STUDI KASUS MEKANISME PERTAHANAN DIRI REMAJA KETIKA MENGHADAPI MASALAH PERCERAIAN ORANGTUA

  

STUDI KASUS MEKANISME PERTAHANAN DIRI

REMAJA KETIKA MENGHADAPI MASALAH

PERCERAIAN ORANGTUA

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi Salah Satu Syarat

  

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh :

Nama : Andreas Tri Winarto

  

NIM : 009114067

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

STUDI KASUS MEKANISME PERTAHANAN DIRI

REMAJA KETIKA MENGHADAPI MASALAH

PERCERAIAN ORANGTUA

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi Salah Satu Syarat

  

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh :

Nama : Andreas Tri Winarto

  

NIM : 009114067

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  Halaman Persembaan Segala perkara dapat kutaklukkan di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku

  (Surat Rasul Paulus Kepada Jemaat di Filipi) Kupersembahkan karya ini untuk : Tuhan Yesus Kristus

  Seluruh keluargku yang tercinta Semua pembaca yang tertarik dan berminat pada bidang Psikologi Klinis

  

ABSTRAK

Andreas Tri Winarto (2008). Studi Kasus Mekanisme Pertahanan Diri

remaja ketika menghadapi masalah perceraian orangtua. Yogyakarta:

Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma

  Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang mekanisme pertahanan diri yang dilakukan oleh remaja ketika menghadapi masalah perceraian orangtua. Mekanisme pertahanan muncul karena adanya beberapa sumber kecemasan akibat peristiwa perceraian orangtua remaja tersebut. Mekanisme pertahanan diri dibagi menjadi dua, yaitu mekanisme pertahanan diri yang matang (mature) dan tidak matang (immature). Mekanisme pertahanan yang matang meliputi Altruism, Anticipation, Asceticism, Humor, Sublimation,

  

Suppression. Mekanisme pertahanan yang tidak matang meliputi : Denial ,

Proyeksi , Represi , F. Reaksi , Undoing , Isolasi , Regresi dan Displacement.

  Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif studi kasus, dengan data utama yang diperoleh melalui wawancara, dan data pendukung yang diperoleh melalui tes TAT. Pada penelitian ini, terdapat dua orang subyek yang orangtuanya bercerai. Orangtua subyek pertama telah berpisah sejak subyek berusia 8 tahun namun mereka bercerai resmi ketika subyek berumur 12 tahun. Saat ini subyek tinggal bersama ayah dan neneknya. Pada subyek kedua, kejadian perceraian orangtuanya baru saja terjadi yaitu ketika subyek duduk di kelas 3 SMP akhir, menjelang masuk SMU ( usia 16 tahun ). Saat ini, subyek tinggal bersama ayahnya.

  Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa Mekanisme pertahanan diri yang dilakukan oleh subyek A adalah denial, proyeksi, represi, isolasi,

  

displacement dan fantasi ; pada subyek B adalah denial, proyeksi, represi,

displacement, rasionalisasi dan fantasi. Beberapa sumber kecemasan yang

  dihadapi oleh remaja yang menghadapi masalah perceraian orang tua adalah kehilangan kasih sayang dan dukungan yang sangat dibutuhkan dari salah satu orang tua, keharusan untuk menerima situasi dan keluarga baru, kekurangan dukungan finansial, harus menjalankan tugas dan kewajiban baru serta padangan bahwa keluarga yang bercerai adalah suatu hal yang negatif.

  

ABSTRACT

Andreas Tri Winarto (2008). Case Study Concerning The Adolescence Self

Defence Mechanism When Facing The Parents Divorce Problem. Yogyakarta

: Faculty of Psychology, Sanata Dharma University

  This research aimed to describe the adolescence Self Defence Mechanism when facing the parents divorce problem. Self Defence Mechanism appear’s because of some anxiety sources as the results of their parents divorce incident. Self Defence Mechanism is divided in two, Mature Self Defence Mechanism and Immature Self Defence Mechanism. Mature Self Defence Mechanism includes

  

Altruism, Anticipation, Asceticism, Humour, Sublimation, and Suppression. The

  Immature Self Defence Mechanism includes Denial, Projection, Repression, Reaction Formation, Undoing, Isolation, Regression, and Displacement.

  This research used case study qualitative research method, main data was obtained by interview and support data by Thematic Apperception Test (TAT). In this research, there were two subjects whose their parents have divorced. The first subject has parents who have separated since she was eigth years old, but have divorced since she was twelve years old. Now she lives with her father. The second subject has parents who have already divorced during he was in third year Junior High School, toward went to Senior High School (He was sixteen years old). Now he lives with his father.

  From the result of this research, the researcher found that the Self Defence Mechanism in the first subject were denial, projection, repression, isolation,

  

displacement and phantasy; in second subject were denial, projection, repression,

displacement, rationalisation and phantasy.

  Some anxiety source’s whose facing by adolescence with divorce parents were lost of affection and support either parents, have to accept the situation and new family, the less of financial supporting, must execute the new assignment and obligation, viewpoint that divorce family was a negative case.

KATA PENGANTAR

  6. Segenap dosen dan laboran di Fakultas Psikologi, yang telah membimbing selama penulis kuliah di Universitas Sanata Dharma.

  Yogyakarta, 20 Oktober 2008 Penulis

  Akhirnya harapan penulis, semoga Tugas Akhir ini dapat berguna bagi semua pihak dan dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut.

