Praktek syura pada masa khalifah umar bin Khattab

(1)

KONSEP SYURA DALAM PEMERINTAHAN ISLAM

PRAKTEK SYURA PADA MASA KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh : Sucilawati NIM: 104033201146

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H./2009 M.


(2)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul Praktik Syura Pada Masa Khalifah Umar bin Khattab telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 11 Desember 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos.) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam.

Jakarta, 11 Desember 2009

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dr. Hendro Prasetyo, MA Joharatul Jamilah, M.Si. NIP: 19640719 199003 1 001 NIP: 19680816 199703 2 002

Anggota,

Dr. Nawiruddin, MA. Idris Thaha, M.Si.

NIP: 19720105 2001121 003 NIP: 19660805 200112 1 001

Pembimbing,

Dr. Sirojuddin Aly, MA. NIP: 19540605 200112 1 001


(3)

Konsep Syura dalam Islam

Praktek Syura pada Masa Umar bin Khattab

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh Sucilawati NIM: 104033201146

Pembimbing

M. Zaki Mubarak, M.Si NIP: 19660805 200112 1 001

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H./2009 M.


(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (satu) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 20 Oktober 2009


(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kasih sayang dan karunia tiada terhingga kepada penulis. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelsaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Konsep Syura Dalam Pemerintahan Islam: Praktek Syura Pada Masa Umar bin Khattab”

Pada kesempatan ini penulis tak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga proses penyusunan skripsi ini selesai. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak diantaranya:

1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Bapak Drs. Idris Thaha, M.Si., dan Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag., selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Pemikiran Politik Islam Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Dr. Sirojuddin Aly. MA selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu diantara kesibukannya dan selalu memberikan pengarahan serta masukan yang berarti dalam penulisan karya ini.

5. Seluruh Dosen dan staf pengajar pada Program Studi Pemikiran Politik Islam, penulis sampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya.

6. Teruntuk Ayah dan Ibuku, H. M Said dan Hj. Asnimah. Doa dan harapanmu telah memberikan arti tersendiri bagi penulis dalam memberikan yang terbaik selama dalam kehidupan ini. Kakak Penulis, Ade Herman, dan Adik penulis Hafsah, juga patut mendapat ucapan terima kasih karena doa dan pengertiannya. Untuk mereka semua, penulis persembahkan karya ini.

7. Kawan-kawan Fraksi Pojok: Praga, Gusti ‘ajo’ Ramli, Yudi, Ikbal, Jabar, Husni, Irwansyah, Rifki, Basit, Iin, Zubeir, Yunus dan kawan-kawan PPI


(6)

angkatan 2004 yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih atas diskusi, sukungan, serta canda dan tawanya kepada penulis selama berlangsungnya penulisan karya ini.

8. Untuk Abangku yang selalu memotivasi penulis serta pengertiannya sepanjang penyusunan karya ini. Semoga aku bisa menjadi seperti apa yang kamu inginkan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kritik serta saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis serta pembaca. Demikian semoga Allah menerima usaha ini sebagai ‘amal jariyah dan mengampuni kesalahan dalam karya ini, untuk itu penulis sendiri yang bertanggung jawab.


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... .i

DAFTAR ISI... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 7

C. Metode Penelitian... 7

D. Tujuan Penelitian ... 8

E. Sistematika Penulisan... 9

BAB II PROFIL UMAR BIN KHATHAB... 10

A. Riwayat Hidup Umar Bin Khathab ... 10

B. Kepribadian Umar Bin Khathab ... 15

C. Perjuangan Umar Bin Khathab Bersama Rasulullah SAW... 16

D. Pengangkatan Umar bin Khathab Sebagai Khalifah ... 20

BAB III SYURA SEBAGAI SISTEM PEMERINTAHAN DALAM ISLAM... 25

A....Definisi Syura... 25

B....Landasan Syura Dalam Al-qur’an Dan Sunnah ... 27

C....Karakteri stik Syura Dalam Isalm ... 32


(8)

D.... Prinsip-prinsip Syura Dalam Islam ... 34 E....Ijmak

Sebagai Substansi Syura... 39 F....Komitme

n Syura Terhadap Syari’at ... 41 G....Syura

dan Demokrasi ... 42 BAB IV PRAKTEK SYURA PADA MASA UMAR BIN KHATHAB... 45

A....Pemiliha n Umar bin Khathab Sebagai Khalifah... 45 B....Impleme

ntasi Nilai-nilai Syura Pada Masa Pemerintahan Umar Bin Khathab ...47

1....Persamaa n Dan Kebebasan... 48 2...Penegaka

n Keadilan / Hukum... 51 3....Prioritas

Musyawarah Dalam Hal-hal Yang Menyangkut Orang Banyak 55 4. Pembentukan Team Suksesi Pemilihan Ustman Bin Affan… 57 BAB V PENUTUP ... 62

A....Kesimpul an ... 62


(9)

B....Saran ...64 DAFTAR PUSTAKA... 65


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak periode awal sejarah Islam, perilaku kehidupan kaum muslimin dalam keseluruhan aspeknya telah diatur oleh hukum Islam. Oleh karena itu dalam pembinaan dan pengembangan selalu diupayakan berdasarkan kepada Al-Qur’an, sebagai wahyu yang terakhir kepada manusia, yang mengaplikasikannya untuk sebagian besar dicontohkan dan dioprasionalkan oleh sunnah Rasulullah.1

Konsep syura dikenal dalam bahasa Indonesia dengan kata musyawarah. Pengertian musyawarah bertitik tolak dari seseorang yang meminta pendapat kepada orang lain tentang suatu masalah. Pendapat itu hanya sekedar pertimbangan dalam menentukan kebijakan dan mengambil keputusan. Jadi tidak ada keharusan untuk menerima saran yang diajukan. Sebelum datangnya Islam, bangsa Arab telah mengenal musyawarah untuk menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi. Bahkan musyawarah telah dijadikan alat dalam hal memilih kepala suku mereka. Lembaga ini disebut “Dewan (Nadi)”2

Setelah Islam datang, Al-Qur’an menjustifikasikannya dengan istilah “Syura” dan menjadikannya sebagai bagian dari ajaran Islam dalam konteks kehidupan sosial. Kemudian risalah Muhammad SAW mengembangkan institusi ini menjadi konsep baru, yang mana sebelumnya hanya sebuah institusi komunal kesukuan dan

1

Amiur Nuruddin, “Ijtihad Umar bin Al-Khatab: Studi Tentang Perubahan Hukum dalam Islam,” Tsaqafah Vol. IV, no 1, (Zulqa’dah 1428): h. 22

2

Zul Asyri, Pelaksanaan Musyawarah Dalam Pemerintahan al-Khulafaur Rasyidin (Jakarta: Kalam Mulia, 1996), h. 16-17.


(11)

berhubungan dengan darah (kekeluargaan) menjadi sifat sosial yang berhubungan dengan sifat keimanan.3

Islam merupakan sebuah agama yang sangat menganjurkan para pemeluknya untuk memegang prinsip syura (bermusyawarah) dalam menjalani roda kehidupan. Karena, selain terdapatnya aturan di dalam Al-Qur’an yang mewajibkan untuk mengikuti prinsip tersebut, syura juga merupakan dasar kedua dari sistem kenegaraan Islam setelah keadilan.4

Syura tidak hanya diterapkan dalam sistem pemerintahan saja. Melainkan juga dilaksanakan pada tatanan kehidupan sehari-hari. Misalnya musyawarah yang diterapkan dalam urusan keluaga, pekerjaan, sosial, ekonomi dan juga dalam bermasyarakat.

Secara umum syura dapat diartikan sebagai segala yang mencakup bentuk pemberian advice (nasihat). Oleh karena itu, gagasan saling menasehati atau konsultasi melahirkan terbentuknya syura atau lembaga konsultatif di awal sejarah Islam, hak pemberian suara, pemilihan perwakilan-perwakilan, pendirian parlemen, dan pemilihan pemimpin-pemimpin republik Islam di zaman modern ini.5 Dan juga pada prinsipnya musyawarah itu adalah merupakan sisi sosial dari doktrin tauhid. Ia juga merupakan sarana untuk menciptakan suatu harmonisasi dalam kehidupan sehari-hari. Dan musyawarah juga merupakan suatu bukti nyata penghormatan terhadap akal manusia; yang bisa kita lihat suatu bukti pemuliaan Allah kepada manusia, karena itu musyawarah dapat memberikan suatu kemaslahatan; dan dengan musyawarah pula dapat menghasilkan suatu solusi. Dan dengan musyawarah juga

3

Masykuri Abdillah, “Syura dan Demokrasi” dalam “Pengantar” buku Artani Hasbi,

Musyawarah dan Demokrasi (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h.ix-x. 4

M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, Penerjemah Abdul Hayyie (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h.272.

5


(12)

semua orang akan mempunyai kesempatan yang sama tanpa membedakan, semua orang bebas mengemukakan pendapat. Apalagi dalam hal menentukan pemimpin umat, musyawarah mempunyai peran penting dalam hal itu.

Akan tetapi sepeninggal Rasulullah tidak terdapat petunjuk secara eksplisit tentang bagaimana cara menentukan pemimpin umat, yang ada hanya petunjuk yang sifatnya umum dalam menyelesaikan masalah dan membuat suatu kebijakan dengan cara musyawarah. Dengan demikian, musyawarah menjadi suatu hal yang perlu dalam menentukan seorang pemimpin umat dan kepala negara. Sehingga kepemimpinan empat al-Khulafaur Rasyidin ditentukan melalui musyawarah.

Sistem pemerintahan pada masa Umar bin Khattab didasarkan pada pemerintahan masa Rasulullah dan masa Abu Bakar. Dasarnya adalah “Syura” (musyawarah), yang mengacu pada firman Allah dalam Surat Asy Syuura ayat 38:

  !"# !$%&

'( ) *+ , - . /1 23

456 /) 7 , 8 9: ;/ <

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka".

Dan pada firman-NYA yang ditujukan kepada Nabi dalam surah Al-Imran ayat 159:

3=> ? @A 3BC , DE F G HI/ 45

HIJ-K L9 ? MNO=$MP Q$?$ :)

,RM;STU BE @ C 4 B ?

 T ;) WCX

'( , M Y= Z [\] ^=_ ?

HI) D` a K ? Y! G # c8=:

1$ -d e= fK 43)

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya".


(13)

Sesungguhnya selain terdapatnya dua teks ayat dalam kitab suci Al-Quran yang memerintahkan untuk menerapkan atau menjalankan prinsip syura, beberapa hadis telah mengungkapkan betapa pentingnya melakukan syura, karena dengan syura maka jalan yang benar untuk mencapai solusi yang lebih bijaksana dan baik untuk kemaslahatan individu maupun kelompok serta negara akan dengan mudah didapatkan.6

Kalau kita melihat ada beberapa kelebihan yang dimiliki oleh konsep syura, maka itulah yang melatar belakangi para intelektual muslim untuk tidak pernah melepaskan tema tersebut ke dalam karya-karyanya. Khususnya yang berkenaan dengan kepemimpinam dan pemerintahan.

