Determination of core zone of marine sanctuary in Bahoi Village, North Minahasa Regency | Tasidjawa | AQUATIC SCIENCE & MANAGEMENT (Jurnal Ilmu dan Manajemen Perairan) 2271 4136 1 SM
Aquatic Science & Management, Edisi Khusus 1, 10-16 (Mei 2013)
Pascasarjana, Universitas Sam Ratulangi
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jasm/index
ISSN 2337-4403
e-ISSN 2337-5000
jasm-pn00017
Determination of core zone of marine sanctuary in Bahoi Village,
North Minahasa Regency
Penentuan zona inti daerah perlindungan laut di Desa Bahoi,
Kabupaten Minahasa Utara
Sonny Tasidjawa1*, Stephanus V. Mandagi2, and Ridwan Lasabuda2
1
Program Magister Ilmu Perairan, Pascasarjana, Universitas Sam Ratulangi. Jl. Kampus Unsrat Bahu, Manado 95115
2
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi, Manado.
E-mail: [email protected]
Abstract: Bahoi village is located in West Likupang District of North Minahasa Regency. It is one of the villages
that is included in the conservation network of North Sulawesi Province. A marine sanctuary has been
established in this village in 2003 and it has been managed by local community, known as community-based
marine sanctuary management, since then, this sanctuary has been in operation. As a small community-based
marine protected area with lots of users, it requires an appropriate method to determine the Core Zone that
allows an effective preservation of the marine biota. This is the driving factor of this study. The purpose of this
study is to examine the processes and output of determining the core zone of a Marine Sanctuary using a
conventional method and Marxan Method. The conventional method is a simple method in determining a core
zone such as using manta tow technique. While Marxan, it only requires input of data such as spatial and figures
to generate information for determining the core zone. After comparing the processes of these two methods in
the study site, it was found that Marxan method was more effective and more accurate with lower costs than the
conventional one. In addition, the final decision of the core zone depended on the outcome of the village
meetings when the conventional method was applied. This long process could be avoided when Marxan method
was used. Therefore, it is highly recommended to use Marxan in determining core zones©
Keywords: : Marxan; marine conservation area; spatial analysis; Bahoi; North Minahasa Regency.
Abstrak: Desa Bahoi terletak di Kecamatan Likupang Barat Kabupaten Minahasa Utara. Desa ini merupakan salah
satu desa yang masuk dalam jejaringan kawasan konservasi di Provinsi Sulawesi Utara. Sebuah Daerah
Perlindungan Laut telah didirikan di desa ini pada tahun 2003 dan dikelolah oleh masyarakat setempat, yang
dikenal sebagai pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat, sejak saat itu Daerah Perlindungan
Laut ini telah beroperasi. Sebagai Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat yang kecil namun memiliki
banyak pengguna, diperlukan metode tepat yang akan menentukan Zona Inti yang memungkinkan pelestarian
biota laut menjadi sangat efektif. Ini adalah faktor pendorong dari penelitian. Selanjutnya, tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengkaji proses dan hasil penentuan zona inti Daerah Perlindungan Laut dengan menggunakan
metode konvensional seperti survei manta tow dan marxan. Metode konvensional adalah metode sederhana
dalam menentukan zona inti seperti teknik manta tow. Sedangkan marxan, hanya perlu memasukan data seperti
spasial dan angka untuk menghasilkan informasi penentuan zona inti. Setelah membandingkan proses dari dua
metode di lokasi penelitian, ditemukan bahwa metode marxan jauh lebih baik dari pada metode konvensional,
karena lebih efektif, lebih akurat dengan biaya yang lebih rendah. Selain itu, keputusan akhir dari zona inti
tergantung pada hasil rapat desa ketika metode konvensional diterapkan, proses panjang ini dapat dihindari jika
metode marxan digunakan©
Kata-kata kunci: Marxan; kawasan konservasi laut; analisis spasial; Bahoi; Kabupaten Minahasa Utara.
tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat baik sebagai
permukiman maupun untuk kegiatan perikanan
(Anonimous, 2002). Kabupaten Minahasa Utara
memiliki tujuh belas Daerah Perlindungan Laut
Berbasis Masyarakat (DPL-BM) dan sebagian
wilayahnya masuk dalam Kawasan Taman Nasional
Bunaken (Anonimous, 2003). Jumlah wilayah
PENDAHULUAN
Kondisi kawasan konservasi laut di Provinsi
Sulawesi Utara banyak yang mempunyai habitat
penting seperti terumbu karang, seagrass dan
mangrove. Saat ini hampir semua habitat penting
10
Tasidjawa et al.: Determination of core zone of marine sanctuary in Bahoi Village,…
konservasi yang luas membutuhkan suatu metode
yang memiliki keakuratan tinggi dan efisien untuk
penentuan zona inti (Wilson et al., 2009). Kawasan
ini akan bertambah luas karena adanya rancana
strategi pemerintah pusat untuk memperluas target
pencapaian kawasan konservasi di Indonesia
menjadi 1,2 juta Ha pada Tahun 2012, 1,7 juta Ha
pada Tahun 2013 dan 2 juta Ha pada Tahun 2014
(Anonimous, 2012).
Desa Bahoi yang terdapat di Kecamatan
Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara,
Provinsi Sulawesi Utara merupakan salah satu desa
yang masuk dalam jejaring kawasan konservasi dan
mempunyai pengelolaan DPL-BM (pengelolaan
secara konvensional) yang masih aktif hingga saat
ini. Desa Bahoi mempunyai luas wilayah 250 Ha
dan sebagian besar masyarakatnya adalah nelayan.
Sebagian
besar
masyarakat
Desa
Bahoi
menggunakan perairan pesisir untuk mencari ikan,
sebagian lagi menjalankan usaha budidaya ikan
kerapu, transportasi laut dan wisata bahari (CRMP,
2005).
Tingginya pemanfaatan perairan pesisir oleh
masyarakat Desa Bahoi dapat mempengaruhi
keanekaragaman
hayati
(biodiversity)
dan
sumberdaya ekosistem, terutama tempat memijah
dan mencari makan ikan. Disamping itu perairan
desa tersebut juga belum mempunyai pengaturan
ruang
perairan
yang
optimal,
sehingga
menyebabkan adanya konflik dan tumpang tindih
pemanfaatan ruang oleh penggunanya. Akibat lain
diantaranya adalah terpengaruhnya ekonomi
masyarakat nelayan desa tersebut yang selama ini
sangat bergantung pada keberadaan sumberdaya
pesisir dan laut di sekitar mereka.
