PENINGKATAN PERSISTENSI DAN TRANSMISI ISOLAT UNGGUL CENDAWAN ENTOMOPATOGEN Beauveria bassiana UNTUK PENGENDALIAN HAMA Crocidolomia pavonana F (LEPIDOPTERA: PYRALIDAE).

ARTIKEL PENELITIAN HIBAH BERSAING
PENINGKATAN PERSISTENSI DAN TRANSMISI ISOLAT UNGGUL
CENDAWAN ENTOMOPATOGEN Beauveria bassiana UNTUK PENGENDALIAN
HAMA Crocidolomia pavonana F
(LEPIDOPTERA: PYRALIDAE)
Trizelia dan Firdos Nurdin
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari virulensi berbagai isolat Beauveria
bassiana (Bals.) Vuill. (Deuteromycotina: Hyphomycetes) yang diisolasi dari berbagai
lokasi dan jenis inang terhadap larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera:
Pyralidae) dan juga untuk mengetahui pengaruh konsentrasi konidia terhadap mortalitas
larva C. pavonana instar II. B. bassiana diisolasi dari tanah dengan menggunakan
medium selektif dan dari serangga. Cendawan entomopatogen diinokulasikan langsung
pada larva C. pavonana instar II. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada konsentrasi
108 konidia/ml, isolat HhTK9 memiliki virulensi yang tertinggi dengan mortalitas larva
instar II 82.5.00% dan nilai LT50 3.39 hari. Mortalitas larva C. pavonana instar II sangat
dipengaruhi oleh jenis isolat dan konsentrasi konidia.
Secara umum dengan
meningkatnya konsentrasi konidia maka mortalitas larva juga meningkat.
Kata kunci: Beauveria bassiana, virulensi, isolat, Crocidolomia pavonana
Abstract

The purpose of this research is to study the virulence of isolates of Beauveria
bassiana (Bals.) Vuill. (Deuteromycotina: Hyphomycetes) originated from different
geographical locations and host ranges to larvae of Crocidolomia pavonana (F.)
(Lepidoptera: Pyralidae), and also to investigate the effects of conidial concentrations on
larval mortality of C. pavonana. B. bassiana are collected from soils using selective
medium and from insect. Larvae directly inoculated with conidial suspensions of
entomopathogenic fungus. The results showed At a concentration of 108 conidia/ml,
isolate HhTK9 had the highest virulence which caused 82.50% mortality of 2 nd instar
larvae, with a LT50 of 3.39 days. Mortality of second instar C. pavonana larvae was
dependent on the fungal isolate and conidial concentration. Generally with increasing
conidial concentrations, the mortality were also increasing.

Key words: Beauveria bassiana, virulence, isolates, Crocidolomia pavonana

Pendahuluan

Di Indonesia, Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Pyralidae) merupakan
salah satu jenis hama yang menimbulkan masalah penting pada pertanaman sayuran
Brassicaceae seperti kubis, brokoli, kubis bunga, sawi dan lobak (Kalshoven 1981;
Shepard et al. 1997). Kerusakan yang ditimbulkannya dengan cara memakan daun,

terutama daun yang masih muda dan menuju ke bagian titik tumbuh sehingga titik
tumbuh habis dan tanaman dapat mati (Kalshoven 1981).
Hingga saat ini, pengendalian hama C. pavonana masih sangat tergantung kepada
pestisida sintetik, karena cara ini mudah dilaksanakan dan cepat menurunkan populasi
hama dan belum ditemukan alternatif pengendalian lainnya yang cukup efektif. Aplikasi
pestisida dilakukan secara intensif, seminggu sekali, bahkan 2-3 hari sekali (Rauf 1996).
Kadang-kadang petani masih melakukan penyemprotan pada tanaman yang siap dipanen
tanpa memperhatikan dampaknya terhadap konsumen. Penggunaan insektisida kimia
yang sangat intensif ini dapat mengganggu kehidupan bahkan mematikan sumberdaya
alam hayati dan mencemari lingkungan hidup.

Hal ini sangat disayangkan mengingat

Indonesia sedang menuju era pembangunan pertanian yang berwawasan lingkungan,
sehingga penggunaan pestisida kimia sintetis harus digunakan seminimal mungkin.
Untuk menjawab dilema tersebut, konsep pengendalian hama terpadu (PHT)
merupakan alternatif yang tepat, karena PHT bertujuan membatasi penggunaan pestisida
sesedikit mungkin tetapi sasaran kualitas dan kuantitas produksi pertanian masih dapat
dicapai (Sastrosiswojo dan Oka 1997). Pengurangan masukan pestisida sekaligus juga
akan menurunkan residu pestisida, sehingga produk yang dihasilkan bisa lebih kompetitif

di pasar.
Dalam PHT, pemberdayaan musuh alami dan potensi biologi lainnya merupakan
komponen utama, karena musuh alami mempunyai peranan yang penting dalam
penekanan populasi hama dan menjaga keseimbangan ekosistem. Oleh karena itu musuh
alami yang sudah ada perlu dijaga kelestariannya dan upaya untuk meningkatkan
peranannya dalam pengendalian hama juga perlu dilakukan.
Di antara musuh-musuh alami yang dapat digunakan untuk pengendalian hama C.
pavonana secara hayati adalah cendawan entomopatogen Beauveria bassiana (Bals.)