Beberapa pemikir tersebut diantaranya Sayyid Qutb, Hasan Al-Banna, Fazlur Rahman. Ketiga pemikir tersebut secara serentak mengatakan bahwa dalam pemerintahan Islam, konsep syura harus ditegakkan. Sebab, apabila ada suatu permasalahan apalagi dalam sebuah pemerintahan harus ada musyawarah untuk mencapai sebuah kemufakatan bersama.

Musyawarah yang berlaku waktu itu bukanlah hendak membatasi wewenang khalifah seperti dalam sistem parlemen menurut pengertian kita sekarang. Kalangan pemikir yang memberikan pendapat kepada khalifah tidak pula berhak memaksakan pendapat mereka kepadanya. Dengan musyawarah itu kekuasaan penuh tetap di tangan khalifah. Dia bertanggung jawab kepada Allah, kepada dirinya sendiri, dan kepada umat yang telah mengangkatnya.7

6

Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam (Jakarta: Robbani Press,2000), h. 54.

7


(14)

Dalam pengambilan keputusan para khalifah itu terbiasa melakukannya melalui musyawarah, terutama dengan para sahabat senior atau Ahl al-syura, yang kemudian oleh para ulama disebut sebagai Ahl Hall Wa Al’-Aqd, kumpulan para ahli yang kompeten dalam memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi.8

Syura adalah hak seluruh kaum muslimin terhadap khalifah. Karena itu, mereka memiliki hak terhadap khalifah agar dalam banyak persoalan khalifah merujuk kepada mereka untuk meminta pendapatnya.9 Bahkan rakyat biasapun dapat menyampaikan pendapat-pendapatnya dihadapan para khalifah dengan bebas, termasuk mengkoreksi pendapat khalifah yang salah. Dan kalaupun seorang khalifah sampai melampaui hak dan melanggar ketentuan Allah dan Rasulnya, maka rakyat atau umat lah yang akan meluruskannya.

Seorang tokoh seperti Umar tidak hanya pemberani, melainkan dia juga suka bermusyawarah. Dan dia juga dekat dengan Rasulullah SAW. Kedekatannya tidak hanya dengan Rasulullah saja, melainkan dengan seluruh masyarakat. Dan Rasulullah pun mempercayai Umar untuk menjadi penasehat utamanya.

Sebagai seorang yang suka bermusyawarah, Umar bin Khattab pada akhirnya terpilih menjadi khalifah melalui usulan dari Abu Bakar dan sahabat-sahabat senior. Seperti diketahui adanya kekhawatiran akan terjadinya perpecahan pasca Rasulullah SAW wafat terulang kembali. Khalifah Abu Bakar As-siddiq bermusyawarah dengan para sahabat. Musyawarah itu sendiri dilakukan melalui forum tertutup yang dihadiri

8

Abdillah, “Syura dan Demokrasi”, h. x. 6

Abdul Hamid Al-Ghazali, Meretas Jalan Kebangkitan Islam: Peta Pemikiran Hasan Al-Banna. Penerjemah Wahid Ahmadi (Solo: Era Intermedia, 2001), h 262.


(15)

oleh Abdurrahman bin Auf dan Ustman bin Affan dari kaum muhajirin, serta Asid bin Khudair dari kaum anshar.10

Mengenai anggota dewan syura yang terdiri dari tokoh-tokoh kaum Muhajirin dan kaum Quraisy dan Anshar adalah orang yang mempunyai hak yang sama untuk dipilih menjadi khalifah. Pada masa Umar bin Khattab anggota dewan syura terdiri dari Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Thalhah, Sa’ad bin Waqas dan Abdurrahman bin Auf. Ada satu lagi anggota yaitu Abdullah bin Umar memiliki hak memilih tetapi tidak memiliki hak dipilih, sebagaimana yang menjadi keputusan Umar bin Khattab (ayah Abdullah). Dari tujuh orang tersebut Abdurrahman bin Auf selaku ketua dewan syura melakukan dan menunjuk Ustman bin Affan sebagai khalifah ketiga dan kemudian melakukan bai’at.11

Praktik syura yang diterapkan Umar bin Khattab pada masa pemerintahan saat itu menjadi sebuah panutan bagi umat di masa berikutnya. Majelis Syura yang dibentuk Umar menjadi sebuah konsep yang tidak hanya diterapkan dalam sistem pemerintahan saat itu, melainkan juga dipraktekkan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan dan sistem pemerintahan di negara Islam sampai saat ini.

Praktik syura pada masa pemerintahan kekhilafahan Umar bin Khattab itu menjadi cikal bakal pengimplementasian secara institusional konsep syura dalam sejarah politik umat Islam di zaman modern ini. Untuk itu, melacak praktek syura pada masa pemerintahan Umar menjadi suatu kajian yang tak kalah menarik untuk dibahas di tengah dinamika politik yang ada.

10

Rais, Teori Politik Islam, h.133. 11

Munawir Syadzali, Islam Dan Tata Negara; Ajaran Sejarah Dan Pemikiran (Jakarta: UI Press,1990), h.26.


(16)

Berdasarkan dari latar belakang di atas penulis tertarik untuk mengangkat skiripsi dengan judul “PRAKTIK SYURA PADA MASA KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB.”

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Sebagaimana pemaparan di atas, karya ilmiah ini hanya akan membatasi pada praktik syura pada masa khalifah Umar bin Khattab. Kalaupun sudah ada beberapa penulis yang menuangkan konsep ini pada beberapa hasil karyanya, namun pada kajian ini penulis hanya lebih menitikberatkan kepada praktek syura pada masa Umar bin Khattab. Karena konsep tersebut merupakan salah satu landasan dasar dalam sistem pemerintahan pada masa Umar bin Khattab.

Adapun perumusan masalah yang akan dikaji dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana proses pengangkatan Umar sebagai khalifah?

2. Seperti apa implementasi nilai-nilai syura pada masa pemerintahan Umar bin Khattab?

C. Metode Penelitian

Dalam pengumpulan data yang dipakai dalam skripsi ini menggunakan metode Library Research (Penelitian Kepustakaan) yaitu dengan menelaah buku-buku, majalah-majalah, beberapa artikel dan surat kabar, serta internet yang penulis anggap relevan dengan pokok permasalahan.

Metode pembahasan dalam skripsi ini adalah deskripsi analitis, yaitu dengan mendeskripsikan data-data yang ada (baik data primer maupun data sekunder),


(17)

kemudian menganalisanya secara proporsional sehingga akan Nampak jelas rincian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahan.

Adapun metode penulisan ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan KaryaI Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), yang diterbitkan oleh CeQDA Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian yang berjudul “PRAKTIK SYURA PADA MASA KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB” adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana cara pengangkatan Umar sebagai khalifah 2. Mengetahui implementasi nilai-nilai syura pada masa pemerintahan Umar

bin Khattab

3. Mengetahui proses pembentukan tim suksesi pemilihan Ustman bin Affan

E. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah memahami dari isi skripsi ini, maka penulis membagi isi skripsi ini menjadi enam bab, tiap bab yang didalamnya terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematika sebagai berikut:


(18)

Bab Pertama berisi pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, metodologi penelitian, tujuan penelitian, serta sistematika penulisan, sebagai penuntun pembaca secara sistematis dalam memahami isinya secara keseluruhan.

Bab Kedua memberikan penjelasan tentang sejarah hidup Umar bin Khathab, dari perjuangannya bersama Rasulullah, serta tindak tanduknya dalam pemerintahan.

Bab Ketiga berisi mengenai bahasan umum tentang syura sebagai sistem pemerintahan dalam Islam.

Bab Keempat menjelaskan mengenai Praktik Syura, dan implementasi nilai-nilai syura pada masa Umar bin Khathab, serta pembentukan tim suksesi pemilihan Utsman bin Affan.

Bab kelima diisi dengan penutup yang mencoba menyimpulkan dan memberikan analisa kritis dalam pembahasan mengenai praktik syura pada masa khalifah Umar bin Khattab, untuk melengkapi pembahasan dalam sripsi ini.


(19)

BAB II

PROFIL UMAR BIN KHATTAB

A. Riwayat Hidup Umar bin Khattab

Umar bin Khattab memiliki nama lengkap Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Riba’ah Abdullah bin Karth bin Razaah bin Adi bin Ka’ab. Sedangkan nama lengkap ayahnya adalah Khattab bin Nufail Mahzumi Al-Quraisy, dan ibunya adalah Hantamah binti Hasyim bin Mugirah bin Abdullah bin Umar bin Makzum. Bani Makzum adalah cabang lain dari suku Quraisy dan sekutu dari bani Umayyah di zaman Jahiliyah. Keluarga Umar termasuk golongan Quraisy dari Bani Adi, suku Adi terpandang mulia dan mempunyai martabat tinggi dari orang-orang Arab.12 Dilihat dari keturunan Umar bin Khattab. Ia merupakan orang yang terlahir dari keluarga yang terpandang dari suku Quraisy. Sehingga hal ini menjadi dasar dalam kepemimpinannya sebagai khalifah kedua.

Umar dilahirkan di kota Makkah kota kosmopolitan di semenanjung Arab, dan ia lahir lebih muda dari Rasulullah. Selain mempunyai budi pekerti yang luhur, fasih dan adil, Umar dikenal sebagai seorang yang pemberani dan pribadinya yang dikenal keras sehingga ia digelari dengan “singa padang pasir”.13 Umar bin Khattab selalu dipercaya menjadi komandan pasukan perang, setiap kali suku Quraisy mengumumkan dan melakukan peperangan terhadap suku-suku Arab lainnya. Sebagai kesatria perang, khattab (ayah Umar) mengajari kepada anaknya berbagai macam tradisi kelelakian khas semenanjung Arab, mulai dari memanah,

12

Hamdani Anwar, “Masa Al-Khulafa ar-Rasyidun,” dalam M.Din Syamsuddin, at all, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, vol.II (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h.38

13

Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam (Surabaya: Pustaka Islamika press, 2003), h.67


(20)

menggembala ternak, berburu, menunggang kuda dan hal-hal yang bisa menunjang masa depan mereka sesuai dengan tradisi bangsa Arab.

Pada masa kecilnya Umar ikut membantu ayahnya memelihara hewan ternak, dan ikut berdagang hingga Syiria. Walaupun Umar merupakan keturunan Bani Adi yang sangat terpandang dikalangan orang-orang Arab, akan tetapi ia bukan dari lingkungan keluarga kaya raya. Lingkungan keluarganya adalah lingkungan yang sangat menonjol dalam bidang ilmu pengetahuan.14 Sehingga Umar sudah terbiasa sejak kecil bekerja keras seperti lazimnya orang-orang Arab dan ia didukung oleh ilmu pengetahuan dalam lingkungan keluarga Umar bin Khattab.

