Essay Social Act FEB UI 2015
Essay Social Act FEB UI 2015
Oleh:
Nurul Annisa Mawaddah
1506728951
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2015
Nama
: Nurul Annisa Mawaddah
NPM
: 1506728951
Nomor dan Nama Kelompok
: 15 COGS
Nama Mentor
: Anisa Wulan dan Naufal Hilmy
Pada tanggal 17 sampai dengan 20 September 2015, saya ke Desa Darawolong,
Karawang Timur, Jawa Barat dalam rangka mengikuti kegiatan Social Act sebagai
bagian dari kegiatan POMB FEB UI. Perjalanan ditempuh dari FEB UI dengan
menggunakan bus selama kurang lebih dua hingga tiga jam, tergantung padat tidaknya
lalu lintas. Desa seluas 600 hektar ini didominasi areal persawahan yang mencapai 500
hektar. Penduduk desanya pun sudah bisa ditebak mayoritas berprofesi sebagai petani.
Desa ini tak begitu jauh dari tol Jakarta-Cikampek yang merupakan urat nadi
transportasi di Pulau Jawa yang menghubungkan daerah-daerah di semua provinsi yang
ada di Pulau Jawa. Namun, lingkungan desa tersebut terbilang masih sederhana dan jauh
dari hiruk pikuk perkotaan. Untuk mencapai rumah tempat kami akan menumpang pun
kami harus berjalan kaki selama kurang lebih 30 menit dari titik perhentian bus yang
mengantar kami.
Saya mendapat tumpangan menginap di rumah Bapak Nana yang terletak di
ujung perumahan desa. Rumah itu sebenarnya rumah kosong. Bapak Nana dan
keluarganya tinggal di rumah lain namun masih di dalam wilayah Desa Darawolong.
Rumahnya terdiri dari dua kamar dan sebuah ruangan kosong yang cukup luas. Di
ruangan itu, hanya terdapat sebuah almari kaca. Kami bertujuh tidur dalam satu kamar
karena kamar yang satunya dipakai untuk menyimpan barang-barang atau difungsikan
sebagai gudang. Ketiadaan kamar mandi di rumah itu membuat kami menumpang ke
tetangga-tetangga jika ingin mandi atau yang lainnya. Yang menyambut kami malam
jumat itu ketika kami baru sampai adalah anak Bapak Nana yang masih duduk di
bangku SMA kelas 12, yaitu Nina Marlina, dan beberapa tetangga di sekitar rumah yang
akan kami tempati. Mereka semua begitu ramah dalam menyambut kami. Mengetahui
bahwa kami akan memasak sendiri sementara di rumah itu tidak ada peralatan memasak
sama sekali, ibu-ibu di sana berbaik hati meminjamkan kami kompor gas, tabung gas,
sebuah dandang, sebuah panci, sebuah wajan, pisau, dua buah keranjang nasi, dan
sendok nasinya.
Bapak Nana merupakan warga asli Karawang yang bekerja sebagai petani. Di
dalam keluarganya, Pak Nana adalah satu-satunya orang yang bekerja. Istrinya tinggal
di rumah dan melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik sebagai seorang ibu rumah
tangga. Dari istri pertamanya yang sudah wafat bernama Eni, Pak Nana memiliki dua
orang anak, yaitu Nina dan Tuti yang masih bersekolah di kelas 5 SD. Sepeninggal istri
pertamanya, Pak Nana menikah lagi dengan Ibu Sugiarti. Anaknya ada dua, yaitu Fajar
yang sekarang menempati bangku kelas 6 SD dan Gia yang masih duduk di bangku
kelas 1 SD. Awalnya, Pak Nana bersama istri pertamanya dan anak-anak mereka hidup
di rumah yang saat itu saya tumpangi. Setelah istrinya wafat dan Pak Nana menikah
lagi, anak-anak dari istri pertamanya pun tinggal bersama neneknya dan keluarga
mereka yang lain di rumah yang terletak persis di sampimg rumah lama mereka. Jadi,
jika dihubung-hubungkan genealoginya, warga kampung setempat masihlah memiliki
hubungan darah satu sama lainnya karena selepas menikah mereka akan pindah rumah
tak jauh dari rumah orangtuanya.
