essay pemenang ewc ois fisip ui 2013 tingkat nasional

KOMPILASI ESAI JUARA EWC
OLIMPIADE ILMU SOSIAL
KE-10

Dokumen ini berisi 3 esai terbaik pemenang lomba Essay
Writing Competiion (EWC) pada Olimpiade Ilmu Sosial ke-10.
Kami membagikan ini dengan maksud agar calon peserta
Olimpiade Ilmu Sosial ke-11 dapat melihat bagaimana bentuk
esai yang kami harapkan dan dapat menjadi acuan dalam
membuatnya.

Disusun oleh
Panitia Olimpiade
Ilmu Sosial ke-11

“Raising Youth Understanding on
Multiculturalism”

MASYARAKAT MULTIKULTURAL
DI KOTA IMIGRAN


Disusun Oleh :
- A’adilah Safitri Mulya
- Annisa Rizky Nursanti
- Nadya Rahmini Nurlina Sari
SMA INSAN CENDEKIA AL MUSLIM
Jl. RAYA SETU Kp. BAHAGIA TAMBUN

“Lain padang, lain ilalang. Lain lubuk, lain ikannya.” Ungkapan peribahasa
ini sangat tepat untuk menggambarkan keadaan masyarakat Indonesia yang hidup
dalam masyarakat multikultural, dan memiliki keanekaragaman budaya. Masyarakat
Indonesia sejak dahulu sudah hidup menyatu dengan adat istiadat yang berbeda-beda.
Hal ini menjadi ciri khas yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa
lainnya.
Mengingat di Indonesia, khususnya Jakarta, yang lebih identik memfokuskan
pada modernisasi fisik dan ekonomi maka pertanyaan yang akan timbul adalah :
Permasalahan apa saja yang akan timbul jika terdapat keberagaman kebudayaan di
kota imigran (Jakarta)?
Jakarta adalah kota metropolitan dengan jumlah penduduk kurang lebih 8 juta
jiwa yang keseluruhannya berasal dari beragam etnik, suku, dan agama yang berbedabeda. Di Jakarta sendiri lebih memfokuskan pada tingkat modernisasi fisik dan
perekonomian. Padahal di beberapa negara, kota modern justru memperlihatkan sisi

kultural yang kemudian menjadi identitas kota. Dampak positif dari multicultural ini
adalah kekayaan akan budaya yang ada sekaligus kombinasi budaya yang tercipta.
Hal ini sebagaimana terlihat dari penyataan bahwa Multikultural berasal dari
bahasa Inggris, multikultural. Multi artinya banyak, Cultural artinya budaya, jadi
multicultural adalah banyak budaya. Di dalam kehidupan masyarakat multikultural
ada bermacam-macam kebudayaan yang hidup bersama dan saling berdampingan
serta saling berinteraksi dalam suatu masyarakat.
Dengan adanya keanekaragaman kebudayaan tersebut diperlukan adanya
sikap saling menghormati, saling menyesuaikan diri antara unsur-unsur kebudayaan
yang satu dan unsur kebudayaan yang lain dengan tetap berpegang pada nilai, norma,
dan kepribadian bangsa sehingga kehidupan masyarakat akan tetap seimbang, tentram
dan damai.

Dengan adanya keanekaragaman unsur-unsur budaya tersebut, pastilah akan
terjadi kontak, baik langsung maupun tidak langsung antara unsur-unsur budaya yang
satu dengan unsur-unsur budaya yang lainnya. Suku-suku bangsa merupakan sumber
dari lahirnya keanekaragaman kebudayaan Indonesia karena kebudayaan antara suku
bangsa yang satu dan suku bangsa yang lainnya tidak sama. Dengan adanya
hubungan atau kontak tadi menyebabkan unsur-unsur kebudayaan daerah dapat
berubah.

