Sertifikasi & Akreditasi Oleh Asosiasi Dalam Perspektif Uu No. 5/1999 (Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat)

(1)

SERTIFIKASI & AKREDITASI OLEH ASOSIASI DALAM PERSPEKTIF UU NO. 5/1999

(Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat)

Ningrum Natasya Sirait

Abstract: Trade associations existed and known for many years as government partners in conducting business. Regulations for practices are best informed through trade associations on industrial standard. Trade association also plays an important role in developing communication and channeling business opportunity for its members. However, it is known that trade association can also by itself create a restraint of trade through its decision by causing artificial barrier to entry to a new player in the market. Trade association could facilitate a collusion or collaboration among competitors officially or tacitly. The behavior could impede competition process and at the end would injure consumer welfare, resources allocation and efficiency.

Many studies proved the association could be use as a vehicle to facilitate collusion in terms of bidding for winning or obtaining contract. It has proved that association’s behavior and its decree indicated that they have violated the principles adopted in the Competition Law. The conduct could either be executed through tacit collusion, with or without written agreement or could be facilitated through the trade association decision. Bidding or tendering is the most common practices in government procurement method for work. As the country under the transition process from regulated to market economy, Indonesia has adopted and enacted the new competition law (Law No.5/1999). Therefore, such conduct or behaviour is now regulated under the new law. This is a new approach for the legal community especially for business actors since the violation for such behavious has only been regulated under Corruption or Criminal Law. The Government has issues several Presidential Decrees and the latest amended version is Keppres No.80/2003, which regulated bidding process for government procurement. Many cases shown including report to the Supervision for Business Competition or known as Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) as the legal enforcer for this kind of violation shown that bid rigging or collusion in tendering marked and remain as the highest violation in business in Indonesia.

Keywords: competition, trade association, bidding, certification, accreditation, govern-ment procuregovern-ment works.

PENDAHULUAN.

Dalam perekonomian asosiasi pelaku usaha atau asosiasi bisnis memainkan peranan penting dalam berbagai industri. Asosiasi pelaku usaha atau trade association1menjadi wadah bagi para pelaku usaha untuk berkomunikasi dalam industri yang sama yang berpengaruh dalam penentuan kebijakan anggota dan industri mere-ka. Eksistensi dari asosiasi pelaku usaha dibutuh-kan dan intens dipergunadibutuh-kan sebagai wadah un-tuk pelatihan, komunikasi, mencari peluang usa-ha, kerjasama, medium komunikasi dengan pemerintah, sumber informasi, mencari peluang pasar baru, menetapkan standar regulasi industri,

menetapkan aturan atau perjanjian dalam bisnis bahkan melihat strategi atau peluang apa yang terbuka dalam upaya menembus pasar global.

Tujuan asosiasi dibentuk dapat dilihat pa-da masing masing Anggaran Dasar maupun Ang-garan Rumah Tangga (AD & ART) dan berbagai asosiasi berperan penting serta berpengaruh da-lam penetapan kebijakan para anggotanya.2 Aso-siasi merupakan wadah berkumpulnya para pesa-ing dalam suatu industri atau usaha yang sama, yang tindakan serta keputusannya rentan terhadap aturan dalam Hukum Persaingan yang mengatur tentang larangan praktek monopoli dan per-saingan usaha tidak sehat3 (Waters, 1996:2-3).


(2)

Asosiasi pelaku usaha atau trade association4 bukanlah merupakan suatu fenomena baru dalam dunia usaha. Dengan kata lain, aso-siasi dikatakan sebagai berikut:

“A Trade Association is an organization of producers or distributor of a commoditiy or service upon a mutual basis for the purpose of promoting the business of their branch of industry and improving their service to the public through the compilation and distribution of information, the establishment of trade standards and the co-operative handling of common problems to the production or distribution of the commodity or service with which they are concerned”.5

Asosiasi pelaku usaha juga digambarkan sebagai suatu organisasi yang bersifat non-profit dari pelaku usaha yang merupakan pesaing dalam tujuan untuk mempromosikan kepentingan eko-nomi dalam industri yang sama. Hal ini menun-jukkan bahwa asosiasi merupakan organisasi nirlaba yang dibentuk untuk kepentingan anggo-tanya yang merupakan pesaing satu dengan yang lainnya yang bertujuan untuk membantu kemaju-an dkemaju-an kepentingkemaju-an kemaju-anggotkemaju-anya secara bersama sama dan lebih memfokuskan pada tujuan ekono-mi dibandingkan dengan kepentingan individual dan meningkatkan kemampuan industri secara umum.6

Asosiasi pelaku usaha dibedakan dengan bentuk asosiasi lain yang kita kenal, misalnya asosiasi profesional yang lebih terfokus pada profesi mereka.

PEMBAHASAN

Struktur Umum Asosiasi (Trade or Business Associations)

Dalam hal ini struktur dari tiap asosiasi pelaku usaha yang ada adalah berbeda. Bentuk organisasi dari asosiasi pelaku usaha dapat saja bersifat vertikal yang berada di pusat dan daerah, ataupun horizontal, yang organisasinya berada di level yang sama secara geografis dan berasal dari industri yang sama.7

Apa yang menjadi dasar dari pembentu-kan suatu asosiasi? Suatu industri atau usaha menghadapi berbagai jenis tantangan dan persai-ngan, hal ini dirasakan akan lebih baik bila dihadapi secara bersama sama dibandingkan bila persaingan itu dihadapi sendiri. Misalnya dalam menghadapi pesaing baru ataupun produk lain

dari luar (internasional), masalah kredit maupun regulasi pemerintah yang baru diberlakukan.8 Masalah ini jauh lebih mudah diselesaikan bersa-ma dengan menciptakan standardisasi strategi yang menjadi keputusan bersama dari anggota asosiasi tersebut. Dasar fundamental dari pem-bentukan asosiasi pelaku usaha tidak lain dari-pada upaya bersama menghadapi masalah yang dihadapi.

Sementara itu bila tidak dalam konteks upaya untuk menyelesaikan masalah, maka asosiasi tidak lain merupakan tempat berkumpul para pesaing yang mungkin melakukan kolusi atau persetujuan baik secara diam-diam atau eks-plisit yang merupakan pelanggaran dalam Hukum Persaingan.9 Pelaku usaha yang menjadi anggota asosiasi memiliki persepsi yang sama bahwa mereka juga mempunyai minat yang sama untuk bertemu, menentukan harga, membagai wilayah ataupun menentukan kuota produksi ataupun memboykot pesaing baru yang akan masuk kepasar. Walaupun tidak menjadi tujuan dari pembentukan suatu asosiasi, tetapi asosiasi dapat dianggap sebagai fasilitator dari kolusi yang terjadi antara anggotanya.

Berbagai kegiatan asosiasi yang sangat luas memang variatif sifatnya. Asosiasi dapat mengundang resiko dalam konteks Hukum Persaingan bila tindakannya berhubungan dengan perjanjian, harga, produksi maupun distribusi. Legalitas dari tindakan asosiasi hanya dapat diputuskan dengan memperhatikan batasan apakah tindakan tersebut menciptakan hambatan dalam perdagangan atau persaingan atau tidak (menciptakan barrier to entry atau restraint of trade). Oleh sebab itu asosiasi harus mampu membuktikan bahwa tindakan atau keputusan yang diambil, dijalankan oleh anggotanya bertu-juan untuk kepentingan efisiensi dan dapat dila-kukan secara independen tanpa adanya tujuan untuk mengurangi persaingan di antara mereka sendiri.10

Umumnya kegiatan rutin asosiasi adalah pertemuan rutin dalam industri, publikasi atau laporan, kerjasama dengan organisasi atau aso-siasi lainnya, penetapan standar etik atau bisnis, statistik termasuk kompilasi dan distribusi, legis-lasi, pengawasan terhadap persaingan bisnis yang curang, publikasi mengenai industri, akunting atau hal hal yang berhubungan dengan keuangan, pendidikan publik tentang produk, penyediaan informasi, bantuan hukum, partisipasi dalam pameran, pendidikan dalam industri, promosi


(3)

ber-sama, standarisasi produk dan industri, kegiatan yang berhubungan dengan pajak dan kredit.11

Asosiasi sesuai fungsinya berperan sebagai medium pertukaran informasi dan upaya peningkatan kinerja serta meningkatkan efisiensi industri.12 Karena fungsinya yang mempersatukan pesaing serta membicarakan masalah ekonomi dan kepentingan yang sama, maka asosiasi dapat dipergunakan sebagai kendaraan untuk mencipta-kan persetujuan yang sifatnya mengurangi persai-ngan diantara mereka melalui perjanjian tertulis atau tidak13. Atau dapat saja asosiasi karena keputusan dan fungsinya melalui keputusan admi-nistratif atau secara organisasi justru dapat men-ciptakan hambatan bagi pelaku usaha baik yang menjadi ataupun tidak menjadi anggotanya. Jenis hambatan ini berbagai macam dan merupakan biaya ekonomi serta mampu mempengaruhi kepu-tusan pelaku usaha untuk mampu masuk atau tidak mampu menembus suatu pasar persaingan.

Dalam ekonomi pasar yang mendukung persaingan, peran asosiasi cukup kontroversial. Pada suatu saat asosiasi dibutuhkan untuk hal-hal positif dalam peningkatan industri, sementara dalam konteks Hukum Persaingan, peran asosiasi justru sering dicurigai sebagai alat dalam meng-hindarkan persaingan. Pada dasarnya peran aso-siasi lebih banyak sebagai pusat informasi yang dapat diakses baik oleh pelaku pasar dalam memberikan informasi pasar sehingga lebih di-anggap pro-persaingan.14

Dikatakan juga bahwa kebebasan ekono-mi (economic freedom) termasuk diantaranya ak-ses terhadap informasi pasar terutama yang ber-kaitan dengan harga.15 Demikian juga dengan implikasi dari asumsi bahwa asosiasi adalah medium yang sering memfasilitasi adanya suatu perjanjian yang sifatnya eksplisit ataupun diam diam yang memberikan komunikasi untuk melakukan tindakan bersama sama (conscious paralellism). Sehingga doktrin konspirasi yang difasilitasi oleh asosiasi bukan saja dibuktikan melalui adanya suatu perjanjian tertulis tetapi juga melalui tindakan bersama (concerted action).16

Dalam kenyataan praktek sehari hari alangkah muskilnya bagi pelaku usaha untuk tidak melakukan tindakan dengan melihat peri-laku pesaingnya. Hal yang rasional ini akan sa-ngat sukar dibuktikan bersifat menghambat per-saingan karena tindakan melihat perilaku pesaing dengan melihat informasi sekitarnya adalah suatu tindakan bisnis yang normal.

