (pekerjaan), kemudian berbuntut pada urusan lain seperti politik. Dari urusan-urusan itu kita lantas bersinggungan dengan soal-soal ekonomi, politik-kekuasaan, hukum, persoalan sosial dan budaya. Dalam Tasawuf urusan-urusan tersebut tidak harus ditinggalkan untuk mencapai zuhud, justru kita mesti menekuni kenyataan duniawi secara total sementara hati/batin kita dilatih untuk tidak terikat dengan urusan-urusan itu. Di situlah zuhud kita maknai, yakni zuhud di dalam batin sementara aktivitas sehari-hari kita tetap diarahkan untuk mendarmabaktikan segenap potensi manusia bagi terwujudnya masyarakat yang baik.

VI. PENUTUP

Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai manhaj al fikr bersifat dinamis dan sangat terbuka bagi pembaruan-pembaruan. Sebagai sebuah metode pemahaman dan penghayatan, dalam makna tertentu ia tidak dapat disamakan dengan metode akademis yang bersifat ilmiah. Dalam metode akademik, sisi teknikalitas pendekatan diatur sedemikian rupa sehingga menjadi prosedur yang teliti dan nyaris pasti. Namunpun demikian dalam ruang akademis pembaharuan atau perubahan sangat mungkin terjadi.

Sebagai metode berpikir, boleh jadi pada saatnya nanti Aswaja akan memiliki kadar teknikalitas sama tinggi dengan metode ilmiah. Namun dalam pandangan kami upaya pemahaman yang lebih


(21)

komprehensif dan mendalam terhadap Aswaja perlu kita upayakan bersama-sama terlebih dahulu. Khususnya terhadap apa yang telah kami sajikan di sini, yang sangat butuh banyak masukan. Sebuah kebutuhan lanjut, semacam jabaran teknis untuk memandu langkah per langkah tindakan dan pandangan gerakan, akan muncul kemudian apabila kenyataan lapangan sungguh-sungguh menuntut dan membutuhkannya. Akan tetapi sepanjang kebutuhan primer kolektif kita masih terletak pada memahami, hal semacam itu kami pandang belum menjadi kebutuhan obyektif.

https://www.facebook.com/assalamualaikum.sahabat/posts/497679126911261

implementasi aswaja dalam bidang politik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Aswaja sebagai sebuah aliran yang pada mulanya merupakan suatu kelompok kecil yang pada masa berdirinya dirintis oleh abu hasan al asy’ari, sejaln dengan perkembangan jaman menjadi kel;ompok yang besar dan bahklan kelompok terbesar di seluruh dunia.

Pergarseran dunia membawa aswaja pada perubahan tang menuntut aswaja bukan hanya menjadi sebuah madzhab yang menjadi doktrin kepada para pemeluknya, akan tetapi berkembang menjadi sebuah pandangan hidup atau dikenal dengan istilah manhaj al fikr. Dengan perubahan dari waktu ke waktu kontribusi aswaja menjadi sangat mempengaruhi para pemeluknya dalam beraktifitas dalam keseharian baik dalm aktifitas ekonomi, sosial politik, maupun kebudayaan secara keselyuruhan kehidupan.

Dari makalah yang akan kami presentasikan kami berharap mampu memberikan kontribusi yang positif akan gambaran aswaja dimasa yang akan datang yang lebih dapat diaplikasiskan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara, aswaja sebagai manhaj al fikr harapan kami dapat memberikan warna pada kehidupan didunia yang dapat menjadi stabilisator, sekaligus menjadi dinamisator dan motifator yang nyata.

B. Rumusan Masalah


(22)

BAB II

IMPLEMENTASI AJARAN ASWAJA DALAM BIDANG POLITIK

Berdirinya suatu negara merupakan suatu keharusan dalam suatu komunitas umat (Islam). Negara tersebut dimaksudkan untuk mengayomi kehidupan umat, melayani mereka serta menjaga kemaslahatan bersama (maslahah musytarakah). Keharusan ini bagi faham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) hanyalah sebatas kewajiban fakultatif (fardhu kifayah) saja, sehingga sebagaimana mengurus jenazah jika sebagian orang sudah mengurus berdirinya negara, maka gugurlah kewajiban lainnya. Oleh karena itu, konsep berdirinya negara (imamah) dalam Aswaja tidaklah termasuk salah satu pilar (rukun) keimanan sebagaiman yang diyakini oleh Syi'ah. Namun, Aswaja juga tidak membiarkan yang diakui oleh umat (rakyat). Hal ini berbeda dengan Khawarij yang membolehkan komunitas umat Islam tanpa adanya seorang Imam apabila umat itu sudah bisa mengatur dirinya sendiri.