Pak Nana berharap anak-anaknya bisa bersekolah setinggi-tingginya. Namun,
kadangkala Pak Nana merasa khawatir tidak sanggup membiayai pendidikan putraputrinya. Nina yang sebentar lagi lulus SMA sebenarnya ingin melanjutkan kuliah dan
menjadi seorang guru. Pak Nana pun sebenarnya juga tidak pernah mengatur-ngatur
cita-cita anaknya dan membiarkan mereka memilih sesuai dengan apa yang
diminatinya. Namun, ia dan tetangga-tetangganya seringkali mengobrol dan
mendiskusikan bahwa biaya kuliah pastilah amat mahal. Nina pun yang sebenarnya
sangat ingin untuk bisa mengenyam bangku kuliah pun terkadang sangsi atas
kemampuannya karena keterbatasan biaya. Kami pun menginformasikan betapa
banyaknya beasiswa yang bertebaran untuk melanjutkan studi. Terlebih lagi, Nina
termasuk cerdas dan pernah menempati ranking 1 atau 2 di kelasnya. Nina berkilah
bahwa untuk mengetahui informasi-informasi mengenai beasiswa tersebut tentulah
dibutuhkan media internet. Padahal, akses internet di Desa Darawolong terbilang cukup
sulit. Selain itu, guru-guru di sekolahnya pun bersikap pasif kepada murid-muridnya
dalam mengabarkan program-program beasiswa yang bisa dicoba.
Pak Nana amat bersyukur karena anak-anaknya bersekolah tanpa membayar SPP
alias gratis. Hal ini tentu sangat membantu meringankan perekonomian keluarga
sehingga tidak merepotkan di saat harus menyekolahkan empat anak sekaligus. Nina
setiap hari harus menempuh perjalanan sejauh lima kilometer untuk mencapai
sekolahnya. Biasanya, ia berangkat bersama dengan orangtuanya di pagi hari. Meskipun
hidup dalam kesederhanaan yang bersahaja, Pak Nana mengaku bahwa ia belum pernah
menerima bantuan dari pemerintah.
Dalam sebulan, penghasilan Pak Nana sebagai petani tidaklah menentu. Namun,
rata-rata ia menerima pendapatan sebesar Rp2.100.000,00 per bulan. Jika mendapat
penghasilan
lebih
dari yang
biasa dikeluarkan,
Pak Nana
biasanya tidak
menabungkannya, tetapi membelanjakannya dalam bentuk barang-barang konsumsi
pokok. Ketidakpastian penghasilan itu terkadang membuat Pak Nana ingin beralih
profesi karena seiring berjalannya waktu, anak-anaknya yang menemupuh jenjang
semakin tinggi dalam dunia pendidikan tentu akan memperbesar pos pengeluaran
keluarganya. Seandainya ada kesempatan, Pak Nana ingin membuka usaha sendiri.
Namun, saat ini ia terkendala masalah klasik yang dihadapi oleh orang-orang yang ingin
berusaha: ketiadaan modal.
Saya memang melihat di desa ini selain keterbatasan akses terhadap informasi,
khususnya internet, desa ini juga memiliki kekurangan akses terhadap modal usaha
seperti dalam bentuk bank umum, bank perkreditan rakyat, atau koperasi. Kalaupun ada,
penduduk yang sebagiannya tidak sempat mengenyam pendidikan yang memadai dan
hanya bisa berbahasa Sunda ini dihadapkan lagi pada sistem yang belum tentu mereka
semua mampu memahami dan tertarik untuk mengikutinya.
Jika sedang tidak bercocok tanam dan tidak bersekolah, kegiatan sehari-hari
keluarga mereka lebih sering dilakukan di rumah saja, bercengkrama dengan keluarga
dan tetangga-tetangga mereka yang masih juga merupakan sanak familinya. Mereka
sangat senang menerima kehadiran kami para mahasiswa karena membuat suasana
semakin ramai, tidak sepi, dan jadi ada kegiatan lain di luar rutinitas harian mereka.
Pada pemerintah dan kami sebagai calon-calon pemimpin bangsa, mereka menaruh
harapan besar agar para pemegang kebijakan lebih memperhatikan rakyat kecil seperti
mereka karena mereka merasa jarang diperhatikan meskipun jarak kampung mereka tak
begitu jauh dari pusat ibukota Indonesia. Selain itu, mereka berharap akses kesehatan
seperti posyandu dihidupkan kembali untuk melayani kebutuhan warga desa.