Asosiasi karena dianggap sebagai fasili-tator bagi berkumpulnya pesaing dapat saja menghadapi hambatan dalam aktivitasnya dan membuat eksistensi asosiasi menjadi bias. Karena asosiasi harus mampu mengontrol tindakan anggotanya dengan menghindari perjanjian yang sifatnya eksplisit atau diam diam yang membatasi pelaku untuk melakukan keputusan bisnis yang independen. Di samping itu anggota asosiasi, baik yang turut melakukan, maupun sebagai anggota tetapi tidak ikut dalam perjanjian atau konspirasi juga akan menanggung akibatnya dari tindakan beberapa anggota yang lain. Oleh sebab itu pem-buktian adanya unsur tindakan bersama yang di-lakukan memang sulit untuk dibuktikan. Dengan demikian ada 2 hal yang penting yang berhubu-ngan deberhubu-ngan dugaan mengenai adanya konspirasi yang dilakukan melalui asosiasi, yaitu berdasar-kan bukti keanggotaan dalam asosiasi serta ada-nya tindakan bersama (concerted action) yang ditindaklanjuti. Dari kedua pembuktian dasar ini dapat ditarik dugaan awal bahwa doktrin kons-pirasi ini dapat diberlakukan.17

Saat ini berbagai asosiasi tetap eksis dan dikenal dengan keempat fungsinya yang utama, yaitu sebagai alat untuk mempromosikan ataupun mengkonsolidasikan data yang berhubungan de-ngan informasi industri yang bersangkutan antara anggota dan non anggota, mempromosikan dan meningkatkan produk industri, sebagai perwaki-lan industri kepada pemerintah dan membangun standar industri untuk meningkatkan persaingan misalnya dalam bentuk pengeluaran akreditasi atau sertifikasi untuk dapat dianggap mampu melakukan suatu pekerjaan.18 Oleh sebab itu da-pat dikatakan bahwa wacana modern dari asosiasi pelaku usaha yang ada saat ini adalah tidak tergantung pada kontrol pasar tetapi terfokus pada promosi dan efektifisasi dari kekuatan ekonomi dengan berlandaskan pada interaksi yang bebas dari kemampuan dan pertimbangan anggota asosiasi secara independen melalui persaingan.19

Dalam mencermati kegiatan asosiasi yang berhubungan dengan Hukum Persaingan, maka cara yang paling mudah adalah dengan melihat Anggaran Dasar (AD & ART) asosiasi tersebut. AD & ART. Article of Association yang dapat diartikan sebagai perjanjian antara organi-sasi dan anggotanya sehingga ada kemungkinan bahwa aturan asosiasi dapat dianggap sebagai upaya untuk menghambat persaingan diantara anggotanya. Para anggota berupaya untuk menca-pai konsensus dalam berbagai aspek yang


(4)

di-fasilitasi oleh asosiasi dengan tujuan mengurangi tingkat persaingan diantara mereka.20 Dapat dikatakan bahwa asosiasi melakukan pengon-trolan dan stabilisasi terhadap anggotanya dan dapat juga berarti pengontrolan anggota asosiasi terhadap kebijakan anggota asosiasi yang lainnya. 21 Oleh karena titik singgung antara pendekatan ekonomi, hukum dalam bisnis sangat bersifat interdependen, maka dapat disimpulkan bahwa Hukum Persaingan harus melihat efek akhir dari suatu tindakan atau keputusan asosiasi akan menghambat persaingan atau tidak.22 Walaupun banyak pro dan kontra mengenai eksistensi dari asosiasi saat ini, tetapi patut dicermati bahwa fungsi positifnya lebih banyak bagi kepentingan perekonomian dibandingkan dengan tindakannya yang dianggap merugikan.23

Berbagai Jenis Kegiatan Asosiasi 1. Distribusi Data dan Informasi

Kenyataan menunjukkan bahwa pelaku usaha mempunyai kebutuhan yang tinggi terha-dap informasi akurat yang terha-dapat diakses menge-nai industri usaha mereka. Informasi yang dibu-tuhkan akan sangat membantu dan menentukan keputusan dari pelaku usaha misalnya dalam hal distribusi, penentuan lokasi pabrik, jenis produk-si, ketersediaan bahan baku, promosi bahkan sampai pada keputusan apakah akan masuk atau tidak dalam suatu pasar.24 Asosiasi mempunyai beberapa kegiatan utama yang merupakan inti dari tujuan organisasi tersebut. Dari berbagai ke-giatan maka diantaranya yang utama adalah pe-nyediaan informasi yang berkenaan dengan suatu industri. Informasi ekonomi yang dikompilasikan merupakan inti dari kegiatan asosiasi yang berhu-bungan dengan kebutuhan anggota dan juga mas-yarakat lainnya.25 Pengumpulan data statistik ada-lah suatu kegiatan rutin asosiasi yang merupakan pengumpulan, kompilasi, distribusi data yang ber-sifat non harga termasuk angka produksi, peme-sanan, penjualan, kapasitas, pengapalan, saham dan informasi umum lainnya. Tujuan utama dari pengumpulan dan diseminasi data ini adalah untuk mengindikasikan kecenderungan dalam industri tersebut, menunjukkan hubugan antara permintaan dan supply, sehingga pelaku usaha diharapkan mampu untuk merencanakan operasi usahanya dengan lebih terperinci. Langkah yang dilakukan oleh asosiasi meliputi 3 hal yaitu: informasi yang berasal dan dikumpulkan dari pe-rusahaan tersendiri, kompilasi informasi dari in-dustri secara keseluruhan maupun laporan

indivi-dual dan juga penyebaran data kepada pihak lain yang memerlukannya.26

2. Kegiatan yang Berhubungan Dengan Harga Kegiatan asosiasi yang paling besar mengandung resiko yang berhubungan dengan Hukum Persaingan adalah mengenai harga. Pertanyaan yang hakiki adalah bagaimana batasan kegiatan asosiasi yang dapat dikategorikan menghambat persaingan? Karena harga sangat berhubungan erat dengan kegiatan informasi harga, penetapan harga jual, tender, kredit, standardisasi maupun statistik. Kemudian adanya kecurigaan yang mendasar bahwa asosiasi sering dipergunakan oleh anggotanya sebagai kendaraan atau alat untuk penentuan harga. Demikian juga asosiasi digunakan sebagai tempat untuk memu-tuskan adanya suatu upaya untuk “menstabilkan” harga di suatu pasar. Upaya untuk menstabilisasi harga dinyatakan sebagai pelanggaran hukum persaingan.27

Harga memang merupakan elemen yang menentukan dalam persaingan, oleh sebab itu dapat dipastikan bahwa seluruh kegiatan baik melalui asosiasi atau sendiri sendiri akan mem-punyai efek tersendiri. Oleh sebab itu untuk menghindari adanya asumsi ilegal dalam kegiatan yang berhubungan dengan harga, maka asosiasi wajib untuk memastikan bahwa segala kegiatan dan keputusan yang diambil harus wajib didasarkan pada keputusan individual anggota, dan bukan disebabkan adanya suatu tindakan bersama (concerted actions) yang didasarkan pada persetujuan, eksplisit ataupun diam-diam. Kegiatan yang paling berbahaya yang mungkin dilakukan atau difasilitasi melalui asosiasi adalah penetapan harga (price fixing).

3. Kegiatan Pelaporan Harga

Setiap pelaku usaha akan selalu berupaya untuk mengetahui harga pesaingnya dalam suatu pasar yang sama dengan akurat. Dalam suatu pasar persaingan sempurna dapat terjadi bila informasi dapat diketahui baik oleh pembeli mau-pun penjual. Oleh sebab itu upaya untuk menda-patkan informasi yang akurat mengenai harga dan pasar dapat diupayakan melalui inisiatif pelaku pasar secara terintegrasi, yaitu difasilitasi melalui asosiasi mereka. Distribusi dari informasi menge-nai harga jual, beli dan lainnya dinyatakan seba-gai sesuatu yang legal dan tidak bertentangan de-ngan kepentide-ngan publik. Kepentingan informasi ini terasa lebih berguna untuk industri yang


(5)

terse-bar di berbagai daerah dan mempunyai banyak pesaing dengan produk yang relevan. Tetapi da-lam struktur industri yang sifatnya oligopoli, mungkin saja tindakan ini dapat dianggap seba-gai fasilitasi untuk berkolusi dengan lebih mudah. 4. Perhitungan Biaya Akunting (Cost

Account-ing)

Kegiatan asosiasi yang lain yang berhu-bungan dengan harga adalah apa yang disebut dengan cost accounting,28yang berarti bahwa pe-ngumpulan dan pendistribusian data mengenai biaya produksi dalam suatu industri. Biaya di-maksud dapat termasuk biaya buruh, bahan baku, promosi, pajak, pengemasan atau asuransi. Infor-masi ini umumnya dibutuhkan oleh pelaku yang mempersiapkan usahanya untuk masuk ke pasar, maka pelaku pasar dapat mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan bersaingnya. Keuntu-ngan yang diperoleh dari adanya sistem cost accounting adalah: memberikan gambaran akurat mengenai perhitungan industri, memberikan gam-baran persaingan yang jelas, informasi akurat se-belum dilakukan pengaturan, informasi konsu-men, menunjukkan kepada manufaktur mengenai berbagai sistem yang ada dan memberikan gam-baran, pertimbangan kepada anggota asosiasi dan pelaku pasar.29

5. Standardisasi Produk

Asosiasi juga dapat berperan dalam hal standarisasi produk pada industri mereka. Standarisasi ini diaplikasikan untuk jenis, tipe, ukuran produk sehingga diharapkan mampu untuk mengurangi biaya ekonomi yang timbul. Hal ini termasuk kegiatan inspeksi rutin yang dilakukan oleh asosiasi untuk menjaga kesepaka-tan industri tersebut. Dalam hal ini kegiakesepaka-tan asosiasi dapat diselaraskan dengan pengawasan dari departemen terkait, misalnya Deperindag. 6. Aktivitas Kredit

Kegiatan lain yang dapat difasilitasi melalui asosiasi adalah kredit. Asosiasi memberikan informasi mengenai kondisi kredit kepada anggota sebagai bahan masukan bagi pelaku usaha. Informasi mengenai kegiatan ini terbukti juga membawa manfaat bagi anggota asosiasi dalam hal mencermati posisi keuangan, mengurangi resiko keuangan dan mempersiapkan keputusan yang berdasarkan pada kondisi keuangan yang aktual.

7. Aktivitas Riset, Pengembangan dan Paten Kegiatan asosiasi yang dianggap berman-faat lainnya adalah melakukan riset bersama de-ngan tujuan peningkatan standarisasi produk, keamanan, efisiensi dalam industri mereka. Riset yang dilakukan melalui kerjasama anggota asosi-asi memiliki beberapa keuntungan karena meng-hemat biaya serta mempunyai tujuan yang sama di antara mereka. Tetapi juga mengandung kele-mahan karena akses terhadap hasil riset tersebut dimiliki bersama sehingga akan sulit mengikuti persaingan karena semua pelaku mempunyai keunggulan yang sama dari hasil yang dipatenkan tersebut.

8. Boykot (Refusal to Deal) dan Tindakan Ber-sama

Dalam kenyataannya, asosiasi juga dapat menggalang kebersamaan anggotanya untuk melakukan tindakan bersama berupa boikot atau keputusan lainnya yang wajib dipatuhi anggota-nya. Asosiasi dapat memutuskan untuk agar anggotanya hanya boleh melakukan hubungan bisnis ataupun asosiasi dapat menetapkan, ngontrol, menolak maupun menginstruksikan me-ngenai distribusi bahkan menetapkan waktu untuk melakukan bisnis (penentuan jam buka usaha misalnya). Instruksi tersebut dapat juga sampai menetapkan untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pihak ke 3. Dalam Hukum Persai-ngan, maka hal hal semacam ini dapat dianggap sebagai hambatan dalam perdagangan (restraint of trade). Tindakan bersama ini dapat dikategori-kan sebagai persetujuan ataupun perjanjian untuk melakukan sesuatu bersama sama (concerted actions) dan Hukum Persaingan akan memutus-kan apakah keputusan berakibat pada proses persaingan atau tidak.

