TELAAH STRUKTUR, NILAI BUDAYA DAN KONTEKS CERITA RAKYAT DALAM TRADISI LISAN RANDAI PADA MASYARAKAT RANTAU KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU : Studi Deskriptif-Analitis terhadap Cerita Rakyat Rantau Kuantan Singingi dalam Tradisi Lisan Randai sebagai Bahan Aj

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Sastra merupakan bagian daripada kebudayaan. Bila kita mengkaji kebudayaan kita tidak dapat melihatnya sebagai sesuatu yang statis, tetapi merupakan sesuatu yang dinamis, yang senantiasa berubah. Hubungan antara kebudayaan dalam masyarakat itu amatlah erat, karena kebudayaan itu sendiri adalah cara suatu kumpulan manusia atau masyarakat mengadakan sistem nilai, yaitu berupa aturan yang menentukan sesuatu benda atau perbuatan lebih tinggi nilainya, lebih dikehendaki, dari yang lain (Semi, 1984: 54). Kebudayaan tentulah tidak akan terlepas dari sastra, begitu juga sebaliknya, sastra akan maju bila ditunjang oleh kebudayaan yang kuat dan mengakar di kalangan masyarakat kita. Keduanya, sastra dan budaya, saling mendukung.

Lebih lanjut Atar Semi (1984) mengatakan kesusastraan itu pada dasarnya bukan saja mempunyai fungsi dalam masyarakat, tetapi juga mencerminkan dan menyatakan segi-segi yang kadang-kadang kurang jelas terlihat dalam masyarakat. Sebagaimana juga dengan karya seni yang lain, sastra mempunyai fungsi sosial dan fungsi estetika. Memperhatikan fungsi sosial dan estetika dalam suatu karya sastra sebaiknya kita hubungkan dengan ciri-ciri simbolisme atau perlambangan dalam sastra. Kalau kita perhatikan cerita rakyat, misalnya, mungkin kita tidak dapat menerimanya sebagai suatu pencerminan kehidupan nyata, kita anggap sebagai dongeng


(2)

semata, kalau hal itu tidak kita lihat dalam konteks tata nilai yang berlaku di masyarakat tempat kesusastraan itu tumbuh dan berkembang.

Sastra lisan adalah bagian dari khazanah pengungkapan dunia sastra tidak lepas dari pengaruh nilai-nilai baru yang hidup dan berkembang pada masyarakat. Banyak sastra tradisi lisan tidak lagi dikenal masyarakat, padahal bentuk sastra ini dipandang secara antropologis dibentuk oleh tradisi masyarakat. Ini berarti pula bahwa terdapat nilai-nilai yang pernah dianut oleh masyarakat penciptanya. Bahkan, banyak di antara bentuk sastra lisan itu yang memiliki mitos.

Finnegan (dalam Tuloli, 1991: 1) berpendapat sastra lisan adalah salah satu gejala kebudayaan yang terdapat pada masyarakat terpelajar dan yang belum terpelajar. Ragamnya pun sangat banyak dan tiap-tiap ragam mempunyai variasi yang sangat banyak pula. Isinya mungkin mengenai berbagai peristiwa yang terjadi atau kebudayaan masyarakat pemilik sastra tersebut.

Dalam khazanah sastra tradisional, sastra yang unggul adalah sastra yang memiliki nilai rasa metafisik atau keterkaitannya dengan realitas hakiki masyarakat. Oleh karena itu, sastra tradisional bukan saja ekspresi subjektif pengalaman keseharian individu, melainkan hasil pengolahan yang mendalam terhadap realitas yang mengatasi dirinya atau transenden sifatnya. Tradisi sastra semacam itu telah menjadi pegangan masyarakat di nusantara. Dalam bentuk seperti ini, misalnya, kita mengenal kentrung, madihin, randai, didong dan sebagainya.


(3)

Jika dilihat dari laras pengucapannya, sastra lisan merupakan ciri umum sastra tradisional. Jauh sebelum ekspresi tulis berkembang amat pesatnya, opini yang disebarkan melalui tradisi lisan amat sukar tergeser. Oleh karena itu, nilai tradisinya amat kuat dirasakan di tengah masyarakat. Tidak jarang, sastra lisan sebagai bagian dari sistem komunikasi itu merupakan proses pematangan pola pikir secara alamiah yang berlaku di tengah masyarakat tertentu (Jarkasi dkk, 1997: 1-2).

Kedudukan dan fungsi sastra lisan dalam dekade terakhir tampaknya semakin tergeser akibat kemajuan zaman yang memasuki segala sendi-sendi kehidupan di masyarakat kita. Akibatnya banyak di kalangan generasi muda yang tidak lagi mengetahui dan bahkan mencemooh sama sekali terhadap budaya bangsanya yang mereka katakan ketinggalan zaman.

Nilai-nilai yang terkandung dalam sastra daerah tidaklah jauh berbeda dengan nilai-nilai yang terkandung dalam sastra Indonesia, bahkan dapat dikatakan sederajat. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Rusyana (1997: 6) sebagai berikut.

Nampak bahwa dalam sastra-sastra daerah terkandung muatan nilai-nilai moral. Dalam sastra-sastra daerah, dalam wujud ekspresi estetik itu tersaji pula nilai-nilai etik. Dari percobaan terhadap cerita rakyat, berupa mite, legenda, dan dongeng, kita dapat mengapresiasi nilai-nilai moral yang terpadu secara halus di dalamnya. Begitu pula dalam hikayat, syair, pantun serta jenis sastra lama lainnya serta selanjutnya dalam novel, cerita pendek, drama dan fuisi modern. Nilai-nilai moral itu terungkap.

Begitu pula halnya dengan pendapat Ratna (2005: 12-13) peranan sastra, baik fiksi maupun nonfiksi, dalam mengungkapkan aspek-aspek kebudayaan, hampir sama dengan disiplin yang lain, seperti: antropologi,


(4)

sosiologi, psikologi, arkeologi, sejarah, dan ilmu bahasa. Artinya, relevansi masing-masing disiplin tergantung dari tujuan penelitian, objek yang dikaji, teori dan metode yang dimanfaatkan. Sastra modern, seperti: novel, pusi, dan drama, demikian juga sastra lama, seperti: kakawin, babad, dongeng, dan cerita rakyat, termasuk peribahasa, gosip, humor, dan berbagai tradisi lisan yang lain, merupakan objek studi kultural yang kaya dengan nilai.

Menurut Ikram (1997: 11) peristiwa kelahiran sastra lama atau tradisional berbeda sekali dengan kelahiran suatu cipta karya sastra modern. Dalam dunia tradisional, hubungan antara sastra dan masyarakat tempat sastra itu lahir, amat erat. Sastra itu beredar di masyarakat dan menjadi miliknya selama beberapa waktu sebelum dicatat. Jelaslah bahwa batas antara sastra lisan dan tulisan sangat samar. Jika pada suatu saat seorang penulis mencatatnya, membukukannya atau mengolahnya dalam bentuk yang tradisional, maka ia tidak merasakan dirinya sebagai penciptanya, sehingga ia takkan menyebut dirinya demikian. Oleh sebab itulah, sebagian besar sastra tradisional bersifat anonim.