Oleh:
Nurul Annisa Mawaddah
1506728951
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2015
Nama
: Nurul Annisa Mawaddah
NPM
: 1506728951
Nomor dan Nama Kelompok
: 15 COGS
Nama Mentor
: Anisa Wulan dan Naufal Hilmy
Pada tanggal 17 sampai dengan 20 September 2015, saya ke Desa Darawolong,
Karawang Timur, Jawa Barat dalam rangka mengikuti kegiatan Social Act sebagai
bagian dari kegiatan POMB FEB UI. Perjalanan ditempuh dari FEB UI dengan
menggunakan bus selama kurang lebih dua hingga tiga jam, tergantung padat tidaknya
lalu lintas. Desa seluas 600 hektar ini didominasi areal persawahan yang mencapai 500
hektar. Penduduk desanya pun sudah bisa ditebak mayoritas berprofesi sebagai petani.
Desa ini tak begitu jauh dari tol Jakarta-Cikampek yang merupakan urat nadi
transportasi di Pulau Jawa yang menghubungkan daerah-daerah di semua provinsi yang
ada di Pulau Jawa. Namun, lingkungan desa tersebut terbilang masih sederhana dan jauh
dari hiruk pikuk perkotaan. Untuk mencapai rumah tempat kami akan menumpang pun
kami harus berjalan kaki selama kurang lebih 30 menit dari titik perhentian bus yang
mengantar kami.
Saya mendapat tumpangan menginap di rumah Bapak Nana yang terletak di
ujung perumahan desa. Rumah itu sebenarnya rumah kosong. Bapak Nana dan
keluarganya tinggal di rumah lain namun masih di dalam wilayah Desa Darawolong.
Rumahnya terdiri dari dua kamar dan sebuah ruangan kosong yang cukup luas. Di
ruangan itu, hanya terdapat sebuah almari kaca. Kami bertujuh tidur dalam satu kamar
karena kamar yang satunya dipakai untuk menyimpan barang-barang atau difungsikan
sebagai gudang. Ketiadaan kamar mandi di rumah itu membuat kami menumpang ke
tetangga-tetangga jika ingin mandi atau yang lainnya. Yang menyambut kami malam
jumat itu ketika kami baru sampai adalah anak Bapak Nana yang masih duduk di
bangku SMA kelas 12, yaitu Nina Marlina, dan beberapa tetangga di sekitar rumah yang
akan kami tempati. Mereka semua begitu ramah dalam menyambut kami. Mengetahui
bahwa kami akan memasak sendiri sementara di rumah itu tidak ada peralatan memasak
sama sekali, ibu-ibu di sana berbaik hati meminjamkan kami kompor gas, tabung gas,
sebuah dandang, sebuah panci, sebuah wajan, pisau, dua buah keranjang nasi, dan
sendok nasinya.
Bapak Nana merupakan warga asli Karawang yang bekerja sebagai petani. Di
dalam keluarganya, Pak Nana adalah satu-satunya orang yang bekerja. Istrinya tinggal
di rumah dan melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik sebagai seorang ibu rumah
tangga. Dari istri pertamanya yang sudah wafat bernama Eni, Pak Nana memiliki dua
orang anak, yaitu Nina dan Tuti yang masih bersekolah di kelas 5 SD. Sepeninggal istri
pertamanya, Pak Nana menikah lagi dengan Ibu Sugiarti. Anaknya ada dua, yaitu Fajar
yang sekarang menempati bangku kelas 6 SD dan Gia yang masih duduk di bangku
kelas 1 SD. Awalnya, Pak Nana bersama istri pertamanya dan anak-anak mereka hidup
di rumah yang saat itu saya tumpangi. Setelah istrinya wafat dan Pak Nana menikah
lagi, anak-anak dari istri pertamanya pun tinggal bersama neneknya dan keluarga
mereka yang lain di rumah yang terletak persis di sampimg rumah lama mereka. Jadi,
jika dihubung-hubungkan genealoginya, warga kampung setempat masihlah memiliki
hubungan darah satu sama lainnya karena selepas menikah mereka akan pindah rumah
tak jauh dari rumah orangtuanya.
