Komodifikasi Tabut Sebagai Daya Tarik Wisata Budaya Di Provinsi Bengkulu.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Tradisi tabut di Bengkulu semula merupakan ritual yang sakral penuh dengan “religiusmagis” karena riwayat sejarahnya yang begitu panjang dan unik, yaitu merupakan suatu

perayaan tradisional yang diperingati pada tanggal 1 sampai dengan 10 Muharam kalender
Islam. Menurut Zacky (2003:40) nama tabut sendiri berasal dari bahasa Arab yang secara
harfiah berarti “kotak” atau “peti” yang berfungsi untuk mengenang pimpinan Syi’ah
bersama pengikutnya dalam mengumpulkan potongan tubuh Husain untuk dibawa dan
dimakamkan menuju Padang Karbala, Baghdad Irak. Husein adalah anak dari Siti Fatimah
Az-Zahroh Bin Muhammad yang gugur dalam medan perperangan pada tahun 680 sebelum
masehi atau pada tanggal 10 Muharam 61 Hijriah. Husain meninggal karena pertempuran
yang tidak seimbang melawan kaum Kawarij yang diperintahkan oleh Yazid Bin Mu’aviyyah
Khalifah Bani Umayah di bawah pimpinan panglima Ubaidillah Bin Ziyad.
Tradisi tabut dipercaya sebagai ritual sakral yang wajib dilaksanakan, karena dianggap
sebagai media untuk mengungkapkan rasa cinta mereka kepada ahlul-bait (Keluarga
Rassulullah) yang bernama Husein anak dari Siti Fatimah Az-Zahroh Bin Muhammad yang
wafat dalam perperangan. Masyarakat Bengkulu meyakini, bahwa apabila tabut ini
dilaksanakan tentu mereka yang melakukannya akan mendapat berkah dari Allah S.W.T,
karena secara tidak langsung melalui tabut masyarakat Bengkulu dapat ikut mendoakan
keselamatan dan kesejahteraan ahlul-bait (Keluarga Rassulullah), sebaliknya jika ritual ini

tidak dilaksanakan maka akan mendapatkan murka dari Allah S.W.T, sebab masyarakat telah
melupakan perjuangan cucu Nabi Muhammad S.A.W bernama Husain yang gugur dalam
perperangan demi memperjuangkan agama Islam (Dahri, 2009:16).
Berkaitan dengan hal tersebut, Van Ball (1997:12) mengatakan, bahwa peranan upacara
(baik ritual maupun seremonial) adalah untuk mengingatkan manusia berkenaan dengan
eksistensi dan hubungan dengan lingkungan mereka. Dengan adanya upacara-upacara
tersebut, suatu warga masyarakat bukan hanya selalu diingatkan, tetapi juga dibiasakan untuk
menggunakan simbol-simbol yang bersifat abstrak yang berada pada tingkat pemikiran untuk
berbagai kegiatan sosial yang nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Sama halnya dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Giddens (2010:48-50) di mana
tradisi merupakan adat atau kebiasaan (custom or habit), yang merupakan penanda identitas,
baik secara pribadi maupun kolektif masyarakat pendukungnya. Identitas adalah penciptaan
konstansi dalam perjalanan waktu, yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan

masyarakat pewarisnya dengan realitas identitas sosial yang lebih luas, dalam hal ini disebut
dengan perhatian psikologis. Demikian pula dalam tradisi tabut, juga berkaitan dengan
penghormatan masyarakat Bengkulu terhadap kematian Husain, cucu Nabi Muhammad
S.A.W dalam upaya permohonan keselamatan dan kesejahteraan yang tidak lepas dari mitos
bagi pendukung kebudayaan untuk menjaga dan mempertahankan keharmonisan dalam
kehidupan masyarakat Bengkulu.

Tradisi tabut sendiri, memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Bengkulu
yang tidak hanya sebagai bentuk ritual keagamaan saja, melainkan juga sebagai bentuk tradisi
yang mampu memunculkan identitas dan jati diri masyarakat Bengkulu. Saat ini ritual tabut
telah mengalami proses transformasi dalam menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman
akibat persinggungan sebuah tradisi yang mampu menciptakan sebuah kedinamisan dalam
sebuah tradisi.
Menurut Sibarani (2012:3) transformasi yang tidak dapat dielakkan di masa mendatang
adalah transformasi tradisi ke arah industri pariwisata oleh kapitalisme yang berkaitan dengan
ekonomi, kekuatan budaya dominan, dan kekuatan ideologi-ideologi dunia yang tidak
terlepas dari pengaruh globalisasi.
Globalisasi menimbulkan pergulatan antara nilai-nilai budaya lokal dan global yang
semakin tinggi intensitasnya. Sistem nilai budaya lokal yang selama ini digunakan sebagai
acuan atau panutan oleh masyarakat pendukungnya, tidak jarang telah mengalami perubahan
karena nilai-nilai budaya global dengan kemajuan teknologi informasi yang semakin
mempercepat proses perubahan tersebut (Sirtha, 2007:63).
Terkait dengan fenomena globalisasi, sejak Provinsi Bengkulu dijadikan sebagai daerah
destinasi pariwisata nasional, gejala praktik kapitalisme mulai nampak dengan munculnya
industri pariwisata berbasis budaya yang merupakan fenomena kebudayaan global yang
dipandang sebagai suatu sistem yang terus berkembang mempengaruhi kehidupan
masyarakat sekitar. Pariwisata ibarat pisau bermata dua yang mempunyai dua sisi berbeda.

