Tafsir Umar Bin Khattab

Tafsir Umar Bin Khattab
Saifuddin Zuhri Qudsy
Dalam khazanah tafsir, dikenal beberapa pendekatan dalam memahami corak
penafsiran yang dilakukan oleh mufassir; Quraish Shihab misalnya memebedakan
menjadi dua corak, corak bil mas’tsur , dan bil Ra’yi .yang disebut pertama diklaim
sebagai model tafsir yang lebih menekankan pada makna makna literal teks al Qur’an
dengan riwayat sebagai senjata utama dalam memahami teks. Kemudian yang terakhir
lebih menekankan rasio dalam menalar teks al Qur’an dengan rasio sebagai senjata
dalam memahami teks al Qur’an.
Namun yang akan kami bahas saat ini adalah tafsir yang bercorak pertama terutama
yang terkait dengan model penafsiran masa sahabat yang selama ini telah ghalib
diketahui dengan memakai corak maa’tsur.Corak yang disebut terakhir mempunyai
beberapa kelebihan dan kekurangan, memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika
menyampaikan pesan pesannya dan terakhir mengikat mufasir dalam bingkai teks
ayat ayat, sehingga membatasinya daan terjerumus dalam subyektifitas berlebihan.
Sedangkan kelemahannya antara lain : terjerumusnya sang mufasir dalam uraian
kebahasaaan dan kesusasteraan yang bertele tele sehingga pesan pokok al Qur’an
menjadi kabur dicelah uraian itu. Sehingga perhatiaan terhadap bahasa secara
berlebihan dapat menyebabkan kehilangan pandangan tentang apa yang harus
diberikan oleh bahasa. Seringkali konteks turunnya ayat hampir dapat terabaikan
sama sekali, sehingga ayat tersebut terkesan ahistoris.

Akan tetapi perlu digaris bawahi disini bahwa disini penulis tidak berpretensi untuk
menyalahkan atau mengukuhkan corak tafsir ini.penulis hanya berpretensi untuka
mencoba mengeksplorasi dan -dalam bahasa A,J Ayer – memverifikasi aksioma corak
tafsir bil ma’tsur pada masa sahabat. Ada beberapa point yang ingin penulis
ungkapkan disini mengenai metode telaah yang disusun dalam tulisan ini. pertama
adanya narasi yang tersisihkan – bila tidak bisa dikatakan terbuang- dari klaim corak
tafsir bil ma’tsur dari masa sahabat ini. Sebuah narasi yang sebenarnya cukup
berprengaruh bila kita teliti lebih lanjut,narasi tersebut kami sebut sebagaia fenomena
tafsir Umar bin Khattab. Kedua,. Dimulai masa tadwin dari rezim yang
mengedepankan unsur bil ma’tsur dan mengesampingkan bil ra’yi
Dalam seajarah Araba islam, Umar dikenal dengan sosok yang pemberani, tegas
cakap sekaligus sebagai khalifah kedua yang menggantikan Abu Bakar.ia dikenal pula
sebagai salah satu mufassir termasyhur dari 10 sahabat nabi, kendaati menruut Aabdul
Mustaqim zM Ag – seorang peneliti tafsir- memasukkannya dalam kategori mufassir
sahaby yang sedikit penafsirannya.
Yang laput dari perhatian di atas adalah bahwea ada banyak bentuk penafsiran yang
dilakukannya tidak sejalan dengan teks al Qur’an , yang di satu sisi menimbulkan
kritik dari kalangan antar sahabat nabi sendiri,namun juga tak jarang memunculkan
pujian mereka terhadap Umar dalam mengatasi problem kemasyarakatan.Berikut
kasus kasus penafsiran Umar :

