TAFSIR ESOTERIK IBNU ARABI TERHADAP SURAT AL FATIHAH DALAM TAFSIR AL QUR’AN AL KARIM.
TAFSIR ESOTERIK IBNU ‘ARABI TERHADAP SURAT
AL-FATIHAH DALAM TAFSIR AL-QUR’AN AL-KARIM
SKRIPSI
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu al-Qur’an dan Tafsir
Oleh: LUTFIYAH NIM E03212023
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR JURUSAN AL-QUR’AN DAN HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA 2016
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
ABSTRAK
Nama: LUTFIYAHNim: E03212023
Judul:
TAFSIR ESOTERIK IBNU ARABI TERHADAP SURAT
AL-FATIHAH DALAM TAFSIR AL-
QUR’AN AL
-KARIM
Kata kunci : Tafsir Esoterik Ibnu ’Arabi
Penelitian skripsi ini memiliki latar belakang Ajaran Tasawuf menuai puncaknya di kalangan umat pada masa Ibnu Arabi. Seorang sufi yang memiliki pengaruh yang sangat luas dan begitu dalam terhadap kehidupan intelektual islam dalam kurun lebih dari 700 tahun. Tafsir Al-Quran Al-Karim dan kaitannya dengan cara-cara Ibnu Arabi dalam menjelaskan maksud ayat-ayat al-Quran, sehingga dari metode yang digunkan beliau dalam menjelaskan maksud ayat tersebut dapat diketahui sistematika dan bentuk penafsirannya. Mengingat tafsir sufi Ibnu Arabi sangat luas terulas dalam setiap ayat al-Quran. Sehingga penulis memfokuskan pada tafsir surat al-Fatihah sebagai acuan utama dalam menganalisis penafsiran beliau dalam kitab Al-Quran Al-Karim. Fokus penelitian dalam tulisan ini adalah 1. Bagaimana Metode Penafsiran Ibnu Arabi dalam Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m? 2. Bagaimana Implikasi Metode tersebut dalam Surat al-Fatihah?. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Metode Penafsiran Ibnu Arabi dalam tafsir Al-Quran Al-Karim dan mengetahui Implikasi Metode tersebut dalam tafsir Surat al-Fatihah.
Dalam kajian ini menggunakan beberpa langkah penelitian yang akan dijadikan acuan yaitu: 1. Penelitian ini bercorak library research, semua data penelitian diperoleh dari bahan tertulis yang telah ada sebelumnya. 2. Sedangkan metode penelitian ini memakai metode analisis ayat adalah suatu metode mencari makna al-Quran dengan cara memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat.
Dalam penelitian ini penulis menerangkan bahwa Ibnu Arabi dalam karyanya tafsir Al-Quran Al-Karim menggunakan empat macam metode dengan ditinjau dari empat macam segi. Empat metode itu adalah; bi-al-Ra’y, bayani, global, dan tahlili. Ibnu Arabi menafsirkan surat al-Fatihah dengan merinci bagian-bagian ayatnya dan selalu menghubungkan makna yang tersirat dari suatu ayat dengan pandangannya, begitu pula dalam surat al-fatihah tidak lepas dari pandangan Phanteismenya.
(7)
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
SAMPUL DALAM ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN ... v
MOTTO ... vi
PERSEMBAHAN ... vii
ABSTRAK ... ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ... x
KATA PENGANTAR ... xii
DAFTAR ISI ... xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 11
C. Tujuan Penelitian ... 11
D. Kegunaan Penelitian... 12
E. Telaah Pustaka... 12
F. Metodologi Penelitian... 14
(8)
BAB II PENAFSIRAN SUFISME DALAM AL-QURAN
A. Tafsir Sufi dan Perkembangannya ... 19
B. Pendekatan Tafsir Sufisme ... 26
C. Kecurigaan Terhadap Tafsir Sufi ... 32
D. Ta’wil Ayat……... 36
BAB III TAFSIR SUFI IBNU A’RABI A. Ibnu Arabi dan Pemikirannya ... 41
B. Kritik Terhadap Penafsiran Ibnu Arabi ... 53
C. MetodeTafsi>r Al-Qur’a>n Al-Kari>m Karya Ibnu Arabi... 57
D. Implikasi Metode Tafsir Ibnu Arabi dalam Surat Al-Fatihah... 62
BAB IV ANALISIS PENAFSIRAN SURAT AL-FATIHAH DALAM TAFSIR AL-QURAN AL-KARIM A. Analisis Metode Tafsir Al-Quran Al-Karim ... 71
B. Analisis Implikasi Metode Terhadap Surat Al-Fatihah ... 77
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 104
B. Saran ... 105
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(9)
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Sebagai dampak dari kemajuan peradaban agama Islam, muncul berbagai ilmu pengetahuan yang berkembang pesat sejalan dengan perkembangan dan tersebar luasnya agama Islam, terutama di bidang pemahaman Qur‟an. al-Qur‟an merupakan rujukan inti dan sumber pertama ajaran Islam. Maka tidak heran bahwa al-Qur‟an merupakan fokus utama dalam perkembangan
keilmuannya.1
Interpretasi al-Qur‟an dimulai sejak al-Qur‟an diturunkan, yang diawali oleh Nabi Muhammad SAW. kemudian dilanjutkan oleh para Sahabat. Para Sahabat
saling menuqil beberapa makna al-Qur‟an dan tafsiran sebagian ayat dengan
fariasi yang berbeda, sebab berbedanya kadar pemahaman para Sahabat serta akibat situasi yang berbeda saat mereka menyaksikan turunnya wahyu. Kemudian dilanjutkan oleh murid mereka yaitu Tabi‟in, Tabi‟ Tabi‟in dan seterusnya sampai saat ini. Wacana ini dikenal dengan Tafsir al-Qur‟an, dan hal ini menunjukkan bahwa penafsiran al-Qur‟an termasuk ilmu yang pertama kali lahir dalam wacana
intelektual Islam.2
Dalam sejarah perkembangan tafsir, pada mulanya usaha penafsiran
al-Qur‟an berdasarkan ijtiha>d masih sangat sedikit. Kebutuhan generasi awal pada
1Ali Hasan Al-Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Amiudin, (Jakarta: Raja Granfindo Persada, 1991), vii.
2Manna‟ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran, terj. Aunur Rafiq El-Mazni (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013), 6.
(10)
2
penafsiran al-Qur‟an semisal pada masa Sahabat, tidak seperti kebutuhan generasi setelahnya, karena para Sahabat banyak mengetahui makna al-Qur‟an, mengingat
al-Qur‟an diturunkan dalam bahasa nenek moyang mereka.3 Mempelajari
al-Qur‟an tidak sukar bagi para Sahabat, sebab mereka menerima al-al-Qur‟an dan
penafsirannya langsung dari S}a>h}ib al-Risa>lah. Mereka mudah mengetahui dan
mudah memahami penafsiran karena suasana dan peristiwa turunnya ayat dapat
mereka saksikan.4
Meskipun demikian tidak bisa dipastikan bahwa para Sahabat mengetahui makna setiap kata dari suatu ayat, namun pengetahuan tentang makna kata dalam al-Qur‟an lebih banyak dari pada makna yang tidak mereka ketahui. Hal ini jika dilihat dari sudut pandang individual para Sahabat, sementara Sahabat secara kolektif sudah jelas mengetahui seluruh makna al-Qur‟an. Para Sahabat menafsirkan al-Qur‟an sesuai dengan kebutuhan saat itu. Disebutkan bahwa Sahabat Abu Bakr menahan dirinya untuk menafsirkan beberapa ayat, sikap yang sama juga dilakukan oleh Sahabat Umar bin Khattab. Terdapat riwayat yang menyatakan bahwa Abu Bakr membaca firman Allah dalam surat Al-Maidah:
105,5 kemudian Abu Bakr berkata; kalian membaca ayat ini dan mengamalkan
tidak pada tempatnya, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda, „sungguh, ketika manusia melihat orang yang sesat lalu tidak menangkap kedua
3Ibnu Taimiyah, Syarah Pengantar Studi Ilmu Tafsir Ibnu Taimiyah, terj. Solihin (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2014), 5.
4Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran dan Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 207.
5Bunyi Surat al-Maidah Ayat 105:
ُ ي ُاَه يَأ ُُ ُ َُنيِذَلا ُُ ُ ُاوُنَماَء ُُ ُ ُْمُكْيَلَع ُُ ُ ُْمُكَسُفنَأ ُ ُ َا ُُ ُ ُمُك رُضَي ُُ ُ ُنَم ُُ ُ َُلَض ُُ ُ ُاَذِإ ُُ ُ ُْمُتْ يَدَتْا ُ ُ ََِإ ُُ ُ ُِه ّللا ُُ ُ ُْمُكُعِجْرَم ُُ ُ ُاًعيَِْ ُُ ُ ُمُكُئِّبَنُ يَ ف ُُ َُُِِ ُا ُُ ُ ُْمُتنُك ُُ ُ َُنوُلَمْعَ ت
(11)
3
tangannya, dihawatirkan Allah akan menjatuhkan azab dari sisi-Nya secara merata pada mereka‟. Demikian merupakan salah satu riwayat yang menunjukkan
bahwa Sahabat Abu Bakr menahan dirinya untuk menafsirkan beberapa ayat.6
Pemahaman Sahabat terhadap bahasa Arab dan pengetahuan mereka terhadap teks-teks narasi dan puisi bahasa Arab sangatlah tinggi. Pengetahuan yang utuh terhadap bahasa Arab merupakan keistimewaan dan nilai plus bagi mereka dalam menafsirkan al-Qur‟an. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa penafsiran Sahabat merupakan tafsir yang paling benar. Walaupun demikian,
penafsiran para Sahabat tetap mempunyai keistimewaan, diantaranya :7
Pertama, penguasaan al-Qur‟an dengan sangat baik. Seorang ahli tafsir memerlukan penguasaan terhadap ilmu-ilmu al-Qur‟an. Penguasaan para Sahabat terhadap ilmu-ilmu al-Qur‟an tidak perlu dipertanyakan lagi sebab para Sahabat mengetahui dan mempelajarinya saat wahyu disampaikan oleh Rasul SAW. Mereka menyaksikan dan mengaplikasikannya.
Kedua, metode tafsir yang sering digunakan Sahabat adalah menafsirkan al-Qur‟an dengan al-al-Qur‟an atau al-al-Qur‟an dengan al-Sunnah. Ketika menafsirkan ayat, mereka berpedoman pada ayat tertentu atau pada penjelasan dari Nabi SAW terhadap wahyu yang turun.
Ketiga, Para Sahabat mengenal latar belakang masyarakat Arab, baik dari segi situasi ataupun kondisi serta kepercayaan orang Arab yang menjadi sebab turunnya al-Qur‟an. Hal ini merupakan sumber yang penting dalam proses penafsiran.
6Ibnu Taimiyah, Syarah Pengantar Studi Ilmu Tafsir Ibnu Taimiyah, 7-8. 7Ibid.,9-11.
(12)
4
Keempat, penguasaan yang sangat baik dalam bahasa Arab. Dengan artian, al-Qur‟an akan dipahami oleh mereka yang memahami bahasa Arab.
Kelima, tafsir Sahabat banyak memuat beragam perbedaan. Perbedaan ragan sama halnya dengan perbedaan menafsirkan kata, misalnya para Sahabat berbeda
dalam menafsirkan Ayat 6 dari surat al-Fatihah “ميقتسماُ طارصلاُ اند إ”. Sebagian
berpendapat bahwa arti dari s}ira>t} adalah “Islam”. Sebagian lain menafsirkan
“al-Qur‟an” dan Sahabat lainnya menafsirkan “jalan Muhammad”. Semua tafsir ini merupakan bentuk tunggal yang merujuk pada satu makna umum.