Pada waktu Umar masih muda ia sangat pandai menulis dan membaca syair, disamping itu ia juga banyak menghafal syair-syair Arab terkenal. Riwayat termasyhur menyatakan bahwa Umar di lahirkan tiga belas tahun setelah kelahiran Rasulullah, atau sekitar tahun 586 M, akan tetapi tidak banyak yang tahu kapan pastinya Umar di lahirkan.

Ketika Umar beranjak dewasa, Umar mulai menekuni perniagaan. Selain mendapat pengalaman berniaga, Umar juga mendapatkan pengalaman yang luar biasa. Umar sering pergi berdagang keluar semenanjung Arab, sehingga wawasan dan kecakapan Umar semakin terbuka luas, Umar juga mampu menguasai beberapa bahasa. Umar juga sangat dihormati dan disegani dikalangan orang Arab. Umar diangkat oleh suku Quraisy sebagai juru diplomasi, utusan khusus, duta besar mereka, ketika Bani Quraisy berseteru dengan suku-suku Arab lainnya.

Peristiwa Umar bin Khattab masuk Islam terjadi pada suatu hari dibulan dzulhijjah tahun ke enam kenabian, Umar bin Khattab tercatat sebagai orang yang ke

14

Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam (Surabaya: Pustaka Islamika Press, 2003), h.67


(21)

empat puluh memeluk Islam. Pada waktu itu umat Islam masih sangat sedikit sehingga dakwah dilakukan secara sembunyi-sembunyi, mereka belum berani menampakkan keislamannya. Umar adalah orang pertama yang berani berdakwah dan mengumumkan keislamannya secara terang-terangan.

Masuk Islamnya Umar segera diikuti oleh putra sulungnya, Abdullah dan istrinya Zainab binti Maz’nun. Selain itu, keIslaman Umar membuka jalan bagi tokoh-tokoh Arab lainnya masuk Islam. Sehingga pada saat itu orang Arab banyak yang masuk Islam dan dalam waktu yang sangat singkat pengikut Islam bertambah dengan pesat.15

Sebelumnya, Umar dikenal sebagai salah seorang tokoh Arab Quraisy yang paling gigih menentang seruan Nabi SAW. Ketika disampaikan kepadanya bahwa adiknya, Fatimah, beserta suaminya telah memeluk islam, Umar mendadak menjadi geram dan sangat murka. Tanpa menunggu lebih lama ia segera pergi kerumah adiknya. Sesampainya disana, ia mendapati adik, ipar, dan beberapa orang muslim sedang mempelajari Al-Qur’an. Begitu melihat Umar, mereka semua lalu terdiam membisu dan tidak berani bergerak sedikitpun. Dengan emosi yang meluap-luap Umar menampar adiknya. Suaminya pun tak terelakan dari pukulan Umar. Dipuncak kemarahanya, mata Umar menangkap sebuah lembaran yang bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang dan hatinya menjadi ciut. Dengan tangan bergetar dipungutnya lembaran itu, lalu dibacanya ayat-ayat Al-Qur’an yang tertera dalam lembaran itu adalah beberapa ayat dari permulaan surah Taha. Setelah membaca ayat-ayat itu, perasaannya menjadi tenang, dan rasa damai menyelinap dihatinya. Timbul keinginan kuat untuk segera menemui Rasulullah SAW. Umar pun

15

Penyusun Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, vol.v (Jakarta: PT ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h.125.


(22)

bergegas meninggalkan rumah adiknya menuju rumah Al-Arqam dimana Nabi SAW sedang menyampaikan dakwah secara sembunyi-sembunyi.16

Al-Faruq (sang pembeda). Demikian julukan yang diberikan Rasulullah untuk Umar, karena ia dapat membedakan mana yang benar dan mana yang batil, yang baik dan yang buruk. Namun, sebagian kalangan mengartikan Al-faruq sebagai penjaga Rasulullah dan pencerai berai barisan kaum kafir, musuh yang senantiasa membangkang dan melawan dakwah Rasulullah.17 Pada masa awal Umar memeluk Islam Umar bertanya kepada Rasulullah kenapa kita sembunyi-sembunyi dalam berdakwah, dan menyampaikan kepada Rasulullah sudah saatnya umat Islam berdakwah secara terang-terangan. Kemudian Rasulullah keluar untuk berdakwah dengan didampingi dua sosok yang ditakuti dan disegani suku Quraisy, yaitu Umar dan Hamzah, sehingga ketika mereka memasuki ka’bah tidak seorangpun dari orang-orang suku Quraisy yang berani mengganggu mereka, karena itulah Umar bin Khattab dipanggil dengan sebutan Al-Faruq.

Umar juga di juluki Abu Hafsh (ayah Hafshah), perempuan mulia yang kemudian menjadi istri Rasulullah. Pernikahan Rasulullah dengan Hafshah merupakan bukti cinta kasih Rasul kepada seorang mukminah yang telah menjanda karena di tinggal mati suaminya, Khunais ibn Hudzafah al-Sahami, yang berjihad di jalan Allah dan gugur pada perang Badar.18 Ketika itu Umar sangat sedih. Karena di usia yang masih muda putrinya sudah menjadi janda. Ketika itu Umar berniat menikahkan puterinya (Hafshah) dengan seorang muslim yang saleh yang bertujuan agar hatinya kembali tenang setelah ditinggalkan oleh suaminya yang telah gugur pada perang Badar. Pada waktu itu, Umar pun pergi kerumah Abu Bakar dan

16

Penyusun Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi islam, vol v (Jakarta: PT. Ichtiar baru Van Hoeve, 1994), h. 125

17

Mustafa Murad, Kisah Hidup Umar Bin Khattab, (Jakarta: Zaman, 2009), h. 15 18


(23)

meminta kesediannya untuk menikahi putrinya (Hafshah). Abu Bakar pun diam, dan tidak menjawab sedikitpun. Setelah itu, Umar pun menemui Utsman bin Affan dengan permintaan yang sama. Akan tetapi Utsman pun menolak permintaan Umar tersebut. Karena ketika itu Utsman masih dalam suasana berkabung karena istrinya yang bernama Ruqayah bin Muhammad baru saja meninggal dunia. Umar pun kecewa atas penolakan Utsman tersebut.

Pada akhirnya Umar pun menemui Rasulullah, dan mengadukan sikap kedua sahabatnya itu kepada Rasulullah. Setelah Rasulullah mendengar penuturan Umar, akhirnya Rasulullah pun mengatakan bahwa “Hafshah akan menikah dengan seorang laki-laki yang lebih baik daripada Utsman dan Abu Bakar”. Umar pun langsung mengerti bahwa Nabi sendirilah yang akan menikahi putrinya itu. Disitulah terjadi pernikahan antara Rasulullah dan putrinya yaitu (Hafshah).

Umar juga dicatat sebagai orang pertama yang digelari Amir al-Mu’minin (pemimpin orang yang beriman).19 Hal ini berawal dari seorang utusan yang berasal dari Irak, utusan tersebut datang menghadap Umar bin Khattab untuk memberitakan keadaan wilayah pemerintahan di Irak. Ketika utusan itu tiba di Madinah ia bertemu dengan Amr bin Ash dan bertanya tentang khalifah Umar. Utusan itu memanggil Umar dengan sebutan Amir Al Mukminin, karena Umar adalah pemimpin (amir) sementara kita adalah orang-orang beriman (mukmin). Sejak itulah gelar Amirul mukminin melekat pada diri Umar dan para khalifah sesudahnya.

B. Kepribadian Umar Bin Khattab

Sifat-sifat terpenting yang membentuk “sifat keprajuritan” dalam sifatnya yang tinggi adalah keberanian, ketegasan, kekasaran, ketenangan, teratur, taat,

19


(24)

menghargai kewajiban dan iman kepada kebenaran dan suka melaksanakan dalam batas-batas tanggung jawab.20

Karisma Umar menggetarkan, tetapi kepribadiannya meneduhkan. Keridhoannya adalah kemuliaan. Amarahnya menjelma hikmah.21 Umar sangat muak dengan ketidak adilan, umar selalu menangis ketika melihat orang-orang kecil yang tertindas.

Dalam menempuh dunianya dia selama hidup sebagai mujahid (pejuang) ditengah-tengah medan. Sebab itu, dia mengutamakan kesederhanaan dan merasa puas dengan kebutuhan seminimal mungkin yang tidak mungkin diabaikan.22

Umar menyuruh prajuritnya untuk belajar memanah, berenang, menunggang kuda, bergulat, dan berolahraga supaya prajuritnya menjadi terlatih dan berkembang baik badannya serta akhlaqnya. Tabi’at yang menjadi fitrahnya adalah dia menyukai apa yang baik bagi prajurit mengenai makanan dan pakaiannya dan membenci apa yang tidak dipandang baik pada prajurit.23

Untuk kepentingan pertahanan, keamanan dan ketertiban dalam masyarakat misalnya, Umar mendirikan lembaga kepolisian, korps militer dengan tentara terdaftar. Aspek yang tak lepas dari diri Umar bin Khattab adalah masalah ijtihad berkaitan dengan berbagai persoalan hidup dan perkembangan zaman yang tak ada nashnya baik dalam Al-Qur’an maupun Al-hadis. Beberapa ijtihad yang di lakukan Umar diantaranya adalah soal penghimpunan Al-Qur’an dalam satu mushaf. Ketika

20

Abbas Mahmoud Al Akkad, Kecemerlangan Khalifah Umar Bin Khattab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 86

21

Murad, Kisah Hidup Umar Bin Khattab, (Jakarta: Zaman, 2009), h. 11 22

Al-akkad, Kecemerlangan Khalifah Umar Bin Khattab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 101

23

Abbas Mahmoud Al-akkad, Kecemerlangan Khalifah Umar Bin Khattab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 88-89


(25)

itu kekhalifahan di pegang sahabat Abu Bakar as-Shiddiq, sedangkan Umar adalah salah satu pembantunya di pemerintahan.24

Allah juga mengaruniai Umar wibawa besar yang menggetarkan hati dan menggoyahkan nyali orang yang berhadapan dengannya. Ia dapat meruntuhkan hati orang-orang yang sombong. Namun, wibawa Umar yang agung tidak membuatnya berbuat zalim terhadap orang lain, apalagi terhadap orang yang lemah. Dan sumber wibawa Umar yaitu dari ketakwaan dan ketakutannya kepada Allah. Selain tegas dan berwibawa, Umar juga mempunyai sifat sabar. Kemarahannya tidak pernah terpancing oleh kezaliman.25

C. Perjuangan Umar bin Khattab Bersama Rasulullah SAW

Setelah masuk Islam, Umar mempertaruhkan seluruh sisa hidupnya untuk membela dakwah Rasul. Ia menjadi sahabat dekat Rasulullah, orang terpercaya sekaligus penasehat utamanya. Ketika umat Islam hendak hijrah dari Makkah ke Yatsrib (Madinah) karena tekanan dan ancaman orang Quraisy yang semakin lama semakin kuat, akhirnya Nabi pun menyerukan para sahabatnya agar berangkat diam-diam dan berpencar karena khawatir dihadang musuh.26

Tapi justru Umar sebaliknya, ia mengumumkan rencananya untuk berangkat hijrah kepada orang-orang Quraisy. Setelah sampai di kota tujuan, Rasulullah menganggap saudara kepada orang-orang yang ikut hijrah bersamanya. Ketika itu, Madinah menjadi periode baru sejarah Islam dan kehidupan umat Muhammad.