Demikian juga halnya dengan pendapat Ratna (2005: 18) yang mengatakan bahwa “… dalam sastra lama, misalnya, pengarang pada umumnya tidak mencantumkan namanya sebab karya seni dianggap sebagai milik bersama, milik masyarakat”.

Pada bagian lain Ratna (2004: 310-311) juga menyebutkan anonimitas sastra lama memiliki implikasi lain. Cerita bisa diceritakan kembali, bahkan dimiliki oleh orang lain sebab setiap penceritaan kembali merupakan karya sastra baru. Di sinilah terkandung solidaritas sekaligus


(5)

demokratisasi masyarakat lama yang jelas tidak ada dalam masyarakat modern. Hakikat kolektivitas membawa karya sebagai milik bersama. Dengan menganggap pengarang tidak ada, maka karya seolah-olah menjadi menjadi milik komunal, suatu paradigma yang memberikan kemungkinan seluas-luasnya untuk menganalisisnya, tanpa perlu harus disesuaikan dengan pendapat penulis asli.

Begitu juga halnya dengan tradisi sastra lisan randai ini, cerita yang dibawakan oleh tukang cerita, begitu biasanya masyarakat Rantau Kuantan Singingi menyebutnya, sama sekali cerita yang dibawakan tersebut banyak yang tidak diketahui pengarangnya.

Saat ini kehidupan dan keberadaan sastra lisan randai di Rantau Kuantan Singingi sangat jarang sekali dihadirkan pada pesta perkawinan, pesta panen, sunatan atau hajatan. Hal ini disebabkan banyaknya grup musik organ tunggal atau band yang disewa masyarakat dan mereka (para penyewa) nampaknya enggan menggunakan alat hiburan randai, karena sudah dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Padahal organ tunggal, band dan sejenisnya nyata-nyatanya adalah produk Barat yang banyak tak sesuai lagi dengan budaya bangsa kita, walaupun masih ada sisi positifnya.

Yang membuat lebih mirisnya hati adalah para penyewa randai hanyalah dari kalangan orang yang tidak berduit karena bayarannya tidaklah terlalu mahal. Akibatnya derajat kehidupan para pemain randai boleh dikatakan gali lubang tutup lubang dan sangat jauh dari tingkat kesejahteraan yang diharapkan.


(6)

Penelitian tentang randai ini pernah dilakukan oleh UU. Hamidy pada

tahun 1971 yang berjudul Randai Rantau Kuantan. Tulisan ini

mengemukakan tentang fungsi dan nilai estetika dalam randai. Lagipula penelitian yang dilakukan oleh UU. Hamidy sudah hampir 34 tahun lamanya dilakukan. Tentu format dan ide cerita sudah berubah sesuai dengan perkembangan zaman.

Akan tetapi, tulisan yang hendak penulis paparkan ini adalah mengamati struktur randai secara intrinsik yang meliputi tema, alur, penokohan, dan amanat. Kemudian keterkaitan tradisi lisan randai ini dengan fungsinya yang dikaitkan dengan nilai budaya dan konteksnya.

Struktur intrinsik atau isi cerita dalam kisah randai adalah bagian yang esensial dan sangat mendasar dari sistem yang membentuk kesenian randai. Isinya inilah yang mencerminkan keterkaitan cerita ini antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Isinya ini banyak memiliki simbol sebagai transformasi nilai yang ditawarkan kepada pendengar. Simbol di sini dipandang sebagai sesuatu yang dianggap dengan persetujuan bersama, suatu yang memberikan sifat alamiah, mewakili atau mengingatkan kembali dengan memiliki kualitas yang sama atau membayangkan dalam kenyataan atau pikiran (Turner dalam Jarkasi, dkk, 1997: 4). Nilai-nilai ini banyak berkaitan dengan moral atau pengajaran yang disampaikan melalui cerita yang dibawakan.

Berangkat dari kegelisahan inilah, penulis mencoba mengung-kapkan salah satu tradisi lisan yang masih eksis sampai sekarang di Indonesia. Tradisi lisan ini tentulah bagian dari kebudayaan bangsa yang walau pun


(7)

kurang begitu digandrungi oleh kalangan muda, namun dengan idealisme yang ada dalam masyarakat yang melakukannya masih hidup sampai kini. Pengkajiannya lebih memfokuskan pada telaahan struktur instrinsik, nilai budaya dan konteksnya bagi masyarakat Rantau Kuantan Singingi.

1.2 Pembatasan Masalah

Berdasarkan paparan yang dikemukakan pada bagian Latar Belakang Penelitian, rupanya cakupan terhadap sastra lisan begitu banyak kajian yang akan dilakukan. Oleh sebab itu, agar penelitian ini lebih terfokus dan mendalam, maka penelitian ini hanyalah akan mengkaji struktur pembentuk randai tersebut. Unsur-unsur pembentuk itu terbagi atas 2 macam, yaitu struktur intrinsik (internal) yang meliputi: bagian dasar dari sistem yang membentuk kesenian randai seperti: tempat pagelaran, penyajian, alat musik, unsur sastra dan struktur cerita. Dalam penelitian ini hanya unsur struktur cerita yang menjadi bahan kajian yaitu; tema, alur, penokohan/ perwatakan, latar (setting) dan motif.

Berikutnya kajian nilai budaya apa saja yang terdapat dalam tradisi lisan randai ini berupa teks dan konteks kalimat serta tema dari sebuah cerita yang ada dalam randai. Nilai budaya dan konteks tersebut biasanya terdapat dalam teks cerita randai yang disampaikan oleh tukang cerita.

1.3 Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari pembatasan masalah di atas, penelitian ini secara lebih khusus dapat dirumuskan sebagai berikut:


(8)

1. Struktur intrinsik apa sajakah yang terdapat dalam teks dan konteks pada tradisi lisan randai masyarakat Rantau Kuantan Singingi?

2. Nilai budaya apa sajakah yang terkandung dalam tradisi lisan randai masyarakat Rantau Kuantan Singingi?

3. Apa yang menjadi ciri ketradisian dan kelisanan dalam teks dan konteks tradisi lisan randai masyarakat Rantau Kuantan Singingi? 4. Genre cerita apa saja yang terdapat dalam tradisi lisan randai

masyarakat Rantau Kuantan Singingi?

1.4 Tujuan Penelitian

Sesuatu yang kita lakukan tentulah mempunyai tujuan. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk:

1. Mentranskripsikan rekaman teks cerita dan konteks kalimat ke dalam bahasa Melayu Riau Daratan (agak mirip dengan bahasa Minangkabau) dan mengalihbahasakannya ke dalam bahasa Indonesia.

2. Menganalisis struktur intrinsik (internal) teks cerita randai masyarakat Rantau Kuantan Singingi.

3. Menganalisis dan mendeskripsikan nilai budaya yang terkandung dalam tradisi lisan randai masyarakat Rantau Kuantan Singingi.