Vuill. (Deuteromycotina: Hyphomycetes). Pemanfaatan B. bassiana untuk pengendalian
hama C. pavonana belum banyak dilaporkan.

Hasil penelitian pendahuluan

menunjukkan bahwa B. bassiana yang diisolasi dari hama Hypothenemus hampei (Ferr.)
(Coleoptera: Scolytidae) efektif dalam mengendalikan hama C. pavonana (Trizelia dan
Arneti 1996; Trizelia 1997), tetapi tidak efektif dalam mengendalikan Spodoptera litura
(F.) (Lepidoptera: Noctuidae) (Yunisman et al. 1997).
Penelitian tentang virulensi berbagai isolat B. bassiana telah banyak dilaporkan.
Hasil penelitian Samuels dan Coracini (2004) menunjukkan bahwa virulensi berbagai

isolat isolat B. bassiana terhadap nimfa Blissus antillus (Leonard) (Heteroptera:
Lygaeidae) bervariasi. Isolat ARSEF 792 yang diperoleh dari Blissus leucopterus Say
(Heteroptera: Lygaeidae) yang terinfeksi secara alami di lapangan merupakan isolat yang
paling virulen dibandingkan dengan isolat lain. Akan tetapi hasil penelitian Trizelia
(1999) menunjukkan bahwa perbedaan isolat B. bassiana tidak menunjukkan virulensi
yang berbeda nyata terhadap larva C. pavonana instar III.
Guna mendukung keberhasilan pemanfaatan B. bassiana untuk pengendalian
hama C. pavonana secara hayati, salah satu hal yang diperlukan adalah pemilihan isolat
yang virulensinya tinggi. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mempelajari
virulensi beberapa isolat B. bassiana terhadap C. pavonana, memilih isolat B. bassiana
yang virulen terhadap C. pavonana dan mengetahui pengaruh metode aplikasi dan
konsentrasi konidia terhadap mortalitas larva C. pavonana.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dirancang selama 2 tahun mulai dari tahun 2008 sampai 2009, yang
setiap tahunnya terdiri atas beberapa tahap penelitian. Penelitian akan dilaksanakan di
Lab. Pengendalian Hayati Jurusan HPT, Faperta Unand dan di lahan petani kubis.
Tahun I. Seleksi isolat B. Bassiana dan kajian persistensi isolat yang unggul pada
pertanaman kubis.
Koleksi dan Perbanyakan Isolat
Isolat B. bassiana yang digunakan dalam penelitian ini merupakan koleksi

Laboratorium Entomologi Jurusan HPT Faperta Unand, Laboratorium Patologi Serangga

Jurusan HPT IPB, dan koleksi langsung dari serangga yang terinfeksi di lapangandan
dari tanah dari lokasi yang berbeda.

Seluruh isolat ditumbuhkan pada medium

Sabouraud dextrose agar dengan yeast extract (SDAY) (dekstrosa 10 g, pepton 2.5 g,
ekstrak khamir 2.5 g, agar 20 g, kloramfenikol 0.5 g dan akuades 1 l) (Samuels et al.
2002).
Isolasi B. bassiana dari tanah dilakukan dengan mengambil tanah sekitar
perakaran tanaman. Pengambilan tanah dilakukan dengan cara penggalian tanah pada
kedalaman 10-15 cm dengan menggunakan sekop tangan kecil.

Contoh tanah

dimasukkan kedalam kantong plastik dan disimpan dalam kotak pendingin (box cooler).
Selanjutnya contoh tanah dibawa ke laboratorium untuk diproses. Sebelum prosesing,
contoh tanah diayak terlebih dahulu dengan menggunakan ayakan yang berukuran 0.4
mm.

Isolasi cendawan entomopatogen dari tanah dilakukan dengan menggunakan
medium selektif DOC2 (Bactopeptone 3 g, CuCl2 0.2 g, kristal violet 2 mg, agar 15 g, air
1000 ml) (Shimazu et al., 2002). Dari masing-masing sampel tanah tersebut diambil
sebanyak 10g, dilarutkan dalam 90 ml akuades steril yang telah diberi 0.05% Tween 80
dan divorteks selama 2 menit. Suspensi tanah diencerkan sampai 3 kali dan 0.1 ml
suspensi dimasukkan dalam cawan Petri yang telah berisi medium DOC2 untuk isolasi B.
bassiana. Cawan Petri diinkubasikan selama 8 hari dan koloni B. bassiana yang ada
diisolasi kembali kembali dan dimurnikan pada media SDAY.
Penyediaan Tanaman kubis
Tanaman kubis yang digunakan sebagai pakan larva C. pavonana di tanam dalam
polibeg kapasitas 5 kg. Benih dibibitkan dalam kotak persemaian sampai berumur satu
bulan dan kemudian dipindahkan ke dalam polibeg yang berisi campuran tanah dan
pupuk kandang.