Multikulturalisme menuntut masyarakat untuk hidup penuh toleransi, saling
pengertian antarbudaya dan antarbangsa dalam membina suatu dunia baru.
Multikulturalisme dapat menyumbangkan rasa cinta terhadap sesama dan sebagai alat
untuk membina dunia yang aman dan sejahtera.
Dalam multikuturalisme, bangsa-bangsa duduk bersama, saling menghargai,
saling membantu, dan tidak memandang apakah suatu kelompok masyarakat
merupakan kelompok mayoritas atau minoritas. Pemahaman manusia dalam
memahami multikulturalisme akan memberikan peranan yang besar terhadap
pembangunan dunia yang lebih baik.
Jakarta sebagai ibukota Negara Indonesia, merupakan kota imigran yang
mayoritas penduduknya adalah pendatang. Mereka datang dari berbagai macam suku
bangsa, kebudayaan, adat, dan lain – lain.
Keberagaman aneka budaya tersebut seharusnya tidak menjadikan sebuah
(atau mungkin beberapa) masalah di masyarakat. Seharusnya dengan perbedaan itu
mereka semua bisa saling melengkapi, karena di era modern seperti ini masalah
tentang keanekaragaman budaya disikapi sebagai suatu keunikan.
Salah satu sifat masyarakat multikultural adalah sulit mencapai suatu
kesepakatan serta sering terjadi konflik antarkelompok yang satu dengan yang lain,
karena masing-masing orang mempunyai pandangan yang berbeda terhadap suatu hal.
Kita ambil saja contoh dampak buruk dari keanekaragaman budaya adalah masalah


pertentangan sosial antarsuku. Masalah SARA merupakan masalah yang paling
“sensitif” yang tercakup di masyarakat karena menyangkut ‘harga diri’ seseorang
terhadap suku bangsanya. Contohnya, kasus pembunuhan Endid Mawardi (43) yang
merupakan anggota ormas dari Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi)1. Berawal
dari masalah sepele, kedua belah pihak terlibat cekcok karena penyerempetan mobil
taksi dengan motor, dan terjadi pengeroyokan dan menyebabkan korban meninggal di
rumah sakit. Karena tidak terima, sejumlah anggota dari ormas Forkabi kemudian
datang menyerang pemukiman warga Madura yang diduga melakukan pengeroyokan
terhadap korban.
Contoh lain yang terkait dan merupakan perpanjangan dari permasalahan
multikultural di atas adalah masalah persaingan pekerjaan. Sebagai masyarakat
imigran, masyarakat mempunyai keturunan suku bangsa yang berbeda-beda, yang
mempunyai keunggulan di tiap bidang yang berbeda-beda pula. Contoh pada
masyarakat keturunan Minang, banyak dari mereka unggul dalam usaha restoran dan
perdagangan, suku Tionghoa unggul dalam bidang elektronik, suku Jawa unggul
dalam bidang birokrasi, dan warga keturunan India unggul di bidang tekstil dan
pakaian. Belakangan hal tersebut perlahan mulai berakibat pada lahan pekerjaan
penduduk lokal yang tinggal sedari dulu di Jakarta, yang lama-kelamaan tersisih
dengan keunggulan-keunggulan yang dimiliki penduduk imigran.

Akibat ketidakmampuan untuk bersaing, maka berdampak pada ‘tergusur’
nya penduduk asli Jakarta dari wilayah yang ironisnya merupakan daerah mereka
sendiri akibat ketatnya persaingan kerja. Mereka yang tinggal di wilayah pinggiran
Jakarta pada umumnya hidup dan bertahan di lingkungan kumuh serta mengeluti
pekerjaan yang mengandalkan non-skill atau tanpa keahlian yang spesifik. Dengan
tidak mengandalkan non-skill

tersebut, daya survival (kemampuan bertahan)

masyarakat di kota terbesar di Indonesia ini menjadi lebih tipis.
Adira Budiasih, "Inilah Kronologi Bentrokan Betawi-Madura",
http://www.inilah.com/read/detail/566541/inilah-kronologi-bentrokan-betawi-madura/
(Mei 31, 2010)
1