Perbedaan ragam penafsiran para Sahabat sangat berguna bagi para ahli tafsir generasi berikutnya. Perbedaan penafsiran tersebut menjadi sebuah petunjuk bagi seorang ahli tafsir untuk menggali satu makna ayat yang relevan dengan kebutuhan umat manusia. Sebab al-Qur‟an diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia terutama bagi orang-orang yang bertaqwa dan interpretasi ayat-ayatnya dijadikan argumen pembenaran atau penolakan. Sebagaimana yang terdapat dalam surat Ali Imra>n ayat 138 :
ٌُناَيَ باَذَ
ُِساَنلِل
ىًدَُو
ٌُةَظِعْوَمَو
(َُيِقَتُمْلِل
ٔ٨٨
)
8
(Al-Qur‟an) Ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta
pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.9
Al-Qur‟an adalah landasan hukum dasar Islam yang memiliki fungsi sebagai pedoman hidup manusia. Al-Qur‟an memiliki sastra yang sangat tinggi dan gaya bahasa yang sangat indah, sehingga tidak mudah memahami makna yang
8Al-Quran, 3:138.
(13)
5
terkandung di dalamnya. Demikian ini, penafsiran sangatlah dibutuhkan untuk
memahami makna yang terkandung.10 Keberadaan al-Qur‟an mengandung banyak
makna, sebanyak sudut pandang yang digunakan pembacanya. Sedang tafsir adalah bentuk penjelas atas makna ayat-ayat al-Qur‟an, sehingga posisinya tidak lebih dari sekedar alat (medium) memahami hakikat kandungan al-Qur‟an.
Salah satu alasan dasar penafsiran Sahabat juga merujuk pada hadis Nabi SAW, sebab Nabi Muhammad SAW. merupakan satu-satunya manusia yang mendapat wewenang penuh untuk menjelaskan al-Qur‟an dan penjelasan tersebut
dapat dipastikan kebenarannya sepanjang periwatannya s}ah}i>h}.11 Tidak heran,
bahwa penafsiran Sahabat juga dikenal dengan tafsir al-Ma’thu>r, yang
kebanyakan penafsirannya dengan merujuk pada ayat lain dalam al-Qur‟an dan hadis Nabi SAW.
Penafsiran al-Qur‟an pada masa Sahabat setidaknya bersumber dari empat
macam : Al-Qur‟an al-Karim, Hadis-hadis Nabi SAW, ijtiha>d atau kekuatan
istinba>t} (melalui bahasa, budaya dan adat kebiasaan bangsa arab) dan cerita ahli
kitab dari kaum yahudi dan nasrani. 12
Dicerna dari sumber tersebut, bentuk tafsir para Sahabat pada umumnya
adalah al-Ma’thu>r, yaitu penafsiran yang lebih banyak didasarkan atas sumber
yang diriwayatkan atau diterima dari Nabi SAW dan bukan atas dasar nalar (
al-ra’y).
10Quraisy Shihab, Membumikan Al-Quran-Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), 122.
11Ibid., 128
12Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Quran di Indonesia (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), 9.
(14)
6
Para mufassir pasca Sahabat, jelas mengikuti jejak para Sahabat. Mereka menafsirkan al-Qur‟an berlandaskan pada ayat al-Qur‟an, hadis-hadis Nabi SAW serta tafsir riwayat dari para Sahabat dan kisah dari ahli kitab. Selain itu mereka
juga menggunakan dasar hasil ijtiha>d sendiri, baik bersandar pada kaidah-kaidah
bahasa Arab maupun ilmu pengetahuan yang lain.13
Pada masa klasik (Nabi SAW dan Sahabat), meskipun belum mengacu pada bentuk yang baku, dari coraknya dapat disimpulkan bersifat umum. Penafsiran pada masa ini tidak didominasi oleh suatu corak atau pemikiran tertentu, tetapi hanya menjelaskan ayat-ayat yang dibutuhkan secara umum dan proporsional. Sebab ulama pada waktu itu, hanya bertujuan menyampaikan ajaran Islam secara utuh bukan menyampaikan tafsir al-Qur‟an secara khusus dan simultan (serentak). Sama halnya dengan periode Sahabat, adalah periode Tabi‟in yang corak
penafsirannya masih sama dengan masa para pendahulunya (disamping ijtiha>d
dan pertimbangan nalar mereka sendiri) yaitu masih bercorak umum dan tidak
didominasi oleh pemikiran tertentu.14
Fase selanjutnya pada masa pembukuan, dimulai pada akhir Dinasti Bani Umayyah dan awal Dinasti Abasiyah. Periode ini, pembukuan hadis merupakan prioritas utama dengan mencakup berbagai bab. Tafsir hanya merupakan salah satu bab yang dicakupnya. Pada masa ini tafsir yang hanya memuat tafsir al-Qur‟an surat demi surat, ayat demi ayat, dan belum secara khusus dipisahkan dari
bab-bab hadis.15
13Ibid.,10.
14Ibid., 37-54.
(15)
7
Kemudian muncul generasi setelahnyayang menulis tafsir secara khusus dan independen serta menjadikannya sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri, terpisah dari hadis. Al-Qur‟an ditafsirkan secara sistematis sesuai dengan
sistematika mus}h}af. Di antara tokohnya adalah Ibnu Majah (wafat. 273 H), Ibnu
Jarir al-Thabari (wafat. 310 H), Abu Bakar bin al-Mundzir al-Naisaburi (wafat. 318 H), dan lain sebagainya. Tafsir generasi ini memuat riwayat-riwayat yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, Sahabat, Tabi‟in dan terkadang disertai pen-tarji>h}-an terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan dan melakukan istinba>t} sejumlah hukum serta penjelasan kedudukan i’ra>b-nya jika diperlukan.16
Seiring dengan perkembangan pengetahuan masyarakat, maka pembukuan semakin sempurna, cabang-cabangnya bermunculan dan perbedaan yang terus meningkat. Demikian ini menyebabkan munculnya perbedaan penafsiran dan karya- karya tafsir yang beraneka ragam coraknya. Perbedaan ini merupakan konsekuensi logis dari perkembangan zaman dan pengetahuan, karena dalam al-Qur‟an sendiri memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas. Adanya corak penafsiran yang beragam adalah sebagai bukti bahwa penafsiran yang dipilih oleh mufasir sedikit lebih bebas. Mereka dapat memilih corak apa saja selama didukung oleh keahlian masing-masing, baik di bidang bahasa, filsafat dan teologi, ilmiyah, fiqih, sastra budaya, sosial kemasyarakatan, serta tasawuf,
bergantung pada keahlian dan kecenderungan masing-masing mufasir.17
16 Ibid., 429.
(16)
8
Dikarenakan nuansa tafsir adalah ruang dominan sebagai sudut pandang dari suatu
karya tafsir.18
Setiap masa (generasi) akan menghasilkan tafsir-tafsir yang sesuai dengan keadaan atau tempat generasi tersebut, begitu pula generasi berikutnya akan mengahasilkan tafsir yang sesuai dengan kebutuhan generasi tersebut. Sebagaimana maklum, tafsir adalah bentuk penjelas atas makna ayat-ayat
al-Qur‟an, sehingga posisinya tidak lebih dari sekedar alat (medium) memahami
hakikat makna ayat-ayat al-Qur‟an. Oleh karena itu, dalam menafsirkan al-Qur‟an tentunya melalui perspektifnya masing-masing, salah satunya adalah tasawuf dengan tafsir sufi. Dalam tafsir tasawuf, para sufi mengambil porsi pembahasan filsafat lebih banyak dari kajian bidang lain. Bahkan para sufi dapat dinyatakan setara dengan para filosof dan para sufi juga telah memanfaatkan para filosof,
mutakallimin dan fuqaha dalam kajiannya.19
Perkembangan sufisme kian marak dalam Islam yang ditandai oleh
praktek-praktek asketisme (zuhud) yang dilakukan oleh generasi awal Islam yang dimulai
sejak munculnya konflik politik sepeninggal Nabi SAW. Hal ini terus berkembang pada masa berikutnya. Seiring berkembangnya aliran sufi, mereka menafsirkan al-Qur‟an sesuai dengan faham sufi yang mereka anut. Tafsir sufi yang lahir merupakan akibat dari timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi yang telah mempunyai ciri khusus atau karakter yang berbeda dari tafsir lainnya. Praktek sufisme sebenarnya
18Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Idiologi, Jakarta : Teraja, 2003, 244.
19Juhaya S. Praja, Tafsir Hikmah_Seputar Ibadah, Mu’amalah, Jin dan Manusia, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), 15.
(17)
9
telah dikenal dan dipraktekkan pada masa awal yaitu hidup dalam ibadah dan zuhud, meskipun pada masa itu belum dikenal dengan istilah tasawuf.20 Tafsir sufi telah didominasi paham sufistik, dikarenakan tasawuf merupakan minat dasar dari mufasirnya.
Di antara contoh penafsiran sufistik adalah penafsiran al-Imam al-Qusyairi dalam menafsirkan ayat 41 dari surat al-Anfal:
اوُمَلْعاَو
اَََأ
ُْمُتْمِنَغ
ُْنِم
ٍُءْيَش
َُنَأَف
َُِِّ
ُُهَسُُُ
ُوُسَرلِلَو
ُِل
يِذِلَو
َُبْرُقْلا
ىَماَتَيْلاَو
ُِيِكاَسَمْلاَو
ُِنْباَو
ُِليِبَسلا
ُْنِإ
ُْمُتْنُك
ُْمُتْنَمآ
َُِّاِب
اَمَو
اَنْلَزْ نَأ
ىَلَع
اَنِدْبَع
َُمْوَ ي
ُِناَقْرُفْلا
َُمْوَ ي
ىَقَ تْلا
ُِناَعْمَْْا
َُُّاَو
ىَلَع
ُِّلُك
ٍُءْيَش
(ٌُريِدَق
٤ٔ
)
21Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.22
Ghani>mah adalah harta rampasan perang yang diperoleh dari musuh
orang-orang Islam saat mereka dikalahkan dalam peperangan (jiha>d). Al-Qusyairi
berpendapat bahwa jiha>d itu ada dua. Pertama, jiha>d z}a>hir melawan orang kafir.
Kedua, jiha>d batin melawan hawa nafsu dan setan. Jika jiha>d lahir (jiha>d kecil)
saja akan memperoleh ghani>mah, maka demikian pula jiha>d batin (jiha>d akbar)
akan memperoleh ghani>mah (keberuntungan), yaitu seseorang akan memiliki
kemampuan menguasai diri sendiri ketika berhadapan dengan hawa nafsu sebagai
musuhnya.23
20Muhammad Husain Al-Dzahabi, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Beirut: Dar Al-Fikr, 1992), 89 21Al-Quran, 8:41.
22Al-Quran dan Terjemahnya ( Bandung: PT Sygma Examedia Arkanleema), 182.
(18)
10
Secara lugas, sufi adalah seseorang yang mendalami tasawuf, yang penekanannya adalah “bagaimana mensucikan hati”. Seseorang bisa dikatakan sufi, jika bisa melewati beberapa tahapan tertentu dalam beribadah seperti mah}abbah dan ma’rifat. Ajaran Tasawuf menuai puncaknya di kalangan umat pada masa Ibnu Arabi. Tokoh sufi yang memiliki nama lengkap Muhyiddin Ibnu Arabi memiliki pengaruh yang sangat luas dan begitu dalam terhadap kehidupan intelektual masyarakatnya dalam kurun lebih dari 700 tahun. Merupakan seorang sufi terkemuka, yang pada saat itu sangat sedikit sekali tokoh-tokoh spiritual muslim yang begitu terkenal sampai ke wilayah barat sebagaimana yang dicapai
oleh Ibnu Arabi.24
Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m adalah salah satu karya Ibnu Arabi yang fenomenal dan terkenal dengan tafsir sufi. Meskipun dalam sentral ajarannya, Ibnu Arabi banyak menuai penolakan dari ulama-ulama Ahli Tafsir, tetapi pemikirannya telah memberikan sumbangan besar dalam perkembangan keilmuan
dan intelektual Islam. Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m dan kaitannya dengan cara-cara
Ibnu Arabi dalam menjelaskan maksud ayat-ayat al-Qur‟an, sehingga dari metode (cara) yang digunakannya dalam menjelaskan maksud ayat tersebut dapat diketahui corak dan bentuk penafsirannya.