Tanaman dipupuk dengan pupuk dasar NPK (15:15:15) seminggu

setelah tanam sebanyak 0.5 g /polibeg.

Pemupukan dilakukan kembali pada waktu


tanaman telah berumur satu dan dua bulan. Tanaman disiram setiap hari dan tanaman
tidak disemprot dengan pestisida.

Perbanyakan Larva C. pavonana
Larva C. pavonana dikumpulkan dari pertanaman kubis di lapangan. Larva-larva
ini dipelihara dalam kotak plastik dan diberi makanan berupa daun kubis yang masih
segar. Makanan larva diganti setelah habis atau sudah tidak segar lagi.
Pada waktu larva akan berpupa, di dasar kotak diberi serbuk gergaji. Semua
imago yang keluar dari pupa dipelihara secara massal dalam kurungan serangga yang
telah diberi daun kubis segar sebagai tempat peletakan telur. Sebagai makanan imago
digunakan madu dengan konsentrasi 10%. Kelompok telur yang diletakkan dipindahkan
ke kotak lain dan larva instar I yang muncul dipelihara sampai menjadi instar kedua yang
digunakan untuk pengujian.
Penyiapan Suspensi Konidia
Seluruh isolat diperbanyak pada media SDAY dalam cawan petri pada suhu 25o C
selama 15 hari. Konidia cendawan dipanen dengan cara menambahkan 5 ml akuades
steril dan 0.05% Tween 80 sebagai bahan perata ke dalam cawan Petri dan konidia
dilepas dari media dengan

kuas halus. Suspensi disaring dan konsentrasi konidia


dihitung dengan menggunakan hemositometer.
Skrining isolat B. bassiana
Instar larva C. pavonana yang diuji adalah larva instar II yang berumur satu hari.
Konsentrasi konidia dari masing-masing cendawan yang digunakan adalah10 8
konidia/ml.

Inokulasi cendawan dilaksanakan dengan cara menyemprotkan suspensi

konidia pada bagian dorsal tubuh larva dengan menggunakan handsprayer. Kemudian
larva diberi makan dengan daun kubis segar. Percobaan diulang empat kali dan setiap
satuan percobaan terdiri dari 20 ekor larva. Mortalitas larva diamati setiap hari hingga
tujuh hari setelah aplikasi cendawan.
Percobaan disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL) dan data hasil
percobaan diolah dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan pengujian nilai tengah
menggunakan uji DNMRT pada taraf nyata 5%.
Uji Pengaruh Berbagai Konsentrasi Konidia B. bassiana.
Uji dilakukan menggunakan larva C. pavonana instar II. Konsentrasi konidia dari
isolat yang digunakan adalah 109, 108, 107, 106 konidia/ml dan 0 (kontrol). Inokulasi


cendawan dilaksanakan dengan cara menyemprotkan suspensi konidia pada bagian dorsal
tubuh larva dengan menggunakan handsprayer. Kemudian larva diberi makan dengan
daun kubis segar. Percobaan diulang empat kali dan setiap satuan percobaan terdiri dari
20 ekor larva. Mortalitas larva diamati setiap hari hingga tujuh hari setelah aplikasi
cendawan.
Percobaan disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL) dan data hasil
percobaan diolah dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan pengujian nilai tengah
menggunakan uji DNMRT pada taraf nyata 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Koleksi isolat B.bassiana
Berdasarkan hasil koleksi dan identifikasi isolat menunjukkan bahwa sebagian
besar isolat B. bassiana dikoleksi dari hama penggerek buah kopi dan tanah disekitar
pertanaman kopi (Tabel 1).

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh

menunjukkan bahwa cendawan entomopatogen B. bassiana paling dominan ditemukan
pada ekosistem pertanaman tanaman tahunan dibandingkan dengan tanaman setahun.
Tidak ditemukannya cendawan ini pada tanaman setahun diduga disebabkan karena
adanya teknik budidaya seperti penggunaan pestisida yang intensif dan pengolahan tanah

yang berpengaruh negatif terhadap persistensi inokulum. Sosa-Gomez dan Moscardi
(1994) melaporkan bahwa pengolahan tanah pada pertanaman kedelai sangat nyata
menurunkan kepadatan inokulum B. bassiana.
Tabel 1. Sumber isolat B. bassiana.
Lokasi

Sumber isolat

Tanaman
Inang

Jumlah/Kode
isolat

Kayu Aro (Solok)

Hyphothenemus hampei

Kopi


10/HhKA

Kayu Aro (Solok)

Tanah

Kopi

1/TKA

Matur (Agam)

Hyphothenemus hampei

Kopi

1/HhM

Matur (Agam)

Tanah

Kopi

4/TM

Teluk Kecimbung Hyphothenemus hampei
(Sarolangun)

Kopi

3/HhTK

Padang Luar

Tanah

Brokoli

2/TPL

Pasaman

Tanah

Coklat

1/TPS

Hasil penelitian Bidochka et al (1998) menunjukkan B. bassina lebih banyak
ditemukan pada tanah alami (natural) sedangkan M. anisopliae lebih banyak ditemukan
pada tanah pertanian. Sapieha-Waszkiewicz et al (2005) melaporkan bahwa keberadaan
cendawan entomopatogen di dalam tanah tergantung pada habitat.