Untuk mengatasi hal – hal tersebut, di bawah ini terdapat beberapa alternatif
pemecahan masalah tersebut, diantaranya adalah:
a. Mengembangkan nilai budaya musyawarah
Dalam keanekaragaman budaya pasti ada keanekaragaman kepentingan.
Adanya keanekaragaman kepentingan perlu dibicarakan bersama, saling

berdialog antara satu dan yang lain sehingga tercapai sebuah keputusan
bersama yang dapat melegakan kedua belah pihak. Dengan musyawarah
segala permasalahan

dapat

diselesaikan

secara bersama

dan

untuk

kepentingan bersama, sehingga masing – masing suku bangsa akan dapat
saling menerima serta melaksanakan keputusan dengan itikad baik dan penuh
tanggung jawab.
b. Menanamkan pendidikan multikultural
Dengan mengenyam pendidikan multikultural masyarakat akan belajar
bagaimana menghadapi perbedaan agama, suku, ras, agama dengan rasa

toleransi baik melalui normal, moral, dan lain – lain.

Dari masalah yang telah dijelaskan dan bukti-bukti yang telah ada kita bisa
mengambil kesimpulan serta bisa belajar dari pengalaman yang pernah dihadapi oleh
bangsa kita bahwa usaha untuk mempersatukan masyarakat multikultural bukanlah
sesuatu hal yang mudah, mengingat dalam banyak hal akan banyak perbedaan baik di
pendapat maupun dalam nilai- nilai kehidupan. Hal ini tidak terlepas dari pemahaman
akan masyarakat multikultural itu sendiri yakni masyarakat Indonesia yang mengakui
adanya beragam keunikan budaya di Indonesia, masyarakat yang mengakui adanya
perbedaan, tetapi tidak mengekang kelompok lain. Dari pemahaman tersebut dapat di
simpulkan bahwa multikultural di Indonesia memang banyak, tetapi tidak adanya
perbedaan hak yang membatasi kesempatan seseorang untuk mendapat haknya.

Untuk mewujudkan masyarakat multikultural yang hidup dalam suasana
harmonis, maka diperlukan beberapa cara untuk memecahkan masalah yang sering
timbul sebagai akibat perbedaan budaya. Beberapa permasalahan yang ditimbulkan
dari adanya perbedaan multikultural sudah kami jabarkan pada halaman sebelumnya.
Diantaranya permasalahan SARA dan juga persaingan pekerjaan yang merupakan
perpanjangan dari permasalahan tersebut. Untuk mengatasi permasalahan tersebut
dapat ditempuh dengan cara : mengembangkan nilai budaya musyawarah sehingga

segala keanekaragaman kepentingan perlu dibicarakan bersama, lalu dengan cara
menanamkan pendidikan multikultural sehingga kita belajar bagaimana menghadapi
perbedaan agama, suku, ras, agama dengan rasa toleransi baik melalui norma, moral,
dan lain – lain, yang terakhir dengan cara
alternatif pemecahan tersebut diharapkan
harmonis di negeri kita.

akomodasi atau penengah. Dengan
akan tercipta suatu masyarakat yang

Multikuturalisme
SEKOLAH BERASRAMA SEBAGAI SARANA
MENINGKATKAN PEMAHAMAN KAUM MUDA PADA
KEANEKARAGAMAN BUDAYA

Nama Kelompok:
Ilham Brawerie
Sultan Agung
Axl
SMA DWIWARNA (BOARDING SCHOOL)