  10. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dan memberi masukan selama penyelesaian Tugas Akhir ini Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Tugas Akhir ini masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan serta jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk penyempurnaan Tugas Akhir ini.

  9. Seluruh subjek yang tak dapat disebutkan, terima kasih BUAAANGEEETTS

  8. Lia yang selalu memberi semangat, dukungan, kasih sayang dan doa yang tulus kepada penulis. Thanks for all your support to me.

  7. Kedua orang tua dan keluarga penulis atas segala dukungan dan doanya.

  Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan bimbingan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul “Mekanisme Pertahanan Diri remaja ketika menghadapi masalah

  

perceraian orangtua“. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai

  4. Lusia Pratidarmanastiti, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik

  3. Sylvia CMYM, S.Psi., M.Si, selaku Ketua Progran Studi Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

  2. P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

  1. Tuhan Yesus Kristus, yang selalu membimbing dan memberikan HikmatNya kepada penulis.

  Sejak awal sampai berakhirnya studi, penulis menyadari bahwa dalam proses belajar di Program Studi Psikologi sangat banyak melibatkan banyak bantuan dari segala pihak. Atas segala saran, bimbingan, dukungan dan bantuan, pada kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

  derajat Sarjana Psikologi pada Program Studi Psikologi Universitas Sanata Dharma.

  5. Agnes Indar E, S.Psi., M.Psi selaku dosen pembimbing skripsi

  DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL........................................................................................i LEMBAR PERSETUJUAN.............................................................................iii LEMBAR PENGESAHAN..............................................................................iv HALAMAN PERSEMBAHAN.......................................................................v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...........................................................vi ABSTRAK ......................................................................................................vii

  

ABSTRACT ......................................................................................................viii

  LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...........................ix KATA PENGANTAR......................................................................................x DAFTAR ISI....................................................................................................xi DAFTAR TABEL............................................................................................xiv

  BAB I PENDAHULUAN..........................................................................1 A. Latar Belakang.........................................................................1 B. Rumusan Masalah....................................................................8 C. Tujuan Penelitian......................................................................8 D. Manfaat.....................................................................................8 BAB II LANDASAN TEORI.....................................................................10 A. Masa Remaja............................................................................10 B. Masalah Perceraian Orangtua...................................................14

  2. Dampak Perceraian.............................................................15

  3. Reaksi remaja terhadap perceraian Orangtua.....................19

  C. Mekanisme Pertahanan Diri.....................................................24

  1. Definisi Mekanisme Pertahanan Diri .................................24

  2. Terbentuknya Mekanisme Pertahanan Diri ........................25

  3. Bentuk-bentuk Mekanisme Pertahanan Diri .................... 30

  D. Mekanisme Pertahanan Diri yang diungkap melalui TAT.......32

  E. Mekanisme Pertahanan Diri Remaja Ketika Menghadapi Masalah Perceraian Orangtua...................................................38

  BAB III METODOLOGI PENELITIAN.....................................................42 A. Jenis dan Asumsi Penelitian....................................................42 B. Variabel penelitian..................................................................43 C. Subjek Penelitian.....................................................................45 D. Metode Pengumpulan Data.....................................................45 E. Analisis Data...........................................................................53 F. Keabsahan Data Penelitian......................................................62 BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN............................64 A. Pelaksanaan Penelitian.............................................................64 B. Hasil Penelitian.........................................................................65

  1. Subjek A.............................................................................65

  2. Subjek B..............................................................................74

  C. Pembahasan..............................................................................83

  A. Kesimpulan................................................................................91

  B. Kelemahan Penelitian................................................................91

  C. Saran ......................................................................................... 92 DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................93 LAMPIRAN

  

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Pedoman Wawancara...................................................................48Tabel 3.2 Identitas Subyek...........................................................................67Tabel 4.1 Rangkuman Hasil Penelitian........................................................83

  

DAFTAR LAMPIRAN

  Lampiran 1. Hasil Tes TAT subyek A...................................................................94 Lampiran 2. Hasil TEs TAT subyek B................................................................125 Lampiran 3. Wawancara Subyek A.....................................................................150 Lampiran 4. Wawancara Subyek B.....................................................................159 Lampiran 5. Surat Pernyataan Kesediaan Subyek……………………………...174

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kehidupan manusia memiliki banyak dimensi yang kompleks. Banyaknya

  masalah yang muncul dalam diri manusia sejak awal kehidupannya ketika memasuki masa bayi, kanak-kanak dan remaja merupakan tanda kompleksitas dimensi tersebut. Kata ”remaja” dalam bahasa Latin adalah “adolescere” yang berarti “bertumbuh ke arah kedewasaan”. Setiap manusia memulai masa remajanya dari usia 10 sampai 22 tahun (Steinberg, 2002). Bertumbuh ke arah kedewasaan memiliki konsekuensi harus mau mengalami perubahan. Berbagai perubahan yang terjadi pada masa remaja ini akan membuat remaja mengalami kondisi menyenangkan sekaligus kritis, sehingga respon terhadap kondisi itulah yang akan menentukan masa depannya kelak. Ketika seorang remaja mampu menghadapi masa-masa kritisnya, maka kepribadiannya akan berkembang semakin mantap. Namun jika yang terjadi sebaliknya, maka remaja akan menghadapi banyak masalah yang cukup rumit di masa depannya.