B. bassina lebih

banyak ditemukan pada tanah pertanaman anggur yang tidak diaplikasi dengan pestisida
dibandingkan dengan tanah pertanaman anggur yang diaplikasi dengan pestisida. B.
bassina merupakan cendawan entomopatogen yang sangat peka terhadap pestisida
sehingga cendawan ini lebih banyak ditemukan pada tanah hutan dan pada tanah
pertanaman yang tidak menggunakan pestisida.

Koleksi isolat B. bassina dari

pertanaman kopi dilakukan pada pertanaman kopi rakyat yang tidak pernah disemprot
dengan pestisida.

Di Indonesia B. bassiana

merupakan salah satu jenis cendawan

entomopatogen pengendali alami hama penggerek buah kopi, Hypothenemus hampei
(Ferr.) (Coleoptera: Scolytidae) dan telah digunakan secara luas untuk pengendalian
hama di lapangan pada sentra produksi kopi.
Hasil pengamatan makroskopis menunjukkan bahwa pertumbuhan koloni B.
bassiana berupa tumpukan miselium dengan hifa yang pendek atau panjang, dan apabila
telah terbentuk konidia akan berbentuk seperti tepung berwarna putih.

Uji Virulensi B. bassiana Terhadap Larva C. pavonana
Skrining isolat
Penelitian ini bertujuan untuk memilih isolat B. bassiana yang virulen terhadap
larva C. pavonana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat B. bassiana yang berasal
dari geografi dan sumber yang berbeda mempunyai virulensi yang berbeda nyata
terhadap larva C. pavonana instar II. Isolat HhTk9 merupakan isolat yang paling virulen
dengan rata-rata mortalitas larva C. pavonana tertinggi yaitu 82.50% pada pengamatan
hari ketujuh setelah aplikasi konidia. Isolat HhKA3 merupakan isolat yang mempunyai
kategori virulensi sangat rendah dengan mortalitas 41.25% (Tabel 2). Adanya perbedaan
virulensi antar isolat, baik antara spesies maupun di dalam spesies merupakan hal yang
sudah umum terjadi pada cendawan entomopatogen.

Tabel 2. Mortalitas larva C. pavonana instar II tujuh hari setelah aplikasi 13 isolat B.
bassiana pada konsentrasi 108 konidia/ml.
Isolat
Mortalitas (%) ± SD
HhTK9
82.50 ± 9.57 a
HhTK1
80.00 ± 4.08 ab
HhKA14
78.75 ± 4.79 ab
HhKA7
71.25 ± 2.50 bc
HhKA1
66.25 ± 7.50 cd
HhKA11
63.75 ± 4.79 cde
HhKA4
62.50 ± 11.90 cde
HhKA2
57.50 ± 10.41de
HhKA5
57.50 ± 6.45 de
TKA
56.25 ± 4.79 de
HhKA12
56.25 ± 4.79 de
TPLB2
55.00 ± 4.08 e
HhKA3
41.25 ± 8.54 f
Kontrol
2.50 ± 2.89 g
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata menurut uji Duncan (DNMRT) pada taraf nyata 5%.
Dari Tabel 2 terlihat bahwa untuk mendapatkan isolat B. bassiana yang virulen
bisa didapatkan dari serangga yang bukan serangga inang uji dan dari daerah lain. Hasil
penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa isolat yang berasal dari serangga inang uji
dan dari daerah yang sama (Bb-Cp) hanya menghasilkan mortalitas larva sebesar 61.25%
(Trizelia,2005). Hal ini menunjukkan bahwa isolat B. bassiana yang digunakan tidak
bersifat spesifik dan isolat yang virulen terhadap C. pavonana bisa diperoleh dari sumber
lain. Hasil penelitian beberapa peneliti sebelumnya juga menunjukkan bahwa cendawan
entomopatogen B. bassiana yang berasal dari serangga yang sama dengan serangga uji
tidak selalu mempunyai patogenisitas yang lebih tinggi terhadap serangga uji, sehingga
perlu dilakukan pengujian isolat yang lebih banyak untuk mendapatkan isolat yang lebih
virulen (Kreutz et al. 2004). Oleh karena itu dalam program pengendalian hama secara
hayati, pemilihan isolat yang akan digunakan harus dilakukan secara hati-hati.
Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang telah dilaporkan oleh
peneliti lainnya yang mengemukakan bahwa isolat atau strain cendawan entomopatogen
yang diisolasi dari inang yang sama atau berdekatan dengan inang uji lebih virulen untuk

inang tersebut daripada strain yang diisolasi dari inang yang lain (Cottrell dan ShapiroIlan 2003; Ansari et al. 2004; Samuels dan Coracini 2004).
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak ada korelasi yang kuat antara
virulensi dengan sumber isolat. Daoust dan Roberts (1982) juga melaporkan bahwa
tidak ada korelasi antara asal inang dan geografi dari isolat dengan virulensi isolat M.
anisopliae terhadap larva Culex pipiens pipiens Linn. (Diptera: Culicidae). Selanjutnya
Wang et al. (2004) juga melaporkan hal yang sama dimana virulensi strain V. lecanii
tidak berkaitan dengan asal isolat.
Adanya perbedaan virulensi dari 13 isolat B. bassiana yang diuji diduga
disebabkan karena adanya perbedaan karakter genetik dan fisiologi antar isolat. Hasil
penelitian Trizelia (2005) menunjukkan

bahwa

perbedaan virulensi antar isolat B.