4. Mengelompokkan jenis cerita sesuai dengan genrenya.

1.5 Manfaat Penelitian


(9)

1. Ilmu Sastra

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk

mengembangkan ilmu sastra lisan, agar pola ceritanya menjadi lebih bervariasi dan menimbulkan kisah yang menarik bagi pendengar atau penikmatnya. Kemudian juga dapat dijadikan sumber inspirasi penulisan sastra modern yang saat ini banyak digandrungi kawula muda, dan bacaan relevan sebagai khazanah pengetahuan tradisi lama yang baik banyak diketahui generasi muda sekarang.

2. Kurikulum Muatan Lokal

Hasil penelitian tradisi lisan randai masyarakat Rantau Kuantan Singingi ini juga diharapkan bermanfaat sebagai bahan muatan lokal tentang tradisi dan adat istiadat yang perlu diajarkan bagi siswa SMP, SMA/MA, terutama di daerah Kabupaten Kuantan Singingi.

Hasil penelitian ini diharapkan nantinya sebagai muatan lokal pada mata pelajaran Kesenian Daerah yang diajarkan di SMP pada Kabupaten Kuantan Singingi.

3. Pembangunan dan pendidikan

Nilai-nilai budaya yang ada dalam tradisi lisan randai masyarakat Rantau Kuantan Singingi dapat diambil manfaat dan nilai positifnya dalam pembangunan terhadap daerah, khususnya di sektor kebudayaan dan diimplimentasikan dalam pendidikan di sekolah maupun pementasan di kalangan masyarakat yang disampaikan melalui acara-acara pembangunan. Kedua hal ini bila disatukan sangat baik bagi pembangunan mental dan budaya bangsa yang bermartabat.


(10)

4. Para Peneliti

Suatu saat nanti apabila ada peneliti lain yang berminat meneliti tentang tradisi lisan ini, dapat dijadikan bahan perbandingan dan dasar bagi peneliti selanjutnya.

1.6 Asumsi Penelitian

Menurut Winarno Surakmad (dalam Arikunto, 2002: 58) anggapan dasar atau postulat adalah sebuah titik tolak pemikiran yang kebenarannya diterima oleh penyelidik. Dalam penelitian ini asumsi peneliti adalah:

1) randai mempunyai struktur cerita yang baik.

2) randai mempunyai nilai budaya bagi kehidupan masyarakat.

1.7 Definisi Operasional 1. Struktur

Struktur penulis artikan sebagai unsur yang membangun cerita yang membentuk dan membangun sebuah cerita tersebut dan mempunyai keterkaitan serta jalinan kisah/cerita, sehingga mempunyai makna yang menyeluruh pada cerita tersebut. Dengan kata lain, hanya unsur instrinsik dari tradisi lisan randai masyarakat Rantau Kuantan Singingi.

2. Nilai Budaya

Nilai budaya yang ditelitii dan peneliti bahas dalam penelitian ini adalah nilai budaya yang terkandung dalam cerita randai berupa nilai-nilai tolong-menolong antarsesama manusia, hubungan manusia dengan alam sekitarnya, hubungan manusia dengan sesamanya.


(11)

3. Tradisi Lisan

Pengertian tradisi lisan dalam penelitian ini lebih dititikberatkan pada pendapat Danandjaja (2002: 5) yaitu tradisi lisan hanya mencakup cerita rakyat, teka teki, peribahasa, dan nyanyian rakyat. Walau pun pada istilah selanjutnya Danandjaja lebih sering menyebutkan sebagai folklor. Dalam penelitian ini penulis lebih memfokuskan pada cerita rakyatnya yang disampaikan melalui cerita randai.

4. Cerita Rakyat

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka Departemen Pendidikan Nasional (2001: 211) bahwa cerita rakyat adalah cerita dari zaman dahulu yang hidup di kalangan rakyat dan diwariskan secara lisan. Dalam penelitian ini, cerita rakyat yang diambil dan diteliti adalah cerita rakyat yang terdapat di kalangan masyarakat Rantau Kuantan Singingi Provinsi Riau.

5. Teks

Naskah yang berupa cerita rakyat masyarakat Rantau Kuantan Singingi yang disampaikan melalui kesenian randai.

6. Konteks

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka Departemen Pendidikan Nasional (2001: 591) konteks adalah bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna.


(12)

7. Randai

Salah satu kesenian tradisional masyarakat Rantau Kuantan Singingi, Provinsi Riau yang disampaikan dalam bentuk cerita dan diiringi dengan musik dan tarian. Personil terdiri atas: tukang cerita (pencerita), tukang gendang (pemukul gendang), pemain biola, dan para penari berjumlah 6-30 orang. Musik pengiringnya berupa: gendang, biola, saluang dan peluit. Kesenian ini menurut sejarah berasal dari daerah Minangkabau, Sumatera Barat, seperti yang dikemukakan Djamaris (2002: 183) “randai adalah drama pentas tradisional Minangkabau, seperti makyong di Riau dan di Sumatra Utara, mamanda di Kalimantan, dan lenong di Jakarta”.

8. Masyarakat Rantau Kuantan Singingi

Masyarakat di daerah (rantau) lebih sering menyebut diri mereka orang Kuantan, hal ini disebutkan di sepanjang daerah ini mengalir sebuah sungai yang bernama Kuantan. Daerah ini merupakan sebuah kabupaten yang berdiri pada bulan Oktober 2000, dan merupakan pemekaran dari Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau.

UU. Hamidy (1995: 1-2) mengatakan bahwa:

Rantau Kuantan merupakan suatu daerah kesatuan adat pada zaman dahulu yang berada di bawah pemerintahan para datuk sebagai pemegang teraju adat untuk mengatur kehidupan masyarakat. Daerah ini pernah juga disebut Rantau Nan Kurang Oso Duo Pulua artinya rantau yang kurang satu dari dua puluh; jadi ada 19 rantau yang tercakup di dalamnya. Adapun rantau yang 19 itu meliputi kenegerian (yang sekarang sudah dibagi-bagi menjadi sejumlah desa) sepanjang aliran batang (sungai) Kuantan, kira-kira dari Lubuk Ambacang di Hulu sampai ke Cerenti di hilir.


(13)

1.8 Sepintas tentang Randai Rantau Kuantan Singingi

Masuknya tradisi lisan randai ini ke Rantau (daerah) Rantau Kuantan Singingi belum ada data yang pasti. Kesenian drama tradisional ini yang jelas dibawa oleh para perantau Minangkabau. Masyarakat Rantau Kuantan Singingi yang adat-istiadatnya sama dengan masyarakat Minangkabau yang memakai sistem matrilineal (berdasarkan garis keturunan ibu) mulai mengadopsinya dan juga sudah ada yang mempunyai grup dan mereka mengambil cerita dari kalangan masyarakat atau cerita rakyat dari daerah tempat mereka (grup) tadi tinggal.