Untuk memaksimalkan pengelolaan DPL-BM
yang sudah ada perlu dilakukan kajian terhadap
rencana pengelolaan (management plan) khususnya
dalam penentuan zona inti. Penetapan zona inti
adalah bagian yang paling penting dalam
managemen plan (Anonimous, 2006). Adapun
tujuan penelitian ini adalah mengkaji proses
penentuan zona inti dengan metode konvensional
dan marxan pada DPL Desa Bahoi.
Tabel 1. Perbedaan metode konvensional dan marxan
Metode konvensional
Pengumpulan data dengan metode sederhana (manta
tow)
Penentuan lokasi zona inti dengan musyawarah atau
rapat desa
Hasil keputusan penentuan zona inti berdasarkan
kebutuhan masyarakat dengan pertimbangan hasil
survei manta tow
Penerapan metode ini hanya pada wilayah yang kecil
(desa)
Mudah disosialisasikan ke masyarakat
Metode marxan
Pengumpulan data berupa data ekologi, sosial yang di
jadikan data spasial
Penentuan lokasi zona inti dengan perhitungan marxan
Tidak mengharuskan menggunakan perangkat
computer dan menggunakan program standar (office)
Menggunakan perangkat computer dan program
khusus
Tidak memerlukan keahlian yang advands (mahir)
dalam membuat zonasi
Pengolahan datanya menggunakan program standar
(office)
Data input berdasarkan data ekologi (karang, ikan,
mangrove, seagrass)
Memerlukan keahlian khusus terutama pada bidang
spasial
Pengolahan datanya menggunakan software Arc Gis
9,3 Arc View 3,3 3,2 dan ER Mapper 07
Data input berdasarkan data ekologi (karang, ikan,
mangrove, seagrass dan habitat penting lainnya yang
akan dilindumgi) dan data sosial, pemanfaatan lahan
perairan dalam bentuk tabular dan spasial
Tidak mempunyai sistem pembobotan pada data
Daerah kajian berdasarkan sebaran habitat ekologi
Terdapat sistem pembobotan pada data
Daerah kajian yang jelas (luas dan batas)
Menganalisis bagian wilayah berdasarkan panjang
meter atau kuadran
Mempunyai satuan perencanaan unit dalam
menganalisis setiap bagian areal yang akan di
lindumgi
Hasil keputusan berdasarkan database dan di sajikan
dalam bentuk skenario zona inti
Penerapan metode ini bisa dilakukan pada wilayah
kecil sampai besar (Benua)
Tidak mudah menjelaskan langsung ke masyarakat
11
Aquatic Science & Management, Edisi Khusus 1 (Mei 2013)
maka heksagon tersebut beratribut present
sebaliknya jika satu herksagon tidak bertupang
tindih dengan fitur konservasi maka disebut absen
(Smith, 2007). Demikian juga dengan pemasukkan
data fitur pemanfaatan (cost) ke dalam satuan
perencanaan. Data fitur cost tersebut harus dalam
format shp untuk perhitungan spasial di marxan
(Possingham et al., 2000).
Penentuan zona inti dalam penelitian ini
didapatkan dengan menggunakan algoritma
simmulated annealing, dimana nilai hasil
perhitungan yang memiliki nilai lebih rendah
merupakan solusi yang lebih baik (Ball dan
Possingham, 2000). Demikian juga dengan konsistensi hasil proses penentuan zona inti, metode
marxan mengeluarkan keputusan dengan berbagai
skenario yang didasarkan pada pertimbangan
ilmiah, sedangkan metode konvensional tergantung
dari rapat desa yang hasil keputusannya tergantung
kepada pertimbangan kebutuhan desa. Daftar
perbedaan hasil dari kedua metode tersebut dapat
pada Tabel 1.
MATERIAL DAN METODE
Penelitian ini memiliki data primer dan sekunder,
data primer terdiri dari dua jenis yaitu data hasil
diskusi atau wawancara kelompok dengan
menggunakan metode Focus Group Disscusion
(FGD), dan data survei karang dengan
menggunakan metode Point Intercept Transect
(PIT). Sedangkan data sekunder yaitu data hasil
survei karang yang dilakukan oleh masyarakat
dengan menggunakan metode manta tow.
Metode konvensional
Kajian tentang penentuan zona inti di Desa
Bahoi ini dilakukan selama dua bulan (JanuariFebruari 2013). Untuk memperoleh informasi
tentang pembuatan DPL-BM atau metode
konvensional telah dilakukan FGD. Metode FGD
terhadap 22 responden di Desa Bahoi (Kelompok
pengelola DPL-BM = 10 orang, Pemerintah Desa =
5 orang, mantan karyawan proyek pesisir = 3 orang,
tokoh masyarakat = 4 orang,).
Metode Marxan
Marxan (marine reserve design using
spatially explicit anealling) dikembangkan sebagai
sebuah produk pengembangan Spexan untuk
memenuhi kebutuhan Great Barrier Reef Marine
Park Authority (Ball dan Possingham, 2004).
Pengumpulan data spasial merupakan
komponen kunci dalam proses menjalankan
marxan. Data spasial yang dikumpulkan berupa
data fitur habitat penting dan pemanfaatannya,
sedangkan untuk data tabular dikumpulkan lewat
data tabel atau informasi terkait dari data spasial
yang diambil. Pengumpulan data spasial ini
dilakukan dengan menggunakan Citra Lansat 07,
Google Earth, data Vector, peta dan posisi
koordinat lokasi pengamnbilan data. Pengecekan
data spasial tersebut perlu dilakukan sebagai tahap
lanjutan dari proses pengumpulan data dan
verifikasi terhadap data yang sudah ada (Barmawi
dan Darmawan, 2007)
Dengan metode marxan perlu ditentukan
suatu daerah kajian (area of interest) dan perlu
dibuat satuan unit perencanaan (planning unit).
Satuan unit perencanaan merupakan luasan terkecil
suatu daerah yang digunakan untuk satuan analisis
(Watts et al., 2008 dan Watts et al., 2009).