SEKOLAH BERASRAMA SEBAGAI SARANA MENINGKATKAN
PEMAHAMAN KAUM MUDA PADA KEANEKARAGAMAN BUDAYA
Karakteristik suatu masyarakat yang ada sejak lama dan diturunkan terus
menerus akan memebentuk suatu kebudayaan. Menurut Bapak Ki Hajar Dewantara,
“Kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap
dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup
manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran didalam hidup dan
penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya
bersifat tertib dan damai.”. Pendapat Bapak Ki Hajar Dewantara ini salah satu
maknanya menyatakan bahwa kebudayaan hanya akan ada apabila dapat bertahan
dari pengaruh zaman dan alam.
Kebudayaan masyarakat yang satu dengan yang lainnya tidak selalu sama, hal
ini dikarenakan faktor - faktor yang mengharuskan suatu masyarakat membuat
kebudayaan yang berbeda dengan masyarak lain. Sebagai contoh yaitu negara kita
tercinta Indonesia, Indonesia merupakan negara kepulauan yang berarti memiliki
banyak pulau. Pulau-pulau ini tentunya terpisahkan oleh laut yang mengakibatkan
perbedaan budaya masyarakat antara pulau yang satu dengan pulau yang lain. Contoh
yang lebih sederhana yaitu di dalam pulau itu sendiri ada masyarakat yang tinggal di
daerah pegunungan dan masyarakat yang tinggal di daerah pantai, antara masyarakat

yang tinggal di daerah pegunungan dan masyarakat yang tinggal di daerah pantai
memiliki cara bertahan hidup yang berbeda atau bisa kita sebut mereka memiliki
karakteristik yang berbeda sehingga keudayaan diantara merekapun pasti berbeda.
Seperti perbedaan pada aspek-aspek lain, perbedaan pada kebudayaan juga
memiliki dampak negatif dan positif dalam kehidupan kita. Dampak negatif yang
harus kita waspadai yaitu :
1. Terjadinya perang (konflik) antar suku karena tidak adanya toleransi,
2. Adanya saling ketergantungan yang lebih rapat dan erat antarbagian
dalam organisme hidup atau antar anggota di daam masyarakat

sehingga terjadi penyatuan hubungan yang dianggap harmonis
(Integrasi),
3. Tidak adanya keserasian pada bagian-bagian suatu kesatuan organisasi
masyarakat (Disintegrasi), dan
4. Adanya paham primordialisme.
Selain itu keberagaman budaya juga memiliki dampak positifnya, beberapa
diantaranya yaitu :
1. Wawasan semakin luas,
2. Pengamalan Bhineka Tunggal Ika semakin nyata, dan
3. Toleransi semakin berkembang.

Sekolah berasrama merupakan sekolah yang memiliki sarana penginapan
yaitu asrama agar sekolah dapat mendidik peserta didiknya lebih optimal dan dalam
aspek yang lebih banyak lagi, karena siswa sepenuhnya berada dalam didikan sekolah
selama 24 jam. Dalam hal budaya, kebanyakan sekolah berasrama memiliki siswa
dari seluruh Indonesia bahkan ada yang siswanya berasal dari luar negeri, ini berarti
sekolah berasrama memiliki tingkat keberagaman budaya yang besar.
Kami mengambil contoh dari kehidupan berasrama di sekolah kami yaitu
SMA Dwiwarna (Boarding School) Bogor. SMA Dwiwarna (Boarding School)
memiliki siswa dan siswi yang berasal dari hampir seluruh Indonesia. Ada siswa yang
berasal dari Aceh, Medan, Palembang, Padang, Riau, Batam, Jambi, Banten, Jakarta,
Bogor, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lombok, Cianjur, Kalimantan, Gorontalo, Papua,
bahkan tahun ajaran kali ini, walaupun SMA Dwiwarna (Boarding School) terletak di
daerah Jawa Barat, namun kebanyakan siswa dan siswinya berasal dari daerah
Sulawesi Selatan. Seperti yang kita tahu bahwa kebudyaan orang Medan yaitu batak
yang cukup keras sangat berbanding terbalik dengan kebudayan orang Jawa yang
‘Alon-alon asal kelakon’ atau tidak menyukai kekerasan, lain lagi dengan orang
papua dan makassar yang terkesan cuek dengan orang Banten yang menurut kami
memiliki perhatian yang cukup tinggi dengan orang lain. Mengetahui tentang hal-hal
itu kebanyakan orang pasti berpikir dengan umur remaja setara dengan anak SMA