9. Aktivitas Pembelian Bersama (Cooperative Selling and Buying)

Asosiasi juga dapat berperan memfasili-tasi dalam hal pembelian maupun penjualan bersama yang dilakukan oleh anggotanya. Teruta-ma hal ini dilakukan untuk menghadapi persaing-an dengpersaing-an bisnis ypersaing-ang sama dari pesaing pasar internasional. Asosiasi dapat bertindak sebagai agen pembelian dan penjualan (selling or buying agent) untuk anggotanya. Karena wewenangnya yang dapat bertindak sebagai agen, maka asosiasi akan dapat melakukan penetapan harga, maupun harga jual kembali yang merupakan tindakan riskan dalam Hukum Persaingan.


(6)

10. Penetapan Asosiasi dalam Basing Point untuk Pengangkutan

Asosiasi juga mempunyai bentuk kerja-sama lain dalam hal pengangkutan. Asosiasi memiliki standarisasi harga untuk biaya pengangkutan yang berasal dari lokasi produksi.

Basing Point menunjukkan harga yang

dipublikasikan oleh produsen dengan berdasarkan pada biaya transport pada area tertentu (zone price), dan juga biaya transportasi yang tidak berdasarkan pada tempat produksi. Hal ini bertujuan untuk mengurangi biaya yang dipikul oleh anggota sehingga dapat mempermurah harga penjualan produk mereka.

Asosiasi dan Rekomendasi Keanggotaan, Ak-reditasi/Sertifikasi dalam Konteks Persaingan dan UU No.5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat

Ketika seorang pelaku usaha masuk ke-dalam suatu pasar persaingan, maka terdapat beberapa syarat formal yang wajib dilalui ber-dasarkan peraturan yang ada di samping syarat berupa modal, jaringan, transportasi, keahlian, pasar, distribusi, informasi dan berbagai faktor lainnya. Umumnya pemerintah mensyaratkan seperti rekomendasi dari suatu asosiasi, pendaf-taran keanggotaan asosiasi ataupun kewajiban sertifikasi yang dikeluarkan oleh asosiasi. Serti-fikasi30 adalah suatu upaya standarisasi yang dilakukan oleh suatu badan yang ditunjuk resmi oleh pemerintah dalam suatu bidang usaha ter-tentu terutama yang memerlukan keahlian khusus dan dilaksanakan oleh badan independen, yang memperoleh akreditasi kemudian sesudah sertifi-kasi diperoleh barulah pelaku usaha dapat mela-kukan kegiatan usahanya, misalnya Deparpostel untuk Asita, Departemen Kesehatan untuk Gakes-lab).31 Rekomendasi dan keanggotaan asosiasi ada yang diwajibkan sebagai prasyarat untuk dapat masuk ke dunia usaha dengan tujuan mendisip-linkan dan memastikan bahwa anggota yang terdaftar tunduk pada peraturan industri ataupun tunduk pada regulasi perdagangan yang diber-lakukan.32Beberapa asosiasi menyatakan meneri-ma keluhan bahwa anggota berkeberatan reko-mendasi ini diwajibkan karena hanya akan me-nambah beban biaya serta waktu untuk penguru-sannya. Walaupun demikian kewajiban rekomen-dasi keanggotaan masih dirasakan positif karena adanya data pelaku usaha/perusahaan yang terdaf-tar dan dapat mengontrol perilaku ataupun

kegiatannya bila melanggar aturan yang ada melalui jalur organisasi.

Sedangkan untuk standarisasi, di Indone-sia pengembangan atau penetapan standardisasi dilakukan oleh BSN (Badan Standarisasi Nasional)33 yang membentuk Komisi Akreditasi Nasional dengan tugas meliputi akreditasi lemba-ga sertifikasi sistem mutu (produk), lembalemba-ga uji/kalibrasi dan akreditasi lembaga penelitian. Saat ini terdapat berbagai pendapat dan perdeba-tan mengenai keberadaan sistim akreditasi, sertifikasi atau registrasi dalam dunia usaha Indonesia cukup rumit, apalagi bila dikaitkan dengan adanya upaya untuk merevisi Keppres No 18/2000 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengada-an BarPengada-ang/Jasa InstPengada-ansi Pemerintah.

Sedangkan pada UU No.1/1987 Tentang Kadin dan Keppres No.61/2000 Tentang Penyem-purnaan AD & ART Kadin, dikatakan bahwa Kadin bertindak sebagai akreditor asosiasi sedangkan asosiasi bertindak sebagai sertifikator untuk badan usaha. Upaya untuk mengakreditasi suatu asosiasi dan kemudian asosiasi tersebut mampu dan kredibel untuk mengeluarkan serti-fikasi (misalnya Ikatan Arsitek Indonesia) adalah suatu proses yang positif sebagai upaya pengontrolan kinerja dan jaminan bahwa pekerja-an ypekerja-ang dilakukpekerja-an ypekerja-ang berhubungpekerja-an dengpekerja-an keselamatan dan kepentingan umum memang patut diawasi oleh suatu badan yang independen dan profesional.

Sedangkan sertifikasi adalah suatu cara untuk memberikan akreditasi dalam rangka me-nyelenggarakan klasifikasi dan kualifikasi badan usaha yang diberikan kepada asosiasi perusahaan, asosiasi profesi ataupun institusi pendidikan dan pelatihan yang mendapat akreditasi, misalnya dari Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LP-JK).34 Sertifikasi ini dibutuhkan untuk dapat melakukan jenis pekerjaan tertentu, misalnya kontrak untuk penyedia barang/jasa instansi pemerintah.35 Keseluruhan proses baik rekomen-dasi keanggotaan dari suatu asosiasi, akreditasi asosiasi ataupun sertifikasi oleh asosiasi dapat menjadi hambatan sekaligus pengujian bagi pelaku usaha bila tidak mampu mengikuti standar yang ditentukan oleh asosiasi yang telah diserti-fikasi. Sehingga di samping tujuan positifnya, ketidakmampuan ini akan memaksa pelaku yang tidak tunduk pada standar akan tersingkir dari pasar karena tidak akan mampu mendapatkan pekerjaan. Bila tidak dilakukan dengan proses yang transparan, akuntabel dan profesional maka


(7)

dalam Hukum Persaingan proses ini dapat dika-tegorikan sebagai hambatan (barrier to entry) un-tuk suatu usaha. Hambatan masuk ke pasar (barrier to entry)36dapat bersifat natural ataupun artifisial yang dapat diciptakan melalui regulasi pemerintah37 atau aturan yang ditetapkan badan administrasi, asosiasi atau diciptakan langsung oleh pelaku usaha pesaing.38

Pertanyaan relevan mengenai rekomenda-si keanggotaan, akreditarekomenda-si dan sertifikarekomenda-si bila di-kaitkan dengan persaingan dan telah berlakunya UU No.5/1999 Tentang Larangan Praktek Mono-poli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah: a. Siapakah badan yang berhak melakukannya

dan bagaimana kredibilitas, kompetensi dan transparansi proses lembaga yang mengeluar-kan baik itu rekomendasi keanggotaan, akre-ditasi dan sertifikasi?

b. Apakah para pelaku usaha merasakan hal tersebut sebagai hambatan masuk ke pasar (barrier to entry) dan bagaimana akibat dari syarat akreditasi ataupun sertifikasi yang akan berakibat pada proses persaingan.

Pertanyaan mengenai siapakah badan yang paling berhak melakukan akreditasi ataupun sertifikasi haruslah melihat ketentuan perundang-undangan yang berlaku, misalnya dengan meng-adopsi syarat good governance39yang transparan, akuntabel dan independen.40 Sepanjang memang diatur oleh peraturan dan tidak melanggar aturan hukum yang lebih tinggi yang berlaku, maka tidak akan dipersoalkan lembaga apakah yang memberikan akreditasi suatu asosiasi ataupun asosiasi yang mengeluarkan sertifikasi. Fokus perhatian adalah implementasi dan realisasi pro-ses akreditasi atau sertifikasi yang dilakukan oleh kelompok independen yang terdiri dari perwaki-lan profesi, perusahaan, akademisi, asosiasi dan pemerintahan. 41Selama ini polemik yang timbul lebih pada masalah kredibilitas lembaganya, sebagai contoh, akibat pertanyaan mengenai legalitas, sistem dan prosedur kerja dari LPJK maka kemudian lahirlah lembaga tandingan yang disebut dengan Lembaga Jasa Konstruksi Indonesia (LJKI) dengan fungsi dan kewenangan yang sama dengan LPJK.

Oleh sebab itu dalam proses ini publik dapat melakukan pengawasan dan dapat melapor-kannya kepada asosiasi yang mengeluarkan serti-fikasi tersebut bila terjadi pelanggaran. Di sam-ping itu langkah berikutnya yang lebih konkrit adalah dalam bentuk dikenakannya sanksi, baik

secara administratif. Selama ini proses ini dita-ngani oleh pemerintah yang dikelola kurang professional dan prosesnya tidak transparan, maka saat ini mayoritas pelaku usaha menyatakan mendukung proses ini dilakukan dengan melibatkan peran multistakeholders yang terdiri dari unsur-unsur akademisi, asosiasi, pemerintah dan profesional, independen atau LSM yang juga harus teruji profesionalitas, independensi serta pengetahuannya.

Ada juga kekhawatiran beberapa pelaku usaha menyatakan bahwa masuknya unsur peme-rintah merupakan peluang bahwa independensi ini masih sulit diperhitungkan dengan alasan bah-wa apa yang selama ini berjalan tidak optimum karena prosesnya yang kolusif. Dahulu proses ini dikelola oleh pemerintah daerah yang diterbitkan oleh Gubernur di setiap propinsi setempat melalui Daftar Rekanan Mampu (DRM) sedangkan seka-rang dilakukan melalui sertifikat independen. Te-tapi perlu dipahami bahwa fungsi sertifikat dalam dunia usaha akan menjadi tergantung kepada kredibilitas asosiasi yang mengeluarkan sertifi-kasi. Sepanjang keakurasian informasi dalam sertifikat yang dikeluarkan oleh suatu asosiasi adalah tepat maka penilaian tentu akan berjalan dengan tepat pula karena hal tersebut akan bergantung kepada kebenaran dari informasi yang dikeluarkan oleh asosiasi mengenai pelaku usaha tersebut.42

Sertifikasi memberikan arti yang positif bagi dunia usaha ini hanya bila prosesnya trans-paran dan dilaksanakan oleh kelompok yang in-dependen, tidak berbiaya tinggi dan sesuai de-ngan hasil verifikasi dan kemampuan dan bukan hanya diberikan kepada pelaku yang mempunyai hubungan dengan tim sertifikasi tersebut. Sebab tidak jarang dalam kenyataanya selama ini dapat saja pihak-pihak yang menjabat dalam asosiasi dan berwewenang mengeluarkan akreditasi/serti-fikasi menggunakan kesempatan untuk menutup masuknya peluang pesaing masuk dengan alasan tidak mengeluarkan akreditasi/sertifikasi yang di-butuhkan oleh pelaku usaha tersebut. Hambatan yang tercipta (barrier to entry) lebih dilihat dari unsur prosesnya yang masih dianggap memiliki peluang kolusif sehingga pada akhirnya membuat pelaku usaha menanggung beban biaya di luar bi-aya ekonomi lain serta tertutupnya kesempatan masuk ke pasar persaingan.43 Hal ini dapat diang-gap bertentangan dengan tujuan UU No.5/199944 yang menjamin adanya kesempatan yang sama


(8)

bagi seluruh pelaku usaha dan mencegah terjadi-nya praktek persaingan usaha tidak sehat.