Pak Nana berharap anak-anaknya bisa bersekolah setinggi-tingginya. Namun,
kadangkala Pak Nana merasa khawatir tidak sanggup membiayai pendidikan putraputrinya. Nina yang sebentar lagi lulus SMA sebenarnya ingin melanjutkan kuliah dan
menjadi seorang guru. Pak Nana pun sebenarnya juga tidak pernah mengatur-ngatur
cita-cita anaknya dan membiarkan mereka memilih sesuai dengan apa yang
diminatinya. Namun, ia dan tetangga-tetangganya seringkali mengobrol dan
mendiskusikan bahwa biaya kuliah pastilah amat mahal. Nina pun yang sebenarnya
sangat ingin untuk bisa mengenyam bangku kuliah pun terkadang sangsi atas
kemampuannya karena keterbatasan biaya. Kami pun menginformasikan betapa
banyaknya beasiswa yang bertebaran untuk melanjutkan studi. Terlebih lagi, Nina
termasuk cerdas dan pernah menempati ranking 1 atau 2 di kelasnya. Nina berkilah
bahwa untuk mengetahui informasi-informasi mengenai beasiswa tersebut tentulah
dibutuhkan media internet. Padahal, akses internet di Desa Darawolong terbilang cukup
sulit. Selain itu, guru-guru di sekolahnya pun bersikap pasif kepada murid-muridnya
dalam mengabarkan program-program beasiswa yang bisa dicoba.
Pak Nana amat bersyukur karena anak-anaknya bersekolah tanpa membayar SPP
alias gratis. Hal ini tentu sangat membantu meringankan perekonomian keluarga
sehingga tidak merepotkan di saat harus menyekolahkan empat anak sekaligus. Nina
setiap hari harus menempuh perjalanan sejauh lima kilometer untuk mencapai
sekolahnya. Biasanya, ia berangkat bersama dengan orangtuanya di pagi hari. Meskipun
hidup dalam kesederhanaan yang bersahaja, Pak Nana mengaku bahwa ia belum pernah
menerima bantuan dari pemerintah.
Dalam sebulan, penghasilan Pak Nana sebagai petani tidaklah menentu. Namun,
rata-rata ia menerima pendapatan sebesar Rp2.100.000,00 per bulan. Jika mendapat
penghasilan
lebih
dari yang
biasa dikeluarkan,
Pak Nana
biasanya tidak
menabungkannya, tetapi membelanjakannya dalam bentuk barang-barang konsumsi
pokok. Ketidakpastian penghasilan itu terkadang membuat Pak Nana ingin beralih
profesi karena seiring berjalannya waktu, anak-anaknya yang menemupuh jenjang
semakin tinggi dalam dunia pendidikan tentu akan memperbesar pos pengeluaran
keluarganya. Seandainya ada kesempatan, Pak Nana ingin membuka usaha sendiri.
Namun, saat ini ia terkendala masalah klasik yang dihadapi oleh orang-orang yang ingin
berusaha: ketiadaan modal.
Saya memang melihat di desa ini selain keterbatasan akses terhadap informasi,
khususnya internet, desa ini juga memiliki kekurangan akses terhadap modal usaha
seperti dalam bentuk bank umum, bank perkreditan rakyat, atau koperasi. Kalaupun ada,
penduduk yang sebagiannya tidak sempat mengenyam pendidikan yang memadai dan
hanya bisa berbahasa Sunda ini dihadapkan lagi pada sistem yang belum tentu mereka
semua mampu memahami dan tertarik untuk mengikutinya.
Jika sedang tidak bercocok tanam dan tidak bersekolah, kegiatan sehari-hari
keluarga mereka lebih sering dilakukan di rumah saja, bercengkrama dengan keluarga
dan tetangga-tetangga mereka yang masih juga merupakan sanak familinya. Mereka
sangat senang menerima kehadiran kami para mahasiswa karena membuat suasana
semakin ramai, tidak sepi, dan jadi ada kegiatan lain di luar rutinitas harian mereka.
Pada pemerintah dan kami sebagai calon-calon pemimpin bangsa, mereka menaruh
harapan besar agar para pemegang kebijakan lebih memperhatikan rakyat kecil seperti
mereka karena mereka merasa jarang diperhatikan meskipun jarak kampung mereka tak
begitu jauh dari pusat ibukota Indonesia. Selain itu, mereka berharap akses kesehatan
seperti posyandu dihidupkan kembali untuk melayani kebutuhan warga desa.