  Banyak hal yang menandai perubahan pada masa remaja, antara lain perubahan kognitif, moral dan emosi. Tahap perkembangan kognitif remaja berada pada tahap operasional formal yang bersifat lebih abstrak daripada tahap operasional konkret. Pada tahap ini, remaja mampu membayangkan situasi moral, remaja akan berhubungan langsung dengan peraturan serta nilai dan norma ketika harus berinteraksi dengan orang lain. Secara konkret, ada 3 hal penting yang sangat mempengaruhi perkembangan moralnya, yaitu : bagaimana remaja mempertimbangkan atau memikirkan peraturan untuk melakukan tingkah laku etis, bagaimana remaja bertingkah laku dalam situasi moral yang sebenarnya dan bagaimanakah perasaan remaja mengenai masalah moral (Santrock, 2003).

  Secara emosi, remaja juga mengalami banyak perubahan, misalnya : mudah takut, cemas, kuatir, marah, frustrasi, cemburu, iri, ingin tahu, ingin mencintai dan dicintai, sering mengalami kedukaan dan kegembiraan. Pengaruh emosi pada penyesuaian diri remaja dapat bersifat menyenangkan dan juga sebaliknya, hal ini tergantung pada intensitas, mudah meledaknya emosi itu serta persiapan remaja tersebut dalam menghadapi proses penyesuaian itu sendiri.

  Semakin sering remaja mengalami emosi yang menyenangkan, maka remaja juga akan menyukai pengaruh dari emosi tersebut. Jika remaja tidak mengatur penyesuaian emosinya dengan baik, maka hal ini akan menyebabkan pengaruh yang merusak dalam diri, misalnya : agresivitas, pengambilan keputusan yang gegabah serta kesulitan-kesulitan tertentu ketika harus mengambil peran dalam lingkungan sosialnya. Oleh karenanya, remaja harus belajar menguasai emosi- emosinya. Penguasaan emosi ini tidak berarti terjadi represi atau penghilangan emosi secara menyeluruh, namun lebih pada usaha untuk mempelajari suatu situasi dengan sikap yang lebih rasional, sehingga mampu merespon situasi itu dengan pikiran yang jernih untuk menghindari ledakan emosi yang berlebihan.

  Selain mengalami perubahan-perubahan secara kognitif, moral dan emosi, remaja juga harus menyelesaikan tugas perkembangannya. Remaja harus melalui serangkaian tugas perkembangan, yaitu tugas-tugas tertentu dalam rangka meninggalkan pola perilaku kekanak-kanakan untuk menuju kepada pola perilaku yang lebih dewasa. Tugas perkembangan ini muncul karena adanya harapan masyarakat terhadap remaja agar ia mampu menyesuaikan dirinya dengan norma- norma yang berlaku dalam kehidupan sosial. Secara emosi, remaja memiliki beberapa tugas perkembangan, yaitu memperoleh kebebasan emosional, mengetahui dan menerima kemampuan sendiri, memperkuat penguasaan diri atas dasar nilai dan norma. Secara sosial, tugas perkembangan remaja adalah mampu bergaul, menemukan model untuk identifikasi, meninggalkan reaksi dan cara penyesuaian kekanak-kanakan (Gunarsa, 2004).

  Dalam menyelesaikan tugas perkembangannya, remaja mengalami berbagai masalah karena tugas perkembangan itu adalah suatu hal baru bagi mereka. Masalah-masalah ini meliputi masalah emosi dan penyesuaian sosial. Sumber permasalahan yang muncul dapat berasal dari tekanan teman-teman sebaya, tuntutan konformitas serta masalah lain yang tidak kalah penting, yaitu masalah keluarga.

  Keluarga merupakan unit sosial terkecil dimana remaja mengalami masa pembentukan yang pertama bagi penyesuaian sosialnya. Dalam sebuah keluarga, remaja mulai mengembangkan suatu keterikatan tertentu terhadap orangtua. Pada beberapa dekade terakhir, para ahli perkembangan telah mulai menyelidiki orangtua pada saat remaja akan memfasilitasi kecakapan dan kesejahteraan sosial, seperti yang tercermin pada beberapa ciri seperti harga diri, penyesuaian emosi dan kesehatan fisik (Santrock, 2003). Sebagai contoh, remaja yang lebih menunjukkan kepuasan terhadap bantuan yang mereka terima dari orangtua akan memunculkan kesejahteraan emosi dan harga diri yang lebih baik pula dalam dirinya. Sebaliknya, perasaan tertolak oleh orangtua sangat terkait dengan keterlepasan emosi dari orang tua, sehingga hal ini mempengaruhi kepekaannya terhadap daya tarik sosial serta perasaan romantisnya pun akan semakin berkurang. Jadi pada masa remaja, keterikatan terhadap orangtua memiliki fungsi adaptif untuk menyediakan dasar rasa aman sehingga remaja dapat mengeksplorasi lingkungan sosialnya dalam kondisi psikologis yang sehat (Santrock,2003).

  Remaja sangat memerlukan dukungan dan kasih sayang dari keluarga karena keluarga semestinya menjadi komunitas yang paling aman baginya. Jika kondisi dan hubungan dengan keluarganya harmonis dan positif, maka kebutuhan psikologis remaja akan terpenuhi, sehingga hal ini turut membentuk sikap yang positif pula bagi dirinya maupun ketika ia memandang lingkungan di sekitarnya. Bagi remaja yang memiliki kondisi keluarga negatif, artinya iklim keluarga yang tidak mendukung terpenuhinya kebutuhan psikis dan sosialnya, maka ia akan mengalami banyak hambatan dalam perkembangan psikologisnya.

