Sekali Lagi soal UU BHP.

--

--

--

[(OMPAS
o Senin o Selasa o Rabu
123
17

.~

4
18

Jan

19

0


Peb

6

5
20

21

o Mar

OApr

7
22

o Kamis . Jumat o Sabtu o Minggu
8
23


OMei

9
24

o Jun

@)

12

11

25

26

.Jul


13
27

0 Ags OSep

14
28

OOkt

15
29

16
30

ONov

31


ODes

SekaZiLagi soal UU BHP
Oleh DEWI

_ ..0;
:. ____

SUSANTI

ejak UU Badan Hukum
Pendidikan (BHP) disahkan, muncul banyak kritik
yang intinya mengajukan tiga
masalah. Pertama, ketidakberpihakan UU BHP terhadap siswa
dari keluarga tak mampu. Kedua,
pengurangan tanggung jawab dan
komitmen pemerintah terhadap
pendidikan. Ketiga, terjadinya
komersialisasi pendidikan.


S

Tiga masalah
Namun, dalam analisis penulis, UU BHP
maupun kritik terhadap UU BHP mengesampingkan tiga masalah dasar, yaitu (1)
kurangnya
pemahaman tentang akar
persoalan yang menyebabkan sulitnya
siswa dari keluarga
tidak mampu masuk jenjang pendidikan tinggi; (2) keTiga keberatan itu amat beralasan. Pada terkaitan antara desentralijenjang perguruan tinggi (PT), sejak UU sasi pendidikan dan diperlukannya
Badan Hukum Milik Negara (BHMN) di- privatisasi pendidikan; (3) kurangnya
sahkan tahun 1999, data menunjukkan,
penekanan terhadap pentingnya nilai
antara tahun 1995 dan 2002, biaya yang dan standar akademis sebagai salah satu
diperlukan untuk kuliah di ITS naik empat penangkal komersialisasi pendidikan.
kali lipat (Welch, 2007).
Pertama, dari populasi masyarakat InPada tahun 2004, subsidi pemerintah
donesia yang tergolong miskin (berpenuntuk ITB hanya menutup 29 persen dapatan di bawah 2,0 dollar AS per hari,
biaya operasional. AIhasil, seperti uni- menurut data Bank Dunia 2006 mencapai
versitas BHMN lain, ITB menawarkan

42 persen), hanya 3,3 persen yang berhasil
Jalur Khusus bagi 20 persen mahasiswa diterima di tingkat pendidikan tinggi tabarn .yang tidak memenuhi standar ke- hun 2001 (Efendi, 2003). Ini berarti tunmampuan akademis, tetapi mampu mem- tutan UU BHP untuk mengalokasikan 20
bayar lebih mahal (Welch, 2007).
persen kursi untuk mahasiswa dari keUU BHP yang menggantikan UU luarga tidak mampu tidaklah realistis,
BHMN untuk pendidikan tinggi dan mem- akan mengakibatkan PT untuk mengklaim
perluas privatisasi pendidikan jenjang kelompok mahasiswa yang tidak sehapendidikan dasar dan menengah sebe- rusnya ada dalam kategori ini.
tuInya berupaya menjawab tiga kritik
Jika pemerintah dan kritikus kebijakan
Pertama, untuk perguruan tinggi, UU pemerintah secara serius ingin meningBHP mengharnskan pengalokasian 20 katkan akses ke PT bagi mahasiswa dari
persen kursi untuk siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu, pengalokasian kurkeluarga tidak mampu (pasal 46(1».
si bagi kelompok ini harns diubah sehingga
Redua, pemerintah menetapkan subsidi ada di atas jumIah 3,3 persen. Sebaliknya,
50 persen untuk biaya operasional per- pada jenjang pendidikan menengah, alogur,uan tiuggi negeri (pasal 41(6».
kasi kursi bagi kelompok siswa dari keKetiga, dalam upaya menghindari ko- luarga tidak mampu perlu ditingkatkan di
mersialisasi pendidikan, semua BHP harns atas 20 persen. AIasannya, studi mengdidasarkan pada prinsip nirlaba (pasal indikasikan, keberhasilan akademis siswa
4(1», sementara jumlah total biaya pen- amat dipengaruhi latar belakang sosial
didikan yang ditanggung mahasiswa tidak ekonomi keluarga mereka. Karena itu,
boleh melebihi sepertiga dari jumlah total upaya untuk mengatasi kemiskinan dan
.b,iarfl.9P\:rasi?~ BflP(Pas~141(8).
~ngarl1.!m~a