1. Ketika terjadi peperangan Yamamah, puluhan sahabat yang hapal Al Qur’an
meninggal, yang telah membuat Umar mengusulkan pada Abu Bakar agar menuliskan
a; Qur’an.Pada masa awalnya hal ini memberatkan hatinya karena hal itu belum
pernah dilakukan pada masa rasul SAW.Namun setelah diyakinkan oleh Umar, ia
menurutinya.Hal ini juga terjadi pada Zaid bin Tsabit ketika disuruh menulisnya.
2. Pada masa rasul kejelian Umar tampak dalam kasus seteleah terjadinya peperangan
Badar yang dimenangkan oleh pihak muslim, Rasul bermusyawarah ddengan para
sahabat terutama bertanya pada Abu Bakar dan Umar, Abu bakar mengusulkan agar

mereka diganti dengan uang tebusan, namun Umar berpendapat agar mereka dibunuh
untuk menunjukkan kekuatan muslim minoritas. Rasul mengambilan pendapat
pertama, meski kemudian turun surat al Anfal ayat 67 – 68 yang isinya menegur
pilihan rasul yang keliru sehingga rasul dan Abu bakar minta maaf kepada Umar.
3. Kasus bahwa Naskh itu bisa dikesampingkan apabila konteks menuntut adanya
maslahah yang harus dilindungi, dalam hal ini Umar menyatakan pendapat yang
berbeda dengan ayat (lihat al anfal 41 dan 69).Menurutnya tanah tersebut bila
diserahkan pada kaum muslimin maka mereka ridak akan bisa mengurusnya, karena
mereka terus menerus akan berperang. Sedangkan penduduk yang ada disitu akan
menderita kelaparan.
4.Pendapat Umar berseberangan dengan konsep ayat yang membicarakan tentang

orang orang yang berhak mendapatkan zakat (At Taubah 60). Ia mengecualikan
muallaf (orang yang lemah imannya, baru masuk islam) dari kategori orang yang
berhak mendapatkan zakat. Ia berpendapat bahwa muallaf diberikan zakat karena
umat islam masih lemah secara moril materiilnya, karenanya pemberian zakat aamat
membantu bagi mereka.,Namun pada saat itu (masa pemerintahan Umar) umat islam
tidak lagi lemah sehingga konsep muallaf dipandang tidak perlu lagi. Dan berbagai
kasus lain yang dimotori Umar.
Yang selama ini menjadi kesepakatan pada peneliti adalah bahwa model penagfsitran
dan ide brilian diatas berlatar belakang dari kehidupan semenjak kecil, yakni Umar
sebagai penggembala dan Umar sebagai peniaga. Dalam kapasitas pertama ia
diperlakukan secara keras oleh ayahnya bahkan dalam batas batas tertentu ia
seringkali dipaksan untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya diluar kapasitas
kekuatan ototnya. Sedangkan yang kedua, sebagai peniaga berpengaruh terhadap
kecerdasan dan kepekaan pengetahuannya terhadap berbagai tabiat manusia. Ia
dianggap mampu memahami pesan al Qur’an secara integral dan utuh. Disamping ia
sendiri pernah menegaskan bahwa selagi wahyu masih diturunkan, maka keputusan
akhir terletak pada wahyu tersebut. Dan setelah wahyu berakhir maka ia akan
memperlakukan orang lain sesuari dengan tindakan nyata orang tersebut.
Disinilah mengapa Fazlurrahman mengatakan bahwa metode penafsiran yang
dilakukan oleh Umar adalah berada dalam bingkai model ideal moral. Meski