  Beberapa penyebab sehingga iklim keluarga menjadi negatif adalah peristiwa perceraian orangtua, hadirnya keluarga tiri, orangtua yang bekerja dan

  2003). Akhir-akhir ini, tingkat perceraian di seluruh dunia semakin meningkat. Sebagai contoh, tingkat perceraian di Amerika Serikat mencapai 66,6 % dan di Inggris tingkat perceraiannya mencapai 50 % (www.e-psikologi.com). Setiap perceraian selalu menorehkan luka yang mendalam, baik bagi pasangan yang bersangkutan maupun bagi anak-anak mereka. Pada umumnya setiap pasangan yang bercerai, masing-masing akan sibuk mencari pembenaran diri terhadap keputusannya untuk mengakhiri perkawinan mereka. Mereka tidak lagi mempertimbangkan bahwa ada pihak yang sangat menderita terhadap keputusan mereka, yaitu anak-anak. Berbagai kesulitan seringkali menjebak anak-anak akibat peristiwa perceraian orangtuanya. Mereka tidak memiliki siapapun untuk menolong dan mendukung, dan sepertinya tidak seorangpun memahami tekanan yang mereka rasakan sehingga hal ini akan mempengaruhi kesejahteraan emosi dan perilakunya.

  Kesejahteraan emosi dan perilaku anak akan terganggu karena ‘kehilangan’ satu orangtua, sehingga hal ini akan memicu reaksi baru dalam dirinya. Hal-hal yang mempengaruhi reaksi anak terhadap perceraian adalah cara berperilaku sebelum, selama dan sesudah perpisahan orangtua mereka (Cole, 2004). Anak sangat membutuhkan dukungan, kepekaan dan kasih sayang yang lebih besar untuk membantu mengatasi perasaan kehilangan tersebut. Anak juga akan tertekan, merasa bersalah dan sedih sama seperti yang orangtua rasakan. Jika anak tidak mendapat jalan keluar dari masalah ini, maka hal ini akan menimbulkan masalah yang lebih besar lagi ketika mereka memasuki masa bentuk masalah perilaku, kesulitan belajar, atau menarik diri dari lingkungan sosial karena tekanan perceraian.

  Setiap individu memiliki naluri untuk memuaskan kebutuhannya lewat transaksi dengan objek di dunia luar. Dunia luar dapat memberi kepuasan atau mengancam karena lingkungan mengandung daerah yang tidak aman dan berbahaya. Lingkungan dapat mengganggu atau memberikan rasa nyaman bagi individu. Remaja yang mengalami tekanan karena orangtuanya bercerai akan memberikan dampak negatif terhadap perkembangan emosi dalam dirinya, sehingga ia menjadi cemas (Mc Dowell, 2002).

  Kecemasan adalah ketidakmampuan Ego untuk menghadapi serta mengendalikan stimulasi yang berlebihan sehingga Ego menjadi kewalahan (Hall & Lindzey, 1993). Ketika individu tidak mampu menanggulangi kecemasan itu dengan tindakan-tindakan yang efektif, maka hal ini akan menyebabkan peristiwa traumatik dalam dirinya. Salah satu cara untuk menghadapi kecemasan itu adalah dengan membuat Mekanisme Pertahanan Ego. Mekanisme Pertahanan Ego terjadi bila Ego tidak dapat menanggulangi kecemasan dengan cara efektif, sehingga Ego akan kembali pada cara yang tidak realistik.

  Mekanisme pertahanan diri dapat dibedakan berdasarkan tingkat kematangannya yaitu mature atau matang dan immature atau tidak matang.

  Mekanisme pertahanan yang mature adalah : altruism, anticipation, asceticism,

  humor, sublimation dan suppression. Mekanisme yang dimaksudkan oleh Anna

  Freud adalah Mekanisme pertahanan yang immature. (Kaplan, 1994). Jika remaja menggunakan mekanisme pertahanan yang mature, maka proses penyesuaian diri remaja akan menjadi lebih baik lagi. Namun sebaliknya, jika remaja menggunakan mekanisme pertahanan yang immature, maka perkembangan psikologis remaja akan terganggu karena bergantung secara ekstensif pada mekanisme pertahanan diri dapat menjadikan mekanisme itu menetap pada sifat pribadi individu. Hal ini akan membuat individu menjadi semakin sulit untuk mengatasi masalah ; baik kecil maupun besar dengan cara yang efektif (Wilson, 1996). Jadi, mekanisme pertahanan Ego menjadi tidak sehat bila individu terus- menerus mengulang mekanisme itu sehingga akan terbentuk pribadi yang neurotik.

  Semua Mekanisme Pertahanan mempunyai dua ciri umum, yaitu mereka menyangkal, memalsukan atau mendistorsi kenyataan dan mereka bekerja secara tidak sadar sehingga individu tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. Bentuk- bentuk Mekanisme Pertahanan Ego (Bellak, 1997) adalah : denial, proyeksi,

  

represi, formasi reaksi, undoing, isolasi, regresi dan displacement. Sebenarnya

  ketika remaja menghadapi masalah perceraian orangtuanya, mereka tetap berkeinginan agar keadaan keluarganya utuh dan harmonis, namun realitas yang sesungguhnya adalah kedua orangtuanya bercerai. Hal ini menimbulkan kecemasan dalam dirinya, sehingga remaja akan mencari jalan keluar untuk perceraian orangtuanya akan termanifestasi dalam perilakunya, misalnya : remaja melupakan kekecewaannya dengan menekan kekecewaan itu sampai ke alam bawah sadarnya agar ia tidak menyadari hal-hal yang menyakitkan itu, remaja memindahkan rasa kecewanya kepada orang lain atau menunjukkan kebiasaan

  infantile-nya ketika menghadapi kecemasan.