bassiana terhadap larva C. pavonana disebabkan oleh adanya perbedaan karakter
fisiologi dan genetik dari isolat.
Di samping adanya perbedaan karakter genetik, perbedaan virulensi antar isolat
B. bassiana terhadap larva C. pavonana juga disebabkan oleh adanya perbedaan karakter
fisiologi seperti daya kecambah konidia.

Hasil pengamatan terhadap daya kecambah

konidia dari masing-masing isolat menunjukkan bahwa isolat yang virulen mempunyai
daya kecambah konidia yang lebih tinggi. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Daoust
dan Roberts (1982) yang mengemukakan bahwa adanya perbedaan virulensi antar isolat
Metarhizium anisopliae (Metschnikoff) Sorokin terhadap larva Culex pipiens pipiens
Linn. (Diptera: Culicidae) disebabkan oleh adanya perbedaan daya kecambah konidia
dari masing-masing isolat. Isolat yang virulen memiliki daya kecambah konidia yang
lebih tinggi daripada isolat yang avirulen.

Selanjutnya Geden et al. (1995) juga

mengemukakan bahwa adanya perbedaan virulensi isolat B. bassiana terhadap Musca
domestica Linn. (Diptera: Muscidae) disebabkan oleh adanya perbedaan kemampuan
daya kecambah konidia dari masing-masing isolat dan daya kecambah konidia
merupakan salah satu faktor penentu virulensi.
Selain faktor daya kecambah konidia, kemampuan sporulasi juga dapat digunakan
sebagai indikator isolat. Isolat yang virulen memiliki kemampuan sporulasi yang lebih
baik dibandingkan dengan isolat yang avirulen.

Hasil penelitian yang telah dilaporkan

oleh beberapa peneliti lain menunjukkan bahwa isolat yang virulen mempunyai
kemampuan sporulasi yang lebih tinggi daripada isolat yang avirulen (Devi et al. 2003)
Perbedaan virulensi antar isolat juga dapat disebabkan oleh adanya perbedaan
karakteristik pertumbuhan isolat. Isolat yang virulen memiliki pertumbuhan yang lebih
padat, lebih tebal dan menghasilkan konidia yang lebih banyak sehingga lebih mudah
dipanen dari permukaan media.

Geden et al. (1995) mengemukakan bahwa isolat B.

bassiana yang virulen terhadap Musca domestica memiliki pertumbuhan yang lebih
cepat, miselianya lebih padat dan konidia yang dihasilkan lebih tinggi. Isolat yang
avirulen tumbuh lebih lambat, sering terkontaminasi oleh bakteri, pertumbuhan miselia
lebih tipis dan jumlah konidia yang dihasilkan lebih rendah.
Berdasarkan nilai LT50 terlihat ada perbedaan antar isolat (Tabel 3) dan perbedaan
nilai LT50 berkaitan dengan virulensi isolat.

Neves dan Alves (2004) mengemukakan

bahwa waktu kematian serangga dipengaruhi oleh dosis aplikasi dan virulensi dari isolat.
Nilai LT50 B. bassiana berkisar antara 3.39 hari – 8.46 hari. Isolat HhTK9 memiliki nilai
LT50 tersingkat dibandingkan dengan isolat lain (3.39 hari) dan hal ini berarti bahwa
waktu yang dibutuhkan untuk mematikan 50% larva C. pavonana instar II lebih singkat
dibandingkan dengan isolat lain.
Tabel 3. Nilai LT50 berbagai isolat B. bassiana.
Isolat
HhTK9
HhTK1
HhKA14
HhKA7
HhKA1
HhKA11
HhKA4
HhKA2
HhKA5
TKA
HhKA12
TPLB2
HhKA3

LT50 (SK 95%) (hari)
3.39 (3.09-3.68)
5.13 (4.45-6.14)
5.39 (5.07-5.74)
5.14 (4.77-5.59)
5.97 (5.62-6.43)
5.77 (5.25-6.53)
6.14 (5.64-6.87)
6.04 (5.48-6.85)
6.78 (6.08-7.98)
6.52 (5.90-7.53)
6.75 (6.15-7.70)
7.40 (6.60-8.93)
8.46 (7.28-11.08)

