PERBANDINGAN PENANGANAN KASUS PERSEKONGKOLAN TENDER MELALUI UU NO. 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DAN ANTI-MONOPOLY ACT OF JAPAN 1947.

ABSTRAK
PERBANDINGAN PENANGANAN KASUS PERSEKONGKOLAN
TENDER MELALUI UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999
TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN
USAHA TIDAK SEHAT DAN ANTI-MONOPOLY ACT 1947 (ACT ON
PROHIBITION OF PRIVATE MONOPOLIZATION AND MAINTENANCE
OF FAIR TRADE)
Raka Satria Fadhlurrohman
110110120346
Persekongkolan tender merupakan salah satu tindakan yang dapat
menimbulkan persaingan tidak sehat dan bertentangan dengan tujuan
dilaksanakannya tender. Persekongkolan tender pun dapat membawa
dampak yang negatif terhadap perekonomian secara keseluruhan. Oleh
karena itu beberapa negara memandang perlu untuk mengaturnya dalam
peraturan khusus. Indonesia melalui UU No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat melarang
dilakukannya praktik persekongkolan dalam tender. Hal yang sama juga
dilakukan Jepang dalam Anti-Monopoly Act 1947 (Act on Prohibition of
Private Monopolization and Maintenance of Fair Trade). Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengkaji dan membandingkan penanganan kasus
persekongkolan tender antara Indonesia dan Jepang.

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif
dengan spesifikasi penelitian secara deskriptif analitis yang meneliti praktik
penanganan kasus persekongkolan tender oleh lembaga pengawas
persaingan usaha di Indonesia dan Jepang dikaitkan dengan perbedaan
pendekatan yang dianut pada kedua negara tersebut.
Berdasarkan analisis dapat disimpulkan bahwa terdapat kekeliruan
dalam penerapan pendekatan rule of reason terhadap persekongkolan
tender yang diatur dalam Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999. Pendekatan yang
tepat untuk diterapkan terhadap persekongkolan tender adalah per se
illegal seperti yang diterapkan di Jepang. Penggunaan alat bukti untuk
membuktikan persekongkolan tender di Indonesia juga cenderung
membutuhkan alat bukti langsung yang dalam praktiknya seringkali sulit
untuk didapatkan. Berbeda dengan praktik yang dilakukan di Jepang
dimana Anti-Monopoly Act 1947 menerapkan leniency program sebagai
upaya pemberantasan praktik persekongkolan tender. Sehingga Indonesia
perlu untuk mengadopsi beberapa hal dari pengaturan persekongkolan
tender dalam Anti-Monopoly Act 1947, yaitu merubah pendekatan rule of
reason menjadi per se illegal, dan mengadopsi leniency program sebagai
sarana untuk membuktikan adanya praktik persekongkolan dalam tender.


iv

ABSTRACT
COMPARISON OF BID RIGGING CASE HANDLING THROUGH THE
LAW NO. 5 OF 1999 CONCERNING THE BAN ON MONOPOLISTIC
PRACTICES AND UNFAIR BUSINESS COMPETITION AND ANTIMONOPOLY ACT OF JAPAN 1947 (ACT ON PROHIBITION OF
PRIVATE MONOPOLIZATION AND MAINTENANCE OF FAIR TRADE)
Raka Satria Fadhlurrohman
110110120346
Bid rigging is an action that could lead to an unhealthy competition
and it is contrary to the purpose of the bid itself. Bid rigging also has a
significant negative impact on the economy as a whole. Hence, some
countries deem it necessary to put it into a regulation. Indonesia through
Law No. 5 of 1999 on Prohibition of Monopoly and Unfair Competition forbid
bid rigging practices. The same thing was done in Japan which also forbid
bid rigging through Anti-Monopoly Act Of Japan 1947 (Act On Prohibition Of
Private Monopolization And Maintenance Of Fair Trade). The purpose of
this research is to analyze and compare bid rigging case handling in
Indonesia and Japan.
The method uses in this research is normative juridical with specialty

of analytical descriptive in investigating the practice of bid rigging case
handling by the fair trade and competition authority in Indonesia and Japan
associated with the difference approach adopted in these two countries.
Based on the analysist it can be concluded that there are a fallacy in
the application of rule of reason approach to bid rigging set in Article 22 Law
No. 5 of 1999. An appropriate approach to apply to bid rigging is per se
illegal as applied in Japan. The use of evidence to prove conspiracy in
Indonesia also tend to demand direct evidence that in practice are often
difficult to get. It is different with the practices done in Japan where AntiMonopoly Act 1947 apply leniency program as an eradication effort to fight
against bid rigging practices. So in conclusion, Indonesia should adopt a
few things from Japan in Anti-Monopoly Act 1947, the rule of reason
approach should be changed to per se illegal and Indonesia should adopt
leniency program as a means to prove the conspiracy in bid rigging cases.

v