Aswaja tidak memiliki patokan yang baku tentang negara. Suatu negara diberi kebebasan menentukan bentuk pemerintahannya, bisa demokrasi, kerajaan, teokrasi ataupun bentuk yang lainnya. Aswaja hanya memberikan kriteria (syarat-syarat) yang harus dipenuhi oleh suatu negara. Sepanjang persyaratan tegaknya negara tersebut terpenuhi, maka negara tersebut bisa diterima sebagai pemerintahan yang sah dengan tidak mempedulikan bentuk negara tersebut. Sebaliknya, meskipun suatu negara memakai bendera Islam, tetapi di dalamnya terjadi banyak penyimpangan dan penyelewengan serta menginjak-injak sistem pemerintahan yang berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, maka praktik semacam itu tidaklah dibenarkan dalam Aswaja.  Persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu negara tersebut adalah:

a. Prinsip Syura (Musyawarah)

Prinsip ini didasarkan pada firman Allah QS asy-Syura 42: 36-39:

ىللعل ول اوننملآ نل يذذلللذ ىقل ببألول رريبخل هذلللا دلنعذ املول ايلنبددلا ةذايلحللبا عناتلملفل ءءيب شل نمم متنيتذوأن املفل


(23)

مب هن انلقبزلرل املمذول مبهننليببل ىرلوشن مب هن رنمبألول ةلللصل لا اومناقلأل ول مبهذبمرللذ اوبناجلتلسبا نليذذللاول

.

نل ورنصذ تلنيل مب هن ين غببللبا من هنبلاصل أل اذلإذ نليذذللاول نلوقنفذنين Terjemah :”Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia, dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan lalim mereka membela diri”.

Menurut ayat di atas, syura merupakan ajaran yang setara dengan iman kepada Allah (iman billah), tawakal, menghindari dosa-dosa besar (ijtinabul kaba’ir), memberi ma’af setelah marah, memenuhi titah ilahi, mendirikan shalat, memberikan sedekah, dan lain sebagainya. Seakan-akan musyawarah merupakan suatu bagian integral dan hakekat Iman dan Islam. b. Al-’Adl (Keadilan)

Menegakkan keadilan merupakan suatu keharusan dalam Islam terutama bagi penguasa (wulat) dan para pemimpin pemerintahan (hukkam) terhadap rakyat dan umat yang dipimpin. Hal ini didasarkan kepada QS An-Nisa’ 4:58

املعمنم هللللا نلإم لمدسعللسابم اسومهكهحستل نأل سم انللا نل يسبل متهمسكل حل اذلإمول اهللمهسأل ىللإم تمانلاملللا اسوديؤته نأل مسكهرهمهأسيل هللللا نلإم

ااريصم بل ااعيممسل نل اكل هللللا نلإم همبم مكهظه عميل Terjemah :“Sesungguhnya Allah meyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanyaa dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat”.

c. Al-Hurriyyah (Kebebasan)

Kebebasan dimaksudkan sebagai suatu jaminan bagi rakyat (umat) agar dapat melakukan hak-hak mereka. Hak-hak tersebut dalam syari’at dikemas dalam al-Ushul alKhams (lima prinsip pokok) yang menjadi kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan. Kelima prinsip tersebut adalah:


(24)

a) Hifzhun Nafs, yaitu jaminan atas jiwa (kehidupan) yang dimiliki warga negara (rakyat). b) Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya.

c) Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang dimiliki oleh warga negara.

d) Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara. e) Hifzhul ‘lrdh, yaitu jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara.

Kelima prinsip di atas beserta uraian dalam era sekarang ini lebih menyerupai Hak Asasi Manusia (HAM).

d. Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)

Semua warga negara haruslah mendapat perlakuan yang sama. Semua warga negara memiliki kewajiban dan hak yang sama pula. Sistem kasta atau pemihakan terhadap golongan, ras, jenis kelamin atau pemeluk agama tetlentu tidaklah dibenarkan.