Dr.Ir.Syahrur – seorang tokoh penafsir dalam bidang linguistik- menilai bahwa
penafsiran ataua ijtihad yan dilakukan oleh Umar masih ebrada dalam bingkai teori
had adna (batas minimal) dalam had a’la (batas maksimal) ,Keabadian firman Tuhan
dan masyarakat aktual masyarakat Arab dipandang sebagai transaksi tawar menawar
antara keduanya, dengan mempertimbangkan permasalahan sosiologiss. Keerdasan
Umar dalam menangkapa pesan Al Qur’an menimbulkasn adanya sebuah
pengandaian Iqbal yang pernah meramalkan bahwa persoalan Umat islam mau
memasuki dunia dengan menggunakan jwa Umar.
Kritik Falsifikatis atas tafsir bil Ma’tsur
Nah, dari paparan diatas jelaslah sudah bahwa sebenarnya model penafsiran yang
dilakukan oleh Umar lebih menekankan pentingnya faktor konteks dari[pada teks, ia
lebih menekankan pentingnya sebuah kemaslahatan umum dan terfokus pada pesan
moral atas diturunkannya teks al Qur’an. Disinilah kami melihat bahwa ia sebenarnya
bukan menggunakan metode bil ma’tsur namun lebih condong pada metode bil ra’yi
karena ia telah melakukan penafsiran yang menekankan faktor sosiologis
(konteks).Kami melihat bahwa teori yang menyatakan bahwa penafsiraan pada
masaza sahabat itu lebih bervcorak bil ma’tsur perlu dikoreksi ulang., Kami

menfalsifikasi teori tersebut dengan bukti bukti yang kami kemukakan diatas dan
menyatakan bahwa corak tafsir pada masa sahabat itu tidak hanya bil maltsur namun

juga bil ra’yi.Pertanyaan yang muncul adalah apakah hanya karena Umar lalu kita
melibas, mementahkan teori yang telah mapan tersebut (ma’tsur) ? kendatipun dalam
melakukan penafsiran ini (pada masa sahabat) terkesan hanya Umar sendiri yang
melakukannya, namun hal ini dilakukan olehnya melalui persetujuan para sahabat
yang lain. Dalam kasus ghanimah misalnya, Umar meminta persetujuan para sahabat
Anshar , dan merekapun menyetujuinya. Kemudian pula yang perlu diingat bahwa
permulaan tadwin (pembukuan) baik dalam bidang hadist maupun karya mufassir itu
dimulai pada masa Umayah, yakni ketika ahl hadits dan ahl riwayat lebih dominan
daripada ahl ra’yi sehingga terjadinya pemberangusaan pola pikir rasional amat rentan
terjadi.
Namun kendati demikian,sekali lagi, penulis tidak menyalahkan aksioma ini, tetapi
lebih berpretensi untuk mengingatkan, merenungi dan memeriksa kembali validitas
peradaban kita ayang sarat dengan sejarah politik yang kelam, dimana pemberangusan
sebuah nalar yang bertentangan menjadi sebuah hal yang biasa pada waktu itu.
Penafsiran yang dilakukan Umar – yang merupakan langkah kreatif, inovatif, dan
tegas- lebih berpihak pada keadilan sosial, ekonomi yang melihat konteks sebagai
sebuah entitas yang tidak kosong. Maka tidak aneh bila Umar – dalam baahsa Alfred
Guillaume, seorang iroentaslis –diklai sebagai St Paul od Islam (semacam orang suci
Islam) yang bila ia mengatakan sesuatu, maka ia tidak pernah memungutnya kembali.
Disini Umar menyadari bahwa a; Qur’an tidak menjelaskan dan menjawab seluruh

problematika manusia, all Qur’an hanya menjelaskan prinsip prinsip yang universal.
Karena itu -terutamaa setelah ia menjadi khalifah menggantikan Abu Bakar- ia
diharuskaan untuk semakin kreatif, sadar dan arif dalam menghadapi problematika
yang mulai timbul dan tidak ada dalam teks al Qur’an. Yang dalam istilah Hegel jika
rasio menyadari rintangan rintangan (dalam konteks Umar, problematika umatnya),
sama dengan menyadari asal usul kesadaran. Dengan kata lain, kesdaran rasional kita
akan sesuatu muncul jsutru setelah kita merefleksikan rinangan rintangan itu dan
karena munculnya kesadaran itu kita dapat membebaskan diri dari rintangan rintangan
itu untuk menjadi semakin rasional. Semangat kesadaran inilah yang ditangkap oleh
Umar ketika ia berusaha untuk terlepas dari jeratan jeratan teks dan lebh
memfokuskan pada konteks sosial pada waktu itu ( dari bil ma’tsur ke bil ra’yi)
Sumber: SM-09-2002