Demikian juga dengan pihak yang mela-kukan tugas akreditasi atau sertifikasi haruslah independen, profesional, memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam bidangnya. Sehingga sering sekali aturan yang sudah baku menjadi terhambat disebabkan proses akreditasi atau serti-fikasi tidak mencerminkan prinsip good governance.45 Melalui proses ini memperlambat masuknya (delay entry) seorang pelaku baru (new entry) ke pasar dalam tujuan UU No.5/1999 menunda masuknya seorang pesaing baru dapat merupakan suatu proteksi tersembunyi kepada pelaku yang sudah berada di pasar sebelumnya dan mengakibatkan timbulnya praktek persaingan tidak sehat. Atau kepentingan penguasa dan pihak tertentu dapat menjadikan terhalangnya pelaku di suatu pasar, merupakan faktor yang juga turut menghambat proses persaingan.46 Karena pada ciri pasar persaingan sempurna, suatu pasar dapat dikatakan bekerja sesuai mekanisme pasar bila setiap pelaku pasar akan mudah untuk keluar atau masuk (easy entry and exit) pada suatu industri.

Dalam Hukum Persaingan dan dari pendekatan ekonomi sekalipun, walaupun tidak mudah untuk menetapkan ukuran “ease of entry” atau kemuda-han untuk masuk ke pasar, tetapi faktor memper-sulit pelaku masuk hanya karena proses akreditasi atau sertifikasi akan berakibat pada suatu pasar persaingan.47

Apa yang Mungkin Direvisi dalam Keppres No. 18/2000 mengenai Akreditasi/Sertifikasi?

Dalam Keppres No. 18/200048 pada pasal 1 Ketentuan Umum, ada baiknya ditambahkan apa yang dimaksud dengan Akreditasi dan Sertifikasi serta penegasan mengenai badan apa yang berwenang untuk melakukan hal tersebut. Penambahan mengenai substansi ini adalah sepanjang tidak melanggar ketentuan undang-undang yang berlaku dan sudah mengatur tentang ke 2 substansi ini sebelumnya, misalnya UU No.1/1987 mengenai tugas, fungsi dan keberadaan Kadin dan demikian juga, sebagaimana diatur oleh UU No.18/1999 tentang Jasa Konstruksi yang mengisyaratkan mengenai keberadaan Lembaga Pengem-bangan Jasa Konstruksi (LPJK)49.

Dalam tingkatan perundang-undangan, maka undang-undang tidak akan dapat mengatur tentang undang-undang lainnya, kecuali dinyata-kan dengan tegas. Sehingga di samping wajib

memperhatikan peraturan yang berlaku, sebenar-nya fokus yang lebih penting mengenai proses akreditasi maupun sertifikasi adalah terletak pada kredibilitas, independensi dan proses lembaga yang memberikan akreditasi dan sertifikasi. Se-baiknya lembaga ini menggunakan standar inter-nasional maupun inter-nasional yang berlaku, misalnya standar BSN atau ISO. Hal ini juga wajib menyentuh pada “siapa” personil yang berhak duduk dalam lembaga ini yang memiliki profesio-nalitas, pengetahuan dan dan teruji independensi-nya. Selama ini perdebatan mengenai isu ini ha-nya berputar di sekitar masalah siapa badan yang paling berhak dan kredibel yang melaksanakan proses akreditasi maupun sertifikasi ini? Sebagai masukan dan faktor kontrol, maka untuk memas-tikan pihak yang mana yang dianggap kredibel dan mampu mewakili berbagai lapisan yang mempunyai kepentingan dalam akreditasi mau-pun sertifikasi ini, maka wajib melibatkan peran serta dan wakil dari masyarakat umum.50 Walau-pun ada kemungkinan bahwa ide ini terlihat sulit untuk direalisasikan, tetapi dengan menetapkan syarat tertentu, misalnya LSM yang melakukan advokasi konsumen secara konsisten dapat diper-timbangkan untuk duduk di dalamnya.

Beberapa Catatan mengenai Revisi Kepres No.18/2000 menjadi Kepres No. 80/2003

Akhirnya apa yang selama ini menjadi polemik terjawab sementara waktu melalui penyempurnaan Kepres No.18/2000 dengan dike-luarkannya Kepres No.80/2003 yang ditanda-tangani pada tanggal 3 November 2003 dan di-catat pada Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor 120. Secara umum, maka Kepres No.80/-2003 terlihat lebih komprehensif dengan menam-bahkan beberapa unsur substansial lebih jelas seperti pada Ketentuan Umum mengenai definisi dari berbagai hal yang selama ini belum diatur, misalnya pengguna anggaran daerah, pemilihan penyedia barang/jasa, pakta integritas serta peker-jaan kompleks. Kepres juga memperlihatkan se-mangat untuk menerapkan prinsip good gover-nance dengan memberlakukan Pakta Integritas yaitu surat pernyataan yang ditandatangani oleh pengguna barang/jasa/panitia pengadaan/ pejabat pengadaan/penyedia barang/jasa yang berisi ikrar untuk mencegah dan tidak melakukan kolusi/-korupsi dan nepotisme (KKN) dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa.

Demikian juga dengan tetap memberlakukan ke 6 prinsip dasar pengadaan


(9)

barang dan jasa yaitu: efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif serta akuntabel. Di samping itu ruang lingkup dari Kepres No.80/2003 lebih luas dibandingkan dengan Keppres sebelumnya lebih terperinci mengatur tentang pembiayaan pengadaan, pembentukan, persyaratan, tugas pokok, keanggotaan dari Panitia/Pejabat Pengadaan. Secara tehnis juga diatur mengenai persyaratan penyedia barang/jasa, jadwal, penyusunan harga perkiraan sendiri, pra-kualifikasi dan pascakualifikasi, prosesnya serta sistem pengadaan. Demikian juga mengenai sistem pengadaan barang/jasa pemborong/jasa lainnya yang berkenan dengan metode penyampaian dokumen, evaluasi penawaran, prosedur penyedia barang/jasa. Jasa konsultasi diatur mulai dari sistim pengadaannya, persiapan pelaksanaan pe-milihan jasa konsultansi, metode penyampaian dokumen penawaran (1 sampul, 2 sampul dan 2 tahap), metoda evaluasi, prosedur pemilihan pe-nyedia jasa konsultansi, juga mengenai pejabat yang mengatur, sanggahan, pelelangan/seleksi ulang. Demikian juga kontrak diatur lebih kom-prehensif lagi, yaitu dengan menjelaskan isi, jenis, penandatangan, hak & kewajiban, pemba-yaran uang muka dan prestasi, addendum, peng-hentian atau pemutusan kontrak, serah terima pe-kerjaan, sanksi serta penyelesaian sengketa. Juga pekerjaan yang dilakukan sendiri diatur dalam bab tentang swakelola, termasuk upaya pember-dayaan produksi dalam negeri, UKM, koperasi, keberaadaan perusahaan asing serta pengelolaan dana dan pinjaman dari luar negeri untuk penga-daan barang/jasa.

Yang menarik dari Kepres No.80/2003 penekanan pada kedudukan, fungsi serta tang-gung jawab dari pengguna barang/jasa secara le-bih komprehensif. Misalnya dalam pasal 48 di-nyatakan dengan jelas mengenai pengawasan terhadap penguna barang/jasa dan juga elaborasi mengenai pengaturan sanksi dengan mengadopsi UU No.5/1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (pasal 49 tentang tindak lanjut pengawasan). Hal lain yang baru dari Keppres ini adalah pada Bab VI pasal 50 diatur mengenai pengembangan kebijakan pengadaan barang/ jasa pemerintah, dengan akan dibentuknya suatu lembaga baru yaitu Lembaga Pengem-bangan Kebijakan Pengadaan Pemerintah (LPKPP) yang diatur oleh Kepres tersendiri dan harus sudah terbentuk pada tanggal 1 Januari 2005 di bawah koordinasi

Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BPPN.

Apa yang Menarik mengenai Akreditasi/Serti-fikasi dalam Kepres No. 80/2003?

Khusus mengenai bagian tentang Serti-fikasi, sesuatu yang menarik perhatian adalah Kepres No.80/2003 menambahkan hal baru ten-tang sertifikat sebagaimana diatur dalam Bab I, Ketentuan Umum, Bagian Pertama, mengenai istilah, Pasal 1 ayat 15 dinyatakan:

Sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pe-merintah adalah tanda bukti pengakuan atas kompetensi dan kemampuan profesi di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah yang merupakan persyaratan seseorang untuk diangkat sebagai pengguna barang/jasa atau panitia/pejabat pengadaan;

Pengaturan lebih jelas mengenai hal ini dinyatakan dalam pasal 9 dan 10, yang isinya:

Pengguna barang/jasa harus meme-nuhi persyaratan sebagai berikut:

a. memiliki integritas moral; b. memiliki disiplin tinggi;

c. memiliki tanggung jawab dan kualifikasi teknis serta manajerial untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya;

d. memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah

e. memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan, bertindak tegas dan keteladanan dalam sikap dan perilaku serta tidak pernah terlibat KKN dst…..

Demikian juga pada pasal 10 yang mengatur mengenai Pembentukan, Persyaratan, Tugas Pokok dan Keanggotaan Panitia/Pejabat Pengadaan dan menyebutkan mengenai kewaji-ban sertifikasi adalah:

memiliki sertifikat keahlian pengadaan ba-rang/jasa dst……….

Dalam hal ini pengaturan mengenai serti-fikat tidak ditujukan kepada penyedia barang/jasa tetapi justru kepada seseorang yang akan diangkat sebagai pengguna barang/jasa. Hal ini menarik dan bersifat progresif karena pada dasarnya proses pengaturan mengenai proses akreditasi/-sertifikasi yang sebelumnya telah diatur dalam


(10)

UU Kadin No.1/1987 serta UU No.18/1999 ten-tang Jasa Konstruksi yang mengisyaratkan me-ngenai keberadaan Lembaga Pengem-bangan Jasa Konstruksi (LPJK) masih tetap berlaku tetapi ditujukan untuk penyedia barang.jasa. Oleh sebab itu akan menarik untuk mengamati bagaimana proses dari sertifikasi yang wajib didapatkan oleh pengguna barang/jasa pemerintah, yang proses ini haruslah sesuai dengan standar profesionalitas, keilmuan, independen.

Selanjutnya akan dipertanyakan lembaga apakah yang akan berhak mengeluarkan sertifi-kasi untuk tingkatan pengguna barang/jasa ini dan bagaimana legitimasi serta pembentukannya? Sebagaimana diketahui bahwa standar profesio-nalitas seseorang atau perusahaan akan diakui bi-la memiliki sertifikat maupu akreditasi yang me-miliki legitimasi. Standar seperti ini berlaku umum hampir di seluruh dunia. Sehingga tentu saja akan muncul pertanyaan, bagaimanakah pengaturan mengenai akreditasi/sertifikasi dari lembaga penyedia barang/jasa yang berbentuk badan usaha atau orang perseorangan yang sela-ma ini telah disinggung dalam pengaturan UU Kadin No.1/1987 serta UU No.18/1999 tentang Jasa Konstruksi? Bila melihat pada instruksi SKB Menteri Keuangan RI dan Kepala Badan Perenca-naan Pembangunan Nasional Nomor:S-42/A/-2000 dan Nomor: S-2262/D.2/05/Nomor:S-42/A/-2000, tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Keputusan Presiden RI No.18/2000 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah, pada Bab 1.1.g yang menyatakan:

“sertifikat penyedia barang/jasa adalah sertifikat tanda bukti registrasi, klasifikasi dan kualifikasi bagi penyedia barang/jasa tertentu sesuai dengan bidang usaha dan kemampuannya yang diterbitkan oleh lem-baga atau asosiasi perusahaan/profesi yang bersangkutan yang resmi dan telah diakre-ditasi. Akreditasi bidang kontruksi dilakukan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruk-si (LPJK) dan akrediataKonstruk-si untuk bidang lain-nya oleh Kamar Dagang dan Industri Indo-nesia (KADIN).