Kemudian data fitur konservasi dalam format shp
dimasukan kedalam satuan perencanaan. Metode
yang digunakan dalam proses ini adalah present
atau absent, artinya, jika suatu heksagon
bertumpang tindih dengan suatu fitur konservasi
Metode point intercept transect
Pengambilan data karang dilakukan dengan
menggunakan metode Point Intercept Transect
(PIT). Data tersebut digunakan untuk melihat
keakuratan dan keefektifan lokasi seleksi untuk
Gambar 1. Peta sebaran persentasi tutupan karang di
Desa Bahoi
12
Tasidjawa et al.: Determination of core zone of marine sanctuary in Bahoi Village,…
Tabel 2. Komposisi fitur konservasi dan skor di Desa Bahoi
metoda konvensional dan marxan. Pengambilan
data dimulai dari peletakan meteran di lokasi yang
sudah di tentukan, kemudian titik variabel substrat
seperti karang keras, karang lunak, karang mati,
alga) dicatat setiap 50 cm, pada setiap transek
sepanjang 50 m. jumlah transek pada setiap lokasi
pengambilan data sebanyak 3 transek dengan
interval antar transek sepanjang 5 meter. untuk 3
transek yang berbeda (Manuputty dan Djuwariah,
2009).
konvensional,
ditemukan
langkah-langkah
penentuan zona inti sebagai berikut;
a. Survei ekologi. Pengumpulan data tutupan
persentasi karang dengan metode manta tow
untuk mendapatkan calon lokasi zona inti.
b. Sosialisasi secara terus menerus terhadap calon
zona inti didasarkan hasil survei manta tow dan
tambahan pengetahuan tentang perlindungan
ekosistem secara optimal.
c. Pembentukan
kelompok
pengelola
dan
pengembangan kapasitas masyarakat.
d. Pemetaan lokasi yang potensial untuk dilindungi
atau di jadikan lokasi zona inti
e. Konsultasi kembali dengan masyarakat desa.
f. Penetapan DPL-BM lewat peraturan desa
g. Pelaksanaan program kerja pengelolaan DPLBM (lokasi konvensional).
Hasil survei karang dengan metode manta tow
HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses penentuan zona inti dengan cara
konvensional
Berdasarkan hasil diskusi dengan masyarakat
dan para pihak terkait pengelolaan lokasi
Gambar 2. Peta zona inti hasil perhitungan marxan
13
Aquatic Science & Management, Edisi Khusus 1 (Mei 2013)
23.3 Ha dengan luas zona intin hasil metode
marxan sebesar 3.5 Ha, seperti yang diperlihatkan
pada Gambar 2.
Hasil survei memperlihatkan lokasi konvensional jaraknya lebih dekat ke arah Desa, dengan
luas total wilayah sebesar 8 Ha, dengan jumlah
karang keras sebanyak 186 karang keras, 11 Genera
karang keras dan 6 Family karang keras. Sedangkan
lokasi hasil seleksi metode marxan yang di tandai
dengan garis berbentuk sebuah bidang area
berwarna merah di samping area konvensional
bergaris kotak persegi panjang (Gambar 2), yang
mempunyai luas area sebesar 3.5 Ha dari total
luasan habitat terumbu karang, jumlah karang keras
sebanyak 219 karang keras dengan jumlah genera
sebanyak 15 genera dan 8 famili. Lokasi hasil
seleksi metode marxan juga menunjukan biomassa
ikan Serranidae dan Labridae lebih tinggi di
bandingkan dengan lokasi konvensional dan lokasi
seleksi metode marxan merupakan area feeding
ground dugong dan jalur penyu ke darat untuk
bertelur.
Hasil
survei
tersebut
memperlihatkan
keakuratan penentuan zona inti yang dilakukan oleh
metode marxan; dari segi ekologi, dalam hal ini
terumbu karang di lokasi seleksi jumlah karang
kerasnya lebih tinggi 33 karang keras demikian juga
dengan jumlah genere, lebih banyak 4 genera dan 2
family, lokasi tersebut juga tingkat pemanfaatannya
lebih rendah di bandingkan dengan lokasi
konvensional. Di bawah ini merupakan data karang
di lokasi penentuan zona inti dengan metode
konvensional dan marxan (Tabel 4).
Lokasi
konvensional
merupakan
lokasi
penyelaman dan jalur perahu nelayan, juga
berdekatan dengan lokasi budidaya masyarakat
yang dampak dari kegiatan perikanan tersebut ke
lokasi konvensional besar di bandingkan dengan
lokasi seleksi metode marxan.. Dari segi efisiensi,
lokasi seleksi metode marxan hanya 10% dari total
habitat dengan biaya pengelolaan yang relative
kecil, jarak lokasi ke desa juga dekat sehingga
mudah di lakukan pemantauan dari darat.
Terdapat banyak perbedaan diantara kedua
metode tersebut, penentuan zona inti dengan
metode marxan, sudah melewati proses kajian dan
survei yang mendalam dalam hal pertimbangan
ekologi dan sosial dengan cakupan data dan area
mulai dari yang kecil (desa) sampai ke daerah yang
luas (benua) sedangkan metode konvensional
kajiannya hanya terbatas pada area yang kecil
(desa).
Tabel 3. Komposisi fitur Cost dan skor di Desa Bahoi
No
1
2
3
4
5
6
Fitur Cost
Pemukiman
Lokasi Penyelaman
Lokasi Memancing
Lokasi Budidayan
Ekowisata
Dermaga
Sumber Data
Survei 2010
Survei 2011
Survei 2012
Survei 2012
Survei 2012
Survei 2012
Bobot
5
3
3
4
3
5
memperlihatkan bahwa persentase tutupan karang
yang lebih besar 40-50% berada pada titik towing
ke 4, 6, 8, 9 dan 10. Sebaran titik pengambilan data
karang diwakili dengan simbol lingkaran, dimana
semakin besar lingkaran di peta menandakan
semakin besar tutupan karang yang ditemukan,
Sehingga potensi daerah yang bisa mewakili untuk
dijadikan zona inti berada pada 5 titik towing.
Untuk detailnya dapat dilihat pada Gambar 1.
Penentuan zona inti dengan menggunakan
metode marxan
Hasil survei tentang fitur konservasi ditemukan
6 habitat penting yaitu terumbu karang, Biomassa
Serranidae, Balistidae, Labridae, lokasi Dugong,
Lokasi Penyu rencananya akan dilindungi. Bobot
tertinggi merupakan bobot yang diprioritaskan
untuk dilindungi seperti yang diperlihatkan oleh
Tabel 2.