Mengingat keluasan Tafsir Ibnu Arabi mengenai penafsiran sufistiknya dalam setiap ayat al-Qur‟an. Oleh karenanya, tafsir surat al-Fatihah menjadi acuan
utama dalam menganalisis penafsiran beliau dalam kitab Tafsi>r al-Qur’a>n
al-Kari>m. Penafsiran dalam surat al-Fatihah sangat cocok dengan karakter penafsiran
24William C. Chittik, The sufi Path of Knowledge Pengetahuan Spritual Ibnu Arabi (Yogyakarta: Qalam, 2001), 4.
(19)
11
Ibnu Arabi, karena konsep fisis yang sudah umum diketahui bahwa bagian-bagian ayat dari surat ini relevan dengan konsep awal mula penciptaan yang pastinya berkaitan dengan teori dan pemikiran yang dimiliki Ibnu Arabi.
Problematika di atas menjadi salah satu alasan mendasar yang mendorong
untuk dilakukannya penelitian ini dengan judul Tafsir Esoterik Ibnu Arabi
terhadap Surat al-Fatihah dalam Tafsir al-Qur’an al-Karim.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang tertera di atas, diperlukan adanya perumusan masalah agar pembahasan tidak melebar jauh dari tujuan awal yang ingin dicapai dari penelitian ini. Adapun rumusan masalah yang diperoleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Metode Penafsiran Ibnu Arabi dalam Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m?
2. Bagaimana Implikasi Metode tersebut dalam Penafsiran Surat al-Fatihah?
C.Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah yang telah dibuat, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan yang meliputi dua aspek yaitu:
1. Memahami Metode Penafsiran Ibnu Arabi dalam Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m.
(20)
12
D.Kegunaan Penelitian
Penelitian kualitatif diharapkan memiliki manfaat dan menjadi sumbangan terhadap perkembangan kajian pemikiran para mufassir memiliki kegunaan secara teoritis dan praktis.
1. Kegunaan Teoritis
Secara teori penelitian ini diharapkan bisa menjadi suatu sumbangan pemikiran dan upaya guna memperkaya wawasan pengembangan ilmu pengetahuan Islam khususnya dalam bidang tafsir.
2. Kegunaan praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan menjadi contoh bagi kaum muslimin, utamanya para pemikirnya baik dari kalangan mufassir maupun para ilmuan umum tentang bagaimana seharusnya menyikapi penafsiran sufistik dalam al-Qur‟an, utamanya dalam batasan ayat-ayat yang terkait dengan teori sufi.
E.Telaah Pustaka
Dalam penelitian ini, penulis ingin meneliti dan menelusuri tentang Penafsiran Sufisme dalam al-Qur’an (Analisis Penafsiran Surat al-Fatihah menurut Ibnu Arabi dalam Kitab Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m). Penelitian tafsir sufisme yang disandarkan kepada Ibnu Arabi telah banyak dibahas oleh para ilmuan. Demikian juga penelitian tentang pemikiran Ibnu Arabi sudah banyak dilakukan oleh penelitian terdahulu. Namun penulis belum menemukan penelitian yang secara khusus terkait penafsiran dan pendekatan Ibnu Arabi terhadap surat al-Fatihah.
(21)
13
Di antara penelitian yang fokus kajiannya terkait dengan Ibnu Arabi adalah sebagai berikut:
Metode dan Corak Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Karya Muhyiddin Ibnu Arabi.Yang ditulis oleh Abu Sujak. Menjelaskan tentang latar belakang
penyusunan kitab Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m, menjelaskan tentang nilai Tafsi>r
al-Qur’a>n al-Kari>m, metode dan sistematika yang digunakan Ibnu Arabi dalam menafsirkan karya tafsirnya, serta pendirian Ibnu Arabi dan corak tafsirnya.
Pemikiran Tasawuf Falsafi Ibnu Arabi. Skripsi yang ditulis oleh Sholihin mempunyai latar belakang yakni; Tasawuf dalam Islam secara umum ada dua aliran, tasawuf sunni dan tasawuf falsafi. Kemudian memfokuskan pada tasawuf Ibnu Arabi dalam pemikirannya tentang tuhan dan alam Ibnu Arabi menggunakan
simbol cermin, alam semesta sebagai cermin bagi tuhan tajalli (penampakan
tuhan secara zahir). Tapi alam ini hanyalah wujud nisbi karena berasal dari Dia yang berwujud mutlak. Dengan simbol ini Ibnu Arabi menjelaskan, pertama; sebab penciptaan alam, yakni bahwa penciptaan ini adalah sarana untuk memperlihatkan Nya, sifat dan asma-Nya. Dia ingin memperkenalkan
diri-Nya lewat alam. Dia adalah “harta simpanan” (kanz makhfi) yang tidak bisa
dikenali kecuali lewat alam, sesuai dengan hadis Rasul yang menyatakan itu.
Karena Tuhan bersifat transenden sekaligus imanen. Kedua, Tuhan dekat sekali
dengan makhluk terutama pada manusia. Dan pada diri manusia sempurna (insa>n
ka>mil), Tuhan mengaktualisasikan sifat dan asma-Nya secara paripurna, disitulah Tuhan melihat diri-Nya (sifat dan asma-Nya) dalam bentuk zahir secara sempurna
(22)
14
F. Metodologi Penelitian
Terdapat beberapa komponen penggunaan metode penelitian dalam penelitian ini, yaitu model penelitian, jenis penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, metode analisis data.
1. Model Penelitian
Penelitian ini menggunakan model metode penelitian kualitatif, adalah metode penelitian yang menghasilakan data deskriptif berupa kata-kata yang
tertulis dari suatu objek yang dapat diamati dan diteliti.25
Metode penelitian kualitatif disebut dengan metode penelitian naturalistic
sebab penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah, disebut juga sebagai
metode etnographi, karena pada awalnya metode ini lebih banyak digunakan
untuk penelitian bidang antropologi budaya. Beralih menjadi metode kualitatif
karena data dan analisa yang terkumpul lebih bersifat kualitatif.26
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian yang menggunakan
metode library research (penelitian kepustakaan), dan kajiannya disajikan secara
diskriptif analitis. Oleh karena itu berbagai sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari berbagai literatur (majalah, artikel, jurnal, buku dan lain sebagainya) yang memiliki hubungan dengan penelitian ini.
3. Metode Penelitian
Untuk memperoleh wacana tentang Tafsir Sufisme dalam Al-Qur‟an, metode yang digunakan adalah metode analisis ayat. Dalam metode ini, biasanya
25Lexy moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif ( Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 4. 26Ahmad Izzan, Metode Penelitian Tafsir (Bandung: Tafakkur, 2011), 114.
(23)
15
seorang mufasir menguraikan makna yang terkandung dalam ayat dan berusaha menjelaskan makna secara komprehensif dan menyeluruh. Uraian tersebut mencakup berbagai aspek yang dikandung oleh ayat yang telah ditafsirkan seperti pengertian kosa kata, konotasi kalimatnya, latar belakang turun ayat, kaitannya
dengan ayat lain (muna>sabat) dan pendapat-pendapat yang berkaitan dengan ayat
tersebut.27 Demikian dalam penelitian ini, penulis berusaha menganalisis ayat
dalam surat al-Fatihah dengan memaparkan berbagai aspek yang terkandung. 4. Sumber Data
Dalam penelitian kualitatif realitas dipandang dipandang holistic dan pola
pikir induktif, dan masih bersifat sementara dan berkembang setelah peneliti
memasuki objek penelitian atau situasi sosial. Data yang diambil dari penelitian ini bersumber dari dokumen kepustakaan yang terdiri dari dua jenis sumber yaitu sumber primer dan sekunder.
a. Sumber data primer, yaitu sumber data yang berfungsi sebagai sumber data asli
atau sumber paling utama dalam penelitian ini. Sumber data primer yang akan dipakai dalam hal ini adalah al-Qur‟an. Hal ini dikarenakan objek utama
penelitian ini adalah Surat al-Fatihah. Penulis juga menggunakan tafsir Tafsi>r
al-Qur’a>n al-Kari>m karya Muhyiddin Ibnu Arabi.
b. Sumber data sekunder adalah data-data yang melengkapi atau mendukung data
primer berupa bahan pustaka yang berkaitan dengan tema inti, diantaranya: 1) Al-Itqa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, karya Jalaluddin al-Suyuti,
2) Us}u>l al-Tafsi>r wa Qawa>’iduh, karya Khalid Abdurrahman Al-„Ak.
27Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 31-32.
(24)
16
3) Al-Luma’ (Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf), karya Abu Nasr As-Sarraj. 4) Tasawuf di Mata Kaum Sufi, karya William C. Chittick.
5) Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, karya Said Aqil Siraj. 5. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode dokumenter yang diterapkan untuk menggali berbagai data berupa catatan, buku, kitab, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan variable terkait penelitian penafsiran Ibnu Arabi terutama penafsirannya dalam surat al-Fatihah berdasarkan konsep-konsep kerangka penulis yang sebelumnya telah dipersiapkan.
6. Metode Analisis Data
Dalam penelitian kualitatif, teknis analisis data lebih banyak dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data. Analisis data akan dilakukan dengan
menggunakan analisis isi (content analysis) yang merupakan analisis ilmiah
tentang pesan suatu komunikasi, untuk menjelaskan data-data yang diperoleh
melalui peneltian.28 Pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan
Interpretatif-Induktif. Pendekatan Interpretatif digunakan untuk memahami pemikiran Ibnu Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat Qur‟an terutama surat al-Fatihah, dan untuk memahami bagaimana metode dan prinsip yang digunakannya dalam menafsirkan Ummu al-Qur‟an.
Pendekatan Interpretatif kemudian dipadukan dengan metode Induksi, yaitu metode yang berangkat dari sejumlah kenyataan yang bersifat khusus menuju
28Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif: Telaah Positivistik Rasionalistik, Phenomonologik Realisme Metafisik (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1992), 76.
(25)
17
kesimpulan yang bersifat umum.29 Digunakan oleh penulis untuk mengambil
kesimpulan tentang sumber, metode dan prinsip penafsiran Ibnu Arabi terhadap penafsirannya. Sebagai Pisau Analisa, penulis menggunakan teori-teori tentang Ulum al-Qur‟an sebagaimana yang telah dikemukakan oleh para ulama, ditambah dengan berbagai macam wacana tentang penafsiran al-Qur‟an utamanya yang berkaitan dengan surat al-Fatihah.
G.Sistematika Pembahasan
Dari hasil penelitian ini kemudian disusun sistematika sebagai berikut: Bab I: Pendahuluan. Berisi tentang arah penulisan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, telaah pustaka, metodologi penelitian, sistematika pembahasan dan pedoman transliterasi.
Bab II: Landasan Teori: pada bab ini mengkaji tentang definisi tafsir sufi dan perkembangannya, kecurigaan terhadap tafsir sufi, dan pendekatan yang
digunakan para sufi dalam menafsirkan al-Qur‟an, teori ta’wi>l ayat,.