Dengan melihat tingkat perundang-unda-ngan51 yang ada maka Kepres yang saat ini ber-laku akan secara otomatis menggantikan Kepres sebelumnya sehingga ada kemungkinan pertanya-an ypertanya-ang selama ini diperdebatkpertanya-an yaitu kewena-ngan proses akreditasi/sertifikasi akan dipertanya-kan kembali. Perlu dipahami bahwa tidak dengan

sendirinya Kepres mengatur bahwa ketentuan yang sudah diatur sebelumnya dalam tingkat un-dang-undang akan dinyatakan tidak berlaku se-dangkan Kepres No.80/2003 dinyatakan sebagai penyempurnaan dari Kepres No.18/2000. Berba-gai pertanyaan ini belum dapat terjawab sampai saat ini disebabkan pemberlakuan Kepres No.80/-2003 yang masih baru dalam pelaksanaan. Pengaturan dan Penegakan Hukum Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5/1999)

Semangat dari penerapan prinsip-prinsip

good governance terlihat dalam upaya melawan tindakan kolusif dalam proses pengadaan ba-rang/jasa sebagaimana tergambar dalam Kepres No.80/2003 dengan berupaya mengadopsi pasal 22 UU No.5/1999. Upaya mengurangi terjadinya persaingan usaha tidak sehat52 diatur dalam kolusi tender pada Bab IV, pasal 22 yang mengatakan bahwa:

“Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentu-kan pemenang tender sehingga dapat meng-akibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”.

Kolusi dalam proses tender dilakukan dengan berbagai jalan, misalnya berdasarkan pihak yang terlibat yaitu persekongkolan tender yang terjadi di antara pelaku usaha dengan pemi-lik/pemberi pekerjaan atau pihak tertentu, perse-kongkolan horizontal yaitu di antara sesama pela-ku usaha pesaing sendiri. Sedangkan bentuk per-sekongkolan berdasarkan perilaku adalah dalam bentuk tindakan saling memperlihatkan harga penawaran yang akan diajukan dalam pembukaan tender di antara sesama peserta, dengan jalan saling menyesuaikan penawaran, mengatur peme-nang di antara peserta pesaing.53

Keseluruhan ini akan mengakibatkan se-olah-olah terjadinya proses persaingan, tetapi bila dapat dibuktikan, maka yang terjadi adalah persaingan yang semu.54 Akibat dari persekong-kolan ini maka proses persaingan menjadi terhambat dan mengakibatkan terhambatan masuk ke -pasar (barrier to entry), biaya menjadi tinggi dan hilangnya barang yang berkualitas dan pasar ha-nya akan selalu dikontrol oleh pelaku usaha yang sama tetapi dengan identitas yang berbeda se-hingga tidak ada pemerataan kesempatan untuk pelaku usaha yang lain. Saat ini dengan telah


(11)

tersedianya perangkat hukum mengenai tindakan yang melanggar prinsip persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam UU No.5/1999 dan telah terbentuknya Komisi Pengawas Per-saingan Usaha (KPPU).55 Oleh sebab itu di sam-ping adanya kolusi dalam proses pengadaan ba-rang/jasa pemerintah, maka proses akreditasi maupun sertifikasi yang tidak dijalankan dengan transparan dan akuntabel dan akhirnya berakibat pada terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat dapat dilaporkan kepada KPPU untuk diproses sesuai dengan perundangan yang berlaku. Sesuai dengan perintah UU No.5/1999 maka KPPU memiliki wewenang untuk menjatuhkan sanksi bila ternyata tindakan tersebut berakibat pada proses persaingan dengan menerima laporan dari pelaku usaha yang merasa dirugikan.56

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan

a. Rekomendasi atau kewajiban keanggotaan, akreditasi dan sertifikasi adalah bersifat posi-tif bagi dunia usaha sepanjang prosesnya dila-kukan dengan tidak untuk tujuan yang salah dan mengakibatkan barrier to entry bagi pelaku usaha yang wajib mendapatkannya.

b. Kepres No.80/2003 yang dinyatakan sebagai penyempurnaan dari Kepres No.18/2000 memberikan wacana baru mengenai proses pengadaan barang/jasa pemerintah, misalnya dengan memberlakukan sertifikasi justru ke-pada pengguna barang dan jasa. Demikian juga dengan adanya Pakta Integritas sebagai pernyataan bersama untuk memerangi KKN dan kolusi membawa kepada pertanyaan se-lanjutnya, yang terpenting adalah penegakan hukum dari keseluruhan proses yang telah diatur oleh peraturan yang ada.

Rekomendasi

a. Lembaga atau asosiasi manapun yang mela-kukan proses sesuai dengan peraturan per-undang-undangan yang berlaku dan haruslah akuntabel, transparan dan sesuai dengan pera-turan yang berlaku. Personil yang melakukan pekerjaan tersebut haruslah independen dan profesional sehingga hanya pelaku usaha atau asosiasi yang kredibel saja yang berhak mendapatkan akreditasi atau menerima serti-fikasi

b. Dengan telah diberlakukannya UU No.5/1999 dan telah berfungsinya penegakan hukum

persaingan melalui Komisi Pengawas Persai-ngan Usaha (KPPU), maka proses akreditasi maupun sertifikasi yang tidak sesuai aturan dapat dilaporkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku kepada KPPU karena menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. c. Pelaksanana sertifikasi dan akreditasi

harus-lah dijamin dengan menerapkan prinsip good governance sehingga tidak mengakibatkan

barrier to entry bagi pelaku usaha yang wajib mendapatkannya.


(12)

1 Black, Henry Campbell., Black’s Law Dictionary, Defenition of the Terms and Phrases of American

and English Jurisprudence, Ancient and Modern., St. Paul, Minnesota, West Publishing Co., 1990., hal 1038, Trade Association is an association of business organizations having similar problems and engaged in similar fields formed for mutual protection, interchange of ideas and statistics and for maintenance of standards within their industry.

2 D.G.Goyder, EC Competition Law, Clarendon Press, Oxford, 1993, hal 409-410. The normal

objectives, therefore, of such a trade association would include: a. representation of the views of members to government and official bodies on topics of current interests, especially in connection with proposed legislation and likewise passing back the views of government and authorities to the industry as to how it should order its affairs either on specific topics, eg, environtmental protection, or more generally by promulgating codes of conduct, b. providing a range of services for members including information on matters relating to their business, the performance of the sector, and the provision of legal and financial guidance on general problems, c. in handling the public relations of the industry with its consumers and the public as a whole, and including utilization of press, television and other media.

Lihat juga Abdul Hakim Garuda Nusantara & Benny K.Harman, Analisis dan Perbandingan Undang-undang Antimonopoli, PT. Elex Media Komputindo, 1999, hal 10-20.

Data Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Biro Hubungan Masyarakat pada tahun 1999 adalah sejumlah 237 asosiasi yang meliputi 15 jenis asosiasi usaha yang terdaftar pada DitJend.Perdagangan Internasional di antaranya adalah 10 Asosiasi Industri Kayu dan Rotan, 11 Asosiasi Pulp dan Kertas, 19 Asosiasi Industri Makanan, 12 Asosiasi Industri Minuman dan Tembakau, 35 Asosiasi Industri Kimia, 10 Asosiasi Bahan Galian Non Logam, 15 Asosiasi Industri Logam, 18 Asosiasi Industri Mesin dan Perekayasaan, 11 Asosiasi Industri Alat Angkut, 9 Asosiasi Industri Tekstil, 6 Asosiasi Industri Kulit, 11 Asosiasi Industri Alat Pendidikan, Olah Raga dan Aneka, 5 Asosiasi Industri Elektronika, 8 Asosiasi Industri Kecil dan 49 Asosiasi Industri dan Perdagangan. Misalnya Gabungan Forwarder dan Ekspedisi Indonesia (Gafkesi), Asosiasi Pengusaha Pupuk Indonesia (APPI), Gapkindo (Gabungan Pengusaha Karet Indonesia), Asosiasi Pengusaha Es Indonesia, Asosiasi Mebel Indonesia (Asmindo), Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) Asosiasi Ekspor Kopi Indonesia (AEKI), Persatuan Perusahaan Graphis Indonesia (PPGI), Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), Asosiasi Pengusaha Retailer Indonesia (Aprindo) dan lain sebagainya. Para professional pun membentuk asosiasi sesuai pekerjaan mereka, misalnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) dan lain sebagainya termasuk pengusaha dalam Kadin, HIPMI dll. 3

Waters, Timothy J. et all, Antitrust & Trade Associations, How Trade Regulation Laws Apply to Trade and Professional Associations, Section of Antitrust Law, American Bar Association, 1996.

4 Benyamin S.Kirsh, Trade Associations in Law and Business, Central Book Company, New York, 1938, hal 10 yang mengatakan bahwa pengertian asosiasi bisnis atau asosiasi pelaku usaha adalah: “A voluntary organization of business competitors, usually in one branch of industrial, trade, or services fields, whose aim is to promote that branch through co-operative activities in two or more of the following phases: accounting practices, arbitration, business standards, commercial research, industrial research, public relations, statistics and trade promotions”.

5 Trade Association, Their Economic Significance and Legal Status, National Industrial Conference Board, 9-30, New York, 1925. Lihat juga, Benyamin S.Kirsh, Trade Association, The Legal Aspects, Central Book Company, New York, 1928, hal 13.

6 Geoge P.Lamb & Sumner S.Kittelle, Trade Associations Law and Practice, Little Brown and Company, 1956, hal 3, dikatakan bahwa trade associations is a non profit organization made up of competing business firms, designed to assist the individual members and to improve the industry’s position generally. Mutual business and economic interests bind the association’s members together.

7 George P.Lamb and Carrington Shields, Trade Association Law and Practice, Little Brown Company, Boston, Toronto, 1971, hal 1 yang mengatakan: ”whatever the structure of the


(13)

business association – be it horizontal association,” whose members operate at one functional level within an industry: a “vertical” association, whose members operate at different functional levels, or a federation, whose members are trade associations – business units with mutual economic interests are the foundation on which an association is built”.

8 Donham, Business Ethics: A General Survey, 7 Harvard Business Rev, 385, 386 (1929) sebagaimana dikutip dari Benyamin S.Kirsh, Trade Associations in Law and Business, Central Book Company, New York, 1938, hal 102 yang mengatakan bahwa:”It deals with the internal relations of the businessman, and the external relations of the group, how business is to live with the community”

9 Lihat Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations, ed. Edwin Cannan, The University of Chicago Press, USA, 1976. Smith mengatakan:.”People of the same trade seldom meet together, even for merriment and diversion, but the conversation ends in a conspiracy against the public or the some contrivances to raise prices”.

10 Geoge P.Lamb & Sumner S.Kittelle, op.cit. hal 16. 11 Benyamin S.Kirsh, op.cit, hal 12-14.

12 George P.Lamb & Carrington Shields, op.cit hal 1. Lihat juga Sharfman, The Trade Association

Movement, 16 Am.Economic Rev. 1 Supp. 203 (1926). Dikatakan bahwa: ”the modern trade association is the outstanding example of the organization of business upon a co-operative plan. The movement is an attempt to “co-ordinate competitive forces without relinquishing the fruits that sprin from individual initiative. It makes use of and coordinates the soundest thought and proved experiences of an industry.