24

Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam dari Abu Bakar hingga Nasr dan Qardhawi, (Jakarta: Hikmah, 2003), h. 41-42

25

Mustafa Murad, Kisah Hidup Umar Bin Khattab, (Jakarta: Zaman, 2009), h. 178-179 26


(26)

Dua tahun setelah Nabi dan umat Islam menetap di Madinah (2 H/624 M), mereka dihadapkan pada sebuah perang, yaitu Badr al-Kubra, Badar yang besar. Awalnya, Abu Sufyan (kepala klan Quraisy) bersama sekelompok dagangnya baru saja kembali dari Damaskus dengan membawa barang niaga. Ketika itu ditengah perjalanan, Abu Sufyan mendengar kabar bahwa pengikut Muhammad akan menyerang dan merampok kafilah dagang Abu Sufyan. Ketika Abu Sufyan setiba di Makkah ia langsung menyampaikan kabar tersebut kepada orang-orang Quraisy. Tidak lama setelah kabar itu menyebar, orang-orang Makkah pun langsung mengangkat senjata. Dan Abu Sufyan pun menjadi panglima pasukan Makkah yang jumlahnya hampir seribu orang. Dan segera bergerak menuju Madinah untuk melawan Muhammad dan para pengikutnya.

Ketika itu Rasulullah sudah mendengar bahwa pasukan Quraisy sudah bergerak dan akan menyerang umat Islam. Rasulullah pun bergegas menyiapkan pasukan. Akan tetapi, sebagian dari mereka nampak ragu mengikuti perlawanan tersebut. Karena mereka mengetahui bahwa jumlah pasukan Makkah jauh lebih banyak daripada mereka. Tetapi kenyataanya, lewat perang Badar tersebut umat Islam memperoleh kemenangan pertamanya sekaligus menjadi tonggak eksistensi dakwah Islam dan bukti kekuatan umatnya setelah kurang lebih tiga belas tahun ditindas oleh kaum kafir Quraisy.

Ternyata orang Quraisy tidak bisa menerima kekalahannya diperang Badar tersebut. Akhirnya Abu Sufyanpun kembali mengumpulkan para pembesar Quraisy dan beberapa klan Arab. Abu Sufyanpun memutuskan untuk perang. Ia pun mengatakan bahwa pasukan Muhammad harus dihancurkan. Rasulullah pun langsung mengatur strategi setelah mengetahui bahwa pasukan Quraisy akan menyerang umatnya. Rasulullah pun berhasil mengumpulkan tujuh ratus pasukan muslim.


(27)

Setibanya mereka di gunung Uhud, Rasulullah pun segera membagi pasukan menjadi dua: satu di tempatkan dikaki gunung Uhud, dan yang satu lagi di bukit gunung Ainain. Tak lama setelah pasukan Muhammad selesai shalat shubuh pasukan Quraisy mulai menyerang, pasukan muslimpun menyambut serangan tersebut dengan gemuruh tahlil dan takbir. Ditengah perang tersebut tersiar kabar bahwa Muhammad telah gugur. Dan perlahan-lahan perang itupun reda, karena Abu Sufyan merasa yakin bahwa Muhammad telah wafat.

Pada paruh tahun ke-4 hijriyah kerusuhan merebak di Madinah. Bani Nadhir, salah satu klan Yahudi-Arab Madinah, mengingkari ikrar damai sebagaimana disepakati dalam traktat perjanjian yang ditandatangani bersama kaum muslain. Bani Nadhir bahkan berencana membunuh Muhammad. Sebelumnya, Bani Qainuqa, salah satu klan Yahudi lainnya, juga melanggar janji damai itu dan memberontak kepada Rasulullah dan umat Islam. Umat Islampun mengusir mereka dari Madinah. Bani Qainuqa lari ke Suriah. Sebagian besar membentuk komunitas Yahudi di wilayah Khaibar.

Dalam perang parit Salman al-Farisi, seorang kesatria perang asal persia, mengusulkan untuk menggali parit (khandak) itu bertujuan untuk membendung serangan sekaligus menjadi benteng pertahanan. Dari balik parit, supaya pasukan muslim dapat dengan mudah membakar parit, menjebak, dan memanah musuh. Akhirnya Rasulullah menyetujui strategi yang diusulkan Salman al-Farisi.

Perjanjian Hudaibiyah pun terjadi pada tahun ke-6 Hijriyah ketika Rasulullah bersama kaum muslimin pergi ke kota Makkah. Tetapi bukan untuk perang, melainkan untuk umrah. Ditengah perjalanan, tepatnya di Hudaibiyah mereka dihadang oleh beberapa utusan Quraisy. Mereka mengatakan bahwa penduduk Makkah tidak memberi izin Muhammad dan umatnya untuk memasuki Ka’bah.


(28)

Akhirnya, Rasulullah mengajak orang-orang Quraisy berunding. Rasulullah mengutus Utsman untuk menghadap para pembesar Makkah, karena banyak adiantara mereka saudara dekat Utsman. Disitulah terjadinya traktat Hudaibiyah.

Pada suatu ketika Rasulullah dan para pasukannya memasuki kota Makkah dengan penuh wibawa. Tanpa perlawanan dan pertumpahan darah. Perlahan-lahan beliau memesuki pelataran Ka’bah, bertawaf, mencium hajar aswad, bersembahyang di Ka’bah, dan menghancurkan ratusan patung dewa-dewa Arab disekitar tempat ibadah itu. Tidak lebih dari dua tahun kemudian, sejumlah utusan klan tiba dari seluruh penjuru semenanjung Arab untuk menyatakan bergabung dengan Muhammad. Pada tahun itu juga (10 H/632 M) Rasulullah melaksanakan ibadah haji yang terakhir.

Pada suatu ketika kabung duka telah menyelimuti seluruh semenanjung. Bahwa, Muhammad sang utusan Allah telah meninggal dunia. Hingga akhir hayat Rasulullah, Umar berada disamping Rasulullah. Ketika kabar meninggalnya Rasulullah sampai kepada Umar, ia hanya mematung dan sangat terpukul atas kepergian Rasulullah.

D. Pengangkatan Umar Sebagai Khalifah

Kepala Negara Islam dipilih dari individu umat Islam dan umatlah pemilik hak dalam memilih khalifahnya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, cara apa yang mungkin dapat diikuti umat untuk memilih penguasanya? Pertanyaan ini mengantarkan pada kenyataan bahwa Islam tidak tergantung pada cara tertentu untuk memilih kepala Negara dan tidak mengharuskan umat mengikuti cara tertentu. Umat memilih kepala Negara apabila ia memenuhi syarat-syarat tertentu dan yang paling


(29)

mendasar adalah adil dan dengan musyawarah, tidak dipersoalkan setelah itu mengenai teknik dan cara pemilihannya.27

Bisa kita lihat sewaktu wafatnya Nabi maka berakhirlah situasi yang sangat unik dalam sejarah Islam, yakni kehadiran seorang pemimpin tunggal yang memiliki otoritas spiritual dan temporal (duniawi) yang berdasarkan kenabian dan bersumberkan wahyu Illahi. Dan situasi tersebut tidak akan terulang kembali, karena menurut kepercayaan Islam, Nabi Muhammad adalah Nabi dan utusan tuhan yang terakhir. Sementara itu beliau tidak meninggalkan wasiat atau pesan tentang siapa diantara para sahabat yang harus menggantikan beliau sebagai pemimpin umat. Dalam Al-Qur’an maupun Hadis Nabi tidak terdapat petunjuk tentang bagaimana cara menentukan pemimpin umat atau kepala Negara sepeninggal beliau nanti, selain petunjuk yang sifatnya sangat umum agar umat Islam mencari penyelesaian dalam masalah-masalah yang menyangkut kepentingan bersama melalui musyawarah tanpa adanya pola yang baku tentang bagaimana musyawarah itu harus diselenggarakan. Itulah sebab utamanya mengapa pada masa empat Al-Khulafa al-Rasyidin itu di tentukan melalui musyawarah, walaupun pola musyawarah tersebut dilalui dengan beraneka ragam cara.28

Untuk selanjutnya yang akan kita bahas yaitu bagaimana cara pengangkatan Umar bin Khattab sebagai khalifah? Ketika itu Abu Bakar merasa bahwa ajalnya telah dekat dan mau tidak mau Abu Bakar harus memilih pengganti dirinya sebagai khalifah. Setelah musyawarah terlebih dahulu dengan para sahabat atau orang-orang yang memiliki kualifikasi permusyawaratan (ahlul halli wal ‘aqdi) akhirnya Abu Bakar memilih Umar bin Khattab sebagai penggganti dirinya menjadi khalifah.

27

Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam. Penerjemah, Musthalah Maufur, (Jakarta: Robbani Press, 1999), h.152.

28

Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI-Press, 1993), h. 21.


(30)

Ketika itu sebagian sahabat menemui Abu Bakar dan menentang pencalonan Umar karena mereka khawatir atas sifat keras dan tegasnya. Akhirnya setelah para sahabat itu bermusyawarah dengan Abu Bakar mereka pun menyepakati pencalonan Umar untuk menjadi penerus khalifah.

Dalam masalah ini At-Thabari menulis bahwa Abu Bakar naik ke atas balkon rumahnya dan berbicara dengan orang banyak yang berkerumun di bawah : “Apakah kalian menerima orang yang akan saya calonkan sebagai pengganti saya ?” tanya Abu Bakar. “Saya bersumpah bahwa saya melakukan yang terbaik dalam menentukan hal ini, dan saya telah memilih Umar bin Khattab sebagai pengganti saya. Dengarkanlah saya, dan ikutilah keinginan saya”. Mereka semua menjawab, “Kami telah mendengar khalifah dan kami semua akan mentaati tuan”.

Kemudian Abu Bakar memanggil Utsman dan membacakan naskah yang berisi penunjukkan Umar bin Khattab sebagai penggantinya. Utsman bin Affan sangat setuju dengan penunjukkan Umar sebagai khalifah, karena ia seorang yang tegas dan bijaksana. Abu Bakar meninggal dunia pada hari Senin tanggal 23 Agustus 624 M. Dalam usia 63 tahun. Shalat jenazah dipimpin oleh Umar bin Khattab, dan dimakamkan di rumah aisyah di samping makam Nabi Muhammad SAW. Masa kekhalifahannya lebih kurang 2 tahun 3 bulan 11 hari.