  Penelitian ini ingin mengetahui bagaimanakah mekanisme pertahanan diri dan hal apa saja yang menjadi sumber kecemasan remaja ketika ia menghadapi masalah perceraian orangtuanya dengan subyek yang tinggal di kota Yogyakarta. Peneliti ingin mengetahui bagaimanakah mekanisme pertahanan diri remaja yang ketika menghadapi masalah perceraian orangtua ; karena jika remaja terus menerus mengulang mekanisme pertahanan diri tersebut, maka akan terbentuk kepribadian yang neurotik.

  Mekanisme Pertahanan Diri adalah suatu mekanisme yang dilakukan individu ketika individu berada dalam keadaan cemas. Mekanisme pertahanan diri ini menyangkal kenyataan dan bekerja secara tidak sadar, sehingga individu tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. Mekanisme pertahanan diri merupakan hasil kerja dari Ego yang terancam karena kebutuhan Id yang tidak terpenuhi. Id, Ego dan Superego merupakan fungsi-fungsi kepribadian sebagai suatu keseluruhan dan bukan merupakan tiga bagian yang terasing satu sama lain ( Hall & Lindzey, 1993). Untuk mengatasi kecemasan yang muncul akibat tekanan itulah, maka remaja melakukan mekanisme pertahanan diri sebagai alternatif jalan keluar bagi masalahnya.

RUMUSAN MASALAH

  Permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini adalah : “Apakah muncul Mekanisme Pertahanan Diri pada remaja ketika ia menghadapi masalah perceraian orangtuanya ?, dan jika muncul, bagaimanakah bentuk Mekanisme Pertahanan Ego nya ketika ia menghadapi realitas perceraian kedua orangtuanya itu ?”.

TUJUAN PENELITIAN

  Tujuan dari studi ini adalah mendeskripsikan bentuk Mekanisme Pertahanan Ego pada remaja yang orangtuanya bercerai dengan melakukan studi kasus pada subyek.

MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoretis

  Hasil penelitian ini akan menambah khasanah keilmuan di Fakultas Psikologi Sanata Dharma, khususnya mengenai Mekanisme Pertahanan Ego remaja yang orangtuanya bercerai dan sumber-sumber kecemasan yang dialaminya, serta dalam bidang Psikologi Klinis dan Psikologi Kepribadian. a ) Dalam bidang Psikologi Klinis, memberikan penjelasan mengenai hal-hal yang menjadi sumber kecemasan bagi remaja yang orangtuanya mengalami perceraian.

  b) Dalam bidang Psikologi Kepribadian, menggambarkan Dinamika Mekanisme Pertahanan Diri remaja ketika menghadapi masalah perceraian orangtua.

2. Manfaat Praktis

  Melalui penelitian ini, peneliti berharap dapat memberikan informasi kepada: a) Remaja yang orangtuanya bercerai, agar ia mampu memahami dinamika dirinya sendiri

  b) Orangtua yang bercerai agar mereka dapat memahami kondisi psikologis anak mereka yang turut menjadi bagian dari perceraian mereka.

  c) Pihak-pihak yang mendampingi remaja yang orangtuanya bercerai, seperti guru, konselor atau terapis agar mampu memahami kondisi psikologis remaja dengan orangtuanya serta agar dapat memberi pendampingan psikologis secara lebih maksimal kepada remaja tersebut d) Pasangan suami dan istri yang tidak bercerai agar mereka lebih menyadari bahwa membina keluarga yang harmonis adalah tanggung jawab setiap orangtua dan merupakan hal terpenting bagi remaja, sehingga keluarga itu dapat meningkatkan dan mengelola keharmonisan rumah tangga mereka.

BAB II LANDASAN TEORI A. Masa Remaja Kata remaja berasal dari bahasa Latin yaitu “adolescere”, yang berarti

  “bertumbuh ke arah kedewasaan”. Steinberg (2002) memberikan definisi masa remaja sebagai suatu periode transisi secara biologis, psikologis, sosial dan ekonomi. Menurut Santrock, remaja adalah sebuah masa dimana pengambilan keputusan meningkat (Santrock, 2003). Sedangkan menurut Erikson (Steinberg, 2002), masa remaja adalah masa dimana muncul krisis identitas versus kekaburan peran. Dengan demikian, kesimpulan definisi remaja menurut beberapa pengertian di atas adalah : masa remaja merupakan masa transisi secara biologis, psikologis dan sosial dengan indikator munculnya krisis identitas yang mempengaruhi proses pengambilan sebuah keputusan. Individu mengawali masa remajanya pada usia 10 tahun serta mengakhiri masa remajanya ketika berusia 22 tahun. Pembagian usia pada masa remaja ini adalah : remaja awal yang dimulai dari usia 10 sampai 13 tahun, remaja tengah yang dimulai dari usia 14 sampai 18 tahun dan remaja akhir yang dimulai dari usia 19 sampai 22 tahun (Steinberg, 2002). remaja berada pada tahap operasional formal, yang bersifat lebih abstrak daripada tahap operasional konkret. Pada tahap ini, remaja mampu berpikir secara logis.