Adanya perbedaan nilai LT50 antar isolat B. bassiana juga dilaporkan oleh
Junianto dan Sulistyowati (1994) yang mengemukakan isolat B. bassiana yang virulen

terhadap H. hampei (Bb-704) lebih cepat mematikan imago dengan nilai LT 50 yang lebih
pendek yaitu 4.6 hari daripada isolat yang avirulen (Bb-706) yang memiliki nilai LT50 7.1
hari.
Lebih lamanya waktu kematian serangga C. pavonana akibat infeksi B. bassiana
disebabkan oleh cendawan B. bassiana membutuhkan proses beberapa tahap untuk
sampai menginfeksi dan mematikan serangga, yaitu penempelan konidia pada tubuh
serangga, perkecambahan, penetrasi, invasi dan kolonisasi dalam hemosul, jaringan dan
organ. Waktu untuk masing-masing tahap ini bervariasi tergantung pada jenis cendawan,
inang dan lingkungan (Alves 1998. diacu dalam Neves dan Alves 2004). Selanjutnya
Neves dan Alves (2004) menambahkan bahwa waktu dari infeksi sampai kematian
serangga dipengaruhi oleh dosis aplikasi dan virulensi dari isolat.
Hasil penelitian Neves dan Alves (2004) menunjukkan bahwa penempelan
konidia B. bassiana pada kutikula Cornitermes cumulans (Kollar) (Isoptera: Termitidae)
terjadi sampai 6 jam setelah aplikasi dan perkecambahan mulai terjadi antara 6 – 12 jam
setelah aplikasi. Penetrasi terjadi 12 – 24 jam setelah inokulasi dan kematian serangga
terjadi antara 48 – 72 jam setelah inokulasi.

Hashim (2000) melaporkan bahwa

penempelan dan perkecambahan konidia B. bassiana pada kutikula larva Crocidolomia
binotalis Zell. mulai terjadi 4 – 6 jam setelah aplikasi dan kematian larva terjadi antara 24
– 48 jam setelah inokulasi.
Adanya variasi antara isolat B. bassiana dalam kecepatan mematikan serangga
juga dilaporkan oleh Kassa et al. (2002) yang mengemukakan bahwa isolat B. bassiana
yang berbeda mempunyai kecepatan mematikan yang berbeda terhadap Sitophilus
zeamais (Motsch.) (Coleoptera: Curculionidae). Untuk isolat PPRC-HH, kematian awal
mulai terjadi pada hari kedua dan pada hari keempat kematian serangga uji telah
mencapai 100% sehingga nilai MSTnya (Median Survival Time) lebih pendek. Untuk
isolat lain, mortalitas S. zeamais mulai terjadi pada hari keempat.
Uji Pengaruh Berbagai Konsentrasi Konidia B. bassiana.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi konidia B.bassiana berpengaruh
nyata terhadap mortalitas larva C. pavonana instar II. Mortalitas larva

C. pavonana

meningkat dengan meningkatnya konsentrasi konidia B.bassiana (Gambar 1).

106

107

108

109

Gambar 1. Rata-rata mortalitas larva C. pavonana instar II tujuh hari setelah aplikasi
beberapa konsentrasi konidia B. bassiana
Selain jenis isolat, konsentrasi konidia B. bassiana juga mempengaruhi mortalitas
larva. Mortalitas larva C. pavonana meningkat dengan meningkatnya konsentrasi. Pada
konsentrasi 106 konidia/ml hanya menghasilkan mortalitas larva sebesar 55%, dan
mortalitas larva meningkat menjadi 100% pada konsentrasi 109 konidia/ml.

Hal ini

berarti bahwa semakin tinggi jumlah konidia, maka peluang hama sasaran terinfeksi atau
mati semakin besar. Roberts dan Yendol (1971) mengemukakan bahwa salah satu faktor
untuk bisa terjadinya infeksi cendawan entomopatogen pada serangga adalah jumlah
inokulum.
Yoon et al. (1999) mengemukakan

bahwa peningkatan mortalitas larva P.

xylostella akibat infeksi B. bassiana dengan meningkatnya konsentrasi konidia
disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah konidia yang menempel pada tubuh larva
dengan meningkatnya konsentrasi. Pada konsentrasi 107 konidia/ml. jumlah konidia yang
menempel pada tubuh larva sekitar 1813.89 konidia sedangkan pada konsentrasi 10 8
konidia/ml jumlah konidia yang menempel pada tubuh larva adalah 9861.11 konidia.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian beberapa peneliti sebelumnya
yang menunjukkan adanya korelasi positif antara konsentrasi konidia B. bassiana dengan

mortalitas serangga uji, yaitu semakin tinggi konsentrasi konidia maka mortalitas
serangga juga semakin tinggi (Eken et al, 2006).
KESIMPULAN
Cendawan

entomopatogen

Beauveria

bassiana

secara alami

ditemukan

dilapangan baik pada tanah maupun pada serangga hama. B. bassiana paling dominan
ditemukan pada ekosistem pertanaman tanaman tahunan dibandingkan dengan tanaman
setahun.
Patogenisitas atau virulensi isolat cendawan entomopatogen B. bassiana terhadap
larva C. pavonana sangat bervariasi tergantung pada sumber isolat serta konsentrasi
konidia. Isolat HhTK9 merupakan isolat yang paling virulen dibandingkan dengan isolat
lain. Secara umum untuk mendapatkan isolat B. bassiana yang virulen bisa didapatkan
dari serangga yang bukan serangga inang uji dan dari daerah lain. Semakin tinggi
konsentrasi konidia, semakin tinggi mortalitas larva C. pavonana. Oleh karena itu dalam
pengendalian C. pavonana dengan cendawan entomopatogen kedua faktor ini (isolat dan
konsentrasi konidia) harus dipertimbangkan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Melalui kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih
kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, sesuai
dengan