Dengan meninggalnya Abu Bakar, maka pemerintahan dipegang oleh Umar bin Khattab. Karena ia telah ditunjuk oleh Abu Bakar dan disetujui oleh seluruh masyarakat Islam secara aklamasi, dengan tidak meninggalkan azas demokrasi Islam, yaitu musyawarah untuk menentukan siapa pengganti Abu Bakar sebagai khalifah rasyidah.

Akhirnya Umar diangkat sebagai pengganti Abu Bakar, dimana kebijaksanaan Abu Bakar ini segera diikuti dengan beramai-ramai para sahabat membai’at Umar


(31)

sebagai khalifah. Umar bin Khattab menyebut dirinya sebagai khalifah rasulillah (pengganti dari pengganti Rasul Muhammad) untuk memimpin masyarakat Islam sesuai dengan prinsip yang telah ditetapkan pendahulunya. Ia juga mendapat gelar Amir al Mukminin (komandan orang-orang mukmin) karena berkaitan dengan perannya dimana saat itu dihadapkan pada penaklukan-penaklukan yang dilakukan sebagai komando pasukan Islam.29

Umar bin Khattab menggantikan Abu Bakar dengan sejumlah prestasi yang gemilang, yang diantaranya usaha-usaha yang telah dicapai Abu Bakar ternyata dilanjutkan oleh Umar. Ketika itu di zamannya, gelombang pembebasan pertama terjadi. Dan ketika itu kota Damaskus jatuh pada tahun 635 M, dan setahun kemudian setelah tentara Bizantium kalah dipertempuran yarmuk, dan daerah Suriah pun jatuh ke tangan tentara Islam. Dan masih banyak lagi prestasi Umar untuk memperjuangkan Islam. Tidak hanya itu saja prestasi Umar. Tetapi Umar juga berjasa dalam menyusun dewan-dewan dalam pemerintahan, membuat mata uang emas, mendirikan baitul mal, mengangkat hakim-hakim, membentuk pasukan tentara untuk menjaga tapal batas, menciptakan tahun hijrah, mengatur perjalanan pos, dan masih banyak lagi prestasi Umar setelah diangkat menjadi khalifah.

Kehidupan Umar terkesan sangat sederhana. Setelah menjadi khalifah pun kesederhanaan itu selalu tetap terjaga. Dan ia juga seorang khalifah yang selalu memakai pakaian lusuh, memakai sepatu yang dijahit sendiri, dan ia pun rela memikul sendiri makanan untuk diberikan kepada seorang janda. Umar pun hidup tidak jauh berbeda dengan orang kebanyakan. Rumah, pakaian, makanan, dsb itu sama seperti apa yang orang-orang kebanyakan.

29

Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam Daras Sejarah Peradaban Islam, (Surabaya: Pustaka Islamika Press, 2003), h. 68.


(32)

Dalam memimpin khalifah pun terkenal merakyat. Kalaupun Umar sudah menjadi seorang pemimpin, dalam menjalankan tugas Umar tidak pernah menyuruh bawahannya untuk melihat keadaan rakyatnya. Akan tetapi, ia sering melakukan inspeksi langsung ke daerah-daerah perkampungan untuk melihat dari dekat rakyat yang dipimpinnya. Umar juga sangat tegas, adil, dan tidak pernah melihat pandang bulu untuk menegakkan hukum.

Setelah Umar menjabat sebagai khalifah ternyata Umar telah membuat kebijakan sesuai dengan ijtihadnya dalam pengambilan suatu keputusan. Apabila sahabat dapat mencapai suatu kesepakatan dalam sidang majelis terhadap suatu permasalahan, maka khalifah Umar di sini menetapkan keputusan itu berdasarkan suara bulat sebagai ijma’. Akan tetapi persoalan timbul bila perbedaan pendapat terjadi di dalam sidang majelis permusyawaratan. Karena dianggap setiap keputusan Umar itu adalah suatu tindakan yang tepat untuk kemaslahatan umat.


(33)

BAB III

SYURA SEBAGAI SISTEM PEMERINTAHAN DALAM ISLAM

A. Definisi Syura

Secara umum dapat dikatakan bahwa, kata Syura memiliki banyak pengertian dan alangkah baiknya kita mengetahui dari mana asal kata Syura itu dibentuk. Kata Syura berasal dari akar kata sya-wa-ra, syawir berarti: berkonsultasi, menasehati, memberi isyarat, petunjuk dan nasehat. Ada pula yang mengartikan Syura dengan arti menjelaskan, menyatakan, mengajukan, dan mengambil sesuatu. Kata Syura yang berasal dari bahasa Arab ini, kemudian diserap kedalam bahasa Indonesia menjadi kata musyawarah yang memiliki arti mengumpulkan dan menyimpulkan pendapat berdasarkan pandangan antar kelompok.30

Musyawarah yang terambil dari akar kata syawara menurut Quraish Shihab bermakna ‘mengeluarkan madu dari sarang lebah’. Sejalan dengan makna dasarnya yaitu madu untuk obat. Madu yang dihasilkan oleh lebah. Jadi, musyawarah seharusnya bagaikan lebah yaitu makhluk yang sangat disiplin, kerja samanya mengagumkan, di manapun hinggap tidak pernah merusak, tak mengganggu kecuali diganggu.31

Dengan demikian, secara tidak langsung, Syura berarti memilih ide-ide terbaik dengan mengumpulkan sejumlah orang yang sekiranya memiliki argumentasi, pengalaman, kecanggihan pendapat, serta syarat lain yang sekiranya bisa memberikan pendapat yang tepat dan keputusan yang benar.

30

Khamami Zada dan Arief R. Arofah, Diskursus Politik Islam (Ciputat: LSIP, 2004), h. 25-26.

31


(34)

Fazlur Rahman juga mengatakan bahwa kata Syura berasal dari kata kerja

syawara-yusyawiru yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu. Syawara adalah tasyawara bermakna berunding, saling bertukar pendapat; syawir yang artinya meminta pendapat atau musyawarah.32

Menurut Imam Syahid Hasan Al-Banna, Syura adalah suatu proses dalam mencari sebuah keputusan dan kesepakatan yang berdasarkan pada suara terbanyak dan berlandaskan pada Al-Qur’an dan as-Sunnah, dan hendaklah setiap urusan itu diserahkan pada para ahlinya demi mewujudkan suatu hasil yang maksimal dalam rangka menjaga stabilitas antara pemimpin (pemerintah) dengan rakyat.33

Syura atau musyawarah adalah menjelaskan perkara yang ada, menyatakan atau mengajukan pendapat dan akhirnya akan diambil satu keputusan. Dengan kata lain juga bisa dikatakan bahwa Syura atau musyawarah itu adalah bertukar pendapat, yang akhirnya menghasilkan suatu ide yang menghasilkan satu keputusan bersama lewat musyawarah.

Al-Qurtubi mengatakan bahwa, musyawarah adalah salah satu kaidah syarak dan ketentuan hukum yang harus ditegakkan. Maka barang siapa yang menjabat sebagai kepala Negara, tetapi ia tidak bermusyawarah dengan ahli ilmu dan agama (ulama) haruslah ia dipecat.34 Dan Ibn al-Arabi pun mengatakan, bahwa musyawarah adalah pertemuan guna membahas permasalahan; masing-masing mereka saling bermusyawarah dan mengemukakan pendapat.35

32

M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman (Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 124.

33

Abdul Hamid Al-Ghazali, Meretas Jalan Kebangkitan Islam: Peta Pemikiran Hasan Al-Banna.Penerjemah, Wahid Ahmadi, (Solo: Era Intermedia, 2001), h. 262.

34

Abdul Aziz Dahlan, dkk, (ed) Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 18.

35


(35)

Syura, atau pengambilan pendapat dalam Islam, adalah salah satu konsepsi politik di antara konsepsi-konsepsi yang akarnya menancap kuat ditengah manyarakat Islam, dan menjadi keistimewaan sistem pemerintahan Islam dari sistem-sistem pemerintahan selain Islam. Syura telah menjaga eksistensinya dalam kehidupan politik Islam, untuk mengokohkan hubungan antara penguasa dengan rakyatnya, dalam bentuk kekontinuan merujuknya penguasa kepada rakyat untuk melahirkan keputusan-keputusan politik yang menjadi kepentingan masyarakat luas, yang berangkat dari kesadaran, kematangan dan pemahaman, dan untuk menjadikan kekuasaan agung atas manusia dekat dengan pemikiran kaidah-kaidah umum bagi umat Islam.36

Secara garis besar pengertian Syura menurut penulis berdasarkan penjelasan sebelumnya adalah sebuah proses pengambilan keputusan atau perumusan dalam menyelesaikan masalah atau membentuk sebuah peraturan atau hukum yang berlandaskan pengumpulan ide-ide atau gagasan dari berbagai pihak yang saling berkaitan yang didasari tuntunan atau kaidah yang terdapat pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, demi tercapainya sebuah kesepakatan dan demi kemaslahatan bersama.

B. Landasan Syura Dalam Al-Qur’an dan Sunnah

Sejak masa awal dakwah Islam, ketika kaum Muslim di Makkah menjadi pribadi-pribadi yang tertindas dan selalu dalam kejaran musuh, al-Qur’an telah menumbuhkan dari mereka suatu masyarakat yang memiliki rasa kesetiakawanan yang sempurna. Pribadi-pribadi mereka disatukan dengan ikatan persaudaraan dan solidaritas, yaitu iman kepada Allah dan menyembahNya dengan mendirikan shalat dan gotong royong dengan tukar menukar pendapat dan menetapi Syura.

36

Mahmud Abd al-Majid al-Khalidi, Analisis Dialektik Kaidah Pokok Sistem Pemerintahan Islam (Bogor: Al Azhar Press, 2004), h. 196


(36)

Dengan demikian, Syura dijadikan salah satu dari elemen-elemen kesetiakawanan sosial. Disamping itu, Allah telah memuliakan Syura dengan menjadikannya sebagai nama dari salah satu surat dalam Al-Qur’an.37

Al-Qur’an merupakan suatu landasan yang berisi petunjuk dan bimbingan etik serta moral dalam kehidupan manusia. Walaupun Al-Qur’an tidak pernah mengemukakan solusi setiap permasalahan dengan jelas dan hanya berbentuk isyarat, namun isyarat mengenai petunjuk bernegara dan pemerintahanlah yang memiliki dasar fundamental dalam Al-Qur’an. Isyarat tersebut dapat dilihat dari terdapatnya aturan yang mewajibkan untuk bermusyawarah didalam Al-Qur’an. Karena musyawarah merupakan salah satu nilai etika politik yang konstitusional dalam kehidupan bernegara Islam dan termasuk kedalam pembahasan Negara, maka pembahasan tentang prinsip Syura pun terdapat dalam Al-Qur’an.38

Ada tiga ayat dalam Al-Qur’an yang berisi anjuran untuk melakukan musyawarah dalam mencapai sebuah keputusan. Walaupun ketiga ayat tersebut terdiri dari latar belakang yang berbeda.