  Secara moral, remaja berada pada tahap konvensional, yang berarti remaja sudah dapat melakukan asosiasi konkret untuk membedakan perilaku yang baik dan buruk. Secara emosi, remaja juga mengalami perubahan, yaitu berada pada suatu keadaan emosi yang labil. Emosi remaja masih mudah berubah sesuai dengan kondisi fisik dan lingkungannya. Karena emosi remaja cenderung mudah berubah, maka harapan lingkungan sosial terhadap remaja adalah agar remaja mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungannya itu sehingga tercipta keharmonisan. Dalam proses penyesuaian ini, remaja harus menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya (Gunarsa, 2004), yaitu :

  1. Menerima keadaan fisiknya.

  Pada masa ini, remaja mengalami berbagai perubahan fisik. Perubahan fisik ini menghasilkan panjang lengan dan tungkai maupun tinggi badan yang tidak selalu sesuai dengan harapan remaja maupun lingkungan. Adanya perbedaan antara harapan remaja dan lingkungan dengan keadaan fisiknya akan menimbulkan masalah sehingga sulit baginya untuk menerima kondisi fisiknya itu. Oleh karenanya, remaja harus melalui tugas perkembangan ini dengan cara menyadari permasalahan antara harapan diri dengan lingkungannya serta mulai belajar menerima keadaan fisiknya.

  2. Memperoleh kebebasan emosional.

  Supaya dapat menjadi orang dewasa yang dapat mengambil keputusan secara secara bertahap. Pada masa ini, remaja harus belajar memiliki pikiran yang mampu memandang jauh ke depan. Pikiran itu merupakan hal yang sangat penting bagi remaja ketika ia menghadapi berbagai pilihan, baik dari yang ringan sampai berat, karena dengan demikian ia akan mampu melihat realitas dengan pandangan yang dewasa. Pada saat ini, remaja juga perlu merenggangkan ikatan emosi dengan orangtuanya agar dapat belajar memilih dan mengambil keputusan sendiri. Pada masa ini orangtua harus membimbing remaja sehingga ia dapat memilih dan memperhatikan keputusan dari berbagai segi. Dengan bekal “kebebasan emosional” berlandaskan kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan layak dipilih itulah, maka remaja dapat bergaul dan menjalankan tugas perkembangan berikutnya.

  3. Mampu bergaul.

  Untuk mempersiapkan diri masuk ke masa dewasa, remaja harus belajar bergaul. Pergaulan ini meliputi suatu usaha untuk melakukan hubungan sosial dengan teman sebaya dan tidak sebaya, sejenis maupun tidak sejenis. Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi remaja dalam melakukan pergaulan adalah kondisi fisiknya. Setelah remaja menyesuaikan diri dengan ukuran tubuh dan keadaan fisiknya, maka remaja akan lebih mudah bergaul. Pada saat inilah “body image” atau persepsi terhadap tubuh akan mempengaruhi kepercayaan dirinya.

  4. Menemukan model untuk identifikasi.

  Menurut Erikson, pada masa ini remaja harus menemukan identitas dirinya. Ia mengalami berbagai macam perubahan. Pada saat-saat seperti inilah, remaja sangat membutuhkan suatu ikatan pribadi. Ia harus mendapatkan pengetahuan dan contoh nyata dalam kehidupan melalui model yang ada dalam masyarakat. Remaja yang mengagumi seseorang yang sukses dalam kehidupan masyarakat akan sangat mudah mengidentifikasi model tersebut. Remaja kagum terhadap tokoh tertentu, ingin menjadi sama dengan tokoh tersebut sehingga hal itu akan membantunya memasuki tahap perkembangan berikutnya.

  5. Mengetahui dan menerima kemampuan sendiri.

  Seiring dengan bertambah kritisnya pemikiran remaja, maka hal ini akan membangkitkan minatnya untuk merancang keinginanya di masa depan, misalnya mengenai pilihan pekerjaan, calon pasangan hidup yang ideal serta tempat tinggalnya kelak. Ia sering menjadikan dirinya sebagai obyek pemikirannya sendiri sehingga hal ini dapat menghasilkan penilaian positif maupun kritik terhadap diri sendiri. Setelah melakukan refleksi diri, remaja akan memperoleh pengetahuan tentang diri dan kemampuannya. Dengan kemampuan berpikir abstrak, maka remaja juga memiliki kemampuan untuk menerapkan kelebihan-kelebihannya.

  6. Memperkuat penguasaan diri berdasarkan nilai dan norma.

  Remaja memerlukan nilai dan norma karena kondisinya yang labil, sehingga melalui nilai dan norma itu remaja dapat lebih terarah. Nilai dan norma tersebut akan menjadi suatu “falsafah hidup”, sebagai pegangan dalam pengendalian berbagai keinginan yang ada di dalam dirinya. Menurut G. dalam pembentukan nilai. Pembentukan nilai merupakan suatu proses emosional dan intelektual remaja. Hal yang sangat mempengaruhi pembentukan nilai ini adalah interaksi sosial. Pada masa pembentukan nilai, pengaruh pemimpin kelompok dan teman sebaya lebih besar dibanding pengaruh orangtua. Remaja juga lebih mudah menyerap nilai-nilai dan norma orang yang dikaguminya (figur identifikasi), seperti guru dan tokoh agama.

