PENGEMBANGAN MODEL PEMBINAAN KARAKTER MAHASISWA MELALUI KOLABORASI DOSEN PEMBIMBING, PEMILIK KOS, PEMUKA AGAMA, DAN KETUA RT PADA MAHASISWA STAIN SALATIGA TAHUN 2012

  

PENGEMBANGAN MODEL PEMBINAAN

KARAKTER MAHASISWA MELALUI KOLABORASI

DOSEN PEMBIMBING, PEMILIK KOS, PEMUKA

AGAMA, DAN KETUA RT PADA MAHASISWA

STAIN SALATIGA TAHUN 2012

  

Laporan Penelitian Kelembagaan

Dibiayai DIPA STAIN Salatiga Tahun 2012

Disusun Oleh Tim:

Drs. Bahroni, M. Pd. (Ketua)

  

Mukti Ali, M. Hum. (Anggota)

Dra. Lilik Sriyanti, M. Si. (Anggota)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

(STAIN) SALATIGA

  

2012

KATA PENGANTAR

  Alhamdulillah, berkat rahmat Allah SWT dan kerjasama dari Tim Peneliti, penyusunan laporan penelitian kelembagaan dengan judul ”Pengembangan Model Pembinaan Karakter Mahasiswa Melalui Kolaborasi Dosen Pembimbing, Pemilik Kos, Pemuka Agama, dan Ketua RT Pada Mahasiswa STAIN Salatiga Tahun 2012” dapat terselesaikan dengan baik.

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan rujukan dalam upaya pembinaan mahasiswa STAIN Salatiga menuju terwujudnya karakter/akhlaq mahasiswa yang mulia serta menciptakan suasana kampus yang religius.

  Tim Peneliti sangat mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif dari berbagai pihak terhadap kekurangan-kekurangan dalam penelitian ini untuk perbaikan dalam penelitian selanjutnya.

  

ABSTRAK

  Pengembangan Model Pembinaan Karakter Mahasiswa Melalui Kolaborasi Dosen Pembimbing, Pemilik Kos, Pemuka Agama, dan Ketua Rt Pada Mahasiswa STAIN Salatiga Tahun 2012. Drs. Bahroni, M. Pd. dkk.

  Kata kunci : pembinaan, karakter, mahasiswa Karakter bangsa adalah ciri khas suatu bangsa yang tercermin pada tingkah laku dan pribadi warga suatu negara. Sikap tersebut dapat dipengaruhi oleh sesuatu yang given (sudah ada dari sananya atau kodrat) dan dapat pila karena willed (yang diusahakan) demi kemajuan bangsa dan negara (Hanum, 2009). Oleh sebab itu, pemerintah suatu negara memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan karakter bangsa, melalui visi pembangunannya. Para pemimpin besar atau pendiri negara biasanya telah meletakkan dasar-dasar filosofi yang tidak hanya menjadi landasan kehidupan bernegara, namun juga dapat ditransformasikan dalam nilai-nilai kehidupan warga negara.

   Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) mengidentifikasi persoalan

  pembinaan karakter mahasiswa STAIN Salatiga, baik yang dipersepsikan oleh para mahasiswa sendiri, orang tua mahasiswa, pemilik kos, dan ketua RT serta masyarakat di tempat kos mahasiswa, dan para dosen pembimbing; dan (2) merumuskan model yang efektif bagi pembinaan karakter mahasiswa STAIN Salatiga melalui kolaborasi dosen pembimbing, pemilik kos, dan ketua RT tempat kos mahasiswa.

  Kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) dari sisi aturan yang tertulis dalam tatatertib mahasiswa sebenarnya sudah cukup memadai, namun belum ada kedisplinan dari lembaga dalam menegakkan aturan tersebut sehingga pelanggaran terhadap aturan yang ada cenderung dibiarkan dan tidak diberi sanksi yang terukur; (2) pembinaan mahasiswa sudah dilakukan melalui sejumlah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), namun ketika ada sebagian UKM yang justru kegiatannya dikesankan oleh banyak pihak melenceng dari visi dan missi STAIN Salatiga, lembaga belum mengambil tindakan yang signifikan untuk memperbaikinya; (3) setiap kelompok mahasiswa sudah ada Dosen Pembimbing Akademiknya, namun peran Dosen Pembimbing Akademik sebagian besar belum optimal, masih sebatas berperan dalam hal-hal yang bersifat administratif akademik, belum menjangkau peran yang lebih esensial dalam hal pembinaan karakter mahasiswa; (4) pembinaan mahasiswa sebenarnya telah dimulai sejak mahasiswa baru mengikuti kegiatan Orientasi Pengenalan Akademik dan Kemahasiswaan (OPAK), namun momentum penting untuk menanamkan nilai- nilai karakter yang baik ini belum dimanfaatkan oleh lembaga secara optimal karena pelaksana kegiatan ini masih didominasi oleh mahasiswa. Ironisnya, sejumlah mahasiswa senior yang ”bermasalah” dalam bidang akademik dan etika justru ikut menangani kegiatan penting ini. Oleh karena itu, wajar jika dari 800-an mahasiswa baru angkatan 2012, hampir 400 mahasiswa menyatakan bahwa pelaksanaan OPAK 2012 kurang baik dan kurang Islami; dan (5) belum adanya kekompakan dan komitmen yang kuat dari pimpinan, dosen, dan karyawan dalam pembinaan karakter mahasiswa. Begitu pula belum ada sinergitas dan kerjasama yang baik antara warga kampus dengan orangtua/wali mahasiswa, pemilik kos, pemuka agama, dan ketua RT di sekitar STAIN Salatiga.