13Ibid, hal 6, dikatakan bahwa: It depends upon whether the philosophy of the business community is

in harmony with the larger public interests at a given time, and upon the degree to which an association’s activities can be adapted to changes in the philosophy of the business community, the public and the government.

14

Ruddock, The Organization and Activities of a Trade Association, Preoceeding A.B.A Section of Antitrust Law, Spring Meeting, 47 (1955), ”A trade association is an artificial creature, necessarily alien in its composition to the basically individualistic philosophy of the antitrust law. It is endured and sometimes even indulged by the courts because of its great value to the progress of business in field of action not directly related to the merchandising process. Howevever, once its activities impinge or appear to impinge on the merchandising process, it can expect no mercy from the court. Under such circumstances a trade association is always considered expendable”.

15

Arthur Jerome Eddy, The New Competition, 1912 sebagaimana dikutip dari George P.Lamb & Carrington Shields, op. cit, hal 7

16

Lihat kasus putusan hakim dalam kasus Eastern States Retail Lumber Dearler’s Assn vs. United States, 234 U.S. 600, 612, 34 Sup. Ct.951, 954, 58 L.Ed. 1490, 1499 (1914). Kasus tersebut dinyatakan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat bahwa: “But it is said that in order to show combinations or conspiracy within the Sherman act some agreement must be shown under which the concerted action is taken. It is elementary, however, that conspiracies are seldom capable of proof by direct testimony and may be inferred from the things actucally done; and when, in this case, by concerted action the names of wholesellers who were reported as having made sales to consumers were periodically reported to the other members of the association, the conspiracy to accomplish that which was the natural consequencess of such action may be readily inferred…”

Dalam kasus ini asosiasi dituduh telah melanggar Hukum Persaingan karena menggunakan informasi yang sifatnya rahasia untuk melakukan perdagangan yang mengakibatkan pihak lain tidak dapat mengakses informasi tersebut dan merugikan pesaing lainnya.

17 George P.Lamb & Carrington Shields, op. cit, hal 25. 18Ibid, hal 17.

19 Benyamin S.Kirsh, Trade Associations in Law and Business, op.cit, hal 17.

20 Malcom D.MacArthur, Association and Antitrust Laws, Association Department, Chamber of Commerce of the United States, tanpa tahun, hal 11.


(14)

21 Lihat juga, Benyamin S.Kirsh, op.cit, hal 20.

22 Gerard C.Henderson, Statistical Activities of Trade Associations, American Economic Review, Vol.16, No.1. Supp.Page 219 (March 1926) sebagaimana dikutip dalam Benyamin S.Kirsh,

Trade Association, The Legal Aspects, Central Book Company, New York, 1928, hal 25.

“There are few more fascinating pursuits than the stute of effect which economic and legal institutions have upon each other. A new economic institution makes its apperance, grows, waxes strong. It encounters legal restraints, perhaps arising out of tradition, or based on a chance legal precedent, or perhaps representing hostile economic interests. The tug of war begins.If the economic institution is vital and draws sustenance from important springs of human endeavor, the legal restraints will begin to show signs of strain. Precedents will be distinguished, principles encroached upon by exceptions, and the symmetrical pattern of the law distorted. Perhaps a new equilibrium will be found, or perhaps again they will prove the more tenacious of the two, and the economic institution will perish, throttled by the dean hand of the law”.

23 Joseph F.Bradley, The Role of Trade Associations and Professional Business Societies in America, The Pensylvania State University Press, 1965 hal 23, disebutkan bahwa:” the purpose of this and previous publications is to indicate the successful service of trade associations in the public interests. In the field of scientific and economic research, in statistics, in simplification and standardization of commodities, in the promotion of arbitration in commercial disputes, in development of foreign trade, and in scores of other directions trade associations have made a most valued contribution to our economic process”.

Lihat juga Henry Roger Seager & Parker Thomas Moon, Trade Associations and Business Combinations, Proceeding of the Academy of Political Science, Volume XI, No.4, January 1926, hal 79.

24

George P.Lamb & Carrington Shields, op.cit hal 35. 25

Dobrow, Kitetelle and Lamb, Trade Association Statistics, Proceedings Am, Trade Assn.Exec.Spring Meeting, 4 (Apr.1948).

26

George P.Lamb & Carrington Shields, op.cit, hal 37. 27

United States v. Socony Vacuum Co.Inc, 310 U.S. 150 (1940). Alasan Socony ditolak oleh Hakim Douglas dalam suatu keputusan mengatakan bahwa: “the reasonableness of prices has no constancy due to the dynamic quality of business facts underlying price structures. Those who fixed reasonable prices today would perpetuate unreasonable prices tomorrow, since those prices would not be subject to continuous administrative supervision and readjustment in light of changed conditions. Those who controlled the prices would control or effectively dominate the market. And those who were in that strategic position would have in it their power to destroy or drastically impair the competitive system. But the thrust of the rule is deeper and reaches more than monopoly power. Any combination, which tampers with price structure, is engaged in an unlawful activity. Even though the members of the price fixing group in no position to control the market, to the extent that they raised, lowered, or stabilized prices they would be directly interfering with the free play of market forces…” 1

28 Dept. of Manufacture of the Chamber of Commerce of the United States, Uniform Cost Accounting

in Trade Association, part I, Organization of Activities (MA 801) “Uniform cost accounting comprises set of principles and in some cases of accounting methods which when incorporated in the accounting systems of the individual members in an industry will result in the obtaining of cost figures by the individual members of the industry which will be on a comparable basis”.

29 Benyamin S.Kirsh, Trade Associations in Law and Business, op.cit, hal 84.

30 Lihat SKB Menteri Keuangan dan Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas No.KEP-19/KM.2/2003- No.KEP.004/M.PPN.01/2003 tanggal 17 Januari 2003 yang menyatakan bahwa: Sertifikat sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 adalah sertifikat yang diterbitkan oleh asosiasi perusahaan profesi yang terbentuk secara sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

31 Saat ini untuk dunia usaha sertifikasi dilakukan oleh BARKI (Badan Akreditasi dan Registrasi Kadin Indonesia) khusus untuk segala kegiatan usaha yang berada di luar jasa konstruksi, LPJK


(15)

bertanggung jawab untuk akreditasi asosiasi dan sertifikasi usaha jasa konstruksi sedangkan rekomendasi keanggotaan sepenuhnya diputuskan oleh asosiasi pelaku usaha itu sendiri.

32 Misalnya AEKI mengatur mengenai kuota ekspor yang didapat dari International Coffee

Organization (ICO) di London untuk negara-negara produsen kopi. AEKI melakukan pekerjaan pengaturan kuota ini untuk pemerintah karena sebenarnya yang menjadi anggota ICO adalah pemerintah Indonesia. Kewajiban menjadi anggota asosiasi ini dibedakan dari adanya kewajiban untuk mendapatkan perijinan tertentu misalnya ketika melakukan eskpor seperti Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin).

33 Lihat Keppres No.13 Tahun 1997.

34 Anggaran Dasar Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK), 2003. Sebagai perbandingan lihat Surat Keputusan Dewan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional No: 75/KPTS/LPJK/D/XI/2002 tanggal 27 November 2002, tentang Pedoman Sertifikasi dan Registrasi Badan Usaha Jasa Pelaksana Konstruksi Nasional, Pasal 1 angka 9,10 dan 11 dijelaskan sbb: 9: Sertifikasi adalah prose penilaian terhadap badan usaha atau usaha orang perseorangan untuk mendapatkan pengakuan terhadap klasifikasi dan kualifikasi atas kompetensi dan kemampuan usaha di bidang jasa konstruksi, 10. Registrasi adalah pencatatan nomor oleh LPJK atas hasil Sertifikasi yang diwujudkan dalam pemberian Nomor Registrasi pada Sertifikat Badan Usaha 11. Sertifikat Badan Usaha yagn selanjutnya disingkat dan disebut SBU adalah tanda bukti pengakuan atas kompetensi dan kemampuan usaha di bidang jasa konstruksi yang dinyatakan dalam penetapan golongan, klasifikasi dan kualifikasi, dilengkapi dengan Tanda Registrasi Badan Usaha.

Saat ini banyak perdebatan mengenai jasa konstruksi yang telah diatur dalam berbagai peraturan misalnya, Keputusan Presiden No.16/1994, UU No.18/1999 Tentang Jasa Konstruksi, dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No.28/2000 Tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi, Peraturan Pemerintah No.29/2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi dan Peraturan Pemerintah No.30/2000 Tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi serta Keppres No.18/2000 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah.

35

Lihat Paragraf Ketiga, Kualifikasi Penyedia Barang/Jasa, Pasal 9 ayat (1) Penyedia barang/jasa yang terkait dan berpartisipasi dalam pengadaan barang/jasa harus memenuhi persyaratan, antara lain: (a) memiliki keahlian, kemampuan teknis dan manajerial dalam bidang usaha yang diantaranya dapat dibuktikan dengan kualifikasi/klasifikasi/sertifikasi yang dikeluarkan Asosiasi Perusahaan/Profesi yang bersangkutan dan (g) tidak membuat pernyataan yang tidak benar tentang kualifikasi dan sertifikasi yang dimilikinya. Penjelasan dari Pasal 9 ayat (1) huruf a menyatakan: Dapat dibuktikan dengan tanda sertifikat perusahaan yang dikeluarkan asosiasi atau hasil prakualifikasi oleh panitia pengadaan. Sehingga tujuan pemberian akreditasi adalah untuk melakukan registrasi tenaga kerja konstruksi yang meliputi klasifikasi, kualifikasi dan sertifikasi keterampilan dan keahlian kerja atau registrasi terhadap badan usaha jasa konstruksi. Demikian juga pasal 40 Keppres No.18/2000 ayat (1) menyatakan: pembuatan sertifikat dan penggolangan penyedia barang/jasa untuk pemborongan dan pengadaan barang/jasa lainnya serta jasa konsultansi ditetapkan oleh asosiasi perusahaan/profesi bersangkutan, dan pasal 2 Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Keuangan dan Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas No.KEP-97/KM2/2002 – No.KEP.289/M.PPN/08/2002 tanggal 6 Agustus 2002 yang telah diperpanjang masa berlakunya dengan SKB Menteri Keuangan dan Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas menyatakan bahwa: Sertifikat sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 di atas adalah sertifikat yang diterbitkan oleh asosiasi perusahaan/profesi terkait yang dibentuk secara sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian menurut surat ini maka lembaga yang diberikan kewenangan untuk menerbitkan sertifikat hanya asosiasi, lembaga lain selain asosiasi tidak lagi berwewenang menerbitkan sertifikat – hal ini masih menjadi perdebatan.

Di samping itu pengertian Sertifikat menurut SKB Menteri Keuangan RI dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor:S-42/A/2000 dan Nomor: S-2262/D.2/05/2000, tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Keputusan Presiden RI No.18/2000 Tentang Pedoman


(16)

Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah, pada Bab 1.1.g adalah: “sertifikat penyedia barang/jasa adalah sertifikat tanda bukti registrasi, klasifikasi dan kualifikasi bagi penyedia barang/jasa tertentu sesuai dengan bidang usaha dan kemampuannya yang diterbitkan oleh lembaga atau asosiasi perusahaan/profesi yang bersangkutan yang resmi dan telah diakreditasi. Akreditasi bidang kontruksi dilakukan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) dan akrediatasi untuk bidang lainnya oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN).