  7. Meninggalkan reaksi dan cara penyesuaian yang bersifat kekanak-kanakan.

  Tanda reaksi dan cara penyesuaian yang kekanak-kanakan adalah sifat egosentris. Seorang anak akan memandang segala sesuatu dari sudut pandangnya sendiri, terpusat pada keinginan dan kebutuhannya sendiri. Emosi dan kebutuhannya sangat mempengaruhi semua reaksi dan perilakunya, sehingga sulit menunda terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu. Kondisi ini berbeda dengan remaja. Lingkungan sosial mengharapkan agar remaja dapat meninggalkan kecenderungan serta keinginan untuk menang sendiri. Selama masa peralihan ini, remaja harus belajar melihat realitas dari sudut pandang orang lain. Remaja harus belajar menyesuaikan diri dalam hubungan sosial yang lebih luas, dengan tugas perkembangan yang lebih majemuk sehingga remaja harus belajar berpikir obyektif, selalu melakukan refleksi dan berusaha menguasai emosi-emosinya. Jika remaja sudah dapat melakukan hal-hal itu, maka remaja telah meninggalkan reaksi dan cara penyesuaian yang bersifat kekanak-kanakan.

  1. Definisi Perceraian

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), kata cerai memiliki beberapa arti, yaitu pisah dan putus hubungan sebagai suami istri.

  Menurut Webster Dictionary (1983), perceraian adalah perpisahan yang resmi antara suami dan istri yang dilakukan oleh pengadilan.

  Dengan demikian, kesimpulan definisi perceraian menurut beberapa pengertian di atas adalah : perceraian merupakan perpisahan resmi suami dan istri selagi keduanya masih hidup yang dilakukan oleh pengadilan (sah secara hukum).

  2. Dampak perceraian

  Ketika orangtua bercerai, maka remaja akan mengalami dampak- dampak tertentu. Dampak perceraian itu menjadi tekanan emosi bagi remaja, sehingga hal ini menghasilkan sumber kecemasan baginya. Secara hukum, dampak-dampak perceraian dapat dijelaskan berdasarkan Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUHP) (Prawirohamidjojo, 1986).

  Dampak-dampak perceraian itu adalah :

  1. Terhadap istri dan kekayaan. Istri mendapatkan kembali statusnya sebagai wanita yang tidak kawin. Kebersamaan dalam harta perkawinan menjadi terhenti dan merupakan saat untuk pemisahan dan pembagiannya.

  Pada KUHP, terdapat 2 pasal yang menjelaskan lebih jauh lagi tentang a. Pasal 223 KUHP Terhadap pihak yang dikenai putusan perceraian, maka pihak itu kehilangan semua keuntungan yang disanggupkan pihak yang lain dalam masa perkawinan.

  Pasal ini memiliki arti bahwa segala hal yang telah dijanjikan oleh salah satu pihak terhadap pihak lain, maka setelah terjadi perceraian maka perjanjian itu dihapus walaupun janji itu belum terpenuhi.

  b. Pasal 225 KUHP Perkawinan yang diputuskan terhadap sebuah pihak sesuai dengan permintaan cerainya, namun ia tidak mempunyai penghasilan untuk hidup, maka pengadilan akan memberikan nafkah kehidupannya dari barang- barang pihak yang lain sejumlah tertentu.

  Pasal ini memiliki arti bahwa kepada pihak yang menang dalam perkara perceraian itu, maka ada kemungkinan mendapatkan nafkah dari pihak yang kalah bilamana ia tidak mempunyai penghasilan yang cukup.

  2. Terhadap anak-anak yang belum dewasa.

  Pada KUHP, terdapat 1 pasal yang menjelaskan lebih jauh lagi tentang akibat perceraian terhadap anak-anak yang belum dewasa, yaitu : a.

  Pasal 229 ayat 1 Sesudah putusan perceraian dinyatakan, maka setelah mendengarkan pendapat dan pikiran orangtua dan keluarga anak-anak yang belum dewasa, maka pengadilan memutuskan terhadap tiap-tiap anak itu siapa mengingat apakah mereka masih mempunyai kekuasaan orangtua (kalau sudah dihentikan atau dicabut, maka tidak dapat menjadi wali). Keputusan untuk menjadi wali terletak pada wewenang hakim, hanya saja dalam hal ini harus diperhatikan kepentingan anak.

  Dari berbagai dampak perceraian tersebut, timbullah tekanan emosi dalam diri remaja itu sehingga hal inilah yang akan menjadi sumber kecemasannya. Sumber kecemasan tersebut adalah (Mc Gregor, 2004) :

  1. Kehilangan kasih sayang dan dukungan yang sangat dibutuhkan dari salah satu orangtua. Setelah terjadi perceraian, biasanya remaja akan tinggal dengan salah satu orangtuanya. Hal ini mungkin saja tidak sesuai dengan keinginannya, sehingga remaja menjadi cemas karena sebenarnya ia tidak ingin berpisah dengan orangtuanya itu.

  2. Keharusan untuk menerima situasi dan keluarga yang baru. Ketika terjadi perceraian, maka salah satu orangtua sangat mungkin untuk menikah lagi karena status orangtua menjadi lajang kembali. Ketika hal ini terjadi, maka akan timbul kecemasan di dalam dirinya karena ia harus beradaptasi dengan calon orangtua baru yang belum tentu sesuai dengan keinginannya

  3. Kehilangan suatu kondisi saling mencintai yang sudah terjalin dengan saudara. Setelah perceraian, maka keputusan tentang perwalian yang ditentukan oleh pengadilan akan berlaku. Hal ini berarti remaja harus tinggal dengan salah satu wali yang telah ditunjuk dan jika ia memiliki saudara kandung, maka ia dapat terpisah dengan saudaranya sesuai dengan keputusan pengadilan.