DAFTAR ISI

  BAB I : PENDAHULUAN BAB II : KAJIAN PUSTAKA BAB III : METODE PENELITIAN BAB IV : PAPARAN DATA PENELITIAN BAB V : PEMBAHASAN BAB VI : PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karakter bangsa adalah ciri khas suatu bangsa yang tercermin pada

  tingkah laku dan pribadi warga suatu negara. Sikap tersebut dapat dipengaruhi oleh sesuatu yang given (sudah ada dari sananya atau kodrat) dan dapat pila karena willed (yang diusahakan) demi kemajuan bangsa dan negara (Hanum, 2009). Oleh sebab itu, pemerintah suatu negara memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan karakter bangsa, melalui visi pembangunannya.

  Para pemimpin besar atau pendiri negara biasanya telah meletakkan dasar- dasar filosofi yang tidak hanya menjadi landasan kehidupan bernegara, namun juga dapat ditransformasikan dalam nilai-nilai kehidupan warga negara.

  Rumusan fungsi dan tujuan pendidikan nasional dalam Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) bab II pasal 3 adalah sebagai berikut: "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Depag. RI, 2006).

  Dalam UU Sisdiknas di atas dinyatakan secara eksplisit bahwa tujuan pendidikan nasional yang menempati urutan pertama adalah untuk membentuk warganegara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah swt.), dan urutan yang kedua adalah membentuk warganegara Indonesia yang berakhlak mulia. Penempatan kata "takwa" dan "akhlak mulia" di urutan paling awal dalam rumusan tujuan pendidikan nasional ini seharusnya dipahami oleh semua pakar dan praktisi pendidikan di negeri ini bahwa semangat UU Sisdiknas tersebut adalah ingin mewujudkan warganegara Indonesia yang bertakwa dan berakhlak mulia. Artinya, semua aktivitas pendidikan nasional, mulai dari filosofi, perencanaan, pelaksanaan, dan model-model evaluasinya semestinya diarahkan dalam rangka mewujudkan tujuan utama tersebut. Dengan kata lain, pendidikan/pembinaan karakter merupakan fungsi pokok dari pendidikan, baik yang dilaksanakan pada jalur pendidikan informal, formal, maupun nonformal.

  Dalam Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter (2010), pendidikan karakter disebutkan sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk member keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Atas dasar itu, pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tantang hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor). Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan bukan saja aspek “pengetahuan yang baik (moral knowing), akan tetapi juga “ merasakan dengan baik atau loving good (moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action). Pendidikan karakter menekankan pada

  habit atau kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan dan dilakukan.

  Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu (1), Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja Keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, dan (18) Tanggung Jawab (Pusat Kurikulum, 2009:9-10).

  Pendidikan dan pembinaan karakter di perguruan tinggi Islam negeri (PTAIN) tentu lebih dituntut oleh masyarakat. Secar sepesifik, pembinaan karakter mahasiswa PTAIN harus diarahkan pada terbentuknya sikap dan perilaku etis, yang meliputi: istiqamah (integritas), ikhlas, jihad, dan amal saleh. Energy positif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter, yaitu orng yang bertaqwa, memiliki integritas (nafs

  

al-mutmainnah) dan ber amal saleh. Aktualisasi orng yang berkualitas ini

  dalam hidup dan bekerja akan melahirkan akhlak budi pekerti yang luhur karena memiliki personality (integritas, komitmen dan dedikasi), capacity (kecakapan) dan competency yang bagus pula (professional) (Tobroni, 2011).

  Ironisnya, akhir-akhir ini persoalan pendidikan dan pembinaan karakter mahasiswa PTAIN banyak mendapat sorotan. Alih-alih menjadi panutan dalam religiusitas, pendidikan di PTAIN dipandang telah melenceng dari misi pendiriannya. Munculnya buku yang berjudul Ada Permutadan di

  

IAIN yang ditulis oleh Hartono Jaiz dan diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar

  Jakarta pada tahun 2005, sempat menggegerkan PTAIN di Indonesia, utamanya di Jakarta dan Yogyakarta. Karena berdasarkan pemaparan buku tersebut bahwa IAIN dan kawan-kawannya, yang dulu menjadi tumpuan harapan bagi masyarakat Indonesia untuk melakukan dakwah dan sekaligus menjadi ting-tangnya segala permasalahan keagamaan di Indonesia, telah berubah arah, yaitu dari dakwah keislaman kepada pemurtadan.

  Demikian menurut mereka, karena PTAIN di Indonesia, tidak lagi menjadikan kampus sebagai sarana untuk mendidik akhlak dan perilaku yang baik, tetapi hanya dijadikan sebagai sarana untuk mengasah otak belaka. Sebagai akibatnya, masalah-masalah keagamaan hanya dijadikan sebagai wacana yang selalu didiskusikan dan dibicarakan, tetapi tidak diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan lebih dari itu, banyak di antara mahasiswa dan lulusan PTAIN tidak mau shalat dan enggan menjalankan syariat Islam. Di samping itu, pemikiran Islam liberal yang belakangan ini sedang naik daun itu, dijadikan sebagai “trend pemikiran” utama di kampus- kampus itu, sehingga banyak kalangan menilai bahwa PTAIN telah kehilangan “sifat dasar”nya dan berubah menjadi agen barat untuk “membaratkan” pemikiran para lulusannya. Karena itu pula, banyak pengamat menilai bahwa PTAIN di Indonesia telah kehilangan watak kulturalnya, yang di samping memperhatikan aspek-aspek kognitif-intelektual, juga memperhatikan aspek- aspek afektif, psikomotorik, dan spiritual (Miftahul Huda, 2006. http://drhmiftahulhudamag.blogspot.com/2009).

  Persoalan pembinaan karakter mahasiswa PTAIN yang belum tersedia sarana ma’had (asrama) yang mampu menampung seluruh mahasiswa.