Hasil survei tentang fitur cost ditemukan 6
kegiatan pemanfaatan di perairan Desa Bahoi yaitu
pemukiman, lokasi penyelaman, lokasi memancing,
lokasi bididaya, ekowisata dan dermaga. Bobot
tertinggi merupakan yang paling tinggi dampak
negatifnya terhadap habitat konservasi yang akan
dilindungi dan dampak terhadap biaya pengelolaan
suatu daerah perlindungan laut. Untuk lengkapnya
dapat dilihat pada Tabel 3.
Planing unit di desa bahoi digunakan nilai 500
pada generate hexagon untuk luasan 500 m2 per unit
heksagon dan total hexagon yang di luasan perairan
tersebut sebanyak 506 hexagon.
Setelah melalui proses perhitungan, metode
marxan mengeluarkan hasil akhirnya. Daerah yang
terseleksi di tandai dengan garis merah yang
membentuk sebuah bidang areal. Persentase daerah
zona inti tersebut telah memenuhi syarat
pembentukan sebuah zona inti. Pameroy at al.
(2004) dan Roberts dan Hawkins (2000)
menyatakan bahwa sebuah wilayah konservasi
dapat dibentuk dengan wilayah 10-40% dari total
areal. Luas wilayah terumbu karang di Desa Bahoi
14
Tasidjawa et al.: Determination of core zone of marine sanctuary in Bahoi Village,…
marine sanctuaries. Final report (October
1999-April 2003) submitted to the David and
Lucile Pacard foundation.
ANONYMOUS (2006) Daerah perlindungan laut
berbasis masyarakat.
Buku Panduan.
Volume 2.
Jakarta: PT. Bina marina
nusantara.
ANONYMOUS (2012) Direktorat Konservasi
Kawasan dan Jenis Ikan (KKJI).
http://www.kp3k.kkp.go.id/webbaru/conten
t/show/kkji [Accessed 24 December 2012].
BALL, I.R. and POSSINGHAM. H.P. (2004)
Marxan
reserve
system
tool
http://www.eocology.uq.edu.au/marxan.htm
[Accessed 24 February 2013].
BOHNSACK, J.A., AULT, J.S. and CAUSEY, B.
(2004) Why have no-take marine protected
areas? In American fisheries society.
Proceeding American fisheries society
symposium, 42, pp. 185-193.
BERMAWI, M. dan DARMAWAN, A. (2007)
Marxan (v1.8.2) dengan arcview 3.3 dan
CLUZ untuk perencanaan jejaring kawasan
perlindungan laut. Modul -4. Tutorial.
CRMP (2005) Survei potensi wisata berbasis
masyarakat. Likupang.
MANUPUTTY, A.E.W. and DJUWARIAH. (2009)
Method guide Point Intercept Transect (PIT)
for community Baseline study and coral
health at marine no take zone area. Jakarta:
Coral reef rehabilitation and management
program. Indonesia institute of sciences
COREMAP II-LIPI.
MEERMAN, J.C. (2005) NPASP – Protected areas
system assessment & analysis: marxan
analysis. Report to the protected areas
systems plan office (PASPO), pp. 1-10.
POMEROY, R.S., PARKS, J.E. and WATSON, L.
M. (2004) How is your MPA doing? : a
guidebook of natural and social indicator for
evaluating
marine
protected
area
management effectiveness. IUCN. Gland.
Switzerland and Cambridge., UK.
POSSINGHAM, H., BALL, I. and ANDELMAN,
S. (2000) Chapter 17 Mathematical methods
for identifying representative reserve
networks:
Quantitative
methods
for
conservation biology. Ferson, S. and
Burgman, M. (eds). New York: SpringerVerlag, New York, pp. 291-305.
ROBERTS, C.M. and HAWKINS, J.P. (2000)
Fully-protected marine reserves. a guide.
WWF endangered seas campaign, 1250
24thstreet, NW, Washington, DC 20037, USA
Tabel 4. Distribusi genera karang keras di lokasi areal
konvensional dan marxan
Lokasi Marxan
No
Genera
N
1 Acropora
2 Coeloseris
3 Favia
4 Favites
5 Galaxea
6 Goniopora
7 Millepora
8 Montipora
9 Pavona
10 Platygyra
11 Pocillopora
12 Porites
13 Porites
14 Stylophora
15 Symphyllia
Total
Lokasi konvensional
Genera
N
42 Acropora
133
1 Anacropora
4
3 Coeloseris
1
2 Favia
4
5 Favites
2
5 Goniopora
3
2 Millepora
3
1 Montipora
3
5 Platygyra
5
5 Porites
21
2 Turbinaria
7
134
2
9
1
219
186
KESIMPULAN
Penentuan zona inti di Desa Bahoi dengan
menggunakan Metoda Marxan jauh lebih baik
daripada metode konvensional, karena lebih efektif,
lebih akurat dan berbiaya lebih rendah
dibandingkan dengan metode konvensional.
Ucapan terima kasih. Penelitian ini terlaksana
berkat dukungan dari WCS Manado untuk bantuan
data citra dan peralatan pengambilan data lapangan,
masyarakat Desa Bahoi (Hukum Tua, Ketua DPL,
Ketua Ekowisata) untuk dukungan pengambilan
data lapangan dan anonimous editor, kepada mereka
semua disampaikan terima kasih.
REFERENSI
ANONYMOUS (2002) Atlas Sumberdaya Wilayah
Pesisir Minahasa, Manado, Bitung. Manado:
Proyek Pesisir (USAID Indonesia, Coastal
Resources Management Project).
ANONYMOUS (2003)
Fostering marine
conservation in Indonesia: Developing
capacity to implement community-based
15
Aquatic Science & Management, Edisi Khusus 1 (Mei 2013)
WATTS, M.E. at al. (2009) Marxan with zones:
software for optimal conservation based
land- and sea-use zoning. Environmental
modeling &software. Doi:10.1016/j.envsoft.
2009.06.005.
WILSON R.J., DARMAWAN,A. and SUBIJANTO, J. (2009) Rancangan ilmiah jejaring
kawasan konservasi laut yang tangguh di
ekoregion Sunda Kecil. Laporan akhir. Bali:
Laporan TNC Indonesia marine program No.
2B/09.
and environment department, University of
York, Y010 5DD, UK.
SMITH, B. (2007) Conservation assessments using
cluz and marxan: Mosaic conservationtwelve steps to conservation planning using
cluz and marxan. http://www.mosaic-conservation.org/cluz/steps.html Hal 1-3. [Accessed
24 December 2012].
WATTS, M.E.C., STEINBACK, and E.C. KLEIN.