Dari beberapa syarat tersebut tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa sebenarnya sistem pemerintahan yang mendekati kriteria di atas adalah sistem demokrasi. Demokrasi yang dimaksud adalah sistem pemerintahan yang bertumpu kepada kedaulatan rakyat. Jadi kekuasaan negara sepenuhnya berada di tangan rakyat (civil society) sebagai amanat dari Allah.

Harus kita akui, bahwa istilah “demokrasi” tidak pemah dijumpai dalam bahasa Al-Qur’an maupun wacana hukum Islam klasik. Istilah tersebut diadopsi dari para negarawan di Eropa. Namun, harus diakui bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya banyak menyerupai prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dalam berbangsa dan bernegara menurut Aswaja.

Dalam era globalisasi di mana kondisi percaturan politik dan kehidupan umat manusia banyak mengalami perubahan yang mendasar, misalnya kalau dulu dikenal komunitas kabilah, saat ini sudah tidak dikenallagi bahkan kondisi umat manusia sudah menjadi “perkampungan dunia”, maka demokrasi harus dapat ditegakkan.

Pada masa lalu banyak banyak ditemui ghanimah (harta rampasan perang) sebagai suatu perekonomian negara. Sedangkan pada saat ini sistem perekonomian tersebut sudah tidak dikenal lagi. Perekonomian negara banyak diambil dari pajak dan pungutan lainnya. Begitu pula jika pada tempo dulu aqidah merupakan sentral kekuatan pemikiran, maka saat ini aqidah bukanlah


(25)

merupakan satu-satunya sumber pijakan. Umat sudah banyak berubah kepada pemahaman aqidah yang bersifat plural.

Dengan demikian, pemekaran pemikiran umat Islam haruslah tidak dianggap sebagai sesuatu hal yang remeh dan enteng, jika umat Islam tidak ingin tertinggal oleh bangsa-bangsa di muka bumi ini. Tentu hal ini mengundang konsekuensi yang mendasar bagi umat Islam sebab pemekaran tersebut pasti banyak mengubah wacana pemikiran yang sudah ada (salaf/klasik) dan umat Islam harus secara dewasa menerima transformasi tersebut sepanjang tidak bertabrakan dengan hal-hal yang sudah paten (qath’iy). Sebagai contoh, dalam kehidupan bemegara (baca: demokrasi), umat Islam harus dapat menerima seorang pemimpin (presiden) dari kalangan non-muslim atau wanita.

METODOLOGI PEMIKIRAN (MANHAJ ALFIKR) ASWAJA

Jika kita mencermati doktrin-doktrin paham ASWAJA, baik dalam akidah (iman), syariat

(islam) ataupun akhlak (ihsan), maka bisa kita dapati sebuah metodologi pemikiran (manhaj

alfkr) yang tengah dan moderat (tawassuth), berimbang atau harmoni (tawâzun), netral atau adil (ta'âdul), dan toleran (tasâmuh). Metodologi pemikiran ASWAJA senantiasa menghidari

sikap-sikap tatharruf (ekstrim), baik ekstrim kanan atau ekstrim kiri.

Inilah yang menjadi esensi identitas untuk mencirikan paham ASWAJA dengan sekte-sekte Islam lainnya. Dan dari prinsip metodologi pemikiran seperti inilah ASWAJA membangun keimanan, pemikiran, sikap, perilaku dan gerakan.

a. Tawasuth (Moderat)

Tawassuth ialah sebuah sikap tengah atau moderat yang tidak cenderung ke kanan atau ke kiri. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, pemikiran moderat ini sangat urgen menjadi semangat dalam mengakomodir beragam kepentingan dan perselisihan, lalu berikhtiar mencari

solusi yang paling ashlah (terbaik). Sikap ini didasarkan pada firman Allah:

ادد يهذشل مب كن يبللعل لن وسن رللا نل وكن يلول سذ انللا ىللعل ءلادلهلشن اوننوكن تللذ اطد سل ول ةدملأن مبكنانللبعلجل كللذذلكلول Terjemah : “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. (QS. Albaqarah: 143)

b. Tawâzun (Berimbang)