  Pengawasan terhadap kehidupan dan aktivitas mahasiswa di luar kampus, bukanlah persoalan yang mudah. Oleh karena itu, faktor individu mahasiswa dengan segala heterogenitasnya sangat dominan. Dalam konteks STAIN Salatiga, dapat diidentifikasi paling tidak terdapat empat faktor yang mempengaruhi pembinaan karakter dan perilaku mahasiswa. Pertama, mahasiswa STAIN mempunyai latar belakang keluarga yang heterogen dari sisi keberagamaan, bukan hanya dari kalangan santri.

  

Kedua, dalam usia mahasiswa, secara umum karakter/kepribadian seorang

  anak telah terbentuk oleh lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat di mana merka dibesarkan. Ketiga, mahasiswa STAIN Salatiga memiliki latar belakang pendidikan yang heterogen, tidak hanya berasal dari madrasah/lembaga pendidikan keagamaan. Keempat, dalam sitem pendidikan tinggi secara umum, dan STAIN Salatiga pada khususnya interaksi mahasiswa dengan dosen (sampai saat ini) sangat terbatas pada situasi perkuliahan dan pembimbimg akademik. Sangat sedikit forum dan media yang menyambungkan dosen dengan mahasiswa di luar perkuliahan, khususnya yang berkaitan dengan pembinaan kepribadian mahasiswa.

  Meski demikian hal di atas tentu tidak boleh menjadi alasan bagi lembaga untuk lepas tangan dari tanggung jawab pembinaan karakter mahasiswa. Karena kenyataannya walaupun mahasiswa dianggap telah dewasa, namun hakekatnya masih memerlukan pendampingan dan pembinaan untuk menemukan jatidiri dan menempa kepribadian sehingga memiliki karakter yang unggul, tangguh, dan religius. Pembinaan religius ini penting agar mahasiswa memiliki self control, ketika mereka jauh dari keluarga, serta bebas dari pengawasan kampus di luar jam kuliah. Hasil Penelitian Nur Afida, 2009 (http://digilib.sunan-ampel.ac.id/, diakses tanggal 16 April 2012), menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara tingkat religiusitas dengan self regulation mahasiswa.

  Berdasarkan latar belakang di atas, diperlukan adanya pembinaan karakter mahasiswa, khususnya yang tinggal di tempat kos, dengan melibatkan dosen, pemilik kos, serta ketua RT dalam suatu bentuk kolaborasi yang efektif.

B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

  1. Bagaimanakah gambaran proses pembentukan karakter mahasiswa STAIN Salatiga selama ini?

  2. Masalah-masalah apakah yang dirasakan oleh mahasiswa, orang tua, pemilik kos, dan masyarakat sekitar, serta para dosen dalam kaitannya dengan pembinaan karakter mahasiswa?

  3. Bagaimanakah desain model pembinaan kareakter mahasiswa melalui kolaborasi antara dosen pembimbing, pemilik kos, dan ketua RT?

  4. Bagaimana dampak penerapan model pembinaan karakter mahasiswa melalui kolaborasi tersebut?

  C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk:

  1. Mengidentifikasi persoalan pembinaan karakter mahasiswa STAIN Salatiga, baik yang dipersepsikan oleh para mahasiswa sendiri, orang tua mahasiswa, pemilik kos, dan ketua RT serta masyarakat di tempat kos mahasiswa, dan para dosen pembimbing.

  2. Merumuskan model yang efektif bagi pembinaan karakter mahasiswa STAIN Salatiga melalui kolaborasi dosen pembimbing, pemilik kos, dan ketua RT tempat kos mahasiswa.

  D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut.

  Secara teoritik, temuan penelitian ini akan memberikan sumbangan pemahaman tentang problematika pembinaan karakter mahasiswa, sebagai bagian dari konsep pendidikan di kampus yang selama ini belum banyak tergarap.

  Dari segi praksis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak sebagai berikut:

  1. STAIN Salatiga khususnya, dan perguruan tinggi Islam pada umumnya dapat memanfaatkan model yang dihasilkan untuk mengantarkan mahasiswa memiliki karakter yang unggul, tidak saja melalui proses pembelajaran di kampus, namun juga kolaborasi dengan berbagai pihak.

  2. Orang tua mahasiswa dapat melihat potret kehidupan putra-putrinya di luar perkuliahan, sehingga dapat memberikan bekal pembinaan dalam rangka membentuk karakter yang baik dan Islami.

  3. Para pemilik tempat kos, pemuka agama/masyarakat di daerah tempat tinggal mahasiswa, dapat menjalin hubungan timbal balik dengan pihak kampus, sehingga dapat bersama-sama memfasilitasi tumbuh kembang mahasiswa guna menemukan jatidiri yang berkarakter mulia.

E. Model Hipotetik

  Berdasarkan kajian teori pembinaan karakter mahasiswa dan pengamatan di lapangan, diajukan hipotesis berupa “Model Pembinaan Karakter Mahasiswa melalui Kolaborasi Dosen Pembimbing, Pemilik Kos, dan Ketua RT tempat Kos Mahasiswa” sebagaimana divisualisasikan pada gambar sebagai berikut.