terhada~kemampuan siswa

Kliping

Humas

Unpad

2009-

-

diterima di perguruan tinggi perlu dimulai
pada jenjang pendidikan lebih awal, khususnya pada jenjang pendidikan menengah di mana hanya 55 persen
siswa dari keluarga tidak
mampu
menyelesaikan
jenjang
pendidikan
ini (World Bank,

2006).
Kedua, tuntutan
kepada pemerintah
untuk menyediakan
dan
membiayai
pendidikan didasarkan asumsi, jika
pemerintah berkomitmen,
masalah
kesenjangan pendidikan dapat diatasi.
Namun, institusi pendidikan negeri umumnya dibatasi struktur dan
budaya yang hierarkis, birokratis, politis, dan tidak efisien, membuat
kebanyakan institusi tidak tanggap terhadap perubahan dan inovasi (Chubb &
Moe, 1990; Friedman, 1962).
Desentralisasi pendidikan perlu dilaksanakan karena kebutuhan teknis kegiatan
pembelajaran menuntut keahlian dan otonomi guru. lni didasari alasan, karena
kontrol dan pemantauan akuntabilitas secara administratif sulit dilakukan dari pusat, dan karena masalah yang dihadapi
masing-masing institusi pendidikan hanya
dapat diidentifikasi dan diselesaikan pada
skala lokal (Chubb & Moe, 1990).

Bukan fenomena baru
Pengadopsian model bisnis di perguruan tinggi bukan fenomena barn. Semua
perguruan tinggi menawarkan pendidikan
sebagai produk, mereka berupaya membujuk calon mahasiswa, dan menetapkan
biaya untuk produk yang ditawarkan (Krachenberg, 1972). Privatisasi penmdikan
menuntut institusi pendidikan menjadi
lebih kompetitif, karena itu lebih efisien,
lebih akuntabel, dan lebih berkualitas

(Bok, 2003; Ruch, 2001). Privatisasi pendidikan juga memungkinkan universitas
mengalokasikan dana sesuai keperluan
yang dianggap penting (Bok, 2003).
Meski demikian, privatisasi juga berdampak negatif. Derek Bok, Presiden
Emeritus di Universitas Harvard, berpendapat, kebutuhan finansial dan pemenuhan biaya operasional sekolah dapat menyebabkan komersialisasi pendidikan, terutama jika nilai dan standar akademis
yang memungkinkan institusi pendidikan
untuk mencapai tujuannya dengan tingkat
kualitas dan integritas yang tinggi tidak
dicanangkan (Bok, 2003: 6).
Peran pendidik
Pada dasarnya, privatisasi pendidikan

memberi peluang bagi pasar bebas untuk
ambil bagian dalam pelaksanaan dan pembiayaan pendidikan. Namun, ini tidak berarti nilai clan standar akademis dapat
dibiarkan dan ditentukan pasar. Karena
itu, pemerintah perlu menetapkan peraturan yang dapat lebih baik meregulasi
tuntutan tingkat kualitas dan integritas
akademik yang perlu dijunjung institusi
pendidikan.
Dalamtatanan masyarakat modem, selain pasar' dan pemerintah, Friedson
(2001) mengajukan peran penting dunia
profesi yang dapat ikut membentuk arah
dan perkembangan sebuah masyarakat.
Dalam konteks pembahasan UU BHP,para
pendidik berperan penting menjaga nilai,
standar, dan integritas akademik yang
amat diperlukan guna menghindari komersialisasi pendidikan, mengurangi kesenjangan sosial, dan mengimbangi peran
pemerintah dan pasar dalam menentukan
arah dan tujuan pendidikan.
DEWI SUSANTI
Konsultan Pendidikan; Lulusan


Harvard Graduate School of Education