36 Paul A.Samuelson & William D.Nordhous, Economics: An Introductory Analysis, USA McGraw-Hill Book Company Inc, 1998, hal 160-161. Lihat Joe S.Bain sebagaimana dikutip dalam Frank Fishwick, Strategi Persaingan (Making Sense of Competition Policy), PT.Elex Media Komputindo, Jakarta, 1995, hal 40 mengelompokkan bahwa hambatan memasuki pasar dikategorikan sebagai diffrensiasi produk, keunggulan biaya absolut dan economies of scale. Barrier to entry are factors that make it hard for new firms to enter an industry. When barriers are high, an industry may have few firms and limited pressure to compete. Economies of scale act as one common type of barriers to entry, but there are others including legal restrictions, high cost of entry, advertising and product differentiation.

37 Michael E.Porter, Competitive Strategy, The Free Press, London, 1980, hal 7-14.

Lihat juga Philip Areeda & Louis Kaplow, Antitrust Analysis, Problems Text and Cases, 4th edition, Little Brown and Company, Boston, 1988, hal 21 – 24. Barriers to entry arise from 4 main sources: (a) blocked access, etablished firms might control the supply of essential raw materials, necessary patents, distribution channels, or other strategic factors and thus make new entry either impossible or impractical because of a relative cost disadvantage and in some industries, regulations limits entry (b) scale of economies, the minimum size of an efficient firm may be so large with respect to total consumer demand that entry at efficient scale would depress prices so severly as to be unprofitable (c) capital requirements, efficient entry might require the construction of so large a plant, the entry into so many related fields, the expense of such prolonged start up costs and the prospect of such slow acceptance by customers that a vast initaly outlay of capital would be needed. Capital requirements would not be necessarily impeding entry whenever suppliers of capital share the enterpreneur’s vision of the likelihood of success. But the likelihood of obtaining the needed capital at costs comparable to those of established producers may diminish with increases in the volume of capital necessary to support efficient entry. (d) Product differentiation: the new entrant will often have to bear a higher promotional cost or suffer a lower selling price than do existing firms, in order to counter act their consumer loyalty.

Lihat juga R.Caves & Michael Porter, From Entry Barriers to Mobility Barriers, 91 Quarterly Journal of Economic, 1977, hal 241.

38

Lihat Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BBPN No: 1343/M.PPN/03/2003 . 24 Maret 2003, Perihal Tanggapan atas Lembaga Pengembangan Jasa Kontruksi (LPJK) poin 1 & 2 menjelaskan sebagai berikut: 1. Mengacu kepada amanat UU No.18/1999 tentang Jasa Konstruksi, dalam rangka penyelenggaraan peran serta masyarakat jasa konstruksi dalam melaksanakan pengembangan jasa konstruksi dilakukan oleh suatu lembaga yang independen dan mandiri. Dengan demikian, perlu ditekankan kembali bahwa konteks lembaga ini sebagaimana amanat undang-udang. Hal ini untuk menghindari berkembangnya kecenderungan pemberian dan pengambilan peran yang melebihi amanat undang-undang. 2. Berkaitan dengan peran tersebut, kami menilai, tugas lembaga dalam registrasi tenaga kerja konstruksi dan registrasi badan usaha jasa konstruksi (klasifikasi, kualifikasi dan sertifikasi) berpotensi akan menimbulkan hambatan dan mengurangi peluang berusaha suatu badan usaha jasa konstruksi apabila independensi dan kemandirian lembaga sebagaimana diamanatkan undang-undang dalam operasinalisasinya tidak dapat diwujudkan. Ningrum Natasya Sirait, Asosiasi Pelaku Usaha dan Analisis Perilakunya Berdasarkan

Prinsip-Prinsip Hukum Persaingan, Disertasi Universitas Sumatara Utara, 2003. Skenario pada penetapan tender pemerintah umumnya dilakukan dengan mencoba memperlihatkan kesan bahwa pada dasarnya proses persaingan telah berjalan sesuai dengan instruksi peraturan.


(1)

Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah, pada Bab 1.1.g adalah: “sertifikat penyedia barang/jasa adalah sertifikat tanda bukti registrasi, klasifikasi dan kualifikasi bagi penyedia barang/jasa tertentu sesuai dengan bidang usaha dan kemampuannya yang diterbitkan oleh lembaga atau asosiasi perusahaan/profesi yang bersangkutan yang resmi dan telah diakreditasi. Akreditasi bidang kontruksi dilakukan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) dan akrediatasi untuk bidang lainnya oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN).

36 Paul A.Samuelson & William D.Nordhous, Economics: An Introductory Analysis, USA

McGraw-Hill Book Company Inc, 1998, hal 160-161. Lihat Joe S.Bain sebagaimana dikutip dalam Frank Fishwick, Strategi Persaingan (Making Sense of Competition Policy), PT.Elex Media Komputindo, Jakarta, 1995, hal 40 mengelompokkan bahwa hambatan memasuki pasar dikategorikan sebagai diffrensiasi produk, keunggulan biaya absolut dan economies of scale. Barrier to entry are factors that make it hard for new firms to enter an industry. When barriers are high, an industry may have few firms and limited pressure to compete. Economies of scale act as one common type of barriers to entry, but there are others including legal restrictions, high cost of entry, advertising and product differentiation.

37 Michael E.Porter, Competitive Strategy, The Free Press, London, 1980, hal 7-14.

Lihat juga Philip Areeda & Louis Kaplow, Antitrust Analysis, Problems Text and Cases, 4th edition, Little Brown and Company, Boston, 1988, hal 21 – 24. Barriers to entry arise from 4 main sources: (a) blocked access, etablished firms might control the supply of essential raw materials, necessary patents, distribution channels, or other strategic factors and thus make new entry either impossible or impractical because of a relative cost disadvantage and in some industries, regulations limits entry (b) scale of economies, the minimum size of an efficient firm may be so large with respect to total consumer demand that entry at efficient scale would depress prices so severly as to be unprofitable (c) capital requirements, efficient entry might require the construction of so large a plant, the entry into so many related fields, the expense of such prolonged start up costs and the prospect of such slow acceptance by customers that a vast initaly outlay of capital would be needed. Capital requirements would not be necessarily impeding entry whenever suppliers of capital share the enterpreneur’s vision of the likelihood of success. But the likelihood of obtaining the needed capital at costs comparable to those of established producers may diminish with increases in the volume of capital necessary to support efficient entry. (d) Product differentiation: the new entrant will often have to bear a higher promotional cost or suffer a lower selling price than do existing firms, in order to counter act their consumer loyalty.

Lihat juga R.Caves & Michael Porter, From Entry Barriers to Mobility Barriers, 91 Quarterly Journal of Economic, 1977, hal 241.

38

Lihat Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BBPN No: 1343/M.PPN/03/2003 . 24 Maret 2003, Perihal Tanggapan atas Lembaga Pengembangan Jasa Kontruksi (LPJK) poin 1 & 2 menjelaskan sebagai berikut: 1. Mengacu kepada amanat UU No.18/1999 tentang Jasa Konstruksi, dalam rangka penyelenggaraan peran serta masyarakat jasa konstruksi dalam melaksanakan pengembangan jasa konstruksi dilakukan oleh suatu lembaga yang independen dan mandiri. Dengan demikian, perlu ditekankan kembali bahwa konteks lembaga ini sebagaimana amanat undang-udang. Hal ini untuk menghindari berkembangnya kecenderungan pemberian dan pengambilan peran yang melebihi amanat undang-undang. 2. Berkaitan dengan peran tersebut, kami menilai, tugas lembaga dalam registrasi tenaga kerja konstruksi dan registrasi badan usaha jasa konstruksi (klasifikasi, kualifikasi dan sertifikasi) berpotensi akan menimbulkan hambatan dan mengurangi peluang berusaha suatu badan usaha jasa konstruksi apabila independensi dan kemandirian lembaga sebagaimana diamanatkan undang-undang dalam operasinalisasinya tidak dapat diwujudkan. Ningrum Natasya Sirait, Asosiasi Pelaku Usaha dan Analisis Perilakunya Berdasarkan

Prinsip-Prinsip Hukum Persaingan, Disertasi Universitas Sumatara Utara, 2003. Skenario pada penetapan tender pemerintah umumnya dilakukan dengan mencoba memperlihatkan kesan bahwa pada dasarnya proses persaingan telah berjalan sesuai dengan instruksi peraturan.


(2)

Keseluruhan ini akan mengakibatkan seolah-oleh terjadinya proses persaingan, tetapi bila dapat dibuktikan, maka yang terjadi adalah persaingan semu. Akibat dari persekongkolan ini maka proses persaingan menjadi terhambat dan mengakibatkan hambatan masuk ke pasar (barrier to entry), biaya menjadi tinggi dan hilangnya barang yang berkualitas dan pasar hanya akan selalu dikontrol oleh pelaku usaha yang sama tetapi dengan identitas yang berbeda sehingga tidak ada pemerataan kesempatan kepada pelaku usaha yang lain.

39 Misalnya prinsip good governance, sebagian menjadi cita-cita hukum dalam proses pengadaan

barang terlihat dari Pasal 3 Keppres 18/2000 yang memuat prinsip-prinsip pengadaan barang, yakni prinsip efesiensi, efektif, bersaing, transparan, adil/ tidak diskriminatif dan bertanggungjawab.

40 Untuk akreditasi lihat pedoman BSN No.3/1999 adopsi ISO/IEC Guide 61: 1996 & ISO 9000:2000

dengan mengacu pada beberapa pedoman yaitu: komposisi melibatkan stakeholders, memberlakukan prinsip-prinsip good governance, memperhatkan lingkup pembuatan pedoman dasar akreditasi, sertifikasi dan registrasi serta akreditasi terhadap BS, pengawasan, registrasi badan usaha nasional, pengembangan dan peningkatan sistem dan pendidikan serta pelatihan untuk assessor atau penilai. Untuk sertifikasi lihat pedoman BSN No.4/1999 adopsi ISO/IEC Guide 65:1996 & ISO 9000:2000 bersifat independen dengan memisahkan manajemen dan asosiasinya dan melihat komposisi yang melibatkan unsur multistakeholders. Kegiatan dibagi 3 yaitu: adm, penilaian dan pembuatan keputusan.

41 Sebagai contoh, pelaksanaan pengembangan jasa konstruksi dilakukan oleh suatu lembaga yang

independen dan mandiri, yang beranggotakan wakil-wakil asosiasi perusahaan, asosiasi profesi jasa konstruksi, pakar dan perguruan tinggi serta pemerintah yang mempunyai tugas sebagaimana dijelaskan dalam pasal 33 ayat (2) UU No.18/1999 yaitu: a. melakukan penelitian dan pengembangan jasa konstruksi, b. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan jasa konstruksi, c. memberikan sertifikasi registrasi badan usaha d. melakukan akreditasi sertifikasi keterampilan dan keahlian kerja dan e. menyelenggarakan/meningkatkan peran arbitrasi, mediasi dan penilai ahli di bidang jasa konstruksi.

42

Surat Sekretaris Menteri Negara PPN/Sekretaris Utama Bapenas Mp 1318/Ses/03/2003 tanggal 24 Maret 2003 Tentang Sertifikasi Untuk Tahun 2003.