Bab III: Sajian Data. Bab ini membahas tentang Ibnu Arabi dan karyanya Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m. Mencantumkan tentang biografi atau profil Ibnu Arabi yang mencakup asal usul Ibnu Arabi dan gelar yang dimilikinya, kondisi sosial politik dan intlektual masa Ibnu Arabi, sketsa perjalanan Ibnu Arabi, pemikiran
beserta karyanya, kemudian membahas tentang kitabnya Tafsi>r al-Qur’a>n
al-Kari>m yang meliputi motivasi penulisan, metode dan pendekatan yang digunakan
(26)
18
Ibnu Arabi dalam menafsirkan al-Qur‟an al-karim, lalu mebahas tentang penafsirannya terhadap surat Al-Fatihah.
Bab IV: Analisa Data. Pada bab ini lebih mengedepankan analisis dari hasil penelusuran Bab II dan Bab III, termasuk membahas tentang Analisis Metode Ibnu Arabi terhadap Al-Qur‟an Al-Karim khususnya dalam Surat Al-Fatihah, prinsip penafsiran Ibnu Arabi dalam menafsirkan surat Al-Fatihah serta pendekatan yang Ibnu Arabi gunakan dalam penafsiran surat Al-Fatihah.
Bab V: Penutup. Sebagai bab terakhir, dalam bab ini disajikan untuk mengemukakan kesimpulan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang telah dilampirkan dalam pokok permasalahan dan juga saran-saran sebagai acuan penelitian selanjutnya dan pengembangan ilmu pengetahuan.
(27)
19
BAB II
PENAFSIRAN SUFISME DALAM AL-QUR’AN
A.Tafsir Sufi (tasawuf) dan Perkembangannya
Tafsir sufi merupakan kata majemuk dari satuan kata “tafsir” dan “sufi”. Secara etimologis (lughawi), tafsir diambil dari kata “fassara” yang berarti penjelasan atau penerangan (al-kasf wa al-iba>nah). Sebagian ulama berpendapat bahwa tafsir berasal dari kata safar yang juga berarti menyingkap. Oleh karena itu kata safirah bermakna perempuan yang tersingkap kerudungnya.1
Secara terminologis (istilahi) tafsir didefinisikan sebagai ilmu yang membahas tatacara pengucapan al-Qur‟an, dalalahnya, hukum-hukumnya baik yang afradiyah atau tarkibiyah, dan makna-makna yang dikandung oleh susunan kalimatnya, dan yang berkaian dengan hal tersebut.2 Atau berarti ilmu yang membahas pengucapan lafad al-Qur‟an, dalalahnya, satuan atau susunan hukumnya, makna yang dikandung susunan, nasakh mansukh, asba>b al-nuzu>l serta kisah yang semuanya menjelaskan kesamaran dalam al-Qur‟an. Dan sebagian kalangan yang lain mendifinisikan tafsir dengan ilmu tentang turunnya ayat, kisah-kisah dan asbab al-nuzul, runtutan makiyah dan madaniyah, muhkam mutasyabih, nasikh mansukh, am-khas, mutlaq muqayyad, mujmal mufassar, halal haram, janji ancaman, perintah larangan dan seterusnya.3
1Manna‟ al-Qatthan, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran, 323. 2Ibid.,324-325.
(28)
20
Kata sufi secara etimologis dinyatakan sebagai isim mushtaq dari kata “shu>f” yang berarti bulu domba. Mayoritas para ahli sufi seringkali menggunakan pakaian dari kulit bulu domba yang kasar sebagai manifestasi dari sifat zuhud mereka. Kata mushtaq, secara tidak langsung menolak asal kata dasar sufi yang lain seperti suffah yang berarti tempat pojok masjid yang dipakai oleh para Sahabat Nabi SAW untuk berdomisili di sana, shaf berarti barisan paling depan di hadapan Allah SWT, safwah berarti orang-orang pilihan Allah SWT, dan lain sebagainya.4
Secara terminologis, kata sufi diartikan sebagai orang yang menjalani ritual tasawuf. Tasawuf mengandung makna tiga hal, pertama, suatu yang berkaitan dengan akhlak. Kedua, sesuatu yang berkaitan dengan ibadah dan bentuk-bentuknya. Ketiga, sesuatu yang berhubungan dengan ma’rifah dan musya>hadah.5
Muhammad Abdullah menjelaskan dalam bukunya bahwa tumbuh subur dan kematangan tasawuf Islam berawal pada abad ke 3 sebab sebagian besar karya sufi merujuk pada abad tersebut. Sedangkan benih-benih ajaran tasawuf bermula pada abad awal Islam dimana tasawuf dalam kehidupan diartikan sebagai ketundukan manusia untuk melatih jiwa, mengungkap tirai indrawi, menyucikan hati dari kehendak hawa nafsu, dan memutuskan dari ketergantungan materi yang dapat mengahambat dan merusak hubungan dengan tuhannya. Maka, pemahaman tasawuf dalam konteks ini jelas muncul bersamaan dengan sejarah munculnya
4Ibid, 201-203.
5Kamal Ibrahim Ja‟far, T{ari>qan wa Tajribatan wa Madhhaban (Kairo: Dar al-Ulum University,
(29)
21
Islam yang terdapat perinsip zuhud sebagai dasarnya. Prinsip ini ditemukan pada para sahabat Nabi SAW dan memperkuat aliran madzhab mereka.6
Dalam awal mula tasawuf Islam dapat ditemukan semangat ruhaniyah sebagaimana juga ditemukan dalam sabda dan kehidupan Nabi SAW. baik sebelum maupun setelah diutus menjadi nabi. Apa yang diisyaratkan al-Qur‟an dasarnya adalah berisi argumentasi yang menghargai prinsip-prinsip logika dan akal bukan hanya berisi dialog yang berpegang pada motivasi emosi-keagamaan.7 Seperti yang disebutkan dalam surat Ali Imran: 191
َُنيِذَلا
َُنوُرُكْذَي
ََُّا
اًماَيِق
اًدوُعُ قَو
ىَلَعَو
ُْمِِِوُنُج
َُفَ تَ يَو
َُنوُرَك
ُِف
ُِقْلَخ
ُِتاَواَمَسلا
ُِضْرأاَو
اَنَ بَر
َُتْقَلَخاَم
اَذَ
اِطاَب
َُكَناَحْبُس
اَنِقَف
َُباَذَع
ُِراَنلا
ُ
(
ٔ٩ٔ
)
8(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.9
Pada perkembangan selanjutnya, terdapat dua aliran tasawuf yaitu aliran tasawuf teoritis dan aliran tasawuf praktis. Keduanya aliran ini sangat mewarnai diskursus penafsiran al-Qur‟an.
a. Aliran Tasawuf Teoritis
Tasawuf Teoritis adalah tasawuf yang didasarkan pada hasil pembahasan dan studi yang mendalam tentang al-Qur‟an dengan menggunakan teori-teori mazhab yang sesuai dengan ajaran mereka yang telah bercampur dengan filsafat.
6Muhammad Abdullah Al-Syarqawi, Sufisme dan Akal (Bandung: Pustaka Hidayah, 2003), 22-24 7Ibid., 29
8Al-Quran, 3:191.
(30)
22
Syurbasyi menyatakan bahwa dari sebagian tokoh- tokoh tasawuf, munculah ulama yang mencurahkan waktunya untuk meneliti, mengkaji, memahami daan mendalami al-Qur‟an dengan sudut pandang yang sesuai dengan teori- teori tasawuf mereka. Mereka menakwilkan ayat- ayat al-Qur‟an tanpa mengikuti cara-cara yang benar. Penjelasan mereka menyimpang dari pengertian tekstual yang telah dikenal dan didukung oleh dalil-dalil syara‟ yang terbukti kebenarannya bila dilihat dari sudut pandang bahasa. Karena pemikiran mereka telah di pengaruhi oleh filsafat, dan juga para sufi mengambil porsi pembahasan lebih banyak.10
Tasawuf model ini sangatlah kontrofersial dalam penerimaannya dikalangan masyarakat, dinyatakan bahwa diantara tokohnya adalah Ibnu Arabi yang dipandang sebagai tokoh besar tasawuf falsafi dan termasuk tokoh mazhab Wahdah al-Wujud. Ibnu Arabi menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dengan metodologi tafsir falsafinya, baik dalam kitab tafsirnya atau dalam kitab-kitab yang lain, seperti kitab al-Fusus. Salah satu contoh penafsirannya dalam surat Maryam ayat 57 dan Al-Nisa‟ ayat 1:
(ُايِلَعُاًناَكَمُُاَنْعَ فَرَو
٢٧
)
11 dan kami telah mengangkatnya ke tempat yang paling tinggi.12
Dalam penafsiran Ibnu Arabi dinyatakan bahwa “tempat yang paling tinggi adalah tempat yang dikelilingi oleh rotasi alam raya yaitu orbit matahari. Disanalah tempat rohani Nabi Idris”, kemudian Ibnu Arabi memberikan penjelasan bahwa “derajat yang paling tinggi adalah untuk umat Muhammad.
10Ahmad Syurbasyi, Study tentang Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Quran Al-Karim (Jakarta:
Kalam Mulia,1999), 234.
11Al-Quran, 19:57.
(31)
23
Demikian ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan ketinggian dengan Nabi Idris adalah ketinggian tempat bukan ketinggian derajat.13
ٍُةَدِحاَوٍُسْفَ نُْنِمُْمُكَقَلَخُيِذَلاُُمُكَبَرُاوُقَ تاُُساَنلاُاَه يَأُاَي
14
Artinya: wahai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari jiwa yang satu.15
Tafsirannya menyatakan bahwa “bertaqwa kepada Tuhanmu” memiliki makna Jadikanlah bagian yang tanpak dari dirimu sebagai penjaga bagi Tuhanmu, juga dirimu. Sebab persoalan itu hanya (ada dua kemungkinan) yaitu antara celaan dan pujian. Karena itu, jadilah kamu sebagai pelindung dalam celaan dan jadikanlah Dia sebagai pelindungmu dalam pujian, niscaya kamu menjadi orang yang paling beradap di seluruh alam.
Menurut Manna‟ Al-Qattan Penafsiran seperti ini dan yang serupa berusaha membawa nash-nash ayat kepada arti yang tidak sejalan dengan arti lahirnya, dan tenggelam dalam takwil yang batil yang jauh serta menyeret kepada kesesatan.16 b. Aliran Tasawuf Praktis
Tasawuf praktis adalah cara hidup yang sederhana, zuhud, dan sifat meleburkan diri kedalam ketaatan kepada Allah. Ulama aliran ini menamai karya tafsirnya dengan tafsir isyarat (isha>ri>), yakni mentakwilkan al-Qur‟an dengan penjelasan yang berbeda dengan kandungan tekstualnya, yakni berupa isyarat- isyarat yang dapat ditangkap oleh mereka yang sedang menjalankan suluk (perjalanan menuju Allah). Dengan kata lain tasawuf praktis adalah Tafsir yang
13Manna‟ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran, terj. Aunur Rafiq El-Mazni, 445. 14Al-Quran, 4:1.
15Al-Quran dan Terjemahnya, 77.