  PENGEMBANGAN MODEL PEMBINAAN KARAKTER MEHASISWA FGD Peneliti FGD Bersama FGD Bersama

  Bersama Mahasiswa Pemilik Kos/RT Dosen

  PERUMUSAN MODEL EVALUASI RENCANA

  IMPLEMENTASI PEMBINAAN Evaluasi

  Implementasi Oleh Tujuan

  Penyelengga Dosen Pembimbing raan

  Materi Implementasi Oleh

  Evaluasi Pemilik Kos

  Metode Pencapaian

  Implementasi Oleh Tujuan

  Alat Pemuka Agama

  Pembinaan evaluasi (Pengurus Masjid/ Mushola)

  Implementasi Oleh Ketua RT

  EVALUASI DAN PERBAIKAN MODEL PEMBAKUAN DAN IMPLEMENTASI MODEL PEMBINAAN KARAKTER MAHASISWA

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Model Kolaboratif

  1. Model Shertzer & Stone (1982:62) mengemukakan bahwa “model refers

  to the representation from which a final product is abstracted of its inherent worth” . Model menunjuk pada gambaran dari sebuah hasil akhir

  yang diabstraksikan karena nilai-nilai yang melekat atau telah menjadi sifatnya. Mills et al (1989:4) mengemukakan bahwa model adalah bentuk representasi akurat, sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan pijakan yang terpresentasi oleh model itu. Jadi model atau pola pada hakikatnya merupakan visualisasi atau konstruksi konkret dari suatu konsep. Visualisasi atau konstruksi itu dirumuskan melalui upaya mental berupa cara berpikir (ways of thinking) tertentu untuk melakukan konkretisasi atau fenomena abstrak. Selanjutnya Shertzer & Stone (1982:62) menjelaskan komponen-komponen yang terkandung dalam sebuah model, yaitu: historical context, rational, and/or basic assumtion, advantages and

  disadvantages outcomes and/or implication. Sedangkan Corey (1977:10)

  menggunakan komponen-komponen: introduction, key concept, the therapeutic, process, aplication: therapeuthic, techniques and pocedures.

  Sementara Kartadinata (2008) mengemukakan bahwa: “model merupakan perangkat asumsi, proposisi atau prinsip yang terverifikasi secara empirik yang diorganisasikan ke dalam sebuah struktur (kerja) untuk menjelaskan, memprediksi, dan mengendalikan perilaku atau arah tindakan”. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa model adalah suatu rencana atau pola kegiatan yang dapat digunakan untuk membentuk, merancang, dan memandu suatu kegiatan tertentu.

  Dalam konteks pembelajaran, Chauhan (Rochyadi, E. 2010:44) mengemukakan bahwa “model of teaching can be defined as an

  

intructional design with describes the process of specifying and producing

environment situsional with cause the student to interact in such away that

spesific change occurs in the behavior”. Sejalan dengan pernyataan

  tersebut Reigluth (1983) mengemukakan bahwa “intructional model is

  

merely a set of strategi components, it is complate method with all of it

parts (elementary components) describes in details”. Model pembelajaran

  merupakan suatu kumpulan tentang komponen-komponen strategi, hal itu merupakan suatu metode yang lengkap yang menguraikan semua bagian- bagiannya (komponen-komponen dasar) secara rinci.

  Joice & Weil (1980:1) mengemukakan bahwa “a model of teaching

  

is a plan or pattern that can be used to shape curriculum (long-term

course of studies) to design instructional materials and to guide

instructional in the class room and other settings” selanjutnya Joice &

  Weil (1980:191-194) mengemukakan enam komponen yang terkandung dalam model pembelajaran: 1) orientasi; orientasi model mencakup tujuan, asumsi teoretik, prinsip dan konsep umum, yang terkandung dalam model; 2) pentahapan (syntax) gambaran model yang diuraikan dalam serangkaian kegiatan yang konkret di kelas; 3) sistem sosial yang dikembangkan; gambaran peran dan hubungan guru-siswa dan norma apa yang mengikat mereka di kelas; 4) prinsip-prinsip mereaksi ; bagaimana guru menghargai dan merespon siswa; 5) sistem penunjang yang diharapkan; gambaran tentang pemanfaatan fasilitas pendukung yang mendorong siswa mudah belajar; dan 6) dampak instruksional dan penyerta; dampak yang ditimbulkan baik langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan pendapat para ahli pendidikan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa model dapat diartikan sebagai kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan tertentu

  Berdasarkan komponen-komponen model yang dikemukakan di atas, maka komponen-komponen model pengembangan karakter mahasiswa meliputi: (1) rasional, (2) visi dan misi; (3) tujuan; (4) asumsi dasar dan prinsip kerja; (5) pendukung sistem; (6) teknik dan prosedur yang meliputi pentahapan (syntax) gambaran model yang diuraikan dalam serangkaian kegiatan secara.

  2. Kolaboratif Kolaborasi berasal dari bahasa Inggris ‘collaborate’ yang artinya bekerjasama. Bekerjasama pada umumnya diperlukan dalam sebuah tim dan merupakan cara yang digunakan para profesional untuk mencapai tujuan bersama, sebagaimana diungkap oleh Frans & Bursuck (1994:76) yang mengatakan bahwa “collaboration is a style professional chose to

  use in order to accomplish a goal they share”. Kolaborasi merupakan

  proses interprofesional untuk mengkomunikasikan dan pengambilan keputusan dari beberapa pengetahuan dan ketrampilan yang terpisah-pisah menjadi lebih sinergi (National Health and Medical Reseach Council, 2010 : 4). Lebih jauh dijelaskan bahwa kolaborasi tidak sekedar bekerja yang positif yang melibatkan beberapa profesional, melainkan sebuah cara kerja untuk mengorganisir, melaksanakan jaringan kerjasama dalam kelompok secara efektif dan komprehensif dengan melibatkan sumber daya yang tersedia. Johnson & Johnson (1987) menyatakan bahwa kerjasama (cooperating, collaborate, joining together) adalah keikutsertaan individu-individu dalam suatu kegiatan yang membentuk suatu hubungan interpersonal antar anggota dalam sebuah tim. Individu yang terlibat dalam kolaborasi mempunyai arah dan tujuan yang tidak berbeda, karenanya tim harus melakukan perencanaan bersama dan melaksanakannya secara bersama pula, sebagaimana diungkap oleh Idol & Baran (dalam Schmidt 1999) bahwa : “ in collaboration, planning and

  implementing are joint effort”. Keberhasilan sebuah tim memerlukan partisipasi dan keterlibatan secara aktif dari anggota tim.