Ayat pertama yaitu pada surah Asy-Syura ayat 38 yang berbunyi:

!"# !$%&

'(

)

*+ ,

-.

/1

23

456 /)

7 ,

8 9:

;/ <

ghj

Artinya : Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat

37

Taufiq Muhammad as-Syawi, Syura Bukan Demokrasi. Penerjemah Djamaluddin Z.s, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 65-66

38

Zul Asyri, Pelaksanaan Musyawarah Dalam Pemerintahan al-Khulafaur Rasyidin (Jakarta: Kalam Mulia, 1996), h. 12-13.


(37)

antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka.39

Ayat pertama ini menjelaskan sifat-sifat orang mukmin yaitu mereka menerima (mematuhi) perintah Tuhannya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan dalam menyelesaikan urusan mereka diselesaikan dengan cara musyawarah. Ayat kedua yaitu pada surah Ali-Imran ayat 159 yang berbunyi:

3=> ?

@A

3BC ,

DE F

G

HI/

45

HIJ-K

L9 ?

MNO=$MP

Q$?$ :)

,RM;STU

BE

@

C

4

B

?

T

;)

WCX

'( ,

M

Y=

Z [\]

^=_ ?

HI) D`

a K

?

Y!

G

#

c8=:

1$

-d

e=

fK

43)

gk=Rj

Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.40

Ayat kedua ini menjelaskan bahwa menjadikan urusan di antara kaum muslim diselesaikan dengan cara musyawarah. Dan ayat ketiga yaitu dalam surah Al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi:

39

Surah As-Syura, Ayat 38 40


(38)

_

4 l

=

l

)

DE'mk

<

2E'(

n6

j e

C

j o!$

MK

BE

3

p

,

8

cqQr <

A

Hks

#

Y!

p -

AS?t

u

2E45' )7,

2E

'

w

K

m

'AS?t

=

#

xU

4

y$ *'

zs); S

{U=:

5

'

#

xU

s,

xR'

|"

=

l

(

=

xU

}p

-u

C

~!

=

#

Y!

•,

)

a€

@

l ^

*

8=_ ?

p

,

6U

H& ?

E

•‚

ƒ

T

F

,

„ 

xM ?

"J …

3

†!$

*

8=:

‡p ,

8

ˆ

'mk† ‰

w!a

-K

n6

xM ?

/ …

-*)O!$ .

^=:

\B3y$

c

q-r)O 

-m

N1'AS?t

=

*

9:c

ˆ 43!$B

c8

";

*

8 '$ ƒ' 

}† m&

gŠhhj

Artinya : Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.41

41


(39)

Ayat ketiga ini menjelaskan bahwa masa penyusuan dua tahun, apabila suami istri ingin menyapih anak mereka atas kerelaan dan musyawarah, dengan maksud kemaslahatan anak, mereka sepakat menghentikan susuan atau menyapihnya sebelum sampai masa dua tahun, hal ini boleh saja dilakukan.

Bagi umat Islam As-Sunnah atau hadis merupakan landasan yang kedua setelah Al-Qur’an. Maksud sunnah di sini yaitu sesuatu yang bersumber dari Rasulullah SAW baik itu berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan. Sesungguhnya orang berpegang pada sirah Rasul SAW, akan menjumpai bahwa beliau melaksanakan musyawarah disebagian besar urusan kaum muslim, dalam banyak kondisi beliau meminta kepada kaum muslim untuk memberikan pendapat mereka.

Dari Abi Hurairah ra, ia berkata:

“ Saya tidak melihat seorangpun yang lebih banyak musyawarahnya daripada Rasul SAW terhadap para sahabatnya”42

Rasulullah SAW bersabda yang artinya:

“Tidaklah bermusyawarah suatu kaum melainkan mereka akan ditunjuki kepada perkara yang paling benar”.43

Rasulpun pernah mengatakan kembali:

!ﻥ

#

$ %

!& '

&()

“Apabila salah seorang kamu meminta nasehat kepada saudaranya, maka hendaklah ia memberikan petunjuk kepadanya”44

42

Khalidi, Analisis Dialektik Kaidah Pokok Sistem Pemerintahan Islam, h. 207 43


(40)

Hadits di atas menerangkan dan menyerukan betapa pentingnya bermusyawarah atau menolong seseorang dalam menyelesaikan berbagai macam persoalan, baik tentang persoalan dunia maupun persoalan akhirat. Karena dengan cara bermusyawarah dapat memudahkan seseorang untuk keluar dari permasalahan yang terdapat pada dirinya.

C. Karakteristik Syura Dalam Islam

Syura merupakan konsep politik yang tidak mengharuskan pengambilan keputusan terikat dengannya. Pendapat majelis Syura pun sekedar bersifat konsultatif, karenanya menjadi relatif dan tidak mengikat sesuai keinginan penguasa. Kewajiban seorang penguasa hanya dalam hal melaksanakan musyawarah, bukan mengambil pendapat mereka. Tanggung jawab terhadap keputusan yang diambilpun dipikul penguasa untuk melaksanakan hasil keputusan. Selain itu, Syura tidak mengenal perolehan pendapat mayoritas, seperti dikenal dalam konsep demokrasi, dan tidak memberi batas mengenai kuantitas. Syura juga tidak mengenal rumusan yang baku. Adakalanya pemimpin (penguasa) mengambil sebagian pendapat majelis Syura, keseluruhan atau satu pendapat dari sekian banyak pendapat yang diketengahkan majelis Syura.45

Tetapi karakteristik ketetapan yang berlaku setelah jelas bagi mayoritas bahwa dialah yang paling dekat kepada kebenaran dan keadilan setelah diadakan dialog dan tukar pendapat bebas adalah bahwa ketetapan itu hanya merupakan ketetapan yang nisbi, tidak qaht’i. Artinya, pendapat-pendapat yang telah dikemukakan dan

44

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Lihat Ibnu Majah juz II, Ditahqiq oleh Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h.1233

45


(41)

didiskusikan tidak dihilangkan secara total, bahkan ada kemungkinan diangkat kembali pada kesempatan lain, tempat lain, masyarakat lain, ataupun karena ada kondisi-kondisi yang berlainan. Ini merupakan perkara yang dibolehkan dalam Islam.46

Ciri-ciri atau karakter Syura sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa Syura dalam Islam merupakan sebuah bentuk pengambilan keputusan yang bersifat tidak mengikat, tidak di dasari pada sebuah keputusan yang diambil berdasarkan suara mayoritas dan tidak terbatas pada kuantitas saja serta Syura tidak mengenal rumusan baku, sehingga keputusan yang diambil bisa diterima oleh semua pihak yang bermusyawarah. Akan tetapi keputusan yang diambil dalam Syura adalah sebuah ketetapan yang paling mendekati kebenaran, walaupun tidak menutup kemungkinan ide atau gagasan yang tidak menjadi ketetapan pada Syura di lain waktu bisa digunakan, tergantung pada situasi dan kondisi, karena dalam hukum Islam hal itu dibolehkan.

D. Prinsip-prinsip Syura Dalam Pemerintahan

Musyawarah akan membuahkan hasil yang diharapkan secara optimal, valid dan dapat dipertanggung jawabkan apabila setiap peserta menjunjung tinggi, menghormati, dan menjaga prinsip-prinsip dasar dalam bermusyawarah. Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah persamaan dalam hak dan kewajiban, kebebasan dan keadilan.47

Prinsip yang pertama yang akan kita jelaskan yaitu prinsip persamaan dalam musyawarah. Dalam kitab suci Al-Qur’an telah menetapkan suatu prinsip bahwa Islam tidak membedakan siapapun dalam mentaati peraturan undang-undang ataupun

46

Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, h. 107-108. 47


(42)

hukum, dan tidak ada yang lebih tinggi dari yang lain. Apakah itu pemimpin, para penguasa, ataupun rakyat jelata sekalipun, tetap mempunyai kedudukan yang sama dimuka hukum.

Al-Qur’an tidak mentolerir perbedaan antara mukmin yang satu dan yang lainnya. Laki-laki atau perempuan. Selaras dengan pandangan tersebut, Al-Qur’an menetapkan prinsip Syura untuk memandu proses pengambilan keputusan masyarakat.48

Ada satu contoh dalam masyarakat Arab sebelum Islam. Setiap kabilah membanggakan ashabiyyat (kepanatikan kepada keluarga, suku, dan golongan) dan

nasab (asal keturunan) sehingga mereka terjerumus kedalam pertentangan, kekacauan politik, dan sosial. Masyarakat mereka yang berdasarkan ashabiyyat itu tidak mengenal adanya persamaan antara sesama manusia. Satu kabilah dengan kabilah lainnya tidak saling melindungi. Satu kabilah adalah musuh kabilah yang lain yang harus dilenyapkan, karena setiap kabilah menganggap dirinya lebih unggul dari kabilah lain. Setiap kabilah sibuk dengan urusannya sendiri, tanpa ada kepedulian sosial terhadap kabilah lain.49

Contoh tersebut diatas sungguh tidak manusiawi. Manusia dihadapan hukum ataupun keadilan adalah sama. Maupun itu bisa dilihat dari hak-hak pribadi ataupun sipil. Islam juga tidak mengakui secara mutlak apapun bentuk pengistimewaan di antara manusia yang bisa dilihat dalam hak, ras, kesukuan, ataupun warna kulit.

Implementasi prinsip persamaan dalam Islam ini, menurut Artani Hasbi pada dasarnya bertujuan agar setiap orang atau kelompok dan golongan menemukan harkat dan martabat kemanusiaannya dan dapat mengembangkan prestasinya dengan wajar

48

Mumtaz Ahmad, Masalah-Masalah Teori Politik Islam. Penerjemah, Ena Hadi, (Bandung: Mizan, 1993), h. 122

49

Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah Ditinjau Dari Pandangan Al-Qur’an, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), h. 149


(43)

dan layak. Prinsip persamaan ini juga akan menimbulkan sifat saling tolong menolong dan sifat kepedulian sosial dalam ruang lingkup yang luas.50

Prinsip yang kedua yaitu prinsip keadilan. Di antara nilai-nilai kemanusiaan mendasar yang dibawa oleh Islam dan dijadikannya sebagai pilar kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat adalah “keadilan”. Yang dimaksud dengan keadilan adalah memberikan kepada semua yang berhak akan haknya, baik pemilik hak itu sebagai individu atau kelompok, atau berbentuk sesuatu, dan bernilai, tanpa melebihi atau mengurangi, sehingga tidak sampai mengurangi haknya dan tidak pula menyelewengkan atau menzhalimi hak orang lain.51

Prinsip keadilan ini mendapatkan posisi dalam piagam Madinah dan menjadi salah satu sistem perundang-undangan Negara Madinah. Semua warga Negara, baik muslim maupun non muslim diperlakukan secara adil dengan memperoleh hak perlindungan dan hak persamaan dalam kehidupan sosial dan politik. Artinya, sebagai sesama manusia mendapat hak yang sama untuk mendapat keadilan.52

Jadi, keadilan itu adalah memberikan sesuatu kepada setiap anggota masyarakat sesuai dengan haknya yang harus diperoleh tanpa diminta, dan itupun harus adil dan tidak memihak kesalah satu pihak, mengetahui hak dan kewajiban, jujur, mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, serta tepat menurut peraturan yang sudah ditetapkan.