Pariwisata dapat menimbulkan dampak positif dan dapat pula menimbulkan dampak negatif.
Pariwisata di satu sisi dapat memberikan keuntungan ekonomi kepada masyarakat
lokal/setempat dan dapat pula mengangkat identitas budaya daerah ke tingkat global, namun
di sisi lain dengan adanya pariwisata justru mengakibatkan terjadinya kemerosotan nilai
budaya daerah dari yang bersifat sakral menjadi profan. Apabila nilai budaya masyarakat
telah merosot maka masyarakat akan kehilangan kepribadiannya, bahkan kemerosotan nilai
budaya masyarakat tersebut menyebabkan pengembangan pariwisata budaya akan terancam.

Sejalan dengan hal tersebut, tabut mengalami kemerosotan nilai budaya akibat pengaruh
globalisasi yang menyebabkan masyarakat Bengkulu terintegrasi ke dalam suatu tatanan yang
lebih luas dari yang bersifat lokal menjadi global yang kemudian melahirkan pemikiranpemikiran dari masyarakat untuk menciptakan sesuatu yang baru dengan menggunakan akar
budaya leluhur yang menyebabkan terjadinya perubahan fungsi tabut. Perubahan fungsi tabut
terkait dengan nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat yang menjadi tendensi ekonomi,
sehingga tradisi tabut menjadi alat komoditas dan dikonsepkan sebagai salah satu bentuk
mata pencaharian yang mendapat dukungan besar dari pemerintah untuk mengemasnya
menjadi daya tarik wisata budaya (Yuliati, 2010:3).
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yulianti (2010) terkait dengan tabut, diketahui
bahwa beliau hanya mengungkapkan tentang komodifikasi tabut secara umum dari segi
pemasaran pariwisata. Komodifikasi yang dilakukan merupakan strategi pemerintah bersamasama masyarakat setempat dalam pengembangan tabut menjadi industri pariwisata berbasis
budaya yang memenuhi persyaratan keaslian (originality), kelangkaan (scarsity), dan

keutuhan (wholesomeness) sebagai aset berharga dalam pembangunan pariwisata budaya di
Provinsi Bengkulu, di mana dalam pendistribusiannya menggunakan media massa dan
komunikasi lisan dengan harapan agar wisatawan lokal maupun mancanegara tertarik
berkunjung untuk menyaksikan tabut di Provinsi Bengkulu, sedangkan peneliti sendiri
melihat dari sudut pandang keilmuan kajian budaya (cultural studies) yang mengkritisi
dampak lain yang ditimbulkan dari komodifikasi yang secara harfiah adanya sentuhan
kapitalis dan hegemoni di dalamnya. Pemerintah, masyarakat, dan pemangku tradisi secara
sengaja mengubah tabut dari yang bersifat sakral menjadi profan demi pengembangan
kepariwisataan di Provinsi Bengkulu.
Oleh sebab itu, secara sadar atau tidak pada akhirnya akan membawa berbagai macam
persoalan. Persoalan yang ditemukan di lapangan oleh peneliti yakni, (1) tabut saat ini
didukung oleh fasilitas sarana dan prasarana penunjang wisata, (2) Tradisi tabut oleh
pemerintah dijadikan komoditi bernilai ekonomi, dan (3) adanya penambahan daya tarik
tabut yang dibuat secara sengaja oleh pemerintah, sebagai strategi dalam menarik wisatawan.

Ironis fenomena ini justru membuat tradisi tabut yang berlangsung secara turun temurun, kini
berubah fungsi dari makna aslinya ke arah komodifikasi yaitu sebuah proses kapitalisme yang
merupakan cara produksi dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan sebanyakbanyaknya (Karl Marx, dalam Barker, 2000:13).
Persoalan-persoalan tersebut di atas telah membuat tabut tidak lagi sebagaimana
dilakukan seperti dulu. Tradisi tabut telah menjadi bagian dari praktik kapitalisme yang


mengacu pada praktik komodifikasi. Tradisi tabut sebelumnya tidak dianggap sebagai
barang/jasa dagangan dan hanya dimiliki oleh masyarakat pemangku tradisi yakni suku Sipai
di Provinsi Bengkulu, namun kini menjadi produk komoditas yang berorientasi ekonomi
(pasar).
Dari hal tersebut, tentunya ini menarik untuk dikaji secara mendalam terkait proses
komodifikasi tabut, respon masyarakat dan pemangku tradisi, dan dampak komodifikasi
terhadap nilai kesakralan tabut sebagai daya tarik wisata budaya di Provinsi Bengkulu.