Berdasarkan percakapan peneliti dengan salah seorang pimpinan grup randai Pancang Kuantan yaitu Drs. Hamsirman, cerita yang sering mereka bawakan dalam pementasan adalah cerita yang berasal dari daerah Kecamatan Kuantan Tengah tempat mereka berdiam. Cerita yang berjudul Dang Gedunai dan Niniak Jiruhun inilah nantinya yang akan peneliti ambil sebagai sampel penelitian dan dianalisis.

Menurut Djamaris (2002: 183) randai dimainkan di lapangan terbuka (open air theatre) dalam bentuk arena. Randai tergolong sendratari, yaitu seni drama tari. Randai mengandung unsur dialog, tuturan, tari (gerak silat), lagu, dan musik (saluang, talempong). Cerita yang dipertunjukkan pada umumnya adalah cerita kaba atau cerita kehidupan yang popular di daerah itu. Kaba yang dilakonkan disebut randai.

Semua peran dalam randai dimainkan oleh pria. Peran wanita dimainkan oleh pria yang didandani seperti wanita. Inti cerita dilakonkan oleh beberapa tokoh di tengah lingkaran pada waktu-waktu tertentu menurut jalan


(14)

cerita. Bagian-bagian cerita yang melukiskan suasana, tempat, waktu kejadian, peralihan cerita atau alur didendangkan oleh semua peserta secara bersahut-sahutan sambil membuat gerak dasar pencak silat dalam beberapa kali putaran. Ketika pelaku harus berdialog atau berlakon secara khusus pada adegan-adegan tertentu, peserta-peserta yang lain segera mengambil posisi duduk, tetap dalam satu bentuk lingkaran. Cakapan dalam randai disusun dalam bentuk prosa berirama. Pemain terdiri dari 6 sampai 30 orang bergantung dari kebutuhan cerita.


(15)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis dengan teknik survai, pengamatan, dan wawancara. Metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terdapat sewaktu penelitian dilakukan di daerah objek kajian. Jadi, penelitian ini bersifat kualitatif atau naturalistik. Metode ini dilakukan untuk memperoleh gambaran yang sejelas-jelasnya tentang tradisi lisan randai masyarakat Rantau Kuantan Singingi, dan selanjutnya dilakukan analisis terhadap tradisi lisan randai tersebut.

Menurut Nasution (2002: 5) penelitian kualitatif pada hakikatnya ialah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya.

Titik berat penelitian ini adalah teks cerita randai masyarakat Rantau Kuantan Singingi dan konteks dalam tradisi lisan randai masyarakat Rantau Kuantan Singingi. Pengkajian lebih mendalam dilakukan terhadap struktur intrinsik (tema, penokohan, alur, latar dan motif) cerita randai, nilai budaya dan konteksnya.


(16)

3.2 Sumber Data

Data dalam penelitian ini adalah tradisi lisan randai masyarakat Rantau Kuantan Singingi yang berupa teks dan konteksnya. Sedangkan yang menjadi sumber datanya adalah penutur tradisi lisan randai masyarakat Rantau Kuantan Singingi tersebut.

Menurut Bogdan dan S. K. Biklen (dalam Semi, 1990: 24) bahwa penelitian yang bersifat deskriptif artinya data terurai dalam bentuk kata-kata atau gambar-gambar, bukan dalam bentuk angka-angka. Data pada umumnya berupa pencatatan, foto-foto, rekaman, dokumen, memoranda atau catatan-catatan resmi lainnya.

Ada juga pendapat yang dikemukakan Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2004: 157) yang mengatakan bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Berkaitan dengan hal itu pada bagian ini jenis datanya dibagi ke dalam kata-kata dan tindakan, sumber data tertulis, foto, dan statistik.

Sebenarnya tambahan statistik dalam sumber data yang dikemu-kakan oleh Lofland dan Lofland di atas bukanlah data statistik yang begitu mendetail dan sejelas mungkin, akan tetapi hanya sebagai sumber data penunjang saja. Hal ini sesuai dengan pendapat Moleong et al. (2004: 163)

“ … peneliti jangan terlalu banyak mendasarkan diri atas dasar data statistik, tetapi memanfaatkan data statistik itu hanya sebagai cara yang mengantar dan mengarahkannya pada kejadian dan peristiwa yang ditemukan dan dicari sendiri sesuai dengan masalah dan tujuan penelitiannya”.


(17)

Keseluruhan sumber dan jenis data yang disampaikan di atas, pada dasarnya banyak bergantung pada peneliti untuk menjaringnya sehingga yang diharapkan itu saja yang dapat dijangkau. Dengan kata lain, peranan manusia sebagai alat atau instrumen penelitian besar sekali dalam penelitian kualitatif.

3.3 Informan Penelitian

Dalam penelitian ini, sebagai pendukung dan lengkapnya penelitian ini, peneliti juga mewawancarai beberapa pihak yang mempunyai keterkaitan dengan tradisi lisan ini, yaitu:

a. Tokoh masyarakat, tokoh adat, dan seniman;

b. Pejabat yang berwenang di wilayah Rantau Kuantan Singingi, baik pemerintahan tingkat bawah (desa/kelurahan) maupun Dinas Pariwisata dan Kebudayaan yang berkompeten terhadap kelanjutan kehidupan tradisi lisan ini;

c. Informan sekitar masyarakat Rantau Kuantan Singingi yang mengetahui tradisi lisan randai tersebut;

d. Warga masyarakat Rantau Kuantan Singingi, baik yang berada di Kabupaten Kuantan Singingi maupun yang berada di perantauan yang diambil secara acak.

Pihak-pihak yang disebutkan di atas adalah sebagai informan dalam penelitian ini, hal ini berguna supaya ada data tambahan tentang tradisi lisan randai yang diketahui oleh pihak-pihak tersebut. Mengapa demikian? Sebab data jangan hanya diperoleh dari pihak yang melakukan kegiatan


(18)

pementasan ini saja, dalam arti para pemain randai, tetapi juga diperlukan masukan atau pendapat dari pihak lain yang kompeten.

3.4 Populasi dan Sampel

Palte (dalam Djojosuroto dan Sumaryati, 2004: 93) mengatakan bahwa populasi adalah jumlah keseluruhan unit yang akan diselidiki karakreristik atau ciri-cirinya. Ada pun sampel penelitian adalah sebagian dari unit-unit yang ada dalam populasi yang ciri-ciri atau karakteristiknya benar-benar diselidiki.

Populasi dalam penelitian ini semua kelompok (grup) randai yang ada di Kabupaten Kuantan Singingi. Berdasarkan pembicaraan peneliti dengan Bapak Drs. Maifadal Muin, staf kantor Dinas Pariwisata Kabupaten Kuantan Singingi pada bulan Juli 2005 lalu, kelompok (grup) randai yang ada di Kabupaten Kuantan Singingi berjumlah 20 grup yang tersebar pada 12 kecamatan yang ada. Yang tidak mempunyai grup randai yaitu 3 kecamatan, yaitu: Kecamatan Singingi Hilir, Kecamatan Singingi dan Kecamatan Logas Tanah Darat. Menurut penuturan beliau, yang aktif melakukan pementasan hanya 4 sampai 5 grup saja, tergantung dari banyaknya acara yang dilaksanakan dan berlangsung di Kabupaten Kuantan Singingi.