yang tentunya memiliki pengaturan emosi yang bisa dibilang rendah, anak SMA akan
lebih sulit untuk diajarkan cara bertoleransi bahkan mungkin malah menimbulkan
konflik.
Namun menurut kami, penanaman sikap toleransi tersebut lebih baik
ditanamkan pada umur remaja SMA karena pada saat itulah logika berpikir sudah
cukup berkembang dan kepolosan hati seorang manusia masih cukup terjaga untuk
memahami makna dari toleransi. SMA kami sendiri memiliki berbagai kegiatan
untuk menumbuhkan rasa toleransi dalam benak siswa dan siswinya. Kegiatan yang
menurut kami membuat rasa toleransi tumbuh diantara kami yaitu :
1. Kegiatan sehari-hari di asrama yang mengharuskan kami saling
berinteraksi antar siswa dan siswi dari berbagai daerah dan suku.
2. Berbagai acara kesiswaan dan OSIS SMA Dwiwarna
3. Salah satu yang paling mempengeruhi adalah kegiatan Dwiwarna’s
Cultural Festival yang diselenggarakan OSIS SMA Dwiwarna
Dalam kegiatan Dwiwarna’s Cultural Festival, seluruh siswa dan siswi SMA
Dwiwarna yang berasal dari seluruh Indonesia dipersilahkan untuk mempresentasikan
kebudayaan yang dimiliki oleh daerahnya masing-masing. Selain itu peserta juga
dapat menghidangkan makanan khas daerahnya, menampilkan kesenian khas, senjata
khas serta pakaian adat khas dearahnya masing-masing di stand yang telah disediakan.
Lebih serunya lagi kegiatan ini diakhiri dengan lomba makan Pem-pek yaitu makanan
khas daerah Palembang. Serangkaian kegiatan tersebut menurut kami sangat efektif
untuk menumbuhkan sikap toleransi antar siswa dan siswi, apalagi ditambah dengan
interaksi sosial antar siswa dan siswi yang pasti terjadi di asrama yang selalu
mendapat bimbingan dari pembina asrama, civitas, dan kaka kelas.
Terbukti setelah acara selesai, tidak sedikit siswa dan siswi dari daerah dan
suku yang berbeda saling memuji enaknya rasa makanan khas, keindahan kesenian
serta pakaian adat yang mereka miliki. Hal-hal kecil seperti pujian-pujian ini akan
menjadi awal toleransi yang sangat besar dan dalam konteks yang lebih rumit dengan
harapan dampak negatif dari keberagaman budaya tidak terjadi.

Dengan adanya keanekaragaman budaya, bahasa, yang ada di SMA Dwiwarna
menimbulkan dampak positif diantaranya :
1. Membuat rasa solidaritas antar kawan, kakak kelas dan adik kelas semakin
meningkat.
2. Mempererat tali persaudaraan melebihi hubungan seperti keluarga sendiri
3. Merasa senasib sepenanggungan antar kawan, merasakan saat suka dan duka jauh
dari
orang tua.