(2008) Applying marxan with zones. User
guide.
University of Queensland and
Ecotrust.
Diterima: 22 April 2013
Disetujui: 29 April 2013
16
Pascasarjana, Universitas Sam Ratulangi
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jasm/index
ISSN 2337-4403
e-ISSN 2337-5000
jasm-pn00017
Determination of core zone of marine sanctuary in Bahoi Village,
North Minahasa Regency
Penentuan zona inti daerah perlindungan laut di Desa Bahoi,
Kabupaten Minahasa Utara
Sonny Tasidjawa1*, Stephanus V. Mandagi2, and Ridwan Lasabuda2
1
Program Magister Ilmu Perairan, Pascasarjana, Universitas Sam Ratulangi. Jl. Kampus Unsrat Bahu, Manado 95115
2
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi, Manado.
E-mail: [email protected]
Abstract: Bahoi village is located in West Likupang District of North Minahasa Regency. It is one of the villages
that is included in the conservation network of North Sulawesi Province. A marine sanctuary has been
established in this village in 2003 and it has been managed by local community, known as community-based
marine sanctuary management, since then, this sanctuary has been in operation. As a small community-based
marine protected area with lots of users, it requires an appropriate method to determine the Core Zone that
allows an effective preservation of the marine biota. This is the driving factor of this study. The purpose of this
study is to examine the processes and output of determining the core zone of a Marine Sanctuary using a
conventional method and Marxan Method. The conventional method is a simple method in determining a core
zone such as using manta tow technique. While Marxan, it only requires input of data such as spatial and figures
to generate information for determining the core zone. After comparing the processes of these two methods in
the study site, it was found that Marxan method was more effective and more accurate with lower costs than the
conventional one. In addition, the final decision of the core zone depended on the outcome of the village
meetings when the conventional method was applied. This long process could be avoided when Marxan method
was used. Therefore, it is highly recommended to use Marxan in determining core zones©
Keywords: : Marxan; marine conservation area; spatial analysis; Bahoi; North Minahasa Regency.
Abstrak: Desa Bahoi terletak di Kecamatan Likupang Barat Kabupaten Minahasa Utara. Desa ini merupakan salah
satu desa yang masuk dalam jejaringan kawasan konservasi di Provinsi Sulawesi Utara. Sebuah Daerah
Perlindungan Laut telah didirikan di desa ini pada tahun 2003 dan dikelolah oleh masyarakat setempat, yang
dikenal sebagai pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat, sejak saat itu Daerah Perlindungan
Laut ini telah beroperasi. Sebagai Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat yang kecil namun memiliki
banyak pengguna, diperlukan metode tepat yang akan menentukan Zona Inti yang memungkinkan pelestarian
biota laut menjadi sangat efektif. Ini adalah faktor pendorong dari penelitian. Selanjutnya, tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengkaji proses dan hasil penentuan zona inti Daerah Perlindungan Laut dengan menggunakan
metode konvensional seperti survei manta tow dan marxan. Metode konvensional adalah metode sederhana
dalam menentukan zona inti seperti teknik manta tow. Sedangkan marxan, hanya perlu memasukan data seperti
spasial dan angka untuk menghasilkan informasi penentuan zona inti. Setelah membandingkan proses dari dua
metode di lokasi penelitian, ditemukan bahwa metode marxan jauh lebih baik dari pada metode konvensional,
karena lebih efektif, lebih akurat dengan biaya yang lebih rendah. Selain itu, keputusan akhir dari zona inti
tergantung pada hasil rapat desa ketika metode konvensional diterapkan, proses panjang ini dapat dihindari jika
metode marxan digunakan©
Kata-kata kunci: Marxan; kawasan konservasi laut; analisis spasial; Bahoi; Kabupaten Minahasa Utara.
tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat baik sebagai
permukiman maupun untuk kegiatan perikanan
(Anonimous, 2002). Kabupaten Minahasa Utara
memiliki tujuh belas Daerah Perlindungan Laut
Berbasis Masyarakat (DPL-BM) dan sebagian
wilayahnya masuk dalam Kawasan Taman Nasional
Bunaken (Anonimous, 2003). Jumlah wilayah
PENDAHULUAN
Kondisi kawasan konservasi laut di Provinsi
Sulawesi Utara banyak yang mempunyai habitat
penting seperti terumbu karang, seagrass dan
mangrove. Saat ini hampir semua habitat penting
10
Tasidjawa et al.: Determination of core zone of marine sanctuary in Bahoi Village,…
konservasi yang luas membutuhkan suatu metode
yang memiliki keakuratan tinggi dan efisien untuk
penentuan zona inti (Wilson et al., 2009). Kawasan
ini akan bertambah luas karena adanya rancana
strategi pemerintah pusat untuk memperluas target
pencapaian kawasan konservasi di Indonesia
menjadi 1,2 juta Ha pada Tahun 2012, 1,7 juta Ha
pada Tahun 2013 dan 2 juta Ha pada Tahun 2014
(Anonimous, 2012).
Desa Bahoi yang terdapat di Kecamatan
Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara,
Provinsi Sulawesi Utara merupakan salah satu desa
yang masuk dalam jejaring kawasan konservasi dan
mempunyai pengelolaan DPL-BM (pengelolaan
secara konvensional) yang masih aktif hingga saat
ini. Desa Bahoi mempunyai luas wilayah 250 Ha
dan sebagian besar masyarakatnya adalah nelayan.
Sebagian
besar
masyarakat
Desa
Bahoi
menggunakan perairan pesisir untuk mencari ikan,
sebagian lagi menjalankan usaha budidaya ikan
kerapu, transportasi laut dan wisata bahari (CRMP,
2005).
Tingginya pemanfaatan perairan pesisir oleh
masyarakat Desa Bahoi dapat mempengaruhi
keanekaragaman
hayati
(biodiversity)
dan
sumberdaya ekosistem, terutama tempat memijah
dan mencari makan ikan. Disamping itu perairan
desa tersebut juga belum mempunyai pengaturan
ruang
perairan
yang
optimal,
sehingga
menyebabkan adanya konflik dan tumpang tindih
pemanfaatan ruang oleh penggunanya. Akibat lain
diantaranya adalah terpengaruhnya ekonomi
masyarakat nelayan desa tersebut yang selama ini
sangat bergantung pada keberadaan sumberdaya
pesisir dan laut di sekitar mereka.