  Cook & Frend (dalam Frans & Bursuck 1996) mengemukakan beberapa karakteristik dalam sebuah kolaborasi yaitu : a. adanya kesetaraan hubungan; b. tujuan bersama; c. tanggung jawab terhadap hasil; d. mampu menjadi sumber; e. kepercayaan, kerjasama antara antara kolaboraator didasarkan pda sikap saling percaya; f. kepentingan subjek menjadi tujuan utama.

  Berdasar berbagai pengertian diatas, model kolaboratif dapat diartikan sebagai pola kegiatan yang dapat digunakan untuk membentuk, merancang, dan memandu suatu kegiatan tertentu melalui kerjasama antara beberepa unsur yang terlibat dalaam merancang model. Pihak-pihak yang dilibatkan dalam merancang model adalah orang yang mengetahui tentang substansi masalah yang sedang dikaji. Kolaborasi bisa melibatkan masyarakat, pakar dalam bidang keahlian tertentu, mahasiswa serta pihak lain yang dianggap bisa berkontribusi dalam pengembangan model

B. Urgensi Pendidikan Karakter

  Sebagian besar pakar pendidikan menyepakati bahwa aktivitas pendidikan semestinya dapat mengembangkan peserta didik dalam tiga ranah utama yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor, atau pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Artinya, setelah menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu semestinya peserta didik menjadi sosok yang berpengetahuan luas, berakhlak terpuji, dan keterampilan tertentu/profesional di bidangnya. Dalam proses pedidikan, ketiga ranah tersebut semestinya mendapatkan perhatian yang seimbang sehingga dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas. Namun, jika kita mengamati fenomena yang tampak di masyarakat, agaknya aktivitas pendidikan nasional kita cenderung kurang serius dalam menggarap ranah afektif, padahal ranah ini merupakan hal yang sangat penting dalam pembentukan karakter bangsa.

  Sehubungan dengan kurangnya perhatian pendidikan nasional terhadap ranah afektif tersebut, rasanya ada benarnya jika Anwar (2008) menyatakan bahwa dunia pendidikan kita, sering tercoreng oleh perilaku peserta didiknya. Media cetak atau elektronik sudah biasa memberitakan peristiwa negatif yang dilakukan para siswa seperti tindakan amoral, seks bebas, masalah pornografi, tawuran, merokok, atau penyalahgunaan narkotika.

  Menurutnya, kasus-kasus seperti itu merupakan bentuk kegagalan sistem pendidikan di negeri ini, sebab lebih dari 90 persen konten pendidikan di Indonesia mengedepankan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), sedangkan aspek moralitas atau akhlak hanya mendapatkan porsi sekitar 10 persen.

  Lebih lanjut Anwar menyatakan bahwa ketimpangan semacam inilah yang menyebabkan lulusan pendidikan kita tidak memiliki hati nurani saat ketika telah terjun di masyarakat. Beliau memberikan contoh, betapa banyak perguruan tinggi yang meluluskan sarjana ekonomi dan sarjana hukum, namun korupsi masih merajalela dan penegakan hukum di Indonesia masih carut marut dan jauh dari harapan masyarakat. Kondisi yang sangat memprihatinkan ini akibat sistem pendidikan yang kurang memperhatikan masalah moralitas. Sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah tersebut, beliau mengharapkan agar pemerintah segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai jabaran dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). PP ini akan menjadi payung hukum pelaksanaan sistem pendidikan yang mengedepankan nilai, akhlak, dan moral. Dengan PP itu, UU Sisdiknas mempunyai kekuatan untuk diimplementasikan, sehingga pendidikan tidak hanya memperhatikan aspek fisik dan kognitif saja. Akan tetapiyang lebih penting, dapat mengantarkan peserta didik dapat menjadi orang yang bertakwa dan berakhlak mulia. Dengan ketakwaan dan akhlak yang baik, pengembangan iptek otomatis akan lebih baik. Membangun karakter bangsa jauh lebih penting daripada mengejar kemajuan iptek. Oleh karena, pendidikan pada hakikatnya bukan sekedar transformasi keilmuan, tetapi lebih luas lagi yaitu menanamkan nilai-nilai moral atau akhlak mulia.

  Implementasi UU Sisdiknas yang lebih berorientasi pada pengembangan iptek (aspek kognitif dan psikomotor) itu, sebenarnya juga belum menampakkan hasil yang menggembirakan. Hal ini tercermin antara lain dari pernyataan Suyanto (2006), bahwa lulusan pendidikan kita tidak memiliki mental yang bersifat mandiri, karena memang tidak kritis dan kreatif. Akhirnya, mereka yang mengenyam pendidikan malah menjadi "pengangguran terselubung". Setiap tahunnya, pendidikan nasional telah memproduksi pengangguran terselubung, yang umumnya mereka adalah lulusan-lulusan pendidikan akademik. Penguatan pendidikan karakter dalam konteks sekarang ini sangat urgen untuk mengatasi krisis moral yang sedang terjadi di negara kita. Diakui atau tidak, saat ini sedang terjadi krisis atau berbagai penyimpangan yang nyata dan sangat mengkhawatirkan dalam masyarakat dengan melibatkan generasi penerus bangsa: anak-anak/peserta didik. Krisis itu, menurut Sugiri Syarif sebagaimana dikutip Zubaedi (2011:1-2) antara lain berupa meningkatnya pergaulan seks bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja (tawuran), kejahatan terhadap teman, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan obat-obatan (narkoba), pornografi dan pornoaksi, pemerkosaan, serta aborsi. Akibat yang ditimbulkan cukup serius dan tidak dapat lagi dianggap sebagai suatu persoalan sederhana karena perilaku menyimpang ini telah menjurus tindakan kriminal.