Raising Youth Understanding on Multiculturalism
SURAU MENJAWAB KERISAUAN BANGSA

Rofiatus Syar’i
Ismi Meliza Fitri
Syifa Aulia Rahmawati

SENIOR HIGH SCHOOL DAAR EL-QOLAM 1
TANGERANG

SURAU MENJAWAB KERISAUAN BANGSA
Ciri kemajuan peradaban suatu bangsa dapat dilihat saat masyarakatnya
memiliki pola pikir dan perilaku yang maju. Sebuah bangsa yang maju dan kuat
tercermin dari nilai-nilai dasar yang dijadikan pedoman hidup telah termanifestasi
dalam perilaku sehari-hari, sehingga perilaku menyimpang, gejala etnosentrisme,
diskriminasi, dan perilaku-perilaku negatif lainnya dapat dikurangi1. Berbagai
persoalan dan kerusakan yang muncul pada era globalisasi ini disebabkan dengan
penurunan moral bangsa dan etiket masyarakat yang ada di dalamnya contohnya
kasus kekerasan antar kelompok, ketidakadilan sosial dan hukum, hingga budaya
korup penguasa yang makin menggurita.
Degradasi moral dan etika yang dihadapi bangsa Indonesia, membutuhkan
peran aktif pelajar sebagai penerus estafet bangsa, mereka harus dibentuk menjadi
remaja yang siap dengan modernisasi, tangguh dalam menghadapi arus globalisasi
tanpa kehilangan jati dirinya sebagai warga negara Indonesia. Tidak menjadi
remaja yang hanya sibuk dengan urusan pribadi, tidak peka dengan lingkungannya
dan lebih suka melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama, bahkan hal-hal yang
tidak pantas dilakukan oleh para pelajar contohnya tawuran antar sekolah, dan
mahasiswa yang seharusnya bertindak sebagai penjaga nilai-nilai moral dan etika
bangsa, ternyata terjebak dalam budaya hedonis dan westernis yang tak jarang
terjerumus pada pergaulan bebas. Salah satu lembaga sosial masyarakat yang
berperan dalam membentuk kepribadian remaja yang tangguh, cerdas IMTAQ dan
IPTEK adalah pondok pesantren (surau).
Secara harfiah surau adalah tempat beribadah, mengaji dan aktifitas
pendidikan keagamaan lainnya. Dalam tulisan ini pondok pesantren dianalogikan
sebagai sebuah surau yang menjadi tempat menempa jiwa, mental, kepribadian
remaja serta gudang ilmu pengetahuan. Sekarang ini telah banyak pula pondok
pesantren yang mengadopsi sistem pendidikan modern, memakai bahasa
pengantar asing (arab dan inggris) untuk menyiapkan generasi yang tidak gagap
1

"Membangun bangsa dengan etika dan moral pancasila", http://berdikarionline.com// (Jul.
16, 2012)

teknologi tanpa harus meninggalkan tradisi dan budaya asli pondok pesantren.
Lembaga tersebut berusaha menyingkirkan stereotip negatif lulusan pondok
pesantren yang dianggap tertinggal, katrok, kolot, dan tidak mampu bersaing di
era globalisasi seperti sekarang ini.
Sebagai lembaga pendidikan islam,

surau (pondok pesantren) atau

sekarang ini lebih dikenal dengan sebutan “boarding school” adalah salah satu
lembaga pendidikan yang dipercaya masyarakat indonesia untuk menciptakan
generasi masa depan yang baik, dengan sistem hidup bersama (living together)
didalamnya. Dengan sistem tersebut santri (pelajar) dihadapkan dengan beragam
kepribadian, serta latar belakang budaya santri lain. Untuk bertahan di pesantren
santri harus bisa saling menghargai perbedaan agar tidak menimbulkan konflik.
Sehingga mereka dapat bersikap penuh kasih sayang terhadap yang seagama
(ukhuwah islamiyah), dan lebih toleran terhadap yang berbeda agama karena
islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin.
Pondok pesantren modern menanamkan pendidikan yang baik dalam
pertumbuhan

regenerasi manusia, hal ini dapat dilihat dari

pelajaran yang

ditawarkan para ustadz kepada santri. Baik itu pelajaran secara matematis maupun
secara jiwa dan raga. Dari pelajaran tersebut santri bisa berpikir lebih logis, dan
lebih dewasa dalam menjalani rintangan hidup di dunia serta dapat dijadikan bekal
hidup para santri agar kelak dapat mandiri dalam mengahadapi kerasnya dunia.
Peraturan pondok pesantren modern yang tersistematis selama 24 jam,
memberikan pelayanan melalui dua jalur (jalur ajar dan asuh), sehingga
pendidikan diberikan maksimal untuk santri. Pondok pesantren membentuk
sebuah karakter yang memiliki kualitas yang tinggi, hal tersebut diajarkan dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan merawat tradisi dan merespon modernisasi, dan
berpegang teguh pada nilai dan norma yang berlaku di pesantren agar dapat
mewujudkan pemuda dan pemudi yang memiliki kecerdasan intelektual,
emosional, dan spiritual yang seimbang.
Kenakalan remaja yang sudah mencapai titik maksimal dan sangat
memperhatinkan semakin mengarah pada kriminalitas. Derasnya arus globalisasi,