Mengingat waktu, tenaga dan biaya yang diperlukan sangat besar dalam penelitian ini, maka peneliti mengambil sampel hanya satu grup randai saja yaitu Grup Randai Pancang Kuantan Kecamatan Kuantan Tengah pimpinan Drs. Hamsirman. Cerita yang diteliti adalah cerita Dang


(19)

Kedunai dan Niniak Jiruhun (Nenek Jiruhun). Mengapa grup ini yang peneliti ambil sebagai sampel? Sebab grup ini sudah sering tampil dalam acara-acara resmi dan juga sering mendapat juara dalam berbagai festival randai yang diadakan 1 kali dalam setahun oleh Pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi dalam menyemarakkan acara Pacu Jalur. Kemudian grup ini juga sering diundang ke luar daerah oleh orang-orang Kuantan Singingi yang berada di perantauan untuk tampil di acara-acara hajatan dan pesta perkawinan.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dengan cara survai, pengamatan di lokasi penelitian, dan mewawancarai penutur tradisi lisan randai dan pihak-pihak yang berkompeten terhadap tradisi ini. Alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa kamera dan tape recorder (alat rekaman) dan juga akan disertai dengan handycam untuk melihat secara jelas kegiatan para pemain randai dalam melakukan pementasan.

Menurut Moleong (2004: 9): dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama. Hal itu dilakukan karena, jika memanfaatkan alat yang bukan manusia dan mempersiapkan dirinya terlebih dahulu sebagai yang lazim digunakan dalam penelitian klasik, maka sangat tidak mungkin untuk mengadakan penyesuaian terhadap kenyataan-kenyataan yang ada di lapangan. Oleh karena itu, pada waktu mengumpulkan data di lapangan,


(20)

peneliti berperan serta pada situs penelitian dan mengikuti secara aktif kegiatan kemasyarakatan.

Begitu juga halnya dengan apa yang dikemukakan oleh Nasution (2002: 54) bahwa dalam penelitian naturalistik (kualitatif) peneliti sendirilah yang menjadi instrumen utama yang terjun ke lapangan serta berusaha sendiri mengumpulkan informasi melalui observasi atau wawancara. Ia mengobservasi apa adanya dalam kenyataan.

Data melalui observasi atau wawancara tidak segera dianggap mantap bila diperoleh hanya dari satu sumber. Data itu masih “lunak” dan tidak segera dipandang sebagai fakta “keras” yang tak dapat disangkal kebenarannya. Oleh sebab itu, setiap data perlu lagi dicek dan dibandingkan dengan data yang diperoleh dari sumber lain. Dalam hal ini manusialah sebagai alat yang paling serasi.

Dapat disimpulkan dalam penelitian ini data dikumpulkan atau diperoleh dengan cara observasi, wawancara, dan kamera yang digunakan selama penelitian berlangsung.

3.6 Teknik Analisis Data

Data dianalisis dengan cara bersamaan dengan pengumpulan data dan juga diusahakan setelah data terkumpul semuanya, kemudian dilakukan analisis terhadap unsur intrinsiknya (tema, penokohan, alur, latar dan motif), nilai budaya dan konteks yang ada di dalamnya.

Supaya lebih rinci mengenai penganalisisan dan penginterpretasian struktur intrinsik, nilai budaya yang terdapat dalam teks cerita randai dan


(21)

konteksnya dalam tradisi lisan, penulis menggunakan langkah-langkah berikut:

a. Menentukan unsur-unsur struktur intrinsik karya sastra yaitu: tema, penokohan, alur, latar dan nilai budaya (unsur didaktis) dalam teks cerita dan konteks kalimat tradisi lisan randai;

b. Menganalisis unsur-unsur struktur intrinsik karya sastra, nilai budaya yang terdapat dalam teks cerita dan konteks kalimat dalam tradisi lisan randai;

c. Mendeskripsikan hasil analisis per unsur intrinsik karya sastra; d. Mengambil simpulan dari cerita tradisi lisan randai.

3.7 Tahapan Penelitian

Kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: 3.7.1 Kegiatan Awal, yang dilakukan pada masa ini adalah:

a. Mengumpulkan informasi tentang siapa saja yang bisa dijadikan informan yang valid untuk pendukung subjek penelitian;

b. Menentukan calon informan yang sesuai/relevan;

c. Mengumpulkan dan mengidentifikasi peralatan yang cocok dipakai di lapangan sewaktu mengadakan pengumpulan data;

d. Melakukan studi pustaka yang mempunyai relevansi dengan bahan penelitian;

e. Melakukan pendekatan secara pribadi (bukan dalam suasana resmi) dengan informan.


(22)

3.7.2 Kegiatan Pokok, hal yang akan dilakukan:

a. Wawancara secara bebas dengan para pemain randai, baik tukang cerita, tukang gendang, maupun peniup peluit;

b. Wawancara dengan pihak terkait, seperti tokoh masyarakat, tokoh adat, dan pejabat terkait sebagai bahan penunjang;

c. Merekam tradisi lisan randai sewaktu pementasan dilakukan (diusahakan tidak diketahui/secara tersembunyi oleh informan). 3.7.3 Kegiatan Akhir, hal yang akan dilakukan adalah:

a. Mentranskripsikan hasil cerita tradisi lisan randai ke dalam tulisan berbahasa Melayu Rantau Kuantan;

b. Mengalihbahasakan hasil transkripsi cerita tradisi lisan randai ke dalam bahasa Indonesia;

c. Menganalisis hasil transkripsi cerita tradisi lisan randai; d. Membuat laporan.


(23)

12. 5 Instrumen Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri dengan pedoman wawancara yang menggunakan alat rekaman, baik berupa kamera maupun handycam. Pedoman lain adalah beberapa petunjuk yang mendukung penelitian ini yang berupa kisi-kisi analisis tradisi lisan.


(24)

BAB V

MODEL PENGAJARAN CERITA RANDAI SEBAGAI BAHAN MUATAN LOKAL UNTUK SMP DI KABUPATEN

KUANTAN SINGINGI

5.1 Dasar Pemikiran

Cerita randai Dang Gedunai dan Niniak Jiruhun yang telah selesai dianalisis berdasarkan struktur, nilai budaya dan konteks dengan menggunakan metode deskriptif-analitis hendaknya tidak sampai di situ saja. Oleh sebab itu, perlu ditindaklanjuti dengan menawarkan cerita randai Dang Gedunai dan Niniak Jiruhun ini untuk dijadikan bahan muatan lokal dalam bidang studi Kesenian Daerah di Sekolah Menengah Pertama pada Kabupaten Kuantan Singingi, khususnya untuk kelas VII semester 1 dan 2.