Persoalan keadilan merupakan salah satu persoalan pokok yang disadari umat manusi, semenjak mereka mulai berfikir. Dari persoalan yang sederhana dalam

50

Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi, h. 37 51

Yusuf Al-Qardhawy, Anatomi Masyarakat Islam. Penerjemah, Setiawan Budi Utomo, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999), h. 128

52


(44)

masyarakat, sampai menginjak pada pola kehidupan politik bernegara dalam suatu pemerintahan.53

Prinsip ini tidak disebut secara tegas oleh piagam Madinah. Tetapi bila di pahami salah satu pasalnya, yakni pasal 17 telah dikutip, yang menyatakan bahwa bila orang mukmin hendak mengadakan perdamaian harus ada dasar persamaan dan adil di antara mereka, mengandung konotasi bahwa untuk mengadakan perdamaian itu harus disepakati dan diterima bersama.54

Tanpa musyawarah atau Syura persamaan atau adil itu mustahil dapat dipenuhi, karena didalam Musyawarah semua peserta memiliki persamaan hak untuk mendapatkan kesempatan secara adil untuk mengungkapkan pendapat dan pandangan masing-masing terhadap masalah yang dirundingkan.55

Prinsip yang ketiga yaitu prinsip kebebasan. Di antara nilai-nilai kemanusiaan yang juga sangat diperhatikan oleh Islam adalah “kebebasan” yang dengannya dapat menyelamatkan manusia dari segala bentuk tekanan, intimidasi, kediktatoran dan penjajahan. Kebebasan di sini meliputi: kebebasan beragama, kebebasan berfikir, kebebasan berpolitik, kebebasan sipil dan segala bentuk kebebasan yang hakiki.56

Kata bebas di sini sering sekali disalah gunakan. Sebab, bebas sesungguhnya bukan berarti lepas dari segala keterikatan. Justru sebaliknya, bebas di sini selalu mengandalkan keterikatan oleh norma-norma. Begitu juga kebebasan dalam Islam bukanlah kebebasan yang sebebas-bebasnya, melainkan kebebasan yang terikat oleh ikatan-ikatan syar’i.

53

Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi, h. 38. 54

Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan, h. 208. 55

Ibid., h. 208-209. 56


(45)

Dan kebebasan dalam sosial politik biasanya disebut dengan “kemerdekaan”. Kebebasan atau kemerdekaan yang menjadi substansi Syura adalah kebebasan dan kemerdekaan dalam masyarakat atau dalam kelompok.57

Jika diperhatikan, ketetapan Piagam Madinah yang tidak eksplisit tentang pentingnya musyawarah dan postulasi historis tentang praktek Nabi melaksanakan musyawarah. Beliau tidak memberi petunjuk mengenai pola dan bentuknya yang tertentu, dan jumlah peserta musyawarah tidak tetap, terkadang beliau hanya bermusyawarah atau meminta pendapat dengan sahabat-sahabatnya, dan terkadang hanya meminta pendapat dari salah seorang di antara mereka. Bahkan dalam pengambilan keputusanpun terkadang beliau mengikuti pendapat sahabat, baik pandapat kelompok mayoritas maupun kelompok minoritas.

Artinya, mereka mempunyai kebebasan untuk menentukan bentuk dan sistem musyawarah serta mekanismenya disesuaikan dengan tuntutan zaman dan tempat serta kebutuhan mereka. Yang penting dalam pelaksanaan musyawarah itu dan prosedur pengambilan keputusannya, mereka tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip ajaran Islam, yaitu kebebasan, keadilan, dan persamaan dalam berbicara dalam mengemukakan pendapat.58

Prinsip-prinsip Syura dalam pemerintahan meliputi aspek persamaan dalam hak dan kewajiban, kebebasan dan keadilan, karena dalam Islam seperti yang tertuang dalam Al-Qur’an diatur bahwa tidak ada perbedaan di antara manusia, baik muslim maupun non muslim, antara laki-laki dan perempuan dan antara orang miskin atau rakyat jelata sekalipun, dan tidak dibedakan pula berdasarkan warna kulit atau dibedakan berdasarkan suku. Karena itu semuanya dianggap sama di mata hukum.

57

Ibid., h.46-47 58


(46)

Dalam arti kata di dalam Syura atau hukum Islam sangat menjunjung tinggi

supremasi hukum. Sehingga segala yang diputuskan atau ditetapkan dalam Syura dapat bersifat adil. Karena tujuan bermusyawarah atau Syura adalah menetapkan keputusan yang dapat di terima oleh semua pihak dan demi kemaslahatan bersama.

E. Ijmak Sebagai Substansi Bagi Syura

Syura atau musyawarah dalam rangkaian penjelasannya selalu dihubungkan dengan pembahasan tentang ijmak. Ijmak dari bahasa Arab artinya konsensus atau kesepakatan. Dalam istilah ahli ushul fiqh adalah kesepakatan para imam mujtahid dikalangan umat Islam tentang hukum Islam pada suatu masa pasca Rasulullah SAW wafat. Menurut kebanyakan ulama ushul fiqh, ijmak dipandang sebagai salah satu sumber Islam sesudah Al-Qur’an dan hadis.59

Di samping adanya kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah, kaum muslim pada setiap masa telah bersepakat mengenai wajibnya syura, kendati terjadi berbagai penyelewengan yang menyebabkan penghapusan baginya dalam memilih para penguasa. Menurut Taufiq Asyawi yang dimaksud dengan ijmak adalah bentuk yang sempurna darinya, yaitu ijmak yang komprehensip bagi umat atau suatu hukum syara yang disepakati oleh seluruh anggota. Dan bisa dikatakan juga bahwa ijmak itu adalah kesepakatan umat atas suatu hukum syara.60

Satu contoh, para sahabat ra telah sepakat mengenai kewajiban mengangkat pemimpin umum. Ijmak ini telah banyak dinukil oleh para ulama, di antaranya oleh al-Mawardi yang mengatakan: “ imamah dimaksudkan untuk meneruskan misi kenabian dalam memelihara agama dan menangani urusan duniawi. Memberikan akad (ikatan) imamah kepada orang yang melaksanakannya wajib menurut ijmak;

59

Hasbi, Musyawarah Dan Demokrasi, h.24. 60


(47)

perbedaan yang ada hanyalah mengenai apakah ini wajib menurut akal atau menurut syara’. Sebab, imam melaksanakan urusan-urusan yang berhubungan dengan syari’ah.61

Dan ijmak sahabat juga sebagai salah satu sumber hukum yang banyak menonjol dalam masalah konstitusi dan undang-undang. Syura pun eksis dan gamblang tergambar dalam sistem pemerintahan pada keseluruhan masa Khulafa ‘ar-Rasyidin, bahkan hampir-hampir mereka tidak akan memutuskan suatu perkara kecuali setelah bermusyawarah, dan yang demikian itu terjadi dalam segala persoalan.62

Pemikiran tentang Ijmak ini telah berkembang sejak masa sahabat sampai masa para imam mujtahid. Sahabat Umar bin Khatab misalnya, pernah mengumpulkan para sahabat untuk bertukar pikiran. Jika mereka bersepakat atas suatu masalah tertentu, umar menjalankan politiknya; tetapi jika bersilisih atau berbeda pandangan, mereka mengkaji kembali permasalahan tersebut sampai mendapatkan kesepakatan.63

Berdasarkan hasil penjabaran di atas, dapat kita tarik sebuah pemahaman tentang diperbolehkannya syura adalah ijmak sahabat, karena ijmak merupakan salah satu dari sumber hukum dalam Islam setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah Nabi Muhammad SAW. Dan apapun yang diputuskan atau ditetapkan pada syura harus melalui kesepakatan para pihak yang sedang bermusyawarah. Pada intinya antara syura dan ijmak saling berkaitan, syura ditetapkan berdasarkan ijmak dan apa yang ditetapkan dalam syura harus berdasarkan ijmak orang yang sedang bermusyawarah.

61

Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, Penerjemah Musthalah Maufur (Jakarta: Robbani Press, 2000), h. 108

62

Khalidi, Analisis Dialektik Kaidah Pokok Sistem Pemerintahan Islam, h. 210 63


(48)

F. Komitmen Syura Terhadap Syariat

Apabila kita ingin mengetahui Syura lebih jauh, ada baiknya kita terlebih dahulu membatasi pengertian dan harus membedakannya dari apapun yang berhubungan dengan teori-teori impor agar jangan sampai menghasilkan hukum-hukum yang tidak tepat. Syura dalam arti yang sempit yaitu sarana yang mewajibkan syari’at untuk mengeluarkan ketetapan dari jamaah yang harus dipegang teguh olehnya, para pribadi, dan penguasa.

Sebelum kita menjelaskan komitmen Syura terhadap syari’at, sebaiknya kita terlebih dahulu mengetahui penjelasan Ustadz Abbas Mahmud al-Aqqad yang terlebih dahulu akan menjelaskan perbedaan antara Syura dan demokrasi. Ustadz Abbas Mahmud al-Aqqad berusaha secara sungguh-sungguh menjelaskan perbedaan substansial antara Syura dengan demokrasi Eropa, yaitu bahwa Syura ditegakkan atas dasar akidah dan syariat ilahiyah dengan penjelasan seperti berikut:

“ Sesungguhnya pendapat-pendapat seorang muslim tentang kebenaran sistem, keadilan, dan kemerdekaan itu tunduk kepada akidah ketuhanannya dan tidak mendahuluinya. Datangnya bentuk pemerintahan sedunia (pemerintahan Allah), seperti diharuskan oleh kaidahnya, merupakan teladan tertinggi dari pemerintahan yang tidak mengenal kelaliman di dalamnya dan penyelewengan dari syariat atau teladan tertinggi dari pemerintahan demokrasi sebagaimana mestinya.”

Mari kita anjurkan kepada orang yang mengatakan bahwa Syura itu sama dengan demokrasi, haruslah menambahkan sifat keislamannya seperti apa yang dilakukan oleh al-Aqqad. Karena tanpa memberikan ciri sifat ini mengakibatkan sebagian orang akan mengambil pengertian bahwa demokrasi sudah cukup tanpa


(49)

syariat. Mereka akhirnya hanya mencukupkan bahwa demokrasi atau suara mayoritas itu suatu perkara yang cukup bernilai dan dapat dianggap sah tanpa harus dibahas sampai dimana komitmennya terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah.64

Telah dijelaskan di atas bahwa antara syura dan demokrasi itu berbeda, karena syura didasari pada akidah dan syariat ilahiyah. Karena dengan dilandasi pada akidah dan syariat ilahiyah dapat menghindarkan pengambilan keputusan yang bersifat otoriter dari pemimpin atau orang yang memiliki kepentingan terhadap sebuah permasalahan. Dan pada proses penetapan dan pengambilan keputusannya pun berbeda antara syura dan demokrasi, karena dalam syura tidak mengenal perolehan pendapat mayoritas seperti yang terdapat pada demokrasi. Oleh karena itu pengambilan keputusan dalam syura terasa lebih adil, dapat diterima oleh semua pihak yang terkait dan dapat dipertanggung jawabkan oleh pemimpinnya.