Surat

Perjanjian

Pelaksanaan

Pekerjaan

Penelitian

Nomor

005/SP2H/PP/DP2M/III/2008 tanggal 6 Maret 2008 yang telah membantu pendanaan
penelitian ini sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar.
DAFTAR PUSTAKA
Ansari MA, Vestergaard S, Tirry L, Moens M. 2004. Selection of highly virulent fungal
isolate. Metarhizium anisopliae CLO 53 for controlling Hoplia philanthus. J
Invertebr Pathol 85:89-96.
Bidochka MJ, Kasperski JE dan Wild GAM. 1998. Occurrence of the entomopathogenic
fungi Metarhizium anisopliae and Beauveria bassiana in soils from temperate
and near-northern habitats. Can. J. Bot. 76:1198-1204.

Cottrell TE, Shapiro-Ilan DI. 2003. Susceptibility of a native and an exotic lady beetle
(Coleoptera: Coccinellidae) to Beauveria bassiana.
J Invertebr Pathol
84:137-144.
Daoust RA, Roberts DW. 1982. Virulence of natural and insect-passaged strains of
Metarhizium anisopliae to mosquito larvae. J Invertebr Pathol 40:107-117.
Devi PSV, Prasad YG, Chowdary DA, Rao LM, Balakrishnan K. 2003. Identification of
virulent isolates of the entomopathogenic fungus Nomuraea rileyi (F) Samson
for management of Helicoverpa armigera and Spodoptera litura.
Mycopathologia 156:365-373.
Eken C, Tozlu G, Dane E, Coruh S, Demirci E. 2006. Pathogenicity of Beauveria
bassiana (deuteromycotina:Hyphomycetes) to larvae of the small poplar
longhorn
beetle,
Saperda
populnea
(Coleoptera:Cerambycidae).
Mycopathologia 162: 69-71.
Geden CJ, Rutz DA, Steinkraus DC. 1995. Virulence of different isolates and
formulations of Beauveria bassiana for house flies and the parasitoid
Muscidifurax raptor. Biol Contr 5:615-621.
JuniantoYD, Sulistyowati E. 1994. Virulence of several Beauveria bassiana Bals. Vuill.
isolates on coffee berry borer (Hypothenemus hampei Ferr.) under various
relative humidities. Pelita Perkebunan 10(2):81-86.
Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der. penerjemah.
Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve. Revisi dari : De Plagen van de
Cultuurgewassen in Indonesie.
Kreutz J, Vaupel O, Zimmerman G. 2004. Efficacy of Beauveria bassiana (Bals.) Vuill.
against the spruce bark beetle, Ips typographus L. in the laboratory under
various conditions. JEN 128(6) doi:10.1111/j.1439-0418.2004.00813. 384-389.
Neves PMOJ, Alves SB. 2004. External events related to the infection process of
Cornitermes cumulans (Kollar) (Isoptera: Termitidae) by the entomopathogenic
fungi Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae.
Neotropical
Entomology 33(1):051-056.
Rauf A. 1996. PHT mereguk manfaat dari globalisasi pasar. Makalah disajikan pada
Seminar dan Rapat Koordinasi Wilayah II, Himpunan Mahasiswa Perlindungan
Tanaman Indonesia Bogor, 22-24 Desember 1996. Bogor. 10 hlm.
Roberts DW, Yendol WG. 1971. Use of fungi for microbial control. Di dalam: Burges
HD dan Hussey NW. editor. Microbial Control of Insects and Mites. London.
New York: Academic Press. hlm 125-149.
Samuels RI, Coracini DLA, dos Santos CAM, Gava CAT. 2002. Infection of Blissus
antillus (Hemiptera: Lygaeidae) eggs by entomopathogenic fungi Metarhizium
anisopliae and Beauveria bassiana. Biol Contr 23:269-273.
Samuels RI, Coracini DLA. 2004. Selection of Beauveria bassiana and Metarhizium
anisopliae isolates for the control of Blissus antillus (Hemiptera: Lygaeidae).
Sci Agric (Piracicaba. Braz) 61(3):271-275.
Sapieha-Waszkiewicz A, Marjanska-Cichon B, Piwowarczyk Z. 2005. The occurrence
of entomopathogenic fungi in the soil from the plantations of black currant and
aronia. Electronic Journal of Polish Agricultural Universities 8(1):1-8.