43

Ibid, lihat butir 4 yang mengatakan: “Dari perkembangan tersebut di atas, pemerintah bermaksud tidak membebani penyedia barang/jasa dengan kewajiban mempunyai sertifikat, melainkan penyedia barang/jasa diberi kebebasan untuk memilih kebutuhan dan manfaat sertifikasi bagi dirinya masing-masing.

44

Lihat Bab II Asas dan Tujuan, Pasal 2 dan 3 UU No 5./1999 secara eksplisit menyebutkan tujuan objektif kebijakan persaingan usaha di Indonesia. Hal ini terdapat pada pasal 2 dan 3, yaitu menjamin kepentingan umum, meningkatkan efisiensi perekonomian nasional, meningkatkan kesejahteraan rakyat, mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, kecil dan menengah, mencegah praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan pelaku usaha dan terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

45 Lihat prinsip-prinsip Good Governance yang saat ini diterapkan dalam dunia usaha yaitu: effective,

efficiency, transparancy, equity, accountability, rule of law, consensus orientation & strategic vision. Lihat juga Andrew Sparke, The Compulsory Competitive Tendering Guide, 2nd Edition, Butterworths, 1996

46 Markus Meier, Investigation Manual, tidak dipublikasikan,Januari 2002.

47 Richard Schamalensee, Section: Economic Concepts and Antitrust Analysis:Critical Reexamination:

Ease of Entry: Has the Concept Been applied Too Readily? Antitrust Law Journal, Volume 56, 1987, hal 3. It is that economists do not have a single, precise, reliable way of measuring ease of entry in particular markets. There is some agreement on what relevant factors one ought to consider. But there is much less agreement about how to assess those factors, and even less about how to combine them into an overall measure of the difficulty of entry.


(3)

49 Lihat AD LPJK, Pasal 10 mengenai Tugas, Fungsi, Lingkup Wewenang dan Sifat, pada ayat (c),

melakukan registrasi tenaga kerja konstruksi, yang meliputi klasifikasi, kualifikasi dan sertifikasi keterampilan dan keahlian kerja serta pada pasal 12, Lingkup dan Wewenang, pada pasal 1 ayat (a), memberikan akreditasi kepada: a. asosiasi perusahaan untuk membantu LPJK dalam rangka menyelenggarakan klasifikasi dan kualifikasi badan usaha (b) asosiasi profesi, institusi pendidikan dan pelatihan untuk membantu LPJK dalam rangka penyelenggaraan sertifikasi keterampilan kerja dan keahlian kerja..

50 Dari berbagai diskusi terlihat keinginan masyarakat untuk turut berperan dalam badan independen

yang menyangkut kepentingan umum, hanya saja realisasi dari pengertian turut berperan harus realistis dalam proses, misalnya melalui perwakilan LSM yang memiliki kriteria tertentu (misalnya berbadan hukum, melakukan advokasi konsumen dll).

51 Lihat isi TAP MPR No.III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan

Perundang-undangan, yaitu: 1. UUD 1945, Ketetapan MPR, UU, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan Peraturan Daerah.

52 Isi penjelasan Pasal 22 UU No.5/1999 mengatakan bahwa Tender adalah tawaran mengajukan harga

untuk memborong sesuatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang, atau untuk menyediakan jasa. Pengadaan Barang dan Jasa diatur berdasarkan Keppres No.18/2000: “usaha atau kegiatan pengadaan barang/jasa yang diperlukan oleh instansi pemerintah yang meliputi pengadaan barang, jasa pemborongan, jasa konsultasi, dan jasa lainnya”.

53 Markus Meier, op.cit. Lihat juga Tool Kit Anti Korupsi, Bidang Pengadaan Barang dan Jasa

Pemerintah, ADB TA No.3608-INO Project.

54

Organization for Economic Cooperation and Development mengatakan bahwa persekongkolan tender adalah :“ Normally a covert or secret arrangement between competing firms in order to earn higher profits by entering into an agreement to fix prices and restrict output. The terms combination conspiracy, agreement and collusions are often used interchangeably”.

55

Wewenang KPPU dalam pasal 36 UU No.5/1999 meliputi: a. menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; b. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; c. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil dari penelitiannya; d. menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; e. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini; f. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini; g. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komis; h. meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini; i. mendapatkan, meneliti dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan; j. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat; k. memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; l. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.

56UU No.5/1999, Pasal 35, Tugas Komisi meliputi: a. melakukan penilaian terhadap perjanjian yang

dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16; b. melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24; c. melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi


(4)

dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28; d. mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam Pasal 36; e. memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; f. menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang ini; g. memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan DPR.

Pasal 36, wewenang Komisi meliputi: a. menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; b. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; c. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil dari penelitiannya;, d. menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; e. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini; f. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini; g. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komis; h. meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini; i. mendapatkan, meneliti dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan; j. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat; k. memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; l. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Areeda, Philip & Louis Kaplow. 1988. Antitrust Analysis, Problemsm Text and Cases, 4th edition. Boston, Little Brown and Company.

Black, Henry Campbell. 1990. Black’s Law Dictionary, Defenition of the Terms and Phrases of Ame-rican and English Jurisprudence, Ancient and Modern., St. Paul, Minnesota, West Publishing Co.

Bradley, Joseph F. 1965. The Role of Trade Associations and Professional Business Societies in America, The Pensylvania State University Press.

Caver, R. & Michael Porter. 1977. From Entry Barriers to Mobility Barriers, 91 Quarterly Journal of Economic.

Dobrow, Kitetelle and Lamb. Apr.1948. Trade Association Statistics, Proceedings Am, Trade Assn.Exec.Spring Meeting.

Donham. 1929. Business Ethics: A General Survey. 7 Harvard Business Rev, 385, 386.

Fishwick, Frank. 1995. Strategi Persaingan (Making Sense of Competition Policy). Jakarta, PT.Elex Media Komputindo.

Goyder, D.G. 1993. EC Competition Law. Oxford, Clarendon Press.

Henderson, Gerard C. March 1926. Statistical Activities of Trade Associations, American Economic Review, Vol.16, No.1. Supp. Page 219.

Kirsh, Benyamin S. 1938. Trade Associations in Law and Business. New York, Central Book Company.

Lamb, Geoge P. & Sumner S.Kittelle. 1956. Trade Associations Law and Practice, Little Brown and Company.

Lamb, George P. and Carrington Shields. 1971. Trade Association Law and Practice. Boston, Toronto, Little Brown Company.

Mac Arthur, Malcom D. tanpa tahun. Association and Antitrust Laws, Association Department, Chamber of Commerce of the United States.

Meier, Markus. Januari 2002. Investigation Manual, tidak dipublikasikan.

Nusantara, Abdul Hakim Garuda & Benny K.Harman. 1999. Analisis dan Perbandingan Undang-undang Antimonopoli hal 10-20. PT.Elex Media Komputindo.

Porter, Michael E. 1980. Competitive Strategy. London, The Free Press.

Ruddock. 1955. The Organization and Activities of a Trade Association, Preoceeding A.B.A Section of Antitrust Law, Spring Meeting, 47.

Samuelson, Paul A. & William D.Nordhous. 1998. Economics: An Introductory Analysis. USA, Mc-Graw-Hill Book Company Inc.


(6)

Schamalensee, Richard. Section: Economic Concepts and Antitrust Analysis: Critical Reexamination: Ease of Entry: Has the Concept Been applied Too Readily? Antitrust Law Journal, Volume 56. Seager, Henry Roger & Parker Thomas Moon. January 1926. Trade Associations and Business

Combinations, Proceeding of the Academy of Political Science, Volume XI, No.4. Sharfman. 1926. the Trade Association Movement, 16 Am.Economic Rev. 1 Supp. 203.

Sparke. 1996. Andrew, the Compulsory Competitive Tendering Guide, 2nd Edition, Butterworths. Sirait, Ningrum Natasya. 2003. Asosiasi Pelaku Usaha dan Analisis Perilakunya Berdasarkan

Prinsip-Prinsip Hukum Persaingan. Disertasi, Program Pasca Sarjana Universitas Sumatara Utara.

Trade Association, Their Economic Significance and Legal Status. 1925. New York, National Indus-trial Conference Board, 9-30.

Waters, Timothy J. et all. 1996. Antitrust & Trade Associations, How Trade Regulation Laws Apply to Trade and Proffessional Associations. American Bar Association, Section of Antitrust Law.

Peraturan & Undang-Undang

Keppres No.18/2000 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah. Keppres No.80/2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. SKB Menteri Keuangan dan Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas No.KEP-19/KM.2/2003-

No.-KEP.004/M.PPN.01/2003 tanggal 17 Januari 2003.

Surat Sekretaris Menteri Negara PPN/Sekretaris Utama Bapenas Mp 131 E/Ses/03/2003 Tentang Sertifikasi Untuk Tahun 2003.

Surat Keputusan Dewan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional No: 75/KPTS/LPJK/D/-XI/2002 tanggal 27 November 2002, tentang Pedoman Sertifikasi dan Registrasi Badan Usaha Jasa Pelaksana Konstruksi Nasional.

Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BBPN No: 1343/M.PPN/03/2003, 24 Maret 2003, Perihal Tanggapan atas Lembaga Pengembangan Jasa Kontruksi (LPJK).

SKB Menteri Keuangan RI dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor: S-42/A/-2000 & Nomor: S-2262/D.2/05/S-42/A/-2000, tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Keputusan Presiden RI No.18/2000 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah. Peraturan Pemerintah No.28/2000 Tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi.

Peraturan Pemerintah No.29/2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

Peraturan Pemerintah No.30/2000 Tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi. UU No.18/1999 Tentang Jasa Konstruksi.

UU No.1/1987 Tentang Kamar Dagang dan Industri.


Dokumen yang terkait

Hubungan Induk Perusahaan Dan Anak Perusahaan Dalam Kaitannya Dengan Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Di Indonesia Menurut Uu No. 5 Tahun 1999

5 100 133

Perjanjian Pelaku Usaha Dengan Pihak Luar Negeri yang Bertentang Dengan Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Prektik Monopoli Persaingan Usaha Tidak Sehat

2 69 130

Perjanjian Kartel Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia Sebagai Pelanggaran Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi Putusan KPPU Nomor 24/KPPU-I/2009)

3 59 116

Peranan Notaris Dalam Persekongkolan Tender Barang/Jasa Pemerintah Terkait Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

6 47 130

Analisis Terhadap Pengecualian Penerapan Undang-Undang No. 5 TAHUN 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terhadap Perjanjian Yang Berkaitan Dengan Waralaba (Studi terhadap Perjanjian Kerjasama Yayasan Pendidikan Oxford

0 72 150

Sertifikasi & Akreditasi Oleh Asosiasi Dalam Perspektif Uu No. 5/1999 (Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat)

0 25 21

BAB II PENGATURAN INDUK PERUSAHAAN DAN ANAK PERUSAHAAN DI INDONESIA E. Sejarah Singkat Perusahaan Grup - Hubungan Induk Perusahaan Dan Anak Perusahaan Dalam Kaitannya Dengan Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Di Indonesia Menurut U

0 0 32

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Hubungan Induk Perusahaan Dan Anak Perusahaan Dalam Kaitannya Dengan Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Di Indonesia Menurut Uu No. 5 Tahun 1999

0 0 18

Hubungan Induk Perusahaan Dan Anak Perusahaan Dalam Kaitannya Dengan Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Di Indonesia Menurut Uu No. 5 Tahun 1999

0 0 11

Tinjauan Yuridis Terhadap Divestasi Kapal Tanker VLCC PT.Pertamina Menurut UU No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

0 1 160