G. Syura dan Demokrasi

Di awal bab ini sudah dijelaskan definisi Syura dari beberapa pendapat di antaranya seperti yang dikatakan oleh Imam Syahid Hasan Al-Banna Syura adalah suatu proses dalam mencari sebuah keputusan dan kesepakatan yang berdasarkan suara terbanyak dan berlandaskan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan hendaklah setiap urusan itu diserahkan pada para ahlinya demi mewujudkan suatu hasil yang maksimal dalam rangka menjaga stabilitas antara pemimpin (pemerintah) dengan rakyat.65

Adapun demokrasi secara etimologi berasal dari kata “Demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat, dan “Cratein” yang berarti kekuasaan atau

64

Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, h. 105-106. 65


(1)

khalifah ketiga ini dapat dikategorikan sebagai musyawarah yang terakhir dalam pemerintahan Umar bin Khattab sekaligus ini juga merupakan awal musyawarah dari era pemerintahan Utsman bin Affan.

Pada dasarnya pada masa kepemimpinan Umar tetap melanjutkan sistem musyawarah atau syura yang sebelumnya sudah di gariskan dalam Al-Qura’an dan yang sudah ada pada masa khalifah Abu Bakar, namun tidak hanya sekedar melanjutkan saja, tapi Umar juga ikut andil dalam menyempurnakan tata cara pelaksanaannya, sehingga pada masa kepemimpinannya syura merupakan sebuah pencapaian yang gemilang dari masa pemerintahan khalifah Umar, karena beragam masalah atau persoalan sudah banyak yang diselesaikan dengan jalan bermusyawarah atau dengan cara syura.


(2)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada pemaparan bab-bab sebelumnya, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa, proses pengangkatan Umar bin Khattab sebagai khalifah di awali ketika Abu Bakar merasa bahwa ajalnya telah dekat, Abu Bakar merasa harus memilih pengganti dirinya sebagai khalifah. Setelah bermusyawarah dengan para sahabat atau orang-orang yang memiliki kualifikasi permusyawaratan (ahlul halli wal ‘aqdi) akhirnya Abu Bakar memilih Umar bin Khattab sebagai penggganti dirinya menjadi khalifah. Pada waktu itu sebagian sahabat menentang pencalonan Umar karena mereka khawatir atas sifat keras dan tegasnya. Namun setelah para sahabat itu bermusyawarah dengan Abu Bakar mereka pun akhirnya menyepakati pencalonan Umar untuk menjadi pengganti Abu Bakar. Kemudian Umar diangkat sebagai penerus Abu Bakar disertai para sahabat untuk membai’at Umar sebagai khalifah.

Umar diangkat menjadi khalifah melalui musyarawah yang sekaligus menunjukkan bahwa masa pemerintahan Abu Bakar telah berakhir. Umar berupaya menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah dan memperlihatkan komitmennya terhadap syura. sekalipun ia telah mempunyai kekuasaan, namun Umar tidak ingin mengandalkan segala tindakannya kepada faktor kekuasaan. Akan tetapi sebagai kepala Negara Umar merasa bertanggung jawab dan siap menerima pendapat melalui berbagai aktivitas musyawarah yang dilaksanakan.

Musyawarah telah ada sejak masa pemerintahan Abu Bakar dan terus berlanjut hingga masa pemerintahan Umar bin Khattab, dan dari sinilah Umar bin


(3)

Khattab membangun musyawarah yang merupakan pengembangan dari dasar-dasar prinsip musyawarah yang telah ada dan di bangun dari masa kepemimpinan sebelumnya. Dan oleh Umar bin Khattab prinsip-prinsip ini diperkuat menjadi suatu institusi untuk menghargai pendapat umat. Umar memberikan hak dan kesempatan yang lebih luas untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Hal ini diwujudkan dengan dibentuknya suatu lembaga musyawarah (Majlis Syura) dalam pemerintahan. Pembentukan lembaga ini menunjukkan suatu perkembangan yang luar biasa pada saat itu. Karena suatu hasil keputusan diangkat dari lembaga tersebut.

Umar bin Khattab sangat menghormati para sahabat dan memanfaatkan kreatifitas pemikiran dan pendapat mereka, karena para sahabat tersebut menurut Umar merupakan peserta musyawarah yang memiliki hak utama untuk mengungkapkan pendapat secara jelas.

Selanjutnya dapat dilihat nilai-nilai syura yang terdapat pada masa pemerintahan Umar bin Khatab meliputi Persamaan dan kebebasan, Penegakkan keadilan/hukum. Umar mengatakan bahwa di dalam bermusyawarah itu tidak ada perbedaan di depan hukum. Baik itu dilihat dari suku, miskin atau kaya, pejabat atau pegawai biasa, itu sama dimata hukum. Dan Umar juga memberi kebebasan kepada rakyatnya untuk menegur hal apapun kepada kepala Negara nya apabila melanggar peraturan yang subah ditetapkan. Prioritas musyawarah dalam hal-hal yang menyangkut orang banyak. Karena kebijaksanaan seorang pemimpin yang menyangkut rakyat itu harus mengikuti prinsip kemaslahatan, dan ini merupakan suatu kaidah yang sudah disepakati oleh para imam.

B. Saran

Pemimpin merupakan tokoh penting dalam kehidupan bermasyarakat, baik dan tidaknya sebuah pemerintahan ditentukan oleh sikap atau perilaku yang dilakukan


(4)

oleh pemimpinnya, maju atau mundurnya sebuah Negara juga tergantung pada pemimpinnya. Karena seorang pemimpin yang adil dan bijaksana merupakan sumber dari sebuah pengelolaan pemerintahan dan Negara yang baik. Hal itu dapat tercermin pada seorang pemimpin yang menerapkan sistem syura pada pengambilan keputusannya di dalam pemerintahan.

Syura bukan hanya kata tanpa makna, namun syura merupakan sebuah kata yang sarat akan makna yang berartikan suatu cara dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu jangan hanya memaknai kata syura pada tataran kehidupan bernegara dan kehidupan berpolitik saja, walaupun kita tidak dapat terlepas dari seputar permasalahan tersebut, namun juga harus dipahami bahwa syura merupakan salah satu perintah yang ada di dalam Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an bersifat global dan universal maka suatu keharusanlah untuk setiap umat Islam melaksanakan perintah tersebut dalam menghadapi berbagai permasalahan.

Syura pada saat ini masih bisa dilakukan, karena dalam syura terdapat nilai-nilai keadilan dan dapat menyelesaikan beragam masalah. Akan tetapi pada saat ini sudah banyak orang atau pihak yang meninggalkan syura, khususnya di Negara kita Indonesia, kebanyakan orang lebih menerapkan sistem demokrasi dari Barat dan lebih mengutamakan suara mayoritas dalam menyelesaikan masalah, baik masalah tentang kehidupan bernegara dan bermasyarakat, contohnya dalam mencari pemimpin.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abu Fariz, Muhammad Abdul Qadir. Sistem Politik Islam, Penerjemah Musthalah Maufur Jakarta: Robbani Press, 2000.

Ahmad, Mumtaz. Masalah-Masalah Teori Politik Islam. Penerjemah, Ena Hadi, Bandung: Mizan, 1993.

Al Akkad, Abbas Mahmoud. Kecemerlangan Khalifah Umar Bin Khattab, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.

Qaradhawi, Yusuf. Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik: Bantahan Tuntas Terhadap Sekularisme dan Liberalisme. Penerjemah Khoirul Amru Harahap Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2008.

Ghazali, Abdul Hamid. Meretas Jalan Kebangkitan Islam: Peta Pemikiran Hasan Al-Banna. Penerjemah Wahid Ahmadi Solo: Era Intermedia, 2001.

Khalidi, Mahmud Abd al-Majid. Analisis Dialektik Kaidah Pokok Sistem Pemerintahan Islam Bogor: Al Azhar Press, 2004.

Qardhawy, Yusuf. Anatomi Masyarakat Islam. Penerjemah, Setiawan Budi Utomo, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999.

Amiruddin, M. Hasbi. Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman Yogyakarta: UII Press, 2000.

Anwar, Hamdani. “Masa Al-Khulafa ar-Rasyidun,” dalam M.Din Syamsuddin, at all, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, vol.II Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.

As-Syawi, Taufiq Muhammad. Syura Bukan Demokrasi. Penerjemah Djamaluddin Z.s, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

Asyri, Zul. Pelaksanaan Musyawarah Dalam Pemerintahan al-Khulafaur Rasyidin Jakarta: Kalam Mulia, 1996.

Dahlan, Abdul Aziz, dkk, (ed) Ensiklopedi Islam Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.

Fadlali, Ahmad dkk, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Pustaka Asatruss, 2004. Haekal, Muhammad Husain. Umar bin Khattab. Penerjemah Ali Audah Bogor:

Pustaka Lintera Antar Nusa, 2002.


(6)

Hasbi,Artani. Musyawarah dan Demokrasi Ciputat: Gaya Media Pratama, 2001. Murad, Mustafa. Kisah Hidup Umar Bin Khattab, Jakarta: Zaman, 2009.

Nuruddin, Amiur. “Ijtihad Umar bin Al-Khatab: Studi Tentang Perubahan Hukum dalam Islam,” Tsaqafah Vol. IV, no 1, Zulqa’dah 1428.

Penyusun Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi islam, vol v Jakarta: PT. Ichtiar baru Van Hoeve, 1994.

Pulungan, Suyuthi Prinsip-Prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah Ditinjau Dari Pandangan Al-Qur’an, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994.

Rais, M. Dhiauddin. Teori Politik Islam, Penerjemah Abdul Hayyie Jakarta: Gema Insani Press, 2001.

Rais, Muhammad Dhiauddin. Teori Politik Islam, Penerjemah, Abdul Hayyi al-Kattani, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.

Saefuddin, Didin. Sejarah Peradaban Islam Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007.

Sucipto, Hery. Ensiklopedi Tokoh Islam dari Abu Bakar hingga Nasr dan Qardhawi, Jakarta: Hikmah, 2003.

Syadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran Jakarta: UI-Press, 1993.

Syafi’i, Inu Kencana. Pengantar Ilmu Pemerintahan, Bandung: PT Refika Aditama, 2005.

Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam Surabaya: Pustaka Islamika press, 2003.