  Kenakalan remaja semacam itu, pada dasarnya secara langsung atau tidak langsung juga disebabkan oleh “kenakalan orangtua”, yaitu perilaku para orangtua yang tidak bisa dijadikan teladan: senang dengan konflik dan tindak kekerasan, perselingkuhan, dan ketidakjujuran yang ditandai semakin maraknya korupsi yang dilakukan pejabat publik baik di pusat maupun di daerah. Terkait hal itu, Zuhdi (2009:39-40) mengemukakan bahwa telah terjadi krisis moral di tengah-tengah masyarakat Indonesia saat ini, yaitu krisis kejujuran, krisis tanggung jawab, tidak berpikir jauh ke depan, krisis kedisiplinan, krisis kebersamaan, dan krisis keadilan.

  Agaknya tidak terlalu salah jika banyak orang berpendapat bahwa kondisi masyarakat dan bangsa yang mengalami berbagai krisis tersebut diduga bersumber dari apa yang dihasilkan dunia pendidikan. Menurut Hidayatullah (2010:15), demoralisasi tersebut terjadi karena dua hal, yakni (1) sistem pendidikan yang kurang menekankan pembentukan karakter, tetapi masih lebih menekankan pengembangan intelektual, misalnya sistem evaluasi pendidikan lebih cenderung menekankan aspek kognitif/akademik, seperti Ujian Nasional (UN), dan (2) kondisi lingkungan yang kurang mendukung pembangunan karakter yang baik. Senada Hidayatullah, Zubaedi (2011:3) mengemukakan bahwa dalam konteks pendidikan formal di sekolah, bisa jadi salah satu penyebab terjadinya krisis moral adalah karena pendidikan di Indonesia lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau kognitif semata, sedangkan aspek soft skill atau nonakademik sebagai unsur utama pendidikan karakter belum diperhatikan secara optimal bahkan cenderung diabaikan.

  Hal yang sama juga terjadi dalam pendidikan agama dimana materi yang diajarkan oleh pendidikan agama termasuk di dalamnya bahan ajar akhlak, cenderung terfokus pada pengayaan pengetahuan (kognitif), sedangkan pembentukan sikap (afektif) dan pembiasaan (psikomotorik) belum diperhatikan dan diikhtiari secara serius. Dengan kata lain, praktik pendidikan yang semestinya memperkuat aspek karakter atau nilai-nilai kebaikan sejauh ini hanya mampu menghasilkan berbagai sikap dan perilaku manusia yang nyata-nyata justru bertolak belakang dengan apa yang diterima dalam pembelajaran di sekolah.

  Oleh karena itu, kini sudah saatnya para pengambil kebijakan, para pendidik, orang tua dan masyarakat senantiasa memperkaya persepsi bahwa ukuran keberhasilan tak melulu dilihat dari prestasi yang berupa angka-angka. Hendaknya institusi sekolah menjadi tempat yang senantiasa menciptakan pengalaman pengalaman bagi siswa untuk membangun dan

  

  Mengapa pendidikan karakter itu sangat penting dan mendesak bagi bangsa Indonesia? Ya, karena bangsa kita telah lama memiliki kebiasaan- kebiasaan yang kurang kondusif untuk membangun karakter bangsa yang unggul, meskipun harus diakui masih cukup banyak juga warga bangsa kita yang memiliki kebiasaan positif atau karakter yang baik. Sugiarto (2009: 11- 13) mengemukakan sejumlah kebiasaan kecil yang dapat menghancurkan bangsa sebagai berikut.

  Pertama, kebiasaan-kebiasaan dalam memperlakukan diri sendiri, meliputi: meremehkan waktu, bangun kesiangan, terlambat masuk kantor, tidak disiplin, suka menunda, melanggar janji, menyontek, ngrasani, kebiasaan meminta, menganggap berat setiap masalah, pesimis terhadap diri sendiri, terbiasa mengeluh, merasa hebat, meremehkan orang lain, tidak sarapan, tidak terbiasa antri, banyak tidur, banyak nonton TV, dan terlena dengan kenyamanan/takut berubah.

  Kedua, kebiasaan-kebiasaan dalam memperlakukan lingkungan, meliputi: merokok di sembarang tempat, membuang sampah di sembarang tempat, corat-coret/vandalism, kendaraan mengotori udara, jalan bertabur iklan, konsumsi plastik berlebihan, tidak terbiasa mengindahkan aturan pakai, abai dengan pohon, dan menganggap daur ulang.

  Ketiga, kebiasaan-kebiasaan yang merugikan ekonomi, melipiti: konsumtif, pamer, silau dengan kepemilikan orang lain, boros listrik, kecanduan game, tidak menyusun rencana-rencana kehidupan, tidak biasa berpikir kreatif, dan mengabaikan peluang.

  Keempat, kebiasaan-kebiasaan dalam bersosial, meliputi: tak mau membaca, tak mau mendengar pendapat orang lain, nepotisme, suap-menyuap, politik balik modal, canggung dengan perbedaan, beragama secara sempit, lupa sejarah, unjukrasa pesanan/bayaran, tawuran, tidak belajar dari pengalaman, birokratif, provokatif dan mudah terprovokasi, tidak berani berkata “tidak”, dan berambisi menguasai.