Tawâzun ialah sikap berimbang dan harmonis dalam mengintegrasikan dan mensinergikan dalil-dalil (pijakan hukum) atau pertimbangan-pertimbangan untuk mencetuskan


(26)

sebuah keputusan dan kebijakan. Dalam konteks pemikiran dan amaliah keagamaan,

prinsip tawâzun menghindari sikap ekstrim (tatharruf) yang serba kanan sehingga melahirkan

fundamentalisme, dan menghindari sikap ekstrim yang serba kiri yang melahirkan liberalisme

dalam pengamalan ajaran agama. Sikap tawâzun ini didasarkan pada firman Allah:

طذ سب قذ لبابذ سن انللا ملوقنيللذ نل ازليمذ لباول بل اتلكذ لبا من هنعلمل انللبزلنبأل ول تذانليمبللبابذ انلللسنرن انللبسلربأل دبقللل Terjemah : “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”. (QS. Alhadid: 25)

c. Ta'âdul (Netral dan Adil)

Ta'âdul ialah sikap adil dan netral dalam melihat, menimbang, menyikapi dan

menyelesaikan segala permasalahan. Adil tidak selamanya berarti sama atau setara (tamâtsul).

Adil adalah sikap proporsional berdasarkan hak dan kewajiban masing-masing. Kalaupun keadilan menuntut adanya kesamaan atau kesetaraan, hal itu hanya berlaku ketika realitas individu benar-benar sama dan setara secara persis dalam segala sifat-sifatnya. Apabila dalam

realitasnya terjadi tafâdlul(keunggulan), maka keadilan menuntut perbedaan dan pengutamaan

(tafdlîl). Penyetaraan antara dua hal yang jelas tafâdlul, adalah tindakan aniaya yangbertentangan

dengan asas keadilan itu sendiri. Sikap ta'âdul ini berdasrkan firman Allah:

للأل ىللعل مء وبقل نن آنلشل مب كن نلملرذجبيل للول طذ سب قذ لبابذ ءلادلهلشن هذللذ نل يمذاولقل اوننوكن اوننملاءل نل يذذللا اهليدأل ايل ىولقبتلللذ بن رلقبأل ولهن اولندذعبا اولندذعبتل

Terjemah :”Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa”. (QS. Alma'idah: 9)

d. Tasâmuh (toleran)

Tasâmuh ialah sikap toleran yang bersedia menghargai terhadap segala kenyataan perbedaan dan keanekaragaman, baik dalam pemikiran, keyakinan, sosial kemasyarakatan, suku, bangsa, agama, tradisi-budaya dan lain sebagainya.

Toleransi dalam konteks agama dan keyakinan bukan berarti kompromi akidah. Bukan berarti mengakui kebenaran keyakinan dan kepercayaan orang lain. Toleransi agama juga bukan berarti mengakui kesesatan dan kebatilan sebagai sesuatu yang haq dan benar. Yang salah dan sesat tetap harus diyakini sebagai kesalahan dan kesesatan. Dan yang haq dan benar harus tetap


(27)

diyakini sebagai kebenaran yang haq. Dalam kaitannya dengan toleransi agama, Allah swt. berfirman:

نذ يبدذ يل لذول مب كن ننيدذ مبكنلل

Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku. (QS. Alkafirun: 6)

نل يرذسذ اخل لبا نل مذ ةذرلخذ لبا يفذ ولهنول هننبمذ لل بلقبين نب للفل انديدذ مذ للسب لبذ ا رليبغل غذتلببيل نب ملول

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran: 85)

Toleransi dalam konteks tradisi-budaya bangsa, ialah sikap permisif yang bersedia menghargai tradisi dan budaya yang telah menjadi nilai normatif masyarakat. Dalam pandangan ASWAJA, tradisi-budaya yang secara substansial tidak bertentangan dengan syariat, maka Islam akan menerimanya bahkan mengakulturasikannya dengan nilai-nilai keislaman.