Kurikulum 2004 Mata Pelajaran Kesenian yang diterbitkan Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional mengatakan:

“…. pendidikan seni di sekolah umum pada dasarnya diarahkan untuk menumbuhkan sensitivitas dan kreativitas sehingga terbentuk sikap apresiatif, kritis, dan kreatif pada diri siswa secara menyeluruh. Kemampuan ini hanya mungkin tumbuh jika dilakukan serangkaian kegiatan meliputi pengamatan, analisis, penilaian, serta kreasi dalam setiap aktivitas seni baik di dalam kelas maupun di luar kelas”.

Dengan demikian, kegiatan randai merupakan salah satu sarana untuk menumbuhkan kreativitas siswa dan jiwa yang mampu berapresiatif dalam memahami nilai-nilai yang ada dalam cerita tersebut.


(25)

Demi terealisasinya dan adanya acuan yang dapat digunakan guru untuk mengajarkan cerita ini kepada siswa kelas VII SMP, maka perlu dibuatkan semacam model pengajaran. Dengan model ini diharapkan lebih mudah guru dan siswa dalam memahami cerita randai tersebut. Melalui cerita randai ini juga dapat pula dikembangkan dan diwariskan nilai-nilai luhur dan norma-norma yang terdapat dalam cerita.

5.2 Model Pengajaran Cerita Randai

Mata Pelajaran : Muatan Lokal (Kesenian Daerah) Kelas/Semester: VIII/1

Waktu : 2 kali pertemuan (4 x 45 menit)

Standar Kompetensi: Mampu mengungkapkan pikiran, pendapat, gagas- an, dan perasaan dalam berbagai bentuk wacana lisan nonsastra: menanggapi pembacaan kutipan novel terjemahan dan menanggapi pementasan drama.

Kompetensi Dasar :

1. Menanggapi pementasan drama.

1.1 Mampu mengidentifikasi karakter tokoh dalam pementasan drama. 1.2 Mampu mendeskripsikan fungsi latar dalam pementasan drama. 1.3 Mampu menemukan tema cerita dalam pementasan drama.

1.4 Mampu mendeskripsikan alur (jalan cerita) dalam pementasan drama.

1.5 Mampu menemukan motif dalam pementasan drama.

1.6 Mampu menemukan nilai budaya dalam pementasan drama.

1.7 Mampu menanggapi hasil pementasan drama dengan argumen yang logis.

Uraian Materi:

1. Mengenal unsur-unsur pementasan drama.

2. Mengenal unsur-unsur intrinsik cerita dalam pementasan drama. 3. Mengenal nilai-nilai budaya yang ada dalam pementasan drama.


(26)

Skenario :

Proses Kegiatan:

1. Awal : Apersepsi: menyebutkan unsur-unsur pementasan drama. menyebutkan unsur-unsur intrinsik cerita dalam drama.

menyebutkan nilai-nilai budaya dalam cerita drama. Motivasi : Sebutkan unsur-unsur pementasan drama.

2. Inti : Beberapa unsur pementasan drama. Beberapa unsur intrinsik cerita. Beberapa nilai budaya dalam cerita.

Menyebutkan unsur-unsur pementasan drama: - skenario

- pemain - sutradara - dekorasi

- busana dan rias - musik pengiring

Menyebutkan unsur-unsur intrinsik cerita: - tema

- alur

- tokoh/penokohan - amanat

- latar - motif

Menyebutkan unsur nilai-nilai budaya dalam cerita : - hubungan manusia dengan Tuhan

- hubungan manusia dengan karyanya - hubungan manusia dengan ruang/waktu - hubungan manusia dengan alam sekitar - hubungan manusia dengan sesamanya. 3. Penutup : Rangkuman, evaluasi, pergelaran.


(27)

Pengalaman Belajar:

- Menjelaskan unsur-unsur pementasan drama - Menjelaskan unsur-unsur intrinsik cerita

- Menjelaskan unsur nilai-nilai budaya dalam cerita Alokasi Waktu :

4 x 45 menit (2 kali pertemuan) Indikator :

Menyebutkan unsur-unsur pementasan drama.

- Memberikan penilaian sederhana atas bentuk penyajian pementasan drama.

- Menyebutkan unsur-unsur tema, isi, dan amanat dari penyajian pementasan drama.

- Mengungkapkan pendapat atas unsur-unsur pementasan drama yang dilakukan siswa.

- Menyebutkan unsur-unsur nilai budaya yang terdapat dalam pementasan drama.

- Menyebutkan contoh masing-masing unsur nilai budaya dalam pementasan drama.

Tagihan (Soal) :

Jenis : Individu dan kelompok Bentuk : Lisan, tulisan dan praktek Soal :

1. Sebutkan unsur-unsur dalam pementasan drama.

2. Berikan satu contoh drama tradisi daerah di Kuantan Singingi. 3. Sebutkan unsur-unsur intrinsik yang ada dalam cerita.

4. Sebutkan unsur-unsur nilai budaya yang ada dalam drama. Sumber/Bahan :

a. DRAMA Karya dalam Dua Dimensi

b. Teks Cerita Dang Gedunai dan Niniak Jiruhun yang telah selesai dianalisis.


(28)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Karya sastra tradisi lisan randai Dang Gedunai dan Niniak Jiruhun yang direkam dan dianalisis mempunyai struktur yang dijalin oleh beberapa unsur yang membentuknya. Dengan jalinan itu unsur-unsur cerita tersebut tampak dengan jelas mempunyai susunan yang baik. Unsur-unsur yang terdapat dalam cerita Dang Gedunai dan Niniak Jiruhun adalah tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, dan motif. Kelima unsur tersebut dapat penulis simpulkan satu persatu.

1) Tema dalam cerita Dang Gedunai adalah anak yang tidak mau turut pada perintah orang tuanya, sedangkan tema dalam cerita Niniak Jiruhun adalah anak yang tidak mempunyai rasa belas kasihan terhadap orang tua.

2) Tokoh dalam cerita Dang Gedunai sebanyak 5 orang, satu tokoh utama dan 4 tokoh tambahan, sedangkan tokoh dalam cerita Niniak Jiruhun sebanyak 9 orang dengan 2 tokoh utama dan 7 tokoh tambahan. Penokohan/perwatakan dalam cerita Dang Gedunai terdapat 4 tokoh protagonis dan 1 tokoh antagonis, sedangkan dalam cerita Niniak Jiruhun terdapat 5 tokoh protagonis dan 4 tokoh antagonis.

3) Alur dalam cerita Dang Gedunai dan Niniak Jiruhun memakai pola alur maju (progresif).


(29)

4) Latar yang digunakan dalam cerita Dang Gedunai dan Niniak Jiruhun hampir sama yaitu berkisar nama-nama tempat seperti di rumah, surau dan kedai (warung). Kemudian juga lingkungan alam yang ada di sekitarnya seperti: hutan, sungai, rawang (danau kecil), sawah dan kebun karet. Hal ini menunjukkan bahwa latar yang dominan dalam kedua cerita randai ini adalah kondisi alam yang terdapat di Rantau Kuantan Singingi.