  Mengingat pentingnya karakter dalam membangun sumber daya manusia yang kuat, maka menurut Hidayatullah (2010:23) diperlukan pendidikan karakter yang dilakukan dengan tepat. Dapat dikatakan bahwa pembentukan karakter merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Oleh karena itu, pendidikan karakter harus menyertai semua aspek kehidupan termasuk di lembaga pendidikan. Sebaiknya pembentukan atau pendidikan karakter diintegrasikan ke semua aspek kehidupan sekolah. Lembag pendidikan, khususnya sekolah dipandang sebagai tempat yang strategis untuk membentuk karakter siswa. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik dalam segala ucapan, sikap, dan perilakunya mencerminkan karakter yang baik dan kuat. Dengan pendidikan karakter yang efektif, diharapkan sekolah dapat menghasilkan lulusan orang ”pandai” dan ”baik” dalam arti luas. Jangan sampai lembaga pendidikan menghasilkan orang “pandai” tetapi “tidak baik”. Orang yang pandai tetapi tidak baik jauh lebih “berbahaya” karena dengan kepandaiannya itu ia dapat menjadikan sesuatu yang menyebabkan kerusakan dan kehancuran. Masih lebih baik lembaga pendidikan menghasilkan orang yang kurang pandai tetapi baik, karena paling tidak masih tetap memberikan suasana kondusif bagi kehidupan.

C. Hakikat Pendidikan Karakter

  Secara singkat, pendidikan diartikan sebagai suatu proses untuk memanusiakan manusia. Artinya, seorang bayi yang lahir tidak dengan sendidrinya akan menjadi manusia (yang berbudaya). Untuk menjadikan manusia yang berbudaya haruslah melalui pengembangan dan pembinaan jasmani dan ruhani melalui aktivitas pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan merupakan proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yakni sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai.

  Anak harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh dimensi dasar kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu mencakup sekurang-kurangnya tiga hal paling mendasar, yaitu: (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis; (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis. Mengacu pada unsur dasar dan komponen pokok pendidikan, secara singkat-padat, (Muhadjir,1993) menyatakan bahwa pendidikan adalah upaya terprogram dari pendidik-mempribadi untuk membantu peserta didik agar berkembang ke tingkat yang normatif lebih baik dengan cara yang normatif juga baik.

  Adapun pengertian karakter menurut Zubaedi (2011: 10) mengacu pada serangkaian perilaku, motivasi, dan keterampilan. Karakter meliputi sikap seperti keinginan untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual seperti berpikir kritis, perilaku seperti jujur dan bertanggung jawab, mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh ketidakadilan, dan sebagainya. Pengertian karakter Pusat Bahasa Depdiknas mengartikan karakter sebagai “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Dengan demikian, berkarakter berarti berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Musfiroh (2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek.

  Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan be

  Selanjutnya, dengan uraian yang cukup mendalam, Adhim (2012) menegaskan bahwa karakter identik dengan akhlak sebagaimana dijelaskan oleh para ilmuwan muslim, misalnya Imam Al-Ghazali, dan Imam Qurthubi, dan Az-Zarnuji, sebagai berikut.

  Jika karakter berbeda dengan perilaku, berbeda pula dengan kebiasaan dan bahkan tatakrama dan bahkan temperamen, lalu apa yang dapat dilakukan untuk membangun karakter anak-anak kita? Langkah apa yang dapat ditempuh untuk melakukan pendidikan karakter jika pembiasaan (habituation/habit

  forming) tidak mempengaruhi karakter anak-anak kita, di rumah maupun di

  sekolah? Karakter berbeda dengan kebiasaan. Karakter itu serangkain kualitas pribadi yang membedakannya dengan orang lain. Karakter menuntut adanya pengahayatan nilai, proses mengidentifikasikan driri dengan nilai-nilai yang diyakini sehingga ia senantiasa berusaha agar bersesuaian dengan nilai yang diyakini sehingga pada akhirnya terjadi karakterisasi diri. Artinya, karakter merupakan proses yang berkelanjutan. Karakter memang cenderung menetap dan sulit diubah, namun bukan berarti sekali terbentuk tidak mungkin berubah. Dari karakter itulah –baik atau buruk– melahirkan berbagai perilaku. Akan tetapi perilaku itu sendiri tidak dapat serta merta dikatakan sebagai karakter.

  Perilaku yang berulang setiap hari dapat membentuk kebiasaan, meskipun sebagian hanya menjadi perilaku berulang (repeted behavior), yakni manakala perulangan perilaku tersebut terjadi hanya karena takut terhadap ancaman. Tidak muncul perilaku tersebut jika ancamannya hilang. Hal ini perlu diperhatikan agar kita tidak cepat merasa puas ketika melihat perilaku anak-anak kita. Jangan sampai kita mengira anak-anak telah memiliki kebiasaan yang baik, padahal hanya perilaku berulang semata. Dalam hal ini ada pelajaran yang sangat berharga yang perlu dicamkan oleh para pendidik, bahwa karakter itu tidak terlepas dari keyakinan dan penghayatan seseorang terhadap nilai-nilai yang dipeganginya. Adapun perilaku itu cerminannya, tetapi perilaku sendiri bukan gambaran yang dapat memastikan karakter seseorang, kecuali jika ada serangkaian perilaku lain yang searah. Singkatnya begini, orang baik akan mudah tersenyum, tetapi murah senyum belum tentu orang baik. Bukankah para penipu berhasil mengelabuhi orang lain justru karena senyumnya yang memukau? Bukan karena raut muka yang menakutkan.

  Satu pilar yang sangat penting dalam pendidikan karakter adalah adanya sosok panutan (role model). Lantas sosok siapa yang pantas dan tepat untuk dicontoh? Apakah kita akan menjadikan Lawrence Kohlberg sebagai sosok panutan? Padahal tokoh yang dijuluki sebagai Bapak Pendidikan Karakter ini justru matinya dengan cara mengenaskan. Dia mati bunuh diri dengan cara menenggelamkan diri karena krisis karakter. Ini mirip dengan kematian Sigmund Freud. Meskipun bukan bunuh diri, tetapi tokoh yang dikenal dengan Bapak Kesehatan Mental ini mati dengan cara eutanasia (suntik mati) atas permintaan sendiri akibat depresi yang ia alami.