Dengan demikian, tasâmuh (toleransi), berati sebuah sikap untuk menciptakan

keharmonisan kehidupan sebagai sesama umat manusia. Sebuah sikap untuk membangun kerukunan antar sesama makhluk Allah di muka bumi, dan untuk menciptakan peradaban

manusia yang madani. Dari sikap tasâmuh inilah selanjutnya ASWAJA merumuskan konsep

persaudaraan (ukhuwwah) universal. Meliputi ukhuwwah islamiyyah (persaudaan

keislaman), ukhuwwah wathaniyyah(persaudaraan kebangsaaan) dan ukhuwwah

basyariyyah atau insâniyyah(persaudaraan kemanusiaan). Persaudaraan universal untuk menciptakan keharmonisan kehidupan di muka bumi ini, merupakan implementasi dari firman Allah swt.:

مب كن ملرلكبأل نلإذ اوفنرلاعلتللذ للئذابلقلول ابدوعنشن مبكنانللبعلجلول ىثلنبأنول رءكلذل نبمذ مبكنانلقبللخل انلإذ سن انللا اهليدألايل مب كن اقلتبأل هذللا دلنبعذ

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (QS. Alhujurat; 13)

ةدفل يلذخل ضذ ربلبل ا يفذ لرعذاجل ينمإذ ةذكلئذللمللبلذ كلبدرل للاقل ذبإذول

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi“. (QS. Albaqarah: 30)


(1)

merupakan satu-satunya sumber pijakan. Umat sudah banyak berubah kepada pemahaman aqidah yang bersifat plural.

Dengan demikian, pemekaran pemikiran umat Islam haruslah tidak dianggap sebagai sesuatu hal yang remeh dan enteng, jika umat Islam tidak ingin tertinggal oleh bangsa-bangsa di muka bumi ini. Tentu hal ini mengundang konsekuensi yang mendasar bagi umat Islam sebab pemekaran tersebut pasti banyak mengubah wacana pemikiran yang sudah ada (salaf/klasik) dan umat Islam harus secara dewasa menerima transformasi tersebut sepanjang tidak bertabrakan dengan hal-hal yang sudah paten (qath’iy). Sebagai contoh, dalam kehidupan bemegara (baca: demokrasi), umat Islam harus dapat menerima seorang pemimpin (presiden) dari kalangan non-muslim atau wanita.

METODOLOGI PEMIKIRAN (MANHAJ ALFIKR) ASWAJA

Jika kita mencermati doktrin-doktrin paham ASWAJA, baik dalam akidah (iman), syariat (islam) ataupun akhlak (ihsan), maka bisa kita dapati sebuah metodologi pemikiran (manhaj alfkr) yang tengah dan moderat (tawassuth), berimbang atau harmoni (tawâzun), netral atau adil (ta'âdul), dan toleran (tasâmuh). Metodologi pemikiran ASWAJA senantiasa menghidari sikap-sikap tatharruf (ekstrim), baik ekstrim kanan atau ekstrim kiri.

Inilah yang menjadi esensi identitas untuk mencirikan paham ASWAJA dengan sekte-sekte Islam lainnya. Dan dari prinsip metodologi pemikiran seperti inilah ASWAJA membangun keimanan, pemikiran, sikap, perilaku dan gerakan.

a. Tawasuth (Moderat)

Tawassuth ialah sebuah sikap tengah atau moderat yang tidak cenderung ke kanan atau ke kiri. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, pemikiran moderat ini sangat urgen menjadi semangat dalam mengakomodir beragam kepentingan dan perselisihan, lalu berikhtiar mencari solusi yang paling ashlah (terbaik). Sikap ini didasarkan pada firman Allah:

ادد يهذشل مب كن يبللعل لن وسن رللا نل وكن يلول سذ انللا ىللعل ءلادلهلشن اوننوكن تللذ اطد سل ول ةدملأن مبكنانللبعلجل كللذذلكلول

Terjemah : “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. (QS. Albaqarah: 143)

b. Tawâzun (Berimbang)

Tawâzun ialah sikap berimbang dan harmonis dalam mengintegrasikan dan mensinergikan dalil-dalil (pijakan hukum) atau pertimbangan-pertimbangan untuk mencetuskan


(2)

sebuah keputusan dan kebijakan. Dalam konteks pemikiran dan amaliah keagamaan, prinsip tawâzun menghindari sikap ekstrim (tatharruf) yang serba kanan sehingga melahirkan fundamentalisme, dan menghindari sikap ekstrim yang serba kiri yang melahirkan liberalisme dalam pengamalan ajaran agama. Sikap tawâzun ini didasarkan pada firman Allah:

طذ سب قذ لبابذ سن انللا ملوقنيللذ نل ازليمذ لباول بل اتلكذ لبا من هنعلمل انللبزلنبأل ول تذانليمبللبابذ انلللسنرن انللبسلربأل دبقللل

Terjemah : “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”. (QS. Alhadid: 25)

c. Ta'âdul (Netral dan Adil)

Ta'âdul ialah sikap adil dan netral dalam melihat, menimbang, menyikapi dan menyelesaikan segala permasalahan. Adil tidak selamanya berarti sama atau setara (tamâtsul). Adil adalah sikap proporsional berdasarkan hak dan kewajiban masing-masing. Kalaupun keadilan menuntut adanya kesamaan atau kesetaraan, hal itu hanya berlaku ketika realitas individu benar-benar sama dan setara secara persis dalam segala sifat-sifatnya. Apabila dalam realitasnya terjadi tafâdlul(keunggulan), maka keadilan menuntut perbedaan dan pengutamaan (tafdlîl). Penyetaraan antara dua hal yang jelas tafâdlul, adalah tindakan aniaya yangbertentangan dengan asas keadilan itu sendiri. Sikap ta'âdul ini berdasrkan firman Allah:

للأل ىللعل مء وبقل نن آنلشل مب كن نلملرذجبيل للول طذ سب قذ لبابذ ءلادلهلشن هذللذ نل يمذاولقل اوننوكن اوننملاءل نل يذذللا اهليدأل ايل

ىولقبتلللذ بن رلقبأل ولهن اولندذعبا اولندذعبتل

Terjemah :”Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa”. (QS. Alma'idah: 9)

d. Tasâmuh (toleran)

Tasâmuh ialah sikap toleran yang bersedia menghargai terhadap segala kenyataan perbedaan dan keanekaragaman, baik dalam pemikiran, keyakinan, sosial kemasyarakatan, suku, bangsa, agama, tradisi-budaya dan lain sebagainya.

Toleransi dalam konteks agama dan keyakinan bukan berarti kompromi akidah. Bukan berarti mengakui kebenaran keyakinan dan kepercayaan orang lain. Toleransi agama juga bukan berarti mengakui kesesatan dan kebatilan sebagai sesuatu yang haq dan benar. Yang salah dan sesat tetap harus diyakini sebagai kesalahan dan kesesatan. Dan yang haq dan benar harus tetap


(3)

diyakini sebagai kebenaran yang haq. Dalam kaitannya dengan toleransi agama, Allah swt. berfirman:

نذ يبدذ يل لذول مب كن ننيدذ مبكنلل

Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku. (QS. Alkafirun: 6)

نل يرذسذ اخل لبا نل مذ ةذرلخذ لبا يفذ ولهنول هننبمذ لل بلقبين نب للفل انديدذ مذ للسب لبذ ا رليبغل غذتلببيل نب ملول

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran: 85)

Toleransi dalam konteks tradisi-budaya bangsa, ialah sikap permisif yang bersedia menghargai tradisi dan budaya yang telah menjadi nilai normatif masyarakat. Dalam pandangan ASWAJA, tradisi-budaya yang secara substansial tidak bertentangan dengan syariat, maka Islam akan menerimanya bahkan mengakulturasikannya dengan nilai-nilai keislaman.

Dengan demikian, tasâmuh (toleransi), berati sebuah sikap untuk menciptakan keharmonisan kehidupan sebagai sesama umat manusia. Sebuah sikap untuk membangun kerukunan antar sesama makhluk Allah di muka bumi, dan untuk menciptakan peradaban manusia yang madani. Dari sikap tasâmuh inilah selanjutnya ASWAJA merumuskan konsep persaudaraan (ukhuwwah) universal. Meliputi ukhuwwah islamiyyah (persaudaan keislaman), ukhuwwah wathaniyyah(persaudaraan kebangsaaan) dan ukhuwwah basyariyyah atau insâniyyah(persaudaraan kemanusiaan). Persaudaraan universal untuk menciptakan keharmonisan kehidupan di muka bumi ini, merupakan implementasi dari firman Allah swt.:

مب كن ملرلكبأل نلإذ اوفنرلاعلتللذ للئذابلقلول ابدوعنشن مبكنانللبعلجلول ىثلنبأنول رءكلذل نبمذ مبكنانلقبللخل انلإذ سن انللا اهليدألايل

مب كن اقلتبأل هذللا دلنبعذ

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (QS. Alhujurat; 13)

ةدفل يلذخل ضذ ربلبل ا يفذ لرعذاجل ينمإذ ةذكلئذللمللبلذ كلبدرل للاقل ذبإذول

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi“. (QS. Albaqarah: 30)


(4)

 ESENSI KHILAFAH DALAM PANDANGAN ASWAJA

Dalam pandangan ASWAJA, esensi dan hakikat dari sebuah pemerintahan atau negara (khilafah), adalah sebagai salah satu diantara instrumen (wasâ'il) untuk usaha terwujudnya aplikasi syariat secara totalitas (kâffah) dalam kehidupan umat melalui kewajiban menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, yang menjadi cita-cita dan tujuan akhirnya (maqâshid). Karena kedudukannya yang dipandang sebagaiwasîlah untuk maqâshid berupa tugas amar ma'ruf nahi munkar, maka pemerintahan atau negara tidak harus terikat dengan bentuk, sistem ataupun dasar idiologi negara tertentu. Apapun sistem, bentuk ataupun dasar idiologi yang diberlakukan, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam, dan tidak menjadi rintangan dalam tugas dakwah islamiyah, serta tidak menghalangi umat Islam dalam menjalankan praktek keagamaannya, maka tidak ada kewajiban untuk melakukan kudeta atau merubahnya. Merubah bentuk, sistem atau dasar idiologi negara, hanya wajib dilakukan —sesuai batas kemampuan— jika nyata-nyata bertentangan dengan syariat.

Pendirian Khilafah Islamiyah bagi ASWAJA (baca: Nahdlatul Ulama) dalam konteks keIndonesiaan, bukanlah cita urgen, sebab eksistensinya hanyalah sebagaiwasîlah. Ada cita-cita (maqâshid) yang jauh lebih penting dan esensial dari sekedar membentuk instrumen perjuangan, yaitu menegakkan amar ma'ruf nahi munkar di tengah kehidupan masyarakat, dan tugas maqâshid ini bisa dilangsungkan tidak harus melalui pendirian Khilafah Islamiyah.

Pandangan seperti inilah yang mendasari sikap ASWAJA (baca: NU) yang tidak ambisi dan bercita-cita mendirikan Khilafah Islamiyah di Indonesia. Karena khilafah bukanlah satu-satunya instrumen yang bisa ditempuh untuk menegakkan syariat dalam kehidupan umat. Bahkan selama ini, setiap usaha merubah bentuk dan dasar hukum negara, nyata-nyata lebih banyak memunculkan ekses negatif yang justru merugikan kaum Muslimin sendiri. Gerak perjuangan ASWAJA (NU) dalam konteks Indonesia, bukan semangat perjuangan mendirikan Khilafah Islamiyah, melainkan semangat perjuangan menegakkan syariat dalam perilaku keseharian umat. Dengan kata lain, perjuangan ASWAJA (NU) tidak dikonsentrasikan pada pembentukan sebuah wadah syariat secara formal, berupa bentuk khilafah atau sistem negara Islam, melainkan lebih dikonsentrasikan pada perjuangan aplikasi syariat dalam perilaku umat sehingga menjadi ruh dan substansi perilaku kehidupan masyarakat. Perilaku umat yang berlandaskan syariat jauh lebih penting dan lebih baik dibanding sekedar formalitas bentuk dan sistem negara islami.


(5)

Hal ini logis, sebab jika kita jujur membaca fakta sejarah khilafah dalam Islam, sebenarnya yang layak dilabeli dengan 'islamiyah' (baca: demokratis), hanyalah khilafah era Khulafa' Arrasyidin saja. Khilafah pasca Khulafa' Arrasyidin, secara umum telah kehilangan label ke-islamiyah-annya, bahkan identik dengan sistem kekaisaran Romawi dan Persi. Dari sejarah ini pula bisa kita tegaskan bahwa sistem pemerintahan demokrasi sebenarnya tidak bisa diklaim sebagai produk kafir, sebab khilafah era Khulafa' Arrasyidin adalah pemerintahan paling demokratis dari sistem demokrasi manapun.