Untuk memaksimalkan pengelolaan DPL-BM
yang sudah ada perlu dilakukan kajian terhadap
rencana pengelolaan (management plan) khususnya
dalam penentuan zona inti. Penetapan zona inti
adalah bagian yang paling penting dalam
managemen plan (Anonimous, 2006). Adapun
tujuan penelitian ini adalah mengkaji proses
penentuan zona inti dengan metode konvensional
dan marxan pada DPL Desa Bahoi.
Tabel 1. Perbedaan metode konvensional dan marxan
Metode konvensional
Pengumpulan data dengan metode sederhana (manta
tow)
Penentuan lokasi zona inti dengan musyawarah atau
rapat desa
Hasil keputusan penentuan zona inti berdasarkan
kebutuhan masyarakat dengan pertimbangan hasil
survei manta tow
Penerapan metode ini hanya pada wilayah yang kecil
(desa)
Mudah disosialisasikan ke masyarakat
Metode marxan
Pengumpulan data berupa data ekologi, sosial yang di
jadikan data spasial
Penentuan lokasi zona inti dengan perhitungan marxan
Tidak mengharuskan menggunakan perangkat
computer dan menggunakan program standar (office)
Menggunakan perangkat computer dan program
khusus
Tidak memerlukan keahlian yang advands (mahir)
dalam membuat zonasi
Pengolahan datanya menggunakan program standar
(office)
Data input berdasarkan data ekologi (karang, ikan,
mangrove, seagrass)
Memerlukan keahlian khusus terutama pada bidang
spasial
Pengolahan datanya menggunakan software Arc Gis
9,3 Arc View 3,3 3,2 dan ER Mapper 07
Data input berdasarkan data ekologi (karang, ikan,
mangrove, seagrass dan habitat penting lainnya yang
akan dilindumgi) dan data sosial, pemanfaatan lahan
perairan dalam bentuk tabular dan spasial
Tidak mempunyai sistem pembobotan pada data
Daerah kajian berdasarkan sebaran habitat ekologi
Terdapat sistem pembobotan pada data
Daerah kajian yang jelas (luas dan batas)
Menganalisis bagian wilayah berdasarkan panjang
meter atau kuadran
Mempunyai satuan perencanaan unit dalam
menganalisis setiap bagian areal yang akan di
lindumgi
Hasil keputusan berdasarkan database dan di sajikan
dalam bentuk skenario zona inti
Penerapan metode ini bisa dilakukan pada wilayah
kecil sampai besar (Benua)
Tidak mudah menjelaskan langsung ke masyarakat
11
Aquatic Science & Management, Edisi Khusus 1 (Mei 2013)
maka heksagon tersebut beratribut present
sebaliknya jika satu herksagon tidak bertupang
tindih dengan fitur konservasi maka disebut absen
(Smith, 2007). Demikian juga dengan pemasukkan
data fitur pemanfaatan (cost) ke dalam satuan
perencanaan. Data fitur cost tersebut harus dalam
format shp untuk perhitungan spasial di marxan
(Possingham et al., 2000).
Penentuan zona inti dalam penelitian ini
didapatkan dengan menggunakan algoritma
simmulated annealing, dimana nilai hasil
perhitungan yang memiliki nilai lebih rendah
merupakan solusi yang lebih baik (Ball dan
Possingham, 2000). Demikian juga dengan konsistensi hasil proses penentuan zona inti, metode
marxan mengeluarkan keputusan dengan berbagai
skenario yang didasarkan pada pertimbangan
ilmiah, sedangkan metode konvensional tergantung
dari rapat desa yang hasil keputusannya tergantung
kepada pertimbangan kebutuhan desa. Daftar
perbedaan hasil dari kedua metode tersebut dapat
pada Tabel 1.
MATERIAL DAN METODE
Penelitian ini memiliki data primer dan sekunder,
data primer terdiri dari dua jenis yaitu data hasil
diskusi atau wawancara kelompok dengan
menggunakan metode Focus Group Disscusion
(FGD), dan data survei karang dengan
menggunakan metode Point Intercept Transect
(PIT). Sedangkan data sekunder yaitu data hasil
survei karang yang dilakukan oleh masyarakat
dengan menggunakan metode manta tow.
Metode konvensional
Kajian tentang penentuan zona inti di Desa
Bahoi ini dilakukan selama dua bulan (JanuariFebruari 2013). Untuk memperoleh informasi
tentang pembuatan DPL-BM atau metode
konvensional telah dilakukan FGD. Metode FGD
terhadap 22 responden di Desa Bahoi (Kelompok
pengelola DPL-BM = 10 orang, Pemerintah Desa =
5 orang, mantan karyawan proyek pesisir = 3 orang,
tokoh masyarakat = 4 orang,).
Metode Marxan
Marxan (marine reserve design using
spatially explicit anealling) dikembangkan sebagai
sebuah produk pengembangan Spexan untuk
memenuhi kebutuhan Great Barrier Reef Marine
Park Authority (Ball dan Possingham, 2004).
Pengumpulan data spasial merupakan
komponen kunci dalam proses menjalankan
marxan. Data spasial yang dikumpulkan berupa
data fitur habitat penting dan pemanfaatannya,
sedangkan untuk data tabular dikumpulkan lewat
data tabel atau informasi terkait dari data spasial
yang diambil. Pengumpulan data spasial ini
dilakukan dengan menggunakan Citra Lansat 07,
Google Earth, data Vector, peta dan posisi
koordinat lokasi pengamnbilan data. Pengecekan
data spasial tersebut perlu dilakukan sebagai tahap
lanjutan dari proses pengumpulan data dan
verifikasi terhadap data yang sudah ada (Barmawi
dan Darmawan, 2007)
Dengan metode marxan perlu ditentukan
suatu daerah kajian (area of interest) dan perlu
dibuat satuan unit perencanaan (planning unit).
Satuan unit perencanaan merupakan luasan terkecil
suatu daerah yang digunakan untuk satuan analisis
(Watts et al., 2008 dan Watts et al., 2009).