  Istilah yang dekat dengan karakter adalah akhlaq, bentuk jamak dari

  

khuluq. Khuluq adalah bentuk, sifat, dan nilai-nilai yang berada pada wilayah

  batin. Ini menarik untuk dicermati, sebab ketika kita memaksudkannya sebagai sifat lahiriyah, ia adalah khalq. Oleh karena itu, khuluq –terpuji atau tercela –akan tercermin dalam khalq yang berupa sifat-sifat lahiriyah. Ini berarti bahwa yang harus diperhatikan bukan hanya perilaku yang tampak, tetapi apa-apa yang darinya tercermin dalam bentuk perilaku.

  Tentang kaitan antara akhlaq dan perilaku, Imam Al-Ghazali menulis dalam Ihya’ Ulumuddin, “Akhlaq merupakan ungkapan keadaan yang melekat pada jiwa dan darinya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa perlu berpikir panjang dan banyak pertimbangan.” Agar tidak salah arah, marilah kita tengok pendapat Imam Qurthubi, akhalq adalah adab atau tatakrama yang dipegang teguh oleh seseorang sehingga adab atau tatakrama itu seakan menjadi bagian dari penciptaan dirinya. Dalam peristilahan sekarang, adab meliputi manner and etiquettes (tatakrama dan etiket). Ia bukan sekedar serangkaian perilaku, melainkan di dalamnya juga terkandung sikap. Ini berarti proses pembentuka adab (ta’dib) memerlukan beberapa unsur, yakni menumbuhkan sikap yang baik, melakukan serangkaian pembiasaan yang terkait, menanamkan kebiasaan bukan hanya bersifat fisik dan mekanik, menumbuhkan motivasi serta menunjukkan keutamaan dari adab tersebut.

  Merujuk pada pendapat Syaikh Burhanuddin Az-Zarnuji, Adhim (2012) menyatakan bahwa adab merupakan pilar utama menuntut ilmu. Agar seseorang dapat menuntut ilmu dengan baik, hal pertama yang harus dimiliki oleh murid sekaligus ditumbuhkan oleh guru adalah adab. Proses pembentukan adab merupakan tahap yang sangat penting untuk menyiapkan murid dalam menuntut ilmu sekaligus menumbuhkembangkan akhlaq mulia dalam diri mereka. Adab merupakan pilarnya akhlaq dan keyakinan pada agama Islam merupakan fondasi yang sangat penting. Keyakinan itu bersifat afektif, bukan kognitif. Jika keyakinan telah tumbuh, maka pemahaman secara kognitif akan menguatkannya. Sebaliknya, tanpa menyadari dan meyakini, pemahaman yang mendalam pun tidak mempengaruhi sikap, apalagi sampai ke perilaku.

  Tegasnya, penanaman keimanan yang kuat harus didahulukan, selanjutnya baru pemahaman keilmuan, dan insya Allah, hanya dengan cara seperti ini peserta didik akan mengamalkan ilmunya. Jadi, urutannya: IMAN,

  ILMU, dan AMAL. Inilah urutan proses pendidikan yang sesuai dengan konsep dari Allah Yang Maha Mendidik (Rabb) sebagaimana tertuang dalam Al-Quran Surah Luqman:13-19. Konsep ini pula yang diterapkan oleh Pendidik Sejati: Rasulullah saw. dalam mendidik para sahabatnya, dimana beliau menanamkan ajaran keimanan/aqidah/tauhid dalam waktu yang cukup lama. Konsep pendidikan dari Allah yang diterapkan oleh Rasulullah inilah yang terbukti menghasilkan pribadi-pribadi mulia, sosok-sosok agung, para sahabat yang biografinya tercatat dalam sejarah kemanusiaan dengan tinta emas yang dapat diteladani sampai akhir masa.

  Selanjutnya, mari kita bandingkan dengan proses pendidikan yang terjadi sekarang. Begitu masuk sekolah anak-anak langsung belajar. Kurang ada proses yang diikhtiarkah secara serius membentuk adab pada diri mereka sehingga kurang ada kesiapan belajar belajar, pun kurang ada bekal awal untuk membentuk karakter (akhlaq) dalam diri mereka. Begitu masuk sekolah, serta-merta mereka harus belajar untuk tujuann akademik sebelum sikap dan motivasi belajar mereka dibangun. Begitu anak-anak yang ceria itu masuk ruang sekolah, mendadak keceriaan mereka memudar karena segera memabayang dalam benak mereka ”hantu-hantu angka”: ”hantu matematika”,

  ”hantu english”, ”hantu ranking”, ”hantu tidak lulus UN”, ”hantu NEM”, dan sebagainya.

  Padahal sekolah seharusnya menyiapkan mereka terlebih dulu untuk memiliki sikap dan motivasi belajar yang baik. Ada proses perubahan yang terancang, dari segi mental mereka mempunyai motivasi akademik yang baik, sedangkan dari aspek tatakrama dan etiket mereka memilki kesiapan belajar.

  Mari kita renungkan secara mendalam, Rasulullah saw. diutus untukn menyempurnakan akhlaq. Namun, apakah yang Beliau lakukan di masa awal risalahn dakwahnya? Bukan akhlaq yang lebih dulu dibangun, tapi aqidah. AQIDAH dulu, baru AKHLAQ! Jika aqidah/tauhidnya benar dan kuat, insya Allah akhlaq/karakter peserta didik juga akan mulia dan kokoh.