5) Motif yang terdapat dalam cerita Dang Gedunai adalah motif perkawinan dan impian, sedangkan dalam cerita Niniak Jiruhun adalah motif perkawinan (pelanggaran janji) dan perpisahan. Hal ini berarti bahwa motif yang ada dalam kedua cerita menggambarkan tentang kondisi sosial masyarakat di Rantau Kuantan Singingi. 6) Nilai budaya yang terdapat dalam cerita Dang Gedunai terdapat 7

macam dan dalam cerita Niniak Jiruhun terdapat 8 macam. Pada cerita Dang Gedunai dan Niniak Jiruhun tersebut dikelompokkan menjadi 5 sistim nilai budaya yaitu: hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan karya, hubungan manusia dengan waktu, hubungan manusia dengan alam sekitar, dan hubungan manusia dengan sesamanya. Hal ini menunjukkan bahwa nilai budaya yang ada dalam kedua cerita tersebut masih eksis dan digunakan dalam kehidupan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Rantau Kuantan Singingi.


(30)

7) Ciri ketradisian dan kelisanan dalam cerita Dang Gedunai dan Niniak Jiruhun masih berlangsung sampai penelitian ini dilakukan. Hal ini berarti ciri ketradisian dan kelisanan tersebut masih tetap dilakukan walaupun ada juga yang dimodifikasi sesuai dengan tuntutan zaman dan penonton.

8) Genre cerita Dang Gedunai adalah legenda, sedangkan cerita Niniak Jiruhun tergolong jenis dongeng. Hal ini menunjukkan bahwa cerita randai juga banyak yang mengisahkan cerita yang berasal dari daerah tempat grupnya berasal dan juga diambil dari cerita-cerita yang ada di masyarakat.

6.2 Saran

Penelitian ini jelas berimplikasi dengan guru-guru sastra, kesenian daerah (khusus di daerah Riau), pengembangan ilmu sastra dan pihak yang mempunyai komitmen untuk mengembangkan kebudayaan daerah. Untuk itu penulis menyampaikan harapan dan sekaligus menyarankan:

1) Guru bidang studi Kesenian Daerah yang mengajar pada SMP di Kabupaten Kuantan Singingi dapat memanfaatkan cerita randai Dang Gedunai dan Niniak Jiruhun untuk dijadikan sebagai salah satu bahan pelajaran karena cerita ini digali dari ranah Kuantan Singingi sendiri. Guru bidang studi Bahasa dan Sastra Indonesia juga bisa memanfaatkannya sebagai salah satu pengayaan terhadap cerita rakyat yang sudah diterbitkan.


(31)

2) Para peneliti lain yang tertarik dengan dunia tradisi sastra lisan hendaknya dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai bahan acuan karena masih banyak cerita-cerita rakyat yang belum tergali khususnya di daerah-daerah pedalaman dan pesisir pantai.

3) Cerita Dang Gedunai dan Niniak Jiruhun penulis tawarkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Kuantan Singingi untuk dijadikan salah satu bahan ajar muatan lokal. Hal ini disebabkan karena kedua cerita ini banyak memuat nilai-nilai budaya dan norma adat-istiadat yang perlu dipelajari dan dilestarikan.


(32)

BIBLIOGRAFI

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Badan Pusat Statistik. 2004. Kuantan Singingi dalam Angka. Teluk Kuantan: Pemda Kuantan Singingi.

Baried, Baroroh St dkk. 1985. Memahami Hikayat dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, Dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Darma, Budi. 1981. Moral dalam Sastra. Pidato Ilmiah. Surabaya: IKIP. Depdiknas. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta:

Balai Pustaka.

Depdiknas. 2003. Unsur Didaktis dalam Fabel Nusantara: Cerita Kera Jakarta: Pusat Bahasa.

Djamaris, Edwar. 2002. Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Djojosuroto, Kinayati dan Sumaryati, M.L.A. 2004. Prinsip-Prinsip Dasar Penelitian Bahasa & Sastra. Bandung: Nuansa.

Fang, Liaw Yock. 1991. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik 1. Jakarta: Erlangga.

Hasanuddin. 1996. DRAMA Karya dalam Dua Dimensi. Bandung: Angkasa.

Hamidy, UU. 1995. Kamus Antropologi Dialek Melayu Rantau Kuantan Riau. Pekanbaru: Unri Press.

Hamidy, UU, dan Ahmad, Muchtar. 1993. Beberapa Aspek Sosial Budaya Daerah Riau. Pekanbaru: UIR Press.

Ikram, Achadiati. 1997. Filologia Nusantara. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Jarkasi, dkk. 1997. Struktur Sastra Lisan Lamut.Jakarta: Pusat Pembinaan


(33)

Keraf, Gorys. 2001. KOMPOSISI Sebuah Pengantar Kemahiran Berbahasa. Flores: Nusa Indah.

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta Khristina. 2004. Analisis Struktur, Nilai Budaya, dan Konteks dalam Tradisi Berebab pada Masyarakat Padang Pariaman. Tesis. Bandung: UPI. Lubis, Mochtar. 1978. Teknik Mengarang. Jakarta: Nunang Jaya.

Luxemburg, Jan Van. 1989. Pengantar Ilmu Sastra (terjemahan Dick Hartoko). Jakarta: Gramedia.

Minderop, Albertine. 2005. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.

Mulyana, Deddy dan Rakhmat, Jalaluddin. 1998. KOMUNIKASI ANTARBUDAYA Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Muslihin, Endin. 2002. Kajian Struktur dan Fungsi Pendidikan dalam Tradisi Lisan Masyarakat Kanekes. Tesis. Bandung: UPI Nasution, S. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung:

Tarsito.

Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pudentia. 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan. Ratna, Nyoman K. 2005. Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi

dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman K. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: Diponegoro.

Rusyana, Yus. 1996. Tuturan tentang Pencak Silat dalam Tradisi Lisan Sunda (Seri Tradisi Lisan Nusantara). Jakarta: Yayasan Obor


(34)

Indonesia dan Asosiasi Tradisi Lisan.

Rusyana, Yus. 1979. Novel Sunda sebelum Perang. Jakarta: Depdikbud. Semi, Atar. 1990. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.

Semi, Atar. 1993. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.

Sudardi, Bani. 2002. Wacana Perubahan dan Adaptasi Sastra Lisan di Indonesia (jurnal penelitian). Bandung: UPI.

Sudjana, Nana. 2002. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Sumardjo, Jakob. 2004. Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: STSI Press.

Sutrisno, Sulastin, dkk (Ed.). 1991. Bahasa Sastra Budaya (Kumpulan Makalah). Yogyakarta: UGM Press.

Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Tuloli, Nani. 1991. Tanggomo Salah Satu Ragam Sastra Lisan Gorontalo. Jakarta: Intermasa.

Wellek, Rene dan Warren, Austin. 1990. Teori Kesusastraan. Diindonesiakan oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.


(1)

4) Latar yang digunakan dalam cerita Dang Gedunai dan Niniak Jiruhun hampir sama yaitu berkisar nama-nama tempat seperti di rumah, surau dan kedai (warung). Kemudian juga lingkungan alam yang ada di sekitarnya seperti: hutan, sungai, rawang (danau kecil), sawah dan kebun karet. Hal ini menunjukkan bahwa latar yang dominan dalam kedua cerita randai ini adalah kondisi alam yang terdapat di Rantau Kuantan Singingi.