kemajuan teknologi yang terjadi belum diimbangi dengan penguatan jati diri dan
kecintaan dengan keragaman budaya sendiri. Tuntutan modernisasi memicu
kesibukan orang untuk mengejar karir, dan sistem pendidikan yang berorientasi
pada lapangan pekerjaan sehingga banyak para remaja yang tidak mendapatkan
kasih sayang dan juga perhatian kedua orang tua. Sistem pendidikan pesantren
merupakan salah satu alternatif yang ideal dalam pendidikan nasional. Bung
Karno pernah mengatakan, beri aku 10 pemuda maka akan kuguncang dunia.
Kalimat ini menunjukkan bahwa pemuda memiliki sumbangsih yang besar
terhadap kemajuan negara.
Di pondok pesantren remaja dididik agar memiliki prinsip dan nilai dasar
yang disebut dengan panca jiwa pondok; (1) keikhlasan, yang berarti semua
perbuatan atau pekerjaan berdasarkan niat yang tulus tanpa mengharapkan
imbalan dan beramal semata-mata karena untuk mendapatkan ridho Allah; (2)

kesederhanaan, yang memiliki arti kesesuaian antara kebutuhan dan kemampuan
yang seimbang; (3) berdikari, yang berarti mampu untuk menolong dirinya
sendiri atau menjadi diri sendiri dan juga mementingkan kebutuhan untuk
pesantren dan masyarakat; (4) ukhuwah islamiyah, yang berarti santri harus
memiliki rasa persaudaraan sehingga kesulitan dirasakan bersama dengan jalinan
perasaan keagamaan; (5) kebebasan, yang berarti bebas berfikir secara rasional
untuk menentukan masa depan yang lebih baik, namun tetap bertanggung jawab.
Banyak alumni pondok pesantren yang berkiprah di bidang politik dan
bidang lainnya. Abdurrahman Wahid sebagai presiden ke-4 Republik Indonesia
yang merupakan alumni dari pondok pesantren Tegalrejo pada tahun 1957 lalu
pada tahun 1999 pindah ke pesantren Tambak beras di Jombang.2 Beliau adalah
sangat menjunjung tinggi semangat nasionalisme serta memiliki rasa toleran yang
tinggi terhadap kelompok-kelompok minoritas (tionghoa).

2

Roni

Raditya,

"Bibliografi

singkat

http://rony.r07.alumni.ipb.ac.id (Jul. 8, 2010)

presiden

Abdurrahman

Wahid",

Hal tersebut saling berkaitan dengan kesadaran multikulturalisme yang
memiliki peranan penting dalam pembangunan bangsa Indonesia sebagai suatu
Negara yang berdiri diatas keragaman kebudayaan dimiliki oleh seseorang yang
memiliki latar pendidikan pondok pesantren tanpa menyingkirkan jiwa
nasionalisme. Justru keanekaragaman budaya tersebut menjadi inspirasi dan
potensi untuk pembangunan bangsa, menjadi pesona bagi negara lain. Sehingga
cita-cita luhur bangsa dapat terlaksana, demi mewujudkan masyarakat Indonesia
yang adil makmur dan sejahtera.
Diperlukan pendidikan multikulturalisme untuk mengatasi minimnya
kesadaran multikulturalisme dan krisis moral remaja Indonesia. Model pendidikan
seperti boarding school sedikit menjawab kegelisahan tersebut dengan berbagai
macam pendekatan terhadap remaja. Mengapa demikian? karena para pengasuh
serta seluruh komponen pondok pesantren bersama-sama berusaha untuk
menciptakan lingkungan yang harmonis didalam pesantren. Maka tidak heran jika
sedikit berita tawuran atau pembunuhan atau tindakan kriminalitas lainnya dalam
pesantren karena pesantren memiliki cita-cita dalam menciptakan generasi
pemimpin masa depan yang berbudi luhur.