(32)
24
berusaha menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an berdasarkan isyarat yang tersembunyi. Dikatakan oleh Al-Jahiz} bahwa andaikan bukan karena isyarah maka manusia tidak akan pernah faham makna khusus dari yang terkhusus (Khas} al-Khas}).17
Para sufi melakukan riyadhah rahani yang akan membawa mereka ke suatu tingkatan yang dapat menyikapi isyarat-isyarat kudus yang terkandung di dalam al-Qur‟an, dan akan tercurah kedalam hatinya, dari limpahan gaib, pengetahuan subhani yang dibawa ayat- ayat itu. Para sufi berpendapat bahwa ayat- ayat a-Quran memiliki makna dzahir dan makna batin. Makna dzahir adalah apa yang mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan makna batin ialah isyarat- isyarat yang tersembunyi yang dikandung ayat-ayat al-Qur‟an yang hannya nampak bagi ahli suluk. Corak (laun) penafsiran ini bukan bentuk penafsiran yang baru, melainkan telah dikenal sejak turunnya al-Qur‟an kepada Rasul SAW, dan itu di isyaratkan sendiri oleh al-Qur‟an, selain itu Nabi juga memberitahukan kepada para shahabat.18
Para sufi umumnya berpedoman kepada hadits Nabi, hadis riwayat dari Ibnu Hibban dengan periwayatan yang marfu’:
َُنَ ثَدَحُ:َلاَقُ، يِلْمَرلاٍُدْيَوُسُُنْبُُقاَحْسِإُاَنَ ثَدَحُ:َلاَقُ، ِِاَدْمَْهاٍُدَمَُحُُنْبُُرَمُعُاَنَرَ بْخأ
ُ َِِأُُنْبُُليِعاَِْْإُا
َُدْمَْهاَُقاَحْسِإُ َِِأُْنَعُ،َناْجَعُِنْبُِدَمَُحُْنَعُ، ٍلاِبُِنْبَُناَمْيَلُسُْنَعُ،يِخَأُ ِنَثَدَحُ:َلاَقُ،ٍسْيَوُأ
ُ، ِِِّا
َُِّاُ ُلوُسَرُ َلاَقُ:َلاَقُ،ُهْنَعَُِِّاَُيِضَرٍُدوُعْسَمُِنْباُِنَعُ،ِصَوْحَأاُ َِِأُْنَع
ُِةَعْ بَسُىَلَعُُنآْرُقْلاُ َلِزْنُأُ:
ٌُنْطَبَوٌُرْهَظُاَهْ نِمٍُةَيآُِّلُكِلُ، ٍفُرْحَأ
.
19
“Telah menghabarkan pada kami Umar bin Muhammad Al-Hamdani, ia berkata menceritakan pada kami Ishaq bin Uwais Al-Ramli, ia berkata menceritakan pada kami
17Khalid Abdurrahman Al-„Ak, Us}u>l al-Tafsi>r wa Qawa>’iduh(Kairo: Dar al-Naghais, 1986), 205. 18Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka setia, 2005), 166.
(33)
25
Ismail bin Abi Uwais, ia berkata menceritakan padaku saudarku, dari sulaiman bin bilal, dari Muhammad bin „Ajlan, dari Abi Ishaq Al-Hamdani, dari Abi Al-Ahwas, dari Ibnu Mas‟ud, ia berkata; Rasul SAW bersabda “Setiap ayat memiliki makna lahir dan batin”.
Hadits di atas, adalah merupakan dalil yang digunakan para sufi untuk menjustifikasi tafsir mereka yang eksentrik. Menurut mereka di balik makna zahir, dalam redaksi teks Al-Qur‟an tersimpan makna batin. Mereka menganggap penting makna batin ini. Nashiruddin Khasru misalnya, mengibaratkan makna zahir seperti badan, sedang makna batin seperti ruh dan badan tanpa ruh adalah substansi yang mati. Tidak heran bila para sufi berupaya mengungkap makna-makna batin dalam teks Al-Qur‟an.20
Tafsir Isha>ri> terbagi menjadi dua. Pertama, isyarat yang samar yang bisa ditemukan oleh Ahlu al-Taqwa (orang-orang yang taqwa), orang saleh dan orang yang memiliki ilmu dalam memahami bacaan al-Qur‟an, dan menemukan makna yang terkandung dalam bacaan tersebut. Kedua, Isyarat yang jelas dikandung oleh ayat-ayat kauniyah dalam al-Qur‟an dan isyarat jelas yang mengarah pada pengetahuan baru yang terungkap.21
Mayoritas ulama berpendapat tafsir isyari tidak diperbolehkan sebab hawatir
taqawwul (membuat-buat ucapan) atas Allah dalam menafsiri kalamNya tanpa adanya dasar pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa penguasaan yang jelas. Sedangkan sebagian yang lain memperbolehkan penafsiran isyari dengan syarat-syarat tertentu diantaranya:
1. Tafsir isyari tidak menafikan makna dhahir dari susunan Qur‟ani.
20Jalaluddin Al-Suyuti, Al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n, 104. 21Khalid Abdurrahman Al-„Ak, Us}u>l al-Tafsi>r wa Qawa>’iduh, 206
(34)
26
2. Tidak hanya mengharuskan satu makna yang dimaksud hingga menafikan yang dhahir atau menafikan berbagai arah penafsiran.
3. Tidak bertentangan dengan dengan dalil syar‟i atau „aqli. 4. Memilki penguat secara syar‟i hingga bisa diterima.22
Dalam mentafsirkan al-Qur‟an dengan corak tafsir isyari, syarat ini sangat diutamakan. Dikarenakan tafsir isyari merupakan makna-makna al-Qur‟an yang tersembunyi yang terlintas dalam hati mu‟min yang bertaqwa, yang salih dan alim. Hanya menjadi urusan antara ia dan tuhannya, atau dimengerti tetapi tidak mewajibkan pada orang lain.Diantara tafsir yang masuk pada jenis tafsir isyari dengan mengutamakan syarat-syarat tersebut adalah: Tafsir Gharaib Al-Qur‟an wa Gharaib Al-Furqan karya Nizamuddin Al-Hasan bin Muhammad bin Husain Al-Qami Al-Naisaburi. Tafsir Ruh Al-Ma‟ani fi Tafsir Al-Qur‟an Al-„Azim wa Al-Sab‟ Al-Masani karya Syihabuddin Mahmud Al-Alusi Al-Baghdadi.23
B. Pendekatan Tafsir Sufisme
Para sufi memiliki world view yang berbeda dengan komunitas lain seperti ahli kalam, fiqih, dan lain sebagainya. Demikian ini karena mereka diliputi oleh persepsi-prsepsi yang dibangun oleh pengalaman sufistik mereka. Dengan kata lain, pengalaman sufistik lebih terbentuk dalam jiwa mereka dari pada yang lainnya, sehingga memisahkan dengan pengalaman ini adalah suatu hal yang tidak mungkin. Bahkan selanjutnya akan menjadi sumber inspirasi penafsiran unik sufistik mereka.
22
Ibid., 208.
(35)
27
Sejumlah karya tafsir dalam background sufi telah berhasil dikarang. Menurut Zarqani, beberapa tafsir sufi yang popular antara lain: pertama, al-Naisaburi. Bentuk dari tafsir al-Naisaburi, setelah menjelaskan makna z}ahir, selanjutnya ia beralih pada makna isyaratnya. Kedua, tafsir al-Alusi (1270 M). nama tafsirnya adalah Ruh al-Ma’ani. Jenis tafsir ini lebih lengkap karena di
samping menerangkan makna z}ahir dan batin ayat, di awal bahasan juga menjelaskan dan menceritakan berbagai riwayat ulama salaf. Ketiga, tafsir al-Tastari (383 H). Tafsir ini tidak meliputi seluruh ayat, tetapi tetap meliputi surat. Dalam tafsir ini al-Tastari mencoba jalan yang ditempuh para ahli sufidengan disesuaikan makna z}ahirnya. Keempat, tafsir Ibnu Arabi (560-638 H), diantara kitab tafsirnya adalah kitab al-Jam’u wa al-Tafs}i>l fi Ibda>’ Ma’a>ni al-Tanzi>l, I’ja>z al-Baya>n fi al-Tarjamah ‘an al-Qur’a>n, danTafsi>r Al-Qur’a>n Al-Kari>m.24
Bahkan Ibnu Taimiyah menambahkan –selain nama-nama yang disebutkan oleh al-Zarqani- terdapat tafsir lain yaitu Tafsir al-Salimi (W. 412 H), tafsir Abu Muhammad al-Shirazi (666), Najm al-Din Dayah (W.604 H) dan Ila‟ al-Da‟ulah al-Salmani (736 H), sebagai bagian yang disebut tafsir sufi.25 Seperti tafsir al-Qusyairi (W.201 H) sering juga disebut sebagai tafsir yang berkecenderungan sufi. Hanya saja, tiap tafsir sufi berbeda baik dari segi bentuk, metode dan cara penyajian, sesuai dengan kapasitas intlektual masing-masing penafsir.
Dengan demikian, tidak serta merta seluruh tafsir sufi adalah seragam kendati bidang kajian umumnya berpijak pada wilayah yang sama, yaitu tasawuf.
24Al-Zarqani, Mana>hil al-‘Irfa>n fi Ulu>m al-Qur’a>n, vol.2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999),
90-95.
(36)
28
Kesamaannya berporos pada satu hal, bahwa pengalaman esoteric merekalah yang menjadi pondasi dalam corak tafsir model sufistik.26
Sebagai contoh dapat dilihat pada penafsiran al-Naisaburi ketika memahami ayat 67 surat Al-Baqarah:
َُرَقَ بُاوَُحْذَتُْنَأُْمُكُرُمْأَيََُّاَُنِإُِهِمْوَقِلُىَسوُمُ َلاَقُْذِإَو
َُنِمَُنوُكَأُْنَأَُِّاِبُُذوُعَأُ َلاَقُاًوُزُُاَنُذِخَتَ تَأُاوُلاَقًُة
(َيِلِاَْْا
٢٧
)
27
ُ
Dan (ingatlah), ketika Musa Berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina." mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil".28
Dalam ayat ini al-Naisaburi melakukan ta’wi>l yang berbeda dengan makna leksikalnya. Pembunuhan sapi dalam ayat ini sesungguhnya merujuk pada pembunuhan nafsu kehewanan (al-nafs al-bahimiyah). Dengan membunuh nafsu kehewanan ini, maka akan terwujud kehidupan hati rohaniah (al-qalb al-ruhani). Dan ini, lanjut al-Naisaburi, merupakan jihad besar yang dianjurkan agama.29
Dalam ayat lain al-Naisaburi menafsirkan dengan penafsiran yang tidak jauh berbeda dari ayat di atas:
َُُهَُناَكُاَمَُكِئَلوُأُاَِِاَرَخُ ِفُىَعَسَوُُهُْْاُاَهيِفَُرَكْذُيُْنَأَُِّاَُدِجاَسَمَُعَنَمُْنَُُِِمَلْظَأُْنَمَو
ُاَوُلُخْدَيُْنَأُْم
َُيِفِئاَخُاِإ
(ٌُميِظَعٌُباَذَعُِةَرِخآاُ ِفُْمَُهَوٌُيْزِخُاَيْ ن دلاُ ِفُْمَُه
ٔٔ٤
)
30
ُ
26Sayyid jibril, Madkhal ila Mana>hij al-Mufassiri>n, 213-214. 27Al-Quran, 2:67.
28Al-Quran dan Terjemahnya, ( Bandung: PT Sygma Examedia Arkanleema, 2009 ), 10.
29M Noor Harisudin, “Menakar Tafsir Sufistik”, Justitia Islamica: Jurnal Kajian Hukum dan
Sosial, Vol.4 No.1 (Januari-Juni 2007), 117.