5) Motif yang terdapat dalam cerita Dang Gedunai adalah motif perkawinan dan impian, sedangkan dalam cerita Niniak Jiruhun adalah motif perkawinan (pelanggaran janji) dan perpisahan. Hal ini berarti bahwa motif yang ada dalam kedua cerita menggambarkan tentang kondisi sosial masyarakat di Rantau Kuantan Singingi. 6) Nilai budaya yang terdapat dalam cerita Dang Gedunai terdapat 7

macam dan dalam cerita Niniak Jiruhun terdapat 8 macam. Pada cerita Dang Gedunai dan Niniak Jiruhun tersebut dikelompokkan menjadi 5 sistim nilai budaya yaitu: hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan karya, hubungan manusia dengan waktu, hubungan manusia dengan alam sekitar, dan hubungan manusia dengan sesamanya. Hal ini menunjukkan bahwa nilai budaya yang ada dalam kedua cerita tersebut masih eksis dan digunakan dalam kehidupan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Rantau Kuantan Singingi.


(2)

7) Ciri ketradisian dan kelisanan dalam cerita Dang Gedunai dan Niniak Jiruhun masih berlangsung sampai penelitian ini dilakukan. Hal ini berarti ciri ketradisian dan kelisanan tersebut masih tetap dilakukan walaupun ada juga yang dimodifikasi sesuai dengan tuntutan zaman dan penonton.

8) Genre cerita Dang Gedunai adalah legenda, sedangkan cerita Niniak Jiruhun tergolong jenis dongeng. Hal ini menunjukkan bahwa cerita randai juga banyak yang mengisahkan cerita yang berasal dari daerah tempat grupnya berasal dan juga diambil dari cerita-cerita yang ada di masyarakat.

6.2 Saran

Penelitian ini jelas berimplikasi dengan guru-guru sastra, kesenian daerah (khusus di daerah Riau), pengembangan ilmu sastra dan pihak yang mempunyai komitmen untuk mengembangkan kebudayaan daerah. Untuk itu penulis menyampaikan harapan dan sekaligus menyarankan:

1) Guru bidang studi Kesenian Daerah yang mengajar pada SMP di Kabupaten Kuantan Singingi dapat memanfaatkan cerita randai Dang Gedunai dan Niniak Jiruhun untuk dijadikan sebagai salah satu bahan pelajaran karena cerita ini digali dari ranah Kuantan Singingi sendiri. Guru bidang studi Bahasa dan Sastra Indonesia juga bisa memanfaatkannya sebagai salah satu pengayaan terhadap cerita rakyat yang sudah diterbitkan.


(3)

2) Para peneliti lain yang tertarik dengan dunia tradisi sastra lisan hendaknya dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai bahan acuan karena masih banyak cerita-cerita rakyat yang belum tergali khususnya di daerah-daerah pedalaman dan pesisir pantai.

3) Cerita Dang Gedunai dan Niniak Jiruhun penulis tawarkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Kuantan Singingi untuk dijadikan salah satu bahan ajar muatan lokal. Hal ini disebabkan karena kedua cerita ini banyak memuat nilai-nilai budaya dan norma adat-istiadat yang perlu dipelajari dan dilestarikan.


(4)

BIBLIOGRAFI

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Badan Pusat Statistik. 2004. Kuantan Singingi dalam Angka. Teluk Kuantan: Pemda Kuantan Singingi.

Baried, Baroroh St dkk. 1985. Memahami Hikayat dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, Dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Darma, Budi. 1981. Moral dalam Sastra. Pidato Ilmiah. Surabaya: IKIP. Depdiknas. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta:

Balai Pustaka.

Depdiknas. 2003. Unsur Didaktis dalam Fabel Nusantara: Cerita Kera Jakarta: Pusat Bahasa.

Djamaris, Edwar. 2002. Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Djojosuroto, Kinayati dan Sumaryati, M.L.A. 2004. Prinsip-Prinsip Dasar Penelitian Bahasa & Sastra. Bandung: Nuansa.

Fang, Liaw Yock. 1991. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik 1. Jakarta: Erlangga.

Hasanuddin. 1996. DRAMA Karya dalam Dua Dimensi. Bandung: Angkasa.

Hamidy, UU. 1995. Kamus Antropologi Dialek Melayu Rantau Kuantan Riau. Pekanbaru: Unri Press.

Hamidy, UU, dan Ahmad, Muchtar. 1993. Beberapa Aspek Sosial Budaya Daerah Riau. Pekanbaru: UIR Press.

Ikram, Achadiati. 1997. Filologia Nusantara. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Jarkasi, dkk. 1997. Struktur Sastra Lisan Lamut.Jakarta: Pusat Pembinaan


(5)

Keraf, Gorys. 2001. KOMPOSISI Sebuah Pengantar Kemahiran Berbahasa. Flores: Nusa Indah.

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta Khristina. 2004. Analisis Struktur, Nilai Budaya, dan Konteks dalam Tradisi Berebab pada Masyarakat Padang Pariaman. Tesis. Bandung: UPI. Lubis, Mochtar. 1978. Teknik Mengarang. Jakarta: Nunang Jaya.

Luxemburg, Jan Van. 1989. Pengantar Ilmu Sastra (terjemahan Dick Hartoko). Jakarta: Gramedia.

Minderop, Albertine. 2005. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.

Mulyana, Deddy dan Rakhmat, Jalaluddin. 1998. KOMUNIKASI ANTARBUDAYA Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Muslihin, Endin. 2002. Kajian Struktur dan Fungsi Pendidikan dalam Tradisi Lisan Masyarakat Kanekes. Tesis. Bandung: UPI Nasution, S. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung:

Tarsito.

Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pudentia. 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan. Ratna, Nyoman K. 2005. Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi

dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman K. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: Diponegoro.

Rusyana, Yus. 1996. Tuturan tentang Pencak Silat dalam Tradisi Lisan Sunda (Seri Tradisi Lisan Nusantara). Jakarta: Yayasan Obor


(6)

Indonesia dan Asosiasi Tradisi Lisan.

Rusyana, Yus. 1979. Novel Sunda sebelum Perang. Jakarta: Depdikbud. Semi, Atar. 1990. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.

Semi, Atar. 1993. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.

Sudardi, Bani. 2002. Wacana Perubahan dan Adaptasi Sastra Lisan di Indonesia (jurnal penelitian). Bandung: UPI.

Sudjana, Nana. 2002. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Sumardjo, Jakob. 2004. Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: STSI Press.

Sutrisno, Sulastin, dkk (Ed.). 1991. Bahasa Sastra Budaya (Kumpulan Makalah). Yogyakarta: UGM Press.

Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Tuloli, Nani. 1991. Tanggomo Salah Satu Ragam Sastra Lisan Gorontalo. Jakarta: Intermasa.

Wellek, Rene dan Warren, Austin. 1990. Teori Kesusastraan. Diindonesiakan oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.