Disamping itu, misi pendirian kembali Khilafah Islamiyah yang diusung oleh sebagian sekte dan gerakan Islam dalam konteks Indonesia dewasa ini, faktanya tidak murni hanya mengusung misi mendirikan negara Islam saja, melainkan juga mengusung paham dan idiologi aliran mereka, seperti idiologi Wahabi, Syi'ah atau lainnya. Mereka tidak akan mendirikan Khilafah Islamiyah kecuali paham dan idiologi mereka juga menjadi paham dan idiologi resmi pemerintah. Artinya, ketika khilafah berhasil didirikan, bukan mustahil mereka memberhangus kelompok ASWAJA yang bertentangan dengan paham mereka, seperti sejarah kekejaman Pemerintahan Arab Saudi dengan paham Wahhabinya.

Inilah yang menjadi alasan fundamental kenapa ASWAJA (NU) menentang setiap gerakan dan sekte yang mengusung Khilafah Islamiyah di Indonesia dan merongrong NKRI yang beridiolgi Pancasila. Dengan kenyakinan bahwa sila pertama yang mencerminkan tauhid Islam telah menjiwai sila-sila lain dalam Pancasila, dan mempertimbangkan kenyataan rakyat bangsa Indonesia yang plural dalam ras, suku dan agama, serta mempertimbangkan resiko ancaman integritas bangsa, maka ASWAJA (NU) menyatakan: bahwa NKRI dan Pancasila sebagai idiologinya, adalah final dari segala upaya membentuk negara di Indonesia. Sikap seperti ini bukan berarti ASWAJA (NU) anti khilafah, melainkan lebih demi mempertahankan eksistensi idiologi ASWAJA dan menghindarkan kekacauan umum (chaos) yang harus diprioritaskan dari sekedar mencapai kemaslahatan (mendirikan khilafah), sesuai kaidah fiqh:

حذلذاصل مل لبا بذ لبجل ىللعل مردلقلمن دذسذ افل مللبا ءنربدل

Menghindari kekacauan lebih diprioritaskan dari mengupayakan kemaslahatan

Apabila sejauh ini dikenal tiga model hubungan agama-negara, yaitu hubungan intergasi (agama dan negara adalah satu kesatuan); hubungan sekuler (pemisahan peran agama dalam pemerintahan); dan hubungan simbiosis (agama-negara terpisah namun saling membutuhkan dan mengisi secara timbal-balik), maka model ketiga inilah yang menjadi pilihan ASWAJA dalam


(6)

memandang hubungan agama dan negara. Agama tidak harus diformalkan sebagai sebuah sistem dan bentuk suatu negara, namun agama juga tidak boleh diceraikan dari intervensi peran politik. Pandangan politik ASWAJA seperti ini, tidak bisa dipertentangkan dengan muatan surat Alma'idah ayat 44, 45 dan 47, yang memvonis kafir, dhalim dan fasiq bagi orang yang tidak memberlakukan hukum-hukum yang diturunkan Allah. Vonis kafir, dhalim dan fasiq dalam tiga ayat tersebut meski berlaku bagi umat Islam atauahli alkitab (non Muslam), namun bila dilakukan orang mukmin, menurut Thawus:“kekafiran itu tidak mengeluarkannya dari agama“. Dan menurut Atha'; “kekafiran di bawah kekafiran, kedhaliman di bawah kedhaliman, dan kefasikan di bawah kefasikan". Sedangkan dalam riwayat lain menurut Ibn Abbas, penguasa Muslim yang tidak memberlakukan hukum sesuai apa yang diturunkan Allah dipilah menjadi dua. Ibn Abbas mengatakan: “Orang yang mengingkari apa yang diturunkan Allah, maka dia adalah kafir, dan orang yang membenarkannya namun tidak menerapkannya, maka dia dhalim atau fasiq”.

Dari sini bisa dipahami bahwa, apabila tidak memberlakukan hukum-hukum yang diturunkan Allah lantaran ketidaksanggupan, atau karena justeru akan menimbulkan bahaya dan kerusakan (mafâsid), seperti ancaman disintegrasi bangsa, tekanan internasional dll., maka vonis kafir, dhalim dan fasiq tidak bisa dijatuhkan kepada umat Islam.