(37)
29
Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalanghalangi menyebut nama Allah dalam mesjid-mesjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.31
Dalam ayat ini al-Naisaburi mengalihkan makna z}ahir kata masa>jid pada
nafs berupa kepatuhan dan ibadah pada Allah SWT. Mencegah dzikir dalam masjid sama halnya dengan mencegah kebajikan dan berkehendak pada kemungkaran. Juga masjid bagi hati, yakni berupa tauhid dan makrifat. Mencegah dzikir dalam jenis masjid hati adalah berpegangan pada barang syubhat dan bersinggungan dengan gairah syahwat.32
Tafsir sufi pada dasarnya adalah tafsir yang dikemukakan oleh para sufi. Sufisme atau tasawuf adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari cara dan jalan tentang bagaimana seorang muslim dapat berada sedekat mungkin dengan Tuhannya. Intisari dari Sufisme adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Allah SWT dengan mengasingkan diri dan berkontempelasi. Sufisme mempunyai tujuan memperoleh hubungan dengan Tuhan, sehingga seseorang sadar betul bahwa ia berada di hadirat Tuhan.33
Ada banyak variasi cara dan jalan yang diperkenalkan para ahli sufisme untuk memperoleh tujuan tersebut. Mereka menyebutnya dengan istilah maqamat, yaitu ibaratkan stasiun-stasiun yang harus dijalani para sufi untuk sampai ke tujuan mereka. Dari sekian banyak versi maqamat, yang biasa disebut adalah taubat, zuhud, sabar, tawakkal, ridha. Kelima stasiun itu harus ditempuh secara bertahap. Untuk berpindah dari satu stasiun ke stasiun berikutnya diperlukan
31Al-Quran dan Terjemahnya, 18.
32Harisudin, “Menakar Tafsir Sufistik”, 118.
33M. Solihin, Tasawuf Tematik Membedah Tema-tema Penting Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia,
(38)
30
waktu dan usaha yang tidak sedikit. Terkadang seorang sufi harus menyelami satu stasiun selama bertahan-tahun sebelum akhirnya ia merasa mantap dan dapat berpindah ke stasiun berikutnya.34
Tingkatan para sufi juga sama dengan tingkatan para ahli hadits dan ahli fiqh dalam keimanan dan akidah mereka. Kaum sufi juga bisa menerima ilmu mereka dan tidak berbeda dalam makna dan pengertian serta ciri-ciri mereka. Jika diantara para sufi yang tingkat keilmuan dan pemahamannnya belum sampai pada tingkatan ahli fiqh dan ahli hadits, maka ketika ia mendapatka kesulitan hukum syariat atau batas-batas ketentuan agama, ia wajib merujuk pada ahli fiqh dan hadits. Jika sepakat, maka kesepakatan hukum itulah yang diambil, dan apabila terdapat perbedaan pendapat maka kaum sufi mengambil hukum yang terbaik, paling utama dan paling sempurna demi lebih hati-hati dalam menjalankan hukum syariat agama.35
Menurut Abu Nasr, dalam madzhab kaum sufi tidak ada aturan untuk mengambil rukhshah (keringanan hukum) dan melakukan ta’wi>l (interpretasi) untuk pembenaran terhadap hukum, atau condong pada kemewahan dan hal-hal syubhat. Madzhab mereka selalu perpegang teguh pada hal yang paling utama dan paling sempurna. Mereka naik pada derajat yang tinggi dan selalu bergantung pada berbagai kondisi spiritual yang mulia dan kedudukan yang agung dalam
34Abu Al-Wafa Al-GhanamiAl-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung : Pustaka, 1997),
107.
35Abu Nasr Al-Sarraj, Al-Luma’ Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf (Surabaya: Risalah Gusti, 2002),
(39)
31
berbagai bentuk ibadah, hakikat ketaatan dan akhlak yang mulia. Hal ini merupakan ciri khusus yang tidak dimiliki oleh ahli fiqh dan ahli hadis.36
Mengenai bentuk hubungan dengan Allah SWT yang menjadi tujuan para sufi, ada dua buah pendapat utama; monoisme dan dualisme. Para penganut aliran monoisme berpendapat bahwa tahap puncak hubungan seorang sufi dengan Tuhan bersifat manunggalan atau monolitik, hubungan ini dapat mengambil bentuk hulu>l, ittiha>d atau wihdah al-wuju>d. Para penganut aliran dualisme berpendapat bahwa hubungan seorang sufi dengan Tuhan bersifat dualistik. Seorang sufi bisa jadi akan sangat dekat dengan Tuhan, sehingga tidak ada lagi dinding pemisah antara dia dengan Tuhan, namun dia tetaplah dia dan Tuhan tetaplah Tuhan. Bagi aliran dualisme, puncak hubungan seorang sufi dengan Tuhannya adalah al-Qurb (kedekatan).37
Untuk menguraikan jalan dan tujuan sufisme ini, para ahli tasawwuf menempuh dua jalan yang berbeda. Ada yang menggunakan Al-Qur‟an dan al-Hadits, dan ada pula yang menggunakan filsafat. Penganut aliran dualisme umumnya menggunakan yang pertama, karena itu aliran ini biasanya disebut tasawwuf sunni. Sedangkan penganut aliran monoisme umumnya menggunakan yang kedua, karena itu aliran ini biasanya disebut tasawwuf filosofi (falsafi).38
Mahmud Basuni Faudah, menyebut kedua macam aliran tasawwuf tersebut dengan isitilah tasawwuf teoritis dan tasawwuf praktis. Tasawwuf teoritis adalah tasawwuf yang didasarkan pada pengamatan, pembahasan dan pengkajian, dan karena itu mereka menggunakan filsafat sebagai sarananya. Sedangkan tasawwuf
36Ibid., 22.
37Al-Taftazani, sufi dari Zaman ke Zaman, 108.
(40)
32
praktis adalah tasawwuf yang didasarkan pada kezuhudan dan asketisme, yakni banyak berzikir dan latihan-latihan keruhanian. Menurut Faudah, para penganut kedua aliran ini mendekati Al-Qur‟an dengan cara yang berbeda. Karena itu, produk penafsirannya pun relative berbeda. Ia membedakan keduanya dengan istilah tafsir sufi nazhari dan tafsir dan tafsir sufi isyari. Tafsir sufi Nazhari adalah produk sufi teoritis seperti Ibn „Arabi. Sedangkan tafsir sufi Isyari adalah produk sufi praktis seperti Imam Naysaburi, Tustari, dan Abu Abdurrahman al-Sulami.39
Sangatlah menarik untuk membandingkan lebih jauh tentang sufi Nazhari dengan tafsir sufi Isyari ini. Hal ini, mengingat masing-masing memiliki karakter tersendiri. Tafsir sufi Nazhari adalah produk sufi yang notabenenya membangun ajaran sufisme di atas landasan filsafat. Karena itu, sangatlah mungkin ada bias filsafat di dalam tafsir aliran tersebut. Sedangkan tafsir sufi isyari adalah produk para sufi menganut teologi Asy‟ariyah, sehingga besar kemungkinan ada bias Asy‟ariyah di dalam tafsir tersebut.40
C. Kecurigaan Terhadap Tafsir Sufi
Tafsir sufi sebagai yang identik dengan tafsir Isyari, secara umum dibagi menjadi dua. Tafsir sufi yang masih dalam batas-batas yang diperbolehkan, dan tafsir sufi yang jauh melampaui maksud teks al-Qur‟an sehingga dilarang. Menurut Al-Zarqani, jenis pertama disebut tafsir al-Isyari, sementara yang ke dua lebih tepat disebut tafsir al-Batiniyah al-Mulahidah. Di samping al-Isyari atau sufi
39Al-Taftazani, sufi dari Zaman ke Zaman, 119.
40Thabathaba‟i, Islam Syiah Asal Usul dan Perkembangan, terj; M Arifin, (Jakarta: Pustaka Utama
(41)
33
berbeda dengan jenis tafsir al-Batiniyah al-Mulahidah, ia juga dipandang tidak melampauwi batas-batas yang telah ditetapkan. Hal ini disebabkan oleh penerimanya terhadap makna z}ahir ayat. Biasanya tafsir al-Isyari atau sufi, membahas terlebih dahulu makna zahir ayat sebelum masuk pada makna pembahasan batin ayat. Berbeda dengan bentuk tafsir al-Batiniyah al-Mulahidah yang sama sekali menolak tafsir zadir ayat dan hanya menerima tafsir batiniyah.41
Dalam alur ini, tafsir sufi jelas merupakan kelanjutan dari tafsir ayat secara z}ahir alam al-Qur‟an. Penafsirannya tidak berdiri sendiri tetapi selalu terkait dengan makna z}ahir ayat. Demian ini, melepas hubungan makna z}ahir dan makna batin dalam al-Qur‟an adalah hal yang tidak mugkin dalam tafsir sufi.42
Makna batin merupakan penafsiran yang diperoleh mereka melalui pendalaman ayat-ayat al-Qur‟an. Dengan demikian, tidak semua orang dapat memahami makna batin tersebut. Hanya orang-orang tertentu saja, yakni mereka yang telah mendalam ilmunya (al-Rasikhun fi al-Ilm), yang dipandang mampu menangkap makna batin ayat secara komprehensip.43
Tafsir al-Batiniyah al-Mulahidah yang juga dipandang menyimpang dari ajaran-ajaran Islam, oleh sebagian ulama juga sering disebut tafsir Sufi al-Naz}ari sebagai lawan dari tafsir sufi fad}y atau ishari.44 Jika tafsir sufi nad}ariadalah derivasidari jenis tasawuf falsafi, maka tafsir sufi faydi atau ishari lebih cenderung merupakan turunan dari tasawuf „amali.45
41Al-Zarqani, Mana>hil al-Irfa>n fi Ulu>m al-Qur’a>n, vol 2, 87 42Ibid.
43Harisudin, “Menakar Tafsir Sufistik”, 121. 44Al-Dhahabi, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, 339.
(42)
34
Tafsir s}ufi al-Naz}ari dan s}ufi al-fady, meski sama-sama menggunakan domain tasawuf, keduanya memiliki latar belakang yang tak dapat dipertemukan. Jenis yang pertama ditolak karena bertentangan dengan z}ahir ayat. Sedangkan yang kedua dapat diterimakarena dapat dipertemukan dengan z}ahir ayat. Dengan kata lain, terdapat penafsiran sufi yang dapat diterima (maqbul) danada juga yang ditolak (mardud). Bisa diterima karena memenuhi standard persyaratan yang diajukan dan yang ditolak sebab tidak memenuhi syarat tersebut. Dan syarat-syarat ini diantaranya tidak ada pertentangan dengan makna zahir ayat al-Qur‟an, tidak mengakui hanya makna batin serta menafikan makna lahir, bukan merupakan makna ta‟wil yang jauh dari makna asli, tidak bertolak belakang baik secara syar‟I atau „aqli da nada pendukung lain yang menguatkannya.46
Sebagian kalangan banyak juga yang tidak menerima kaum sufi dan penafsirannya sebab dianggap tasawuf hanya berdasarkan isyarat saja dan tidak memiliki landasan dari al-Qur‟an dan hadis. Hal ini dijelaskan oleh Al-Sarraj dalam bukunya bahwa kaum sufi tidak diperselisihkan keberadaannya yang diakui dalam al-Qur‟an, dan Allah telah mengakui keberadaan orang-orang jujur (al-s}a>diqi>n al-s}a>diqa>t), orang-orang yang khusyu‟ (al-kha>shi’i>n), orang-orang yang sangat yakin (al-muqi>ni>n), orang-orang yang ikhlas (al-mukhlis}i>n), orang-orang yang berbuat baik muh}sini>n), orang-orang yang takut pada siksa Allah (al-Kha>ifi>n), orang-orang yang berharap pada rahmat Allah (al-ra>ji>n), orang-orang yang bersabar (al-s}a>biri>n), orang-orang yang bertawakal (al-mutawakkili>n), orang-orang yang tawadhu‟ (al-Mukhbitin), para kekasih Allah (auliya>’),
(43)
35
orang bertaqwa (al-muttaqi>n), orang-orang pilihan (al-mus}t}afi>n dan al-mujtabi>n), orang-orang baik abra>r), dan orang-orang yang dekat dengan Allah (al-muqarrabi>n).47
Sabda Rasul SAW. tentang kepribadain para sufi, riwayat Muslim an Al-Tirmidzi dari Anas bin Malik:
ُِبُاَُُرْ يَغَوُ،َناَرْهِمُِنْبُِدَمَُحُُنْبُُميِاَرْ بِإَوُ،ٍّيِلَعُِنْبَُدََْْأُُنْبَُِّاُُدْيَ بُعُانرخأ
ُِنْبُِدَمَُحُ ََِإُْمِِداَنْسِإ
ُ،ٌتِباَثُانرخأُ،َناَمْيَلُسُُنْبُُرَفْعَجُانرخأُ،ٌراَيَسُانثدحُ،ٍداَيِزُ َِِأُُنْبَُِّاُُدْبَعُانثدحُ:َلاَقُ،ىَسيِع
ُاُ َرَ بْغَأُ َثَعْشَأُ َبُرُ:َلاَقَُِبَنلاَُنَأُ،ٍكِلاَمُِنْبُ ِسَنَأُنعُ،ٍدْيَزُُنْبُ يِلَعَو
َُِّاُىَلَعَُمَسْقَأُ ْوَلُُهَلُُهَبْؤُ ي
ٍُكِلاَمُُنْبُُءاَرَ بْلاُُمُهْ نِمُ،َُرَ بَأ
.