Sastrosiswodjo S, Oka IN.
1997.
Implementasi pengelolaan serangga secara
berkelanjutan. Makalah Kongres ke V dan Simposium Entomologi. PEI.
Bandung. 24-26 Juni 1997. 14 hlm.
Shepard M et al. 1997. Prospect for IPM in secondary food crops. Makalah disajikan
pada Kongres V dan Simposium Entomologi, Perhimpunan Entomologi
Indonesia, Bandung, 24-26 Juni 1997. Bandung. 31 hlm.
Shimazu M, Maehara N, Sato H. 2002. Density dynamics of the entomopathogenic
fungus, Beauveria bassiana Vuillemin (Deuteromycotuna: Hyphomycetes)
introduced into forest soil, and its influence on other soil microorganisms. Appl
Entomol Zool 37(2):263-269.
Sosa-Gomez DR, Moscardi F. 1994. Effect of till and no-till soybean cultivation on
dynamics of entomopathogenic fungi in the soil. Florida Entomologist
77(2):284-287.
Trizelia, Arneti. 1996. Kemampuan Jamur Beauveria bassiana untuk pengenda- lian
hama Crocidolomia binotalis Z. pada tanaman kubis. [Laporan Penelitian
Dosen Muda, BBI]. Padang : Lembaga Penelitian Universitas Andalas.
Trizelia.

1997.
Pengaruh infeksi Beauveria bassiana terhadap biologi hama
Crocidolomia binotalis Z. pada tanaman kubis. [Laporan Penelitian Dana
SPP/DPP Unand]. Padang : Lembaga Penelitian Universitas Andalas.
Trizelia.
1999.
Virulensi beberapa isolat Beauveria bassiana terhadap larva
Crocidolomia binotalis Zell. (Lepidotera: Pyralidae). Manggaro. 1(2):11-15.
Trizelia.
2005.
Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana (Bals.) Vuill.
(Deuteromycotina: Hyphomycetes): Keragaman Genetik, Karakterisasi
Fisiologi, dan Virulensinya terhadap Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera:
Pyralidae). [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Wang L, Huang J, You M, Liu B. 2004. Time-dose-mortality modeling and virulence
indices for six strains of Verticillium lecanii against sweetpotato whitefly.
Bemisia tabaci (Gennadius). JEN 128(7) doi:10.1111/j.1439-0418.2004.00879.
494-500.
Yoon CS, Sung GH, Park HS, Lee SG, Lee JO. 1999. Potential of the entomopathogenic
fungus. Beauveria bassiana strain CS-1 as a biological control agent of Plutella
xylostella (Lep: Yponomeutidae). J Appl Ent 123:423-425.
Yunisman, Rusli R, Busnia M, Yaherwandi, Kiman ZB. 1997. Patogenisitas cendawan
Beauveria bassiana terhadap hama perusak daun kubis, Spodoptera litura F.
(Lepidoptera: Noctuidae). [Laporan Penelitian Dana SPP/DPP Unand].
Padang : Lembaga Penelitian Universitas Andalas.

Dokumen yang terkait

Keefektifan Berbagai isolat Beauveria bassiana Terhadap Larva Crocidolomia pavonana

0 3 34

Keefektifan beberapa isolat cendawan entomopatogen Beauveria bassiana (Balsamo) vullemin terhadap hama boleng Cylas formicarius (Fabr)(Coleoptera : Curculionidae) di laboratorium

0 7 31

Cendawan entomopatogen Beauveria bassiana Vuill Keragaman Genetik, Karakterisasi Fisiologi, dan Virulensinya Terhadap Crocidolomia pavonana

0 14 139

UJI KOMPATIBILITAS JAMUR Beauveria bassiana DENGAN EKSTRAK AIR DAUN SIRSAK (Annona muricata; ANNONACEAE) UNTUK PENGENDALIAN HAMA Crocidolomia pavonana F (LEPIDOPTERA; PYRALIDAE).

0 0 1

PEMASYARAKATAN PENGGUNAAN CENDAWAN ENTOMOPATOGEN Beauveria bassiana SEBAGAI BIOINSEKTISIDA UNTUK PENGENDALIAN HAMA BUAH KAKAO DI DAERAH PADANG PARIAMAN.

0 0 8

Ringkasan - PENINGKATAN PERSISTENSI DAN TRANSMISI ISOLAT UNGGUL CENDAWAN ENTOMOPATOGEN Beauveria bassiana UNTUK PENGENDALIAN HAMA Crocidolomia pavonana F (LEPIDOPTERA: PYRALIDAE).

0 0 1

Ringkasan - Uji Kompatibilitas Jamur Beauveria bassiana Dengan Ekstrak Air Daun Sirsak (Annona muricata; Annonaceae) Untuk Pengendalian Hama Crocidolomia pavonana F (Lepidoptera; Pyralidae).

2 2 4

UJI KOMPATIBILITAS JAMUR Beauveria bassiana DENGAN EKSTRAK AIR DAUN SIRSAK (Annona muricata;ANNONACEAE) UNTUK PENGENDALIAN HAMA Crocidolomia pavonana F (LEPIDOPTERA;PYRALIDAE).

0 0 11

UJI KOMPATIBILITAS JAMUR Beauveria bassiana DENGAN EKSTRAK AIR DAUN SIRSAK (Annona muricata; ANNONACEAE) UNTUK PENGENDALIAN HAMA Crocidolomia pavonana F (LEPIDOPTERA; PYRALIDAE).

1 1 11

VIRULENCE OF ENTOMOPATHOGENIC FUNGUS BEAUVERIA BASSIANA ISOLATES TO CROCIDOLOMIA PAVONANA F (LEPIDOPTERA: CRAMBIDAE)

0 0 8