  4. Kekurangan dukungan finansial. Sebelum bercerai, orangtua masih mampu membiayai semua keperluan anaknya. Setelah bercerai, salah satu orangtua yang tinggal dengan anaknya itu harus mengemban lebih banyak tanggung jawab lagi selain mencari nafkah, misalnya mengasuh anaknya itu. Kondisi ini akan menimbulkan kekhawatiran dalam diri serta mendorongnya untuk mengurangi beban finansial orangtuanya dengan jalan mencari pekerjaan. Hal itu juga akan mendorongnya untuk merasa lebih banyak bertanggung jawab dalam urusan orang dewasa.

  5. Harus menjalankan tugas dan kewajiban yang baru. Ketika terjadi perceraian, maka lingkungan menuntut agar remaja dapat lebih cepat mandiri, misalnya agar dengan segera remaja dapat mengambil keputusan-keputusan penting dalam hidupnya. Ketika remaja mengetahui bahwa orangtuanya bercerai, maka hal tersebut juga akan mempengaruhi proses pengambilan keputusannya. Selain dalam kondisi tertekan karena perceraian orangtuanya, lingkungan juga menuntut agar remaja menjadi lebih matang karena lingkungan menganggap bahwa remaja telah sedikit banyak mengetahui dan merasakan hubungan keluarga, terutama dalam menghadapi keluarga yang tidak harmonis.

  Lingkungan juga akan menuntut remaja agar dapat segera mengambil keputusan, terutama pada hal-hal yang penting, misalnya pilihan yang menjalankan tugas dan kewajiban yang baru ; sehingga hal itu akan menimbulkan kecemasan di dalam dirinya karena lingkungan menuntutnya untuk segera mandiri.

  6. Pandangan bahwa keluarga yang bercerai adalah suatu hal yang negatif.

  Ketika terjadi perceraian, remaja akan membandingkan keadaan keluarganya dengan keluarga lain yang tidak mengalami perceraian. Ia melakukan hal ini karena ia merasa ada suatu hal yang berbeda dengan keluarga lainnya. Ketika kawan dekatnya, tetangga maupun orang lain mengetahui peristiwa perceraian orangtuanya, maka hal itu akan menimbulkan kecemasan dalam dirinya karena ia merasa malu dan takut dianggap sebagai keluarga yang tidak harmonis. Remaja akan menjadi lebih mudah menerima pandangan-pandangan dari lingkungan sekitarnya karena emosinya berada dalam kondisi yang tidak stabil dan tingkah lakunya menjadi serba salah. Pandangan-pandangan bahwa keluarga yang bercerai itu adalah suatu hal yang negatif akan membuat remaja itu menjadi cemas.

3. Reaksi remaja terhadap perceraian Orang tua

  Mc Dowell (2002) menggambarkan kondisi emosi remaja ketika menghadapi peristiwa perceraian orangtuanya, yaitu : a. Remaja tidak dapat mempercayai bahwa telah terjadi perceraian di keluarganya dan tidak ingin membicarakan hal tersebut kepada orang lain. orangtuanya tidak pernah pergi atau terus membicarakan hal di luar perceraian untuk menutupi keresahan dirinya.

  b. Remaja merasa malu dan dipermalukan karena perpisahan orangtuanya.

  Mereka tidak ingin memberitahu sahabat-sahabat dekatnya mengenai peristiwa yang sedang terjadi di dalam keluarganya. Remaja melakukan hal itu karena dengan adanya perpisahan tersebut, maka secara tidak langsung ia sedang membuktikan kepada teman-temannya bahwa ada sesuatu yang tidak beres di dalam keluarganya.

  c. Remaja merasa bersalah karena merasa bertanggung jawab terhadap perceraian orangtuanya yang disebabkan oleh ke-tidaktaatannya terhadap orangtua. Remaja mulai bertanya-tanya apakah ia telah menjadi faktor penyebab terjadinya perceraian orangtuanya. Ia merasa bertanggung jawab atas perceraian orangtuanya karena ia merasa bahwa ia telah memberontak terhadap orangtuanya serta tidak mampu menyenangkan hati orangtuanya.

  Dari asumsi-asumsi itulah, maka remaja merasa berkewajiban untuk mempersatukan kembali kedua orangtuanya.

  d. Remaja merasa marah dan jengkel karena muncul perasaan diabaikan oleh orangtua yang bercerai. Perasaan jengkel dan marah itu juga muncul karena sebenarnya ia tidak suka berpisah dengan salah satu orangtuanya. Perasaan diabaikan dapat memicu amarah si remaja. Kejengkelan yang muncul di dalam diri remaja juga sangat ditentukan oleh perasaannya sendiri karena ia merasa ada perbedaan dengan teman-teman yang e. Remaja merasa khawatir dan takut dalam menghadapi masalah perceraian orangtuanya tersebut. Ketakutan ini berasal dari pikiran tentang masa depannya, misalnya mengenai studi dan tempat tinggalnya.

  f. Remaja merasa lega karena orangtuanya bercerai. Kelegaan ini muncul karena adanya pemikiran bahwa lebih baik orangtua berpisah daripada terus-menerus bertengkar. Secara tidak langsung, kelegaan itu juga menjadi cara remaja untuk ”membalas dendam” kepada orangtuanya.