48Menghabarkan pada kami Ubaid bin Muhammad bin Ali dan Ibrahim bin Muhammad bin Mihran dan selain keduanya dengan Isnad mereka kepada Muhammad bin Isa, ia berkata menceritakan pada kami Abdullah bin Abi Ziyad, menceritakan pada kami Sayyar,mengahabarkan pada kami Ja‟far bin Sulaiman, menghabarkan pada kami Tsabit dan Ali bin Yazid dari Anas Bin Malik, bahwa sesungguhnya Nabi Bersabda “sedikit sekali orang yang dengan rambut kusut dan tak rapi, penuh debu dan hanya memiliki dua pakaian lusuh, jika bersumpah atas nama Allah maka Allah akan menyambutnya dengan baik, dan Al-Barra‟ bin Azib termasuk salah satu dari mereka”.
Juga dijelaskan dalam riwayat Bukhari dan Muslim:
ُِنََْْرلاُِدْبَعَُنْبَُْيَصُحُُتْعَُِْ:َلاَقُ،ُةَبْعُشُاَنَ ثَدَحُ،َةَداَبُعُُنْبُُحْوَرُاَنَ ثَدَحُ،ُقاَحْسِإُ ِنَثَدَح
ُ
ُُ: َلاَق
َُنَْْاُُلُخْدَيُ":َلاَقَُُِّاَُلوُسَرُّنَأُ:ٍساَبَعُِنْباُِنَعُ:َلاَقَ فُ،ٍَْْ بُجُِنْبُِديِعَسَُدْنِعُاًدِعاَقُُتْنُك
ُ َِِمُأُْنِمَُة
َُنوُلَكَوَ تَ يُْمَِِِّرُىَلَعَوُ،َنوُرَ يَطَتَ يُ َاَوُ،َنوُقْرَ تْسَيُ َاَُنيِذَلاُُمُُ،ٍباَسِحَُِْْغِبُاًفْلَأَُنوُعْ بَس
"
.
49
Menceritakan padaku Ishaq, menceritakan pada kami Rauh bin Ubadah, menceritakan pada kami Syu‟bah, ia berkata aku mendengar Hushain bin Abdirrahman berkata aku duduk di sanding Sa‟id bin Jubair, kemudian ia berkata dari Ibni Abbas: sesungguhnya Rasululla SAW bersabda “tujuh puluh ribu dari umatku akan masuk surga tanpa hisab. Lalu rasulullah ditanya, „siapa mereka ya Rasulullah saw?‟ Rasulullah menjawab, „mereka adalah orang-orang yang tidak berbekam, tidak memakai mantera-mantera dan hanya kepada tuhannya mereka bertawakal”.
47Al-sarraj, Al-Luma’, 33.
48Ali bin Al-Atsir, Asad Al-Ghabah, (Mesir: Dar Al-Su‟b, 1986), 140.
49Muhammad bin Isma‟il Al-Bukhari, Al-Ja>mi’ al-Musnad al-S{ah}i>h} al-Mukhtas}ar, (Beirut: Dar
(44)
36
Para sufi memiliki nama dan ciri husus yang membedakan mereka dengan orang-orang mukmin secara umum. Memiliki kedudukan yang lebih dekat dengan Allah sebab adanya suatu rahasia antara mereka denganNya, meskipun mereka adalah manusia sebgaimana lazimnya manusia lain yang perlu makan dan minum. Tetapi kehususan ini tidak sampai pada derajat kenabian, dikarenakan para nabi memiliki kehususan yang tidak dimiliki kaum sufi yaitu derajat risalah dari Allah yang tak dapat ditandingi oleh seorangpun.50
D.Ta’wi>l Ayat
Al-Qur‟an yang kandungan maknanya mencakup berbagai kebutuhan manusia, yang bahasanya begitu tinggi, sehingga banyak yang memerlukan penjelasan tingkat lanjut baik menggunakan penafsiran, maupun pentakwilan. Dalam hal ini, kajian terhadap al-Qur‟an secara alami bermuara pada bagaimana membuka dan menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur‟an. Demikian ini, tafsir dan ta’wi>l yang harus dijadikan pegangan.
Ta’wi>l secara lughawi (etimologi) berasal dari kata al-awl yang berarti kembali (al-ruju>’), atau dari kata al-ma’a>l yang berarti tempat kembali (al-mas}i>r ) dan al-a>qibah yang berarti kesudahan. Juga ada yang menduga berasal dari kata al-iya>lah yang berarti al-siya>sah yang antara lain berarti mengatur.
Berbeda dengan tafsir yang secara harfiyah berarti menjelaskan (i>d}a>h}), menerangkan (al-tibya>n), menampakkan (al-iz}ha>r), menyibak (al-kasyf), dan
(45)
37
merinci (al-tafs}i>l). Kata tafsir merupakan musytaq dari kata al-fasr yang berarti al-iba>nahdan al-kasyf yang memiliki arti membuka Sesuatu yang tertutup.51
Pengertian tafsir berbeda dengan ta’wi>l. Ta’wi>l yang memiliki makna etimologis “kembali pada asal” menurut ulama mutaakhirin mengalihkan lafad dari makna kuat ke makna yang lebih lemah dengan berbagai qari>nah (indikator) atau dalil lain yang mendukung. Dengan demikian, ta’wi>l lebih merupakan makna
substantive yang tersirat yang sangat jauh dengan tafsir sebagai makna yang eksplisit atau tersurat.52
Kata ta’wi>l dalam al-Qur‟an, terulang sebanyak (16) kali, yang berarti pemakaian kata ta’wi>l lebih populer dari pada kata tafsir yang hanya disebutkan sekali dalam al-Qur‟an. Menunjukkan bahwa istilah ta’wi>l menjadi konsep yang sangat dikenal pada kebudayaan pra-Islam, sebagaimana telah digambarkan dalam berbagai cerita al-Qur‟an. Pengulangnnya 16 kali dalam 7 surat dan 15 ayat, diantaranya dalam surat al-Nisa‟ ayat 58, al-A‟raf ayat 52, Yunus ayat 39, al-Isra‟ ayat 35, Yusuf ayat 6, 21, 36, 37, 44, 45, 100, 101, al-Kahfi ayat 78 dan 83. Berbeda dengan tafsir yang penyebutannya hanya satu kali dalam al-Qur‟an yaitu dalam surat al-Furqan ayat 33.53
Muhammad Husain Al-Dzahabi mengemukakan bahwa dalam pandangan ulama salaf klasik, ta’wi>l memiliki dua macam pengertian:
Pertama, menafsirkan suatu pembicaraan (teks) dan menerangkan maknanya, tanpa mempersoalkan apakah penafsiran dan keterangan itu sesuai
51Muhammad Amin Suma, Ulum al-Quran (Jakarta: PT Raja Granfindo Persada, 2014), 309. 52Amir Abdul Aziz, Dira>sa>t fi> Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Dar al-Furqan, 1993), 142-143. 53Muhammad Amin Suma,Ulum al-Quran, 308.
(46)
38
dengan apa yang tersurat atau tidak. Dalam konteks pengertian ini, ta’wi>l dan tafsir benar-benar sinonim (mura>dif). Inilah yang dimaksud dengan kata ta’wi>l yang identik dengan tafsir seperti dalam ungkapan sebagian pakar tafsir al-Qur‟an. Diantaranya Mujahid bin Jabar yang biasa menggunakan lafadz ( نوملعي ءاملعلا نإ هليوأت) dengan arti para ulama mengetahui dan mengerti penafsiran al-Qur‟an. Ibnu Jarir Al-Thabari terbiasa menggunakan redaksi (ىلاعت هلوق ليوأت يف لوقلا) maksudnya pendapat dalam menafsirkan firman Allah SAW.
Kedua, ta’wi>l merupakan substansi yang dikehendaki oleh sebuah kalam itu sendiri. Jika pembicaraan berupa tuntutan, maka ta’wi>l-nya adalah perbuatan yang dituntut. Dan jika pembicaraan berupa berita, maka yang dimaksud adalah substansi dari sesuatu yang diinformasikan.54
Antara makna pertama dan makna kedua terdapat perbedaan yang mendasar. Pengertian yang pertama mamahami ta’wi>l identik benar dengan tafsir, maka yang dimaksud ta’wi>l berwujud pada pemahaman yang bersifat dzihni (penalaran) terhadap teks. Ta’wi>l dalam pengertian yang kedua adalah semata-mata hakikat sesuatu yang terdapat dibalik sesuatu itu sendiri dalam kaitan teks al-Qur‟an.
Pendapat lain mengatakan bahwa tafsir dan ta’wi>l itu satu atau sama jika dilihat dari segi penggunaannya. Dikatakan bahwa tafsir adalah menyingkap makna yang dikehendaki suatu lafadz yang mushkil dan mengembalikan salah satu dua kemungkinan kandungan pada yang mencocoki dhahirnya. Al-Raghib menyatakan tafsir lebih umum dari pada ta’wi>l dan kebanyakan penggunaannya pada lafadz, sedangkan ta’wi>l lebih banyak penggunaanya pada makna seperti
(47)
39
ta’wi>l mimpi, dan mayoritas juga digunakan dalam kitab-kitab ilahiyah. Sedang tafsir banyak digunakan dalam pemaknaan mufradat lafadz.55
Menurut kebiasaan ulama, tafsir adalah mengungkap arti-arti al-Qur‟an, menjelaskan arti, lebih umum baik menjelaskan makna yang musykil atau tidak, serta menjelaskan makna dzahir atau makna batin. Demikian ini menunjukkan keumumannya.Ta’wi>l adalah menyingkap sesuatu yang terkunci dan tersembunyi dalam suatu arti. Tafsir berhubungan dengan riwayah sedangkan ta’wi>l berhubungan dengan dirayah dan keduanya kembali pada tilawah dan kalam Allah.56
Hakikatnya Tafsir dan ta’wi>l adalah dua istilah yang sama-sama bertujuan menggali makna kandungan ayal al-Qur‟an. Namun, istilah tafsir lebih umum daripada ta’wi>l. Jika disebut istilah tafsir maka ia bermakna umum sebagai penjelasan ayat al-Qur‟an sehingga ta’wi>l masuk ke dalamnya. Dalam istilah teknis sehari-hari hampir tidak pernah dipersoalkan dalam menyamakan atau membedakan istilah tafsir dan ta’wi>l. Sama halnya seperti ulama fiqh yang tidak lagi mempersoalkan kata wajib dan fardhu dalam praktek, meskipun secara terminology terdapat perbedaan persepsi terutama dalam pihak jumhur dengan madzhab Hanafi.
Sebagai contoh, terdapat beberapa kitab tafsir yang menggunakan kata
ta’wi>l untuk maksud tafsir atau menggunakan kata tafsir yang juga bermaksud menta‟wilkan. Semisal kitab Ja>mi’ al-Baya>n fi ta’wi>l A<yi al-Qur’a>n (Himpunan
55Abdullah Al-Zarkasyi, Al-Burha>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2007),
92.