Kemudian data fitur konservasi dalam format shp
dimasukan kedalam satuan perencanaan. Metode
yang digunakan dalam proses ini adalah present
atau absent, artinya, jika suatu heksagon
bertumpang tindih dengan suatu fitur konservasi
Metode point intercept transect
Pengambilan data karang dilakukan dengan
menggunakan metode Point Intercept Transect
(PIT). Data tersebut digunakan untuk melihat
keakuratan dan keefektifan lokasi seleksi untuk
Gambar 1. Peta sebaran persentasi tutupan karang di
Desa Bahoi
12
Tasidjawa et al.: Determination of core zone of marine sanctuary in Bahoi Village,…
Tabel 2. Komposisi fitur konservasi dan skor di Desa Bahoi
metoda konvensional dan marxan. Pengambilan
data dimulai dari peletakan meteran di lokasi yang
sudah di tentukan, kemudian titik variabel substrat
seperti karang keras, karang lunak, karang mati,
alga) dicatat setiap 50 cm, pada setiap transek
sepanjang 50 m. jumlah transek pada setiap lokasi
pengambilan data sebanyak 3 transek dengan
interval antar transek sepanjang 5 meter. untuk 3
transek yang berbeda (Manuputty dan Djuwariah,
2009).
konvensional,
ditemukan
langkah-langkah
penentuan zona inti sebagai berikut;
a. Survei ekologi. Pengumpulan data tutupan
persentasi karang dengan metode manta tow
untuk mendapatkan calon lokasi zona inti.
b. Sosialisasi secara terus menerus terhadap calon
zona inti didasarkan hasil survei manta tow dan
tambahan pengetahuan tentang perlindungan
ekosistem secara optimal.
c. Pembentukan
kelompok
pengelola
dan
pengembangan kapasitas masyarakat.
d. Pemetaan lokasi yang potensial untuk dilindungi
atau di jadikan lokasi zona inti
e. Konsultasi kembali dengan masyarakat desa.
f. Penetapan DPL-BM lewat peraturan desa
g. Pelaksanaan program kerja pengelolaan DPLBM (lokasi konvensional).
Hasil survei karang dengan metode manta tow
HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses penentuan zona inti dengan cara
konvensional
Berdasarkan hasil diskusi dengan masyarakat
dan para pihak terkait pengelolaan lokasi
Gambar 2. Peta zona inti hasil perhitungan marxan
13
Aquatic Science & Management, Edisi Khusus 1 (Mei 2013)
23.3 Ha dengan luas zona intin hasil metode
marxan sebesar 3.5 Ha, seperti yang diperlihatkan
pada Gambar 2.
Hasil survei memperlihatkan lokasi konvensional jaraknya lebih dekat ke arah Desa, dengan
luas total wilayah sebesar 8 Ha, dengan jumlah
karang keras sebanyak 186 karang keras, 11 Genera
karang keras dan 6 Family karang keras. Sedangkan
lokasi hasil seleksi metode marxan yang di tandai
dengan garis berbentuk sebuah bidang area
berwarna merah di samping area konvensional
bergaris kotak persegi panjang (Gambar 2), yang
mempunyai luas area sebesar 3.5 Ha dari total
luasan habitat terumbu karang, jumlah karang keras
sebanyak 219 karang keras dengan jumlah genera
sebanyak 15 genera dan 8 famili. Lokasi hasil
seleksi metode marxan juga menunjukan biomassa
ikan Serranidae dan Labridae lebih tinggi di
bandingkan dengan lokasi konvensional dan lokasi
seleksi metode marxan merupakan area feeding
ground dugong dan jalur penyu ke darat untuk
bertelur.
Hasil
survei
tersebut
memperlihatkan
keakuratan penentuan zona inti yang dilakukan oleh
metode marxan; dari segi ekologi, dalam hal ini
terumbu karang di lokasi seleksi jumlah karang
kerasnya lebih tinggi 33 karang keras demikian juga
dengan jumlah genere, lebih banyak 4 genera dan 2
family, lokasi tersebut juga tingkat pemanfaatannya
lebih rendah di bandingkan dengan lokasi
konvensional. Di bawah ini merupakan data karang
di lokasi penentuan zona inti dengan metode
konvensional dan marxan (Tabel 4).
Lokasi
konvensional
merupakan
lokasi
penyelaman dan jalur perahu nelayan, juga
berdekatan dengan lokasi budidaya masyarakat
yang dampak dari kegiatan perikanan tersebut ke
lokasi konvensional besar di bandingkan dengan
lokasi seleksi metode marxan.. Dari segi efisiensi,
lokasi seleksi metode marxan hanya 10% dari total
habitat dengan biaya pengelolaan yang relative
kecil, jarak lokasi ke desa juga dekat sehingga
mudah di lakukan pemantauan dari darat.
Terdapat banyak perbedaan diantara kedua
metode tersebut, penentuan zona inti dengan
metode marxan, sudah melewati proses kajian dan
survei yang mendalam dalam hal pertimbangan
ekologi dan sosial dengan cakupan data dan area
mulai dari yang kecil (desa) sampai ke daerah yang
luas (benua) sedangkan metode konvensional
kajiannya hanya terbatas pada area yang kecil
(desa).
Tabel 3. Komposisi fitur Cost dan skor di Desa Bahoi
No
1
2
3
4
5
6
Fitur Cost
Pemukiman
Lokasi Penyelaman
Lokasi Memancing
Lokasi Budidayan
Ekowisata
Dermaga
Sumber Data
Survei 2010
Survei 2011
Survei 2012
Survei 2012
Survei 2012
Survei 2012
Bobot
5
3
3
4
3
5
memperlihatkan bahwa persentase tutupan karang
yang lebih besar 40-50% berada pada titik towing
ke 4, 6, 8, 9 dan 10. Sebaran titik pengambilan data
karang diwakili dengan simbol lingkaran, dimana
semakin besar lingkaran di peta menandakan
semakin besar tutupan karang yang ditemukan,
Sehingga potensi daerah yang bisa mewakili untuk
dijadikan zona inti berada pada 5 titik towing.
Untuk detailnya dapat dilihat pada Gambar 1.
Penentuan zona inti dengan menggunakan
metode marxan
Hasil survei tentang fitur konservasi ditemukan
6 habitat penting yaitu terumbu karang, Biomassa
Serranidae, Balistidae, Labridae, lokasi Dugong,
Lokasi Penyu rencananya akan dilindungi. Bobot
tertinggi merupakan bobot yang diprioritaskan
untuk dilindungi seperti yang diperlihatkan oleh
Tabel 2.
Hasil survei tentang fitur cost ditemukan 6
kegiatan pemanfaatan di perairan Desa Bahoi yaitu
pemukiman, lokasi penyelaman, lokasi memancing,
lokasi bididaya, ekowisata dan dermaga. Bobot
tertinggi merupakan yang paling tinggi dampak
negatifnya terhadap habitat konservasi yang akan
dilindungi dan dampak terhadap biaya pengelolaan
suatu daerah perlindungan laut. Untuk lengkapnya
dapat dilihat pada Tabel 3.