(48)
40
keterangan dalam menta‟wili ayat-ayat al-Qur‟an) karya Al-Tabari dan kitab Mah}a>sin al-Ta’wi>l (kebaikan-kebaikan pena‟wilan) karya Jamal al-Din al-Qasimi. Keduanya lebih banyak menggunakan kata ta’wi>l dan kata ta’wi>l yang mereka gunakan tidak semata-mata dalam konteks ta’wi>l akan tetapi sekaligus dalam pengertian tafsir.57
Lafazh al-Qur‟an terkadang diungkapkan secara tersirat (implisit) dan tidak tersurat (eksplisit), atau diisyaratkan terutama dalam ayat-ayat Mutasha>biha>t, sehingga maknanya tersembunyi di bawah permukaan lafazh. Makna tersebut dapat ditemukan dengan menggunakan metode ta’wil, sebuah metode untuk menemukan makna batin (esoteris) dalam pengungkapan teks. Jadi, ta’wi>l dapat berarti pendalaman makna (intensification of meaning) dari tafsir.58
Secara garis besar, dalam al-Qur‟an terdapat dua macam ayat yakni muh}kama>t dan mutasha>biha>t. Ayat-ayat muh}kama>t adalah ayat-ayat yang sudah jelas maksud dan maknanya. Sedangkan ayat-ayat mutasya>biha>t adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan dapat ditentukan arti yang dimaksud dengan kajian yang mendalam (ta’wi>l) atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya diketahui oleh Allah, seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan perkara-perkara yang ghaib, yaitu ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain. Termasuk juga huruf-huruf yang terputus (huruf muqattha’ah) dalam permulaan-permulaan surat al-Qur‟an.59
57Muhammad Amin Suma,Ulum al-Quran, 315.
58Jalal al-Din al-Suyuthi, Al-Itqa>n fi> Ulu>m Al-Qur’a>n (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 2008),425. 59Ibid.
(49)
41
BAB III
PENAFSIRAN IBNU A’RABI TERHADAP
SURAT AL-FATIHAH
A.Ibnu Arabi dan Pemikirannya a. Biografi Ibnu Arabi
Nama asli dari Ibnu Arabi adalah Abu Bakr Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali al-Arabi al-Ta’i al-Hatimi, yang berasal dari kabilah Hatim. Beliau dikenal dengan sebutan Ibnu Arabi dengan julukan Muhy al-Din (Sang Pembangun Agama) dan al-Syaikh al-Akbar (Sang Guru Teragung) serta Ibnu Aflaton. Lahir dikota Mursyia pada tanggal 17 Ramadhan tahun 560 H atau 28 juli tahun 1165 M dan wafat pada tahun 1240 M. Ibnu Arabi hidup pada masa khalifah Yusuf atau lebih dikenal dengan julukan al-Mustanjid Billah Maghrobi. Bekerja sebagai pegawai Muhammad Ibnu Sa’id bin Mardanisy, penguasa Murica di Spanyol. Kehidupan Ibnu Arabi dan kesehariannya sangat baik sebab berasal dari keluarga kaya, sejahtera, kuat ketakwaanya dan terkenal sangat dermawan. Ketika Murcia ditaklukkan oleh Dinasti Al-Muwahhidun, keluarga Ali mengungsi ke Sevile dan menetap di sana, dan juga menjadi pegawai
pemerintahan.1
Saat itu beliau berusia delapan tahun, beliau hidup dalam lingkungan yang penuh dengan ide-ide penting, ilmu pengetahuan, agama dan filsafat serta
1Mukhlisin Sa’ad, Etika Sufi Perspektif Ibnu Arabi (Bandung: Institute for Relegius and
(1)
Al-Dzahabi, Muhammad Husain. Tafsir wa Mufassirun, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1992).
__________, Al-Ittijah Al-Munharifah fi Al-Tafsir Al-Quran Al-Karim
Dawafi’uh wa Da’fuh, (Kairo: Dar al-Ittisham, 1998).
__________, Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran al-Quran, terj; Hamim Ilyas dan Machnun Husain, (Jakarta: Rajawali, 1986).
Dahlan, Zaini. ‚Sosok Sufi Filosofis, Pluralis, Futuristik‛ Jurnal Penelitian dan
Pengkajian Hukum Islam, Vol.5 No.2 (Tahun 2015).
Fakhrurrazi, Muhammad Umar. Al-Tafsir Al-Kabir (Beirut: Dar Ibnu As}as{ah, 1997).
Ghalib, Muhammad. al-Tasawuf al-Muqarin, (Kairo: Maktabah Nahdhah Mishrin, 1989).
Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Idiologi, (Jakarta : Teraja, 2003).
Hadi, Sustrisno. Metodologi Research vol.1, (yokyakarta: Andi Offset, 1993). Hamka, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1986).
Harisudin, M Noor. ‚Menakar Tafsir Sufistik‛, Justitia Islamica: Jurnal Kajian
Hukum dan Sosial, Vol.4 No.1 (Januari-Juni 2007).
Hasymi, Ali. Syi’ah dan Ahlu sunnah, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983).
Hadi Ma’rifah, Muhamad. Al-Ta’wil fi Mukhtalaf Al-Madzahib wa Al-Ara’,
(2)
Ibnu Arabi, Muhyiddin. Tafsir Ibnu Arabi, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 2011).
__________, Al-Futuhat Al-Makkiyah, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1994) Izzan, Ahmad. Metode Penelitian Tafsir, ( Bandung: Tafakkur, 2011).
Islam, Mujaddidul dan al-Akbar, Jalaluddin. Keajaiban Kitab Suci Alquran, (Delta Prima Press, 2010).
Ja’far, Kamal Ibrahim. Tariqan wa Tajribatan wa Madhhaban, (kairo: Dar
al-Ulum University, 1972).
Katsir, Ibnu. Tafsir al-Qur’an al-Az}im, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994).
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir Al-Maragi, Terj; Anwar Rasyidi dkk, (Semarang: Karya Toha Putra, 2012).
Maibadi, Fadhl Rasyid Kasyf Al-Asrār wa ’Iddat Al-Abrār, (Teheran: Intisyarat Amir, 1987).
Mustaqim, Abdul. Dinamika Sejarah Tafsir Al-Quran, (Yokyakarta: Adab Press, 2014).
Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002).
Muhajir, Noeng. Metode Penelitian Kualitatif: Telaah Positivistik Rasionalistik, Phenomonologik Realisme Metafisik, (yokyakatra: rake Sarasin, 1992). Mandzur, Ibnu. Lisan al-arab, (Kairo: Maktabah Nahdhah Mis}riyin, 1991).
Nata, Abuddin. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010).
(3)
Al-Qaththan, Manna’. Pengantar Studi Ilmu Al-Quran, terj. Aunur Rafiq
El-Mazni, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013).
Al-Quran dan Terjemahnya, ( Bandung: PT Sygma Examedia Arkanleema, 2009).
Al-Quran dan Tafsirnya-Edisi yang disempurnakan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2006).
Al-Qurthubi, al-Jami’ li Akham al-Quran, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991).
Al-Qurthubi, Al-Jāmi’ li Ahkām Al-Qurān, juz.1, (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyah, 1985).
Qutb, Sayyid. Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986).
Al-Razi, Ibnu Abi Hatim. al-Tafsir bi al-Ma’tsur, (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyah, 1998).
Al-Razi, Fakhruddin. Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000).
Rifa’I, Bahrun dan Mud’is, Hasan. Filsafat Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia,
2010).
Al-Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran dan Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992).
Al-Sya’rawi, Muhammad Mutawalli. Tafsir al-Sya’rawi, (Kairo: Dar al-Turats,
1984).
Syurbasyi, Ahmad. Study tentang Sejarah perkembangan tafsir Quran Al-Karim, cet.1. (jakarta: kalam mulia,1999).
Al-Suyuti, Jalaluddin. Al-Itqan fil ‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2008).
(4)
___________, al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993).
Al-Samarqandi, Abu Al-Laits Nashr. Bahr al-Ulum, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997). Al-Shabuni, Muhammad Ali. Pengantar Studi Al-Quran, Terj; Chudori Umar
Dkk, (Bandung: Pustaka Al-Ma’arif, 1987).
S. Praja, Juhaya. Tafsir Hikmah_Seputar Ibadah, Mu’amalah, Jin dan Manusia, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000).
Sayid Jibril, Muhammad. Madkhal ila Mnahij al-Mufassirin, (Kairo: a;-Risalah, 1987).
Sa’ad, Mukhlisin. Etika Sufi Perspektif Ibnu Arabi, Bandung: Institute for
Relegius and Institutional Studies (IRIS Foundation, 2008).
Al-Sarraj, Abu Nasr. Al-Luma’ Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Risalah Gusti, 2002).
Al-Syarqawi, Muhammad Abdullah. Sufisme dan Akal, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2003).
Schimmel, Annemari. Dimensi Mistik dalam Islam, Terj; Achadiati Ikram, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986).
Shihab, Quraisy. Membumikan Al-Quran-Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994).
Solihin, M. Tasawuf Tematik Membedah Tema-tema Penting Tasawuf, (Bandung: pustaka Setia, 2003).
(5)
Sujak, Abu. ‚Metode dan Corak Tafsir Al-Quran Al-Karim Karya Muhyiddin
Ibnu Arabi‛ (Tesis, Ilmu Syariah Fakultas Syariah Surabaya IAIN Sunan
Ampel, 1989).
Syartuni, Sa’id. Aqrab al-Mawārid fi Fash al-‘Arabiya wa al-Syawārid, (Beirut,
Dar Ibnu Ashashah, 1992).
Al-Taftazani, Abu Al-Wafa Al-Ghanami. sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung : Pustaka, 1997).
___________, Madkhal ila al-Tasawuf al-Taftazani, (Kairo: Dar al-Thaqafah, 1976).
Al-Thabari, Muhammad bin Jarir. Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, (Riyadh: Muassasah al-Risalah, 2000).
Thabathaba’i, Islam Syiah Asal Usul dan Perkembangan, (Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 1993).
___________, Al-Mizan fi Tafsir al-Quran, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988).
Thanthawi, Muhammad Sayyid. al-Tafsir al-Wasith, (Kairo: Dar Ihya’ al-Turats, 1994).
Taimiyah, Ibnu. Syarah Pengantar Studi Ilmu Tafsir Ibnu Taimiyah, terj. Solihin, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2014).
__________, Muqaddimah fi Usul Tafsir, (kairo: Dar Kitabah al-Turathiyah, 1988).
Al-Thahir bin Asyur Al-Tunisi, Muhammad. al-Tahrir wa al-Tanwir, (Tunis: Dar Syunun li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 2010).
(6)
Al-Thabary, Jāmi’ al-Bayān an Ta’wil al-Quran, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-Araby, 1983).
Al-Turki, Abdullah bin Abdul Muhsin. al-Tafsir al-Muyassar, (Madinah:
Mu’jamah al-Malik litiba’ah Mushhaf al-Syarif, 1998).
Yusuf, Kadar M. Tafsir Ayat Ahkam Tafsir Tematik Ayat-ayat Hukum, (Jakarta: Azam, 2011).
Al-Zabidi, Muhammad Murtadha. Tāj Al-Arus min Jawāhir Al-Qāmus, juz.10, (Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2007).
Al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an Haqaiq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh
at-Ta’wil, (Beirut: Dar al-Turats al-Arabi, 1987).
Al-Zarkasyi, Abdullah. Al-Burhan fi ulum Quran, (Beirut: dar Kutub al-Ilmiyah, 2007).
Al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi Ulum al-Quran, Beirut: (Dar Kutub al-Ilmiyah, 1999).