Planing unit di desa bahoi digunakan nilai 500
pada generate hexagon untuk luasan 500 m2 per unit
heksagon dan total hexagon yang di luasan perairan
tersebut sebanyak 506 hexagon.
Setelah melalui proses perhitungan, metode
marxan mengeluarkan hasil akhirnya. Daerah yang
terseleksi di tandai dengan garis merah yang
membentuk sebuah bidang areal. Persentase daerah
zona inti tersebut telah memenuhi syarat
pembentukan sebuah zona inti. Pameroy at al.
(2004) dan Roberts dan Hawkins (2000)
menyatakan bahwa sebuah wilayah konservasi
dapat dibentuk dengan wilayah 10-40% dari total
areal. Luas wilayah terumbu karang di Desa Bahoi
14
Tasidjawa et al.: Determination of core zone of marine sanctuary in Bahoi Village,…
marine sanctuaries. Final report (October
1999-April 2003) submitted to the David and
Lucile Pacard foundation.
ANONYMOUS (2006) Daerah perlindungan laut
berbasis masyarakat.
Buku Panduan.
Volume 2.
Jakarta: PT. Bina marina
nusantara.
ANONYMOUS (2012) Direktorat Konservasi
Kawasan dan Jenis Ikan (KKJI).
http://www.kp3k.kkp.go.id/webbaru/conten
t/show/kkji [Accessed 24 December 2012].
BALL, I.R. and POSSINGHAM. H.P. (2004)
Marxan
reserve
system
tool
http://www.eocology.uq.edu.au/marxan.htm
[Accessed 24 February 2013].
BOHNSACK, J.A., AULT, J.S. and CAUSEY, B.
(2004) Why have no-take marine protected
areas? In American fisheries society.
Proceeding American fisheries society
symposium, 42, pp. 185-193.
BERMAWI, M. dan DARMAWAN, A. (2007)
Marxan (v1.8.2) dengan arcview 3.3 dan
CLUZ untuk perencanaan jejaring kawasan
perlindungan laut. Modul -4. Tutorial.
CRMP (2005) Survei potensi wisata berbasis
masyarakat. Likupang.
MANUPUTTY, A.E.W. and DJUWARIAH. (2009)
Method guide Point Intercept Transect (PIT)
for community Baseline study and coral
health at marine no take zone area. Jakarta:
Coral reef rehabilitation and management
program. Indonesia institute of sciences
COREMAP II-LIPI.
MEERMAN, J.C. (2005) NPASP – Protected areas
system assessment & analysis: marxan
analysis. Report to the protected areas
systems plan office (PASPO), pp. 1-10.
POMEROY, R.S., PARKS, J.E. and WATSON, L.
M. (2004) How is your MPA doing? : a
guidebook of natural and social indicator for
evaluating
marine
protected
area
management effectiveness. IUCN. Gland.
Switzerland and Cambridge., UK.
POSSINGHAM, H., BALL, I. and ANDELMAN,
S. (2000) Chapter 17 Mathematical methods
for identifying representative reserve
networks:
Quantitative
methods
for
conservation biology. Ferson, S. and
Burgman, M. (eds). New York: SpringerVerlag, New York, pp. 291-305.
ROBERTS, C.M. and HAWKINS, J.P. (2000)
Fully-protected marine reserves. a guide.
WWF endangered seas campaign, 1250
24thstreet, NW, Washington, DC 20037, USA
Tabel 4. Distribusi genera karang keras di lokasi areal
konvensional dan marxan
Lokasi Marxan
No
Genera
N
1 Acropora
2 Coeloseris
3 Favia
4 Favites
5 Galaxea
6 Goniopora
7 Millepora
8 Montipora
9 Pavona
10 Platygyra
11 Pocillopora
12 Porites
13 Porites
14 Stylophora
15 Symphyllia
Total
Lokasi konvensional
Genera
N
42 Acropora
133
1 Anacropora
4
3 Coeloseris
1
2 Favia
4
5 Favites
2
5 Goniopora
3
2 Millepora
3
1 Montipora
3
5 Platygyra
5
5 Porites
21
2 Turbinaria
7
134
2
9
1
219
186
KESIMPULAN
Penentuan zona inti di Desa Bahoi dengan
menggunakan Metoda Marxan jauh lebih baik
daripada metode konvensional, karena lebih efektif,
lebih akurat dan berbiaya lebih rendah
dibandingkan dengan metode konvensional.
Ucapan terima kasih. Penelitian ini terlaksana
berkat dukungan dari WCS Manado untuk bantuan
data citra dan peralatan pengambilan data lapangan,
masyarakat Desa Bahoi (Hukum Tua, Ketua DPL,
Ketua Ekowisata) untuk dukungan pengambilan
data lapangan dan anonimous editor, kepada mereka
semua disampaikan terima kasih.
REFERENSI
ANONYMOUS (2002) Atlas Sumberdaya Wilayah
Pesisir Minahasa, Manado, Bitung. Manado:
Proyek Pesisir (USAID Indonesia, Coastal
Resources Management Project).
ANONYMOUS (2003)
Fostering marine
conservation in Indonesia: Developing
capacity to implement community-based
15
Aquatic Science & Management, Edisi Khusus 1 (Mei 2013)
WATTS, M.E. at al. (2009) Marxan with zones:
software for optimal conservation based
land- and sea-use zoning. Environmental
modeling &software. Doi:10.1016/j.envsoft.
2009.06.005.
WILSON R.J., DARMAWAN,A. and SUBIJANTO, J. (2009) Rancangan ilmiah jejaring
kawasan konservasi laut yang tangguh di
ekoregion Sunda Kecil. Laporan akhir. Bali:
Laporan TNC Indonesia marine program No.
2B/09.
and environment department, University of
York, Y010 5DD, UK.
SMITH, B. (2007) Conservation assessments using
cluz and marxan: Mosaic conservationtwelve steps to conservation planning using
cluz and marxan. http://www.mosaic-conservation.org/cluz/steps.html Hal 1-3. [Accessed
24 December 2012].
WATTS, M.E.C., STEINBACK, and E.C. KLEIN.
(2008) Applying marxan with zones. User
guide.
University of Queensland and
Ecotrust.
Diterima: 22 April 2013
Disetujui: 29 April 2013
16